JODOH RAJAWALI : JILID-02
Jenderal ini tahu pula bahwa di dalam pergolakan politik kerajaan, segala hal dapat saja terjadi. Buktinya, dua orang Pangeran Liong yang menjadi adik-adik tiri kaisar sendiri, memberontak oleh karena politik, karena pengejaran ambisi pribadi. Siapa tahu, kaisar benar-benar menganggap dia adalah orang yang berbahaya dan hendak menumpas keluarganya. Dan siapa tahu, mungkin pandangan putera Pendekar Super Sakti yang sudah dipengaruhi politik juga berubah terhadap dirlnya!
“Akan tetapi...!” bantahnya dengan suara meragu, bantahan yang timbul langsung dari suara hatinya, “Andai kata demikian halnya, mengapa mesti mengambil cara berbelit-belit? Andai kata benar Kaisar menghendaki nyawaku, cukup beliau memerintahkan seorang prajurit untuk menangkap aku dan menjatuhkan hukuman mati. Mengapa harus memakai cara penuh rahasia ini, dengan berbagai macam muslihat? Aku siap untuk menyerahkan nyawaku kalau diminta oleh Kaisar, demi negara!”
“Saya kira persoalannya tidaklah semudah itu, Ayah. Kalau Kaisar melakukan hal itu terhadap Ayah, tentu beliau akan banyak menerima celaan dan tentangan. Tentu beliau tidak ingin perbuatan beliau itu diketahui oleh umum. Seluruh rakyat jelata dan semua pembesar tahu belaka siapa Ayah, dan betapa besar jasa Ayah terhadap negara dan bangsa. Agaknya Kaisar ingin agar kita sekeluarga seolah-olah dibasmi oleh penyamun atau oleh golongan hltam dan hal ini pun bukan tak boleh jadi, mengingat betapa Ayah sudah banyak melakukan pembersihan terhadap mereka.”
Mendengar ucapan puteranya yang kedua itu, Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk dan tiba-tiba hatinya berduka sekali. Dia mengepal tinjunya, giginya mengeluarkan bunyi berkerotan. “Ini tentu hasil dari fitnah dan hasutan para pengkhianat yang hendak melemahkan kerajaan! Sri Baginda Kaisar telah tertipu!”
Kok Tiong menarik napas panjang. “Lihat, betapa patriotnya jiwa Ayah, bahkan di waktu keluarga sendiri terancam bahaya maut, Ayah masih mementingkan kerajaan.”
Jenderal Kao termenung, sadar akan kebenaran ucapan puteranya dan dia teringat lagi akan keadaan keluarganya. “Akan tetapi kalau memang benar dugaanmu itu, semoga saja, kuminta kepada Thian, Kaisar tidak sampai tertipu sedalam itu. Andai kata benar demikian, mengapa keluarga kita tidak dibunuh saja? Kenapa diculik mereka itu? Dan di mana adanya ibumu, isterimu, anak-anakmu?”
“Itulah hal yang sangat membingungkan, Ayah. Menghilangnya kepala pengawal dan mayatnya pun tidak kita lihat, lalu disusul pertempuran di luar hutan antara orang-orang yang tidak kita kenal, yang kabur semua ketika kita dekati. Kemudian bentrokan antara tiga kekuatan di dalam celah itu, antara pasukan kita, wanita-wanita berlencana dan bercacah lukisan garuda serta orang-orangnya Hok-ciangkun. Mereka itu mati semua, tiga rombongan yang saling bertempur itu, akan tetapi keluarga kita dapat melarikan diri. Agaknya tak mungkin pula kalau dibawa oleh sisa orang-orangnya Hok-ciangkun, sebab kalau benar dugaan kita, Hok-ciangkun tentu bertugas untuk membasmi dan membunuh keluarga kita. Dan kalau harus diculik dulu, tentu terlalu merepotkan. Lagi pula, kalau dibunuh di tempat itu, malah menimbulkan kesan seolah-olah dibasmi penyamun. Lalu ke mana mereka itu? Siapa yang menculik mereka, kalau memang benar diculik? Dan mengapa pula? Benar-benar saya menjadi bingung, Ayah.”
“Agaknya oleh orang-orang yang bercacah lukisan garuda di tangannya itu. Kita belum tahu jumlah dan kekuatan mereka, belum mengenal pula siapa mereka,” kata Kok Han.
“Kurasa tidak mungkin, Han-te. Seperti kau lihat, Suma-kongcu yang lihai itu masih ada. Kalau dia, seperti kurasa begitu, ditugaskan oleh Kaisar untuk membantu pasukan Hok-ciangkun, melihat keluarga kita dibawa oleh wanita-wanita garuda itu, tentu dia akan turun tangan, tidak mungkin dia diam saja tugas Hokciangkun digagalkan oleh wanita-wanita garuda itu. Kau lihat juga, dialah satu-satunya orang yang masih hidup di tempat tadi. Agaknya rombongan para wanita garuda itu dibunuhnya pula semua.”
“Akan tetapi, kalau benar begitu ke mana perginya ibu dan lain-lain? Kenapa dia tidak membunuh kita juga setelah dia melihat kita bertiga tadi? Aihhh, bingung aku setelah mendengar dugaan-dugaanmu Koko.!”
“Sudahlah,” Jenderal Kao menyela. “Tidak peduli itu semua, yang penting, kita harus dapat membekuk pemuda gila itu dan semuanya akan menjadi terang. Mari kita kejar dan cari dia!”
Kembali tiga orang yang sedang dicekam kegelisahan karena kehilangan keluarga itu melanjutkan pencarian mereka, keluar dari dusun menuju ke selatan. Mereka tiba di tepi sebatang sungai yang cukup besar yang menjadl cabang Sungai Huang-ho. Terhalang oleh sungai ini, Jenderal Kao termangu-mangu. Benarkah pengejaran mereka? Apakah Suma-kongcu lewat ke sini?
Selagi dia bingung dan tidak tahu harus melanjutkan pengejaran ke mana, tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di tengah sungai dan dengan cepatnya perahu itu meluncur ke pinggir, ke arah di mana mereka berdiri. Seorang bertubuh tinggi kurus mendayung perahu itu dan tenaganya terlihat benar-benar luar biasa karena kekuatan mendayungnya mampu melawan arus sungai yang cukup kencang di bagian yang menikung itu.
Perahu itu bercat hitam, di ujungnya berkibar sebuah bendera kecil hitam pula. Dengan tangkas, orang tinggi kurus itu melemparkan sehelai tali yang dengan tepatnya mengait akar pohon di tepi sungai, kemudian, dalam jarak yang masih ada empat tombak jauhnya, sekali menggerakkan kakinya orang tinggi kurus itu telah meloncat ke darat. Jenderal Kao Liang terkejut dan diam-diam dia memuji. Ginkang yang luar biasa!
Namun, sebelum Si Tinggi Kurus itu mengeluarkan suara, dan dia sedang memandang kepada Jenderal Kao bertiga sambil menyeringai, dari dalam perahu terdengar suara yang tinggi nyaring melengking, “Inikah ikan-ikan itu, Hoa-gu? Mana yang lain-lain? Kelihatan ikan-ikan ini sudah kehilangan sisik-sisik dan sirip-siripnya, untuk apa lagi? Tidak ada gunanya. Mungkin kita sudah didahului nelayan-nelayan lain!” Ucapan itu seolah-olah percakapan nelayan, akan tetapi Jenderal Kao Liang yang memliiki banyak pengalaman itu maklum bahwa maksudnya bukan demikian.
Pembicara itu menganggap mereka bertiga seperti ikan-ikan yang sudah kehilangan sisiknya, artinya orang-orang yang sudah tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Dan sebutan terhadap Si Tinggi Kurus itu pun aneh. Hoa-gu, berarti Kerbau Belang dan Si Tinggi Kurus itu kulit muka dan lehernya belang-belang, agaknya menderita penyakit panu yang sudah menahun dan sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Tetapi, biasanya orang-orang yang menggunakan julukan aneh-aneh memiliki kepandaian yang aneh pula, apa lagi tadi Si Tinggi Kurus sudah mendemonstrasikan ginkang yang amat hebat. Maka dia berhati-hati dan memberi isyarat kepada dua orang puteranya agar berhati-hati.
“Hemmm, tak salah lagi, agaknya wanita itu yang sudah mendahului kita, Khiu-pangcu!” kata Si Tinggi Kurus sambil menoleh ke arah perahu. Jenderal Kao semakin waspada. Orang di dalam perahu itu dipanggil pangcu, tentu dia seorang ketua dari perkumpulan golongan hitam.
“Ahhh, itu salahku sendiri, Hoa-gu-ji! Kenapa aku tidak becus mengalahkan perempuan itu kemarin. Tapi lebih baik kau tanyakan mereka, ke mana larinya wanita-wanita itu agar kita dapat mengejar dan mencegat mereka sebelum mereka kembali ke sarang mereka!”
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Jenderal Kao Liang menjadi kaget ketika tahu-tahu bayangan yang mencelat dari dalam perahu itu telah berdiri di depannya dan ternyata orangnya tidak seberapa, hanya seorang kakek tua yang bertubuh pendek kecil dan kelihatan lemah. Agaknya dengan sekali tamparan tangannya yang kuat, tubuh si kecil tua itu akan remuk! Akan tetapi tentu saja Jenderal Kao tidak setolol itu dan dia tahu bahwa si kecil ini malah lebih berbahaya dari pada Si Tinggi Kurus!
Jenderal Kao pura-pura tidak mengerti akan arti percakapan mereka tadi, maka dia pun mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Harap maafkan, kami ingin sekali bertanya kepada Ji-wi, apakah Ji-wi ada melihat seorang pemuda berpakaian putih lewat di sini? Kami sedang mencarinya.”
Kakek kecil itu tertawa dan melangkah maju. “He-he, kami tidak melihat orang lain di sini, dan bukankah engkau ini Jenderal Kao Liang yang sudah ditendang keluar dari kota raja? He-he-he!” Kata-kata dan sikap kakek ini menghina sekali.
Kok Han telah melangkah maju hendak mendamprat, akan tetapi ayahnya melarangnya dan Jenderal Kao Liang dengan tenang menjawab, “Aku adalah Kao Liang, tepat seperti dugaanmu, sobat. Siapakah engkau, kudengar kau disebut pangcu. Engkau ketua dari perkumpulan apakah?”
“He-he-he, aku orang she Khiu hanya ketua yang kedua, mewakili Twako (Kakak) untuk mengambil hartamu yang kau bawa dari kota raja. He-he-he, jenderal bekas, lekas kau katakan, di mana hartamu itu dan siapa yang membawanya?”
“Iblis hina dan busuk!” Kok Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ayahnya dihina seperti itu dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya, menusuk kakek kecil itu dengan jurus maut Tit-ci-thian-lam (Menuding ke Arah Selatan). Pedangnya langsung meluncur ke arah ulu hati kakek itu dengan kecepatan kilat hingga nampak sinar berkelebat menyilaukan mata.
“He-he-he, bocah, kau boleh juga!” Kakek kecil itu terkekeh, miringkan tubuhnya dan jari tangannya menyentil.
“Tringgggg...!”
“Ahhhhh!” Kao Kok Han berseru kaget dan cepat dia meloncat ke belakang mengikuti ke mana pedangnya terpental karena pedang yang kena disentil oleh kuku jari tangan kakek itu hampir saja terlepas dari pegangannya.
“Iblis tua bangka!” teriak Kok Tiong yang menjadi marah dan orang muda ini pun telah menyerang dengan pedangnya dengan hebat.
Namun dengan mudahnya kakek kecil itu mengelak, kemudian kakinya yang pendek kecil itu mengelak, hampir saja mencium lambung Kok Tiong kalau saja dari samping Jenderal Kao Liang tidak cepat menangkis dengan tangan kirinya.
“Dukkkkk!”
Jenderal Kao Liang merasa betapa lengannya yang bertemu dengan kaki itu merasa nyeri dan kesemutan, maka dia terkejut sekali, maklum bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.
“He-he-he! Kiranya bekas Jenderal Kao masih belum kehilangan kepandaiannya! Akan tetapi seorang jenderal tanpa pasukan, mau bisa apakah?” Kakek kecil itu mengejek dan kini Jenderal Kao Liang menjadi marah sekali.
“Engkau tentu seorang pangcu dari golongan perampok busuk!” teriaknya. “Biar pun aku sekarang sudah tidak memegang jabatan apa-apa, sudah menjadi kewajibanku untuk membebaskan rakyat dari gangguanmu!”
Jenderal itu sudah meloloskan pedangnya yang panjang, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Kakek kecil ini pun tidak berani memandang rendah, cepat dia mengelak dan balas menyerang, akan tetapi dia masih saja terkekeh dan menghadapi jenderal tua ini dengan tangan kosong belaka.
Kok Tiong dan Kok Han menerjang maju, akan tetapi mereka lalu dihadang oleh kakek tinggi kurus yang sudah memegang sebatang dayung. Melihat ini, dua orang muda itu cepat memutar pedang mereka dan menyerang. Si Tinggi Kurus memutar dayungnya pula menangkis.
“Cringgggg! Tranggggg...!”
Bunga api berpijar dan dua orang muda itu maklum bahwa selain kakek tinggi kurus ini bertenaga besar sekali, juga dayungnya itu ternyata bukan dayung kayu seperti biasa, melainkan dayung baja yang amat kuat pula.
Terjadilah pertempuran hebat dan seru di tepi sungai itu. Jenderal Kao Liang memang seorang yang memiliki tenaga besar sekali, akan tetapi ilmu silatnya biar pun cukup tinggi, masih tidak selihai ilmu perangnya. Dia memutar pedangnya dengan cepat dan kuat sampai terdengar suara berdesingan dan pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung.
Tapi ternyata kakek kecil itu memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandangan mata Jenderal Kao sehingga membuat jenderal tua ini kaget dan juga bingung. Betapa pun juga, kakek kecil yang memandang rendah dan bersikap sombong itu, yang menghadapi Jenderal Kao Liang hanya dengan tangan kosong belaka, juga tidak mudah merobohkan Sang Jenderal yang tubuhnya terlindung oleh sinar pedangnya.
Lima puluh jurus telah lewat dan Jenderal Kao Liang masih terus menyerang lawannya dengan kemarahan yang berkobar-kobar. Ia maklum bahwa lawannya ini sedikit banyak tahu akan semua peristiwa yang menimpa keluarganya, maka ingin dia merobohkan lawan ini, kalau bisa tidak sampai membunuhnya agar nantinya dia dapat memaksanya mengaku. Akan tetapi, tubuh lawan ini terlalu cepat bergerak.
“He-he-he, jenderal yang tidak terpakai! Kau masih berani melawan terus?” Kakek kecil itu mengejek dan kini dia berdiri dekat sekali dengan tepi sungai, membelakangi sungai.
Melihat ini, Jenderal Kao Liang yang menjadi marah sekali melihat kesempatan baik. Lawannya sudah berada di tepi sungai, tidak ada jalan untuk mengelak lagi, maka dia lalu mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, pedangnya menusuk dengan kuat sekali ke arah dada lawan itu.
Akan tetapi, mendadak Si Kakek Kecil itu lenyap. Sedemikian cepat gerakannya ketika menjatuhkan diri sehingga tidak kelihatan oleh Jenderal Kao. Tahu-tahu kakek kecil itu dari bawah menangkap lengan tangan Jenderal Kao yang memegang pedang dan secepat itu pula kakinya dua kali bergerak menendang ke arah lutut Jenderal Kao.
Jenderal tua ini berseru kaget, kedua kakinya terasa lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang barusan terjadi, kakek kecil itu telah menyentak tangannya, menariknya ke atas membuatnya terlempar ke atas, melampaui kepala kakek kecil itu dan terlempar ke tengah sungai!
“Byuuuuurrr...!”
Tubuh yang tinggi besar itu menimpa air yang muncrat tinggi. Jenderal yang kehilangan pedangnya itu mencoba untuk berenang, tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan betapa dua buah kakinya belum dapat digerakkan, masih setengah lumpuh oleh totokan ujung sepatu kakek kecil itu. Terpaksa dia hanya menggunakan kedua tangannya untuk digerakkan menahan agar tubuhnya tidak tenggelam dan kini tubuhnya dibawa hanyut, terseret oleh arus sungai yang kuat.
“Ayahhhhh...!” Kok Tiong berseru kaget sekali. Akan tetapi dia dan adiknya masih belum mampu mengalahkan lawan yang memegang dayung, bahkan mereka terancam oleh sinar dayung yang berkelebatan.
Kiranya orang yang berjulukan Kerbau Belang ini kuat sekali, dan kadang-kadang dari tenggorokannya keluar suara seperti seekor kerbau marah dan tiap kali terdengar suara ini, tenaga yang menggerakkan dayungnya menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat dua orang saudara Kao ltu kewalahan. Namun dengan kerja sama yang rapi, mereka berdua masih dapat saling melindungi dan menahan amukan kakek tinggi kurus yang memutar dayungnya secara istimewa.
“He-he-he, Hoa-gu-ji, engkau benar-benar mengecewakan. Masa menghadapi dua ekor ikan kecil saja masih belum mampu menangkapnya?” Kakek kecil yang telah berhasil melontarkan tubuh Jenderal Kao Liang ke tengah sungai itu tertawa, lantas tubuhnya berkelebat dan dengan cepat sekali, menggunakan kesempatan selagi dua orang saudara Kao itu menangkis dayung dengan pedang mereka, dia menotok jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri mereka sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, Kok Tiong dan Kok Han mengeluh dan roboh lemas.
Hoa-gu-ji menggerakkan dayungnya ke arah kepala mereka.
“Wuuuuutttttt... plakkk!”
Dayung itu terpental, bertemu dengan telapak tangan Si kakek kecil. “Gilakah kau, Hoa-gu-ji? Kita membutuhkan mereka, mengapa hendak kau bunuh?”
Hoa-gu-ji cemberut dan dia teringat, maka cepat dia mengambil tali dari perahu dan mengikat kedua tangan Kok Tiong dan Kok Han. Dia tadi marah sekali karena merasa malu disebabkan dia tidak mampu merobohkan dua orang musuh itu, sehingga dalam kemarahannya hampir dia membunuh mereka.
“Maafkan, Pangcu, barusan hampir saja saya lupa,” katanya setelah mengikat mereka dan melemparkan tubuh mereka ke atas perahu.
Tak lama kemudian, perahu yang kini membawa dua orang tawanan itu sudah meluncur lagi ke tengah sungai mengikuti arus. “Hayo katakan, di mana adanya harta benda Ayah kalian! Kalau tidak mau mengaku, terpaksa kalian akan kami jadikan makanan ikan di sungai ini!” Kakek kecil itu membentak.
“Persetan dengan kamu, iblis tua bangka!” bentak Kok Han dengan marah, sedikit pun juga tidak takut atau jeri menghadapi ancaman kakek kecil itu.
Akan tetapi, Kao Kok Tiong yang lebih cerdik tidak ingin mati konyol begitu saja. Tidak, mereka berdua harus hidup, apa lagi sekarang setelah ayah mereka pun lenyap, hanyut ditelan air sungai. Mereka harus mencari keluarga mereka lebih dahulu dan tidak boleh mati begitu saja.
“Pangcu, engkau telah keliru menyerang orang,” katanya tenang. “Ayah kami memang membawa harta benda, akan tetapi kemarin kami telah diserbu orang-orang yang tidak kami ketahui siapa, keluarga kami ditawan dan harta benda itu pun ikut pula terbawa. Kami bertiga sedang mencari mereka ketika bertemu dengan engkau di tepi sungai.”
“Wah, celaka, benar-benar ada orang sudah mendahului kita, Hoa-gu-ji. Orang muda, ceritakan semua dengan jelas.”
Kao Kok Tiong lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpanya, tentu saja tanpa menceritakan dugaannya tentang utusan kaisar dan tentang keluarga Suma. Kakek kecil itu mendengarkan dengan alis berkerut dan dia menarik napas panjang.
“Celaka, siapa lagi kalau bukan perempuan-perempuan iblis garuda hitam itu? Hoa-gu-ji, hayo cepat kita ke hilir, kita harus dapat mencari mereka!”
Perahu meluncur makin cepat karena kini selain digerakkan oleh kekuatan arus air, juga dlbantu oleh kekuatan dayung yang digerakkan oleh Hoa-gu-ji. Dua orang saudara Kao yang rebah di atas perahu dengan kedua tangan terbelenggu merasa miris juga melihat perahu meluncur demikian cepat, apa lagi karena mereka memang tidak biasa bermain di air. Diam-diam mereka mengkhawatirkan keadaan ayah mereka yang tadi mereka lihat terlempar ke air dalam keadaan masih hidup dan berusaha berenang, akan tetapi terseret oleh arus air.
Khiu-pangcu dan Hoa-gu-jin kini kelihatan bersikap waspada dan siap siaga di atas perahu ketika perahu itu melewati sebuah hutan yang liar dan lebat. Mendadak tampak sinar berkelebat diikuti suara berdesing dan tahu-tahu sebatang anak panah menancap di kepala perahu. Anak panah itu ditempeli sebuah lencana perak bergambar garuda hitam dan di bawahnya terdapat dua buah huruf berbunyi SUI TIN (Pasukan Air).
Melihat ini dari tempat mereka rebah, Kok Tiong dan Kok Han lalu teringat akan len-cana yang mereka dapatkan di dekat mayat wanita berpakaian hitam karena memang sama gambar dan bentuknya, hanya saja lencana yang mereka temukan itu memakai huruf Pasukan Kayu, sedangkan yang menempel di anak panah ini huruf-hurufnya berbunyi Pasukan Air.
Khiu-pangcu terkekeh, lalu mencabut anak panah itu dan melemparkannya ke sungai.
“Singgggg...!”
Cepat sekali anak panah itu meluncur seperti terlepas dari gendewa dan anak panah itu menancap di batu karang di tepi sungai, masuk sampai sepertiganya ke dalam batu karang itu. Hal ini saja membuktikan betapa hebat sinkang dari kakek kecil itu, kekuatan lemparannya tadi jauh lebih kuat dari pada kalau anak panah itu meluncur dari sebatang gendewa!
Kini kakek kecil ltu bangkit berdiri di atas kepala perahu, kakinya terpentang lebar dan kedua lengannya bertolak pinggang, lalu terdengar suaranya yang tinggi melengking nyaring, bergema di dalam hutan di seberang sungai, “Haiiiii...! Kenapa hanya pimpinan Pasukan Air saja yang keluar menyambutku? Mana keempat pasukan yang lain? Hayo keluarlah kalian menyambut Khiu-pangcu yang sudah datang ke sini! Malam kemarin kepala Pasukan Kayu telah berani menghina seorang anggota kami, hayo suruh pula dia keluar kalau berani!”
Siapakah pelempar anak panah yang menancap di perahu itu? Dan siapakah mereka yang memakai lencana garuda hitam itu? Mereka itu adalah anggota-anggota dari perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) yang berpusat di puncak Gunung Cemara. Perkumpulan ini terdiri dari wanita-wanita yang rata-rata mempunyai kepandaian silat yang tinggi, dan pada tangan mereka semua dicacah gambar burung garuda. Di antara mereka dibagi menjadi pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Api, Pasukan Air, Pasukan Tanah, Pasukan Besi dan Pasukan Kayu, masing-masing memiliki keistimewaan sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu di seberang sungai, “Kakek sombong, jangan takabur, kau!” Dan muncullah seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga puluh tahun dari balik semak-semak, seorang wanita yang pakaiannya serba hitam dan yang memegang sepasang pedang. “Tidak perlu saudara-saudara kami maju, cukup kami saja yang akan melawanmu dan akan membunuhmu, kecuali kalau kau mau serahkan tawananmu itu kepadaku, kami akan membebaskan engkau!”
“He-he-he-he, perempuan cantik suaranya nyaring!” Kakek kecil itu tertawa dan perahu lalu didayungnya ke pinggir. Kakek tinggi kurus itu mengikat perahu di tepi, kemudian bersama Khiu-pangcu dia lalu meloncat ke darat, dengan sikap angkuh dan tersenyum simpul.
“He-heh-heh, Nona cantik. Engkau tentu kepala dari Pasukan Air, bukan? Percuma saja engkau membahayakan kulitmu yang halus, lebih baik suruhlah semua pasukan maju mengeroyok aku.”
Wanita itu menudingkan pedang kirinya ke arah muka kakek kecil, sedangkan pedang kanannya melintang di depan dada, kemudian dia berkata, “Khiu-pangcu, jangan kau sombong. Saat ini aku Kim-hi Niocu (Nona Ikan Emas) yang bertugas dan berjaga di sini, maka cepatlah kau serahkan tawananmu itu kepadaku sebelum terpaksa aku turun tangan menggunakan kekerasan.”
“Ha-ha-he-heh, sungguh gagah! Mari, mari, Nona manis, mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!”
Khiu-pangcu lalu meraba pinggangnya. Tampak sinar hitam berkelebat ketika dia telah meloloskan sabuk atau ikat pinggangnya yang panjang dan ternyata dapat digunakan sebagai senjata cambuk yang ada gagangnya dan yang ujungnya bercabang-cabang itu.
“Kau bosan hidup!” Wanita cantik yang berjuluk Nona Ikan Emas itu membentak.
Pedangnya berkelebatan dan dalam gebrakan pertama, sepasang pedangnya langsung menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan nona ini cepat sekali dan agaknya dia memiliki ginkang yang amat hebat sehingga dia menjadi lawan yang sama cepatnya dengan kakek kecil itu. Tetapi Khiu-pangcu tertawa mengejek dan begitu dia menggerakkan cambuknya, terdengar suara bersiutan yang menyakitkan telinga, diselingi ledakan-ledakan kecil. Setiap ledakan itu mengakibatkan mengepulnya sedikit asap putih, tanda bahwa gerakan cambuk itu me-mang kuat sekali.
Kim-hi Niocu menyerang dengan ganas, sepasang pedangnya merupakan sepasang cengkeraman maut yang mengintai nyawa. Akan tetapi dua gulungan sinar pedang itu selalu terbendung dan terpental kalau bertemu dengan lingkaran hitam dari cambuk di tangan Khiu-pangcu, bahkan sering kali terdengar ledakan-ledakan kecil di atas kepala si Nona Ikan Emas, membuat wanita itu kadang-kadang menjerit kaget dan disusul suara tertawa mengejek dari Khiu-pangcu.
Tiba-tiba Kim-hi Niocu mengeluarkan suara bersuit dan muncullah lima orang wanita anak buahnya yang semua memegang pedang di tangan. Akan tetapi, kini Hoa-gu-ji tertawa dan menghadang mereka dengan dayungnya yang panjang, dan begitu lima orang wanita itu maju menyerbu, dayungnya diputar dan lima orang wanita itu tertahan gerakannya tidak dapat membantu Kim-hi Niocu yang terpaksa melayani sambaran-sambaran cambuk yang amat lihai dari Khui-pangcu itu.
Tak lama kemudian, ketika Kim-hi Niocu sudah terdesak hebat, demikian pula lima orang anak buahnya, terdengar suitan dari jauh dan muncullah seorang wanita lain yang usianya juga tiga puluh tahunan, yang cantik tidak kalah dengan Kim-hi Niocu, bahkan kulitnya lebih putih sehingga pakaian hitam itu membuat wajahnya putih halus seperti salju. Wanita ini bersenjatakan sebatang golok kecil lebar yang mengeluarkan sinar gemerlapan. Inilah kepala dari Pasukan Tanah.
“Adik Liong-li, bantulah aku!” teriak kepala Pasukan Air dengan girang.
Tanpa diminta untuk kedua kalinya, wanita cantik yang disebut Liong-li itu segera menerjang maju dengan goloknya membantu Kim-hi Niocu mengeroyok Khiu-pangcu sambil berkata, “Kiranya Khiu-pangcu, Si tua bangka keparat!”
“He-he, cantik... cantik...! Gunung Cemara sarang bidadari, sebetulnya menjadi sumber kenikmatan dan kesenangan, sayang malah menjadi sumber kejahatan dan kekacauan! He-he-he!” Khiu-pangcu masih sempat tertawa ketika dia mengelak dari sambaran sinar kilat dari golok di tangan Liong-li.
Pertempuran menjadi makin hebat, tetapi ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang wanita itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan tingkat kepandaian Khiu-pangcu. Lewat lima puluh jurus, sinar hitam dari cambuknya terus mengurung dan menghimpit, membuat dua orang wanita itu mandi keringat dan tak lama kemudian, Khiu-pangcu berhasil merobohkan mereka dengan totokan-totokannya yang lihai. Si Tinggi Kurus Hoa-gu-ji juga berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya yang cepat meloncat ke air, menyelam dan lenyap.
“He-he-he, percayakah kalian sekarang?” Khiu-pangcu tertawa mengejek, menyimpan sabuknya dan memandang dua orang wanita yang roboh terlentang dan tidak dapat bergerak karena tubuhnya lumpuh, hanya mata mereka memandang dengan mendelik marah kepada kakek kecil itu.
“Seharusnya kalian mengajak semua saudara kalian ke sini baru bisa agak seimbang melawan aku. Nah, sekarang katakan, di mana adanya harta rampokan milik keluarga Jenderal Kao itu? Katakan sebenarnya, kalau tidak kalian akan aku bunuh, kemudian akan kutantang kembali ketua kalian biar peristiwa dua tahun yang lalu terulang lagi. Sayang, ketika itu muncul Pendekar Siluman Kecil sehingga pertempuran terhenti dan nyawa Perkumpulan Hek-eng-pang selamat.”
“Bedebah tua bangka! Siapa takut mati? Mau bunuh lekaslah bunuh, akan ada teman-teman kami yang membalaskan kematian kami, yang akan melumat perkumpulanmu dan meratakan sarang kalian dengan bumi. Hayo, bunuhlah!” Kim-hi Niocu menantang.
“Tua bangka gila, namaku bukan lagi Liong-li jika aku takut mampus!” Kepala Pasukan Tanah juga menantang dengan pandang mata menghina.
Khiu-pangcu menggaruk-garuk kepalanya. “Wah, wah, hebat sekali. Hoa-gu-ji, jikalau anak buah kita tidak setabah mereka ini, sungguh kita harus merasa malu.”
“Ji-pangcu (Ketua Kedua), boleh jadi mereka tak takut mati, akan tetapi apakah Pangcu lupa bahwa ada sesuatu yang lebih ditakuti wanita dari pada maut?” Hoa-gu-ji berkata sambil tertawa menyeringai, memperlihatkan gigi yang sudah keropok dan kuning dekil.
“Hah?! Ohhh... he-he-heh... kau memang amat cerdik!” Khiu-pangcu berkata dan sambil tertawa-tawa.
Dia lalu segera berjongkok mendekati tubuh Kim-hi Niocu, menggunakan kedua tangan menggerayangi tubuh wanita cantik itu sambil mulai melepas-lepaskan pakaiannya. Sedangkan Hoa-gu-ji dengan lagak menjemukan juga menggerayangi tubuh Liong-li dan melepaskan kancing-kancing baju wanita cantik itu.
Kim-hi Niocu dan Liong-li menjerit.
“Tua bangka! Apa yang kau lakukan ini? Lepaskan aku!” Kim-hi Niocu berteriak.
“Keparat tak tahu malu, lepaskan aku!” Liong-li juga menjerit-jerit, akan tetapi karena tak dapat bergerak, maka dia hanya terbelalak penuh kengerian.
“He-he, hendak kulihat, kau lebih suka dicemarkan atau berterus terang!” Khiu-pangcu mengejek dan sudah mulai menanggalkan pakaian luar Kim-hi Niocu sehingga mulai nampaklah bentuk tubuhnya yang padat membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis, dan nampak pula kulitnya yang putih halus dan menggairahkan itu.
“Jangan...! Kami... kami akan berterus terang...” Akhirnya Kim-hi Niocu berteriak dengan suara lemah, tanda bahwa dia tidak punya semangat untuk melawan lagi. Menghadapi kematian dia masih tabah, akan tetapi kalau harus dihina lebih dulu oleh kakek yang menjijikkan ini, benar-benar hebat dan dia tidak sanggup menghadapinya. “Akan tetapi terlebih dahulu kau harus berjanji demi kedudukanmu bahwa kalau kami mengaku terus terang, kau tidak akan mencemarkan kehormatan kami.”
Khiu-pangcu bangkit berdiri. “He-he-heh-heh... siapa sih yang masih haus akan tubuh perempuan muda? Aku sudah muak!”
“Tapi... dia... dia ini...!” Liong-li menjerit.
Hoa-gu-ji yang agaknya sudah bangkit birahinya itu sudah mulai meraba celana dalam berwarna hitam yang amat kontras dengan paha yang putih mulus dari Liong-li.
“Hoa-gu-ji, kau benar-benar seperti kerbau! Hayo mundur!” Khiu-pangcu membentak dan kakek tinggi kurus itu tersentak kaget, lalu bangkit dan mundur dengan muka merah menarik napas menahan nafsu birahinya yang berkobar dan jelas dia amat kecewa.
“Nah, ceritakanlah!” Khiu-pangcu menghardik kepada Kim-hi Niocu.
“Harap... bebaskan dulu kami... bicara begini tidak enak...”
“Huhhh, dasar perempuan. Cerewet amat!” Khiu-pangcu mengomel, akan tetapi tetap saja tangannya bergerak dua kali.
Begitu kedua orang wanita muda cantik itu dapat bergerak, mereka lalu cepat-cepat memakai kembali pakaian luar mereka yang sudah ditanggalkan oleh dua orang kakek itu. Setelah itu barulah Kim-hi Niocu bercerita dengan suara lirih, karena sesungguhnya dia terpaksa mengalah.
“Kami belum mendapatkan harta Jenderal Kao. Kami telah bertemu dan bentrok dengan pasukan asing yang lihai, bahkan adik kami kepala Pasukan Kayu telah tewas ketika bertanding dengan pemimpin pasukan asing itu. Karena kami belum mendapatkan harta itu, maka kami terus mengejar Jenderal Kao dan dua orang pu-teranya yang kau tawan itu untuk menanyakan di mana adanya harta benda mereka yang tadinya mereka bawa dalam rombongan mereka dari kota raja.”
“Aih, begitukah? Kalau begitu kita semua telah dipermainkan oleh keluarga Kao itu!” Khiu-pangcu berkata marah. “Hoa-gu-ji, seret mereka keluar dari perahu dan bawa ke sini!”
Hoa-gu-ji yang masih kecewa itu kini dengan kasar menyeret tubuh Kok Tiong dan Kok Han keluar dari perahu dan melemparkan tubuh mereka yang terbelenggu itu ke atas tanah di depan kaki Khiu-pangcu. Dua orang muda itu menggulingkan tubuh agar terlentang dan dapat melihat orang-orang yang menawannya. Mereka melihat dua orang wanita cantik itu dan menduga-duga siapa adanya mereka.
“Hayo katakanlah yang sebenarnya, di mana kalian menyembunyikan harta Ayah kalian yang tadinya kalian bawa dalam rombongan itu! Kalau tidak, jangan mengatakan Khiu-pangcu berlaku kejam, kalian tentu akan kusiksa habis-habisan di sini!” Khiu-pangcu membentak marah karena dia merasa dipermainkan.
Kok Han memandang dengan mata melotot. “Sudah kukatakan padamu, terserah kamu percaya atau tidak!” Pemuda ini membentak juga. “Mau siksa, mau bunuh, siapa sih yang takut?”
Kok Tiong cepat menyambung, “Pangcu, kami adalah putera-putera seorang besar dan keluarga kami semenjak puluhan tahun sudah terkenal sebagai keluarga pahlawan yang pantang untuk membohong, apa lagi memberatkan harta benda! Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu siapa yang merampas harta kami, dan siapa pula yang menculik keluarga kami.”
“Hemmm, agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit. Bocah-bocah keras kepala, biar pun kalian putera-putera bekas Jenderal Kao Liang, tetapi agaknya kalian belum mengenal siapa aku, ya? Dan kalian belum mendengar tentang senjata rahasiaku Touw-kut-tok-ciam (Jarum Beracun Penembus Tulang)! Apakah kalian mau merasakannya?”
“Khiu-pangcu, kami kira mereka ini tidak berbohong. Perlu apa kau menggunakan jarum beracunmu yang mengerikan itu?” Tiba-tiba Kim-hi Niocu mencela kakek itu.
“Ha-ha-he-he, agaknya kau sayang melihat ketampanan mereka, ya? Hoh-ho-ho, biar kalian juga melihat betapa hebatnya jarum Touw-kut-tok-ciam dari Khiu-pangcu, agar lain kali kalian bocah-bocah tidak berani kurang ajar melawan aku!”
Akan tetapi tiba-tiba kakek ini tidak melanjutkan tangannya yang hendak merogoh saku untuk mengeluarkan jarum beracunnya, sebab pada saat itu pula terdengar suara orang bersenandung, Ialu lewatlah seorang pemuda berpakaian abu-abu di tempat itu. Dua orang putera Jenderal Kao yang terlentang melihat pemuda ini dan hampir saja mereka mengira bahwa yang lewat itu adalah Suma-kongcu yang mereka cari-cari, karena suara itu hampir sama dengan suara senandung yang mereka dengar di atas tebing kemarin dulu. Akan tetapi orang ini pakaiannya abu-abu, tidak putih-putih, dan ketika mereka berdua memandang wajah itu, mereka tahu bahwa orang ini bukanlah Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu yang pernah mereka lihat dan mereka kenal.
Pemuda berpakaian abu-abu itu menghentikan senandungnya dan bahkan berhenti melangkah, lalu menghampiri mereka dengan wajah heran. “Ehh, ada terjadi apakah di sini? Mengapa kalian berdua tiduran di tanah yang kotor? Ehh, bukankah kalian ini putera-putera Jenderal Kao Liang?”
Pemuda itu kemudian menoleh dan memandang bergantian kepada dua orang wanita Garuda Hitam dan kepada Khiu-pangcu dan Hoa-gu-ji, kemudian dia mengerutkan alis dan menegur. “Heiii, kenapa kalian menawan dua orang putera Jenderal Kao Liang ini? Ehem, tentu kalian mengincar harta benda mereka, bukan? Tolol, mereka itu adalah keluarga yang gagah perkasa dan bersih, harta benda mereka bukanlah hasil korupsi. Sama sekali bukan, melainkan harta yang bersih, hasil dari jerih payah dan keringat mereka sendiri. Ho-ho-ho, kalian memang tolol, karena kalian sudah terlambat semua, harta itu telah berada pada Suma-kongcu.”
“Ehh, bocah lancang, kau tahu apa?” Khiu-pangcu membentak marah, dan tangannya segera melayang.
Dalam kemarahannya karena dia tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda ini, yang bahkan memakinya tolol, di dalam tamparan itu Khiu-pangcu mengerahkan sinkang-nya sehingga tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, yang bahkan cukup kuat untuk menghancurkan batu karang, apa lagi kepala pemuda yang kelihatan lemah itu.
“Wuuuuuttt... plakkkkk... aughhh...!”
Sungguh mengherankan sekali. Pemuda itu agaknya dengan acuh tak acuh, dengan gerakan sembarangan saja, mengangkat tangan menyambut tamparan itu sehingga dua tangan itu bertemu, dan akibatnya, Khiu-pangcu terhuyung ke belakang memegangi tangannya dan meniup-niupnya karena terasa panas seperti dibakar!
“Bangsat cilik keparat!” Kakek itu marah sekali dan segera memandang dengan mata terbelalak.
Kemudian dia telah menerjang dengan kedua tangannya digerakkan, yang kiri menotok ke arah tengah-tengah antara mata dan yang kanan mencengkeram ke arah pusar pemuda berpakaian abu-abu itu. Jelas betapa marahnya Khiu-pangcu karena, serangan yang dilakukannya ini adalah serangan maut yang amat hebat, yang sukar dihadapi oleh yang tangguh sekali pun, apa lagi oleh orang muda tidak ternama yang berpakaian sederhana seperti seorang pemuda gunung biasa itu.
“Wuuuttttt, plak-plak, dessss...!” Dan semua orang terbelalak melihat Khiu-pangcu roboh terjengkang.
“Blukkkk!” Pantat yang tipis dari Khiu-pangcu terbanting ke atas tanah, debu mengebul dan kakek kecil itu meringis kesakitan, juga keheranan.
“Siuuuuuttttt...!” Sebatang dayung panjang meluncur dan menghantam ke arah kepala pemuda berpakaian abu-abu itu.
Itu adalah penyerangan yang dilakukan oleh Hoa-gu-ji, yang menjadi marah melihat betapa ketuanya sampai dua kali dibikin malu oleh pemuda itu. Hantaman dayungnya itu amat kuat, mengandung tenaga ratusan kati dan akan menghancurkan batu karang kalau mengenainya. Akan tetapi, tanpa menoleh pemuda itu mengangkat tangan kirinya menangkis, gerakan tangannya jelas menunjukkan bahwa sekali ini dia mengerahkan tenaganya.
“Krakkk!” Dayung itu bertemu dengan lengan tangan pemuda itu dan patah!
Hoa-gu-ji melongo, akan tetapi dia terkejut sekali karena pemuda itu sudah menyambar sepotong dayung yang patah tadi dan memukulkannya ke arah kepalanya. Pukulan sembarangan saja, seperti seorang yang memukul seekor anjing. Hoa-gu-ji cepat mengangkat sisa potongan dayung, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Bukkk!”
Sungguh aneh sekali, walau pun ditangkis, tetap saja potongan dayung itu mengenai punggungnya dan robohlah Hoa-gu-ji, mulutnya memuntahkan darah segar dan dia sibuk berusaha untuk mengelus punggung dengan kedua tangan, melalui atas dan bawah pundak sambil mengerang kesakitan.
Jika saja Khiu-pangcu tidak begitu marah, tentu ia telah dapat mengerti bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, bahkan memiliki kepandaian yang amat hebatnya. Akan tetapi kemarahannya membuat dia seolah-olah menjadi buta. Dengan teriakan nyaring tangannya bergerak dan beberapa sinar putih lantas meluncur ke arah pemuda itu dan menyerang beberapa bagian tubuh yang berbahaya, tenggorokan, ulu hati, dan pusar. Itulah tiga batang jarum Touw-kut-tok-ciam yang amat berbahaya, yang menyambar dari jarak dekat.
Serangan tiba-tiba itu sama sekali tidak dapat dihindarkan lagi oleh pemuda itu, kecuali dua, yaitu yang menyambar ke arah tenggorokan dan pusar. Kedua tangannya bergerak menangkap dua batang jarum itu dengan menjepitnya antara jari tengah dan telunjuk, sedangkan jarum yang meluncur ke arah dadanya, dia terima begitu saja.
“Cappp!” Jarum itu menancap di bajunya.
Kedua orang putera Jenderal Kao sudah terbelalak ngeri, apa lagi dua orang wanita Garuda Hitam yang sudah mengenal kehebatan jarum beracun itu. Tentu pemuda lihai itu akan celaka karena dadanya sudah termakan oleh sebatang jarum yang sangat berbahaya itu.
Namun sungguh luar biasa sekali. Pemuda berbaju abu-abu itu seperti tidak merasa-kan sama sekali, malah sambil tersenyum mengejek dia kemudian berkata, “Orang sinting! Kau makanlah sendiri jarum-jarummu!” Dan tangannya yang menjepit jarum-jarum itu meluncur ke bawah, ke arah Khiu-pangcu!
Kakek itu berusaha meloncat dan mengelak, akan tetapi dia roboh kembali karena dua batang jarumnya telah menancap di kedua betis kakinya, menembus tulang! Dia terkejut sekali, tergopoh-gopoh dia mengeluarkan sebungkus obat dan cepat-cepat dia menelan empat butir pil hitam, mencabut dua batang jaram itu dan menggosokkan obat pada bekas luka tertusuk jarumnya sendiri. Dia selamat dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja dia mengaduh-aduh karena rasa yang menusuk-nusuk tulang akibat bekerjanya racun jarum itu.
Pemuda itu dengan sikap tak peduli kemudian mencabut jarum yang menancap di baju dadanya, melemparkan jarum itu jauh ke tengah sungai. Kiranya yang tertembus jarum hanya bajunya dan agaknya kulitnya tidak tertembus, buktinya dia tidak merasakan apa-apa. Sungguh seorang pemuda yang berkepandaian luar biasa sekali.
“Pergilah kalian!” kata pemuda itu kepada dua orang kakek yang telah dirobohkan itu. “Cepat, kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!”
Tergopoh-gopoh Hoa-gu-ji yang punggungnya masih sakit itu memanggul Khiu-pangcu yang tidak dapat berdiri, lalu dengan susah payah memasuki perahu dan mendayung perahu ke tengah sungai. Mereka ketakutan dan bahkan tidak berani bertanya siapa adanya pemuda baju abu-abu yang amat lihai itu.
Pemuda berpakaian abu-abu itu lalu membungkuk, kedua tangannya bergerak dan dengan amat mudahnya seperti memutus benang-benang saja, dia telah menggunakan jari-jari tangannya untuk mematahkan belenggu kaki tangan dua orang saudara Kao. Mereka itu bangkit berdiri dan menjura untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi pemuda baju abu-abu itu menggerakkan tangan, agaknya tidak senang melihat orang menghaturkan terima kasih, kemudian ia berkata, “Sudahlah, kalau kalian ingin mencari kembali harta yang hilang, kalian cari saja Suma-kongcu. Yang lain-lainnya aku tidak tahu.”
Dua orang saudara Kao itu mengangguk, mereka masih merasa tegang dan kagum, juga terheran-heran memandang pemuda yang luar biasa ini. Akan tetapi pemuda itu tidak lagi mempedulikan mereka, malah menoleh kepada Kim-hi Niocu dan Liong-li sambil berkata, “Kalian pun boleh pergi, jangan mengganggu dua orang pemuda ini. Cepat laporkan kepada ketua kalian bahwa aku ingin menemuinya.” Setelah berkata demikian, pemuda baju abu-abu itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ sambil bersenandung.
“Maaf, Taihiap! Bagaimana kami akan melapor ketua tanpa mengetahui nama Taihiap?” Kim-hi Niocu berseru dengan sikap hormat.
Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Wajahnya tampan sekali bila tersenyum, mengusir kemuraman yang membayangi wajah itu. “Katakan saja kepada ketuamu bahwa aku biasa membunuh dengan jari-jari tanganku ini, tentu dia akan mengenalku. Nah, aku pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap!
Kedua orang wanita yang lihai itu menjulurkan lidah penuh rasa kekaguman dan ngeri, kemudian mereka pun pergi setelah melirik ke arah dua orang putera Jenderal Kao yang masih berdiri terlongong di tepi sungai.
“Eh, Nona, harap tunggu dulu!” Tiba-tiba Kok Tiong berseru ketika dia melihat dua orang wanita itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa bicara apa-apa.
Kim-hi Niocu dan Liong-li berhenti, lalu membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Dua orang pemuda putera Jenderal Kao itu amat gagah dan tampan, tentu saja hati mereka tertarik, namun teringat akan pesan pemuda berbaju abu-abu, mereka berdua merasa ngeri dan tidak berani mengganggu sedikit pun.
“Ada apakah, Kongcu?” Kim-hi Niocu berkata sambil tersenyum manis, matanya yang jernih memandang tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.
“Kami dapat menduga bahwa Nona berdua tentu anggota-anggota perkumpulan yang amat terkenal di daerah ini. Akan tetapi kami tidak tahu, Nona berdua dari golongan apakah? Kami mendengar bahwa ada dua golongan di daerah ini, dan Nona ini dari Gunung Cemara ataukah dari seberang lembah?”
Kim-hi Niocu tertawa kecil. “Dua orang tua tadilah yang datang dari lembah,” jawabnya dengan suara merdu. “Mereka itu adalah tokoh-tokoh Huangho Kui-liong-pang (Partai Naga Setan dari sungai Huang-ho), sedangkan kami adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan Hek-eng-pang dari Gunung Cemara.”
“Maafkan jika kami bersikap kurang hormat, Nona. Kiranya Ji-wi (Anda Berdua) adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan besar Hek-eng-pang. Akan tetapi, Nona tentu tahu ke mana perginya para wanita dan anak-anak, yaitu keluarga kami?”
Kim-hi Niocu mainkan matanya, mengerling tajam penuh daya tarik, kemudian sambil meremas-remas jari tangannya, sikapnya seperti seorang dara tujuh belas tahun saja, dia berkata, “Saya tidak bisa bicara banyak. Hoa-gu-ji itu bentrok dengan adik kami, yaitu kepala Pasukan Kayu di luar hutan malam kemarin untuk memperebutkan harta keluarga kalian. Hoa-gu-ji kalah, lalu pergi. Jadi kalian adalah bagian kami. Akan tetapi muncul pasukan asing di tebing ketika kami hendak turun tangan, lalu terjadi perang dan kami menang, sungguh pun kepala Pasukan Kayu, adik kami itu tewas. Sa-yangnya, harta itu telah dirampas oleh seorang pemuda tampan yang luar biasa sekali, demikian menurut keterangan keluarga kalian, katanya pemuda yang merampas harta itu adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih.”
Kok Tiong bertukar pandang dengan Kok Han, keduanya menduga bahwa tentu itulah Suma-kongcu seperti yang disebut-sebut oleh tukang warung bubur hangat dan oleh pemuda berpakaian abu-abu yang lihai tadi. “Kalau begitu, ke manakah perginya keluarga kami?” tanya Kao Kok Han dengan suara penasaran.
Kembali Kim-hi Niocu memainkan matanya, mengerling tajam dan tersenyum manis penuh daya tarik. “Hi-hi-hikkk... Ji-wi Kongcu yang baik, asal Ji-wi (Anda Berdua) dapat menemukan harta benda itu, yang katanya dibawa oleh pemuda yang bernama Suma-kongcu, dan menyerahkan harta itu kepada kami, hemmm... selain akan berterima kasih sekali, kami akan menjamu Ji-wi sebagai tamu-tamu kehormatan dan tamu-tamu agung, juga kami akan mengatakannya di mana mereka itu. Bagaimana? Nah, Ji-wi carilah pencuri itu sampai dapat, dan kami menanti di puncak Gunung Cemara. Sampai jumpa, Ji-wi Kongcu yang tampan, kami pergi dulu. Marilah, Adik Liong-li!” Kim-hi Niocu menggandeng tangan Liong-li, kemudian sambil tertawa-tawa dan dengan lenggang yang memikat, kedua orang wanita cantik yang nyaris diperkosa oleh dua orang kakek tadi, meninggalkan dua orang putera Jenderal Kao yang berdiri bengong dan bingung.
Tentu timbul pertanyaan di hati para pembaca budiman. Siapakah pemuda berpakaian abu-abu yang sederhana, tampan dan amat lihai itu? Bagi para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali, pemuda ini bukanlah seorang asing karena dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh besar cerita itu. Dia bernama Ang Tek Hoat! Pemuda ini adalah putera yang tidak sah dari mendiang Wan Keng In dan Ang Siok Bi. Ibunya itu, Ang Siok Bi, ketika masih gadis telah diperkosa oleh Wan Keng In dan mengandung. Dialah anaknya dan karena dia bukan anak sah dari Wan Keng In, maka ibunya memberi she ibunya dan she itu tetap terus dipakainya.
Setelah melalui perjalanan hidup yang berliku-liku, yang dituturkan secara menarik dan menegangkan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, akhirnya Ang Tek Hoat diakui sebagai seorang pahlawan di negara Bhutan dan ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, seorang puteri yang cantik jelita dan berbudi mulia, yang akhirnya jatuh cinta kepada Ang Tok Hoat, biar pun pemuda ini pernah menjadi seorang yang sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya.
Mengingat bahwa ayah kandung Tek Hoat yang bernama Wan Keng In adalah anak tiri dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, maka Tek Hoat terhitung keluarga Pulau Es yang terkenal, karena dia masih cucu tiri dari Pendekar Super Sakti. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Ang Tek Hoat telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari dua orang datuk Pulau Neraka, dan kini dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan sukar memperoleh tandingan.
Akan tetapi mengapa pemuda perkasa yang telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, yang sudah diakui sebagai pahlawan negara Bhutan karena pembelaannya ketika negara itu diserang oleh musuh-musuh, kini berkeliaran di lembah Sungai Huang-ho seorang diri? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita mengikutinya sejenak semenjak empat tahun yang lalu, ketika dia terpaksa meninggalkan negara Bhutan.
Seperti telah dituturkan pada bagian terakhir dari cerita Kisah Sepasang Rajawali, Ang Tek Hoat telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi dan tinggal di Bhutan sebagai seorang pahlawan yang diangkat menjadi panglima. Ia telah menjadi seorang panglima muda yang terhormat, bahkan terkenal pula sebagai calon mantu raja, tunangan Puteri Syanti Dewi yang dipuja-puja oleh rakyat Bhutan. Hari pernikahan mereka hanya tinggal menanti keputusan raja saja, yang masih menangguhkannya mengingat bahwa Bhutan baru saja mengalami perang dan bahwa baru saja Puteri Syanti Dewi kembali ke istana Bhutan setelah beberapa tahun lenyap (baca cerita Ki-sah Sepasang Rajawali).
Akan tetapi, tidak ada kesenangan yang kekal bagi manusia yang hidup di dunia ini. Di mana terdapat kesenangan, di situ pasti terdapat pula kesusahan. Susah dan senang, puas dan kecewa, suka dan duka, agaknya merupakan pasangan-pasangan yang tidak dapat dipisahkan yang menghias kehidupan manusia. Kesenangan yang dinikmati oleh Ang Tek Hoat pun ternyata tidak kekal adanya karena terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya…..
********************
Beberapa bulan sudah Ang Tek Hoat tinggal di Bhutan, di sebuah gedung kecil yang amat megah dan indah, sebuah bangunan istana yang tak jauh dari istana raja. Hampir setiap hari dia dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi. Dalam beberapa bulan saja tubuh Tek Hoat kelihatan segar, sehat dan agak gemuk.
Namun diam-diam dia mulai tidak kerasan sebab kehidupan yang dialaminya sehari-hari terlalu enak, terlalu menganggur sehingga membuatnya malas. Dia sudah biasa hidup merantau, juga sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan, yang memerlukan kecerdikan dan ketangkasannya untuk menghadapinya. Kini, dia tinggal di istana indah, tidak ada kerjaan apa-apa kecuali kadang-kadang menghadiri sidang di dalam istana, membicarakan urusan kenegaraan yang tidak begitu dimengerti dan dipedulikannya. Jiwa petualangan di dalam dirinya meronta dan membuat dia tidak kerasan. Namun perasaan ini tentu saja ditahan-tahannya, demi cintanya terhadap Syanti Dewi.
Hari masih pagi sekali dan baru saja Tek Hoat mandi pagi serta bertukar pakaian ketika seorang pengawal menghadapnya dan melaporkan bahwa terjadi keributan di luar pintu gerbang istana karena ada seorang wanita yang memaksa hendak bertemu dengan Panglima Ang!
“Siapakah dia?” tanya Tek Hoat dengan alis berkerut, namun hatinya berdebar girang karena baru sekarang terjadi hal yang menegangkan, berbeda dari biasanya yang lewat dengan aman dan mulus tanpa peristiwa berarti.
“Dia tidak mau mengaku namanya, hanya tadi mengatakan bahwa dia harus bertemu dengan Panglima Ang. Ketika dicegah, wanita itu malah merobohkan dua orang prajurit pengawal dan karena dia mengaku kenal baik dengan Paduka, maka para komandan jaga tidak berani lancang turun tangan dan menyuruh hamba datang melapor.”
Tek Hoat lalu bergegas meninggalkan gedungnya dan pergi ke pintu gerbang di mana para prajurit sedang menghadapi seorang wanita yang lagi marah-marah. Jantungnya berdebar keras ketika mendengar suara wanita itu. Cepat dia berlari menghampiri dan menguak para prajurit, melangkah ke depan wanita itu.
“Tek Hoat !”
“Ibu...!”
Semua orang melongo ketika melihat betapa panglima baru mereka itu berpelukan dengan wanita galak tadi. Kiranya wanita yang pakaiannya kusut dan kotor, yang galak dan angkuh itu adalah ibu dari panglima besar mereka, ibu dari calon mantu raja mereka, ibu dari tunangan Puteri Syanti Dewi mereka! Tanpa banyak cakap lagi karena di situ terdapat banyak orang, Tek Hoat lalu menggandeng ibunya, diajak ke istananya.
Setelah tiba di istana, kembali wanita itu yang bukan lain adalah Ang Siok Bi, memeluk puteranya sambil menangis sesenggukan. “Terlalu kau... Tek Hoat, sampai bertahun tahun kau tiada beritanya. Aku sampai susah payah, sengsara mencari-carimu, kiranya engkau menjadi seorang besar di negara asing ini hu-hu-huuuh...”
“Sudahlah, Ibu. Harap kau suka ampunkan aku. Aku mengalami banyak liku-liku dalam hidup, bahkan sampai terseret arus hidup ke tempat ini, dan baru saja hidupku teratur maka aku belum sempat menengok ibu di puncak Bukit Angsa. Sudahlah, ibu harap jangan menangis.”
Setelah rasa penasaran dan keharuan hatinya mereda, Ang Siok Bi lalu men-dengarkan penuturan puteranya, semenjak Tek Hoat meninggalkan lembah Huangho sampai dia menjadi panglima besar di Bhutan. Tentu saja semua itu dituturkannya secara singkat dan hanya garis-garis besarnya saja.
“Dan aku memperoleh kenyataan yang pahit, Ibu, yaitu bahwa musuh kita bukanlah Gak Bun Beng “
“Hemmm, aku juga sudah tahu!” tukas ibunya. “Dan sekarang, setelah engkau enak-enak saja di sini sedangkan musuh ibumu masih enak-enak hidup dan engkau belum membalaskan dendam dan sakit hati ibumu? Anak macam apa engkau ini? Mau enak-enak saja di sini menjadi panglima?”
Tek Hoat terkejut. “Ibu! Bukankah Ibu sendiri sudah tahu bahwa Paman Gak Bun Beng bukanlah musuh Ibu? Hampir saja aku berdosa besar dengan memusuhi Paman Gak Bun Beng yang ternyata adalah seorang pendekar budiman yang berbudi mulia, sama sekali bukanlah musuh kita, dan Ibu tentu sudah tahu pula bahwa musuh kita itu telah tewas.”
“Maksudmu ?”
“Wan Keng In itu... Ayah... kandungku... Si keparat jahanam yang memperkosa Ibu..., ahhh, mengapa dahulu Ibu menceritakan yang bukan-bukan kepadaku? Kiranya Wan Keng In yang memperkosa Ibu, tetapi dia menggunakan nama Gak Bun Beng sehingga Ibu mengira Gak Bun Beng yang menjadi Ayah kandungku dan Ibu lalu membohongiku dengan cerita lain agar aku membunuh... Ayah kandungku sendiri. Sekarang, syukur bukan Paman Gak yang berdosa, dan orang yang berdosa, she Wan itu dia telah mati. Habislah sudah riwayat busuk itu, Ibu.”
“Siapa bilang habis? Aku, Ibumu, tidak akan merasa puas sebelum dapat membalas dendam yang kutanggung selama hidupmu ini.”
“Maksud Ibu?”
“Wan Keng In si keparat sudah mati, akan tetapi Ibunya masih ada! lbu kandung keparat itu masih hidup!”
“Ihhhhh...!” Tek Hoat berseru kaget dan membelalakkan matanya. “Ibu tahu siapa Ibu Wan Keng In itu?”
Ang Siok Bi mengangguk. “Dia bernama Lulu, dia adalah isteri kedua dari Majikan Pulau Es.”
“Dan Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti dan isterinya yang kedua itu adalah Nenekku! Ibu, betapa mungkin kita harus membalas kepada Nenek yang tidak berdosa apa-apa itu!”
“Tidak peduli! Wan Keng ln sudah mampus, maka Ibunya, wanita yang mengandung dan melahirkan manusia iblis itu harus kita bunuh! Dan engkau sebagai anakku harus membantu Ibumu!”
“Ibu...!” Tek Hoat menutupi muka dengan kedua tangannya, mukanya menjadi pucat sekali.
Ang Siok Bi meloncat berdiri, kemudian menyergap anaknya, memegang pundaknya dan mengguncangnya keras-keras. “Apa? Kau... kau takut…? Kau jeri menghadapi keluarga Pulau Es? Baik, Ibumu akan pergi sendiri!”
“Ibu, jangan...! Bukan begitu maksudku. Akan tetapi aku... aku telah menerima kebaikan Sri Baginda di Bhutan ini, aku...”
“Kau sudah mabuk kemewahan? Tugas hidupmu paling utama ialah membalas dendam Ibumu paling perlu, setelah itu terserah kau mau hidup bagaimana, aku tidak peduli lagi.”
“Bukan itu, Ibu, akan tetapi aku... aku telah bertunangan dengan puteri Raja Bhutan, dengan Puteri Syanti Dewi.”
“Huh, lain kemewahan lagi!”
“Jangan Ibu berkata demikian,” Tek Hoat berkata dengan nada agak keras karena dia merasa tersinggung. “Ketahuilah, Ibu. Biar pun Syanti Dewi itu puteri raja, akan tetapi aku cinta padanya dan dia cinta padaku. Kami sudah saling mencinta dan dia adalah seorang gadis yang berbudi dan amat baik. Aku akan menikah dengan dia karena cinta, bukan karena dia puteri raja.”
Ang Siok Bi mengangguk-angguk tak sabar. “Baiklah, baiklah, kau cinta padanya, dan dia cinta padamu. Karena itu, kau boleh menikah dengan dia sekarang juga, lalu kau bawa dia pulang ke Bukit Angsa. Dia bukan menjadi halangan bagi kita untuk membalas ibu si keparat Wan Keng In!”
“Akan tetapi tidak mungkin itu, Ibu!” Tek Hoat berkeras menolak.
“Tidak mungkin katamu? Mengapa?”
“Terlalu banyak hal-hal yang membuat aku tidak mungkin melakukan permintaanmu itu.”
“Huh! Begitu? Coba katakan, apa hal-hal itu?”
“Pertama, tidak mungkin Sri Baginda membolehkan puterinya kubawa pergi dari sini karena beliau amat mencinta puterinya. Kedua, aku sudah diangkat menjadi panglima dan tenagaku dibutuhkan di Kerajaan Bhutan ini, dan karena aku telah berhutang budi terpaksa harus kulakukan. Ketiga tidak mungkin aku memusuhi keluarga Pulau Es.”
“Ehhhhh? Kau... kau takut?”
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Biar pun mereka itu amat sakti, aku tidak takut. Aku hanya segan karena mereka itu adalah keluarga pendekar yang sakti dan budiman, dan aku... aku bahkan amat bangga dapat menyebut Pendekar Super Sakti sebagai Kakek tiriku.”
“Cih! Pengecut!”
“Ibu...!”
“Engkau anakku, engkau harus menurut kepada Ibumu!”
“Maaf, Ibu. Akan tetapi tidak mungkin, aku malah mohon agar Ibu suka tinggal di sini bersamaku, hidup tenteram dan damai sampai hari akhir. Ibu, mengapa Ibu harus mendendam kepada keluarga Pulau Es, padahal yang berdosa telah meninggal? Ibu, kumohon padamu jangan...”
“Cukup!” Ang Siok Bi bangkit berdiri.
Pada saat itu, seorang pelayan wanita datang membawa cangkir-cangkir dan poci teh, tetapi sekali menggerakkan kaki, Ang Siok Bi menendang sehingga baki itu terlempar, cangkir-cangkir dan poci pecah, air teh berhamburan. Si pelayan menjerit dan kemudian lari masuk.
“Aku tidak sudi minum air tehmu! Kau anak durhaka! Kau anak tidak berbakti, kau anak terkutuk! Baik, aku akan pergi dari sini, kembali ke Bukit Angsa dan lebih baik aku mati kelaparan di sana dari pada hidup bermewah di sini bersama anak durhaka!” Ang Siok Bi marah sekali dan dia lari keluar.
“Ibu...!” Tek Hoat berteriak akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya sehingga pemuda yang gagah perkasa ini menjatuhkan diri di atas kursi dengan muka pucat sekali. Tidak disangkanya akan terjadi peristiwa seperti itu dan dia menyesal, menyesal sekali, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?
Tek Hoat tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerimanya dengan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang!
Komentar
Posting Komentar