JODOH RAJAWALI : JILID-33


Wanita ini lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk membereskan rambut di kepalanya yang awut-awutan. Gerakan ini benar-benar merupakan gerakan khas wanita di bagian mana pun di dunia ini dan pengangkatan kedua lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya makin menonjol, kerampingannya makin nampak dan tubuhnya makin polos, dan terbuka.

Ang Tek Hoat adalah seorang pemuda normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan ini, napasnya agak memburu dan mukanya merah sekali.

“Hi-hik, kau kenapa, Tek Hoat?” Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan dan seperti orang menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di pangkuan pemuda itu, merangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat merasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut.

Belum pernah selama hidupnya dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu hidup dan membelai mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu yang ditimbulkan oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat tenggelam. Seluruh perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian tangan Mauw Siauw Mo-li yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan wanita itu mulai menyentuh kancing-kancing bajunya.

Pada saat Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara seperti seekor kucing mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringatlah dia bahwa yang memeluknya di atas pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang memeluk dan menciumnya, sungguh pun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak pernah bersikap ‘menyerang’ sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang. Memang pernah dia mencium kekasihnya itu, akan tetapi sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat ganas!

Erangan seperti suara kucing itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya, kedua tangannya membalas pelukan dan dia membiarkan mulutnya diciumi secara luar biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja.

Dengan susah payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw Moli. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik.

“Nanti dulu... Mo-li, nanti dulu...“

“Tek Hoat...“ Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tak melanjutkan kata-katanya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk Tek Hoat meremang mendengar suara ini.

“Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku hendak... hendak ke belakang dulu...,“ katanya.

“Ehhh...? Hi-hi-hik... baiklah, tetapi jangan lama-lama, kekasih...“ Kedua tangannya lalu melepaskan pelukan.

Tek Hoat bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat lagi dia kapan Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu.

Namun sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li mengerang. “Tek Hoat... katakan dahulu... benarkah kau menganggap aku cantik menarik?”

“Ya, aku tidak berbohong.”

“Dan kau suka kepadaku?”

“Aku suka sekali...”

“Kalau begitu, coba kau cium aku...“

Di dalam gelap Tek Hoat tersenyum, kemudian dia menghampiri pembaringan dan membungkuk, menggunakan tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pundak wanita itu, dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra. Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li mengerang dan merangkul, hendak menarik lagi Tek Hoat ke atas pembaringan.

“Nanti dulu, sebentar, aku takkan lama, Mo-li...“ Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan itu, meraba-raba di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu, menuju ke belakang, ke kamar kecil!

Terlalu lama bagi Mauw Siauw Mo-li menanti di dalam kamar, tetapi membayangkan penyerahan diri pemuda yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti dengan tubuh panas semua karena api birahi telah membakarnya berkobar kobar. Terdengar daun pintu terbuka, sesosok bayangan masuk dan daun pintu ditutup lagi.

“Ahhhhh... kekasih... pujaanku... ke sinilah... cepat sini...!” Mauw Siauw Mo-li berbisik. Bayangan itu menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw Siauw Mo-li, ditariknya ke atas pembaringan.

Di luar jendela kamar itu, Ang Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang segulungan pakaian, pakaian Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam dibawanya keluar tadi. Saat tadi dia dibelai dan dirayu oleh wanita itu, hampir saja dia terseret dan tenggelam. Akan tetapi, suara mengerang seperti kucing itu menyadarkannya bahwa dia berada dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbuliah akalnya untuk mempermainkan wanita ini.

Dia pura-pura hendak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah minyak dalam api birahi itu dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan disambarnya semua pakaian Mauw Siauw Mo-li, lalu dibawa keluar. Setelah tiba di luar kamar, Tek Hoat menggunakan kepandaiannya, mendatangi kamar pelayan berwajah bopeng dan buruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut ketika tiba-tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di situ.

“Sssttttt... Paman, cepat kau ikut aku!”

Pelayan itu mengenal Tek Hoat sebagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga galak, maka dia cepat turun dari pembaringan.

“Ada apa, Kongcu?”

“Kau mau... ehhh, bermain dengan seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?”

“Aihhh, jangan main-main, Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang untuk...“

“Tak usah bayar, aku sudah membayarnya. Aku lelah, dan kau wakili aku, tapi diam diam saja jangan keluarkan suara, ya? Kau harus begini...“ Tek Hoat berbisik-bisik di dekat telinga pelayan itu yang membelalakkan mata, terkekeh kemudian mengangguk-angguk.

Dengan tergesa-gesa pelayan itu lalu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu kamarnya, dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali! Kemudian, setengah didorong, pelayan itu memasuki kamarnya yang gelap dan pelayan itu segera disambut oleh kedua lengan Mauw Siauw Mo-li yang mulus dan tubuhnya yang hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang terbakar nafsu birahi, dalam gelap itu mana dapat membedakan orang?

Apa lagi seperti nafsu lain, nafsu birahi hanyalah merupakan permainan dari dirinya sendiri belaka. Jika nafsu birahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak penting. Apa lagi semua indera dari Mauw Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta hingga dia tak lagi dapat membedakan orang. Di dalam gelap itu dia segera menggelut pelayan bopeng yang merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia seolah-olah menjadi seperti seorang kelaparan yang diberi hidangan lezat dan banyak sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan rakusnya!

Dari luar jendela Ang Tek Hoat tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan yang menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka dia lalu meloncat pergi sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw Siauw Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak dapat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini berkurang rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li. Dia tahu bahwa wanita itu telah menjadi hamba dari nafsu birahinya, yang merupakan semacam penyakit yang mendalam sehingga selama hidupnya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh penyakit itu, hidupnya tidak akan dapat tenteram, nafsu birahinya seperti api yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara dan membakar segala-galanya tanpa pernah mengenal kepuasan. Dalam diri wanita itu seperti telah dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui lubang-lubang di atas jendela, terdengar teriakan panjang mengerikan dari dalam kamar Tek Hoat. Teriakan ini keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara maki-makian yang marah dari Mauw Siauw Mo-li. Ketika wanita ini terbangun dan mendapatkan dirinya dalam pelukan seorang laki-laki yang berwajah buruk sekali, dia lalu menjerit dan melemparkan pelayan itu dengan sekali gerakan saja ke atas lantai!

Pelayan itu terkejut dan berteriak, tetapi teriakkannya memanjang mengantar nyawanya ketika Mauw Siauw Mo-li sudah meloncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh dengan kepala pecah! Mauw Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan kemarahan meluap-luap. Tahulah dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata meloncat keluar dari matanya, akan tetapi sekarang kemarahannya mengatasi kekecewaannya dan dia memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar itu.

“Tek Hoat keparat! Jahanam besar kau! Kubunuh kau...!”

Tiba-tiba pintu kamar itu terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut ribut. Itu adalah suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan dan para tamu yang mendengar teriakan mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li terkejut dan bingung. Dia telanjang bulat!

“Braaaaakkkkk...!” Pintu dijebol banyak orang dari luar.

Melihat ini, Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat keluar dari jendela dalam keadaan telanjang bulat. Akan tetapi, ternyata di luar jendela telah banyak orang pula, bahkan ada petugas keamanan mengurung tempat itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan Tek Hoat yang memberi tahu orang-orang dan petugas itu bahwa di dalam kamarnya terdapat siluman yang suka membunuh orang!

Beberapa orang yang melihat wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu menjadi terkejut, akan tetapi ketika melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai berlumur darah mukanya dan telah tewas, mereka menjadi marah.

“Tangkap siluman!”

“Dia membunuh orang!”

“Bunuh saja dia! Awas, hadang dia, jangan sampai kabur!”

Banyak orang menyerbu ke dalam kamar, akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw Siauw Mo-li telah berhasil merobohkan beberapa orang, lalu dia menerobos ke luar jendela, menendang dan memukul roboh mereka yang berani menghalanginya dan dengan beberapa kali lompatan di atas genteng-genteng rumah orang, lenyaplah wanita telanjang bulat yang cantik itu!

Tentu saja peristiwa itu segera menjadi ‘dongeng’ yang banyak diceritakan orang yang rnenganggap bahwa wanita cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia, mana mungkin ada seorang wanita yang demikian cantiknya suka bermain cinta dengan seorang laki-laki yang demikian buruknya seperti pelayan itu, yang selain buruk, juga sudah setengah tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya. Siapa lagi wanita itu kalau bukan siluman?

Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat. Akan tetapi ke manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh, dan selain itu, andai kata dia dapat bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat dia lakukan terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki kepandaian yang amat tinggi dan dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau mengingat betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu.

Bagaikan sepotong daging, pemuda itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya saja, akan tetapi daging itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan hanya gagal mendapatkannya, bahkan sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit sekali dan dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji dalam hati sendiri untuk mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu…..

********************

Lereng Bukit Tai-hang-san memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di lereng gunung di mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng gunung ini merupakan tempat yang subur sekali tanahnya karena sumber air di dekat puncak mengalir melalui lereng ini. Segala macam tanaman rempah-rempah yang mengandung khasiat pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga indah dan aneh aneh yang tidak terdapat di daerah lain, justeru tumbuh di tempat ini.

Mungkin terpengaruh oleh cara hidup para nikouw (pendeta wanita) yang mendiami Kuil Kwan-im-bio itu, cara hidup penuh ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka para penduduk di dusun-dusun sekitar daerah lereng ini pun hidup tenteram dan tenang. Bahkan binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng itu, burung-burung yang berkembang biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak takut kepada manusia karena manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak pernah ada yang mengganggu mereka.

Kuil Kwan-im-bio yang berada di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang pendeta wanita yang lemah lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh penduduk pegunungan itu sebagai seorang pendeta yang suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan juga seorang yang biar pun kelihatan lemah akan tetapi sesungguhnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat pernah berani mencoba-coba untuk mengganggu daerah itu.

Akan tetapi, Kim Sim Nikouw tidak pernah mau memperlihatkan kepandaiannya, apa lagi untuk berkelahi, bahkan dia selalu mengalah dan bersikap manis terhadap siapa pun juga sehingga banyak orang yang terjatuh olehnya bukan dengan kekerasan atau kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya yang manis budi. Kejatuhan seperti ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung dendam dan sakit hati, sebaliknya malah kejatuhan seperti ini mengandung daya tarik yang membangkitkan rasa sayang di dalam hati semua orang terhadap nikouw tua ini.

Usia Kim Sim Nikouw sudah mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit halus dan kemerahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan wajahnya. Memang nikouw ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan tangkas. Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali karena dia bukan lain adalah bekas suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau Es. Biar pun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun sesungguhnya di waktu mudanya dia pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat yang bertangan kejam sekali.

Bahkan nikouw ini memiliki pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat mukjijat. Akan tetapi, belum pernah ada orang yang menyaksikan nikouw itu mempergunakan pukulan mengerikan dan tenaga mukjijat itu, kepandaian yang oleh nikouw itu sendiri tidak disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang lain adalah kepandaian berlari cepat dari nikouw ini.

Kim Sim Nikouw selama puluhan tahun telah menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat hebat sehingga dia dapat berlari seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya seolah-olah menginjak ujung rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah Ilmu Jouw-sang-hui-eng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) dan ada pula gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Terjang Awan).

Sikap dan sifat Kim Sim Nikouw memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, karena dewi yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im Pouwsat, adalah dewi lambang dari kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan pengampun. Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada di kuil itu, semua tunduk kepadanya, taat bukan karena takut melainkan dikarenakan mencinta pendeta wanita ini. Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal keagamaan saja. Satu-satunya nikouw yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat hanyalah seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah lebih tua dari padanya! Liang Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim Nikouw kurang lebih enam puluh tahun!

Akan tetapi, semenjak beberapa bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja yang usianya baru delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut, berwajah cantik dan gerak-geriknya halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui Lan, puteri mendiang kepala kampung Cian-li-cung di dekat Lok-yang, dara yatim piatu yang hidup sebatang kara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan dari keluarga Gubernur Ho-nan.

Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, dayang yang muda dan cantik ini, biar pun merupakan seorang wanita lemah, namun dia memiliki keberanian yang amat mengagumkan dan dengan cara luar biasa dia telah berhasil menyelamatkan Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur Ho-pei ini tertawan oleh Gubernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah dituturkan pula betapa Cui Lan diangkat anak oleh Gubernur Ho-pei dan diajak pulang ke Ho-pei. Akan tetapi di tengah jalan, Cui Lan bertemu kembali dengan satu-satunya pria yang selalu dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu Siluman Kecil yang bertanding melawan kakek pembawa suling emas. Sikap Siluman Kecil yang tidak mempedulikannya membuat hati dara ini hancur dan terluka.

Kembali terbukti betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukanlah cinta kasih murni, melainkan cinta kasih yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta kasih akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pengejaran kesenangan diri pribadi, selalu pasti mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan! Betapa banyak terjadi di dalam dunia ini cinta-cinta yang mendatangkan korban tak terhitung banyaknya dan bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan korban di antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi pula sekarang ini dan mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadari betapa palsunya cinta kasih seperti itu.

Betapa banyaknya kaum muda-mudi yang saling tertarik, bersumpah saling mencinta ketika mereka masih diombang-ambingkan oleh pengejaran untuk menyenangkan dirinya sendiri itu. Kemudian, setelah datang badai berupa sesuatu yang membuat hati mereka tidak senang, lunturlah cinta kasih itu, bahkan tak jarang cinta mereka berubah menjadi kebencian! Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan mendatangkan kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu isinya penuh dengan pamrih dan harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apa bila ternyata bahwa cinta kasih itu tidak mendatangkan kesenangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan, cinta kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin

.

Demikian pula dengan Phang Cui Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh rasa kagumnya terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya yang berselubung harapan agar dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas cintanya, agar supaya dia selalu dapat berdampingan dengan pria itu karena hal ini akan sangat menyenangkan hatinya. Demikianlah gambaran yang diharap-harapkannya. Dan oleh karena itu, karena melihat kenyataan betapa pendekar yang dipujanya itu sama sekali tidak mempedulikannya, sama sekali tak menerima apa lagi membalas cintanya, Phang Cui Lan mengalami pukulan batin yang hebat dan yang membuatnya merana. Untung baginya bahwa dalam keadaan itu dia bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan kepadanya dan mengajak dara itu tinggal di kuilnya.

Kim Sim Nikouw merasa tertarik dan sayang kepada Cui Lan, karena dia dapat melihat persamaan nasib antara dia dan dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga mengalami patah hati yang amat membuatnya sengsara, yaitu ketika cintanya terhadap Pendekar Super Sakti tidak berhasil membuat dia berjodoh dengan pendekar itu. Dia pun pernah mengalami derita batin karena cinta gagal, maka kini menyaksikan keadaan Cui Lan, timbul rasa iba di dalam hatinya. Dara itu pun seorang yang yatim piatu seperti dia, dan gagal pula dalam cintanya. Dulu dia gagal dalam cintanya terhadap Pendekar Super Sakti dan kini Cui Lan gagal terhadap putera pendekar itu.

Hati Cui Lan banyak terhibur dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan dara ini yang telah mengalami banyak hal-hal pahit dan maklum bahwa sebagai seorang wanita muda yang lemah dia terancam oleh berbagai kejahatan di dunia ramai, kini mulai mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan-im-bio itu di samping menerima wejangan-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi penderitaan batinnya.

Akan tetapi, bukan menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk sekedar mengobati luka di hati Cui Lan, agar dara itu dapat melupakan kedukaannya dan melupakan Kian Bu. Sama sekali tidak! Nikouw ini melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara dengan cara memaksa diri menjadi nikouw bukanlah merupakan jalan yang baik, karena dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun hatinya kadang-kadang terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat Cui Lan mencontoh perbuatannya.

Tidak, Cui Lan adalah seorang dayang amat cantik dan baik, hal ini sudah diketahuinya benar selama beberapa hari saja setelah dara itu ikut bersamanya. Dara ini baik sekali, cukup baik dan cukup berharga untuk menjadi mantu Pendekar Super Sakti! Karena itu, diam-diam dia akan turun tangan, dia yang akan menjadi wali dan wakil orang tua dara ini untuk menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu!

Cui Lan sendiri hanya dapat menduga-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini menjadi gurunya ini. Dia hanya tahu bahwa nikouw ini bernama Kim Sim Nikouw dan menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw ini dengan Siluman Kecil. Ketika dia mengintai bersama Hwee Li, dia mendengar betapa Siluman Kecil menyebut nikouw ini ‘ibu’. Akan tetapi dia tidak berani menanyakan hal ini kepada subo-nya.

Pada suatu hari, setelah kurang lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan untuk ke sekian kalinya dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw karena di dunia baru ini dia merasa seperti menemukan ketenteraman batin. Kim Sim Nikouw kembali menolaknya dan berkata kepada dara yang berlutut di depannya itu.

“Cui Lan, ketahuilah bahwa engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta.”

Cui Lan mengangkat mukanya yang tadi menunduk dan memandang kepada subo-nya dengan sinar mata penuh permohonan. “Akan tetapi, Subo, kini teecu telah merasa tenteram dan senang sekali hidup sebagai seorang pendeta. Apakah Subo hendak mengatakan bahwa teecu masih terlalu kotor untuk menjadi nikouw?”

“Omitohud...! Sama sekali tidak demikian muridku.”

“Kalau begitu, mengapakah, Subo? Harap Subo suka memberi penerangan kepada teecu.”

“Engkau ingin tahu mengapa aku melarangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Karena... karena pinni menyayangmu seperti anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang begini muda menyia-nyiakan hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni tidak ingin engkau menjadi korban dari cinta gagal yang akan membuat hidupmu selalu merana dan sengsara, biar pun hal itu akan kau tutupi dengan jubah pendeta sekali pun!”

Wajah Cui Lan berubah, agak pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar mata terbelalak. “Apa... apa maksud Subo...?”

Nenek itu memandang pada muridnya dengan sepasang matanya yang bersinar lembut namun tajam dan agaknya mampu menjenguk isi hati yang dipandangnya, “Cui Lan, engkau masih mencinta Siluman Kecil, bukan?”

Wajah Cui Lan berubah menjadi merah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas panjang dan sampai lama baru menjawab, “Teecu... cinta padanya dan selama hidup teecu akan tetap mencintanya, Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya dan karena itulah maka teecu mengambil keputusan untuk menggunduli kepala dan masuk menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan permintaan teecu ini...“

“Tahukah engkau siapa sebetulnya Siluman Kecil itu?”

Phang Cui Lan memandang gurunya. “Teecu tidak tahu, Subo. Dia... dia diliputi penuh rahasia... dan teecu pernah mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan ibu... ahhh, bukan sekali-kali teecu bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada Subo, teecu tidak berhak mengetahui...“

“Anak baik, engkau amat sopan dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku sungguh pun dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari beberapa macam ilmu dari pinni. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan itu, melainkan bahwa dia itu putera dari Majikan Pulau Es, putera dari Pendekar Super Sakti, dan namanya adalah Suma Kian Bu.”

Cui Lan mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal nama Pendekar Super Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu tidak asing baginya, terutama she Suma itu. Kemudian dia teringat, “Ah, teecu pernah mengenal seorang pendekar perkasa yang sangat berbudi dan bernama Suma Kian Lee...“

“Ehhh? Suma Kian Lee? Dia adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!”

“Ohhhhh...!” Cui Lan terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka sekali kepada Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia melihat bahwa memang terdapat persamaan antara kedua orang pemuda itu! Banyak sekali persamaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki ketampanan masing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan yang kuat sekali, entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang gagah.

“Dan ketahuilah bahwa pinni adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super Sakti. Bukan hanya sahabat baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah sute-ku sendiri. Pinni menganggap Kian Bu sebagai anak sendiri dan pinni melihat engkau memang pantas menjadi jodohnya, Cui Lan...”

“Subo...!” Cui Lan menjerit dan mukanya berubah makin merah. “Dia... dia tidak suka kepada teecu...!”

“Ah, mana mungkin ada orang tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah pembenci orang.”

“Akan tetapi dia... dia... agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo.” Dia berhenti sebentar. “Dia... dia tidak mencinta teecu... tidak mungkin dia sudi berjodoh dengan teecu.”

“Jangan khawatir, muridku. Aku cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak mencintamu, akan tetapi mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja menjauhimu. Akan tetapi, biarlah pinni yang akan menemuinya dan kalau perlu pinni yang akan membicarakan urusan perjodohan antara engkau dan Kian Bu dengan ayahnya, Pendekar Super Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada perhatian dari keluarga mereka.”

Tiba-tiba Cui Lan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang terdorong oleh bermacam perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga ada kegirangan yang timbul oleh harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa dia kelak akan dapat menjadi jodoh Siluman Kecli. Akan tetapi siapa tahu? Nasibnya berada di tangan subo-nya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. “Subo... teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo, dan teecu hanya akan mentaati segala perintah Subo...“

Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan menggerakkan tangannya, dengan lembut dia mengusap rambut kepala muridnya itu. Tidak lama kemudian dia berkata, “Aihhh, betapa cinta kasih di dunia ini mendatangkan banyak korban di antara manusia! Pinni akan berusaha sungguh-sungguh, Cui Lan, karena pinni tidak menghendaki engkau mengalami nasib seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta sehingga akhirnya hidup menderita selamanya. Pinni sendiri kebetulan telah menemui kebahagiaan dalam penghambaan diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya orang yang hanya menggunakan agama sebagai pelarian belaka? Apa lagi kalau pinni teringat kepada suci-mu Yan Hui... hemmm, pinni merasa ngeri...“ Wajah nikouw itu menjadi muram ketika menyebut nama Yan Hui itu.

Cui Lan yang telah mereda keharuannya dan telah mengusap kering air matanya itu memandang subo-nya, hatinya tertarik. “Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang bernama Yan Hui itu?” tanyanya.

Kembali Kim Sim Nikouw menarik napas panjang. “Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw suci-mu itu sebagai murid, pinni tadinya tidak berniat untuk menurunkan ilmu silat kepada siapa pun karena pinni menganggap bahwa ilmu silat hanyalah ilmu yang dipergunakan orang untuk menunjukkan kekerasan belaka. Akan tetapi pada suatu hari, pinni bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi dan dia pinni temui hampir membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika pada suatu malam dia bermalam di sini. Pinni mencegah dia membunuh diri dengan memutuskan tali penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik jelita dan berilmu tinggi. Melihat betapa pinni menggagalkan maksudnya membunuh diri, setelah dia siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami lalu bertanding dan ternyata ilmunya memang hebat! Kalau saja pinni tidak memiliki ilmu ginkang yang telah pinni latih secara tekun sekali sehingga dalam hal kecepatan pinni dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang menghadapinya.” Sampai di sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata mengingat-ingat.

“Akan tetapi pinni tidak mau melukai orang, apa lagi membunuh orang. Maka perlahan lahan pinni menasehatinya dengan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf, lalu dia menangis dan berlutut mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau, dia ingin menjadi nikouw. Tetapi pinni yang melihat ada ganjalan hati yang membuatnya keras luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai murid. Pinni mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat sekali. Dalam waktu tiga tahun saja ginkang-nya bahkan sudah melampaui tingkat pinni sendiri!”

“Ah, dia tentu hebat...!” Cui Lan berseru kagum.

“Memang dia hebat! Yan Hui seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi rusak oleh patah hati karena cinta gagal!”

“Ohhh...!” Cui Lan berseru kaget dan kasihan.

“Sebetulnya dia sudah bersuami dan dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia mengandung tua, suaminya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang berjina dengan seorang gadis tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan kemarahannya dan dia membunuh suaminya dan gadis itu, menjadi buronan dalam keadaan mengandung tua. Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak seorang diri di dalam kuil tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri hampir saja mati, dan biar pun akhirnya dia dapat memulihkan kembali kesehatannya, akan tetapi hatinya telah terluka. Dalam keadaan seperti itulah pinni bertemu dengan dia, ketika dia hendak membunuh diri.”

Cui Lan makin tertarik. “Sungguh kasihan sekali dia, Subo. Di mana sekarang adanya suci itu?”

Kim Sim Nikouw menghela napas panjang. “Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia hidup sebagai seorang ratu yang amat mewah. Dia berhasil menemukan harta pusaka yang disimpan kaum bajak jaman dahulu di pulau itu. Aihhh... sungguh menyedihkan. Dia menjadi seorang wanita yang mabuk oleh dendam, menjadi pembenci kaum pria... menyedihkan sekali, dia berubah menjadi seorang yang kejam, seperti iblis. Pinni tidak berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi pinni tingkatnya, mana pinni mampu menghadapinya? Kiranya, hanya Kian Bu saja yang akan sanggup menghadapi suci-mu itu... ahh, sudahlah, hati pinni merasa tidak enak kalau membicarakan suci-mu Yan Hui itu karena pinni merasa betapa pinni telah menambah sayap pada seekor harimau betina yang haus darah! Karena itulah, Cui Lan, maka pinni tidak ingin melihat engkau menjadi seorang wanita yang putus asa karena cinta yang gagal. Pinni akan berusaha agar engkau dapat berjodoh dengan Kian Bu karena pinni yakin bahwa baik engkau mau pun Kian Bu kelak akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia.”

“Teecu merasa amat berterima kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu,” jawab Cui Lan dan semenjak percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulai berseri karena timbul harapan baru dalam hatinya…..

********************

Gadis itu memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang sempurna, kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya yang halus seperti lilin diraut. Akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah.

Aneh sekali melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu, dengan tangan kiri memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan matahari yang terik itu. Setelah memasuki hutan yang penuh pohon dan teduh sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya di ketiak lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang membuat tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik manis dan menggairahkan. Namun pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan hati.

Memang hati Siang In, gadis itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar mencari jejak Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan itu, karena sesungguhnya dialah yang membantu puteri itu melarikan diri dari istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari dia mencari-cari di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya.

Dalam perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan. Dia mendengar pula tentang peristiwa yang menimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil.

Ketika dia mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia membantu pemuda itu karena melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan. Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh tapal batas propinsi, bahkan terdengar sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai Po-hai pula? Dia merasa kagum. Memang, dia teringat betapa pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal!

Dunia begini kacau, pikirnya. Pembesar-pembesar melakukan pemberontakan sehingga timbul pergolakan. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis yang merayap keluar dari goa-goa tempat persembunyian mereka untuk mendatangkan kekacauan dan mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja akan makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung.

Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan penyelidikannya untuk mencari Syanti Dewi. Karena Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya hingga merupakan duri dalam daging. Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya terhadap pemuda itu karena urusan Syanti Dewi.

Apa lagi ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa hasil, kemudian malah mendapatkan Goa Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di pantai Po-hai juga kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung. Sungguh pun pada wajah yang cantik jelita dan manis itu tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum hingga sukarlah membayangkan wajah seperti ini dapat berduka atau muram.

Satu-satunya yang membuktikan betapa murung hati dara ini adalah cara ia melakukan perjalanan itu. Sama sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan juga tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu. Sampai matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga keadaan dalam hutan mulai gelap, sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa!

“Uhhh...!” Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, matanya menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja.

Perhatiannya segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung burung yang berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting ranting dan dahan-dahan, bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi. Suara sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mereka sudah jauh, hanya terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian burung burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan terkejut melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam itu.

Tiba-tiba Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu, tahu-tahu sudah meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian dia akan suara itu sehingga andai kata dia seekor kelinci, tentu daun telinganya bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sesunyi ini dan di waktu matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan!

Dengan langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya suara, payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan. Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara seorang laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan biar pun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya dengan suara lantang itu.

Bahagia… hanya sebuah kata!
penuh daya tarik, penuh rahasia
dikejar, dia lari
dicari, dia sembunyi
makin dibutuhkan makin manja!
Bahagia… hanya sebuah kata!
Harta benda bukanlah bahagia
nafsu birahi bukan bahagia
dia bukan pula kebesaran nama
bukan pula kedudukan mulia
tak mungkin didapat melalui pengejaran
seperti halnya kesenangan!
Yang mengejar bahagia
selamanya takkan bahagia!
Yang tidak butuh bahagia
adalah orang yang benar-benar bahagia!
Itulah hakekat bahagia,
hanya sebuah kata belaka!

Siang In bengong terlongong mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini dapat bertemu dengan seorang manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suatu hal yang aneh. Dan andai kata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang bahagia! Dan isi kata-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya.

Mendengar itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tidak pernah pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan tanpa disadarinya sendiri, dia pun kini termenung menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya, apakah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan itu.

Yang mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!

Demikian bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah. Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-kata yang dirangkai seperti teka-teki.

Teringat dia akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka mempermainkan kata-kata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya ‘kuda putih bukanlah kuda’, ‘anjing putih adalah hitam’, dan sebagainya.

Semua itu menyimpan maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna, sikap, kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang semuanya itu hanya keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, tetapi kudanya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tak menentukan isinya! Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala keadaan lahiriahnya.

Apakah pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang banyak aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain aliran ke dalam agamanya. Betapa pun juga, siapa pun adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik hatinya.

Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani muncul begitu saja memperlihatkan diri, namun berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar. Sepasang matanya mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu.

Di dalam cuaca yang remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan pengerahan ginkang-nya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun sama sekali tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya.

Siang In terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak itu. Sedangkan malam mulai tiba. Tiba-tiba bulu tengkuknya mulai meremang. Setankah yang dia dengar membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak mungkin orang itu mampu bergerak secepat itu dan dapat menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tempat dia bersembunyi. Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu memiliki kepandaian yang hebat bukan.

Dia tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.

“Ihhh, tak tahu malu!” Siang In menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar bunyi berkeruyuk itu.

Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada tentu dia sudah dapat menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu untuk dapat dimakan. Tetapi hutan itu penuh dengan pohon liar, sama sekali tidak terdapat sebatang pun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.

“Sialan!” Dia memaki. “Sialan setan yang bersajak tadi!” gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan malam dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi. Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati kesal.

Siang In lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang pohon melepaskan lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih menyelimuti hatinya.

Teringatlah Siang In akan keadaannya yang sebatang kara itu. Semenjak dia masih kecil, orang tuanya telah meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan enci-nya yang bernama Teng Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, enci-nya itu tewas ketika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon hingga dia menjadi sebatang kara sampai bertemu dengan See-thian Hoat-su yang mengambilnya sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapa pun di dunia ini, hanya gurunya itu. Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya, di Goa Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada gurunya, kakek tua itu dan... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya.

Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang. Wajah yang selama ini sering dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pemuda yang pernah mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya dan membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan memejamkan kedua matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang menarik dari wajah pemuda itu malah terbayang makin jelas!

Tiba-tiba Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya kembang-kempis seperti cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang sedap dan gurih, bau daging panggang!

“Kruuuyuuuuukkk...!”

“Ihhhhh!” Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul secara tiba-tiba.

Berindap-indap dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, kemudian menghampiri tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biar pun kini di langit nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena lebatnya hutan itu. Hanya bau sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon. Dan agak jauh di tengah tengah padang itu, dia melihat api unggun di antara semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi.

Siang In mempergunakan kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak kemudian menghampiri tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak bunga dan mengintai. Sinar api unggun menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang rambutnya riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan seperti benang benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang pada daging paha kijang yang sedang dipanggangnya.

Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya berdebar tegang. Bukankah orang itu adalah Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu!

Pernah dia melihat Siluman Kecil, pada waktu pendekar aneh itu bertanding melawan seorang kakek botak yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu Siluman Kecil karena melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia hanya membuyarkan ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang dua buah paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapa pun adanya orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu.

Bibirnya sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In menutupkan mulutnya kembali dan menahan napas. Dia melihat munculnya seorang bayangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai menghilang dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu.

Kini sinar api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun itu. Bayangan wajah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya masih kelihatan muda, akan tetapi wajah itu sedemikian penuh kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi.

Pakaiannya terlihat amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan tetapi bajunya itu berlengan besar dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat dari gading gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu indah sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan menjenguk segala isi hati orang!

“Hai! Kamu...!” Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap riapan yang sedang memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia seorang ratu yang sedang menegur hambanya saja. “Apakah kamu melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar keluar dari dalam hutan ini?”

Pria yang sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apa lagi menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering sehingga sinar api unggun makin terang, apinya makin bernyala tinggi. Namun sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke bawah sehingga sukar dikenali.

Melihat orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat. “Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!” Wanita itu membentak dan hudtim di tangan kanan itu digoyang-goyangnya.

Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In menjadi kaget bukan main. Tenaga sinkang dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyangkan sedikit hudtim itu saja sudah mengeluarkan suara bersuitan seperti itu! Dengan hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu jawaban laki-laki itu, yang disangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apa lagi menjawab, hanya membolak-bolik daging yang dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan suara yang berirama!

Siapa bicara kasar menyakitkan hati orang,
akan memperoleh jawaban yang kasar pula!
Kelakuan kasar menyakitkan hati,
hanya akan menimpa diri sendiri!
Akan tetapi si bodoh dan tolol,
berbuat jahat tanpa melihat akibat!
Seperti si tolol api…
akhirnya membakar diri sendiri!

Mendengar itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang bahagia adalah si pemanggang daging ini. Dua sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman.

Wanita yang memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak itu, maka sekarang dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba-tiba wanita itu berseru, “Ahhh, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman Kecil?”

Pria itu memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu terakhir berada di tempat kediaman raja pengemis Sai-cu Kai-ong. Bahkan di istana kuno milik Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu dia bertemu dengan Ceng Ceng yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Sengjin yang mewarisi kepandaian Suling Emas.

Dia mendengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar, karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Sengjin yang pernah menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika mendengar penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan dia sudah pergi untuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu. Dia mencari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat menemukan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik memanggang paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu.

Ketika mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak anak yang mengajukan pertanyaan yang tidak penting pula, “Kalau benar, kenapa sih?”

“Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!”

Kini wanita itu telah menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan telinga pada waktu sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman Kecil.

Namun Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai gantinya kini tangannya telah memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk lawan. Namun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.

“Hei, siapakah engkau perempuan galak ini?” Kian Bu menghardik.

Akan tetapi, wanita itu hanya menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh ejekan dan kebencian, “Huh!”

Biar pun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun Kian Bu masih dapat melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wanita yang tak dikenalnya ini memusuhinya dan begitu bertemu ingin membunuhnya.

Wanita itu mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata, “Semua laki-laki di dunia ini berhati palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang berbahaya. Aku bosan juga membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan berbahaya macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtim-nya dan sinar putih menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu!

“Wuuutttttt...!”

Kian Bu sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini, diam diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang saja.

“Huh, agaknya engkau juga sudah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hmmm, aku telah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu pula.” Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi.

“Hemmm, kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu? Nah sambutlah!” Kian Bu sekarang tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain menangkis juga membalas serangan.

Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur, melainkan melancarkan dorongan-dorongan yang mengandung hawa pukulan mukjijat, berselang-selang dari pukulan-pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im-sin-jiu dan juga Hwi-yang-sin-ciang. Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan pekik kaget. Kian Bu yang tidak mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh dengannya, masih tidak tega untuk mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabungan sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan yang hampir saja pernah menewaskan nyawa kakaknya sendiri itu.

Kian Bu segera mendapatkan kenyataan bahwa biar pun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw yang menjadi ibu angkatnya.

“Tahan dulu! Bukankah engkau ini orang she Ouw?”

“Huhhh! Laki-laki palsu yang cerewet!”

Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti yang pernah dia dengar dari ibu angkatnya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitung saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak, agaknya sukar baginya memperoleh kemenangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali.

Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat jelas. Sedangkan Siang In yang mengintai itu hampir tidak mendengarnya sama sekali.

“Huh, mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!” kata wanita itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yang amat cepat menyambar ke arah leher Kian Bu.

Selain merasa terkejut menyaksikan gerakan wanita ini yang jelas menguasai ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula, dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya menyambar ke depan untuk memukul ular itu.

“Wuuuttttt... syiiittttt...!”

Kian Bu tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.

“Ehhhhh!” seru pemuda itu.

Saat ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk mengelak, dia mencium bau harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah menyambut kembali ularnya yang seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan saja wanita itu telah lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-hui-teng ke arah timur…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum