JODOH RAJAWALI : JILID-06


Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.

“Hi-hi-hik!” Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.

Berhasillah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Karena itu puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukan merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi juga bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah.

Dia mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang ‘mengerjakan’ para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lantas menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu telah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja!

Sementara itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia masih dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak dapat melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja. Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, mendadak saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau ‘terbang’ begitu saja ke angkasa di depan mata mereka!

Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Teng Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia ‘terbang’ sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir. Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dan dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri.

“Kejar! Tangkap dia!” Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat.

Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemana pun lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya!

Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak pula terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos!

Napasnya agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak serta mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan saputangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.

“Paman Jayin...!”

Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu.

Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari ‘siluman’ itu.

Panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita.

Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, tetapi dia menyelinap ke tempat-tempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat yang dikejar-kejar itu tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat. Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman!

Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. “Ehhh, Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?” kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum.

Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu serta nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. “Nona, siapakah engkau?”

“Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami dulu pernah membantu kalian ketika mengawal Syanti Dewi ke Bhutan.”

Jayin teringat dan dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?”

“Hi-hik-hik, inilah yang disangka siluman!” Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan.

Jayin terbelalak lalu tersenyum. “Aihh, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan mengacau istana?”

Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, “Paman Jayin, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?”

“Ehhh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?” Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.

“Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencintai Tek Hoat dan sama sekali tidak mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?”

Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, “Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?”

“Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?”

“Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?”

“Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.”

“Hemmm... apakah kau menganjurkan aku berkhianat?”

“Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, sejak dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Namun sekarang aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm... terpaksa kini aku akan menganggap engkau sebagai musuh!” Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dia persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya.

Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat. Namun tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya!

Pada saat itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.

“Dia tadi berkelebat ke sini!”

“Cari sampai dapat!”

“Geledah semua tempat, semua tempat kosong!”

Jayin dan Siang In masih saling berpandangan. “Apa kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?” tiba-tiba Jayin bertanya.

“Sudah pasti!”

“Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia.”

Siang In tersenyum dan menjura. “Sungguh engkau hebat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman.”

“Sudahlah selamat berpisah...!” kata Jayin.

“Mari selidiki di dalam sini!” terdengar suara Mohinta tiba-tiba.

“Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?!” Tiba-tiba Jayin membentak marah. Dengan golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.

“Ehh, Paman. Panglima!” Mohinta berseru.

“Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Ehh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka, aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!” Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi.

Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun kemudian berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal.

“Ini adalah pancingan!” Sambil berlari Panglima Jayin berseru. “Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!”

“Celaka...!” Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu.

Seperti berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua pengawal yang menjaga di situ tadi telah lari mengejar Siang In. Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.

“Ahhh, syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,” katanya sambil tersenyum lega.

“Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa tahu...!” Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.

“Bongkar pintunya…!” Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam kamar yang ternyata sudah dalam keadaan kosong!

“Celaka...! Adinda...! Adinda Syanti Dewi...!” Panglima Mohinta mencari-cari di dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.

“Nah, apa kataku tadi!” Panglima Jayin marah-marah. “Sungguh tolol kalian semua yang dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu sudah menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri.”

“Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?” Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh.

“Agaknya tidak mungkin penjahat dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kau perkuatlah penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri yang akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!”

Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.

Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga sangat gelisah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda segera menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.

Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar dan kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biar pun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.

Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.

Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya. Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.

Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya sudah mengeras oleh gemblengan hidup, dan walau pun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.

Betapa pun besar perbedaan watak antara mereka, akan tetapi mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In!

Betapa pun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biar pun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!

“Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kau nyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji.“

Mereka tengah duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tidak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.

Dua orang dara yang benar-benar sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu, dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa bergembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.

“Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi.” Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu.

Siang In tersenyum. “Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.”

“Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum.“

“Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kau cinta. Bukankah begitu?”

Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.

“Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi sebab aku suka sekali mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku... hemmm, aku pun tidak akan mau sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!”

Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.

“Aihhh, kalau begitu engkau juga tentu sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!”

Siang In menggeleng kepala. “Belum, Enci. Pilihan hati... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta.”

Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. “Adikku yang manis, apakah... apakah cintamu hanya sepihak...?”

Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum. “Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya...“

“Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!”

“Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh...“ Siang In bergidik. “Lebih baik aku tidak mengenal cinta!”

Syanti Dewi memandang tajam. “Hemmm... janganlah engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kau cari-cari?”

Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk. “Memang aku sedang mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.”

“Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.”

“Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu.“

“Ehhh...? Dia...?” Sejenak puteri itu termenung, teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andai kata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya dia jatuh cinta kepada seorang seperti Suma Kian Bu!

“Tahukah Enci di mana adanya dia?”

Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi. Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah kenapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan di antara kalian.“

Siang In menggeleng kepalanya. “Tidak ada permusuhan apa-apa.“

“Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah…!”

“Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.”

“Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. “Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali...”

“Ahh, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu,” jawab Siang In dan mendadak wajahnya berubah merah.

Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran. “In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu...“

“Ahhh, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada rahasia, perbuatan itu hanyalah... eh, lima tahun yang lalu dia... eh, dia pernah mencium bibirku.”

“Ihhh...!” Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu ‘bukan apa-apa’!

“Kenapa kau terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik.

“Tidak apa-apa...“ Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. “Hanya... jika sudah begitu... berarti kalian saling mencinta.”

Siang In menggeleng kepala. “Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?”

“Ya... karena... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.”

“Hemmm... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.”

Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.

“Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.”

“Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Memang aku sering kali membayangkan ciuman itu, tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!”

Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru kini dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!

“Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?”

“Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan amat kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kau nyanyikan kemarin itu.”

“In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sambil menari.”

“Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau ajarkan sekalian tariannya.”

“Musiknya?”'

“Asal kau ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.”

Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andai kata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu atau apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.

“Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin pula mempelajarinya.”

Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.

Kekasih telah lama pergi
tak tahu bila akan jumpa kembali
namun hati pantang membeku
tak mengenal putus harapan
selama hayat dikandung badan
cintaku tak pernah padam
jika tiada kesempatan jumpa di dunia
di akhirat kita akan saling bersua
harapan jumpa kekasih
kubawa sampai mati
...

“Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya mau pun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat.”

Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan.

Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggota tubuhnya seolah-olah ‘hidup’ dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!

Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi masih turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.

Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu.

Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi saat melihat bahwa rombongan berkuda itu ternyata dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!

Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In kemudian berkata, “Aihhhh, tidak kusangka monyet-monyet itu akan bisa menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang memimpin pasukan pengejar.”

“Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!”

“Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan.”

“Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...“

“Hemmm, apa engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggang kuda di samping tunang... ehh, Panglima Mohinta itu?”

“Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?”

“Ketika lewat tadi, aku sempat melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.”

“Terserah kepadamu, In-moi.”

Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar, akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya.

Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Namun Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah di antara pegunungan yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.

Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.

“Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan.”

Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. “Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas hingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patah-patah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa.”

Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu. “Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya kalau pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu….“

“Hushhh, genit kau...!” Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.

Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersenda gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke goa yang penuh dengan harimau dan naga!

Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang-orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu telah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apa lagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun itu ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.

Puncak itu dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang laki-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu.

Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apa lagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Sejak berguru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia.

Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apa lagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan, sebab mereka yang masuk menjadl anggota harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.

Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud untuk mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, mau pun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain.

Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakukan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik!

Dengan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, kemudian dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran lagi mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedikit ada sepuluh orang!

Hwa-i-kongcu sendiri biar pun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun. Wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah.

Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng serta kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu birahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!

Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau dijadikan barang permainannya untuk sementara saja.

Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit. Sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke puncak itu.

Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.

“Ihhhhh...“ Puteri itu mengeluh. “Kelihatan dekat, tapi kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!”

Siang In tertawa. “Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar dari pada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu, maka menjadi lama dan kelihatan jauh...“

Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, lalu memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.

Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih. “Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu.”

Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!.

Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Ia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis hingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya, kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.

“Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda ini siapakah, dari mana dan hendak ke mana?” Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, dan tentu saja nyanyian sumbang!

Melihat lagak orang ini mau tidak mau hati Syanti Dewi merasa geli dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.

“Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab sambil terkekeh.

“Ha-ha-ha, Nona ini lucu!”

“Lucu dan manis, heh-heh.”

“Kedua-duanya cantik jelita!”

“Hushhh, diam kalian!” Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguh pun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadang-kadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggota tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan alis berkerut.

“Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku bertindak kasar terhadap kalian dua orang dara-dara muda.”

“Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu.”

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tebok itu.

“Mengapa kalian tertawa!?” tanyanya.

“Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian,” kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral.

Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut serta kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.

Hati Naga berarti keberanian. Hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata, “Aihh, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kami.”

“Eh-eh, nanti dulu, Nona!” Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.

“Hemmm... kalian mau apa?” Siang In tersenyum. Dia menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.

“Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu.”

“Hemmm, siapa itu Kongcu?” tanya Siang In.

“Kongcu adalah majikan dan ketua kami.”

“Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!”

“Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!”

Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggota-anggota perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.

“Kalau kami tidak mau?” tanyanya.

“Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami,” jawab Jiu Koan.

Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, “Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?”

“Benar.”

“Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Tetapi kalau aku menang, kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?”

Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki kepandaian. Kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis kedua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat.

“Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, biarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu.”

“Baiklah,” jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kau ajukan jagomu biar dilawan temanku ini.” Dan dia menggunakan ilmunya sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya, “Enci, kau lawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.”

Syanti Dewi mengangguk. Memang dia pernah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya telah memperoleh kemajuan hebat saat dia mendapat petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi selama bertahun-tahun ini dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!

Jiu Koan lalu memberi isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar. Usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali mendapat kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.

Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat memasang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata, “Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.”

“Tidak perlu banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata.

“Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!” Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi.

Puteri ini amat terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Akan tetapi dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungnya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.

“Ehhh!” Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu.

Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri, tetapi juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan tangannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.

“Kau hendak lari ke mana sekarang?” Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi.

Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi ia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!

“Aihhh...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang.

Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya agak terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh si raksasa untuk menyerbu ke depan.

Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah si raksasa sambil berseru, “Laki-laki tidak sopan, jangan kau main curang dan kurang ajar!”

Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik yang luar biasa sehingga si raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.

“Eh... eh... mana...?” Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang menjadi lawannya.

“Plak! Plak!”

Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah dan terasa panas sehingga dia terhuyung ke belakang.

Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia kemudian melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.

“Buk-buk-bukkk!” Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang.

Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?

Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya mengenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!

“Takkk! Aughhhhh... aduhhhhh...!”

Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.

“Dukkk...! Aduhhh...!”

Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu.

Siang In menggerakkan tangannya. Kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu.

Siang In meloncat ke depan sambil tersenyum. “Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan! Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!”

Jiu Koan masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia lalu memandang ke arah Syanti Dewi dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang sudah terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan tadi, temannya telah bersikap lebih dari pada tolol! Setelah dia memberi isyarat dan si raksasa itu oleh teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu berkata, “Kemenangan temanmu mencurigakan!”

“Ehh-ehh-ehh, sudah jelas kawanmu kalah, engkau masih mencari alasan!” Siang In mengejek.

“Benar, akan tetapi sungguh tak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi sebetulnya bukan apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu kalau saja dia dalam keadaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu yang mengganggunya.“

”Ah, omong kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan banyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!”

Muka Jiu Koan menjadi merah sekali. “Bagus!” bentaknya marah. “Kalau begitu coba kau kalahkan aku dengan keahlian kakimu itu!”

Diam-diam Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab, “Baik, engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!”

Ucapan dara ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia membentak, “Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan merobek celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!”

Baru saja orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.

“Plakkk!”

Kaki itu sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia kemudian menggereng seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, menghujamkan pukulan dan cengkeraman bertubi-tubi…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum