JODOH RAJAWALI : JILID-03


Dan pada hari itu, datanglah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata. Pada saat mata-matanya memberi tahu tentang kemunculan seorang wanita kasar yang mengaku ‘ibunda’ dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.

Ang Siok Bi masih marah-marah saat dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya. Panglima muda itu kemudian berkata, “Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap sedia untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya.”

“Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!” Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih.

“Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya hal begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio.”

Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, “Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apa lagi engkau yang hanya sahabatnya.”

“Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apa bila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu sekali mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain dikarenakan adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sebenarnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka, apa bila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau sudah tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja.”

“Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?” Ang Siok Bi bertanya marah.

“Sri Baginda hanya memandang pada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka dari itu Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan dibatalkan.”

Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata, “Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!”

Memang cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi ia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es!

Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biar pun cantik dan gagah, akan tetapi kasar dan tidak menghormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantunya!

Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, “Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?”

“Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho,” jawab Ang Siok Bi.

“Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?”

Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, “Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai ayah!”

Raja makin terkejut dan makin tidak senang. “Apa maksud Nyonya?”

“Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggota luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia jahanam itu sudah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!”

“Cukup...! Pengawal, cepat suruh dia pergi...!” Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi.

Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur.

Pada hari itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk.

“Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat adanya per-siapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!” Tek Hoat berkata, namun hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.

“Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapatkan keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu,” Sri Baginda berkata. “Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?”

“Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya,” jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.

“Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemmm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu men-jawab, “Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri kedua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba.”

“Siapakah nama Ayah kandungmu?”

Tek Hoat terkejut. Tidak disangkanya dia akan ditanya sampai begini melilit tentang keluarganya. “Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu.”

“Kalau Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?”

Kembali Tek Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andai kata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.

“Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi.”

Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, “Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?”

Kalau saja ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Tiba-tiba dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk.

Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, “Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapa pun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya.”

“Brakkk!” Raja Bhutan menggebrak meja di depannya.

“Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau sudah berjasa bagi negara ini, dan kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan ini? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana pula kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!”

Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.

“Sri Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka pada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?”

“Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kau bawa pulang ke negerimu!”

Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. “Sri Baginda! Ini sudah sangat keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!”

Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. “Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!”

Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apa bila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu.

Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah dia bahwa raja tak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal yang bodoh dan tidak mungkin. Lagi pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa perlunya dia memaksa-maksa? Ia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja.

“Syanti Dewi, selamat tinggal...!” Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar dari negara Bhutan pada hari itu juga.

Diam-diam dia merasa berduka sekali karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur.

Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa betapa hatinya amat perih. Kadang-kadang, jika rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.

Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya akibat terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!

“Ma (Ibu)...!” Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.

Tidak ada jawaban.

“Ibu...!” Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok.

Bau yang tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu.

Daun jendela juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum beracun bewarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar.

Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang telah membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih amat dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Segera dia bergidik.

“Ibuuu...! Mula-mula ia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang. “lbuuuuuu...!”

Dia tidak syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih amat kuat. Teringat dia akan jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang melontarkan jarum-jarum itu.

Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur.

Tek Hoat memeriksa sekali lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguh pun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin itu jarum yang digores-goreskan. Dia cepat-cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir pembaringan, di mana terdapat tulisan itu.

‘Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus...’

Agaknya tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang ditunggu-tunggu ibunya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan melihat jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng! Akan tetapi siapa?

Tek Hoat berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang ia dapat menangis, biar pun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Sejak saat yang laknat itu ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja kalau ibunya menanggung dendam yang tidak pernah terbalas itu, dan tidak pernah dapat melupa-kan dendamnya.

Mula-mula kepada Gak Bun Beng karena menyangka orang itu adalah pemerkosanya, kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya mampu bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang amat sakti, ibunya jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah menolaknya!

“Ibu... ahhh, Ibu, ampunkan anakmu... ini!” Dia meratap dan merasa menyesal sekali. Mengapa justeru kepada keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?

Betapa mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa!

Dan ibunya yang belum berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Tetapi ke mana dia harus mencari? Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang mengerikan.

Dengan hati penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya, berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu. Setelah dia mengubur sisa-sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh ibunya.

Demikianlah riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi empat tahun yang lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana…..

********************

Kita mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas.

Akan tetapi, betapa pun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tak berdaya, pula ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang, juga masih mengkhawatirkan keselamatan kedua orang puteranya yang harus menghadapi musuh sangat lihai itu. Dalam keadaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hendak berangkat mencari ikan.

Nelayan ini terkejut ketika melihat orang yang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan ke dalam perahunya dengan susah payah. Begitu tubuhnya terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang lantas pingsan. Nelayan itu cepat mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho.

Jenderal Kao jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan akhirnya, pada hari ketiga jenderal itu dapat bangun dari pembaringan dan dia menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu jenderal ini berlutut dan menghormati nelayan serta isterinya yang setengah tua itu sehingga si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu.

Jenderal Kao Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang sangat dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main. Dibandingkan dengan makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dulu saja, makanan nelayan ini masih lebih sederhana!

Betapa orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orang-orang kota, hidup berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tak pernah tahu atau tak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orang-orang yang berkebudayaan, sebagai orang-orang yang beradab, orang-orang yang ber-Tuhan, yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia dahulu!

Setelah sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta.

Putera sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun Pasir Go-bi! Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia harus pergi ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini tidak sanggup lagi.

Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum tahun lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan laksaan prajurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak dapat dia lakukan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya!

Akan tetapi baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan main.

“Kok Tiong! Kok Han...!” Dia berteriak sambil berlari ke depan.

“Ayahhhhh...!” Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari.

Pertemuan itu sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi jalan sambil saling menceritakan pengalaman mereka. Ketika Jenderal Kao mendengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia lalu menepuk pahanya. “Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut!“

“Siapa, Ayah?” Kok Tiong dan adiknya bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh.”

“Menurut dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan kita,” kata Kok Tiong.

“Hemm... si keparat kalau begitu!” Jenderal Kao Liang mulai percaya.

Sungguh pun hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati pula me-lakukan perbuatan yang jahat itu. Jika hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau memang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja?

“Tidak ada jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang sangat sakti. Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan hanya pergi minta bantuan kakak kalian.”

“Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!” kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.

“Benar, hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!” Jenderal itu mengepal tinju dan bangkit berdiri. “Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu.”

Maka berangkatlah ayah beserta anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan yang mereka lalui selama ini karena selain hendak mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu menuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana malapetaka itu menimpa mereka.

Ketika mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa tentu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kembali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya terdapat banyak sekali mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah kuburan raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.

Mereka tidak terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, “Kiranya kau... kau keparat, penjahat muda Suma!”

Kini dua orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, salah seorang putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerangnya.

Suma Kian Lee terkejut dan terheran-heran bukan main. Tidak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apa lagi mereka lantas menyerangnya dengan penuh kemarahan itu.

“Ehh... ehh... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?” Dia cepat mengelak ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat seperti terbang. “Tahan dulu, jangan terburu nafsu.”

Akan tetapi, Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu.

Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya. Lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadl terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang yang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pedang yang diinjaknya itu seakan-akan menempel dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga batang pedang itu dan berkata, “Kao-goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara.”

“Mau bicara apa lagi, keparat keji?!” Jenderal Kao membentak dan ia lalu menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram.

“Bangsat rendah!” Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.

“Mampuslah kau, setan jahat!” Kok Han membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang menginjak pedang.

“Ahhhhh...!” Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri.

Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang. “Ahhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tak akan mampu menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar dia, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu.”

Siapakah pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus, sikapnya tenang, teliti dan sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang kedua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super Sakti.

Sebagai putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kian Lee juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

Seperti telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati, mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena Ceng Ceng adalah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, seperti halnya pemuda Ang Tek Hoat. Tentu saja tidak mungkin dia dapat berjodoh dengan keponakannya yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu adalah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya.

Akan tetapi, setelah dia sembuh lahir dan batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah meninggalkan Pulau Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.

Kini usianya telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya dapat mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.

Dia akan mencari adiknya. Membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu sudah dewasa, bukan setengah anak-anak seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!

“Bu-te (Adik Bu), kasihan engkau...!” Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya.

Ketika dia teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.

Ketika tiba di dekat Sungai Huangho, di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu.

Kemudian ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara mendadak dia diserang oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!

Diserang mati-matian dengan maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir.

Akan tetapi, sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk membunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin. Tentu ada kesalah pahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal ini!

Setelah Kian Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan cara sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia kemudian melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu dalam sebuah lubang, kemudian menimbuninya dengan tanah sampai merupakan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!

“Hemmm...!” Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakan dirinya dan kini mengerahkan pasukannya? Jika begitu, ia harus berkeras menuntut penjelasan kenapa jenderal itu bersikap seperti itu.

Dia berdiri di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah maju menghampiri.

“Apa artinya ini?” tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul.

Perwira tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, namun kelihatan tubuhnya kokoh kekar penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kau masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami tangkap.”

“Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa pula kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap aku?”

“Ho-ho, orang muda yang pandai bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!”

Kian Lee mendengar ini dengan perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andai kata Jenderal Kao Liang menuduhnya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta menyerang tanpa bertanya lebih dulu?

“Apakah engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?”

Perwira itu membelalakkan mata, agaknya terheran-heran mendengar ucapan dalam pertanyaan ini. “Jenderal Kao? Siapa yang kau maksudkan.” Dia sama sekali tak pernah menduga bahwa yang dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang jenderal lain yang she Kao. “Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu.”

Diam-diam Kian Lee menjadi semakin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena semata-mata kelihatan mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.

“Su-ciangkun, maafkan aku, akan tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan tidak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau menuduh aku membunuh.”

“Ha-ha-ha! Ho-ho…! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu, orang muda?”

“Namaku adalah Suma Kian Lee.”

“Hayo kau berlutut, dan menyerah kami tangkap!”

Kian Lee mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya. “Su-ciangkun, aku tak merasa bersalah bagaimana mungkin aku harus menyerah?”

“Jadi engkau hendak melawan?!” Suciangkun membentak marah.

“Aku tidak hendak melawan dan bermusuhan dengan siapa pun, Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu saja aku tidak mau menyerah.”

“Bagus! Kau memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!” Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat batu menonjol dari dinding tebing. “Lihat, apakah kepalamu lebih keras dari pada ini?” Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.

“Prakkk!” Batu itu pecah berhamburan!

Melihat cara perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Entah berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah latlhan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kau gertak pun aku akan menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu.”

“Keparat, kau menantang?” Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang dari kanan kiri sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.

Kian Lee tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memapaki dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.

“Plak! Plak! Aduhhhhh...!” Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh seketika.

“Hayo tangkap! Bunuh!” teriaknya sambil mengaduh-aduh.

Anak buahnya lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal sekali!

Melihat pemuda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk meniup alat itu dengan keras.

Terdengar suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru saja dia melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu awut-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes. Di sebelah kakek aneh ini berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.

“Tidak kelirukah pendengaran kami barusan tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?” Seorang di antara dua perwira tinggi itu bertanya dengan sikap hormat sambil menjura.

Kian Lee yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, “Benar.”

“Ahhh, kalau begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan besar-besaran yang sudah terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa pula yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?”

Kian Lee menggelengkan kepalanya. “Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya.”

“Heh-heh, bijaksana bijaksana...” Kakek yang berambut kemerahan itu berkata seperti pada diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok.

Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, maka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap hormat. “Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami supaya setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah. Selain Paduka Gubernur hendak berkenalan dengan orang-orang handal, juga untuk menghadiri pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula.”

Kian Lee berpikir cepat. Dia menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan undangan Gubernur Ho-nan yang juga aneh. Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini di rumah gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat mendengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu.

“Terima kasih atas undangan Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali.”

Dua orang perwira tinggi itu menjadi girang sekali dan seorang di antara mereka segera memperkenalkan diri, dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan itu, “Lo-enghiong ini adalah seorang tokoh pengawal kepercayaan Paduka Gubernur Ho-nan, dia terkenal dengan julukannya Ho-nan Ciu-lo-mo (Setan Arak Tua dari Ho-nan).“

“Heh-heh, julukan kosong! Namaku adalah Wan Lok it!” Kakek berambut merah itu menyela dan membalas penghormatan Kian Lee dengan anggukan kepala acuh tak acuh.

Kian Lee tidak menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini sudah kenyang akan pengalaman bertemu dengan orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang memang banyak yang berwatak aneh dan tidak acuh.

Mereka lalu berangkat, diiringkan oleh Su-clangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan memutar, dan anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota Lok-yang di mana Gubernur Propinsi Ho-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang, mereka menyeberangi Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah tersedia perahu-perahu pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan mudah.

Pada waktu itu, yang menjadi gubernur di Ho-nan, propinsi di sebelah selatan Sungai Kuning itu, adalah seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui Cu Kam. Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar oleh karena banyak menggeser dan menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya banyak berjasa untuk kerajaan. Timbullah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan gubernur ini, yang menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya itu sudah keterlaluan.

Dia sendiri adalah seorang Han tulen yang kebetulan masih mendapatkan kepercayaan untuk menjadi gubernur, hal yang sudah mulai langka terjadi. Ketika mendengar betapa Jenderal Kao Liang juga dipensiunkan, hatinya makin panas dan mulailah gubernur ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu.

Memang pada waktu itu Gubernur Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota raja. Untuk menyelimuti dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan berdiri sendiri, yang akan dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun kekuatan, maka Gubernur Kui mengadakan penyambutan besar-besaran. Sejak jauh hari sebelum utusan itu tiba, istana Gubernur telah dihias dengan megah. Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para pembesar sipil dan militer, kaum hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan, semua menerima undangan.

Dua orang perwira tinggi yang mewakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu mempersilakan Kian Lee untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di antara kamar-kamar tamu yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati. Sedangkan Si Rambut Merah dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera meninggalkan taman untuk bertugas di dalam sebagai pengawal pribadi gubernur.

Ditinggal seorang diri, Kian Lee memeriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Tadi dia diberi tahu bahwa pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk menyambut tamu agung dari kota raja, dan dia dipersilakan mengaso di dalam kamar ini dan akan dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala keperluannya.

Kamar itu memang menyenangkan, terpisah dari kamar-kamar lain dan ketika Kian Lee ke luar ke depan, ternyata kamarnya itu menghadap taman dan dari situ tampak banyak kamar-kamar yang sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga tamu-tamu dari tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara nyanyian merdu diiringi yang-kim (alat musik bersenar) dari beberapa buah kamar tamu itu, diseling suara ketawa.

Kian Lee kemudian masuk lagi ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan daun pintu karena dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta itu di mana dia harapkan akan dapat memecahkan rahasia peristiwa-peristiwa aneh yang dialaminya tadi, dan kalau mungkin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang dan dia masih mempunyai waktu setengah hari untuk mengaso.

Akan tetapi belum lama dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan hampir saja pulas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara ketukan halus pada daun pintu kamar itu. Dia cepat bangkit duduk lalu melangkah ke pintu dan dengan amat hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia ketika melihat seorang wanita muda yang amat cantik, tetapi melihat wanita itu membawa sebuah baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita ini biar pun kelihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan.

“Maaf, Kongcu. Saya bertugas melayani Kongcu dan hendak mengantar makanan dan minuman untuk Kongcu.”

Kian Lee merasa agak canggung. Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang wanita muda yang cantik seperti itu, sungguh pun wanita itu hanyalah seorang pelayan. Tidak mungkin dia menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi jalan kepada wanita itu yang melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee mengawasi wanita yang membawa baki itu berlenggang dengan halus, seperti lenggang seorang puteri saja, menghampiri meja, kemudian jari-jari tangan yang halus meruncing itu menurunkan mangkok piring dan masakan-masakan ke atas meja, mengatur hidangan di atas meja dengan sikap halus namun cekatan.

“Kongcu, silakan makan dan minum!” katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan teratur, seperti kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik.

“Terima kasih,” Kian Lee menjawab lalu menghampiri meja makan yang bundar kecil itu.

Masakan-masakan itu masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh. Hidangan yang cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apa lagi karena perutnya memang sudah lapar.

Tetapi pemuda itu tidak jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat wanita muda itu dengan langkah-langkah gontai menuju ke pintu, kemudian bukannya keluar dari pintu dan pergi, melainkan menutup daun pintu dengan perlahan, kemudian dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan sikap menanti!

Kian Lee menelan ludah, merasa kikuk, lalu menoleh. “Eh, kau... kau... tidak pergi?”

Wanita itu memandang dengan sinar matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya senyum itu, senyum yang sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat pemuda yang gagap gugup ini. Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, “Kongcu, mengapa saya mesti keluar? Saya telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini. Silakan Kongcu makan, saya akan menanti di sini untuk melayani segala keperluan Kongcu. Silakan dan jangan malu-malu!” Kembali dia tersenyum.

Kian Lee mengangguk, kemudian ia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan nasi putih. Ketika mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia mengerling dan melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan ludah.

“Eh, mari kau duduk dan makan bersama!” katanya.

Wanita itu kaget sekali, terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi kemerahan, kelihatan dia malu sekali. “Aih, Kongcu, mana saya berani? Silakan Kongcu makan.“

“Ahh, mengapa tidak? Tidak enak sekali makan sendiri dan kau... kau hanya menonton. Mari kita makan bersama.” Kian Lee yang masih belum banyak pengalaman sehingga dia tidak tahu bahwa mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti yang lain lagi, yang lebih mendalam!

Tentu saja pelayan itu menjadi malu sekali dan mukanya makin merah. “Harap Kongcu tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan,” katanya halus dan suaranya mendadak menjadi demikian menggetar seolah-olah mengandung kedukaan dan kegelisahan yang besar sekali.

Kian Lee terkejut dan meletakkan mangkoknya. “Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau makan. Aku... aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak engkau makan seperti seorang sahabat, apa salahnya?”

Sejenak sepasang mata yang indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran, seolah-olah menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda itu menghela napas panjang dan menjura. “Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah duga. Kongcu baik sekali. Terima kasih. Akan tetapi saya sudah makan, maka silakan Kongcu makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini, biarlah saya main yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggu.”

Kian Lee mengangguk-angguk dan ketika dia melihat wanlta itu kini mengambil sebuah alat musik yang-kim yang tergantung di dinding, kemudlan menyetel senar-senarnya dan duduk di atas sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia pun mulai makan. Biar pun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya tercurah ke belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, melalui pendengarannya. Tadinya dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel, kemudian terdengar senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu suaranya…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum