JODOH RAJAWALI : JILID-52


Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.

“Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!” kata Sam-ok sambil tertawa.

Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur.

Dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan.

Kini nenek Kim-mouw Nionio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan.

Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nionio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah! Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nionio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!

Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, lalu dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun. Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal.

Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran itu. Andai kata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok…..

********************

“Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?”

Gadis cantik itu menundukkan mukanya, dan biar pun dia berusaha untuk menahannya, namun tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.

Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum menjadi nikouw. Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika namanya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pendekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia merana dan mengalami penderitaan batin yang amat hebat.

Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, betapa cinta kasih yang mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin menyenangkan diri sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi kesengsaraan karena pada hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka kedua dari kesusahan. Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan penderitaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapatkan balasan dari Suma Han yang dicintanya itu.

“Cui Lan hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kau rasakan sekarang ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu, Cui Lan.”

Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik. Sepasang matanya yang indah terbelalak karena penasaran dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya. “Subo... bagaimana Subo dapat mengatakan demikian? Teecu (murid)... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu...,“ dia berhenti sebentar, menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. “Subo, bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?”

“Anak yang baik,” kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, “Kalau kita benar-benar mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya. Namun tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita, yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta sehingga kita mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri belaka?”

“Subo...!” Dara itu terisak. “Teecu memujanya, menghormatinya, mengaguminya dan teecu mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, tetapi juga ingin berdekatan selama hidup teecu di sampingnya..., salahkah ini?”

Nikouw itu tersenyum haru. “Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang mengharapkan balasan pada hakekatnya adalah nafsu birahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di samping mendatangkan kesenangan, anakku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita, lalu bagaimana?”

“Teecu akan tetap mencintanya...“

“Dengan hati hancur dan menderita?”

Gadis itu mengangguk dan terisak. “Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak cukup berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biar pun dia tidak membalas cinta teecu, teecu tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu...“

Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti!

“Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan menyadari bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan dan kepatahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang lain?”

Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang gemetar menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah dapat menenangkan hatinya, dia kemudian berkata, “Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo...“

Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya dengan lembut. “Duduklah yang baik, mari kita bicara.”

Setelah Phang Cui Lan duduk dan menghapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata.

“Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki yang bijaksana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni yakin bahwa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan jodoh yang layak untukmu...“

“Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja, teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat...“

Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. “Alangkah baiknya watakmu, Cui Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandalkan kekerasan, sungguh pun pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei, melainkan karena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai puterinya yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan.”

Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami bahaya bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah angkat itu.

Demikianlah, beberapa hari kemudian, dengan diantar oleh Kim Sim Nikouw, Cui Lan meninggalkan Kuil Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi gubernurnya. Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biar pun kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, tetapi kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang.

Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan makan waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari.

Pada hari ketiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw sudah merasa khawatir sungguh pun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib atau juga dari pengejaran para pendekar.

Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah ikut terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu.

Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun bersama sisa anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir sekali kalau-kalau namanya dan perkumpulannya telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan di serbu pasukan pemerintah. Apa lagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia juga telah ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-Liong-pang Ciok Gu To dan tosu Hak Im Cu.

Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggota Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal itu.

Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biar pun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.

“Ada apakah, Subo?” bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subo-nya yang serius.

“Sssttt...“ Kim Sim Nikouw berbisik pula.

Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subo-nya melihat atau mendengar suara seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Mendadak terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja dan dara ini menjadi tenang kembali.

“Ahh, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!” kata Cui Lan dengan wajah berseri dan senyum ramah. “Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!”

Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. “Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus menyerah untuk menjadi tawanan kami.”

“Menjadi tawanan?” Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di pihak yang benar. “Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?”

Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. “Kalian telah memasuki wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!”

Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya sedang berhadapan dengan gerombolan perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus, “Omitohud... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami.”

Si jangkung itu membelalakkan matanya. “Ehh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kau kira kami ini perampokperampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?”

Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu.

Dia cepat menjura dan berkata, “Ahhh, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan.”

“Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh...!” Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang sekali.

Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biar pun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk menggunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguh pun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali.

Biar pun Cui Lan sendiri merasa tak setuju mendengar gurunya membawa-bawa nama ayah angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan menghormatinya, maka dia pun tersenyum dan berkata, “Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Dan nanti setelah bertemu dengan beliau tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa...“

Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak dan diikuti oleh teman-temannya. “Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, oleh karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja.”

“Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?” berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.

“Bunuh juga lebih baik!” kata si jangkung.

Tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya. Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subo-nya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.

“Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan dirinya anggota-anggota perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!”

Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. “Ha-ha-ha-ha, kawan kawan, lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!”

Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata, “Cui Lan, mundurlah.” Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus, “Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?”

Si jangkung membentak, “Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Tetapi kami bukan ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau mau menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami berikan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!”

Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.

“Omitohud... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?”

“Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!” bentak si brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman temannya.

Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw!

“Ihhhhh...!” Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.

Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok. Walau pun si brewok menyerang sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan saat golok si brewok menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu.

Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya, “Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!”

Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh mengejutkan mereka karena biar pun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara serangan serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi.

Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan dengan ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu, dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka!

Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.

Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan, menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.

Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama sekali sudah tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi sekarang mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang!

Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget berturut-turut, golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.

“Omitohud, kalian terlalu mendesak...!” Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil.

Mendengar suara ‘pletak-pletak’ dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang mereka.

“Apakah yang sedang terjadi di sini?”

Legalah hati Jiu Koan dan para anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih. Pakaiannya serba baru dengan baju kembang-kembang, sepatunya mengkilap. Seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biar pun dia bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.

Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!

“Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!”

Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat kekurang ajaran dalam mata pemuda asing itu.

“Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,” kata Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.

“Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya...“

“Seorang gagah perkasa harus malu berbohong!” mendadak Cui Lan berkata lantang. “Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid melanjutkan perjalanan kami.”

“Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!” tiba-tiba si jangkung berkata.

Berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan. “Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat.”

Cui Lan mengerutkan alisnya. Biar pun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang menyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang, segera menjura.

“Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kini kami sedang tergesa-gesa, maka harap maafkan bahwa pinni dan murid pinni tiada kesempatan untuk berkunjung.”

“Siapakah Lo-suthai?” Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan marah. Memang sesungguhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.

“Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di salah satu lereng Thai-hang-san, Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang menuju ke sana untuk menghadap gubernur.” Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.

“Hemmm, Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak memiliki welas asih dalam hati Suthai.”

“Maksud Kongcu?” Kim Sim Nikouw bertanya heran.

“Kalau Suthai memiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini di sini dan Suthai boleh pergi.”

“Kongcu, apa maksudmu?”

“Suthai tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini. Melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan berupa nona ini. Kalau Suthai menaruh kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk menyerahkan nona ini kepadaku, untuk menghibur hatiku yang sedang kesepian...“

“Ehh, Kongcu yang rendah budi!” Cui Lan berseru marah. “Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik dan pakaianmu, tentu engkau adalah orang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa dapat mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?”

Tang Hun tersenyum. “Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu. Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia adalah milikku yang harus kalian hormati.”

“Tapi... tapi dia...“ Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jeri.

“Serahkan nikouw tua ini kepadaku!”

Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju. Tangan kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu mencengkeram lambung. Serangan ini ganas bukan main!

“Omitohud...!” Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh ujung baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput!

Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan pemuda pesolek itu sehingga biar pun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan semua serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa menghadapi seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya dengan mudah, melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah berbahaya baginya kalau dia hanya mengelak terus-menerus.

Oleh karena itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya, sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan hati dan sifatnya yang menentang kekerasan.

Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci, akan tetapi mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk kaum sesat.

Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan murid dari nenek iblis Durganini itu. Apa lagi ketika dalam penasaran dan marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini.

Sebetulnya yang membuat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk membunuhnya. Hal ini tentu saja amat mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan balasan yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk membunuh.

Sementara itu, biar pun dia telah mengerahkan ginkang-nya untuk mengelak dan lari ke sana ke mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap, dara itu tak mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu, hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan.

Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan pedang kalau saja dia tidak cepat-cepat melempar diri ke belakang dan terus berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu!

“Subo...!” Phang Cui Lan berseru memanggil, akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari situ.

“Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!” Hwa-i-kongcu berseru kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera berlari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tidak mampu berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu yang hanya tertawa gembira.

Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan muridnya terancam bahaya? Tentu saja tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwai-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah.

Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan cepat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa yang tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah pasti pembesar itu mau membantu.

Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping, “Ibu...! Mengapa tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?”

“Kian Bu...!” Kim Sim Nikouw amat girang ketika dia menahan kakinya dan menengok, melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang.

“Ehhh, Ibu menangis?” Kian Bu terkejut bukan main.

Seperti telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng gunung Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggilnya. Kini melihat nikouw tua itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.

“Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!” Setelah berkata demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah yang berlawanan dengan tadi.

Terpaksa Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.

“Dia siapakah, Ibu?” Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan sikap nikouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.

“Dia... Phang Cui Lan,” jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat larinya, padahal napasnya sudah terengah-engah.

“Phang Cui Lan...? Siapa dia...?” Kian Bu bertanya lagi. “Dan apa yang telah terjadi dengan dia?”

Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat dari muka dan lehernya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia berkata penuh teguran, “Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!”

Kian Bu memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. “Apa... apa maksud Ibu berkata demikian?”

“Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau... namanya pun kau lupakan! Betapa kejam engkau...!”

“Ahhh...?” Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat dan dikenalnya.

“Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?”

“Ahhh...! Kiranya dia...!” Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya itu.

Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, keluarga ayahnya terbunuh semua, kemudian dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika dia bertanding melawan Sin-siauw Sengjin. Dalam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati dara itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai satu-satunya obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah.

“Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?”

“Dia ditawan oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau cepat tolong dia!” Nikouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.

“Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!” kata pemuda itu dan tanpa menanti jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya lari secepat angin. “Harap kau tunjukkan jalannya.”

Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati kagum. Dia yang mengajarkan ilmu ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang memondongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han!

Akan tetapi dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan mengalihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang.

Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak buahnya di tengah hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apa lagi dikabarkan sebagai puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar.

Tang Hun adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia mengalami kegagalan yang amat merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus kegagalannya itu!

Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia akan menjadi menantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur itu akan melindungi mantunya! Andai kata keadaannya berbalik dan dara cantik manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya, yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar!

Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk ke depan. Kini dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan gadis ini dan menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan kehilangan keangkuhannya pula dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia alami dengan gadis gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatannya akan menjadi jinak dan patah semangat.

“Ehh...?” Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu!

Tak disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya. Tetapi dianggapnya bahwa tentu gerakan mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua tangannya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan tetapi, kembali tubrukannya luput!

Dengan sangat ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan seluruh ginkang-nya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, akan tetapi sampai mati pun dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding kamar itu!

“Hemmm... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga...!” Tang Hun berkata memuji dan pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di dalam hatinya.

“Nona, engkau adalah seorang dara yang cantik jelita, mempunyai kepandaian lumayan dan engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba kecukupan.”

“Tidak sudi...! Tidak sudi...!” Cui Lan berseru dengan marah pula.

“Nona, pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan engkau dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan katakan bahwa engkau menerima pinanganku, Nona...”

“Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati dari pada tunduk kepada niat jahatmu!” Cui Lan membentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram.

“Brettttt...!” Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang berkulit putih mulus itu.

Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai, matanya jalang dan Cui Lan sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara itu bahwa dia tidak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, “Hemmm, bajingan kecil seperti ini berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?”

Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, “Taihiap...!”

Dia mengenal suara itu, sampai di mana pun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil!

Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar, tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja menunjukkan bahwa orang itu tentu lihai, sungguh pun dia tidak merasa jeri karena dia belum melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya.

Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jendela pecah tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang dilontarkan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela.

Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biar pun ilmu silat yang dipelajarinya dari Kim Sim Nikouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya sudah dapat menduga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi. Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran pula, apa lagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela dan mengenai sasaran!

Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar bahwa senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah siapa saja yang berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriakan orang kesakitan? Dan andai kata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau mengenai dinding di luar jendela.

Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa bergidik. Akan tetapi tangannya sudah menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar.

Baik Cui Lan dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang ditembusi senjata-senjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun jendela itu mengeluarkan bunyi dan bergerak, terbuka perlahan lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata rahasia uang logamnya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah jendela yang terbuka perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat dicintanya, kepala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman Kecil!

Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Seperti kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu cepat mempergunakan kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui siapa pun dia berhasil mengintai dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan mudah saja pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangannya sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik.

Kini pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang Hun yang kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggenggam uang-uang logam itu gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu.

Pendekar muda ini secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar sinar hitam menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uang-uang logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan menggelinding ke arah kaki Tang Hun!

Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan yang akan digunakannya sebagai sandera karena dia merasa jeri melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu.

“Pengecut hina dina yang curang!” Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!

“Taihiap...!” Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan, penuh kebahagiaan, penuh cinta kasih.

Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapa pun sukanya kepada gadis ini?

Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya dan menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elakan-elakan cepat. Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.

“Subo...!” Cui Lan menubruk gurunya.

“Mari kita keluar dulu!” Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan penjahat itu.

Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, bahkan sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi anehnya, setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum