JODOH RAJAWALI : JILID-40
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya dan berkata dengan suaranya yang parau, “Celaka, anak durhaka ini telah melukainya dan sekarang saya membiarkan burung itu mengobati lukanya sendiri dan beristirahat di hutan, di luar benteng.”
Keterangan itu melegakan hati Pangeran Liong Bian Cu dan dia menghampiri Hwee Li dengan wajah berseri. “Sayang, beruntung sekali engkau dapat bebas dari mata-mata ini!”
Akan tetapi Hwee Li cemberut dan Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, “Bocah ini kalau dibiarkan terlalu bebas bisa berbahaya, Pangeran. Maka sebaiknya kuatur penjagaan di sekitar kamar dia dan sang puteri sekarang juga.”
“Dan saya mohon ijin untuk membunuh pemuda yang telah melukai saya ini! Saya terluka oleh pukulannya dan setelah dia sekarang tertawan, hati saya tidak akan pernah puas sebelum membalas dendam ini dengan nyawanya!” kata Hek-hwa Lo-kwi yang memegang lengan Kian Bu atau Siluman Kecil yang terbelenggu.
Pangeran Liong Bian Cu memang merasa agak jeri kepada Siluman Kecil, apa lagi mendengar bahwa pemuda rambut putih ini adalah putera Pendekar Super Sakti, maka dia tidak berani sembarangan. Sekarang, mendengar bahwa Hek-hwa Lo-kwi hendak membunuhnya karena dendam pribadi, berarti dia bebas dari pemuda yang ditakutinya itu.
“Kalau engkau mau membunuhnya karena urusan pribadimu, terserah, Lo-kwi. Akan tetapi harus kau bereskan juga agar tidak ada bekas-bekasnya!”
Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Ha-haha, jangan khawatir, Pangeran!”
Pada saat itu, sang pangeran sedang menjamu saudara misannya, yaitu Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan. Ketika dua orang ini melihat betapa Siluman Kecil menjadi tawanan, mereka terkejut bukan main. Mereka pernah diselamatkan oleh pemuda rambut putih itu, maka kini melihat betapa pemuda itu tertawan dan akan dibunuh, tentu saja mereka terkejut.
“Kanda Pangeran, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Liong Tek Hwi berseru dan bangkit dari tempat duduknya. “Dia adalah Siluman Kecil, pendekar ternama...”
Liong Bian Cu tersenyum. “Benar, adikku, dia adalah Siluman Kecil, akan tetapi dia adalah juga putera Pendekar Siluman, dan dia adalah cucu kaisar, dan dia adalah mata mata yang menyelidiki ke benteng kita! Sekarang, dia telah membikin sakit hati kepada Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi ini, maka terserah kepada Hek-hwa Lo-kwi kalau hendak membunuhnya!”
Bukan main herannya hati kedua orang murid Kim-mouw Nionio mendengar bahwa Siluman Kecil adalah cucu kaisar dan putera Pendekar Siluman dari Pulau Es. Akan tetapi selagi mereka tercengang, Kian Bu sudah berkata kepada mereka dengan nada tak senang, “Hemmm, melihat bahwa kalian adalah sekutu dari pangeran pemberontak ini, aku tidak sudi kalian bela!”
Hek-hwa Lo-kwi sudah cepat mendorongnya pergi dari situ bersama Hek-tiauw Lo-mo yang juga memegang lengan tangan Hwee Li dan setengah menyeret dara itu meninggalkan ruangan.
Pangeran Liong Bian Cu tertawa dan minum araknya kemudian memperkenalkan dua orang kakek yang baru saja pergi itu pada saudara misannya. Lalu dia menambahkan, “Kau lihat gadis itu tadi, adikku? Aku... aku telah mengambil keputusan untuk menikah dengan dia.”
Sementara itu, Kim Cui Yan sejak tadi bengong saja memandang ke arah perginya Hwee Li. Melihat wajah Hwee Li, Kim Cui Yan merasa seperti pernah mengenal dara cantik berpakaian hitam itu, akan tetapi biar pun dia mengingat-ingatnya, tetap saja dia tidak dapat mengingat kapan dia pernah mengenal dara itu. Hal ini tidak mengherankan karena wajah Hwee Li memang mirip benar dengan wajah mendiang ibu kandungnya, dan di waktu dia berusia kurang lebih lima enam tahun, Kim Cu Yan tentu saja sering melihat ibu tirinya, yaitu Ibu kandung Hwee Li yang menjadi selir ayahnya! Jadi, bukan Hwee Li yang pernah dikenalnya, melainkan ibu kandung dari dara baju hitam itu.
Seperti dapat kita duga, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang baru datang menghadap Pangeran Liong Bian Cu di sore hari itu dan membawa Kian Bu dan Hwee Li sebagai tawanan, sebetulnya bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling bersama muridnya, Ang-siocia atau Kang Swi Hwa! Dengan penyamaran mereka yang tepat sekali, bahkan Pangeran Liong Bian Cu yang cerdik itu pun sama sekali tidak mengenal mereka. Saking girangnya melihat Hwee Li dapat kembali, pangeran itu tidak menaruh curiga akan sikap tergesa-gesa dari dua orang kakek iblis itu yang tidak mau lama-lama berhadapan dengan dia.
“Kakanda Pangeran!” Liong Tek Hwi berkata lagi, “Kuharap engkau tidak membiarkan Siluman Kecil dibunuh karena ketahuilah bahwa dia pernah menyelamatkan nyawaku dan Sumoi. Tidak mungkin aku berdiam lebih lama lagi di sini kalau dia dibunuh dengan sepengetahuanku. Harap kau memaklumi perasaan kami ini!” Pemuda berkulit putih itu sudah bangkit berdiri, diturut oleh sumoi-nya.
Pangeran Liong Bian Cu mengangguk-angguk. “Baiklah, biar segera kusuruh pengawal memberi tahu kepada Lo-kwi agar pemuda itu ditahan saja dulu dan jangan dibunuh sekarang.” Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan dan muncullah seorang Panglima Nepal dan pangeran itu lalu memberi perintah dengan cepat dalam bahasa Nepal.
Orang yang berkulit coklat kehitaman itu berlutut dengan kaki kanan, lalu membalikkan tubuh dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu untuk menyusul Hek-hwa Lo-kwi dan menyampaikan perintah majikannya.
Sementara itu, setelah berhasil menipu Pangeran Liong Bian Cu, empat orang itu, ialah Ang-siocia yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo, si Raja Maling yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi, dan kedua orang ‘tawanan’ mereka, yaitu Kian Bu dan Hwee Li, cepat meninggalkan ruangan itu dan dengan Hwee Li bertindak sebagai penunjuk jalan, pergilah mereka ke ruangan belakang!
Sementara itu, cuaca di luar sudah mulai gelap dan tergesa-gesa empat orang itu menuju ke ruangan di mana keluarga Kao ditahan. Karena di tempat ini terdapat banyak penjaga, maka kembali Hwee Li dan Kian Bu pura-pura menjadi tawanan yang dikawal oleh dua orang kakek itu sehingga para penjaga tidak menaruh curiga apa-apa.
Ketika melihat betapa banyaknya keluarga Kao yang berada di dalam tahanan itu, Kian Bu terkejut bukan main, demikian pula Ang-siocia dan gurunya. Mana mungkin dapat menyelamatkan begitu banyak orang dari tempat sekuat benteng itu? Tetapi mereka telah berhasil menyelundup masuk, maka harus mencari jalan untuk menyelamatkan mereka, dan Siluman Kecil sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke dalam ruangan tahanan di balik pintu jeruji besi itu.
“Mana puteri...?” bisiknya tanpa menggerakkan bibir kepada Hwee Li sehingga yang dapat mendengar hanya Hwee Li seorang.
Hwee Li lalu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi palsu yang segera membawa mereka pergi dari situ. Para penjaga tidak ada yang menaruh curiga. Mereka sudah mengenal watak aneh dari dua orang kakek iblis itu, apa lagi Hek-tiauw Lo-kwi adalah ketua dari Kui-liong-pang, pemilik tempat itu. Mereka hanya menduga bahwa tawanan baru yang berambut putih itu tentu sengaja disuruh melihat keluarga Kao yang ditawan. Dan ketika di antara mereka ada yang mengenal pemuda rambut putih itu sebagai Siluman Kecil, mereka hanya dapat memandang heran dan setelah empat orang itu pergi, bisinglah tempat itu karena mereka berbisik-bisik bahwa Siluman Kecil yang selama ini menggemparkan daerah lembah Huang-ho, kini telah menjadi tawanan pula!
“Lekas bawa kami kepada sang puteri...,“ bisik Kian Bu setelah menjauhi tempat itu. “Kita harus tolong sang puteri, sedangkan keluarga Kao sedemikian banyaknya.”
“Kalau bisa menolong mereka seorang satu saja sudah baik,” kata Ang-siocia.
“Tunggu aku mencoba untuk mengeluarkan seorang di antara mereka, agaknya putera Jenderal Kao itu lebih baik diselamatkan dulu supaya dia dapat membantu kita,” kata Hek-sin Touw-ong.
“Nanti dulu,” cegah Hwee Li. “Bisa menimbulkan kecurigaan kalau membebaskan mereka, apa lagi kurasa tidak akan ada di antara mereka yang mau dibebaskan kalau tidak semua. Lebih baik kita membebaskan Puteri Syanti Dewi lebih dulu, lalu kita membikin kacau agar penjagaan itu bubar...!”
“Aku sudah siap dengan bahan bakarnya!” mendadak Hek-sin Touw-ong berkata sambil mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Memang kakek ini selalu mempersiapkan segala sesuatu, seperti seorang tukang sulap.
Dengan hati-hati Hwee Li lalu mengajak mereka menuju ke kamar sang puteri yang berada di sebelah dalam, di samping kiri bangunan induk yang menjadi tempat tinggal pangeran. Akan tetapi, dari jauh saja sudah nampak bahwa tempat itu terjaga oleh Mohinta dan anak buahnya, dibantu pula oleh belasan orang prajurit Nepal karena puteri itu merupakan seorang tawanan penting bagi negara Nepal! Ada pun Mohinta sendiri tidak pernah mau meninggalkan wanita yang dicintanya ini.
“Harap kalian tinggal di sini, biar aku dan ayahku ini saja yang masuk,” kata Hwee Li berbisik kepada Kian Bu dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat kedatangan empat orang itu, para penjaga sudah memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali kepada Kian Bu karena tentu saja mereka tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Hwee Li dan dua orang kakek iblis itu. Biar pun demikian, andai kata tidak bersama Hwee Li, dan seorang di antara dua orang kakek iblis itu yang masuk sendiri, tentu para penjaga itu akan melarangnya. Akan tetapi tidak ada yang berani melarang Hwee Li karena dara ini adalah calon isteri sang pangeran!
Maka dengan tenang saja Hwee Li masuk ke dalam rumah itu bersama ‘ayahnya’ yang berjalan dengan gagah. Tidak ada yang tahu betapa di sebelah dalam Hek-tiauw Lo-mo ini Kang Swi Hwa mengeluarkan keringat dingin dan panas karena selain tegang, dia juga merasa gerah sekali dalam penyamarannya itu, dan mukanya yang ditambal bahan penyamaran itu terasa gatal, kakinya yang memakai ganjal terasa kaku dan sakit-sakit!
“Hwee Li...!” Puteri Syanti Dewi berseru girang dan lari menyambut lalu merangkul Hwee Li ketika dara ini memasuki kamarnya. “Ah, betapa girangku melihatmu... akan tetapi...“
Puteri itu mundur kembali ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo muncul di belakang dara baju hitam itu. Dia merasa takut sekali kalau melihat Hek-tiauw Lo-mo yang sudah lama dikenalnya itu, semenjak perantauannya yang pertama beberapa tahun yang lalu dan dia sudah tahu benar betapa jahatnya iblis tua yang menjadi ayah dari Hwee Li ini. Melihat ini Hwee Li tersenyum dan memegang tangan puteri itu.
“Jangan takut, Bibi Syanti Dewi, dia ini adalah seorang sahabat baik, seorang gadis cantik yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo untuk menolongmu.”
“Maafkan jika saya mengejutkan anda, Puteri. Sudah lama mendengar akan kecantikan anda, dan ternyata anda seperti bidadari...,“ kata Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dengan suara biasa yang merdu dan halus.
Syanti Dewi terkejut dan juga girang, di samping rasa herannya bagaimana seorang gadis dapat menyamar sebagai seorang kakek raksasa seperti Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan tetapi, bagaimana kita dapat...,” tanyanya ragu.
“Jangan khawatir, di luar masih ada Siluman Kecil atau Suma Kian Bu dan juga Hek-sin Touw-ong yang akan membantu kita.”
“Suma Kian Bu...?” Wajah puteri itu agak berubah ketika mendengar nama ini, nama seorang pemuda yang takkan pernah dilupakannya selama hidupnya, pemuda yang selalu menimbulkan rasa iba di hatinya kalau dia teringat, oleh karena dia tahu betapa pemuda perkasa itu amat mencintanya dan cintanya itu terpaksa ditolaknya sehingga dia menghancurkan hati pemuda itu. Seorang pemuda perkasa yang sudah berkali-kali menolongnya, putera dari Pulau Es, dan amat mencintainya, namun terpaksa ditolaknya karena cintanya hanya untuk Tek-Hoat seorang!
Hwee Li tidak tahu akan rahasia antara sang puteri dan Siluman Kecil, maka dia hanya mengira bahwa Syanti Dewi girang mendengar nama itu karena tentu saja puteri ini sudah mengenalnya. “Marilah, Bibi, sekarang juga kita pergi. Kita tidak banyak waktu...” Hwee Li memegang tangan puteri itu dan menariknya bersama Hek-tiauw Lo-mo lalu keluar dari dalam kamar itu.
Para penjaga dan juga para pengawal Bhutan yang berada di situ tidak menaruh curiga melihat sang puteri keluar bersama Hwee Li, karena memang antara dua orang wanlta cantik ini terdapat persahabatan yang amat akrab. Akan tetapi, baru saja tiga orang ini keluar dari kamar dan Kian Bu berdiri seperti terpesona ketika melihat sang puteri, sebaliknya Syanti Dewi juga memandang pemuda itu dengan mata terbelalak saking kagetnya menyaksikan perubahan pada diri Kian Bu, terutama rambutnya, selagi mereka saling pandang dengan penuh perasaan terharu, tiba-tiba datang seorang pengawal bangsa Nepal yang menghampiri Hek-hwa Lo-kwi palsu.
“Pangcu, atas perintah dari pangeran, tawanan ini agar dibawa kembali ke sana, tidak boleh dibunuh dulu.”
Hek-sin Touw-ong yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi terkejut. “Eh, ada urusan apakah?” tanyanya cemas.
“Entahlah, akan tetapi pangeran mengutus saya untuk memberi tahu kepada Pangcu agar tawanan ini dibawa kembali ke sana.”
Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan hatinya merasa tidak enak sekali. Orang macam Pangeran Nepal itu bukanlah orang sembarangan dan tentu memiliki kecerdikan luar biasa. Hal ini dapat dilihatnya ketika dia tahu melihat sepasang mata Pangeran Nepal itu. Mengelabui orang seperti itu dengan penyamarannya memang mungkin dapat, akan tetapi hanya sekelebatan saja. Kalau dia harus menghadap dan banyak bicara dengan pangeran itu, tentu penyamarannya akan dikenal. Apa lagi kalau Siluman Kecil diserahkan kepada pangeran itu, tentu akan berbahaya malah.
Dalam keadaan bingung dia menengok ke arah Hek-tiauw Lo-mo palsu. Dia hendak mengandalkan kecerdikan muridnya ini. Akan tetapi, berada di tempat asing itu dan menghadapi banyak orang pandai, bahkan Ang-siocia yang biasanya cerdik itu menjadi bingung dan khawatir.
Dalam keadaan seperti itu Hwee Li yang cepat berkata. “Dia ini musuh besar kami, harus dibunuh! Dan kami akan mengajak sang puteri untuk menyaksikan pelaksanaan pembunuhan terhadap musuh besar ini! Mari, Bibi Syanti!” Dia menggandeng tangan puteri itu dan memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi untuk cepat pergi dari situ. Hek-hwa Lo-kwi kemudian mendorong tubuh Siluman Kecil yang dibelenggunya itu ke depan dengan kasar.
Para penjaga menjadi bingung, juga utusan orang Nepal ltu menjadi bingung. Dia merasa ragu-ragu untuk memaksa Hek-hwa Lo-kwi yang menjadi pangcu (ketua) dari Kui-liong-pang dan sebenarnya adalah tuan rumah di lembah itu. Juga dia tahu baik bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh pembantu dari majikannya, sedangkan Hwee Li adalah tunangan sang pangeran dan puteri itu adalah Puteri Bhutan, seorang tamu agung!
Akan tetapi baru saja lima orang itu bergerak, Mohinta yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja sudah berteriak, “Tahan!” Dia meloncat maju menghadang.
“Mohinta, manusia pengkhianat!” bentak Syanti Dewi penuh kebencian. Dia sudah tahu akan kehadiran Mohinta di tempat itu dan dia amat benci kepada Panglima Bhutan ini yang menurut Hwee Li telah berniat memberontak dan bersekutu dengan orang Nepal. “Engkau mau apa? Minggir!”
Akan tetapi Mohinta tersenyum dan menggeleng kepala. “Lekas kau melapor kepada Sang Pangeran Bharuhendra!” teriak Mohinta kepada pengawal Nepal tadi, lalu dia menghadapi lima orang itu. “Sebelum ada keputusan dari sang pangeran, kalian berlima tidak boleh meninggalkan tempat ini!”
Mohinta memang cerdik sekali. Tentu saja dia sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi adalah dua orang tokoh besar yang sakti dan yang menjadi pembantu pembantu Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Akan tetapi melihat betapa mereka hendak membawa pergi Syanti Dewi, dia lantas merasa curiga dan tidak mau memperkenankan mereka membawa pergi sang puteri begitu saja. Dia sampai berada di situ adalah demi sang puteri ini, maka tidak boleh orang membawanya pergi di luar pengawasannya.
Melihat orang Nepal tadi kini membalik dan berlari cepat menuju ke tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu yang seperti istana di tengah-tengah lembah itu, terkejutlah Hwee Li.
“Cepat!” serunya dan dia sudah menerjang Mohinta.
Panglima Bhutan ini terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo palsu telah menendang sehingga dia roboh terguling! Hwee Li cepat menyambar tangan Syanti Dewi dan diajaknya berlari menuju ke pintu belakang lembah. Gegerlah keadaan di situ, apa lagi setelah Mohinta meloncat bangun kembali dan berteriak-teriak dengan suara keras, “Tangkap pemberontak! Kepung! Tahan, mereka hendak melarikan Sang Puteri Bhutan dan tawanan!”
Para pengawal serentak maju mengepung dan menghadang. Melihat ini, Siluman Kecil menggerakkan kedua tangannya dan patahlah belenggu tangannya. Para pengawal mengeroyok dan terjadilah pertempuran. Terdengar pengawal memukul tanda bahaya dan keadaan menjadi makin geger!
Dengan mudah saja Siluman Kecil, Hwee Li, Ang-siocia, Hek-sin Touw-ong dan juga Puteri Syanti Dewi sendiri yang membantu merobohkan para pengawal itu. Namun kini nampak puluhan orang pengawal dan prajurit datang berlarian, juga para anak buah Kui-liong-pang dan muncul orang-orang pandai seperti Hwai-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya yang lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To dan masih banyak lagi para pembantu Pangeran Nepal yang datang berlarian ke tempat itu.
“Cepat kita lari!” Hwee Li berseru sambil menyambar tangan Syanti Dewi dan mereka semua sudah melarikan diri dikejar oleh puluhan orang pengawal.
Namuni suatu tanda bahaya itu telah menggerakkan para penjaga di sebelah belakang dan kini ke mana pun mereka melarikan diri, selalu mereka dihadang oleh puluhan orang, bahkan mulai nampak pasukan dengan teratur sekali menjaga dan menghadang semua jalan.
“Celaka! Suhu, lekas lepas api!” teriak Ang-siocia sambil mengamuk ketika kembali mereka sudah dikeroyok.
Hek-hwa Lo-kwi palsu, yaitu penyamaran Hek-sin Touw-ong, cepat meloncat ke atas genteng dan dari situ dia melemparkan empat buah benda keempat penjuru. Terdengar ledakan-ledakan disusul oleh berkobarnya api yang membakar rumah-rumah yang dilempari bahan peledak itu. Suasana menjadi makin kacau-balau dan lima orang itu kembali dikepung dan dikeroyok.
Akan tetapi, para anggota Kui-liong-pang tidak ada yang berani mengeroyok ketua mereka! Dan juga banyak orang tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo, apa lagi menyerang Hwee Li yang menjadi tunangan sang pangeran. Maka pengepungan itu hanya untuk mencegah mereka melarikan diri saja, dan hanya Siluman Kecil saja yang dikeroyok oleh banyak orang. Tetapi justeru ini yang mencelakakan para pengeroyok karena setiap gerakan pemuda ini pasti merobohkan beberapa orang sekaligus.
Hwee Li juga dikepung dan dara ini mengamuk dengan hebat. Karena gugup maka dara ini tidak tahu bahwa sebetulnya, kalau dia tidak bergerak, tidak akan ada orang yang berani menyerangnya! Akan tetapi karena dia mengamuk, maka para pengepung itu bergerak hanya untuk membela diri saja. Dara ini lupa bahwa sebetulnya tidak mungkin ada seorang pun di antara mereka yang berani melukai kekasih sekaligus tunangan Pangeran Nepal!
Syanti Dewi yang tadinya mendapatkan harapan untuk lolos dari tempat itu, kini begitu melihat bahaya, tidak mau tinggal diam. Selama dia berkumpul dengan Hwee Li di tempat itu, dia telah mempelajari ilmu silat dari dara ini sehingga dia telah memperoleh kemajuan. Maka pada waktu melihat beberapa orang anak buah Mohinta berusaha menangkapnya, dia pun mengamuk dan kaki tangannya telah merobohkan beberapa orang.
Pengeroyokan menjadi makin rapat, sungguh pun keadaan amat kacau oleh kebakaran kebakaran itu. Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit dan ketika Hwee Li menoleh, ternyata puteri itu telah dipeluk oleh Mohinta. Kiranya Mohinta yang cerdik ini telah menyelinap dengan diam-diam, dan ketika melihat kesempatan selagi Syanti Dewi mengamuk, dia sudah menubruk dari belakang dan merangkul puteri itu.
“Keparat, lepaskan Bibi Syanti!” Hwee Li membentak dan menerjang maju, akan tetapi dia cepat menahan gerakannya dan meloncat mundur dengan muka pucat ketika melihat betapa Mohinta menodongkan pisau runcing ke leher Syanti Dewi.
“Mundur kau! Atau kubunuh dia!” bentak Mohinta yang cerdik. Melihat ini, tentu saja Hwee Li menjadi pucat dan dia menjadi marah, kemudian mengamuk dan sekaligus merobohkan empat orang pengepung.
“Kita gagal! Lari...!” Hwee Li berteriak karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menolong Syanti Dewi dan kini paling perlu adalah menyelamatkan diri lebih dulu.
Akan tetapi hampir saja Hwee Li celaka ketika Hwa-i-kongcu Tang Hun yang sudah tiba di situ menubruk dari samping. Memang pemuda yang menjadi ketua Liong-sim-pang ini lihai bukan main. Biar pun Hwee Li dapat mengelak, akan tetapi karena dara ini baru saja mengamuk dan mencurahkan perhatian kepada empat orang yang dirobohkan itu, elakannya kurang cepat dan tangannya yang kiri dapat dicengkeram oleh Hwai-kongcu!
Hwee Li mengerahkan tenaga meronta, akan tetapi cengkeraman itu seperti jepitan baja yang amat kuat dan Hwa-i-kongcu tersenyum menyeringai sambil berkata, “Nona, sang pangeran akan berterima kasih kalau aku dapat menahanmu sehingga tidak sampai melarikan diri...“
“Wuuuttttt, desss...!”
Tubuh Hwa-i-kongcu terlempar dan bergulingan. Dia dapat meloncat bangun lagi, tapi kepalanya nanar. Untung dia tadi masih menangkis ketika mendengar sambaran angin dahsyat dari kiri. Ternyata Siluman Kecil sudah menerjangnya tadi untuk menolong Hwee Li dan akibat dari tangkisannya itu, dia sampai terlempar dan pandang matanya berkunang, kepalanya menjadi pening. Tang Hun terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa sedemikian ampuh dan dahsyatnya serangan dari Siluman Kecil maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati gentar, tidak berani bergerak lagi!
Melihat keadaan yang gawat ini, Hek-si Touw-ong lalu berseru, “Lari ke atas...!”
Dan dia sudah mendahului meloncat ke atas genteng. Tiga orang temannya cepat berloncatan ke atas dan pada saat itu, Hek-sin Touw-ong melemparkan dua buah benda yang meledak di bawah sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi mawut dan kacau-balau. Mereka terus berloncatan dan Hek-sin Touw-ong mengobral bahan peledaknya, melempar-lemparkannya di seluruh tempat sehingga terdengar ledakan ledakan bertubi-tubi dan nampak rumah-rumah di seluruh lembah dalam benteng itu kebakaran!
Untung bahwa para penjaga di pintu gerbang masih bingung dan ragu-ragu melihat Hek-tiauw Lo-mo dan terutama Hek-hwa Lo-kwi palsu itu. Mereka masih belum tahu bahwa kedua orang kakek itu adalah palsu, bahkan yang tadi mengeroyok pun tidak ada yang tahu bahwa mereka itu palsu, dan mereka hanya mengira bahwa dua orang kakek itu hendak berkhianat dan memberontak saja. Inilah yang membuat para penjaga menjadi ragu-ragu dan mereka tidak menghadang dengan sepenuh hati karena mereka memang jeri terhadap dua orang kakek itu, dan tidak ada pula yang berani menyerang Hwee Li yang mereka kenal sebagai tunangan sang pangeran. Dan karena ini, maka empat orang itu berhasil keluar dari dalam benteng itu tanpa banyak kesukaran, sungguh pun mereka merasa kecewa sekali karena tidak berhasil melarikan Syanti Dewi, apa lagi keluarga Jenderal Kao Liang. Benteng itu terlalu kuat dan penjagaan terlalu ketat.
Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di waktu api berkobar-kobar di dalam benteng itu, nampak bayangan berkelebatan yang sukar diikuti pandang mata. Bayangan ini cepatnya bukan main sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Apa lagi setelah api berkobar-kobar, asap membubung tinggi di mana-mana, bayangan itu seperti setan saja berkelebatan di antara genteng-genteng dan api-api berkobar, dari atas dia merupakan seorang wanita cantik sekali yang berpakaian mewah. Kini wanita itu mengintai ke bawah dan melihat Mohinta yang masih merangkul Syanti Dewi yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
Wanita ini bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui! Wanita cantik jelita ini pernah bertemu dengan Siluman Kecil dan dia amat tertarik kepada pendekar yang namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw itu. Akan tetapi ketika dia mengadu ilmu silat dengan pendekar itu, dia terkejut sekali dan diam-diam dia maklum bahwa dia sendiri pun takkan mampu menandingi pendekar itu. Akan dicobanya lagi kalau dia mempunyai kesempatan berjumpa dengan pendekar itu.
Betapa pun juga, pendekar itu hanyalah seorang sute-nya! Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Siluman Kecil berguru, bahkan dianggap putera oleh gurunya, yaitu Kim Sim Nikouw di lereng Bukit Tai-hang-san, maka pendekar itu masih terhitung sute-nya juga. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Pendekar Siluman Kecil itu adalah putera Pulau Es! Andai kata dia tahu akan hal ini, tentu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tidak akan merasa penasaran dikalahkan oleh pemuda itu. Betapa pun juga, dia merasa senang juga mendapatkan kenyataan bahwa dalam hal ginkang, dia masih menang dibandingkan dengan pendekar perkasa itu.
Dalam perjalanannya itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga mendengar akan berkumpulnya tokoh-tokoh besar di dalam lembah Huang-ho. Hal ini menarik perhatiannya dan dia lalu menuju ke benteng itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat Siluman Kecil menjadi tawanan dua orang kakek bersama seorang dara yang cantik berpakaian hitam! Dia sendiri tidak tahu bahwa dua orang kakek itu adalah palsu, karena dia melihat empat orang itu ketika mereka sedang memasuki pintu gerbang. Karena amat tertarik melihat ‘sute-nya’ itu menjadi tawanan, diam-diam Bu-eng-kwi lalu membayangi. Mudah saja bagi ahli ginkang seperti dia untuk berloncatan naik melalui tembok benteng tanpa diketahui orang.
Akan tetapi begitu menyaksikan keadaan benteng itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui menjadi terkejut bukan main dan dia kagum. Benteng ini amat hebat, pikirnya! Amat kuatnya sehingga merupakan benteng perang yang kokoh dan sukar diserbu pasukan dari luar! Penjagaannya demikian ketat sehingga kalau dia tidak memiliki ginkang yang luar biasa, tentu amat sukar untuk dapat memasukinya, apa lagi pasukan yang hendak masuk lewat pintu gerbang yang berlapis-lapis itu! Dia sendiri menjadi bingung setelah naik ke atas tembok dan terpaksa menyelinap dan bersembunyi agar jangan ketahuan penjaga. Dia tidak tahu ke mana dibawanya Siluman Kecil dan gadis berbaju hitam tadi oleh dua orang kakek yang kelihatan seperti iblis itu.
Selagi dia bingung dan tidak tahu harus mencari ke mana, dan dia hanya menggunakan ginkang-nya yang luar biasa, yaitu semacam ilmu yang dikuasai oleh Siluman Kecil, yang disebut Jouw-san-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), dia berkelebatan di atas genteng-genteng bangunan itu dengan amat hati-hati sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, tiba-tiba dia melihat Siluman Kecil, gadis cantik dan dua orang kakek yang menawan mereka tadi keluar dari bangunan induk! Dia menjadi girang sekali dan diam-diam dia membayangi dari atas.
Kemudian dia menyaksikan keributan yang terjadi, disusul pertempuran dan kebakaran kebakaran yang dilakukan oleh kakek bermuka tengkorak itu dengan senjata-senjata bahan peledaknya. Kini tahulah dia bahwa Siluman Kecil bukan ditawan, melainkan pura-pura ditawan dan betapa dua orang kakek itu malah menjadi kawan-kawan dari Siluman Kecil dan gadis cantik itu!
Ketika dia melihat Puteri Syanti Dewi, Ouw Yan Hui terpesona dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik itu dan begitu melihatnya, seketika dia tertarik dan merasa suka seketika! Akan tetapi, agaknya wanita aneh ini tidak akan bertindak sesuatu dan tidak sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, kalau saja dia tidak melihat Puteri Syanti Dewi dipeluk dan diseret oleh Panglima Bhutan itu secara paksa memasuki sebuah rumah.
Melihat puteri jelita itu dipaksa orang, mendadak timbul kemarahan wanita ini. Dan memang menjadi pantangan bagi Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui melihat seorang wanita diperlakukan secara kasar oleh seorang pria. Ketika dia melihat lima orang penjahat Ngo-giam-lo-ong dari selatan melarikan seorang gadis, Ouw Yan Hui juga mengejarnya dan akhirnya membunuh mereka di dalam hutan karena lima orang penjahat itu telah memperkosa gadis itu sampai mati, seperti yang telah dilihat oleh Siluman Kecil.
Kini melihat, puteri cantik jelita yang amat menarik hatinya itu diseret dan dirangkul secara paksa oleh seorang Panglima Bhutan, dia marah sekali dan bagaikan seekor burung garuda yang marah, dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah menyambar dari atas ke bawah, menukik turun menerjang Mohinta yang sedang berkutetan dengan Syanti Dewi. Mohinta hendak memaksa puteri itu masuk kembali agar jangan sampai terancam bahaya dilarikan orang, sedangkan Syanti Dewi yang ingin melarikan diri bersama Hwee Li meronta-ronta.
Ketika Mohinta mendengar berdesirnya angin dari atas, dia memandang dan alangkah kagetnya ketika dia melihat seorang wanita seperti seekor burung saja menyerangnya. Dia mengira bahwa yang menyerangnya itu tentu Hwee Li karena dia pun tahu bahwa tunangan sang pangeran itu lihai sekali.
“Mundur!” bentaknya dan seperti tadi dia mengancamkan pisaunya ke leher Puteri Syanti Dewi.
Kalau saja yang menyerangnya itu adalah Hwee Li, tentu Hwe Li tidak akan berani melanjutkan serangannya, karena khawatir kalau-kalau nyawa Syanti Dewi terancam. Akan tetapi Ouw Yan Hui sama sekali tidak peduli akan hal ini. Dia marah kepada orang Bhutan itu dan dia tidak peduli akan keselamatan Syanti Dewi yang tidak dikenalnya. Maka dia tak menghentikan serangannya dan tubuhnya terus meluncur dan menyerang Mohinta dengan hebatnya!
Mohita terkejut bukan main. Tentu saja dia pun mengancam Syanti Dewi bukan untuk membunuhnya sungguh-sungguh. Maka kini melihat wanita itu masih nekat dan terus menyerang, dia terpaksa melepaskan Syanti Dewi dan menggunakan pisaunya untuk memapaki wanita yang menyerangnya itu, karena kini dia melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan Hwee Li tunangan Pangeran Bharuhendra!
“Plakkk... tringgg...!”
Untuk kedua kalinya malam itu, tubuh Mohinta yang sial itu terlempar dan terhuyung. Saat dia meloncat bangun, ternyata bagaikan seekor burung garuda saja, wanita cantik berpakaian mewah itu telah berkelebat pergi sambil memanggul tubuh Syanti Dewi!
“Hei, berhenti...!” Mohinta berseru.
Cepat dia mengambil pisaunya yang tadi terlepas karena tangkisan wanita itu. Dia ingin menyambit, akan tetapi khawatir kalau mengenai tubuh Syanti Dewi, maka dia lalu berteriak-teriak minta bantuan dan dia sendiri lalu mengejar. Akan tetapi kemanakah dia hendak mengejar. Wanita itu hanya dengan beberapa kali lompatan saja telah lenyap di antara api dan asap yang memenuhi tempat itu.
Mula-mula Syanti Dewi meronta karena terkejut sekali melihat dirinya dibawa loncat secepat itu ke atas. Akan tetapi ketika dia melihat betapa dia di panggul seorang wanita cantik dan dibawa ‘terbang’ melalui api yang bernyala-nyala dan asap tebal, sehingga nampaknya setiap saat dia dapat terbakar dijilat lidah api merah, dia merasa ngeri sekali.
Melihat bahwa wanita itu adalah seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, dia berkata, “Lepaskan aku...!”
“Huh, lepaskan? Benarkah?” Wanita itu lalu melepaskan tubuh Syanti Dewi yang berdiri di atas tembok benteng, dikelilingi api dan asap! Syanti Dewi terbelalak ngeri.
“Ehh, ohhh... tolong...!” teriaknya.
“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengejek dan dia menyambar lagi, memanggul tubuh Syanti Dewi yang saking ngerinya menjadi hampir pingsan itu, dipanggul di atas pundak kanannya lalu dia berloncatan lagi amat cepatnya seperti terbang saja!
Beberapa kali Syanti Dewi membuka mata, akan tetapi terpaksa memejamkan kembali matanya ketika melihat betapa dia dibawa lari terus di atas rumah yang terbakar dan terus ke tembok-tembok benteng yang berlapis-lapis itu untuk kemudian berloncatan keluar dari benteng seperti seekor burung terbang saja! Hampir Syanti Dewi menjerit ngeri ketika Ouw Yan Hui meloncat dari atas wuwungan tempat penjagaan di atas tembok benteng yang tebalnya hanya satu meter itu, padahal di kanan kiri tembok itu api masih berkobar! Akan tetapi sebenarnya puteri ini tidak perlu khawatir. Dengan mudah Ouw Yan Hui meloncat dan hinggap di atas tembok dengan kaki kanannya, gerakannya seperti orang menari saja.
Kemudian, dari atas tembok ini Ouw Yan Hui meloncat ke luar kemudian terus berlari di dalam kegelapan malam, menyusup di antara pohon-pohon di dalam hutan di luar benteng itu…..
********************
Malam telah sangat larut dan mereka telah berada jauh sekali dari benteng di lembah Huang-ho ketika Ouw Yan Hui berhenti berlari, menurunkan tubuh Syanti Dewi. Mereka berada di lereng sebuah bukit, di dalam hutan kecil yang amat sunyi. Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui membuat api unggun dan mereka berdua duduk di dekat api unggun, saling berhadapan dan sejak tadi mereka tidak saling bicara. Kini, mereka berdua duduk saling berpandangan, dihalangi oleh api unggun yang menyinari wajah dua orang wanita itu dengan cahaya yang kemerahan.
Keduanya terkejut dan kagum. Setelah kini berada di tempat yang diterangi oleh api unggun, duduk berhadapan dan berdekatan, mereka dapat melihat wajah masing masing dengan jelas dan keduanya merasa kagum bukan main oleh kecantikan masing masing.
Syanti Dewi memandang wanita yang duduk di depannya itu dengan penuh perhatian. Sukar menaksir berapa usia wanita ini, akan tetapi dia merasa pasti bahwa wanita ini jauh lebih tua dari pada dia, sungguh pun melihat wajahnya, tentu orang akan menaksir bahwa usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Seraut wajah yang bulat seperti bulan, dengan dagu runcing, kedua pipinya halus penuh kemerahan amat mulusnya, sepasang mata yang jernih dan lembut, sungguh pun di balik kelembutan itu mengandung sifat dingin yang menyeramkan.
Rambutnya digelung seperti model gelung puteri istana, dihias dengan hiasan rambut dari emas permata yang indah dan tentu mahal sekali harganya, berbentuk burung hong. Telinganya memakai perhiasan yang bermata besar dengan sinar berkilauan. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya mudah kembang kempis, mulutnya kecil akan tetapi selalu terbuka secara menantang, mulut yang membayangkan birahi yang besar, sungguh pun kalau dikatupkan lalu nampak betapa wanita ini dapat berwatak kejam. Alisnya seperti dilukis saja, demikian pula sinom rambut dan anak rambut di pelipisnya. Wajah yang cantik jelita dan manis bukan main, tidak kalah oleh wanita puteri-puteri istana!
Dan tubuh itu padat dan penuh lekuk lengkung menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah matang. Sungguh sukar membayangkan betapa di dalam tubuh yang penuh daya tarik kewanitaan ini dapat tersembunyi tenaga dahsyat dan ilmu yang demikian tinggi.
Perhiasan wanita itu, pakaiannya yang mewah dan rapi, gelang-gelang di tangannya, sepatunya, semua menunjukkan bahwa wanita ini pantasnya seorang puteri istana atau seorang puteri yang kaya raya. Bahkan Puteri Milana yang pernah dikenalnya, puteri istana sakti itu, tidak pernah bersolek semewah wanita ini! Syanti Dewi memandang penuh keheranan dan menduga-duga gerangan wanita yang telah menyelamatkan dirinya dari dalam benteng itu, menyelamatkannya ataukah menculiknya?
Di lain pihak, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga terkejut, kagum dan terpesona sehingga sejenak dia tidak dapat berkata-kata, hanya terus menatap wajah Syanti Dewi penuh kekaguman dan perhatian. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat wajah yang demikian sempurna kecantikannya!
Tadinya dia, seperti yang dibanggakan oleh gurunya, yaitu Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita Tiongkok yang sempurna! Dan gurunya itu, Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita India yang paling sempurna! Akan tetapi kini, berhadapan dengan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui melihat kecantikan yang membuat dia terpesona! Kecantikan dara ini begitu wajar, bahkan pakaiannya yang sederhana, rambutnya yang awut-awutan, matanya yang terbelalak lebar penuh kekhawatiran, bibirnya yang agak pucat dan agak gemetar karena cemas, tidak mengurangi kecantikannya!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa penasaran sekali! Setiap kali bertemu dengan wanita cantik di mana pun juga, dia selalu merasa besar hati karena yakin akan kecantikannya sendiri yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kini, duduk berhadapan dengan dara yang ditolongnya ini di antara api unggun, dia tiba-tiba merasa bimbang!
“Siapa engkau? Siapa namamu?” tiba-tiba Ouw Yan Hui bertanya dan suaranya juga halus merdu, seperti suara seorang dara muda, suara halus yang ‘basah’.
“Namaku Syanti Dewi.”
“Ehhh?? Engkau bangsa apakah?”
“Aku datang dari Bhutan”
“Hemmm, engkau tentu bukan gadis kampung biasa. Hayo ceritakan, siapa sebenarnya engkau yang mengaku dari Bhutan ini?”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Tidak senang dia melihat sikap orang yang angkuh dan kaku ini, juga sinar mata yang tiba-tiba menjadi dingin sekali dan menyeramkan itu. Syanti Dewi menegakkan kepalanya dan dengan sikap yang agung dia lalu berkata, “Aku adalah Puteri Bhutan!”
Kini Ouw Yan Hui yang mengerutkan alisnya. Kiranya seorang puteri istana! Dia makin tertarik. Sudah terlalu lama dia menyembunyikan diri tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang Puteri Bhutan yang sudah banyak menggegerkan dunia kang-ouw ini.
“Kau puteri Raja Bhutan, kenapa meninggalkan istanamu dan jauh-jauh berkeliaran sampai di sini?”
Syanti Dewi tidak mau menjawab, hanya memandang ke dalam api unggun. Sejenak Ouw Yan Hui menatap wajah itu, lalu dia tersenyum seorang diri. Dara ini benar-benar seorang puteri yang agung dan angkuh, pikirnya. Cocok benar dengan dia! Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan Syanti Dewi mengangkat muka memandang, mengikuti gerakannya.
“Kau bisa silat?” kembali Ouw Yan Hui bertanya.
Syanti Dewi menggeleng kepala.
Ouw Yan Hui tersenyum mengejek, karena dia tadi melihat pula betapa puteri ini melawan dan sempat pula merobohkan beberapa orang prajurit sebelum dia ditangkap oleh Panglima Bhutan itu.
“Aku hendak membunuhmu, hendak kulihat apakah kau demikian pengecut untuk menerima kematian tanpa membela diri!” Setelah berkata demikian, Ouw Yan Hui lalu meloncat dan menendang ke arah tubuh Syanti Dewi untuk membuat tubuh puteri itu terlempar ke dalam api unggun.
“Ihhh!” Syanti Dewi meloncat dan mengelak, gerakannya cepat juga karena selama ini dia telah memperoleh banyak kemajuan.
Semenjak dia dahulu diberi petunjuk oleh Ceng Ceng, kemudian oleh pendekar sakti Gak Bun Beng, kemudian baru-baru ini oleh Hwee Li, sang puteri ini telah memperoleh kemajuan pesat dan kalau hanya beberapa orang laki-laki biasa saja jangan harap dapat menandinginya.
“Bagus!” Ouw Yan Hui berseru dan mulailah wanita ini melancarkan serangan bertubi tubi dengan pukulan-pukulan maut!
Tentu saja Syanti Dewi marah sekali. Tadinya memang dia tidak tahu apa maksudnya wanita cantik ini membawanya lari keluar dari benteng, dan dia tidak tahu apakah wanita ini kawan atau lawan. Siapa kira, kini wanita itu hendak membunuhnya, setelah bersusah-payah membawanya ke luar dari benteng. Gila! Jangan-jangan memang gila wanita cantik ini, pikir Syanti Dewi dan bulu tengkuknya meremang ngeri. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh begitu saja tanpa melawan dan sambil mengelak atau menangkis, dia pun menyerang pula dengan dahsyat untuk merobohkan wanita ini agar dia dapat melarikan diri.
Diam-diam Ouw Yan Hui terkejut juga menyaksikan beberapa gerakan pukulan yang menunjukkan bahwa dara ini pernah mempelajari ilmu silat tinggi! Hanya latihannya belum matang dan memang jiwa puteri ini adalah lemah lembut sesuai dengan kedudukannya, maka serangan balasannya juga tidak mengandung kedahsyatan. Mula mula, Ouw Yan Hui yang hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Syanti Dewi, bergerak dengan lambat untuk mengimbangi lawan. Setelah dia puas menguji dan memperoleh kenyataan bahwa puteri ini tak mengecewakan, mulailah dia mempercepat gerakannya dan mulailah Syanti Dewi menjadi bingung.
Mendadak saja wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu selagi dia bingung, wanita itu menowel pinggulnya dari belakangnya. Dia membalik dan cepat menyerang, akan tetapi kembali wanita itu lenyap untuk muncul secara aneh di belakangnya, di kanan atau kirinya. Syanti Dewi berpusing-pusing dan akhirnya dia roboh karena pening dan duduk terengah-engah di dekat api unggun.
“Bunuhlah kalau mau bunuh, aku tidak takut mati dan aku tidak dapat melawanmu!” katanya dengan kepala ditegakkan penuh keagungan.
Ouw Yan Hui makin kagum. Puteri ini selain memiliki ilmu silat yang boleh juga, ternyata tidak cengeng seperti puteri-puteri lain, tidak menangis, bahkan sikapnya tabah sekali menghadapi ancaman kematian, seperti sikap seorang pendekar wanita tulen! Dia pun duduk kembali seperti tadi.
“Tadi sempat kulihat Siluman Kecil berusaha menyelamatkanmu dari benteng. Apakah hubunganmu dengan dia?”
Syanti Dewi terkejut dan tanpa dapat dicegahnya lagi, kedua pipinya yang tadi sudah merah karena marah dan lelah itu menjadi makin merah. Teringat dia akan cinta kasih Suma Kian Bu padanya. Sukar baginya untuk menjawab, maka dia hanya menggeleng kepala, lalu akhirnya dapat juga berkata, “Hanya teman baik, aku pun baru tahu ketika dia muncul, setelah lima tahun lebih tidak saling jumpa.”
Syanti Dewi lalu menatap wajah yang cantik itu, lalu dia pun bertanya dengan suara mengandung penasaran. “Dan engkau siapakah? Aku tidak minta pertolonganmu akan tetapi engkau meloloskan aku keluar dari benteng, hanya untuk kau hina. Apa maksud ini semua?”
Ouw Yan Hui tersenyum. “Aku paling benci melihat pria, apa lagi yang mengganggu wanita. Ketika kau diganggu Panglima Bhutan tadi, aku segera ingin menolongmu. Dan kau cantik sekali. Aku tidak bermaksud menghinamu.”
“Dan tadi engkau menyerangku, mempermainkan aku...“
“Hemmm, kau tidak tahu, Syanti Dewi. Aku hanya ingin menguji kepandaianmu sampai di mana.”
“Siapakah engkau sebenarnya?” Syanti Dewi tertarik sekali.
Wanita ini aneh, cantik jelita, dan berilmu tinggi. Seketika lenyap rasa penasaran dan marahnya karena dipermainkan tadi. Meski dia sendiri bukan terhitung seorang wanita kang-ouw, akan tetapi selama beberapa tahun ini kehidupan Syanti Dewi penuh dengan pengalaman, dan sudah banyak sekali dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan yang aneh-aneh, maka dia dapat memaklumi keanehan wanita ini.
“Orang menyebutku Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan), akan tetapi namaku adalah Ouw Yan Hui. Aku juga bukan orang sembarangan, Syanti Dewi. Kalau engkau seorang Puteri Bhutan, maka aku adalah seorang ratu, ratu dari pulauku sendiri!” Ouw Yan Hui tersenyum dan kalau dia sedang tersenyum, memang dia cantik sekali, sedikit pun tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang wanita iblis yang amat lihai.
Syanti Dewi menjadi heran. “Dan apa yang hendak kau lakukan kepadaku?”
“Apa yang kau harapkan?”
“Agar kau membebaskan aku, membiarkan aku pergi setelah kau berhasil meloloskan aku dari benteng itu. Dan aku, Syanti Dewi, selamanya tidak akan melupakan budi kebaikan Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui.”
“Dan ke mana kau hendak pergi?”
“Ke mana saja kakiku membawaku. Aku... aku mencari dua orang.”
“Siapa mereka?”
“Yang pertama adalah Teng Siang In, gadis sahabatku yang membawaku pergi dari Bhutan, dan kedua adalah... Ang Tek Hoat, dia... dia tunanganku!”
“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Dia merasa sayang bahwa seorang dara secantik Puteri Bhutan ini mau saja menyerahkan hatinya kepada seorang pria! Pria di dunia ini tidak ada yang baik, tidak ada yang bisa dipercaya!
“Dengan kepandaian silatmu yang biasa saja ini, dan dengan adanya demikian banyak orang pandai di dunia, apa lagi mereka yang berada di dalam benteng tentu akan mengejar dan mencarimu, mana mungkin kau melakukan perjalanan seorang diri saja? Baru satu dua hari saja engkau tentu akan terjatuh ke tangan orang jahat lagi.”
“Aku tidak takut.”
“Akan tetapi aku tidak mau melepasmu ke dalam bahaya.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Bu-eng-kwi?”
Ouw Yan Hui memandang penuh perhatian dan Syanti Dewi menambah kayu dalam api unggun sehingga apinya berkobar lagi. Dia tidak takut kepada wanita cantik ini karena dia dapat menduga bahwa wanita ini hanya lihai dan aneh, akan tetapi agaknya tidak jahat dan pasti tidak akan mengganggunya.
“Apa yang akan kulakukan? Hemmm, tergantung keadaanmu, Syanti Dewi. Aku akan mengambil keputusan kalau sudah mendengar riwayatmu, mengapa engkau seorang puteri dari Bhutan sampai bisa berada di sini dan menjadi tawanan di dalam benteng itu.”
Syanti Dewi menarik napas panjang. Wanita ini aneh, lihai sekali, dan betapa pun juga wanita ini telah menolongnya melepaskan dia dari dalam benteng yang amat kokoh kuat itu. Maka sebaiknya dia mengaku terus terang agar jangan membikin marah hati wanita aneh ini.
Dengan singkat Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia lolos dari istana ayahnya di Bhutan, dibantu oleh Teng Siang In, untuk menyusul dan mencari tunangannya, yaitu Ang Tek Hoat. Betapa dia jatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liongsiam-pang dan akan dipaksa menjadi isterinya, lalu betapa dia diperebutkan dan akhirnya dia terjatuh ke tangan Gitananda, kakek pembantu dari Koksu Nepal itu dan akhirnya terjatuh ke tangan Pangeran Nepal dan ditawan di dalam benteng itu. Betapa kemudian Hwee Li, yang tadinya juga menjadi tawanan di benteng itu dan dijadikan tunangan oleh Pangeran Nepal secara paksa, sudah mencoba untuk menolongnya, dibantu oleh Suma Kian Bu dan dua orang lain yang menyamar sebagai dua orang kakek iblis.
“Suma Kian Bu? Siapa dia?” Ouw Yan bertanya.
Kini Syanti Dewi yang memandang heran. “Bukankah kau tadi sudah menyebutnya dengan sebutan aneh, kalau tidak salah, Siluman Kecil?”
“Ah, jadi Siluman Kecil itu bernama Suma Kian Bu? Suma...? Seperti pernah kudengar nama keturunan ini...“
“Tentu saja. Suma Kian Bu adalah putera dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman dari...“
“Pulau Es...?” Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak dan wajah Ouw Yan Hui agak berubah saking kagetnya mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera dari Pulau Es!
Kini Syanti Dewi mengangguk bangga. “Benar, dia adalah putera dari pendekar sakti Suma Han, majikan dari Pulau Es. Sungguh kasihan sekali Suma-taihiap...“
Tiba-tiba Syanti Dewi menghentikan kata-katanya, terkejut bahwa begitu menyebut nama ini, tanpa disadarinya dia teringat lagi akan hubungannya dengan pemuda itu dan begitu saja menyatakan perasaan hatinya yang selalu merasa iba kepada putera Pulau Es itu. Apa lagi begitu dia teringat betapa hebat perubahan terjadi atas diri pemuda itu. Semua rambutnya telah menjadi putih! Dia merasa bahwa dialah yang berdosa, dialah yang menjadi biang keladi dan bertanggung jawab atas kedukaan yang diderita pemuda itu sampai rambutnya putih semua!
Ucapan dan sikap Syanti Dewi ini membangkitkan keinginan tahu dari Ouw Yan Hui. “Apa maksudmu? Mengapa kasihan?” dia mendesak, maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Puteri Bhutan itu.
Ada dua macam kebanggaan yang menyelinap di lubuk hati hampir setiap orang wanita normal. Pertama adalah pernyataan bahwa dia muda dan cantik, dan kedua adalah bahwa dia dicinta oleh pria! Apa lagi kalau pria yang mencintanya itu adalah seorang pria pilihan, bukan pria sembarangan! Makin banyak pria tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya, akan makin bangga dan besarlah hatinya.
Betapa pun pandainya seorang wanita, betapa pun majunya, betapa pun dia hendak menutupinya dan merahasiakannya, namun di lubuk hatinya tentu akan terasa suatu kebanggaan besar kalau dia mengetahui bahwa dirinya dicinta oleh pria, dikagumi oleh pria. Andai kata dia tidak dapat membalas cinta kasih pria itu, dan dengan sikapnya menyatakan ketidak-senangan hatinya, namun di sebelah dalam hatinya ada perasaan bangga itu, bahkan penonjolan sikap penolakannya itu adalah usaha yang tidak disadarinya untuk lebih meninggikan harga dirinya lagi, bahwa dia masih terlalu ‘tinggi’ untuk pria yang tidak dibalas cintanya itu
.Syanti Dewi, biar pun dia seorang puteri, tidak terlepas dari sifat yang menjadi naluri kewanitaan ini. Kebanggaanlah yang mendorongnya untuk mengaku kepada Ouw Yan Hui. Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu terkejut mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pulau Es, kebanggaan hati karena kenyataannya bahwa pemuda luar biasa itu jatuh cinta kepadanya membuat dia lupa dan seperti dengan sendirinya dia menjawab, “Aku kasihan kepadanya karena dia mencintaku tanpa dapat kubalas...“
Kembali Syanti Dewi terkejut dan menghentikan kata-katanya yang sudah terlambat. Dia merasa menyesal juga telah membuka rahasia itu, tetapi di samping penyesalannya ini, dia mengerling untuk melihat sikap wanita itu sewaktu mendengar pengakuannya ini.
Dan memang wanita cantik itu tertarik sekali, pandang matanya penuh kagum dan heran, juga alisnya bergerak-gerak, bibirnya komat-kamit tanpa bersuara. Akhirnya, Ouw Yan Hui berkata “Dan kau menolak cinta putera Pulau Es itu karena engkau telah jatuh cinta kepada... siapa pula nama tunanganmu tadi?”
“Ang Tek Hoat. Benar, aku telah saling jatuh cinta dengan Ang Tek Hoat!” jawab Syanti Dewi dengan tegas dan memang suara ini adalah suara hatinya.
“Tetapi Ang Tek Hoat itu meninggalkanmu dan kau, perempuan bodoh ini, mengejar dan mencari-carinya dari Bhutan sampai ke sini?” Pandang mata Ouw Yan Hui berkilat karena dia merasa marah dan penasaran sekali! Dan sebelum Syanti Dewi menjawab, dia melanjutkan dengan suara yang kedengaran marah, “Dan kau percaya saja kepada laki-laki itu? Laki-laki yang sudah meninggalkanmu begitu saja? Kau, seorang puteri yang begini muda, begini cantik jelita, yang akan disembah oleh laksaan laki-laki, kau begini merendahkan diri, begini menjual murah, merantau dan bersengsara hanya oleh seorang laki-laki yang tak dapat dipercaya mulutnya?”
Syanti Dewi terkejut melihat kemarahan ini. Dia menggeleng kepala. “Tidak, dia.... dia amat gagah dan baik... hanya dia terpaksa meninggalkan Bhutan, karena ayah marah kepadanya...“
“Huh! Laki-laki di dunia ini, di mana pun sama saja. Mahluk yang berhati palsu, tidak dapat dipercaya sama sekali. Apa kau kira Ang Tek Hoat itu pun laki-laki yang dapat dipercaya? Semua laki-laki di dunia ini adalah jahat dan palsu!”
“Tetapi... tapi dia baik sekali...”
“Itulah kalau wanita sudah jatuh cinta! Dan kau akan kecelik kelak, akan kecewa dan merana seperti aku...“
Syanti Dewi terkejut sekali, melihat kepada wanita yang tiba-tiba kelihatan berduka itu. “Apakah yang telah terjadi denganmu... Enci Ouw Yan Hui?”
Pertanyaan dari Puteri Bhutan ini terdengar begitu wajar, begitu halus karena memang merupakan suara dari hatinya yang mengandung penuh rasa iba sehingga Ouw Yan Hui merasa tersentuh perasaannya. Dia menunduk, lalu berkatalah dia dengan suara gemetar.
“Aku mencinta dia, suamiku itu... apa lagi aku dalam keadaan mengandung untuk yang pertama kalinya... akan tetapi... malam itu... aku melihat suamiku bermain cinta, berjinah di dalam kamar seorang wanita tetangga...“
“Ahhh...!” Syanti Dewi mengeluh penuh rasa iba dan penasaran.
“Kubunuh dia! Kubunuh mereka! Aku menjadi buronan! Hemmm, anak yang kukandung terlahir mati, kebetulan malah. Huhh, sekarang, jangan harap ada pria akan mampu mempermainkan aku, kalau perlu akulah yang mempermainkan mereka! Syanti Dewi, jangan kau menjual dirimu demikian murah. Kau harus yakin dulu akan hati orang bernama Ang Tek Hoat itu! Uji dia sampai habis-habisan, dan engkau dapat melakukan hal itu jika engkau memiliki kepandaian.”
“Akan tetapi dia lihai sekali...“
“Apa artinya kelihaiannya kalau engkau dapat bergerak seperti aku? Pria mana yang akan mampu menangkapku? Aku bebas, aku tidak dapat ditundukkan siapa pun, dan aku dapat memperlakukan pria sesuka hatiku! Syanti Dewi, kalau kulepaskan engkau sekarang, akhirnya engkau hanya akan menjadi permainan pria. Lupakah engkau betapa sudah berkali-kali engkau terjatuh ke tangan pria-pria jahat? Kalau engkau berkepandaian, tak mungkin mereka itu dapat memandang rendah kepadamu.”
“Maksudmu...?”
“Kau ikutlah bersamaku. Aku akan mengajarkan ginkang yang akan membuat engkau dapat bergerak seperti aku, sehingga tidak akan ada seorang pun pria di dunia ini yang dapat berbuat sesuka hatinya kepadamu, tanpa kau kehendaki. Engkau akan menjadi bagaikan seekor burung di angkasa yang dapat dipandang, dikagumi, akan tetapi tidak dapat ditangkap tangan!”
Syanti Dewi termenung. Dia masih belum tahu di mana adanya Tek Hoat. Dan kalau dia mengingat bahwa orang-orang di dalam lembah itu, Pangeran Nepal, Mohinta, dan semua anak buah Pangeran Nepal yang amat banyak dan amat lihai, tentu akan mengejar dan mencarinya, dia menjadi ngeri juga. Apa lagi janji yang diberikan Ouw Yan Hui ini amat menarik hatinya. Kalau dia pandai ‘terbang’ seperti itu, tentu selain tidak akan mudah ditangkap orang jahat, juga akan lebih mudah baginya untuk mencari Tek Hoat.
Untuk sementara ini lebih banyak selamatnya dari pada ruginya kalau dia ikut bersama dengan wanita cantik itu, maka dia mengangguk. “Baiklah, aku mau ikut bersamamu, Enci.”
********************
“Sialan! Pangeran Nepal bedebah! Kalau dapat dia oleh tanganku, hemmm, akan kupatahkan batang hidungnya yang panjang bengkok itu!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel panjang pendek sambil melempar-lemparkan penyamarannya sebagai Hek-tiauw Lo-mo. “Sudah payah-payah aku setengah mati menyamar seperti setan dan hampir berhasil, eh, tahu-tahu si hidung kakatua itu membikin gagal saja.” Tiba-tiba dia menoleh kepada Hwee Li seperti orang teringat akan sesuatu dan cepat berkata, “Ah, maafkan aku, Adik Hwee Li, bukan maksudku menyinggung engkau.”
Kim Hwee Li tadinya tersenyum mendengar omelan Swi Hwa, akan tetapi mendengar ucapan ini dia mengerutkan alisnya dan bertanya, “Mengapa kau minta maaf kepadaku, Enci Hwa?”
“Aku telah memaki dan mengancam mematahkan batang hidung... ehh, tunanganmu.”
Sepasang mata Hwee Li langsung memancarkan sinar marah. “Hemmm, sekali lagi kau menyebut dia tunanganku, hidungmu sendiri yang akan kupatahkan!” katanya.
Ang-siocia tertawa. Dia kecewa dan penasaran oleh kegagalan itu, akan tetapi tadi dia melihat Hwee Li masih dapat tersenyum-senyum, maka dia sengaja menggoda dara itu yang kini juga menjadi marah, maka legalah hatinya.
“Tidak ada yang harus dipersalahkan,” terdengar Hek-sin Touw-ong berkata sambil menggeleng kepala. Dia pun sudah melemparkan semua penyamarannya. “Benteng itu kokoh kuat bukan main. Masih untung kita dapat menyelamatkan diri keluar dari sana. Hemmm, hebat sekali benteng itu dan penjagaannya amat kuat. Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan orang seperti Koksu Nepal itu berada di lembah, mana mungkin kita dapat menyelamatkan diri?”
“Ucapan Touw-ong memang tepat. Benteng itu tidak mungkin dapat ditembus tanpa bantuan pasukan yang kuat. Dan tanpa penyerbuan oleh pasukan, tidak mungkin menyelamatkan keluarga Jenderal Kao dan Puteri Syanti Dewi.” Kian Bu diam sejenak, teringat akan puteri itu hatinya menjadi gelisah sekali. “Sekarang juga aku akan pergi ke kota raja untuk minta bantuan dan melaporkan keadaan di dalam benteng yang siap untuk memberontak itu.”
“Aku ikut!” Hwee Li sudah memotong cepat.
“Sayang kami tak dapat membantu,” kata Hek-sin Touw-ong. “Kami mempunyai urusan kami sendiri. Taihiap, kami ingin mohon pertolonganmu sedikit, yaitu, dapatkah Taihiap memberi tahu kepada kami, di mana adanya orang muda yang bernama Siauw Hong itu?”
“Siauw Hong?” Kian Bu memandang kepada guru dan murid itu, dan melihat betapa Ang-siocia menundukkan mukanya. Dia tidak tahu akan peristiwa yang terjadi antara Siauw Hong dan Ang-siocia. “Maksudmu pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu? Tentu saja dia berada di Bukit Nelayan di lereng Pegungungan Tai-hang-san itu.”
Kian Bu tidak mau banyak bercerita tentang Siauw Hong, pemuda yang ternyata adalah keturunan dari keluarga Suling Emas yang hebat itu. Karena hal itu amat dirahasiakan tadinya oleh kedua belah pihak yang bersangkutan, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin, maka dia pun tidak mau membuka rahasia itu dan hanya mengatakan bahwa Siauw Hong yang telah diketahuinya bernama Kam Hong, keturunan langsung dari keluarga Suling Emas, kini berada bersama gurunya, Sai-cu Kai-ong di Tai-hang-san.
“Terima kasih, Suma-taihiap. Kami akan pergi ke Tai-hang-san,” kata Hek-sin Touw-ong dengan singkat pula.
Mereka lalu mengucapkan selamat berpisah. Hwee Li memegang tangan Swi Hwa. “Enci Hwa, jangan kau lupa padaku, ya? Aku kagum sekali akan ilmu penyamaranmu dan kalau ada waktu kelak aku ingin belajar menyamar seperti engkau.”
“Mana mungkin aku dapat melupakan orang seperti engkau, Adik Hwee Li? Engkau mempunyai seorang ayah yang jelek sekali...“
“Hanya ayah paksaan!”
“Dan engkau mempunyai tunangan yang lebih jahat lagi...“
“Juga tunangan paksaan!”
“Akan tetapi engkau sendiri amat cantik jelita, lihai dan manis, adikku. Sebetulnya, kalau tidak bersama Suhu, aku… aku akan suka sekali melakukan perjalanan bersamamu!” Sambil berkata demikian, mata dara ini mengerling kepada Suma Kian Bu oleh karena sesungguhnya yang membuat hatinya merasa berat adalah berpisah dari Siluman Kecil yang amat dikaguminya itu.
Maka berpisahlah empat orang itu. Ang-siocia yang merasa berat berpisahan dengan Hwee Li dan terutama Kian Bu, terpaksa ikut bersama suhu-nya untuk mencari Siauw Hong! Sedangkan Hwee Li pergi bersama Suma Kian Bu menuju ke kota raja karena Kian Bu melihat bahaya besar mengancam keamanan kerajaan dengan adanya bencana di lembah Huang-ho itu…..
********************
Komentar
Posting Komentar