JODOH RAJAWALI : JILID-01
Pada awal tahun 1700 terjadilah pemberontakan yang dilakukan dua orang pangeran kakak beradik, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, adik-adik tiri kaisar pertama itu, yaitu Kaisar Kang Hsi. Dua orang pangeran yang mencoba untuk berkhianat terhadap kaisar itu melakukan pemberontakan yang nyaris menggulingkan kedudukan kaisar, atau sedikitnya telah menggegerkan kota raja. Akan tetapi akhirnya berkat bantuan para menteri dan panglima yang setia, apa lagi karena bantuan Puteri Milana yang terkenal gagah perkasa dan pandai, pemberontakan itu dapat digagalkan, bahkan dua orang pangeran pengkhianat itu dapat ditewaskan.
Akan tetapi, pemberontakan ini dengan segala akibatnya menggores hati kaisar yang sudah tua itu, oleh karena, pertama dia merasa kecewa dan terkejut melihat kenyataan betapa dua orang adik tiri yang dipercayanya itu betul-betul melakukan pemberontakan terhadapnya. Kedua, melihat bahwa dia terpaksa membiarkan dua orang adiknya itu tewas. Dan ketiga, perpecahan-perpecahan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu di antara ponggawa dan pembantunya.
Lima tahun telah lewat sejak pemberontakan itu dapat ditumpas. Akan tetapi, walau pun pemberontakan sudah dapat dipadamkan dan dua orang pangeran tua itu telah tewas, peristiwa itu mengakibatkan perpecahan di kalangan atas dan mengakibatkan timbulnya sikap curiga-mencurigai di antara mereka, mempunyai pengaruh besar terhadap para pembesar atasan yang mempengaruhi pula para anak buah mereka dan terasa pula ketegangan-ketegangan yang timbul di antara kelompok satu dan kelompok lainnya sehingga rakyat pun merasa gelisah.
Peristiwa itu banyak mengurangi kedaulatan dan wibawa Kaisar Kang Hsi. Kaisar tua itu tidak kuat lagi mengendalikan kemudi pemerintahannya yang mulai dilanda gelombang perpecahan itu. Beberapa raja-raja muda, gubernur-gubernur dan panglima-panglima komandan barisan di perbatasan yang menguasai daerah propinsi yang jauh letaknya dari kota raja, sedikit demi sedikit dan secara halus tidak menyolok mulai memisahkan diri dari pusat. Mereka itu masing-masing menyusun kekuatan dan berusaha mengatur daerah kekuasaan masing-masing seperti seorang raja. Semua hasil pemungutan pajak dan lain-lain mereka simpan sendiri, dan kalau pun sebagai basa-basi mereka masih mengirimkan hasil daerah mereka ke kota raja, maka yang dikirim itu tidak ada artinya dibandingkan dengan hasil yang masuk.
Tentu saja tidak semua pembesar bersikap demikian. Banyak pula yang sejak semula berpihak kepada kaisar, masih tetap merupakan pembesar yang setia. Oleh karena itu timbullah pertentangan diam-diam di antara para pembesar dan pertentangan ini tentu saja menimbulkan keadaan yang kacau dan tidak aman.
Biar pun dari pusat sendiri tidak atau belum ada tindakan apa-apa, tetapi di antara para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang hendak memisahkan diri, kini terdapat pertentangan baik secara sembunyi-sembunyi mau pun secara terang-terangan hingga sering terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pembesar yang mempertahankan daerah kekuasaannya masing-masing hanya karena urusan perdagangan, perairan, atau urusan lain-lain.
Semua bentuk permusuhan, baik dimulai dari permusuhan perorangan sampai kepada perang dunia, adalah pencetusan dari sifat mementingkan diri pribadi dari manusia. Sifat mementingkan diri pribadi ini yang didorong oleh keinginan mengejar kesenangan, menimbulkan ambisi-ambisi pribadi dan dalam pengejaran ambisi-ambisi pribadi inilah terjadi kekerasan, saling menjegal, saling merobohkan dan saling membunuh demi mencapai ambisi pribadi.
Kalau hanya begitu saja kiranya masih mending, namun yang lebih celaka lagi adalah kenyataan bahwa di dalam pengejaran ambisi pribadi itu, dalam menghadapi saingan, mereka tidak segan-segan untuk mempergunakan tenaga orang lain, bahkan tidak segan-segan mengorbankan orang-orang lain yang tidak terhitung banyaknya, dengan menggunakan kedok perjuangan dan sebagainya yang muluk-muluk untuk menutupi dasar perbuatan mereka yang sesungguhnya, yaitu demi kepentingan diri mereka sendiri!
Hal seperti ini merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia, kenyataan yang terjadi berulang-ulang selama ribuan tahun lamanya, namun sampai kini pun masih ada saja manusia yang berhati serigala bermuka domba, mengorbankan banyak orang demi tercapainya cita-cita atau ambisi mereka dan menggunakan slogan-slogan muluk, dan anehnya masih banyak pula orang-orang yang begitu bodohnya, mudah saja diperalat oleh beberapa gelintir orang dengan umpan slogan muluk-muluk.
Demikianlah, di daerah-daerah perbatasan antara propinsi, bahkan antar karesidenan atau kabupaten, sering kali terjadi kekacauan dan permusuhan karena perpecahan itu. Dan siapakah yang menderita? Lagi-lagi rakyat jelata. Di waktu perang terlanda oleh kejamnya peperangan, dirampok dan dibakar. Di waktu damai terlanda kejamnya para pembesar atau penguasa yang korup.
Demikianlah nasib rakyat kecil yang tidak berdaya. Akibat pertentangan-pertentangan antara pembesar yang memperebutkan kebenaran mereka sendiri itu, tentu saja melalaikan penjagaan dan muncullah segala macam orang yang biasa mempergunakan kekacauan untuk mengail di air keruh, yaitu kaum maling, perampok, para bajak dan sebagainya. Hal seperti ini tentu saja mendatangkan perasaan prihatin dalam hati para pembesar yang berjiwa pahlawan, yang berjiwa pemimpin dan yang benar-benar mementingkan kehidupan rakyat jelata.
Akan tetapi, Kaisar Kang Hsi yang sudah tua itu sama sekali tak menyadarinya. Bahkan kematian dua orang adlk tirinya itu, pemberontakan mereka itu membuat dia merasa tidak suka kepada orang-orang yang menentang dua orang adiknya yang memberontak itu, karena dianggapnya bahwa merekalah yang membuat dua orang pangeran itu tidak suka dan memberontak.
Mulailah kaisar ini menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya ini, orang-orang yang dengan gigih menentang dua orang pangeran pemberontak. Sikap kaisar seperti ini tentu saja mengakibatkan terpecahnya para pembantu yang dekat dengannya, yaitu mereka yang prihatin melihat ulah kaisar, dan mereka yang menggunakan kesempatan ini untuk menjilat. Penjilatan ini pun hanya merupakan percerminan dari keinginan menyenangkan diri pribadi yang ingin mencari kedudukan, dan penjilatan itu hanya merupakan ‘cara’ mereka untuk dapat mencapai ambisi mereka. Mulailah bermunculan ‘jari-jari maut’ dan ‘bibir-bibir berbisa’ yang main tunjuk sana-sini, bisik sana-sini untuk menjatuhkan fitnah kepada orang-orang yang dibenci.
Melihat keadaan ini, para pembesar yang setia pada negara mulai melakukan gerakan halus, diam-diam mereka mencalonkan seorang kaisar baru untuk menggantikan kaisar yang lalim itu. Mereka ini tidak rela melihat pemerintah dan rakyat dirusak oleh ulah kaisar tua yang agaknya sudah pikun.
Namun, orang yang paling merasa sengsara hatinya adalah seorang panglima besar yang merupakan orang paling tinggi pangkatnya di dalam angkatan perang Kerajaan Ceng-tiauw. Orang ini bukan lain adalah Jenderal Kao Liang, yang diangkat menjadi panglima besar setelah pemberontakan itu dapat ditumpasnya. Akan tetapi, melihat sepak terjang kaisar, Jenderal Kao yang jujur itu tidak rela dan tidak dapat diam saja. Pada suatu hari, dengan terang-terangan dia menghadap kaisar dan memperingatkan kaisar akan penyelewengannya.
Aklbatnya hebat! Karena marah, terutama karena suara-suara hasutan dari kanan kiri, kaisar yang tidak berani menghukum panglima terkenal ltu secara berterang, kemudian menggunakan siasat halus. Jenderal Kao di ‘pensiun’-kan! Jenderal Kao diberhentlkan dengan hormat dan dipersilakan untuk ‘beristirahat’ menikmati hari tua dan diberi bekal banyak harta benda oleh kaisar.
Sungguh kaisar tua itu telah linglung. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghentian Jenderal Kao ini membuat para panglima dan gubernur yang berkuasa di propinsi-propinsi yang berjauhan, yang menganggap diri sendiri sebagai raja-raja, bersorak kegirangan dan menjadi lega hati mereka. Betapa tidak? Jenderal Kao seoranglah yang mereka takuti sehingga mereka masih belum berani memisahkan diri secara berterang. Mereka merasa ngeri kalau membayangkan betapa Jenderal Kao yang galak dan pandai itu membawa pasukan menghukum mereka. Akan tetapi kini Jenderal Kao sudah dihentikan dari jabatannya, sudah dipensiun dan menjadi rakyat biasa! Jenderal Kao tanpa pasukan bukan merupakan tokoh yang menakutkan lagi.
Malam itu bulan purnama tersenyum cerah di angkasa. Tiada awan yang nampak menghalangi sinar bulan yang lembut dan bulan yang bundar itu seperti sebuah bola emas tergantung di langit biru. Malam hening dan sejuk sungguh pun tiada angin menggerakkan daun-daun pohon yang mengapit lorong di dalam hutan itu. Dari celah-celah daun, sinar bulan menerobos dan menerangi lorong yang ditilami daun-daun kering yang lunak dan agak lembab di malam itu.
Malam sudah agak larut, akan tetapi di lorong itu masih ada serombongan orang yang bergegas jalan tanpa berkata-kata, di tengah-tengah mereka terdapat beberapa orang yang memikul tandu-tandu. Kalau datang dari jurusan ini, lorong melalui hutan itu merupakan jalan satu-satunya yang terdekat untuk memasuki daerah Kang-lam. Melihat orang-orang yang berjalan di depan dan di belakang rombongan tandu itu berpakaian seragam, dan selalu siap memegang golok dan tombak, mudah sekali diduga bahwa rombongan itu tentulah rombongan pembesar dan mereka itu tentu pasukan pengawal.
Dugaan ini memang tidak keliru karena rombongan itu adalah rombongan Jenderal Kao Liang dan keluarganya. Setelah dipensiun dan dihentikan dari jabatannya, jenderal ini maklum bahwa dia tidak berdaya lagi untuk bertindak sebagai jenderal, maka dia lalu mengumpulkan semua harta miliknya, dan mengajak keluarganya untuk menlnggalkan kota raja, kembali ke tempat kelahirannya atau tempat kampung halamannya, yaitu di daerah Kang-lam. Dia ingin mendinginkan hati dan pikirannya yang panas, kemudian baru hendak memutuskan apa yang dapat dia lakukan untuk negara dan bangsanya dalam keadaan seperti itu.
Tiba-tiba tirai penutup tandu yang paling depan tersingkap dan terdengarlah suara yang berat dan penuh wibawa, yang ditujukan kepada seorang bertubuh tinggi kurus yang memakai pedang di pinggangnya, yaitu kepala pengawal yang jumlahnya dua losin orang itu.
“Kepala pengawal! Kita berhenti sebentar di sini agar supaya para pemikul tandu dapat beristirahat.”
Kepala pengawal itu sambil masih berjalan mengiringkan tandu itu membungkuk dan berkata, nada suaranya sungguh-sungguh, “Yang Mulia, tidakkah lebih baik kalau kita melanjutkan perjalanan sampai kita keluar dari hutan ini baru beristirahat? Di dalam hutan begini keadaannya amat berbahaya karena bahaya dapat muncul dari mana-mana tanpa kita ketahui, tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, berbeda kalau berada di tempat terbuka di mana kita dapat menghadapi ancaman bahaya secara terbuka. Daerah ini terkenal sebagai daerah yang sering diganggu oleh penyamun-penyamun yang berkepandaian tinggi.”
“Hemm... siapakah yang kau maksudkan dengan penyamun-penyamun berkepandaian tinggi? Mana ada penyamun berkepandaian tinggi kalau mereka itu bukan bekas orang-orangnya Tambolon? Ataukah dari golongan lain? Bukankah kabarnya mereka semua sudah dihalau dan dibasmi oleh Pendekar Super Sakti dan kedua anak dan mantunya, Puteri Milana dan pendekar sakti Gak Bun Beng?”
“Paduka belum mengetahui perkembangan yang terjadi di dunia hitam selama satu dua tahun ini. Di daerah ini pernah terjadi bentrokan-bentrokan hebat antara dua golongan hitam, yaitu golongan perampok Gunung Cemara di sebelah selatan lembah melawan golongan bajak di timur lembah, di sepanjang Sungai Huang-ho.”
“Hemm, sungguh menarik sekali ceritamu. Lalu bagaimana akhir pertempuran di antara mereka?” tanya orang tua bersuara berat dan berwibawa itu yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang sendiri.
“Pertempuran itu hebat dan makan banyak korban di antara kedua fihak, akan tetapi setelah muncul seorang Pendekar berambut putih yang sangat lihai dan melerai di antara mereka, pertempuran segera berhenti dan berakhir.”
“Pendekar rambut putih? Ho-ho-ho, itulah Pendekar Super Sakti!” Jenderal Kao Liang berseru sambil tertawa girang.
“Bukan, Yang Mulia. Bukan beliau. Pendekar itu masih sangat muda, dan kakinya utuh, tidak buntung sebelah seperti kaki Pendekar Siluman.”
“Ehhhhh?! Bukan Pendekar Siluman?” Jenderal Kao makin terheran dan ingin sekali tahu.
“Benar, bukan Pendekar Siluman. Akan tetapi karena kepandaiannya juga hebat luar biasa seperti bukan manusia, apa lagi rambutnya juga putih terurai bagaikan benang perak seperti rambut Pendekar Siluman, maka orang-orang menamakan dia Pendekar Siluman Kecil.”
“Hemm... sungguh luar biasa. Bagaimana mukanya, apakah wajahnya tampan ataukah buruk mengerikan?”
“Itulah yang aneh, Yang Mulia. Orang tidak pernah bisa melihat wajahnya dengan jelas karena sebagian dari mukanya tertutup oleh rambutnya yang terurai itu, dan gerakannya amat cepat saperti menghilang saja.”
Jenderal Kao mengangguk-angguk, kemudian menarik napas panjang seperti orang termenung. “Bukan main! Memang di dunia ini banyak orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan watak yang aneh-aneh.”
“Benar, Tuanku. Bahkan putera sulung Paduka sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat dan kabarnya tidak kalah dibandingkan dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Siluman itu sendiri.”
“Hemmm... agaknya begitulah. Akan tetapi sayang dia tidak berada di sini. Sudahlah, kau hentikan perjalanan ini. Jangan takut, kita tetap beristirahat di sini. Sejak dahulu aku tidak pernah bermusuhan dengan golongan sesat secara pribadi, maka perlu apa kita mengkhawatirkan gangguan mereka?”
Kepala pengawal itu tidak berani membantah lagi dan dia pun maklum akan kelihaian jenderal tua ini, apa lagi di dalam rombongan itu terdapat pula dua orang puteranya yang biar pun tidak sepandai putera sulung Jenderal itu, namun juga bukanlah orang-orang lemah. Selain itu, dia sendiri pun mempunyai dua losin anak buah yang cukup kuat, maka perlu apa mereka takut beristirahat di dalam hutan ini? Dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, mengeluarkan aba-aba yang cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua anak buahnya, “Berhentiiiii...! Kita beristirahat di sini...!”
Rombongan itu berhenti dan para pemikul tandu menjadi lega hatinya karena memang mereka sudah merasa sangat lelah, membutuhkan peristirahatan yang cukup untuk mengumpulkan kembali tenaga mereka. Para pengawal kemudian bergerak memenuhi perintah kepala pengawal, ada yang mencari kayu-kayu kering dan ada yang membuat api unggun, ada pula yang mulai menyeduh air dan sebagian dari mereka melakukan tugas menjaga di sekitar tempat itu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih dan semua bekerja sesuai dengan tugas mereka yang telah dibagi-bagi oleh kepala pengawal.
Jenderal Kao Liang lalu turun dari atas tandunya yang telah diletakkan di atas tanah. Jenderal ini usianya sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi berdirinya tegak, dengan dadanya yang bidang itu menonjol ke depan, perutnya besar akan tetapi kokoh, rambutnya sudah setengah putih, dan biar pun dia kini bukan seorang panglima lagi, namun dari sikapnya jelas dapat dilihat bahwa dia adalah seorang yang biasa mengatur banyak orang, memiliki wibawa dan ketegasan. Kini jenderal itu duduk di atas sebuah batu besar. Bulan purnama yang sinarnya gemilang itu sudah berada di atas kepala, sebagian sinarnya menerobos di antara daun-daun pohon menimpa tempat yang dijadikan peristirahatan rombongan ini.
Dua orang pemuda yang berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah berdiri di belakang bekas jenderal ini. Yang seorang berusia dua puluh satu tahun, bernama Kao Kok Tiong, putera kedua dari jenderal itu, sedangkan pemuda yang kedua berusia delapan belas tahun, bernama Kao Kok Han, putera ketiga atau bungsu dari Jenderal Kao Liang. Agaknya dua orang putera ini maklum pula bahwa tempat itu mencurigakan dan berbahaya, maka mereka siap di dekat ayah mereka untuk sewaktu-waktu membantu apa bila tenaga mereka diperlukan.
Sedangkan para keluarga wanita dan anak-anak yang ikut di dalam rombongan itu tetap berada di dalam tandu-tandu yang dikumpulkan di tempat terbuka, di antara pohon-pohon di tengah-tengah tempat itu dan terlindung oleh para pengawal yang melakukan penjagaan di sebelah luar tempat peristirahatan itu. Segera api unggun bernyala besar, menerangi dan menghangatkan tempat itu, juga segera mengusir nyamuk yang mulai beterbangan menyerang mereka.
Kepala pengawal tinggi itu menghampiri Jenderal Kao, memberi hormat dan berkata, “Karena perbekalan air habis, saya mohon perkenan Paduka untuk mencari air bersih.”
Jenderal Kao mengangguk. “Pergilah.”
Kepala pengawal bersama lima orang anak buahnya yang membawa guci-guci tempat air segera pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan untuk mencari air jernih dengan bantuan sinar bulan purnama yang masih terang tidak terhalang awan sedikit pun. Para pengawal lainnya, sambil berjaga-jaga melepaskan lelah dan duduk di tempat penjagaan masing-masing mengelilingi tempat itu sambil membuat api unggun sendiri.
“Ayah, silakan minum.” Kao Kok Tiong mengeluarkan tempat airnya dan memberikan kepada ayahnya.
“Kok Han, kau lihat apakah ibumu baik-baik saja, dan beri ibumu minum dan tawarkan kalau-kalau dia lapar dan ingin makan atau ingin sesuatu,” kata Jenderal Kao Liang sambil menerima tempat minum puteranya yang kedua, minum beberapa teguk dan mengembalikannya kepada Kok Tiong. Sedangkan Kok Han lalu menghampiri tandu ibunya dan kelihatan dia bicara dengan nyonya tua di dalam tandu, kemudian pemuda ini pun memeriksa tandu-tandu lain.
Jenderal Kao Liang ditemani dua orang puteranya lalu duduk melepaskan lelah di dekat api unggun, wajah jenderal itu muram karena dia teringat akan keadaan dirinya. Negara sedang kacau, terjadi perpecahan dan pertentangan di antara para kaki tangan pemerintah. Dan dia, yang sesungguhnya amat dibutuhkan di saat negara menghadapi bayangan ancaman pemberontakan, dia malah dihentikan!
Dia mengerti bahwa penghentiannya itu adalah fitnah atau hasil bujukan mulut beracun kepada kaisar. Akan tetapi kaisar sendiri yang memutuskan itu, tentu saja dia tidak berdaya dan tidak berani atau lebih tepat, tidak mau membantah. Dia adalah seorang jenderal yang setia, yang selalu rela mempertaruhkan jiwa raganya demi negara. Maka baginya, kehilangan kedudukan itu bukan apa-apa.
Dia sama sekali tidak mementingkan diri pribadi, akan tetapi dia merasa prihatin melihat betapa kedudukan kerajaan amat lemah dan bahaya mengancam dari setiap penjuru. Jenderal Kao Liang mengepal tinjunya yang besar dan keras. Biar pun dia sudah bukan panglima lagi, akan tetapi dia tidak akan membiarkan para pengkhianat memberontak. Kalau terjadi hal itu, dia pasti akan membantu negara dan akan membersihkan para pemberontak! Demikian tekad hatinya.
Akan tetapi dia harus menyelamatkan keluarganya dulu, membawa mereka ke kampung halamannya di mana mereka akan hidup tenteram. Setelah itu, dia akan bebas berbuat apa saja, dan dia akan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di kota raja.
“Ayah, sungguh mengherankan sekali, mengapa Cio-ciangkun belum juga kembali dari mencari air,” tiba-tiba Kok Tiong berkata dan memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut karena pemuda ini merasa tidak enak hati. Sudah hampir setengah jam kepala pengawal she Cio itu pergi mencari air bersama lima orang anak buahnya, namun belum juga kembali.
“Mungkin sukar mencari air di sini,” kata Jenderal Kao Liang.
“Akan tetapi, belum lama tadi rombongan kita melewati sebuah sumber air, dan untuk pergi mengambil air ke sana makan waktu sebentar saja,” bantah Kok Tlong.
“Hemmm, kalau begitu suruh wakilnya pergi menyusu!”
Kok Tiong lalu mencari wakil kepala pengawal dan wakil ini segera mengajak dua orang anak buahnya untuk pergi menyusul atau mencari komandan Cio yang sejak tadi pergi mencari air. Kok Tiong yang sudah mulai bercuriga itu menanti dengan hati tegang. Sampai setengah jam kemudian, wakil itu pun belum juga kembali, demikian pula Cio ciangkun belum juga kembali.
“Ayah, saya khawatir terjadi sesuatu dengan mereka,” Kok Tiong berkata dan sekarang Jenderal Kao juga mulai merasa curiga. “Biar saya pergi membawa pasukan pengawal untuk mencari mereka.”
Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Jangan! Kalau benar ada terjadi sesuatu yang tidak beres, jelas bahwa fihak sana hendak memecah belah kita. Agaknya selagi kita bersatu mereka tidak berani turun tangan, maka kalau kau pergi membawa pasukan, berarti siasat mereka untuk memecah kekuatan kita berhasil.”
Kok Tiong mengangguk-angguk, diam-diam kagum akan kecepatan pikiran ayahnya dalam menghadapi keadaan yang mencurigakan itu. “Lalu bagaimana baiknya, Ayah? Ibu juga sudah menaruh curiga dan tadi sudah beberapa kali menanyakan mengapa pengawal-pengawal yang pergi mencari air belum juga kembali.”
“Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan saja, selain untuk keluar dari hutan ini, juga agar ibumu tidak menjadi gelisah. Siapkan semua pasukan pengawal, dan kau wakili Cio-ciangkun.”
Kok Tiong, dibantu oleh Kok Han adiknya, cepat melakukan perintah ayahnya dan tak lama kemudian berangkatlah rombongan itu dikawal oleh pasukan pengawal yang kini berkurang dengan sembilan orang jumlahnya.
Malam sudah agak larut, sudah hampir tengah malam, bulan sudah berada di atas kepala dan tak lama kemudian rombongan ini sudah mulai tiba di pinggir hutan karena pohon-pohon sudah mulai jarang. Cuaca semakin terang karena pohon-pohon tidak sebanyak tadi, dan kanan kiri lorong tidak selebat tadi. Akan tetapi karena peristiwa menghilangnya sembilan orang itu membuat semua orang merasa curiga dan tegang, mereka melakukan perjalanan dengan diam-diam dan suasana menjadi sunyi bukan main, yang terdengar hanya daun-daun kering terinjak kaki dan napas pemikul tandu.
Tiba-tiba semua orang terkejut dan Jenderal Kao cepat membuka tirai tandunya dan mengulurkan tangan ke luar sambli berseru, “Berhenti...!”
Tanpa komando sekali pun, semua orang memang sudah berhenti dengan kaget karena mereka semua mendengar suara hiruk-pikuk, teriakan-teriakan bising seperti suara banyak orang sedang bertempur di luar hutan itu. Jenderal Kao Liang sudah meloncat ke luar dari tandunya dan memberi isyarat dengan tangan agar semua pasukan pengawal berkumpul, mengelilingi tandu-tandu yang dikumpulkan di situ dan siap siaga.
Semua pengawal mencabut golok masing-masing dan berjaga-jaga dengan hati pe-nuh ketegangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak merasa takut, karena di situ terdapat Jendera Kao Liang dan dua orang puteranya. Bagi para pengawal itu, jauh lebih baik langsung menghadapi musuh dari pada keadaan penuh rahasia seperti lenyapnya sembilan orang kawan mereka tadi.
“Ayah, biar saya pergi menyelidiki.” kata Kok Tiong.
“Saya akan menemani Tiong-ko,” kata pula Kok Han.
Jenderal Kao Liang menggeleng kepalanya. “Jangan, kita tunggu saja di sini. Kita sudah kehilangan sembilan orang pembantu, sebaiknya kita bersatu menghadapi musuh. Biarkan mereka menyerang, kita siap saja menyambut, akan tetapi lebih dulu biar aku yang bicara dengan pemimpin musuh.”
Kedua orang pemuda itu tidak membantah, akan tetapi menanti di situ sambil terus mendengarkan. Suara pertempuran yang tidak kelihatan itu menegangkan hati juga. Di dalam hati Jenderal Kao Liang sendiri, timbul berbagai pertanyaan. Dia merasa yakin bahwa pertempuran yang terjadi di luar hutan itu tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Cio-ciangkun dan delapan orang anak buahnya, akan tetapi apa yang terjadi sesungguhnya dia tidak dapat memastikan. Apakah pertempuran di luar hutan itu hanya merupakan pancingan belaka? Apakah memang ada golongan hitam yang mengincar rombongannya?
Sebagai seorang bekas panglima besar yang pensiun dan kini menuju ke kampung halamannya, tentu saja rombongannya membawa harta benda yang cukup banyak. Mungkin saja ada golongan hitam yang memang mengincar dan hendak merampas harta yang dibawa rombongannya. Ataukah Cio ciangkun dan para anak buahnya yang menghilang itu mungkin berkhianat dan bersekongkol dengan golongan hitam? Mereka itu telah menjadi korban dan tewas oleh golongan hitam, ataukah malah diam-diam bersekongkol dengan mereka? Dan siapa yang bertempur di luar hutan itu?
Tiba-tiba saja, seperti ketika terdengar tadi, suara hiruk-pikuk pertempuran itu berhenti. Berhenti sama sekali dan tidak terdengar suara sedikit pun. Suasana kembali menjadi sunyi. Bahkan terasa jauh lebih sunyi dari pada tadi sebelum ada suara pertempuran. Kini sunyi yang menyeramkan. Beberapa orang pengawal menggigil, sebagian karena dingin hawa malam itu, sebagian besar pula karena merasa seram. Memang amat menyeramkan kesunyian tiba-tiba itu setelah tadi mereka dicekam ketegangan suara pertempuran di luar hutan.
Jenderal Kao menanti sejenak, khawatir kalau-kalau fihak musuh memang sengaja memancing dan hendak menjebak. Akan tetapi sampai lama tidak terdengar suara apa pun dan sekarang daun-daun mulai berkelisik karena mulai tengah malam itu angin menggugah daun-daun pohon yang tadinya tidur.
Setelah ternyata benar-benar tidak terdengar lagi suara, Jenderal Kao lalu memanggil Kok Han, puteranya yang bungsu, “Kok Han, kau bawalah sepuluh orang prajurit pengawal dan selidiki di luar hutan depan itu. Akan tetapi jangan melibatkan diri dalam pertempuran. Kalau ada penyerangan, tarik kembali pasukanmu ke sini.”
“Baik, Ayah.” Kok Han lalu mengajak sepuluh orang pengawal, berindap keluar dari tempat itu menuju ke tempat dari mana tadi terdengar suara pertempuran, yaitu di sebelah depan. Jenderal Kao Liang tidak mengutus puteranya yang leblh besar karena penjagaan di situ lebih penting diperkuat dari pada rombongan penyelidik itu.
Kao Kok Han membawa sepuluh orang pengawal keluar dari hutan dan tidak lama kemudian sampailah dia di tempat pertempuran tadi, di luar hutan. Akan tetapi tidak kelihatan seorang pun manusia di situ. Yang ada hanya bekas-bekas pertempuran yang agaknya memang hebat dan seru. Beberapa batang pohon roboh dan darah berceceran di mana-mana, akan tetapi tidak ada sebuah pun mayat tampak di situ. Sungguh sangat mengherankan sekali, seolah-olah yang melakukan pertempuran tadi bukan manusia, melainkan setan-setan dan siluman-siluman penghuni hutan dan yang kini semua telah menghilang kembali.
Setelah memeriksa dengan teliti, Kok Han lalu mengajak pasukan kecil itu kembali ke dalam hutan menghadap ayahnya. Jenderal Kao Liang juga merasa terheran-heran mendengar pelaporan puteranya itu.
“Tidak ada mayat sebuah pun? Jangan-jangan itu hanya pancingan dan jebakan,” kata Jenderal Kao Liang sangsi.
“Akan tetapi jelas ada tanda-tanda bekas pertempuran hebat, Ayah,” Kok Han berkata. “Darah berceceran di mana-mana dan senjata-senjata golok dan pedang berserakan di sekitar tempat itu, bahkan ada pohon-pohon yang tumbang. Melihat bekas-bekasnya, tentu itu merupakan hasil kerja seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat.”
Suasana menjadi makin tegang, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera menghentikan dugaan-dugaan di dalam hati semua pengawal itu dengan kata-kata yang nyaring dan tegas, “Apa pun yang terjadi, harap tenang dan menanti komando. Sekarang kita melanjutkan perjalanan, tidak perlu tergesa-gesa dan semua pengawal harap waspada dan siap siaga.”
Rombongan bergerak lagi dan sekarang Jenderal Kao Liang sendiri tidak naik tandu melainkan ikut berjalan kaki, bahkan berada di bagian paling depan bersama Kao Kok Han, sedangkan Kao Kok Tiong menjaga di bagian belakang melindungi rombongan itu.
Tidak terjadi sesuatu sampai rombongan ini tiba di tempat pertempuran yang tadi telah diselidiki oleh Kok Han. Jenderal Kao Liang yang mengkhawatirkan adanya jebakan, mengangkat tangannya dan rombongan itu pun berhenti lagi. Tempat pertempuran ini sudah berada di luar hutan, di tempat terbuka sehingga dapat menampung sinar bulan sepenuhnya. Semua orang memandang ke kanan kiri ke arah batang-batang pohon dan semak-semak belukar, semua mata terbelalak mencari-cari sesuatu, semua telinga memperhatikan setiap suara yang mungkin terdengar.
Tiba-tiba semua orang menengok ke kiri karena mereka mendengar sesuatu. Juga para wanita dan anak-anak yang menyingkap tirai tandu mengintai, menengok ke kiri dan terdengarlah jerit-jerit tertahan dari para wanita dan anak-anak itu ketika mereka melihat seorang yang berlumuran darah merangkak keluar dari semak-semak!
“Dia... dia... Hun Kai...!” Tiba-tiba seorang di antara para pengawal berseru ketika dia mengenal wajah yang berlumuran darah itu.
Jenderal Kao yang kini juga mengenal seorang di antara para pengawal yang lenyap tadi, cepat memandang penuh selidik ke arah belakang orang itu, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri orang yang sudah terguling di atas rumput itu, lalu dia berjongkok dan bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“...Yang Mulia... hati-hatilah... ada... seorang akan... membunuh seluruh... rombongan... i... ni... aughhhh...!” Dia terkulai dan tewas di saat itu juga.
Semua orang mendengar ucapan itu dan banyak wajah menjadi pucat seketika. Para wanita menjadi panik dan memeluk anak-anak mereka, para pengawal dengan geram memutar tubuh memandang keempat penjuru.
Jenderal Kao Liang berdiri dan berkata, suaranya lantang, “Jangan takut dan panik. Tenanglah! Apa pun yang terjadi, kita masih hidup dan selamat, dan tidak seekor setan pun yang akan dapat dengan mudah membunuh kita selama aku masih berdiri di sini!”
Jelas bahwa jenderal tua ini menjadi marah sekali dan dia menduga bahwa semua pengawal tadi tentu tewas. Sayang bahwa pengawal yang bemama Hun Kai itu tewas sebelum dapat menceritakan dengan jelas apa yang terjadi.
“Paman... Paman Hun Kai... ceritakanlah, di mana adanya teman-teman yang lain?” Kok Han mengguncang-guncang tubuh pengawal itu, berusaha untuk menyadarkannya agar pengawal itu dapat menceritakan sejelasnya. Tetapi tubuh yang diguncang-guncang itu terkulai lemas dan tidak dapat memberi jawaban.
“Sudah, Kok Han, tidak ada gunanya lagi. Dia sudah mati,” kata Jenderal Kao Liang. “Hayo cepat gali lubang kuburan untuk dia!” perintahnya.
Kini para pengawal cepat menggali lubang kemudian mengubur mayat itu. Setelah itu, Jenderal Kao Liang memerintahkan agar rombongan cepat melanjutkan perjalanan. Kini jumlah pengawal hanya tinggal enam belas orang saja, dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya.
Ada pun jumlah tandu semuanya ada enam buah yang memuat isteri dari Jenderal Kao Liang, isteri dari Kao Kok Tiong, bibinya, yaitu adik perempuan Nyonya Jenderal yang sudah menjadi janda bersama dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan yang sudah remaja, kemudian dua orang anak Kok Tiong sendiri, dan dua orang inang pengasuh perempuan. Tandu bekas tempat Jenderal Kao Liang dibiarkan kosong dan masih terus dipikul oleh dua orang pemikul tandu. Jadi bersama dengan enam belas orang pengawal, masih ada dua puluh empat orang pemikul tandu karena tandu-tandu yang memuat orang dipikul oleh empat orang.
Setelah malam lewat tanpa terjadi sesuatu kejadian pun, Jenderal Kao memerintahkan rombongannya berhenti di kaki bukit untuk beristirahat dan menggunakan kesempatan itu untuk tidur secara bergiliran. Sampai matahari naik tinggi mereka mengaso dan setelah mereka semua makan, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit yang cukup sukar. Lorong kecil pendakian itu diapit-apit tebing tinggi dan batu kapur.
Ketika rombongan membelok di atas lorong yang tertutup tebing tinggi di kedua tepinya itu, merupakan tempat yang sangat berbahaya, mendadak mereka berhenti lagi dan suasana mulai tegang. Lorong itu tertutup oleh sebatang balok besar sekali yang melintang di jalan!
Kembali hati mereka menjadi tegang karena jelaslah bahwa balok besar itu tak mungkin bisa berada di situ tanpa ada yang menaruhnya, dan melihat balok itu melintang menghalang jalan, jelaslah bahwa itu tentu perbuatan mereka yang hendak menentang rombongan atau setidaknya mempunyai niat buruk. Jelas bahwa gerombolan orang jahat telah mulai memperlihatkan gerakan dan tentu sebentar lagi akan muncul. Semua orang siap siaga dan Jenderal Kao Liang sendiri sudah meraba gagang pedangnya. bahkan Kok Tiong dan Kok Han sudah mencabut pedang masing-masing dan berdri di kanan kiri ayah mereka.
Akan tetapi, semua ketegangan urat syaraf itu temyata sia-sia belaka, karena ditunggu sampai lama sekali, tidak ada terjadi sesuatu. Sampai capai rasanya mata mereka karena jarang berkedip memandang ke kanan kiri, depan belakang dan atas bawah, namun tidak terdengar sesuatu dan tidak nampak sesuatu yang bergerak. Hati mereka menjadi kesal juga, akan tetapi diam-diam mereka bersyukur bahwa tidak ada musuh datang menyerbu. Karena kalau hal itu terjadi, sungguh amat berbahaya.
Tempat itu sangat berbahaya dan tidak menguntungkan bagi mereka untuk menghadapi musuh. Berada di lorong yang diapit-apit dinding batu tinggi terjal itu, mereka amat lemah dan andai kata ada beberapa orang musuh melempar-lemparkan batu dari atas tebing, mereka akan tak berdaya dan akan terkubur hidup-hidup.
Setelah jelas ternyata bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan tidak ada tanda tanda bahwa ada musuh akan menyerbu, Jenderal Kao Liang segera memerintahkan sepuluh orang pemikul joli yang bertubuh kuat-kuat untuk menyingkirkan balok besar yang melintang di tengah jalan itu. Pekerjaan itu dilakukan tanpa ada kesukaran apa-apa, dan karena tidak ada tempat untuk membuang balok itu, maka sepuluh orang tukang pikul tandu itu lalu meletakkan balok perintang itu di tepi lorong. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.
Akan tetapi belum ada sepuluh langkah mereka bergerak, tiba-tiba dua orang pemikul tandu kosong berteriak aneh dan roboh, disusul oleh teriakan-teriakan delapan orang pemikul tandu lain yang juga terguling roboh dan menyebabkan orang-orang yang naik tandu itu pun berteriak-teriak kaget dan kesakitan. Jenderal Kao Liang cepat meloncat mendekati dan dengan mata melotot dia melihat betapa sepuluh orang ini adalah sepuluh orang yang tadi menyingkirkan balok besar. Kini tangan mereka mem-bengkak, tubuh mereka kejang dan berkelojotan, tak lama kemudian mereka itu terkulai mati dengan tubuh di jalari warna hitam dari tangan sampai ke muka mereka.
“Jangan pegang...!” Jenderal Kao membentak kepada para pengawal, pemikul tandu, dan dua orang puteranya ketika mereka ini mendekat. “Mereka keracunan!”
Keadaan menjadi makin panik dan dua orang putera jenderal itu segera menolong dua orang inang pengasuh yang tandunya terbalik. Kemudian dengan muka merah padam saking marahnya, Jenderal Kao Liang mengajak dua orang puteranya untuk naik ke atas tebing. Jenderal yang sudah tua itu masih gagah sekali dan dengan mudahnya dia mendaki tebing yang amat terjal itu, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han yang harus mengerahkan ginkang mereka untuk dapat mengikuti ayahnya mendaki tempat yang amat berbahaya itu. Gerakan mereka cepat dan gesit, dan mereka itu terus mendaki naik, diikuti oleh pandangan mata mereka yang merasa gelisah dan tegang dari bawah.
Setelah tiba di atas tebing di bukit itu, Jenderal Kao Liang dan putera-puteranya melihat ke kanan kiri dan tampaklah oleh mereka seorang laki-laki yang kelihatan masih muda sedang duduk di atas sebongkah batu besar, membelakangi mereka, tidak jauh dari tempat itu dan mereka mendengar betapa laki-laki yang masih muda itu sedang bersenandung, senandung yang terdengar menyedihkan seperti orang berkeluh-kesah, sambil berdongak memandang awan berarak di angkasa.
Karena di tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali orang muda yang ber-senandung itu, Jenderal Kao Liang tidak merasa syak lagi bahwa tentu inilah orangnya yang mengganggu rombongannya, maka dia lalu cepat menghampiri, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han. Akan tetapi agaknya orang itu merasa atau mendengar kedatangan mereka. Dia menoleh sehingga nampak separuh mukanya, kemudian orang itu bangkit, menghentikan senandungnya dan melangkah perlahan menjauhkan diri. Tentu saja Jenderal Kao dan dua orang puteranya meloncat dan cepat melakukan pengejaran. Mereka bertiga menggunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar dan menangkap orang itu.
Tetapi, sungguh aneh bukan main! Kelihatannya saja orang itu melangkah perlahan-lahan, akan tetapi mereka bertiga tidak pernah dapat mendekatinya. Hal ini membuat Jenderal Kao menjadi penasaran sekali, penasaran dan marah. Tahulah dia bahwa pasti orang itu yang mengganggunya, atau setidaknya tentu merupakan seorang di antara gerombolan yang mengganggu rombongannya. Maka dia mempercepat larinya mengejar dengan geram.
Akan tetapi, begitu jarak mereka mulai berdekatan dan mereka mulai dapat menyusul, tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan sebuah loncatan yang mentakjubkan hati Jenderal Kao dilakukan orang itu. Tubuhnya melayang bagaikan seekor burung terbang melayang saja dan sekali melompat sudah meninggalkan mereka, kemudian berjalan lagi dengan tenangnya.
Orang itu naik turun tebing dan akhirnya lenyap ke dalam hutan di depan. Jenderal Kao Liang terkejut bukan main. Kalau dikehendaki, orang itu dengan mudah saja dapat melenyapkan diri sejak tadi, akan tetapi kenapa agaknya sengaja memancing mereka untuk mengikuti sampai jauh? Celaka, tentu ini pancingan yang dalam ilmu perang disebut ‘memancing harimau meninggalkan sarangnya’. Dia dan dua orang puteranya sengaja dipancing meninggalkan rombongannya yang kini hanya dilindungi oleh para pengawal yang sudah kehilangan pemimpinnya.
“Cukup! Tidak perlu mengejar terus. Mari kita cepat-cepat kembali!” Jenderal Kao Liang yang merasa curiga dan khawatir itu berkata kepada dua orang puteranya.
Mereka bergegas kembali ke tempat tadi, di mana rombongan mereka tadi mereka tinggalkan. Ketika mereka akhirnya dapat menuruni tebing terjal dan tiba di tempat tadi, dari atas jantung mereka sudah berdebar keras penuh kekhawatiran dan ketegangan. Setelah tiba di tempat itu, Jenderal Kao Liang memandang dengan mata terbelalak dan kedua tangannya mengepal tinju, kumis dan jenggotnya seakan-akan berdiri saking marahnya. Kedua orang puteranya juga terbelalak, menoleh ke kanan kiri, kemudian memandang kepada ayah mereka dengan sinar mata bingung dan gelisah.
Betapa mereka tidak akan bingung dan gelisah? Semua tandu telah lenyap dari situ, tandu-tandu yang membuat Nyonya Kao Liang, Nyonya Kao Kok Tiong, bibi mereka, anak-anak Kok Tiong, anak-anak bibi mereka, dan dua inang pengasuh, serta harta benda mereka semua telah lenyap. Dan di tempat itu menggeletak berserakan mayat mayat para pengawal mereka, dan para tukang pikul tandu-tandu itu. Tiada seorang pun di antara mereka itu yang masih hidup, semua telah tewas dalam keadaan mengerikan!
“Keparat...! Bedebah...!” Jenderal Kao Liang memaki-maki, kemudian dia menjambak rambutnya sendiri penuh penyesalan. “Bodoh kau! Tolol kau!” Dia memaki diri sendiri, kemudian menjatuhkan dirinya di atas tanah sambil bertopang dagu.
Betapa dia tak akan menyesal? Jenderal Kao Liang telah berpuluh tahun berkecimpung di dalam bidang kemiliteran, entah sudah berapa ratus kali menghadapi lawan-lawan tangguh dan lihai, sudah biasa bersiasat dan mengadu kepintaran dengan fihak lawan. Dia merupakan seorang ahli siasat yang biasa mengatur puluhan, bahkan ratusan ribu prajurit di medan perang. Dia ditakuti dan disegani oleh musuhnya di medan perang karena kemahirannya bersiasat.
Namun kini menghadapi perjalanan rombongan keluarganya, menghadapi gangguan seperti itu saja, dia telah dibuat terkecoh dan dipermainkan orang secara habis-habisan sampai seluruh anak buah pengawalnya tewas dan semua anggota keluarganya diculik orang, semua harta benda yang dibawanya dicuri orang. Dan dia tidak tahu bagaimana hal itu dilakukan, tidak tahu pula siapa yang melakukannya dan ke mana keluarganya dibawa pergi. Sungguh memalukan dan menggemaskan sekali!
“Ayah...!” Tiba-tiba terdengar Kok Han memanggilnya.
Jenderal Kao menoleh dan dia melihat puteranya yang bungsu itu sedang jongkok di depan sesosok di antara mayat-mayat yang berserakan di situ. Melihat sikap puteranya, dan kini Kok Tiong juga lari menghampiri adiknya, Jenderal Kao kemudian bangkit dan menghampiri tempat itu.
Jenderal Kao Liang juga terheran-heran ketika dia melihat mayat yang ditunjuk oleh puteranya itu. Mayat seorang wanita! Bukan anggota keluarganya, dan tentu saja bukan seorang di antara para pengawal. Mayat wanita yang menindih seorang laki-laki, kedua tangan wanita itu mencekik leher laki-laki itu, sedemikian hebatnya sampai kuku-kuku tangan wanita itu terbenam ke dalam leher! Akan tetapi, tangan laki-laki itu memegang golok kecil. Agaknya saat wanita itu mencekiknya, laki-laki itu berhasil menghujamkan golok kecil itu ke lambung si wanita sampai masuk dalam sekali. Terang bahwa mereka tadi bertempur dan keduanya tewas dalam pertempuran ini.
“Sungguh aneh...” Jenderal Kao Liang berkata. “Aku tidak pernah melihat wanita ini... dan entah siapa pula laki-laki di bawahnya itu.”
Dengan ujung sepatunya, Jenderal Kao Liang membalikkan tubuh wanita itu sehingga terpisah dari mayat laki-laki yang ditindihnya. Tampaklah kini seorang laki-laki yang berpakaian seperti seorang petani, seorang yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat, sedangkan wanita itu berwajah kejam dan usianya sudah tiga puluh tahun lebih.
“Heee! Bukankah dia ini... seperti... seperti Hok-ciangkun!” Tiba-tiba Kok Tiong berseru heran.
Jenderal Kao Liang mengangguk. “Aneh sekali! Dia memang Hok-ciangkun, pengawal istana kepercayaan Kaisar. Kenapa dia sampai berada di sini? Siapa pula wanita ini? Terang bahwa dia berkelahi dengan Hok-ciangkun, akan tetapi kenapa? Dan mengapa pula Hok-ciangkun berpakaian menyamar seperti petani?”
Jenderal Kao dan dua orang puteranya menjadi bingung. Siapakah orang-orang yang telah memusuhi mereka? Kenapa mereka membunuh para pengawal dan menculik wanita-wanita dan anak-anak? Dan mengapa pula agaknya terjadi perkelahian antara mereka sendiri? Jenderal Kao dan dua orang puteranya lalu mulai memeriksa dan makin heranlah mereka bertiga ketika melihat bahwa ternyata di antara mayat-mayat itu terdapat pula mayat-mayat yang tidak mereka kenal di antara tumpukan mayat-mayat pengawal mereka sendiri dan tukang-tukang pikul tandu.
“Kita harus mencari keluarga kita!” Jenderal Kao mengepal tinju. “Aku harus bisa berhadapan dengan pengecut-pengecut itu!” Dia marah sekali, akan tetapi ke mana dia harus mencari? Lorong itu berbatu hingga sukar mencari jejak mereka yang membawa pergi tandu-tandu itu.
“Apa ini...?” Jenderal Kao Liang membungkuk dan dengan hati-hati memeriksa sebuah benda putih mangkilap yang terletak di dekat mayat si wanita tadi.
Teringat akan racun hebat yang agaknya dilumurkan pada balok, Jenderal Kao Liang memeriksa dengan teliti sebelum mengambilnya. Setelah yakin bahwa benda itu tidak beracun, dia mengambil dan mengamat-amatinya.
Benda itu bentuknya bulat seperti sebuah lencana. Di tengah-tengahnya terlukis seekor burung garuda berwarna hitam sedang mementang sayap dan di bawah gambaran burung itu terdapat dua buah huruf yang berbunyi ‘BHOK TIN’ (Pasukan Kayu). Lencana itu sangat indah buatannya, dari perak murni. Milik siapakah lencana ini? Wanita itukah? Apa artinya lencana ini?
Jenderal Kao tidak dapat memecahkan rahasia ini dan dia mengantongi lencana perak itu, lalu berkata kepada kedua orang puteranya yang tentu saja merasa bingung dan berduka sekali, “Mari kita berusaha mencari mereka!”
Dua orang muda itu hanya mengangguk lesu dan mereka segera berjalan cepat untuk ke luar dari jalan bertebing tinggi itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di jalan tikungan dan sudah ke luar dari lorong bertebing, mereka dikejutkan oleh penglihatan yang mengerikan. Di jalan itu bertebaran mayat-mayat orang yang memenuhi jalan, banyak sekali jumlahnya, kurang lebih ada seratus buah mayat! Seperti dalam perang kecil saja.
Jenderal Kao berhenti dan memandang ke sekeliling dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia tidak merasa ngeri melihat ini. Sudah biasa dia menyaksikan pemandangan seperti ini di medan perang, bahkan pernah melihat puluhan ribu mayat berserakan. Akan tetapi rasa hatinya tidak seperti sekali ini karena sekarang keluarganya yang langsung terlibat.
Mereka kemudian memeriksa mayat-mayat itu dan di antara mayat-mayat itu terdapat beberapa mayat wanita yang memakai seragam hitam dengan gambar cacahan (tatoo) berbentuk burung garuda di telapak tangan mereka.
“Heiii! Ini seperti penjaga gardu di depan gerbang istana!” teriak Kok Tiong sambil menuding sebuah mayat yang menggeletak miring dengan kepala pecah. ”Dan ini juga! Itu ada pula pengawal Hok-ciangkun!”
“Jelaslah sudah bahwa ada pasukan pengawal istana bertempur di sini. Akan tetapi mengapa pasukan pengawal istana berkeliaran di sini? Apakah tugas mereka? Dan sungguh aneh, kenapa mereka tak memakai pakaian seragam dan menyamar sebagai orang-orang biasa? Peristiwa apakah yang menyebabkan Kaisar harus mengerahkan pasukan-pasukan pengawal istana ke tempat ini?” Jenderal Kao berkata perlahan bagai bertanya-tanya pada diri sendiri, sedangkan dua orang puteranya juga ikut memikirkan pertanyaan ayahnya itu.
Sungguh pun mereka tidak dapat mencari alasan-alasan dan sebab-sebabnya, akan tetapi di dalam hati mereka timbul dugaan bahwa adanya pasukan-pasukan pengawal istana di tempat itu tentu ada hubungannya dengan berangkatnya rombongan keluarga mereka meninggalkan kota raja menuju ke kampung halaman mereka.
Suasana tempat itu sungguh mengerikan. Matahari sudah condong ke barat, beberapa saat lagi senja akan tiba. Mereka bertiga duduk kecapaian di atas batu di antara mayat-mayat yang berserakan. Mereka merasa lelah sekali, lelah lahir batin dikarenakan menghadapi misteri yang tak dapat mereka pecahkan. Keanehan-keanehan yang terjadi bertubi-tubi ditambah lenyapnya keluarga mereka membuat pikiran Jenderal Kao Liang yang biasa tenang dan cerdik itu menjadi keruh.
Jenderal yang gagah perkasa itu tiba-tiba terlihat lebih tua sepuluh tahun dari keadaan biasanya karena tekanan batin yang hebat, karena kekhawatiran akan keselamatan isteri dan keluarganya. Ingin mereka itu mengejar dan kalau perlu berkelahi mati-matian untuk melindungi keluarga mereka, akan tetapi mereka tidak tahu harus mencari ke mana. Mereka tidak tahu siapa penculiknya, di mana tempatnya, bahkan tidak tahu pula mengapa keluarga mereka diculik. Kalau mereka itu menghendaki harta benda, tentu hanya harta benda saja yang dirampas, tidak perlu menculik keluarga mereka. Kalau mereka itu musuh yang mendendam, tentu keluarga mereka sudah dibunuh seperti halnya para pengawal, dan tidak diculik seperti sekarang ini.
Mungkinkah pemuda aneh yang lihai dan yang bersenandung sedih itu yang melakukan penculikan? Ahhh, tidak mungkin. Karena itu mereka bertiga cepat-cepat menghentikan pengejaran dan kembali ke tempat rombongan. Kalau bukan pemuda itu, lalu siapa?
Apakah wanita-wanita yang bertanda cacahan burung garuda di tangan mereka? Akan tetapi mereka itu agaknya bertempur mati-matian dengan rombongan Hok-ciangkun, pasukan pengawal istana yang menyamar itu. Apakah anak buah si pemuda lihai? Mungkin begitu, dan kalau begitu agaknya ada tiga rombongan bertindak pada waktu itu. Demikianlah Jenderal Kao memutar-mutar otaknya yang sudah penat. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan di benaknya yang bertubi-tubi.
Suasana menjadi sunyi sepi, dan menjadi kebalikan dari pikiran mereka yang ramai dengan pertanyaan-pertanyaan dan dugaan-dugaan yang menggelisahkan. Tiba-tiba terdengar suara suling mengalun memecah kesunyian dan menghentikan lamunan mereka yang penuh kegelisahan itu.
Suara suling itu menggetar-getar halus, penuh perasaan, dan suara suling seperti itu hanya dapat ditiup oleh peniup yang mencurahkan seluruh perasaan hatinya terhadap tiupannya. Hawa yang keluar dari mulutnya agaknya langsung keluar dari hatinya sehingga ketika menyelinap di dalam tabung bambu suling itu mencipta suara yang mengalun penuh perasaan, melagukan irama lagu sedih, lagu seorang yang patah hati, gagal dalam asmara, atau seorang yang merasa kerinduan hebat terhadap seorang kekasih yang pergi meninggalkannya.
Tentu saja jiwa dari lagu ini terasa oleh Jenderal Kao Liang dan kedua orang puteranya yang sedang merana ditinggalkan oleh keluarga mereka yang tidak mereka ketahui bagaimana nasibnya, ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka kasihi. Terutama sekali Kok Tiong yang teringat kepada isteri dan dua orang anaknya yang masih kecil sehingga orang muda ini cepat membuang muka membelakangi ayahnya agar Si Ayah tidak sampai melihat dua titik air mata.
Di antara pengaruh suara suling yang ditiup penuh perasaan itu, Jenderal Kao Liang segera cepat menyadari keadaan. Lagu yang ditiup suling itu adalah lagu sedih, kiranya mudah diduga siapa peniupnya. Siapa lagi kalau bukan pemuda yang tadi pun bersenandung lagu sedih? Tentu Si Pemuda lihai tadi. Dan siapa tahu, boleh jadi pemuda itu yang menjadi biang keladi semua peristiwa ini, atau setidaknya, pemuda aneh itu tentu tahu-menahu akan peristiwa yang menimpa keluarganya ini.
Dengan muka merah dan mengepal tinjunya, Jenderal Kao Liang bangkit berdiri lalu melangkah pergi dengan cepat menuju ke arah suara suling diikuti oleh dua orang puteranya yang sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi sungguh aneh, suara suling itu amat luar biasa, begitu didekati seolah-olah berpindah tempat. Mereka bertiga terus mengejar, akan tetapi mereka berputaran dan belum juga dapat melihat pemain atau peniupnya. Setelah berputaran sampai beberapa kali, akhirnya Jenderal Kao Liang menjadi naik darah, sungguh pun dia masih dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi Kok Han yang masih muda belia itu tak dapat menahan kemarahannya dan berteriaklah dia menantang, sungguh pun dia tahu pula betapa lihai si peniup suling itu.
“Heeeiiiii...! Keluarlah engkau peniup suling sialan! Jangan main sembunyi-sembunyi kalau engkau memang jantan! Ayo, keluarlah dan lawanlah aku, engkau akan mampus kalau tidak kau kembalikan keluarga kami!”
“Sssttttt...!” Jenderal Kao mencegah puteranya akan tetapi tantangan telah dikeluarkan dan mereka kini berdiam, memperhatikan semua penjuru.
Suara suling tiba-tiba berhenti. Keadaan segera menjadi makin sunyi mencekam dan menyeramkan. Lalu terdengar suara orang menguap panjang dan disusul suara langkah kaki orang tersaruk-saruk.
Selagi tiga orang ayah dan anak itu saling pandang, terdengar suara orang bergumam, “Hahhhhh perutku lapar dan kakiku capai. Sebentar lagi malam pun tiba dan aku belum beristirahat barang sekejap pun. Lebih baik mencari warung di depan, makan bubur hangat, mandi air sejuk lalu tidur mendengkur!”
Jenderal Kao dan dua orang puteranya cepat meloncat dan mencari ke arah datangnya suara itu. Dari jauh kelihatan berkelebatnya seorang dengan cepat. Bajunya yang putih itu tampak menyolok dengan cuaca yang sudah mulai suram karena senja telah tiba. Sebentar saja bayangan itu berkelebat dan lenyap, seperti setan menghilang saja.
“Kejar!” Jenderal Kao Liang berbisik dan ketiganya lalu mengerahkan ginkang, meloncat lalu berlari mengejar secepat mungkin. Jenderal itu merasa yakin bahwa orang di depan tadi tentu tahu akan segala peristiwa yang terjadi, maka dia tidak mau kehilangan orang itu.
Akan tetapi, bayangan itu telah lenyap dan mereka mengejar sampai malam tiba, belum juga dapat menyusul. Tentu saja ketiganya merasa mendongkol dan malam itu berbeda dengan malam tadi. Awan mendung berkumpul di langit sehingga keadaan menjadi gelap pekat, sedangkan mereka bertiga tidak mengenal jalan. Maka terpaksa mereka menghentikan pengejaran sia-sia itu dan melewatkan malam di tepi jalan di kaki bukit yang sunyi, membuat api unggun dan semalam suntuk mereka tak dapat tidur, menanti datangnya fajar untuk melanjutkan pengejaran dan pencarian mereka.
“Orang itu agaknya sengaja menyebut tentang sebuah warung di depan. Biar dia memancing sekali pun, kita harus pergi mengejarnya dan mencari warung itu!” demikian Jenderal Kao berkata.
Ketika fajar mulai menyingsing dan cuaca tidak begitu gelap lagi, ketiganya sudah meninggalkan api unggun yang sudah tidak bernyala, tinggal berasap saja dan mereka bergegas menuju ke depan melanjutkan perjalanan tadi malam yang terganggu oleh kegelapan malam. Ketika mereka mulai bertemu dengan para petani yang menuju ke sawah, tiga orang ayah dan anak ini kemudian mempercepat langkah kaki mereka, tidak mempedulikan pandang mata para petani yang terheran-heran melihat mereka berjalan cepat itu. Di mana ada petani tentu ada dusun pula, pikir Jenderal Kao Liang dan dia melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat.
Benar saja dugaan mereka. Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun. Matahari pagi dengan cerah dan riangnya menyinari sebuah warung makan di dusun itu. Dengan hati berdebar Jenderal Kao mengajak anak-anaknya memasuki warung. Akan tetapi, warung itu masih sunyi dan belum ada pengunjungnya, maka duduklah mereka dengan hati kecewa. Jenderal Kao memesan bubur hangat tiga mangkok yang dilayani oleh pemilik warung dengan ramahnya.
“Kami mencari seorang teman, dia masih muda dan berpakaian putih. Apakah dia sudah tiba di sini? Malam tadi atau tadi? Katanya dia ingin makan bubur panas,” kata Jenderal Kao kepada pemilik warung secara sambil lalu.
Akan tetapi sungguh tidak disangka, mendengar pertanyaan ini wajah Si pemilik warung menjadi berseri. “Aih, tentu Tuan maksudkan adalah Suma-kongcu (Tuan Muda Suma)! Memang dia sering makan di sini, dan baru saja dia pergi, setelah makan bubur panas. Lihat, mangkoknya juga masih di meja itu, belum saya bersihkan!”
Ketiganya cepat bangkit. “Di mana dia? Ke mana perginya?” Jenderal Kao bertanya, suaranya keras, mengejutkan pemilik warung.
“Ehh, mana saya tahu? Tadi saya lihat ke jurusan selatan sana.”
Tukang warung itu menjadi bengong ketika tiga orang itu berkelebat dan lari pergi meninggalkan warungnya.
“Ehh, ini bubur pesanan...!”
Akan tetapi Jenderal Kao dan anak-anaknya sudah pergi jauh dan pemilik warung itu hanya menggelengkan kepala. “Suma-kongcu orang aneh, teman-temannya pun aneh bukan main!”
Sementara itu, sambil berjalan cepat bersama dua orang puteranya menuju ke selatan, Jenderal Kao Liang berkata dengan suara desis terheran-heran, “Suma-kongcu!? Tidak banyak orang di dunia ini yang ber-she Suma dan memiliki kepandaian tinggi! Siapa lagi kalau bukan keluarga Suma, Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti? Dan setahuku, ada dua orang Suma-kongcu! Akan tetapi, mengapa menculik keluarga kita? Bukankah kita bersahabat erat seperti keluarga sendiri dengan mereka?” Jenderal Kao menduga duga dengan hati penasaran.
“Itu kan dahulu, Ayah!” berkata Kok Tiong dengan suaranya mengandung kegemasan. “Dahulu ketika Ayah masih terpakai oleh Kaisar. Akan tetapi sekarang? Keadaan Ayah seperti juga disingkirkan oleh Kaisar, sungguh pun sebagai basa-basinya Ayah disuruh istirahat dan dipensiun, diberi harta benda sebagai bekal. Lihat saja betapa pasukan pengawal istana bermunculan di sini, seolah-olah menghadang perjalanan kita. Siapa tahu, tidak mustahil kalau Kaisar mengkhawatirkan keadaan Ayah, takut Ayah akan menimbulkan huru-hara. Menurut pendapat saya, agaknya Kaisar memang berusaha untuk membasmi keluarga kita agar aman, karena Ayah adalah seorang yang tidak boleh dipandang ringan. Hemmm, tidak salah lagi, demikianlah keadaannya! Maka, Hok-ciangkun yang memimpin pasukan pengawal menyamar sebagal petani, tentu diutus oleh Kaisar untuk membasmi kita. Akan tetapi mereka tahu, keluarga kita bukanlah keluarga sembarangan. Apa lagi ada Kok Cu koko, maka Kaisar tentu telah minta pertolongan keluarga Pulau Es, keluarga Suma. Bukankah keluarga Suma masih termasuk keluarga Kaisar juga? Bukankah Pendekar Super Sakti, Paman Suma Han adalah cucu mantu dari Kaisar?”
“Ehhhhh...?” Jenderal Kao Liang berteriak dan menghentikan langkahnya.
Apa bila dalam keadaan biasa, tentu kata-kata Kok Tiong itu akan cukup membuat dia turun tangan menampar mulut puteranya yang berani berkata demikian, mencela kaisar, menuduh yang bukan-bukan, bahkan berani mencurigai keluarga Pulau Es. Akan tetapi dia tidak jadi menggerakkan tangan, sebab kata-kata itu membangkitkan kecurigaannya pula dan dia termenung.
Suma-kongcu, kata tukang warung itu. Tentu kalau bukan Suma Kian Lee, ya Suma Kian Bu, seorang di antara dua putera Majikan Pulau Es.....
Komentar
Posting Komentar