JODOH RAJAWALI : JILID-31


Terasa pening kepala Tek Hoat saking marahnya.

“Bedebah...!” Dia berseru dan tubuhnya meluncur ke depan. Dua kali jari tangannya bergerak dan dua tubuh Ma Khong dan Ma Ti Lok terpelanting, berkelojotan dan tewas seketika dengan dahi mereka ada tanda jari hitam!

“Tek Hoat, kau terlalu!” Hong Kui membentak marah. “Kau membunuh teman sendiri!”

“Mereka layak mampus! Engkau juga!” Tek Hoat menghardik dan memandang marah.

“Keparat kau, manusia tidak mengenal budi!” Lauw Hong Kui tidak lagi dapat menahan kemarahannya dan dia menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi, dengan cepat Tek Hoat mengelak dan mendorong dengan tangan kirinya. Angin kuat menyambar dan Hong Kui terhuyung ke belakang. Wanita ini makin marah dan meloncat keluar dari dalam rumah.

“Keluarlah kau kalau jantan!” tantangnya.

Tek Hoat yang kecewa dan marah itu meloncat mengejar. Ketika tiba di luar, Hong Kui menggerakkan tangannya dan sebuah benda hitam menyambar ke arah Tek Hoat. Pemuda ini maklum bahwa itulah senjata rahasia yang paling ampuh dari Mauw Siauw Mo-li. Lawan yang kurang hati-hati dan berani menangkis senjata rahasia ini, tentu akan celaka, setidaknya tentu akan terluka. Maka dia mengelak dan membiarkan benda itu lewat.

“Darrr...!” Benda itu meledak ketika terbanting ke atas lantai dan dinding di dekatnya jebol.

Dua kali lagi Mauw Siauw Mo-li menyambitkan senjata-senjata rahasia peledaknya, namun semua dielakkan oleh Tek Hoat dan pemuda ini secepat kilat telah mengirim serangan dengan hantaman kedua tangannya dengan menggunakan tenaga dahsyat Inti Bumi. Mauw Siauw Mo-li berusaha mengelak, namun tetap saja dia terhuyung dan sebelum dia dapat menyelamatkan dirinya, sebuah tendangan kaki Tek Hoat mengenai pinggulnya.

“Bukkk! Aughhh!” Wanita itu menjerit dan tubuhnya terbanting ke atas lantai. Dia bangkit dan menggosok-gosok bukit pinggulnya yang terasa nyeri.

“Kau kejam sekali, Tek Hoat. Kubunuh kau kalau aku mendapat kesempatan!” teriaknya marah.

“Mo-li, kalau aku tidak ingat bahwa engkau telah membantuku selama ini, jangan harap kau dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa. Sekarang, pergilah dan jangan berani memperlihatkan mukamu yang tak tahu malu itu kepadaku lagi!” Tek Hoat berkata.

“Uhhh...!” Bedebah, manusia sombong kau!” Mauw Siauw Mo-li memaki, memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia tidak berani bergerak menyerang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan lari sambil berteriak melengking nyaring, semakin lama suaranya makin jauh sampai hanya terdengar seperti suara kucing terpijak ekornya.

Semua ini terlihat oleh Hek-sin Touw-ong. Dia melihat pula betapa Tek Hoat cepat lari menghampiri muridnya, menotok membebaskan gadis itu, lalu Tek Hoat menghampiri dia dan membebaskan pula totokannya.

Hek-sin Touw-ong bangkit berdiri, mengurut kedua lengannya yang terasa kaku, lalu dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh keheranan.

“Kau... kau Si Jari Maut?” tanyanya.

Tek Hoat mengangguk. “Maafkan kalau aku telah mengganggumu, Touw-ong. Akan tetapi, tadinya aku mengira bahwa engkau telah menculik Puteri Bhutan.”

“Puteri Bhutan?” Kakek itu berkata dan mengerutkan alisnya. “Sungguh aneh, betapa banyak orang mencari Puteri Bhutan!”

“Apa maksudmu...?”

“Swi Hwa, jangan!” tiba-tiba kakek itu berteriak dan dengan tenang Tek Hoat miringkan tubuhnya, membiarkan pedang yang ditusukkan oleh Swi Hwa itu lewat di samping tubuhnya, kemudian dia menggunakan jari tangannya membabat ke bawah.

“Trakkk!” Pedang itu patah dan Swi Hwa menjerit karena tangannya terasa nyeri dan gagang pedang itu terlepas.

“Swi Hwa, jangan sembrono kau!” kembali Touw-ong membentak. Gadis itu meloncat ke samping gurunya sambil memegangi tangan kanannya dan memandang kepada Tek Hoat dengan mata berapi dan penuh kemarahan.

“Hek-sin Touw-ong, apa maksudmu mengatakan bahwa banyak orang mencari Puteri Bhutan?”

“Baru-baru ini, See-thian Hoat-su kakek ajaib penghuni Goa Tengkorak juga datang ke sini dan menanyakan apakah aku melihat Puteri Bhutan dilarikan orang. Ketika aku mengatakan bahwa aku tidak melihatnya, dia lalu pergi. Dan sekarang, engkau dan Mauw Siauw Mo-li datang mencari Puteri Bhutan pula.”

Hati Tek Hoat kecewa sekali. “Aku telah dibohongi oleh wanita jalang itu. Jadi engkau benar tidak pernah melihat puteri itu, Touw-ong?”

“Guruku sudah bilang tidak melihatnya, mengapa banyak cerewet lagi?”

Tek Hoat menarik napas panjang. Dia maklum mengapa gadis ini marah-marah, karena betapa pun juga, kedua orang Saudara Ma itu tadinya datang bersama dia sebagai kawan-kawannya.

“Sudahlah, maafkan aku kalau kalian tidak tahu!” Berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari depan mereka.

“Jahat dia...!” Swi Hwa berkata.

“Sssttt...!” Gurunya memegang tangan muridnya agar jangan bergerak. Kemudian dia menoleh kepada mayat kedua orang she Ma itu, menggelengkan kepala dan berkata, “Sungguh hebat sekali kepandaian Si Jari Maut. Pantas saja dia terkenal sekali, kiranya memang dia amat hebat. Entah tenaga apa yang dia pergunakan tadi sehingga aku sendiri kewalahan menghadapinya. Sayang ada wanita iblis tadi yang ikut membantu, kalau tidak, aku ingin sekali bertanding dengan pemuda hebat itu.”

“Siapa sih Puteri Bhutan yang dicarinya itu, Suhu?”

“Entah. Ah, sungguh aneh sekali peristiwa ini, Swi Hwa. Engkau mencuri barang-barang dari tiga orang sakti, akan tetapi yang datang bukannya Jenderal Kao, Siluman Kecil atau Sin-siauw Sengjin, melainkan Si Jari Maut dan Mauw Siauw Mo-li! Untung masih baik kesudahannya. Ahhh, peristiwa ini semakin mendorong hatiku untuk cepat-cepat menjumpai Saicu Kai-ong...“

Kakek itu lalu menolong para anak buahnya yang tertotok, pingsan dan ada pula yang terluka. Kemudian mereka mengurus mayat dua orang penyerbu itu. Beberapa hari kemudian, Hek-sin Touw-ong bersiap-siap untuk menghubungi Sai-cu Kai-ong, tokoh yang sebetulnya telah lama menjadi sahabatnya, akan tetapi yang selama belasan tahun ini tidak pernah lagi berhubungan dengan dia…..

********************

Kita kembali melihat keadaan di lembah Huang-ho, di dalam markas besar perkumpulan Kui-liong-pang yang kini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bian Cu sebagai benteng. Telah diceritakan di bagian depan betapa Jenderal Kao Liang sendiri telah berada di dalam cengkeraman Pangeran Liong Bian Cu, membuat jenderal gagah perkasa itu tidak berdaya karena seluruh keluarganya berada di dalam tangan Pangeran Nepal itu. Apa lagi ketika jenderal ini melihat betapa Puteri Bhutan, anak angkatnya, juga menjadi tawanan di tempat itu. Terpaksa dia bekerja sungguh-sungguh dan membangun tempat itu menjadi sebuah benteng yang amat kuat. Dia sudah berjanji dan sebagai seorang gagah dia akan memegang janjinya, yaitu membuat tempat itu menjadi benteng yang tidak akan dapat dibobolkan musuh dan dia sendiri yang akan mengatur penjagaan mempertahankan benteng itu di saat yang perlu!

Ketika benteng itu masih belum selesai benar dibangun di bawah pimpinan Jenderal Kao, tempat itu telah mengalami serangan dan telah membuktikan kehebatan Jenderal Kao dalam mempertahankan tempat itu. Serangan ini datang di waktu malam hari, terdiri dari lima puluh orang yang dipimpin tiga orang kakek yang amat lihai.

Peristiwa itu terjadi di malam terang bulan dan biar pun benteng itu belum selesai dibangun, namun tali-tali rahasia yang dipasang oleh Jenderal Kao telah membunyikan genta memberi tahu bahwa ada serombongan orang datang dari utara menuju ke lembah itu! Tali-tali rahasia itu menjadi satu dengan akar-akar dan ranting-ranting pohon sehingga ketika dilanggar oleh rombongan orang itu, menggerakkan genta di dalam benteng dan segera para penjaga bersiap dan melakukan penjagaan ketat, diatur sendiri oleh Jenderal Kao Liang yang sudah melatih anak buah Kui-liong-pang dan anak buah Pangeran Nepal itu menjadi pasukan yang tangkas dan hebat! Semua ini ditonton dengan kagum oleh Liong Bian Cu, Hek-hwa Lo-kwi, Hek-tiauw Lo-mo, Gitananda, dan Ban hwa Sengjin yang lebih banyak tinggal di dalam gedung, bersikap tenang akan tetapi dia selalu menerima laporan dari Gitananda akan segala yang terjadi di luar kamarnya.

Siapakah para penyerbu itu? Mereka ini bukan lain adalah para anggota Liong-sim-pang yang dipimpin sendiri oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, dibantu oleh tiga orang kakek lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-swi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To. Seperti kita ketahui Hwa-i-kongcu Tang Hun merasa amat kecewa, penasaran dan marah sekali ketika Syanti Dewi yang akan menjadi isterinya itu tiba-tiba lenyap di tengah-tengah pesta pernikahannya! Dia merasa kecewa karena kehilangan calon isteri yang cantik jelita, akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya lagi, dia merasa malu.

Dia telah mengundang banyak tamu, di antaranya banyak tokoh-tokoh kang-ouw dan banyak pembesar penting, dan ditengah pesta itu, pengantin wanitanya diculik orang begitu saja! Hal ini merupakan tamparan hebat bagi mukanya, kehormatannya, dan dia tidak akan berhenti sebelum bisa mendapatkan kembali pengantinnya. Oleh karena itu, dia mengerahkan seluruh anak buah Liong sim-pang untuk melakukan penyelidikan dan pencarian. Bahkan dia mengandalkan harta bendanya yang besar untuk disebarkan di antara orang-orang kang-ouw agar mereka suka membantunya dan tidak lupa dia menjanjikan hadiah yang akan dapat membuat orang mendadak menjadi kaya raya kalau bisa menemukan jejak puteri itu!

Karena usahanya yang mati-matian ini, maka boleh dibilang semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Hwa-ikongcu Tang Hun menjanjikan hadiah besar itu, maka semua orang memasang mata dan telinga untuk ikut mencari. Akan tetapi, ketika Syanti Dewi berada bersama See-thian Hoat-su, lalu terampas oleh Gitananda dan disembunyikan di tempat rahasia, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya sehingga sia-sia saja Tang Hun mencari dan mengerahkan banyak orang. Setelah puteri itu oleh Gitananda dibawa ke lembah Huang-ho dan puteri itu kelihatan oleh semua anggota Kui-liong-pang dan para anak buah Hek-tiauw Lo-mo dan Pangeran Nepal, ada saja yang kemudian membocorkan berita ini sehingga akhirnya sampai juga ke telinga Hwa-i-kongcu Tang Hun.

Tentu saja Tang Hun menjadi marah sekali dan juga girang karena akhirnya dia tahu di mana adanya pengantinnya itu. Mendengar bahwa Puteri Bhutan itu ditawan oleh perkumpulan Kui-liong-pang, dia lalu mengumpulkan semua anak buahnya, dan dibantu oleh tiga orang kakek lihai itu dia memimpin sendiri pasukannya menuju ke lembah Huang-ho dan malam itu dia menyerbu Kui-liong-pang. Sama sekali dia tidak tahu bahwa tempat itu kini sedang dibangun sebagai benteng yang kokoh kuat oleh bekas panglima besar Jenderal Kao, dan lebih lagi dia tidak menyangka bahwa kedatangan mereka telah diketahui dan Jenderal Kao, yang merupakan seorang ahli perang amat pandai itu, dan yang telah mempersiapkan sambutan hangat atas penyerbuannya!

Dengan hati-hati sekali tiga orang kakek lihai yang membantu Tang Hun itu memimpin pasukan memasuki lembah dari utara. Hak Im Cu, kakek tosu, seorang di antara tiga pembantu itu, bertugas sebagai penunjuk jalan, oleh karena tosu ini pernah datang mengunjungi lembah ketika di situ diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw. Tentu saja Hak Im Cu tidak dapat mengambil jalan rahasia, seperti pada waktu dia mengunjungi tempat itu dulu, melainkan mengambil jalan liar yang telah diperhitungkan sebagai jalan paling aman untuk menyerbu lembah itu. Satu-satunya halangan adalah sungai yang mengurung lembah itu, sungai yang terjadi ketika .lembah itu dibanjiri air ketika diadakan pertemuan dahulu. Akan tetapi mereka telah siap dengan alat-alat untuk berenang dan menyeberang.

Ketika mereka tiba di tepi sungai, giranglah hati mereka bahwa di situ tidak terdapat penjagaan sehingga mereka dapat menyeberang dengan mudah, menggunakan perahu-perahu darurat. Dan betapa girang hati mereka ketika melihat bahwa pagar tembok di seberang sungai itu ternyata masih baru dibangun dan belum selesai sehingga tempat itu terbuka. Yang lebih menggirangkan lagi, tidak ada penjagaan di situ sehingga setelah bersembunyi dan mengintai sampai lama, kemudian yakin bahwa tempat itu sunyi tidak ada penjaga, mereka lalu bergerak merayap dan memasuki daerah lembah. Atas pimpinan Tang Hun sendiri, mereka lalu berindap-indap dan memecah diri menjadi kelompok-kelompok terpisah menghampiri rumah besar yang mereka kira tentu menjadi bangunan pusat di mana berdiam ketua Kui-liong-pang dan di mana puteri itu dikeram!

Tang Hun telah mendengar bahwa ketua Kui-liong-pang adalah seorang kakek sakti berjuluk Hek-hwa Lo-kwi, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Akan tetapi, dengan adanya tiga orang kakek sakti yang membantunya, tentu saja dia tidak merasa takut. Apa lagi setelah kini dia bersama pasukannya mampu mengepung rumah besar itu, mempersiapkan anak panah dan api yang mereka nyalakan secara serentak, merupakan obor-obor yang bernyala terang dan menerangi seluruh tempat itu, Tang Hun merasa yakin bahwa dia akan dapat memaksa tuan rumah mengembalikan pengantinnya. Dengan sikap garang dia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, diapit oleh tiga orang kakek dan para pengawalnya, menghadap ke pintu depan dari rumah besar itu lalu berteriak lantang, “Hek-hwa Lo-kwi, ketua Kui-liong-pang! Keluarlah dan mari kita bicara!”

Di antara cahaya obor yang amat banyak dan amat terang, semua mata ditujukan ke arah daun pintu besar itu dan tiba-tiba daun pintu terbuka dari dalam. Muncullah beberapa orang dari sebelah dalam pintu itu dan Tang Hun memandang dengan terheran-heran ketika melihat bahwa yang memimpin rombongan orang itu adalah seorang kakek botak berjubah merah yang bersikap penuh wibawa, berpakaian indah dan sikapnya seperti seorang bangsawan tinggi.

Di kanan dan kiri kakek botak ini berjalan dua orang kakek lainnya yang keadaannya mengerikan dan menyeramkan. Yang di sebelah kiri adalah kakek tinggi kurus bermuka tengkorak yang dia duga tentulah Hek-hwa Lo-kwi karena dia sudah mendengar akan kakek yang berpakaian serba hitam, mukanya yang seperti tengkorak itu putih seperti kapur. Sedangkan yang berada di sebelah kanan kakek botak itu adalah seorang kakek raksasa yang amat buas kelihatannya. Dia tidak tahu bahwa itulah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dia segera mengenal kakek berkulit hitam, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, memegang sebatang tongkat itu. Itulah Gitananda, kakek Nepal yang dulu hadir pula di dalam pesta pernikahannya. Gitananda berjalan di belakang kakek botak itu!

Tetapi Tang Hun tidak mempedulikan mereka semua itu dan dia hanya memandang kepada Hek-hwa Lo-kwi dan sambil mengangkat dada dia berkata, “Hek-hwa Lo-kwi, karena engkau adalah ketua dari tempat ini...“

“Hwa-i-kongcu, biar pun aku adalah ketua dari Kui-liong-pang, akan tetapi pada saat ini yang memimpin kami adalah Ban-hwa Sengjin, koksu dari Nepal ini, yang mewakili Pangeran Liong Bian Cu. Kau boleh bicara dengan beliau!” kata Hek-hwa Lo-kwi sambil menunjuk ke arah kakek berkepala botak yang bersikap dingin dan tenang itu.

Tang Hun mengerutkan alisnya, merasa bahwa belum apa-apa dia sudah keliru dan salah duga. Akan tetapi mendengar itu, tentu saja perhatiannya kini beralih pada kakek botak yang kini juga bertanya kepadanya, suaranya tenang dan jelas biar pun masih ada nada asing.

“Jadi engkau adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san? Selamat datang, Tang-kongcu, ada keperluan apakah engkau datang bersama pasukanmu di waktu malam begini tanpa memberi tahu lebih dulu kepada kami?”

Tang Hun merasa serba salah. Kiranya kakek ini adalah koksu dari Nepal! Nama ini mulai terkenal akhir-akhir ini, bahkan ketika dia mengadakan pesta pernikahan, dia mengirim undangan kepada koksu itu yang berada di gubernuran Ho-nan, dan koksu itu diwakili oleh kakek Gitananda. Juga ketika mendengar bahwa kakek ini adalah Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal, tiga orang kakek yang mengiringkan Hwa-i-kongcu menjadi kaget bukan main. Tetapi, karena sudah terlanjur menyerbu dan kini sudah mengurung rumah itu, Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ingin merampas kembali pengantinnya, tetap bersikap angkuh dan tidak mau kalah wibawa.

Dia menjura dengan sikap hormat. “Ah, kiranya Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal yang memimpin tempat ini? Sungguh kebetulan sekali! Sengjin tentu telah mengetahui akan peristiwa yang terjadi di tempat tinggal saya pada waktu pesta pernikahan saya, karena kalau tidak salah, wakil Sengjin yang sekarang juga berdiri di belakang Sengjin, yaitu Kakek Gitananda, pada waktu itu juga hadir. Terjadilah keributan pada waktu itu dan pengantin wanita diculik orang.”

“Hemmm, kami sudah mendengar akan hal itu. Lalu mengapa?” tanya koksu itu dengan sikap tidak acuh.

Sikap itu membuat Tang Hun merasa tidak enak. Kalau koksu ini sudah tahu, tentu tahu pula bahwa dia datang untuk menuntut dikembalikannya Syanti Dewi, akan tetapi koksu itu pura-pura tidak tahu saja!

“Maaf, Ban-hwa Sengjin,” katanya dan keangkuhannya mulai menurun karena dia benar-benar merasa gentar menghadapi koksu yang berwibawa ini dan tempat itu terlalu sunyi sehingga mencurigakan. “Karena saya mendengar bahwa pengantin saya berada di lembah ini, maka saya datang bersama teman-teman saya untuk menjemput calon isteri saya itu. Harap saja Sengjin mengingat persahabatan antara kita dan suka menyerahkan pengantin saya kepada saya.”

Ban-hwa Sengjin mengangkat mukanya, sikapnya makin angkuh dan dia berkata dengan suara yang nadanya menantang, “Memang Puteri Bhutan berada di sini dan kami tak bersedia menyerahkan dia kepadamu, Tang-kongcu. Sebaiknya Kongcu cepat membawa pasukan Kongcu pergi dari tempat ini!”

Tang Hun mengerutkan alis. Jantungnya berdebar tegang. Kiranya benar pengantinnya berada di tempat ini! Hatinya girang akan tetapi juga tegang karena sikap Koksu Nepal ini agaknya hendak menentangnya!

“Ban-hwa Sengjin! Puteri itu adalah calon isteri saya, pengantin saya. Sudah sepatutnya kalau dikembalikan kepada saya!”

“Kami tidak bersedia menyerahkan beliau kepadamu. Habis engkau mau apa?” Inilah tantangan!

Hwa-i-kongcu yang mengandalkan bantuan tiga orang kakek sakti dan anak buahnya, tentu saja mulai menjadi marah. Biar pun kakek botak ini adalah Koksu Nepal yang kabarnya amat lihai dan berkuasa, akan tetapi pada saat itu dialah yang berada dalam kedudukan menang. Tempat itu telah dikurungnya! Dan dia pun masih mengandalkan gurunya yang biar pun tidak ikut di dalam pasukan itu, namun secara aneh dan diam diam, gurunya tentu melindunginya pula!

“Ban-hwa Sengjin, harap suka memikirkan baik-baik. Ketahuilah bahwa kalian semua telah terkepung. Lihat betapa pasukan kami telah siap dengan anak panah dan api, sekali saja saya memberi aba-aba, rumah ini akan dibakar dan kalian semua akan dihujani anak panah. Saya tidak menghendaki hal itu terjadi, maka sebaiknya supaya puteri itu cepat diserahkan kepada kami dan kami akan pergi sekarang juga.”

“Benarkah itu? Apakah bukan engkau dan pasukanmu yarig sudah berada dalam kepungan kami? Tang-kongcu, tengoklah di belakang kalian dan di atas.” Kakek botak itu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke belakang pasukan Tang Hun dan ke atas genteng rumah dan pohon-pohon.

Hwa-i-kongcu Tang Hun cepat menengok, demikian pula tiga orang kakek pembantunya dan mereka terkejut bukan main. Ternyata di belakang mereka terdapat pasukan yang lengkap dengan anak panah yang sudah ditodongkan ke arah mereka, dan selain pasukan itu, juga kini muncul banyak orang-orang di atas genteng dan di pohon-pohon sekitar tempat itu, semua mementang gendewa dan menodongkan anak panah ke arah mereka. Karena mereka membawa obor, maka mereka merupakan sasaran empuk sekali sedangkan pihak musuh yang bersembunyi itu memang amat sukar diserang!

Wajah Hwa-i-kongcu menjadi pucat sekali. “Bagaimana, Hwa-i-kongcu? Apakah masih akan dilanjutkan persiapan pertempuran ini? Kalau kami memberi aba-aba, sekali serbu saja akan habislah anak buahmu. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara sebagai sahabat?”

Hwa-i-kongcu memandang pada tiga orang kakek pembantunya. Mereka pun kelihatan gentar sekali, maka tahulah pemuda ini bahwa dia benar-benar sudah kalah sebelum perang!

“Sudahlah, mari kita bicara sebagai sahabat, Sengjin!”

Mendengar ini, Hek-hwa Lo-kwi tertawa bergelak, dan Ban-hwa Sengjin berkata ke arah tempat gelap, “Kao-goanswe, pihak lawan telah menjadi kawan, sebaiknya tarik mundur pasukanmu!”

Dari tempat gelap itu muncul seorang laki-laki tua yang tinggi tegap dan gagah sekali. Dengan gerakan yang gagah dia mengangkat sebatang pedang ke atas dan tanpa bersuara, lenyaplah pasukan yang mengepung tempat itu tadi, juga mereka yang muncul di atas genteng dan di pohon-pohon juga lenyap dalam gelap.

Diam-diam Hwa-i-kongcu terkejut bukan main. Kiranya pihak musuh sudah siap sedia dan dia bersama pasukannya benar-benar telah terjebak.

“Hwa-i-kongcu, kalau benar-benar kau datang sebagai sahabat, harap perintahkan anak buahmu untuk melemparkan senjata mereka,” kata Ban-hwa Sengjin.

Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak melihat jalan lain. Melawan berarti bunuh diri, karena mereka telah dikurung. Maka dia lalu mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru lantang, “Buang senjata kalian semua! Kita datang sebagai sahabat!”

Pasukannya tadi pun melihat bahwa merekalah yang terkepung, bukan mereka yang mengepung, maka mereka tadi sudah merasa gentar sekali. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua orang membuang gendewa dan anak panah, bahkan banyak pula yang melolos pedang dan golok, lalu melemparkannya ke atas tanah.

Melihat ini Ban-hwa Sengjin mengangguk-angguk puas. “Tang-kongcu, engkau sungguh dapat melihat gelagat. Tidak tahukah engkau bahwa engkau telah berada di tepi jurang maut? Engkau belum mengenal tempat ini dan tidak mengetahui keadaan kami, maka berani memandang rendah. Ketahuilah bahwa pemimpin penjagaan benteng kami ialah Jenderal Kao Liang, bekas panglima besar kerajaan. Apakah kau belum mendengar nama besarnya?”

Tang Hun mengangguk-angguk, hampir tidak percaya. Benarkah Jenderal Kao Liang kini berkerja sama dengan mereka ini?

“Engkau sudah melihatnya namun masih belum percaya. Kau kira siapakah panglima yang menjebak dan mengurungmu tadi? Marilah, mari kita bicara di ruangan tamu, dan kami akan memberi penjelasan agar engkau tahu bahwa bersahabat dengan kami akan menguntungkan pihakmu.” Lalu dia memandang. “Suruh pasukanmu beristirahat dan bermalam di dalam rumah ini. Mereka akan menerima hidangan sekedarnya.”

Dengan perasaan yang makin terheran-heran Hwa-i-kongcu mendapatkan kenyataan bahwa rumah besar yang di kurungnya itu adalah rumah kosong! Sama sekali bukanlah bangunan induk, tempat tinggal para pimpinan tempat itu! Melainkan rumah besar yang berada di depan. Dengan mengiringkan rombongan tuan rumah, diterangi oleh obor obor besar yang dipegang oleh barisan selosin orang, Hwa-i-kongcu dan tiga orang kakek pembantunya lalu meninggalkan pekarangan rumah besar itu setelah menyuruh semua anak buahnya menanti di situ.

Dan mereka kini masuk ke dalam lembah, melalui tembok yang tebal dan terjaga kuat, kemudian melewati pagar-pagar tembok lain dan baru setelah melewati tujuh lapis pagar tembok yang semua terjaga dan memiliki liku-liku yang aneh dan tidak mudah dilalui orang luar yang belum mengenal rahasia tempat itu, mereka tiba di pusat lembah itu. Dan Tang Hun mengeluarkan seruan tertahan saking kagumnya. Di tengah-tengah itu, barulah terdapat bangunan-bangunan seperti istana dan keadaan di situ terang benderang karena banyaknya lampu penerangan yang dipasang di seluruh tempat.

Melalui barisan penjaga yang kelihatan gagah dan bertubuh tegap, mereka memasuki ruangan depan sebuah rumah besar. Seorang yang berpakaian perwira menyambut rombongan ini dan setelah memberi hormat kepada Ban-hwa Sengjin, dia berkata, “Pangeran menanti rombongan di ruangan tamu!”

Ban-hwa Sengjin menoleh kepada Tang Hun. “Hemmm, pangeran berkenan menerima Kongcu, hal ini baik sekali! Silakan.”

Makin terbelalak mata Hwa-i-kongcu Tang Hun ketika dia memasuki ruangan tamu. Dia sendiri adalah seorang kaya raya dan rumahnya seperti istana. Namun dibandingkan dengan keadaan rumah besar ini, dia merasa iri. Mewah sekali keadaan di rumah ini dan ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang besar, dia melihat seorang pemuda yang berpakaian indah telah duduk seorang diri di situ, di kepala sebuah meja besar. Dia tidak mengenal pemuda itu, akan tetapi melihat kulitnya dan wajahnya, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang peranakan Nepal.

Ketika dia melihat Ban-hwa Sengjin memberi hormat dengan membungkuk, sedangkan Gitananda yang semenjak tadi diam saja memberi hormat sambil berlutut, juga Hek-hwa Lo-kwi dan kakek raksasa yang lain itu semua turut memberi hormat, sedangkan para pengawal juga memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki kemudian mundur dengan tertib, dia menduga bahwa tentu pemuda ini bukan orang sembarangan dan agaknya dialah yang disebut pangeran oleh perwira tadi.

Hak Im Cu, tosu tinggi kurus, seorang di antara tiga orang pembantunya yang menjadi penunjuk jalan ke lembah itu karena dia pernah mengunjungi lembah ini ketika di situ diadakan pertemuan, berbisik di belakangnya, “Kongcu, beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Raja Nepal.”

Ban-hwa Sengjin mendengar bisikan itu, tersenyum dan berkata, “Benar, hendaknya Cu-wi ketahui bahwa beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Sri Baginda Raja Nepal.”

Mendengar ini, Hwa-i-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya cepat-cepat maju memberi hormat dengan menjura sampai dalam. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum ramah dan mengangguk kemudian menggerakkan lengan kanannya mempersilakan. “Duduklah, Tang-kongcu dan Sam-wi Lo-enghiong. Duduklah sebagai tamu terhormat dan mari kita bicara sebagai sahabat-sahabat!”

Tang Hun dan tiga orang pembantunya segera duduk. Tiga orang pembantu Tang Hun itu bukanlah sembarang orang. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan sudah mengalami banyak hal yang hebat. Namun keadaan di ruangan itu membuat mereka kagum dan juga berhati-hati, karena belum pernah mereka menjadi tamu pangeran dan koksu dari negara Nepal yang serba asing. Mereka memandang ke arah pangeran yang tampan namun aneh itu, dan kepada Ban-hwa Sengjin yang duduk di sebelah kanan pangeran.

Gitananda yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu, dan sangat cekung, berdiri di belakang Ban-hwa Sengjin seperti pengawal dan memang sesungguhnya, Gitananda bertugas sebagai pembantu dan pengawal koksu itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi duduk di sebelah kiri Pangeran Liong Bian Cu, dan pada saat itu, dari luar datang seorang laki-laki tua yang melangkah lebar dengan gagah, setelah tiba di dekat meja, dia langsung memberi hormat kepada Pangeran Liong dengan menjura dan menganggukkan kepala, pemberian hormat yang singkat dan tidak terlalu merendah, kemudian dia mengambil tempat duduk di kursi paling kiri, duduk diam seperti patung.

Itulah lenderal Kao Liang dan Hwa-i-kongcu melihat dengan pandang mata kagum akan tetapi juga terheran-heran. Dia tentu saja sudah mendengar akan nama besar jenderal ini. Seorang panglima sejati yang sejak turun-temurun sangat setia kepada kerajaan, gagah perkasa dan pandai, sudah membasmi entah berapa banyak pemberontakan. Akan tetapi sekarang jenderal itu duduk semeja dengan seorang Pangeran Nepal dan agaknya bekerja kepada pangeran ini!

Sementara itu, Pangeran Liong Bian Cu yang sudah mendengar semua laporan tentang penyerbuan Tang Hun, kini sambil tersenyum memandangi empat orang tamunya satu demi satu. Dia melihat Tang Hun sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, pesolek dan cerdik.

Pemuda ini usianya sudah tiga puluh tahun namun masih kelihatan amat muda, bajunya kembang-kembang indah, sepasang matanya tajam berpengaruh. Rambut kepalanya terhias sebuah hiasan rambut seekor naga kecil dengan sepasang mata mutiara mencorong, juga di bajunya yang berkembang terhias mainan emas terukir berbentuk naga yang sama. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah, terhias emas dan permata, sarungnya ukir-ukiran burung hong dan liong, ronce roncenya merah dari bulu halus. Seorang kongcu yang hebat, pikir pangeran ini. Kalau saja kepandaiannya sehebat keadaan lahiriahnya, dia dapat menjadi pembantu yang baik, pikirnya pula. Kemudian dia melayangkan pandang matanya kepada tiga orang pembantu kongcu itu.

Tosu itu usianya kurang lebih enam puluh tahun. Wajahnya bengis tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan pedangnya tergantung di punggung, gagangnya menonjol di belakang pundak kanan. Kelihatannya sederhana saja, akan tetapi melihat sinar matanya dan gerak-gerik tubuhnya yang amat ringan, dapat diduga bahwa tosu ini tentu pandai sekali ilmu silatnya. Dugaan itu memang benar karena Hak Im Cu, tosu itu, memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ginkang-nya yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang saking ringan dan cepatnya.

Orang kedua ialah seorang kakek yang usianya juga sudah enam puluhan tahun, tinggi besar dengan muka kehitaman. Gerak-geriknya kasar namun tubuhnya membayangkan tenaga yang amat kuat. Memang Ban-kin-kwi Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Setan Bertenaga Selaksa Kati, adalah seorang yang amat kuat dan mempunyai tenaga gajah. Dia pun seperti Hak Im Cu, menjadi pembantu Hwa-i-kongcu karena dia dapat bergelimang dalam kemewahaan dan kekayaan.

Ada pun pembantu ketiga adalah seorang kakek gundul pendek gemuk, namun melihat pakaiannya, biar pun kepalanya gundul, dia bukanlah seorang hwesio. Kepalanya itu gundul karena penyakit kulit kepala, bukan digundul. Kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun lebih ini juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang ahli dalam ilmu bermain di air, dan selain itu, juga dia memiliki sinkang yang kuat, seorang ahli lweekeh yang tangguh.

Setelah puas memandangi empat orang tamunya, sementara itu pelayan mulai datang menyuguhkan arak dan kue-kue. Atas isyarat Pangeran Nepal itu, seorang pelayan segera maju dan dengan sikap menghormat pelayan ini lalu menuangkan arak di dalam cawan-cawan di depan rombongan tuan rumah dan empat orang tamu itu.

“Silakan minum Tang-kongcu dan para Lo-enghiong!” kata Liong Bian Cu sambil mengangkat cawannya, diikuti oleh Koksu Nepal, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan Jenderal Kao Liang. Gitananda tidak pernah minum arak, pula dia adalah seorang pengawal pribadi koksu, maka dia tentu saja tidak ikut berpesta melainkan berdiri di belakang koksu itu dengan tenang dan sikap penuh kewaspadaan.

Setelah para tamunya minum arak, Pangeran Nepal itu kemudian memandang kepada Hwa-i-kongcu dan bertanya, “Sekarang, harap Tang-kongcu suka mengatakan kepada kami dengan terus terang akan maksud kunjungan Kongcu yang amat mendadak ini.”

Hwa-i-kongcu Tang Hun memandang pada pangeran itu. Pangeran Nepal itu demikian ramah sikapnya, maka timbul kembali harapannya. Siapa tahu, pangeran yang ramah ini akan dapat memaklumi keadaannya, maka cepat dia menjawab dengan sikap amat menghormat, “Harap Paduka suka memberi maaf kepada kami bahwa kami berani datang berkunjung tanpa lebih dulu minta ijin Paduka. Sesungguhnya, telah beberapa lama saya kehilangan calon isteri saya yang lenyap pada saat sedang diadakan pesta pernikahan kami di tempat kediaman kami, yaitu di Puncak Naga Api. Kemudian kami mendengar bahwa isteri saya itu berada di sini, oleh karena itu saya datang dengan rombongan, bermaksud untuk menjemput pengantin saya.” Setelah berkata demikian, wajah pemuda yang tampan dan pesolek itu memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan penuh harapan.

Pangeran itu tersenyum dan bertanya, “Tang-kongcu, siapakah nama pengantinmu itu?”

“Namanya... Syanti Dewi...”

Mendadak pandangan mata pangeran itu menjadi tajam sekali dan jantung Tang Hun berdebar. Pangeran ini memiliki sepasang mata yang aneh, tajam dan menyeramkan. Sorbannya yang besar itu tengahnya, di atas dahi, dihias dengan sebuah mutiara yang besar dan bercahaya, berkilau-kilauan agak kebiruan. Mutiara yang amat besar dan amat jarang terdapat. Akan tetapi agaknya, dari dua buah mata yang kehitaman itu mencorong sinar yang lebih menyilaukan dari pada mutiara itu.

“Tang-kongcu,” kini suara pangeran itu berbeda dengan tadi, tidak lagi ramah dan halus melainkan kaku dan dingin, “Tahukah engkau siapa adanya Syanti Dewi?”

Mendengar pertanyaan itu Tang Hun terkejut dan kini dia baru melihat betapa ada tiga pasang mata yang memandang dengan sinar mata tajam dan penuh ancaman, yaitu tiga pasang mata dari pangeran itu sendiri, Koksu Nepal dan kakek Gitananda! Dengan gugup dia menjawab, “Saya... saya hanya mendengar dia dari Bhutan dan...“

“Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal dari Raja Bhutan! Dan tahukah kau apa artinya ini? Berarti engkau hendak menghina Bhutan dan karena Bhutan serumpun dengan Nepal, maka engkau seolah-olah hendak menghina Nepal!”

“Tidak... bukan begitu maksud saya,” Tang Hun berkata cepat. “Sebetulnya saya tidak tertarik oleh kebangsaannya, melainkan oleh pribadinya, maka...“

“Cukup, Tang-kongcu!” Tiba-tiba terdengar suara Ban-hwa Sengjin, Koksu Nepal itu. “Hendaknya Tang-kongcu membuang jauh-jauh pikiran itu kalau Kongcu ingin selamat. Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan adalah menjadi tamu agung kami di sini, apakah Kongcu berani hendak menghina dan mengganggu beliau?”

Tang Hun terkejut bukan main. Tidak pernah terpikir olehnya sedemikian jauhnya. Dia memang mendengar bahwa Syanti Dewi berasal dari Bhutan dan kabarnya seorang puteri, akan tetapi hal itu tidak begitu penting baginya, apa lagi karena bagi dia dan sebagian besar di antara bangsanya, bangsa-bangsa asing di barat hanyalah bangsa bangsa yang derajatnya rendah! Baginya yang terpenting adalah kecantikan Syanti Dewi yang membuatnya tergila-gila. Dia tidak peduli apakah dara itu puteri raja ataukah puteri pengemis! Tetapi ternyata persoalannya tidaklah sesederhana yang disangkanya dan dia kini dianggap melakukan penghinaan terhadap bangsa Bhutan dan Nepal!

“Ah, maafkan saya..., saya tidak tahu sama sekali akan hal itu... dan setelah mendengar penjelasan Paduka Pangeran dan Koksu, tentu saja saya tahu diri dan tidak akan melanjutkan keinginan saya.”

“Bagus! Ternyata Tang-kongcu adalah seorang yang bijaksana dan dapat diajak bersahabat!” Pangeran Liong Bian Cu berseru girang. “Kami pun jauh-jauh datang dari barat sekali-kali bukan mencari lawan, melainkan mencari kawan untuk bersama-sama menghadapi Kerajaan Ceng. Bagaimana Tang-kongcu, dapatkah kami mengharapkan bantuan Kongcu dan Liong-sim-pang?”

Wajah Tang Hun yang tadinya agak muram karena lenyapnya harapan hatinya untuk dapat memperisteri Syanti Dewi, kini berseri. Dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk mencari kedudukan dan tentu saja menambah besarnya kekayaannya. Sekarang, biar pun kaya raya namun dia tidak memiliki kedudukan, bukan bangsawan melainkan orang biasa. Agaknya hal inilah yang tidak memungkinkan dia menikah dengan seorang puteri! Berbeda tentu kalau dia memiliki kedudukan tinggi di samping harta kekayaan, kekuasaan dan kepandaiannya.

“Tentu saja saya merasa terhormat sekali dan suka membantu perjuangan Paduka Pangeran. Memang telah lama saya mendengar betapa kaisar yang tua amat lemah, kekacauan terjadi di mana-mana dan bahkan kabarnya Gubernur Ho-nan...“ Tiba-tiba dia berhenti dan memandang Jenderal Kao Liang yang duduk sambil menundukkan mukanya seolah-olah sama sekali tidak ingin mencampuri percakapan itu dan tidak ingin mendengarkan pula.

Melihat ini, Pangeran Nepal itu tertawa. “Lanjutkan, Tang-kongcu, dan jangan khawatir terhadap Jenderal Kao karena dia pun menjadi korban kelaliman kaisar yang menjadi boneka di bawah pengaruh pembesar-pembesar jahat.”

Tang Hun menarik napas panjang. “Saya hanya mendengar desas-desus saja bahwa Gubernur Ho-nan juga memperlihatkan sikap menentang kaisar dan banyak komandan di perbatasan yang tidak merasa puas...”

“Berita itu memang benar, Kongcu. Bahkan kami juga telah mengadakan persekutuan dengan Gubernur Ho-nan.”

“Ahh, bagus sekali...!”

“Kami hanya menanti saat yang tepat saja untuk mulai dengan gerakan kami, gerakan serentak dari segenap penjuru untuk menyerbu kota raja. Maka kalau engkau suka membantu, Tang-kongcu, kami akan menerima dengan kedua tangan terbuka.”

“Tentu saja saya akan membantu, akan tetapi… apakah imbalannya kelak?” Tang Hun adalah seorang yang cerdik, maka melihat betapa pangeran ini sudah bersikap terbuka kepadanya, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat melepaskan diri dari pengaruh pangeran ini. Setelah dipercaya mendengarkan pengakuan itu semua, tentu Pangeran Nepal itu tidak akan mau melepaskan dia begitu saja dalam keadaan hidup, kecuali kalau dia menyatakan kesanggupannya untuk membantu, akan tetapi dia pun bersikap terbuka dan lebih dulu menanyakan imbalan atau ganjarannya kelak!

Koksu Nepal mengangguk-angguk dan matanya melirik ke arah Tang Hun. “Hemmm, Tang-kongcu memang seorang yang cerdik. Akan tetapi sekali lagi, jangan Kongcu mengharapkan diri Puteri Bhutan, karena ketahuilah bahwa di samping beliau menjadi tamu agung kami, juga Puteri Bhutan adalah seorang sandera yang tidak ternilai harganya. Melalui Sang Puteri itu kami bermaksud menundukkan Bhutan. Maka, siapa pun yang mengganggu sandera kami itu, berarti menghalangi perjuangan kami.”

“Ahh, Koksu. Setelah mendengar penjelasan tadi, saya sudah membuang pikiran untuk mendapatkan Sang Puteri itu.”

“Bagus, kalau begitu Tang-kongcu boleh melegakan hati. Jika perjuangan kita bersama ini berhasil baik kelak, tentu kami tidak akan melupakan Kongcu dan andai kata Kongcu menghendaki kedudukan, Kongcu tinggal memilih saja!” kata Pangeran Liong Bian Cu dengan suara dan wajah serius.

Tang Hun menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih. Kemudian dia berkata, “Setelah saya menjadi pembantu pergerakan Pangeran, tentu saja semua anak buah Liong-sim-pang juga ikut pula membantu. Pangeran boleh mengandalkan mereka sebab mereka adalah orang-orang yang telah dilatih dan masing-masing prajurit mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Akan tetapi tiga orang pembantu saya ini harap diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.”

Pangeran Nepal itu kini memandang kepada tiga orang kakek itu penuh selidik, lalu dia berkata dengan suara dingin, “Sebagai pembantu-pembantu pribadi, harus dipilih orang yang benar-benar lihai seperti Tang-kongcu sendiri. Segala orang yang hanya memilki kepandaian biasa saja cukup bergabung di dalam pasukan Liong-sim-pang sebagai komandan-komandan pasukan. Kami khawatir gagal kalau dibantu oleh sembarangan orang saja.”

“Ehh, harap Paduka jangan memandang rendah kepada mereka bertiga ini, Pangeran! Tingkat kepandaian mereka tidak lebih rendah dari pada tingkat kemampuan saya sendiri!” Tang Hun berseru dengan khawatir. Dia mengenal tiga orang pembantunya itu sebagai orang-orang kang-ouw yang mempunyai keangkuhan hingga ucapan Pangeran Nepal itu tentu saja amat merendahkan dan menghina.

Akan tetapi, tiga orang pembantunya itu juga bukan orang-orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pengelana di dunia kang-ouw yang sudah makan asam garam di dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman dan dapat menilai orang-orang pandai. Melihat keadaan Pangeran Nepal itu dan para pembantunya, mereka maklum bahwa mereka berada di goa naga dan biar pun mereka merasa dipandang rendah, namun mereka tidak menjadi marah karena mereka tahu bahwa sang pangeran ini belum mengenal mereka!

“Apa yang dikatakan oleh Pangeran sungguh tepat. Pinto hanyalah seorang tosu miskin yang tidak bisa apa-apa, hanya mengandalkan sebatang pedang untuk hidup, mana bisa diandalkan?” Setelah berkata demikian, Hak Im Cu, tosu berwatak bengis bertubuh tinggi kurus itu mencabut pedangnya. Melihat ini, Ban-hwa Sengjin dan Gitananda memandang dengan mata memancarkan sinar aneh, akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo, dua orang kakek iblis dari dunia hitam itu, hanya memandang tak acuh.

“Yaaah, pinto hanya dapat mengandalkan pedang untuk mencari sesuap nasi beserta lauk-pauknya!”

Pada saat itu, baru saja pelayan-pelayan datang menghidangkan nasi dan sayur mayur memenuhi meja itu. Kini, begitu Hak Im Cu bangkit dan menggerakkan pedangnya, nampak sinar berkelebatan dan seolah-olah ada bayangan puluhan batang pedang menyambar-nyambar dan disusul dengan mulut tosu itu mengganyang semua masakan yang ‘dipungut’ oleh ujung pedangnya!

Pedang-pedang itu digunakan seperti sebatang sumpit, ditusukkan ke dalam mangkok mangkok dan piring-piring yang ada masakannya, demikian cepatnya sehingga pedang berubah menjadi bayangan puluhan batang dan biar pun mangkok yang berdiri di ujung, yang agaknya menurut ukuran tak mungkin dapat dicapai pedang, dapat juga dijumput! Tiba-tiba tosu itu menghentikan gerakannya dan sudah duduk kembali, mulutnya masih mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.

Ban-hwa Sengjin mengangguk-angguk dan Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. “Bagus, kepandaian Totiang hebat sekali dan patut menjadi pembantu kami!”

Memang demonstrasi tadi biar pun kelihatan sederhana namun sudah membuktikan bahwa tosu ini memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang luar biasa. Hanya dengan ginkang luar biasa saja dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga seolah-olah dia tidak meninggalkan tempatnya ketika dia bangkit berdiri, padahal tanpa bergerak dari situ tidak akan mungkin dia dapat mengambil makanan di ujung meja yang terletak agak jauh. Cara dia menusuk setiap makanan dengan ujung pedang dan membawanya ke mulut, demikian cepat, dan tidak ada sedikit pun kuah yang tercecer!

“Pinto Hak Im Cu hanya seorang biasa dan terima kasih atas kepercayaan Paduka,” Hak Im Cu berkata sambil mengangguk.

Pangeran Liong Bian Cu tentu saja girang sekali melihat bahwa para pembantu Tang Hun itu ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka dia menoleh kepada dua orang kakek lain yang duduk di jajaran tamu itu. “Hak Im Cu totiang telah memperlihatkan kepandaian dan mengagumkan sekali, harap Ji-wi Locianpwe jangan sungkan dan suka pula memperlihatkan kepandaian untuk menggembirakan pertemuan ini.”

Ban-kin-kwi Kwan Ok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah Pangeran Nepal itu. “Saya Kwan Ok hanyalah seorang kasar dan bodoh, hanya mengandalkan tenaga sehingga dijuluki orang Ban-kin-swi. Kalau Paduka memperkenankan, saya akan coba mengangkat arca singa di sudut itu.”

Pangeran Liong Bian Cu memandang dengan mata terbelalak. Arca singa di sudut itu adalah arca yang sangat berat, dan untuk mengangkatnya dibutuhkan tenaga gabungan paling sedikitnya enam orang laki-laki dewasa yang kuat. Maka dia tersenyum sambil mengangguk dan kakek raksasa itu lalu menghampiri arca singa, diikuti pandang mata semua orang. Hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo yang cuma melirik dan bersikap tidak peduli.

Setelah menghampiri arca, Ban-kin-swi Kwan Ok menyingsingkan dengan bajunya, kemudian membungkuk dan kedua tangannya memegang arca itu, digoyang-goyang seperti hendak menaksir beratnya. Kemudian tiba-tiba dia membentak keras dan hanya dengan tangan kanan memegang kaki belakang arca itu, dia mengangkat arca itu naik ke atas kepalanya! Melihat ini, Pangeran Liong Bian Cu kagum dan tahulah dia bahwa Ban-kin-swi benar-benar seorang yang memiliki tenaga gajah! Kakek itu kini melempar lemparkan arca itu ke atas, dilempar, disambut lagi dan mempermainkan benda berat itu seolah-olah baginya hanya merupakan sebuah bola yang ringan saja. Kemudian dia menurunkan arca itu di tempatnya dan menghampiri meja dengan napas dan muka biasa, hanya di dahinya terdapat sedikit peluh.

“Bagus...! Kini Pangeran Liong Bian Cu berseru memuji dan merasa gembira. Senang juga hatinya memperoleh pembantu-pembantu yang sehebat ini. “Kwan-lo enghiong patut pula menjadi pembantu kami.” Pangeran ini lalu menoleh kepada kakek ketiga, yaitu Hai-Liong-ong Ciok Gu To, kakek berkepala gundul botak yang bertubuh gemuk pendek itu.

Kakek gundul yang suka tertawa ini tersenyum lebar, kemudian memandang kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun. “Heh-heh-heh, saya hanya seorang tua bangka nelayan yang hanya pandai berenang. Karena tak memiliki kepandaian apa-apa, saya mengandalkan nasib ke tangan Tang-kongcu. Oleh karena itu sekarang pun saya hanya turut kepada Tang-kongcu saja yang sudah menanam banyak budi dan kebaikan terhadap saya. Tang-kongcu, saya menyerahkan urusan dengan Pangeran Liong ini kepada Kongcu dan untuk itu, saya menghaturkan terima kasih dengan secawan arak!” Sambil berkata demikian, kakek gundul gemuk ini lalu bangkit berdiri, menyambar guci arak di atas meja dengan tangan kanan, menyambar cawan arak di depan Tang Hun dengan tangan kiri, kemudian dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan.

Semua orang memandang dan Pangeran Liong terkejut melihat betapa arak di cawan sudah penuh, namun masih dituang juga sehingga arak itu terus menaik melebihi bibir cawan. Hebatnya, arak itu tidak sampai meluber tumpah! Kelebihan arak di atas bibir cawan itu membulat seperti telur, bergoyang-goyang namun tidak tumpah. Kini kakek itu menyerahkan cawan yang araknya terlalu penuh itu kepada Tang Hun.

“Ha-ha-ha, Hai-liong-ong Ciok Gu To lo-enghiong sungguh membikin saya merasa amat sungkan dan malu!” Tang Hun juga bangkit berdiri dan menerima cawan itu dengan tangan kanan.

Semua orang memandang dengan tegang karena maklum bahwa Ciok Gu To telah mempergunakan sinkang yang amat kuat untuk ‘menahan’ sehingga arak yang terlalu penuh itu tidak sampai meluber, maka kalau sampai cawan itu berganti tangan, tentu araknya akan meluber tumpah dan mengotori lengan baju Tang Hun.

Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu. Kalau Tang Hun menerima cawan itu dan Ciok Gu To melepaskan tangannya, cawan itu berada tangan kanan Tang Hun dan araknya sama sekali tidak tumpah bahkan kini Tang Hun sengaja memiringkan cawan itu dan arak di dalam cawan tetap saja tidak tumpah! Padahal, arak itu sudah hampir keluar dari dalam cawan, seperti telur direbus lunak akan tetapi tertahan oleh sesuatu. Pertunjukan ini saja sudah membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, pemuda pesolek ini bahkan lebih kuat dari pada Hai-liong-ong Ciok Gu To!

“Biarlah arak ini saya minum demi keselamatan Pangeran!” kata Tang Hun sambil mengacungkan cawan, kemudian sekali tenggak arak itu lenyap ke dalam perutnya.

Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. Hatinya girang bukan main dan dia merasa sudah puas dengan semua demonstrasi ringan itu, karena sebagai seorang ahli dia pun sudah dapat menilai bahwa empat orang itu jelas bukan orang-orang sembarangan dan akan merupakan pembantu-pembantu yang amat baik. Maka dia lalu mempersilakan mereka semua makan minum dalam suasana yang amat gembira.

Selagi mereka berpesta gembira, dan hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo saja yang bersikap biasa dan sama sekali tidak menghormati tamu, juga Jenderal Kao Liang yang makan minum dengan sikap tak peduli, muncullah kepala pengawal yang berlutut dan melapor kepada Pangeran Liong bahwa rombongan orang Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Mohinta mohon menghadap.

Pangeran Liong Bian Cu mengerutkan alisnya, saling memandang dengan Ban-hwa Sengjin, kemudian dia berkata kepada Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo.

“Harap Ji-wi Locianpwe suka menemani para tamu bersama Jenderal Kao Liang. Kami bersama Koksu ada kepentingan lain untuk menerima tamu.”

Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lomo mengangguk. Jenderal Kao Liang diam saja dan Liong Bian Cu lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, didampingi koksu yang dikawal oleh Gitananda yang setia.

Panglima muda dari Bhutan, Mohinta itu, telah menanti di ruangan tamu bersama tujuh orang pengikutnya yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dari Bhutan. Bagaimana tokoh Bhutan muda itu dapat tiba di tempat ini?

Seperti kita ketahui, setelah Syanti Dewi berhasil melarikan diri dari Bhutan bersama Siang In, panglima muda yang mencinta Syanti Dewi dan mengharapkan puteri itu menjadi isterinya ini segera melakukan pengejaran dan dia menyebar banyak sekali penyelidik. Dia melakukan pengejaran dengan para penyelidiknya menuju ke timur dan dia selalu didampingi oleh tujuh orang pembantu yang semuanya memiliki kepandaian cukup tinggi itu untuk mencari jejak Syanti Dewi.

Seperti yang dituturkan oleh Cui Ma, bekas pelayan Ang Siok Bi ibu dari Ang Tek Hoat kepada Kian Bu dan Hwee Li, pelayan yang menjadi gila karena ketakutan dan karena duka itu, dalam pengejarannya mencari jejak Syanti Dewi, akhirnya Mohinta malah menemukan tempat sembunyi Ang Siok Bi. Mengingat bahwa Ang Siok Bi adalah ibu Ang Tek Hoat yang dibencinya, maka Mohinta lalu turun tangan membunuh wanita yang malang itu.

Dia terus melakukan penyelidikan, mendengar bahwa Syanti Dewi terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua Liong-sim-pang di Puncak Naga Api. Dia menyusul ke sana, akan tetapi terlambat karena mendengar bahwa puteri yang dicarinya itu telah diculik orang lagi dari tempat itu. Mohinta mencari terus, tanpa mengenal lelah. Dia bukan hanya mencinta puteri yang memang amat cantik jelita itu, akan tetapi di samping cintanya ini terdapat pula keinginan yang mendorong dia berusaha memperisteri Syanti Dewi, yaitu kalau dia dapat menjadi mantu raja, tentu kelak dia mempunyai harapan besar untuk menjadi Raja Bhutan! Ambisi inilah yang membuat dia tidak mengenal lelah mencari Syanti Dewi dan tidak akan berhenti sebelum puteri itu terdapat olehnya.

Setelah mencari-cari siang malam dan mengerahkan seluruh pembantunya yang banyak tersebar di daerah Ho-pei dan Ho-nan, di mana untuk terakhir kalinya dia mendengar akan jejak Syanti Dewi, akhirnya dia mendengar bahwa puteri itu telah tertawan oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Berita ini mengejutkan hati Mohinta! Tertawannya Puteri Syanti Dewi oleh pangeran cucu Raja Nepal itu benar-benar amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatinya.

Dia maklum siapa adanya Pangeran Bharuhendra yang juga bernama Liong Bian Cu itu, seorang Pangeran Nepal yang berilmu tinggi dan berkuasa besar. Bahkan dia mendengar bahwa pangeran itu ditemani oleh guru negara, yaitu pendeta Lakshapadma yang juga disebut Ban-hwa Sengjin, bahkan kabarnya Gitananda, pendeta yang amat lihai itu pun menemani Sang Pangeran Nepal. Hilanglah harapannya untuk merampas Syanti Dewi dengan menggunakan kekerasan.

Akan tetapi Mohinta adalah seorang muda yang cerdik dan dia segera memperoleh akal yang amat baik, bukan hanya untuk mendapatkan kembali puteri cantik yang sudah membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi bahkan mendapatkan jalan untuk menguasai Bhutan mengandalkan bantuan Nepal yang selama ini menjadi musuh Bhutan!

Ketika Pangeran Bharuhendra yang kita kenal sebagai Liang Bian Cu itu muncul bersama pendeta Lakshapadma yaitu Ban-hwa Sengjin, Koksu Nepal dan diikuti oleh Gitananda, Mohinta dan tujuh orang pengikutnya cepat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Kemudian Mohinta bangkit sebagai seorang militer dan berkata, “Harap Paduka sudi memaafkan kalau hamba dan para pengikut berani mengganggu Paduka di tengah malam begini.”

Pangeran Liong Bian Cu memandang dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Duduklah dan ceritakan siapa engkau, serta apa pula yang menjadi maksudmu datang kepadaku. Harap bicara secara jujur dan terbuka karena kalau tidak demikian, saat ini juga kami akan menyuruh pengawal membunuh kalian.”

Mohinta lalu menceritakan niatnya, yaitu bahwa dia disuruh oleh Raja Bhutan untuk mencari Syanti Dewi dan bahwa dia tahu di mana adanya puteri itu. Akan tetapi dia siap untuk membantu Pangeran Nepal untuk menguasai Bhutan dengan menggunakan Puteri Syanti Dewi sebagai sandera.

“Dengan adanya puteri itu di tangan kita, Paduka tidak perlu mengerahkan bala tentara untuk menyerbu Bhutan. Cukup hamba yang akan menggulingkan raja dengan bantuan Paduka dan selanjutnya, hamba yang tanggung bahwa Bhutan akan tunduk terhadap Nepal dan memenuhi segala tuntutan dan perintah dari Nepal.” Demikian antara lain Mohinta berkata.

Semua penuturannya didengarkan oleh Pangeran Liong Bian Cu dan Ban-hwa Sengjin. Kemudian Koksu Nepal itu berkata dengan suara tenang, dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Mohinta karena ada persamaan bahasa antara mereka.

“Mohinta, engkau sudah bersiap untuk mengkhianati rajamu sendiri! Engkau sudah berniat hendak membantu kami yang selama ini dianggap musuh oleh Kerajaan Bhutan. Tentu ada pamrih tertentu tersembunyi di dalam pengkhianatanmu ini. Apakah pamrih itu? Apakah yang kau inginkan dalam persekutuan antara engkau dan kami?”

Wajah Mohinta menjadi merah, jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian dan kecerdikan Koksu Nepal itu, maka dia tahu pula bahwa membohongi terhadap mereka amatlah berbahaya. Menghadapi orang-orang Nepal yang amat kuat ini, jalan satu-satunya hanyalah mendekati, bukan memusuhi.

“Maaf, Koksu. Sudah tentu dalam setiap tindakan terdapat pamrih yang mendorongnya. Benarlah wawasan Koksu bahwa ada pamrih dalam hati saya jika saya menawarkan diri untuk membantu Nepal menggulingkan Raja Bhutan. Pertama, saya ingin memperoleh Puteri Syanti Dewi sebagai isteri saya kalau kita berhasil. Kedua, saya mengharapkan kebijaksanaan dan ganjaran dari Raja Nepal agar saya dapat menggantikan kedudukan raja di Bhutan.”

Pangeran Liong Bian Cu tersenyum. “Hemmm, besar sekali ambisimu, orang muda. Lalu, untuk semua anugerah yang kau harapkan itu, apa saja yang dapat kau berikan kepada kami?”

“Ayah hamba adalah kepala panglima di Bhutan. Biar pun ayah hamba tidak akan mencampuri urusan pemberontakan, bahkan mungkin menentang, akan tetapi hamba dapat menguasai sebagian besar dari bala tentara yang dipimpin oleh ayah. Dan hamba adalah seorang kepercayaan dari raja, maka kalau hamba yang berkuasa di Bhutan, tentu hamba dapat membantu Paduka untuk menghadapi Kaisar Ceng, Tibet, dan lain lain.”

Tiba-tiba Ban-hwa Sengjin mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua untuk diam, lalu sekali berkelebat kakek ini telah meloncat ke jendela, membuka daun jendela. Akan tetapi tidak ada siapa pun di balik jendela itu, maka dia lalu menutupkan lagi daun jendela dan kembali ke ruangan.

“Aman,” katanya, “Tadinya saya kira mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.”

Mereka lalu melanjutkan perundingan. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Hwee Li berbisik-bisik di dekat telinga Puteri Syanti Dewi di dalam kamar puteri itu dan Syanti Dewi mendengarkan dengan wajah pucat. Tadi memang Hwee Li yang mencuri dengar ketika Liong Bian Cu mengadakan perundingan dengan Mohinta, dan karena dara ini mengerti bahasa mereka, maka dia dapat mendengar kesanggupan Mohinta untuk menggulingkan Raja Bhutan dan bersekongkol dengan Pangeran Nepal itu. Mendengar penuturan yang dibisikkan oleh Hwee Li, Syanti Dewi terkejut dan marah sekali. Akan tetapi apa yang kini dapat dilakukannya terhadap Mohinta? Dia sendiri berada di situ sebagai seorang tawanan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum