JODOH RAJAWALI : JILID-55


“Hiaaaaakkk!” Gitananda berteriak mengejutkan.
“Syeettttt... Syeeettttt...!” Jenggot itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar meluncur ke arah Siang In!
Dara ini terkejut sekali, berusaha mengelak akan tetapi ujung jenggot masih menyapu kakinya dan dia terguling! Kini jenggot itu seperti seekor ular merayap hendak menggulungnya dan Siang In sudah merasa ngeri bukan main. Akan tetapi tiba-tiba ada angin keras dan kuat membawa dan menerbangkan tubuh Siang In yang melayang dan gulungan jenggot itu tidak mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak jauh ke sebelah kanan. Jenggot itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon yang tumbuh di sebelah kiri Siang In.
“Brolllll!!” Pohon itu terlibat dan tertarik jebol oleh jenggot panjang yang kuat luar biasa itu.
Siang In maklum bahwa tadi dia telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana mungkin dia tadi dapat membebaskan diri dari jenggotnya itu? Kini, melihat Gitananda sibuk melepaskan jenggotnya dari batang pohon yang tumbang, dia cepat meloncat ke depan dan menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Tentu saja Gitananda menjadi sibuk sekali. Cepat dia menarik jenggotnya menjadi pendek kembali dan melempar tubuh ke belakang, bergulingan dan setelah dia terbebas dari desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini jenggotnya menyambar seperti tongkat!
“Ihhh!” Siang In terkejut dan cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu lewat di dekat mukanya, dia mencium bau yang apek dan memuakkan.
Akan tetapi jenggot itu sudah datang kembali, maka terpaksa Siang In memperlihatkan kelincahannya dan balas menyerang dengan pukulan dan tendangan. Kembali kedua orang ini bertanding dengan seru. Akan tetapi sekali ini Siang In tak mampu mendesak seperti tadi ketika dia masih memegang pedang payungnya. Kini dia bertangan kosong dan kakek itu dapat mempergunakan jenggotnya yang panjang sebagai senjata! Dan hebatnya, jenggot itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar merupakan senjata yang amat berbahaya bagi Siang In.
Akan tetapi, beberapa kali ketika nyaris dara itu terkena totokan atau libatan jenggot ada saja kekuatan tersembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In terlolos dari bahaya. Siang In menjadi penasaran. Dia belum kalah dan dia belum membutuhkan bantuan siapa pun juga. Dia harus dapat mengalahkan kakek Nepal ini, akan tetapi bagaimana akalnya? Sukar menyerang kakek ini kalau jenggotnya masih merupakan senjata yang demikian ampuhnya.
Tiba-tiba Siang In mendapatkan akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan tiada hentinya mengejek, “Jenggotmu seperti jenggot kambing!”
Kakek itu menyerangnya dan kembali Siang In meloncat ke belakang.
“Jangan lari kau, bocah setan!” Gitananda membentak nyaring setelah beberapa kali serangannya hanya dielakkan sambil main mundur saja oleh dara itu.
“Jenggotmu bau apek, bau tahi kambing, aku tidak tahan!” Siang In kembali mengejek.
Kembali kakek itu mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang gerakannya kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu gagal. Akhirnya dia mengeluarkan seruan memekik nyaring seperti tadi dan tiba-tiba jenggotnya telah mulur lagi! Jenggot itu mulur panjang dan digunakan untuk menyerang, dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar bagi Siang In untuk mengelak lagi. Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu, yaitu memancing agar kakek itu memanjangkan lagi jenggotnya.
Ketika melihat jenggot itu menyambar dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap lambat, akan tetapi ketika ujung jenggot hendak melibat pinggangnya, dia meloncat ke atas dan ketika ujung jenggot lewat di bawah kakinya, dia mencengkeram dan berhasil menjambak ujung jenggot panjang itu. Tanpa membuang waktu lagi, dia mengerahkan ginkang-nya dan berlari secepatnya membawa ujung jenggot itu, lari mengitari kakek itu.
“Heee...!” Gitananda berteriak.
Akan tetapi dara itu tak peduli, terus saja berlari cepat sekali sehingga jenggot panjang itu mulai melibat tubuh Gitananda sendiri! Kakek itu meronta dan berusaha melepaskan rambut jenggotnya, akan tetapi Siang In berlari makin cepat, malah dia berloncatan dan terus melibatkan jenggot panjang itu ke leher Gitananda, terus membelenggu kedua lengannya sampai kakek itu tidak mampu berkutik. Siang In masih berlari terus, mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik sehingga jenggot itu mencekik leher dan ketika dara ini akhirnya melepaskan ujung jenggot, tubuh kakek itu roboh dengan kaku dan lidahnya terjulur keluar, matanya mendelik dan napasnya putus!
“Ihhh!” Melihat keadaan lawannya itu, Siang In bergidik ngeri dan dia lalu melarikan diri, lari neninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Sampai terengah-engah dia lari dan akhirnya dia menjatuhkan diri di atas rumput tebal dalam hutan, dadanya bergelombang dan wajah serta lehernya berpeluh.
Sementara itu, Kian Bu tidak pernah berhenti membayangi Siang In. Setelah melihat pertandingan antara dua orang ahli sihir itu, Kian Bu seperti orang terkena sihir! Tersihir oleh setiap gerak-gerik dara itu. Dia mengintai dan semua tingkah dan gerak-gerik Siang In mempesona, membuatnya kagum, membuatnya senang dan kini melihat dara itu menjatuhkan diri di atas rumput, mengusap keringat dan tiba-tiba kedua mata dara itu basah dan Siang In mulai terisak menangis, Kian Bu makin terpesona! Jantung Kian Bu berdebar tegang dan dia bingung melihat gadis itu menangis tanpa sebab. Mengapa menangis? Bukankah gadis itu keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang seru tadi? Apakah gadis itu terluka? Tidak, dia tidak melihat gadis itu terkena pukulan.
Memang Siang In bukan menangis karena terluka. Dara ini menangis karena hatinya mengkal dan kesal. Pedang payungnya rusak, dia kehilangan benda yang disayangnya, dan memikirkan betapa dia belum juga bertemu dengan orang yang dicarinya, sebaliknya malah bertemu dengan orang-orang lain seperti Ang-siocia dan Gitananda yang hampir saja mencelakainya, dia merasa sedih dan jengkel. Maka menangislah gadis ini, menangis sepuas hatinya untuk mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan hatinya yang bertumpuk selama ini.
Makin dikenang makin sedih dia akan nasib dirinya yang terlunta-lunta seorang diri. Apakah yang menyebabkan dia selalu gagal dan sial? Mencari-cari Kian Bu bertahun tahun belum juga dapat berkesempatan menyampaikan isi hatinya, setelah bertemu bahkan berpisah lagi. Bertemu dengan Syanti Dewi yang ditolongnya juga kemudian gagal melindungi puteri itu. Kemudian melihat Kian Bu demikian mesra dengan Hwee Li, dan bahkan dicari-cari oleh Ang-siocia.
Ahh, apakah sebaiknya dia kembali saja ke Goa Tengkorak di pantai Po-hai, bertapa bersama gurunya yang sudah tua, dan membiarkan dirinya menjadi pertapa sampai tua di dalam goa itu? Teringat akan hal ini, kembali Siang In menangis tersedu-sedu. Dara ini biasanya lincah jenaka, murah senyum dan gembira, dan wataknya itulah yang seolah-olah menutupi semua duka dan kecewa sampai kini sudah bertumpuk dan membanjir keluar melalui air matanya di tempat sunyi itu.
Tiba-tiba terdengar langkah halus disusul suara seseorang yang halus pula, “Nona, mengapa Nona begini berduka?”
Siang In terperanjat seperti mendengar suara setan. Dia sampai terlonjak dari atas rumput di mana dia duduk, cepat memutar tubuh dan memandang dengan muka pucat dan mata basah. Dari balik air matanya dia melihat wajah tampan dikurung rambut putih keperakan itu. Dia mengusap air matanya untuk dapat melihat lebih jelas. Benar! Siluman Kecil yang berdiri di depannya, kini berjongkok dan memandang dengan sinar mata penuh iba kepadanya. Kembali Siang In menggosok kedua matanya seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Jangan-jangan dia masih berada dalam pengaruh sihir kakek Nepal tadi, pikirnya dan setelah membuka mata kembali, ternyata memang Suma Kian Bu yang berada di depannya itu!
Melihat wajah yang demikian cantik jelita dekat di depannya, wajah yang agak pucat, rambut indah hitam awut-awutan, air mata masih menuruni kedua pipinya, Kian Bu terpesona dan hatinya tergerak, penuh keharuan. “Nona... mengapa engkau menangis di sini seorang diri? Apakah kau terluka dalam pertempuran tadi? Mengapa kau amat berduka?”
Suara pemuda itu demikian penuh perhatian dan penuh iba sehingga Siang In merasa hatinya tertusuk dan kini dia makin terisak! Dia menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergerak-gerak dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya. Suara halus yang menghibur itu malah membuatnya terharu dan makin berduka! Bertahun-tahun dia mencari pemuda ini, setelah dia hampir putus asa, tiba-tiba saja pemuda ini muncul di depannya, seperti dalam mimpi, dan menghibur dia seperti menghibur seorang anak kecil yang cengeng sedang menangis!
Melihat Siang In menangis makin sedih, Kian Bu menjadi bingung. “Kenapakah, Nona? Siapa yang menyakiti hatimu...?” tanyanya.
Akan tetapi Siang In tidak mampu menjawab, tersedu-sedu dan ketika dara itu bingung mencari saputangan di kedua sakunya tanpa hasil, tiba-tiba Kian Bu menyodorkan sapu tangannya, saputangan sutera berwarna biru muda. Tanpa berkata apa-apa Kian Bu menyodorkan saputangannya dan tanpa berkata apa-apa pula Siang In menerimanya dengan pundak masih terguncang oleh tangis, kemudian dia mempergunakan sapu tangan itu untuk mengusap air mata dan membersihkan hidungnya! Kian Bu mengikuti semua gerakan ini dengan hati tertarik dan rasa iba makin menebal.
Kini Siang In sudah dapat menguasai dirinya, tangisnya terhenti dan air matanya tidak mengucur lagi, sungguh pun mata dan terutama ujung hidungnya masih merah! Tanpa bicara pula dia menyerahkan kembali saputangan biru yang kini menjadi basah itu. Kian Bu menerimanya dan tanpa berkata apa-apa juga lalu menyimpan saputangan basah itu ke dalam saku bajunya.
“Jadi engkaukah kiranya yang menolongku tadi?” Tiba-tiba Siang In bertanya, biar pun suaranya masih agak serak-serak basah karena habis menangis, namun dia benar benar telah sembuh dari rasa mengkal dan kesalnya, kini memandang kepada Kian Bu dengan sepasang mata yang membuat Kian Bu tidak berani menentang terlalu lama!
Untuk menjawab pertanyaan itu, dia mengangguk. “Mengapa engkau menangis sedih seperti itu tadi?”
Akan tetapi Siang In seperti tidak mendengar pertanyaan itu karena sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, dia malah bertanya, pertanyaan tiba-tiba yang membuat Kian Bu memandang heran, “Sungguh tak pernah kusangka bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu! Apakah engkau Siluman Kecil?”
Kian Bu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk.
“Dan engkau Suma Kian Bu?”
Makin heranlah Kian Bu. Dara ini benar-benar aneh bukan main! Begini muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, begini cantik jelita, akan tetapi memiliki kekuatan sihir yang aneh! Juga wataknya begini luar biasa, baru saja menangis begitu sedih, sekarang sudah tidak kelihatan berduka lagi biar pun mata dan hidungnya masih merah. Hidung yang kecil mancung dan tipis itu kemerahan, menambah cantiknya!
“Heiii, bukankah engkau Suma Kian Bu? Apakah bukan? Kenapa diam saja?”
Kian Bu terkejut dan gagap. “Eh... ohhh... benar, Nona. Aku bernama Suma Kian Bu. Kenapa Nona bertanya lagi? Apakah kakakku tidak menceritakan kepadamu?”
Siang In hanya mengangguk dan semenjak tadi sepasang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu, memandang penuh selidik. Sudah bertahun-tahun dia ingin bertemu dengan orang ini, ingin bicara, mencurahkan semua isi hatinya, dan kini setelah berhadapan, timbul rasa takut yang amat besar di dalam hatinya, takut kepada diri sendiri! Bagaimana kalau dugaannya selama ini benar, bahwa... bahwa dia jatuh cinta kepada pendekar ini? Berubahnya keadaan Kian Bu, rambutnya yang menjadi putih semua, tidak mengubah perasaan hatinya, bahkan timbul semacam rasa iba yang besar, yang mengharukan hati Siang In. Akan tetapi, dia teringat akan hubungan Kian Bu dengan Hwee Li, kemesraan dan keakraban mereka, maka jantungnya berdebar penuh ketegangan.
“Mengapa Nona tadi menangis di sini setelah berhasil mengalahkan pendeta Nepal itu, jika aku boleh mengetahui?” kembali Kian Bu bertanya, agak mendesak karena hatinya masih merasa penasaran.
“Tadi aku menangis karena duka dan jengkel,” jawab Siang In tak acuh.
“Ahhh! Kusangka engkau sakit...,“ berkata Kian Bu, membayangkan keinginan hatinya bahwa dia ingin tahu mengapa nona itu berduka dan jengkel.
Siang In bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang agak kotor karena pertempuran tadi, lalu otomatis kedua tangannya diangkat ke atas untuk membereskan rambutnya yang awut-awutan. Gerakan ini adalah ciri khas wanita, gerakan yang manis sekali karena ketika kedua lengan diangkat itu, tubuh yang ramping dan padat itu makin menonjol dan kedua lengan itu membentuk lengkung-lengkung indah, jari-jari tangan yang lentik itu pun seperti menari-nari di antara rambut yang hitam halus dan panjang.
Kembali Kian Bu memandang terpesona. Biasanya, tidak pernah dia memperhatikan wanita, akan tetapi entah mengapa, kini dia memperhatikan setiap gerakan dara ini, seolah-olah setiap gerakan yang betapa kecil pun amat berarti baginya.
“Akan tetapi sekarang aku tidak berduka atau jengkel lagi, dan aku sama sekali tidak sakit. Lihat, aku sudah tidak menangis lagi!” Dan dara itu tersenyum manis.
Melihat bibir itu merekah kemerahan, memperlihatkan kilatan gigi berderet rapi yang nampak sekilas, Kian Bu melongo dan tanpa disengaja atau disadarinya lagi pemuda ini menelan ludahnya.
Bukan main dara ini, bukan main anehnya dan manisnya! Baru saja menangis demikian sedihnya, kini sudah tersenyum secerah itu. Seperti hari hujan lebat tiba-tiba menjadi terang dan matahari bersinar amat cerahnya.
“Ehhh, Kian Bu, di mana itu temanmu yang cantik?” tiba-tiba saja dara itu bertanya, sampai pemuda itu terkejut dibuatnya.
“Teman cantik? Siapa?” kata Kian Bu.
“Aih, masih pura-pura lagi! Siapa pula kalau bukan Hwee Li yang cantik itu? Bukankah dia itu sahabat baikmu dan bukankah engkau sudah mengejarnya ketika mendengar dia dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu? Apakah engkau tidak berhasil menolongnya?”
Kian Bu menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekhawatiran. Itulah yang menjadi pengganjal hatinya sejak dia mencari kakaknya. Dia tahu bahwa Kian Lee mengejar Pangeran Nepal untuk menolong Hwee Li, akan tetapi sampai kini dia tidak berhasil menemukan mereka dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Hwee Li yang dilarikan Pangeran Nepal. Melihat pemuda itu menarik napas panjang dan wajahnya muram, Siang In tersenyum mengejek untuk menutupi perasaan hatinya yang panas oleh cemburu!
“Engkau tentu mencinta sekali kepada Hwee Li, bukan? Dan engkau khawatir akan keselamatannya?”
Mendengar ini, Kian Bu lalu teringat betapa dara ini amat membenci Hwee Li, atau sebaliknya Hwee Li membenci dara ini karena cemburu, maka mendengar ucapan itu dia cepat menjawab, “Harap Nona jangan salah mengerti. Hwee Li adalah seorang sahabat baikku, tentu saja aku merasa khawatir mendengar dia dilarikan Pangeran Nepal. Akan tetapi tidak ada perasaan saling cinta antara kami seperti yang Nona sangka itu.”
Jawaban ini benar-benar menyenangkan hati Siang In dan senyumnya makin cerah, lalu dia berkata, “Ahhh, kalau begitu aku telah berdosa terhadap Hwee Li! Kiranya dia seorang yang setia terhadap cintanya. Kian Bu, aku sudah salah sangka sehingga aku merasa kasihan kepada Kian Lee dan membenci Hwee Li.”
“Mengapa begitu, Nona?”
“Ih, engkau ini menjemukan! Nona-nonaan segala macam, seperti kita ini belum pernah berkenalan saja!”
Kian Bu menahan senyumnya. Memang dara ini luar biasa sekali, tiada keduanya di dunia ini. Begitu lucu! Padahal, memang dia belum pernah berkenalan dengan dara ini, mengapa sikap dara ini demikian polos terbuka? Akan tetapi, dia tidak mau membikin hati gadis itu tidak senang, maka katanya lagi, “Mengapa tadinya engkau merasa kasihan kepada Lee-ko dan membenci... Enci Hwee Li?”
“Karena kusangka engkau dan Hwee Li sudah saling jatuh cinta!”
Berdebar rasa jantung Kian Bu. “Andai kata benar begitu, mengapa?” Dia mendesak, menatap wajah yang ayu itu penuh perhatian dan penuh selidik.
Siang In juga memandang. Dua pasang mata bertemu, akan tetapi Siang In kemudian membuang muka. “Mengapa? Tentu saja aku kasihan kepada Kian Lee karena cintanya terhadap Hwee Li menjadi sia-sia, dan aku membenci Hwee Li karena berarti dia gadis tidak setia. Akan tetapi syukur, engkau dan dia tidak saling mencinta!”
Ucapan ini membuat jantung Kian Bu makin berdebar girang. “Kalau begitu... kalau begitu... kami, aku dan Hwee Li juga salah sangka! Kami mengira bahwa antara engkau dan Lee-ko...“
“Ya, ada apa? Bicara mengapa gagap-gugup begitu? Beginikah Pendekar Siluman Kecil yang terkenal itu? Bicara saja takut!”
“Kami berdua tadinya mengira bahwa kalian sudah saling cinta. Ahhh, kiranya tidak, sungguh gembira hatiku!” Kian Bu berkata, wajahnya berseri-seri.
Kini Siang In yang memandang penuh selidik, demikian tajam sinar kedua matanya yang jeli dan mempunyai kekuatan sihir itu sehingga Kian Bu teringat akan sinar mata ayahnya.
“Kenapa begitu? Kenapa kau gembira? Kenapa hatimu gembira mendengar bahwa aku dan Kian Lee tidak saling mencinta?”
Kian Bu terkejut. Tentu saja dia tidak berani mengatakan bahwa dia girang karena dengan demikian berarti bahwa hati Siang In masih ‘bebas’, maka dia cepat berkata, “Sama dengan alasanmu tadi. Aku gembira karena hubungan cinta kasih antara Kian Lee koko dan Enci Hwee Li tidak menjadi putus.”
“Hemmm, kukira...” Siang In menundukkan mukanya, tangannya memetik ujung rumput dan jari-jari tangannya mempermainkan rumput itu.
“Kau kira apa, Nona?”
Sepasang mata itu mengerling tajam penuh tuntutan, Kian Bu terperanjat karena ingat bahwa kembali dia memanggil nona. Akan tetapi dia merasa sungkan untuk menyebut nama gadis itu.
“Ehhh, kau kira apa?” Kian Bu mengulang, tanpa menyebut nama apa pun di belakang pertanyaan itu.
Siang In tersenyum. “Tidak apa-apa...”
Keduanya terdiam. Siang In masih menunduk dan kini melangkah lambat ke arah sebatang pohon, lalu bersandar ke pohon itu, matanya dipejamkan. Kian Bu juga melangkah mengikutinya, akan tetapi pemuda ini tidak tahu lagi harus berkata apa. Berada di dekat dara ini dia merasa canggung, bingung, akan tetapi juga gembira dan senang sekali. Seolah-olah dia baru mengenal dara ini, akan tetapi juga hatinya was was karena dia takut kalau-kalau tidak menyenangkan hati dara yang lucu dan aneh ini.
Hening keadaan di situ. Kian Bu memandang wajah yang bersandar batang pohon dengan mata terpejam. Wajah yang cantik molek. Kulit pipinya halus kemerahan, hidungnya kecil lucu, dan dia seolah-olah dapat merasakan napas hangat yang keluar dari hidung dan bibir yang setengah terbuka itu. Tiba-tiba Siang In membuka matanya dan Kian Bu yang sedang bengong memandang wajahnya itu gelagapan, cepat menundukkan mukanya, pura-pura menendang-nendang batu kecil dengan sepatunya.
Dia merasa heran mengapa dia menjadi begini kikuk di depan dara ini, padahal dia bukan anak kecil lagi. Sama sekali bukan. Bahkan dia sudah pernah berhubungan erat dengan wanita, dalam arti sedalam-dalamnya, yaitu ketika untuk beberapa lamanya dia tenggelam dalam peluk rayu Siluman Kucing. Dia sudah cukup dewasa, akan tetapi mengapa berhadapan dengan dara ini dia merasa seperti seorang anak kecil?
“Tak kusangka sama sekali bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu,” terdengar dara itu berkata dan Kian Bu cepat mengangkat muka memandang. “Kalau aku tahu, tentu sudah dulu-dulu aku dapat menjumpaimu.”
“Sekarang kita sudah saling jumpa,” kata Kian Bu, mencoba untuk tersenyum dan membesarkan hatinya mengusir rasa canggung.
Dara itu rnenarik napas panjang. “Kian Bu, tahukah engkau betapa sudah bertahun tahun lamanya aku menginginkan pertemuan ini? Betapa aku mencari-carimu sampai bertahun-tahun, sampai aku pergi ke Bhutan dan menjelajahi seluruh negeri, mencari-carimu?”
Tentu saja hati Kian Bu merasa heran bukan main mendengar pengakuan ini. Biar pun dia amat tertarik kepada dara ini, begitu bertemu, yaitu ketika dara ini berkelahi dengan Hwee Li secara mati-matian, dia sudah tertarik sekali kepada dara ini. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Teng Siang In, dara yang ketika beberapa tahun yang lalu sudah nampak cantik jelita dan lincah jenaka, apa lagi karena dia pernah mencium dara ini. Mana mungkin dia dapat melupakan Siang In?
Akan tetapi, dia harus mengaku terus terang bahwa selama ini dia tidak pernah lagi memikirkan Siang In, dan peristiwa yang lalu itu dianggapnya sudah lewat begitu saja, sampai pada saat dia bertemu kembali dengan Siang In ketika Siang In bertanding melawan Hwee Li. Barulah perhatiannya tertarik dan pengalaman-pengalaman yang lalu bersama Siang In teringat olehnya, membuat dia merasa canggung sekali. Akan tetapi kini mendengar betapa dara itu mencarinya selama bertahun-tahun jauh ke Bhutan, dia benar-benar merasa terkejut dan heran sekali.
“Engkau? Mencariku selama bertahun-tahun? Sungguh nengherankan sekali! Siang In, ada urusan apakah engkau mencari-cariku?” Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai berkurang rasa canggung yang menghimpit hati Kian Bu, sungguh pun dia masih seperti terpesona oleh segala gerak-gerik dara ini.
Dara ini adalah seorang kenalan lama, akan tetapi seperti seorang sahabat baru saja bagi Kian Bu. Dulu, di waktu dia berjumpa dan berkenalan dengan Siang In, dara ini masih merupakan seorang dara remaja, akan tetapi sekarang Siang In telah dewasa, sungguh pun masih belum kehilangan kelincahannya, kegalakannya dan keanehan wataknya. Dulu, dara ini suka sekali menggoda orang, mengejek dan menirukan gerak gerik orang.
Mendengar pertanyaan Kian Bu itu tiba-tiba saja sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar marah. “Engkau sudah lupa ataukah engkau pura-pura lupa akan perbuatanmu yang biadab beberapa tahun yang lalu, yang kau lakukan kepadaku?”
Seketika wajah Kian Bu rnenjadi merah sekali dan kembali dia menjadi gelisah, gugup dan canggung! Jantungnya berdebar tegang dan tentu saja dia tahu persis apa yang dimaksudkan oleh dara itu! Ah, celaka sekali. Kiranya ciumannya dahulu itu menggores perasaan dara ini dan agaknya hal itu dijadikan dendam yang hebat oleh Siang In!
Dengan muka masih merah sekali dan pandang mata hampir tidak berani bertemu dengan sinar mata dara itu, Kian Bu berkata, kepalanya menunduk, suaranya terdengar penuh penyesalan besar, “Aihhh... itukah maksudmu? Memang... aku menyesal sekali, aku mohon maaf sebesarnya atas kelancangan dan kekurang ajaranku itu, Siang In, akan tetapi, hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, pada saat kita masih... ehhh, sama-sama belum dewasa benar. Aku sungguh-sungguh menyesal dan harap kau suka memafkanku...“
“Maafkan, setelah selama bertahun-tahun aku tak pernah dapat melupakan penghinaan itu! Maafkan begitu saja? Aih, terlalu enak di situ dan celaka di sini kalau begitu! Susah payah aku mencarimu bertahun-tahun, setelah sekarang dapat saling jumpa, hanya cukup dengan maaf-memaafkan begitu saja?”
Kian Bu menarik napas panjang, hatinya merasa menyesal dan berduka sekali. Siapa duga, kenakalannya di waktu remaja itu agaknya kini akan mempunyai akibat yang hebat pula! Dara yang menarik hatinya ini, yang benar-benar membangkitkan rasa kagum dan suka di hatinya, ternyata mengandung dendam hebat kepadanya dan bahkan tidak bersedia memaafkan! Memang hidupnya selalu dirundung malang dan agaknya memang dia harus selalu menderita dalam asmara.
Pertama-tama dia merasakan hati kiamat untuk pertama kalinya ketika cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi tidak terbalas karena Puteri Bhutan itu mencinta Tek Hoat. Kemudian dia terbenam ke dalam pelukan seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li, Siluman Kucing, yang sama sekali hanya mendasarkan hubungan antara mereka karena nafsu birahi semata sehingga dia terseret ke dalam gelombang nafsu birahi yang menghanyutkan. Hal itu pun mendatangkan penyesalan yang amat hebat di dalam hatinya. Setelah itu, dia harus pula melihat kehancuran hati seorang dara yang amat baik, yaitu Phang Cui Lan, karena dia tidak dapat memaksa diri membalas cinta dara yang bijaksana itu. Dan masih ada lagi Ang-siocia yang dia lihat ada gejala jatuh cinta kepadanya pula, dan juga dia tidak mungkin dapat membalas cinta murid Raja Maling itu.
Kini, setelah dia tertarik secara hebat kepada Siang In, dara yang di waktu remajanya memang pernah menarik hatinya tetapi karena ketika itu Siang In masih merupakan seorang dara remaja, maka hal itu tidak berkesan mendalam di hatinya, setelah kini dia merasa suka sekali, mungkin jatuh cinta kepada Siang In, dara ini malah menyimpan dendam sakit hati kepadanya karena kenakalannya dahulu, yaitu mencium dara ini, ciuman yang sesungguhnya ketika itu tidak berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi yang sekarang, setelah timbul rasa kagumnya terhadap Siang In, agaknya menjadi hidup kembali dan mendatangkan kesan yang amat mendalam.
“Aku sudah salah... aku sudah berdosa besar, terserah kepadamu, hendak memberi hukuman apa kepadaku kalau engkau tidak dapat memaafkan aku, Siang In,” katanya dengan nada sedih dan muka tunduk sehingga dia tidak melihat betapa sinar mata yang tadinya keras dari dara itu kini melembut, bahkan nampak dara itu seperti terharu.
“Selama bertahun-tahun ini aku mencarimu untuk... untuk membunuhmu!”
Tersentak Kian Bu mengangkat mukanya dan terbelalak. “Membunuhku...? Hanya untuk kesalahan men... eh, menciummu itu...? Siang In, engkau agak terlalu keras! Memang aku bersalah dan aku menyesal, aku minta maaf, tetapi engkau hendak membunuhku? Ini sih... keterlaluan...“ Wajah pemuda itu berubah agak pucat karena dia merasa penasaran.
“Memang tadinya aku ingin membunuhmu, sungguh pun aku tahu bahwa tidak mungkin aku akan dapat melakukannya. Kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada semua ilmu yang kumiliki, bahkan guruku sendiri sekali pun takkan mampu menandingimu. Biar pun begitu, aku tetap akan berusaha membunuhmu karena apa yang kau lakukan itu hanya dapat dicuci dengan melayangnya nyawamu atau nyawaku.”
Kian Bu terkejut bukan main, wajahnya menjadi pucat. “Ahhh, Siang In, mengapa pikiranmu demikian sempit? Urusan yang telah lalu itu terjadi ketika kita masih remaja dan aku... aku masih belum dewasa. Mengapa kau jadikan soal yang demikian hebat? Tidak bisakah engkau memaafkan aku?”
Dara itu menyandarkan punggungnya di atas batang pohon dan sejenak dia menatap wajah Kian Bu penuh perhatian, lalu dia menarik napas. “Memang aku sudah meragu, dan agaknya hanya ada dua pilihan bagiku, membunuhmu atau memaafkanmu. Akan tetapi untuk itu, aku harus yakin dulu dan inilah yang membuat aku selama bertahun tahun ini ragu-ragu dan selama hidupku akan selalu meragu kalau tidak ada keyakinan sekarang juga selagi kita bertemu. Hee, Kian Bu! Benar-benarkah engkau menyesali perbuatanmu dahulu itu? Benarkah engkau menyesal dan minta maaf bahwa engkau dahulu pernah menciumku?”
Timbul harapan di dalam hati Kian Bu. Tadinya dia sudah khawatir setengah mati. Dara seaneh Siang In ini mungkin saja melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya, kalau tidak berhasil membunuhnya mungkin saja akan membunuh diri untuk ‘mencuci aib’ dan kalau sampai terjadi demikian, tentu selama hidupnya dia akan merana dan merasa berdosa. Dan dia... dia malah mulai tertarik dan mencinta dara ini! Maka, mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siang In!
“Siang In, demi Langit dan Bumi, aku sungguh merasa menyesal dengan perbuatanku beberapa tahun yang lalu itu, dan aku mohon maaf kepadamu atas perbuatanku itu,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh karena memang dia rela minta maaf seperti itu dari pada harus melihat dara itu mati di tangannya atau mati membunuh diri!
Dia menundukkan mukanya sehingga tidak melihat betapa perbuatannya itu membuat wajah yang cantik itu sejenak berseri dan matanya bercahaya! Akan tetapi hanya sebentar saja karena sambil bersandar kepada batang pohon itu, Siang In berkata dengan suara seperti orang yang sama sekali tidak tertarik atau bahkan kesal melihat sikap Kian Bu yang berlutut kepadanya mohon maaf itu!
“Tidak begitu mudah untuk memaafkan dan menghabiskan persoalan itu begitu saja! Aku harus yakin dulu dan untuk membuktikan penyesalanmu, engkau harus dapat memenuhi permintaanku.” Suaranya terdengar keras dan tenang, akan tetapi suara itu agak gemetar, tanda bahwa di balik ketenangannya, dara itu hendak menyembunyikan perasaan tegangnya.
Mendengar ini, Kian Bu meloncat berdiri, timbul harapannya. “Baik, aku akan memenuhi semua permintaanmu, Siang In! Katakanlah, apa yang harus kulakukan?” Kian Bu maklum sepenuhnya bahwa kesanggupan seperti itu merupakan kebodohan, akan tetapi kesanggupannya itu tidaklah ngawur, karena berdasarkan keyakinan hatinya bahwa seorang gadis gagah perkasa seperti Siang In, yang sudah bersahabat erat dengan kakaknya, tentulah merupakan seorang gadis yang berjiwa luhur dan tidak akan minta dia melakukan suatu kejahatan.
Dengan sikap ditenang-tenangkan, namun matanya sayu dan suaranya gemetar, juga tangan yang menunjuk ke mukanya sendiri itu menggigil, berkatalah Siang In, “Kian Bu... kau... kau harus mencium bibirku seperti dulu!”
Wajah Kian Bu menjadi pucat dan matanya memandang terbelalak kepada wajah dara itu, tangan kanan mengusap dagu penuh keheranan. Hampir dia tidak percaya akan apa yang didengarnya keluar dari mulut gadis itu. Minta dicium bibirnya? Bagaimana pula ini? Sedangkan ciumannya beberapa tahun yang lalu itu saja membuat dara ini menjadi sakit hati dan menaruh dendam sampai bertahun-tahun mencarinya untuk membunuhnya. Bagaimana sekarang dara itu minta dicium lagi? Gilakah dara cantik jelita ini? Atau... jangan-jangan dara ini telah tersesat sedemikian jauhnya, menjadi wanita cabul semacam Mauw Siauw Moli? Celaka!
Akan tetapi, dara itu kelihatan wajar saja, sepasang matanya bahkan kelihatan betapa dara itu menahan kengerian, senyumnya hilang dan tubuhnya menggigil, tanda bahwa apa yang dimintanya merupakan hal yang sama sekali asing baginya dan dia merasa ngeri dan takut. Akan tetapi, kalau dara ini tidak gila dan bukan seorang wanita yang cabul, mengapa mengajukan permintaan seperti itu?
“Siang In...“ Kian Bu mendengar suaranya sendiri dengan perasaan heran karena suaranya itu menjadi bisik-bisik dan agak parau penuh perasaan tegang, “... apa artinya ini...?”
Suara Siang In sekarang juga berbisik-bisik dan parau, jelas suara itu menggetar penuh ketegangan, suara yang dipaksakan keluar karena sesungguhnya, saking tegangnya dara itu sudah merasa amat sukar untuk bicara, “Hanya... ini sajalah... yang dapat menentukan... apakah aku akan membunuhmu atau memaafkanmu...“
Setelah berkata demikian, sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon itu, Siang In memejamkan matanya, agaknya tidak kuat lagi dia menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata penuh selidik, penuh pertanyaan, dan penuh keheranan itu.
Kian Bu mengerutkan alisnya, otaknya bekerja cepat. Akhirnya dia tak dapat berbuat lain kecuali menuruti permintaan gila itu. Dia masih belum tahu mengapa dara ini mendasarkan pilihannya kepada ciuman! Akan tetapi karena dia sudah menyatakan sanggup untuk melakukan apa saja yang diminta Siang In, maka tidak mungkin dia menarik kembali janjinya.
Dia sudah matang memperoleh ‘pendidikan’ Siluman Kucing sehingga mencium bukan merupakan hal yang terlalu aneh baginya. Akan tetapi, sekali ini, Kian Bu menggigil, tubuhnya terasa panas dingin dan kepalanya terasa puyeng! Dia merasa seperti terkena sihir yang amat kuat, maka cepat dia mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk mengusir perasaan itu. Namun, dia tidak tersihir, tenaga sinkang-nya tidak berhasil mengusir sesuatu karena memang ketegangannya itu sudah sewajarnya, datang dari dalam.
Amat berat rasanya melaksanakan tugas ini! Dia tertarik kepada Siang In, bahkan dia merasa jatuh cinta. Tentu saja, untuk mencium dara ini merupakan hal yang amat menyenangkan, jangankan satu kali, biar disuruh menciumnya seribu kali pun dia sanggup. Akan tetapi bukan dalam keadaan seperti ini! Bukan ciuman untuk percobaan atau untuk ujian belaka! Dan dia masih belum juga mengerti mengapa dara yang mendendam sakit hati karena pernah diciumnya lagi untuk meyakinkan hatinya apakah dia akan membunuh atau memaafkan! Sungguh tak masuk akal dan gila! Namun, tidak ada pilihan lain bagi Kian Bu.
Kian Bu melangkah maju, lalu diraihnya kedua pundak dara itu, ditariknya mendekat. Merasa betapa kedua pundaknya disentuh, Siang In makin keras memejamkan matanya, kedua kakinya menggigil dan napasnya terengah-engah, jelas bahwa dara itu merasa tegang bukan main. Wajahnya ditengadahkan, mulutnya agak terbuka karena napasnya tersengal-sengal.
Melihat wajah yang demikian cantiknya, mulut yang demikian menggairahkan, dan kedua pundak yang lembut di bawah telapak tangannya, jantung Kian Bu berdebar. Biar apa pun yang akan terjadi, biar akibatnya dia akan dibunuh atau dimaafkan, dia harus mencurahkan segenap perasaannya sekarang juga. Gadis ini minta dicium, baik, dia akan menciumnya dengan sepenuh perasaan hatinya, sepenuh kemesraannya, akan dicurahkan rasa birahi dan kasih sayangnya dalam ciuman itu!
Didekapnya tubuh itu, dirangkulnya sampai tubuh bagian depan mereka bertemu ketat, kemudian Kian Bu mendekatkan mukanya dan perlahan-lahan diciumnya sepasang bibir yang setengah terbuka itu, diciumnya dengan penuh perasaan dan sepenuh kemesraan yang terkandung di dalam hatinya terhadap Siang In. Seketika naik sedu sedan dari dalam dada Siang In dan kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan, akan tetapi kedua tangan dara itu tiba-tiba merangkul leher Kian Bu dan bibirnya membalas ciuman itu. Keduanya seperti tenggelam bersama ke dalam ciuman itu, merasa seolah-olah hati mereka saling bertemu, bertaut dan bersatu.
“Siang In...!” Seluruh lahir batin Kian Bu mengeluh dan memanggil nama ini, ciumannya makin mesra, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut sekali karena kalau tadinya Siang In merangkulnya dan membalas ciumannya penuh gairah, kini tiba-tiba dara itu menjadi lemas dalam pelukannya. Ketika dia melepaskan ciumannya untuk memandang wajah itu, terdengar dari mulut dara itu keluhan lirih dan wajahnya pucat sekali, matanya terpejam dan tubuhnya lunglai. Melihat bahwa dara itu telah pingsan, Kian Bu terkejut setengah mati!
“Siang In...!” Kini mulutnya yang memanggil nama ini untuk membangunkannya, akan tetapi dara itu tetap pingsan, seperti orang tidur pulas, dan detak jantungnya lemah sekali.
Kian Bu cepat memeriksa pukulan nadi dan detakan jantung, dan dia menjadi gelisah ketika melihat bahwa keadaan tubuh dara itu lemah sekali. Cepat dipondongnya tubuh itu, lalu direbahkannya di atas rumput hijau dan dengan penuh kekhawatiran, dia lalu menempelkan telapak tangannya di atas perut, dekat ulu hati dan disalurkannya tenaga yang hangat untuk membantu bekerjanya perjalanan darah dan pernapasan gadis itu yang amat lemah!
“Siang In... ahhh, Siang In..., maafkan aku... maafkan aku...!” Kian Bu meratap penuh kekhawatiran dan sekarang dia yakin benar bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, bukan hanya baru sekarang, bahkan mungkin semenjak mereka bertemu beberapa tahun dahulu, ketika mereka masih sama remaja, dalam sebuah hutan.
Dia sungguh merasa bingung dan heran terhadap dara ini, apa lagi ketika dia melihat bahwa Siang In memegang sebuah pisau yang amat tajam runcing, pisau kecil yang tadi tentu dipegangnya dan kalau dara itu menghendaki, ketika mereka berpelukan dan berciuman tadi, sekali tusuk saja tentu akan tewaslah Kian Bu! Betapa pun saktinya dia, dalam keadaan berpelukan dan berciuman tadi, dia tentu menjadi lengah dan sama sekali tidak akan mampu menghindarkan tusukan pisau itu. Akan tetapi, dara ini tidak menyerangnya dan bahkan pingsan! Ini saja sudah menjadi bukti bagi Kian Bu bahwa dara itu tidak hendak membunuhnya, berarti mengampuninya!
“Siang In... sadarlah..., kau maafkan aku...,“ bisiknya dan sekali ini, terdorong oleh rasa haru dan sayangnya, dia mendekatkan mukanya dan dengan sepenuh kasih hatinya, dia mencium dahi dara itu yang agak basah oleh keringat.
“Kian Bu...“ Suara itu lemah menggetar dan Kian Bu girang bukan main, melihat dara itu telah membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, sepasang mata indah itu seperti terkatup, atau setengah terpejam, dan dua sinar mata yang aneh memancar dari balik bulu mata hitam lentik yang setengah menyembunyikan mata itu.
“Siang In... kau... kau tidak apa-apa, bukan? Kau... kau maafkan aku, bukan?”
Siang In tersenyum. Bukan main manisnya, biar pun wajahnya masih pucat dan bibirnya agak gemetar, seperti seekor kelinci yang baru saja terlepas dari ancaman harimau.
“Kini tak perlu lagi engkau minta maaf, Kian Bu. Lihat, aku tidak akan membunuhmu dan aku memaafkan sudah, aku malah bersyukur akan hal yang telah terjadi itu.” Dan sekali menggerakkan tangannya, pisau tajam runcing itu melesat dan lenyap ke dalam semak semak.
“Tringgg...!” Pisau itu mencelat, lalu membalik dan meluncur ke arah Siang In dengan kecepatan kilat.
“Ahhh!” Kian Bu menggerakkan tangannya dan sekali mengibaskan tangan, pisau kecil itu melesat ke bawah masuk ke dalam tanah sampai tidak lagi nampak gagangnya. Pemuda ini cepat membalikkan tubuh memandang ke arah semak-semak, dan Siang In juga sudah meloncat bangun dan memandang ke arah semak-semak itu dengan mata terbelalak.
Dari dalam semak-semak itu keluarlah seorang wanita. Siang In dan Kian Bu terlonjak kaget melihat wanita cantik ini, cantik pesolek yang berdiri tersenyum mengejek kepada mereka. Siang In samar-samar masih mengenal wanita ini, dan bagi Kian Bu, perjumpaannya dengan wanita ini benar-benar amat mengejutkan hatinya. Bagaimana dia tidak akan terkejut ketika mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Siluman Kucing?
Mauw Siauw Mo-li yang bernama Lauw Hong Kui itu benar-benar luar biasa sekali. Usianya sekarang tentu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik jelita. Pakaiannya rapi dan indah, rambutnya digelung halus dan dihias intan permata, mukanya yang cantik itu dibedaki dan yang perlu warna merah dipoles gincu. Tubuhnya masih ramping padat, dan terutama sekali gayanya ketika dia melangkah maju, lenggangnya sungguh memikat seperti lenggang seekor harimau kelaparan! Sepasang matanya seperti hendak menelan Kian Bu bulat-bulat, penuh dengan rayuan.
Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, wanita cantik ini pernah berhasil merayu dan membujuk Kian Bu beberapa tahun yang lalu ketika Kian Bu masih remaja, sehingga pemuda itu terjatuh ke dalam pelukan wanita cabul ini. Akhirnya Kian Bu insyaf dan menjauhkan diri, namun betapa pun juga, wanita pertama yang pernah dikenalnya sebagai teman bermain cinta ini tentu saja selalu masih mendatangkan kenangan padanya dan betapa pun juga, dia tidak dapat membenci wanita yang dia tahu amat mencintanya lahir batin ini. Maka, melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li, tentu saja Kian Bu menjadi terkejut dan makin khawatirlah dia karena sekarang dia tahu bahwa sejak tadi wanita cabul ini mengintai dan melihat perbuatannya ketika dia saling berciuman dengan Siang In tadi.
Dan Siang In juga ingat akan wanita ini, yang semenjak dahulu tak pernah disukainya, dianggapnya seorang wanita perayu yang cabul dan menjemukan. Dia mengenal wanita iblis cabul yang lihai ini, maka dia pun kaget melihat kemunculannya yang tidak terduga sama sekali dan wajahnya yang tadinya pucat seketika menjadi merah ketika dia teringat bahwa perbuatannya bersama Kian Bu tadi tentu terlihat oleh wanita cabul ini yang sejak tadi telah bersembunyi di balik semak-semak. Kalau saja dia tahu bahwa iblis betina ini tadi bersembunyi di dalam semak-semak itu, tentu dia akan melontarkan pisaunya dengan tenaga sepenuhnya!
Melihat Kian Bu memandangnya dengan alis berkerut dan dara jelita itu memandangnya dengan mata terbelalak, keduanya jelas memperlihatkan sikap tidak senang, Mauw Siauw Mo-li malah tertawa. Suara ketawanya merdu, mengandung suara seperti seekor kucing, dan gayanya memikat sekali, kemudian lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor kucing habis makan daging dan darah, dan gerakan bibir yang dijilat-jilat lidah ini amat menggairahkan karena memang dimaksudkan untuk membangkitkan birahi pria yang memandangnya.
“Hi-hi-hik, setelah mendapatkan baju baru lalu mencampakkan baju lama, setelah menemukan makanan baru lalu melupakan kelezatan makanan lama, itulah watak laki laki dan agaknya engkau tidak terkecuali, Kian Bu! Mendapatkan kekasih baru, lupa kepada kekasih lama. Hi-hi-hik, dan tak kusangka bahwa pemuda tampan yang kini sudah berjuluk Pendekar Siluman Kecil kiranya hanya seorang laki-laki pembosan.”
Sinar mata Kian Bu menyambar dan kalau saja sinar mata itu dapat dipergunakan untuk menyerang, tentu Siluman Kucing itu sudah menghadapi serangan maut!
“Mauw Siauw Mo-li, mau apa engkau datang mengacau di sini? Pergilah sebelum aku hilang sabar dan menghalaumu dengan kekerasan!” bentak Kian Bu, mukanya sudah menjadi merah sekali. Dia memang tidak mungkin membenci wanita ini yang bagaimana pun juga pernah menghiburnya, namun melihat wanita itu bersikap mengejek di depan Siang In, tentu saja dia menjadi marah dan tidak ingin wanita itu bicara yang bukan bukan seperti itu.
“He-he-he, engkau marah, Kian Bu? Sekarang engkau marah, akan tetapi beberapa tahun yang lalu... hemmm, di atas kereta itu, lupakah...”
“Tutup mulutmu yang kotor! Dan pergilah!” bentak Kian Bu sambil melangkah maju setindak, kedua tangan dikepal dan sinar matanya penuh ancaman.
Tentu saja dia marah karena wanita cabul itu mengingatkan betapa dulu di atas kereta anak buah Lembah Bunga Hitam, dia dan wanita cabul itu telah bermain cinta dengan mesra! Diingatkan akan hal yang amat memalukan hatinya itu, apa lagi di depan Siang In, benar-benar membuat dia naik darah!
“Hemmm, hendak kulihat apakah pendekar yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil itu benar-benar tega membunuhku dan melupakan segala-galanya,” kata wanita itu dan pada saat itu terdengar suara dahsyat dari jauh.
“Sumoi, memang dia itu laki-laki tak tahu malu, perayu jahat! Puteriku pun dirayunya sampai habis-habisan dan sekarang malah puteriku diculik oleh kakaknya. Memang anak-anak Pendekar Siluman Pulau Es ini kurang ajar sekali dan harus dibasmi habis!” Maka muncullah seorang kakek raksasa yang ganas, yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo!
Melihat munculnya kakek ini, Kian Bu makin marah. “Bagus! Kalian dua orang manusia iblis, selalu melakukan kejahatan di dunia ini dan sudah sepatutnya kalau aku turun tangan melenyapkan kalian!”
“Kian Bu, kalau aku tidak dapat mendapatkan tubuhmu, biarlah kuperoleh nyawamu! Suheng, mari kita bunuh dia, baru nanti dara itu kuhadiahkan kepadamu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Sinar hijau pedangnya meluncur cepat ke arah Kian Bu.
Mendengar kata-kata itu, lenyaplah sisa-sisa kenangan dan perasaan lembut di dalam hati Kian Bu terhadap wanita itu dan dengan cepat dia mengelak, lalu balas menyerang dengan dorongan tangan kiri ke arah perut wanita itu. Mauw Siauw Mo-li sudah mengenal kelihaian Kian Bu, apa lagi setelah pemuda ini berjuluk Siluman Kecil yang sakti dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw, maka dia tidak berani lengah. Cepat dia meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh.
Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo yang membenci semua orang Pulau Es, mengeluarkan teriakan dahsyat dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan golok gergaji di tangan kanan. Bacokan golok yang mempunyai gerakan berputar ini disusul tamparan tangan kiri yang mengeluarkan uap hitam. Tamparan ini bahkan lebih dahsyat dari pada senjata golok gergajinya yang mengerikan itu, karena pukulan itu adalah salah satu jurus dari Ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang sangat ampuh, suatu ilmu yang diperolehnya dari kitab curian milik Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok dari Gurun Pasir Go-bi.
Namun Pendekar Siluman Kecil sudah melesat dan menghindarkan diri dari serangan raksasa itu dengan kecepatan kilat, tubuhnya berkelebat seperti kilat, bahkan dia sudah membalas serangan itu dengan kontan, menerjang dari atas setelah tubuhnya tadi melesat naik seperti burung terbang. Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengelak sambil memutar goloknya, bayangan Kian Bu sudah mencelat ke arah Mauw Siauw Mo-li dan menyerang dengan tendangan kilat yang hampir saja mengenai lengan wanita cabul itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat. Tingkat kepandaian Siluman Kecil Suma Kian Bu pada waktu itu sudah amat tinggi sehingga andai kata dia harus melawan dua orang kakak beradik seperguruan itu satu lawan satu, maka kiranya dia akan berhasil merobohkan lawan dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dua orang manusia iblis itu maju bersama dan karena mereka itu adalah kakak dan adik seperguruan, tentu saja mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik. Mereka saling mengenal dasar gerakan mereka yang sesumber, maka kerja sama mereka teratur sekali dan kelihaian mereka tentu saja menjadi berganda, membuat Kian Bu harus berhati-hati dan pemuda ini mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Sin-ho Coan-in, ilmu yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti kilat dengan kecepatan luar biasa hingga dua orang lawannya menjadi bingung seperti mengejar-ngejar bayangan.
Siang In sejak tadi menonton dengan mata terbelalak. Dia masih kagum dan juga ngeri, kagum kepada Kian Bu yang luar biasa hebatnya itu, dan ngeri menyaksikan keganasan dua orang yang mengeroyok Siluman Kecil itu. Dari gerakan-gerakan mereka, dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian silatnya mungkin hanya dapat menandingi wanita siluman itu, sungguh pun dia tahu bahwa tidak akan mudah bagi dia untuk merobohkan wanita yang amat lihai itu, dan dia pun tahu bahwa dibandingkan dengan raksasa itu, dia masih kalah jauh. Dan kini, dua orang lihai itu menyerang dengan senjata yang ampuh, namun Kian Bu menghadapi mereka hanya dengan bertangan kosong, dan pemuda itu sama sekali tidak kelihatan terdesak!
Siang In tidak bergerak membantu Kian Bu. Selain bingung menyaksikan gerakan Kian Bu yang mencelat ke sana-sini secepat itu dan takut kalau bantuannya malah akan mengacaukan gerakannya, juga dia merasa tidak enak mendengar ucapan-ucapan Siluman Kucing tadi. Apa lagi mendengar ucapan Hek-tiauw Lo-mo bahwa Kian Bu merayu puterinya habis-habisan! Hatinya mulai merasa tidak senang dan kini dia hanya menonton sambil berjaga-jaga untuk membantu Kian Bu apa bila perlu, sungguh pun kini dia merasa hampir yakin bahwa Kian Bu pasti akan dapat mengatasi kedua orang lawannya.
Dugaan Siang In memang tidak keliru. Dengan kecepatan gerakan Ilmu Sin-ho Coan-in, Kian Bu mulai mendesak kedua orang lawannya. Dia lebih banyak menyerang, karena dua orang lawan itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk menyerang bayangan yang berkelebatan menyambar mereka dari segala jurusan itu. Sedemikian cepatnya gerakan Kian Bu sehingga dia seolah-olah berubah menjadi beberapa orang banyaknya!
“Hyaaaaakkk...!” Hek-tiauw Lo-mo membentak dan tangan kirinya bergerak.
Sinar hitam lebar lantas menyambar ke arah bayangan Kian Bu dan itu adalah senjata rahasianya yang amat ampuh dan bebahaya, yaitu jala hitam yang terbuat dari benang lembut yang amat kuat. Jala itu menyambar cepat sekali, akan tetapi gerakan Kian Bu masih lebih cepat karena dia sudah dapat menghindarkan diri, bahkan tangannya menyambar ujung jala dan ditariknya jala itu ke arah sinar hijau dari pedang Mauw Siauw Mo-li yang menusuknya.
“Brettt...!”
Jala itu terobek pedang, akan tetapi pedang hijau di tangan wanita cabul itu pun terbelit jala. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kian Bu untuk menendang. Wanita itu masih berusaha menghindarkan tendangan dengan melempar tubuh ke belakang dan menarik pedang sekuatnya, namun tetap saja pangkal paha kirinya tercium ujung sepatu.
“Aduhhh...!” Wanita itu terpental dan pedangnya sudah terlepas dari libatan jala, kemudian dia terbanting dan bergulingan lalu meloncat berdiri sambil meringis dan tangan kirinya mengelus-elus pangkal paha yang terasa nyeri dan panas. Akan tetapi, hatinya lebih panas lagi dari pada pangkal pahanya yang tidak terluka parah hanya nyeri dan panas itu, karena dia mengingat betapa dahulu, bagian tubuh itu pernah diusap dan dibelai sayang oleh Kian Bu, akan tetapi kini ditendang! Dia merasa terhina sekali.
Sementara itu, melihat jalanya robek, Hek-tiauw Lo-mo membentak dan goloknya membacok ke arah Kian Bu, disusul hantaman tangan kirinya. Kian Bu miringkan tubuhnya ke kanan, membiarkan golok menyambar lewat dan melihat tangan kiri lawan yang mengeluarkan asap itu memukulnya dengan tangan terbuka ke arah dada, dia pun cepat memapaki dengan tangan kanannya.
“Desss!”
Dua telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terjengkang dan roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Biar pun dia tidak terluka parah, namun tenaga pukulannya yang membalik karena kalah kuat bertemu dengan hawa sinkang lawan tadi telah memukulnya sendiri, membuat napasnya sesak dan tubuhnya gemetar!
Akan tetapi pada saat itu, Mauw Siauw Mo-li yang melihat bahwa dia dan suheng-nya takkan mampu mengalahkan Kian Bu, sudah melontarkan beberapa buah benda hitam ke arah Siang In! Dara ini tidak tahu benda apa yang menyambar ke arahnya itu, maka dengan cepat dia hendak menangkis.
“Jangan ditangkis...!” Kian Bu berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Siang In telah dipondongnya dan dibawanya berloncatan ke kanan kiri.
Terdengar ledakan-ledakan keras bertubi-tubi, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Kian Bu yang memondong tubuh Siang In. Setelah ledakan tidak terdengar lagi, tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam dan dua orang manusia iblis itu telah lenyap.
Kian Bu beberapa kali melompat jauh, keluar dari lingkungan asap itu, lalu menurunkan Siang In dan mengomel gemas, “Hemmm, lain kali aku tidak akan memberi kesempatan kepada mereka untuk melarikan diri.”
Siang In memandang kagum kepada Kian Bu, lalu menghampirinya dan memegang kedua lengannya, “Kian Bu, engkau hebat sekali...,“ katanya.
Mereka saling berpegang tangan, berhadapan dan saling pandang dengan mesra. Ketika pandang mata mereka bertaut, yakinlah Kian Bu bahwa dia benar-benar mencinta dara ini. Semua rasa cintanya terpancar dari pandang matanya, terasa benar oleh Siang In dan membuat bulu tengkuk dara itu meremang dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya. Dara lincah yang biasanya suka menggoda orang itu kini kemalu-maluan menatap sinar mata yang demikian penuh cinta kasih.
Akan tetapi Siang In segera teringat akan semua ucapan dua orang manusia iblis tadi, maka alisnya berkerut dan rasa malu tadi lenyap ketika dia mengangkat mukanya dan bertanya, “Kian Bu, apa artinya ucapan raksasa tadi bahwa engkau merayu puterinya?”
Kian Bu tersenyum. “Puterinya adalah Hwee Li, dan sudah kuceritakan kepadamu tentang Hwee Li. Agaknya dia pun menyangka bahwa antara Hwee Li dan aku ada hubungan yang tidak dikehendakinya, padahal di antara kami hanya terdapat tali persahabatan saja, dan Hwee Li mencinta kakakku...“
“Dan ucapan-ucapan wanita tadi? Dia...“ Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia merasa malu mengingat dan membayangkan arti ucapan wanita tadi.
Wajah Kian Bu menjadi muram dan alisnya berkerut. “Ahhh, jangan kau dengarkan ucapan iblis betina itu! Dia curang dan bicaranya sama sekali tidak ada artinya, tidak perlu didengar dan dipercaya. Sudah terlalu banyak dia membuat malapetaka.”
Agaknya Siang In percaya dan wajahnya berseri kembali, dan setelah mereka saling pandang kembali timbul kemesraan dan rasa malu, apa lagi ketika Kian Bu kemudian mendekatkan muka sehingga hidung pemuda itu menyentuh pelipisnya, dia cepat menundukkan mukanya. Seketika Kian Bu sudah melupakan dua orang musuh tadi, kini dia teringat akan ciuman yang membuat dara itu tadi menjadi pingsan!
“Siang In, betapa engkau tadi membuat aku hampir mati karena khawatir. Mengapa engkau menjadi pingsan tanpa sebab? Dan apa artinya pisau yang berada di tanganmu tadi? Mengapa pula engkau... menyuruh aku... menciummu? Semua itu merupakan teka-teki bagiku, mengundang banyak dugaan yang membingungkan. Maukah engkau menjelaskan kepadaku, Sayang?”
Mendengar sebutan itu, wajah Siang In menjadi merah sekali dan sambil menunduk dia tersenyum malu-malu dengan penuh rasa bahagia. Jari-jari tangannya yang saling genggam dengan jari tangan Kian Bu itu gemetar dan dari jari-jari tangan kedua orang muda ini tersalur getaran-getaran yang penuh arti, terasa sampai ke dasar jantung…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum