JODOH RAJAWALI : JILID-04


Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya makin banyak tercurah ke belakangnya, ketika dia mendengar suara nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan amat perlahan namun cukup jelas oleh pendengarannya, nyanyian yang diiringi oleh senar senar yang-kim yang berkentring. Nyanyian itu memang indah, suara lirih itu setengah berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya adalah kata-kata dari nyanyian itu.

Tiada ayah tiada bunda
tiada sanak keluarga
badan sendiri nyaris binasa!
Apa daya si dara lemah
cintanya bertepuk tangan sebelah
mengubur diri dalam keluh-kesah!
Pendekar sakti penolong nyawa
yang disanjung dan dipuja
telah jauh meninggalkannya!

Nyanyian itu demikian menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan sehingga Kian Lee tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hatinya ketika dia melihat gadis yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu menunduk dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu kini bernyanyi sambil menangis!

Kian Lee mengakhiri makannya, meneguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi gadis pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk itu.

“Nona...!” dia memanggil.

Gadis itu masih terus bermain yang-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah semangatnya melayang jauh mengikuti alunan suara yang-kim.

“Nona..., hentikan permainan yang-kim itu!” Kian Lee kembali menegur.

Suara yang-kim tiba-tiba berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat mengusap pipinya dengan ujung lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan yang-kim-nya dan menghampiri meja. “Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?” tanyanya, suaranya masih setengah berbisik dan mengandung isak tertahan.

Kian Lee mengangguk dan memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, dan menumpuknya di atas baki, kemudian berkata, “Saya menyingkirkan mangkok piring dulu, sebentar saya kembali. Apakah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?”

Kian Lee menggeleng dan hanya memandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia termenung, masih terngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang wanita ditinggalkan kekasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil menangis? Dia memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya melayang-layang dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng, keponakannya atau bekas kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang gagal.

Nyanyian gadis pelayan itu menbangkitkan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee menghela napas. Di dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang harus menderita sengsara karena cinta? Apakah memang cinta banyak mendatangkan derita? Cintakah yang mendatangkan derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih tepat lagi, bukankah karena keinginan hati tak tercapai itulah yang mendatangkan hati sengsara? Sengsara yang timbul karena kecewa, karena harapan hampa.

Daun pintu terbuka halus dan gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu.

“Mengapa ditutup?” Kian Lee menegur.

“Agar tidak nampak dari luar. Kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat dibuka,” jawabnya halus dan tanpa diperintah gadis itu kemudian membuka daun jendela bagian atas sehingga pemandangan di luar dapat nampak sebagian.

“Nona, kenapa kau kembali ke sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa lagi. Nona boleh beristirahat di tempat Nona sendiri.”

Gadis itu memandang Kian Lee, lalu dia menjawab sambil menunduk, “Saya bertugas melayani Kongcu sambil menanti datangnya saat pesta dimulai. Dan saya... saya senang di sini melayani Kongcu...”

“Hemmm... sesuka hati Nona sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?”

Gadis itu mengangkat muka memandang, merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum, sama sekali tidak mengandung keriangan hati sungguh pun amat manis. “Tentu saja, Kongcu.”

“Nah, kalau begitu, sekarang aku ingin mengajakmu omong-omong. Pertama, aku ingin membicarakan tentang isi nyanyianmu tadi.”

“Ehhh...?” Gadis itu memandang heran.

“Maksudku, aku ingin tahu siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang begitu kejam meninggalkannya.”

Gadis itu menunduk. “Kongcu... itu hanya... hanya nyanyian... dongeng...”

“Hemmm, perlukah dongeng nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi tadi.”

“Ohhhhh...“ Gadis itu terkejut dan kini menundukkan mukanya.

Kian Lee mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan susah payah menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata bagai mutiara yang berkilauan menggantung di bulu matanya dan akhirnya bergerak perlahan menuruni kedua pipinya.

“Nona, aku bisa menduga bahwa engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau sedang menderita sengsara dan kalau kau percaya kepadaku, kau ceritakanlah kesengsaraanmu itu. Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi kalau kau tidak percaya kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku sendiri dan terima kasih atas semua pelayananmu yang baik.”

“Ahhh... Kongcu...!” Gadis itu mengusap air matanya, dan kemudian mengangkat muka memandang. “Harap maafkan saya... tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali bertemu saja saya tahu bahwa Kongcu adalah seorang yang amat baik.”

“Kalau begitu, kau katakanlah, siapa dara yang kau nyanyikan tadi?”

Gadis itu kembali menunduk. “Dia... dia... adalah saya sendiri, Kongcu.”

“Hemmm..., sudah kuduga demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang itu?”

“Dia... dia... adalah penolong saya...“ Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil menunduk, kemudian dia menghela napas seperti orang mengambil keputusan dan mengangkat muka, lalu berkata, “Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada Kongcu. Terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung seorang kepala kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami diserbu perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan tiga orang adik-adik saya...“ Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata kembali meloncat ke luar.

Kian Lee membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk menenteramkan hatinya yang tentu saja dilanda kedukaan saat mengenangkan itu semua. Dia merasa kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi dia bernyanyi “Tiada ayah tiada bunda tiada sanak keluarga”, kiranya semua keluarganya terbasmi habis oleh perampok jahat!

“Saya sendiri kemudian diculik oleh perampok-perampok itu, dan dibawa lari ke dalam cengkeraman manusia-manusia iblis dan akan mengalami hal yang lebih mengerikan dari pada kematian sendiri, akan tetapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam keadaan seperti itu, muncullah pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa membasmi semua perampok sampai tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja saya berterima kasih sekali kepadanya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu gagah, dan kalau tidak ada dia... ahhh, ngeri saya membayangkan.“

“Hemmm, lalu bagaimana?” Kian Lee bertanya dan di dalam hatinya dia maklum. Pantas saja gadis ini jatuh cinta kepada penolangnya itu.

“Penolong saya itu tentu saja mendapat penghargaan dari gubernur karena dia telah berhasil membasmi perampok yang suka mengganas itu. Dan saya... oleh penolong saya itu saya lalu dititipkan kepada gubernur, karena keluarga saya telah habis... kemudian... dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini...“

“Hemmm, dan kau lalu bekerja sebagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di sini?”

“Tidak, tidak, Kongcu.... Paduka gubernur baik sekali... saya menjadi seorang pelayan yang terkasih juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu sendiri... sebagai seorang pelayan... dan saya kadang-kadang harus melayani tamu-tamu...“

“Aku mengerti, Nona. Ehh, bolehkah saya mengetahui namamu?”

“Nama saya Cui Lan, Phang Cui Lan”

“Nama yang indah sekali, Cui Lan. Tetapi mengapa... mengapa... kau tadi bernyanyi mengenangkan pendekar penolongmu yang kau cinta itu?”

“Kamar ini, Kongcu. Kamar inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia bermalam di sini. Saya yang selalu membersihkannya dan melayaninya, akan tetapi dia... dia pergi. Dan kamar ini tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya bersihkan, kalau-kalau... dia datang kembali ke sini..., akan tetapi sekarang kamar ini dibuka oleh karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu yang dipersilakan bermalam di sini....“ Suaranya gemetar.

“Siapa nama pendekar penolongmu itu?”

“Itulah yang menyusahkan hati saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun tidak ada yang tahu nananya. Dia masih muda, rambutnya panjang terurai akan tetapi berwarna putih seperti perak, dia... dia tampan dan gagah, pendiam dan penuh rahasia.”

Kian Lee meraba dahinya dan mengerutkan alisnya. “Masih muda, rambutnya putih terurai, dan lihai sekali? Hemmm... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah orang-orang menyebutnya Pendekar Siluman Kecil?”

“Benar!” Dara itu berseru penuh harapan. “Apakah Kongcu sudah mengenalnya?”

“Sayang sekali belum. Apa lagi mengenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya mendengar berita orang saja...“

Tiba-tiba Kian Lee segera menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkelebatnya seseorang di depan kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang sekejap menoleh ke dalam, seperti orang menjenguk dan terdengar suara orang itu mendehem kecil, “Ehmmm...“

Wajah Kian Lee menjadi merah dan cepat dia membuka daun pintu kamarnya. Ketika dia memandang, dia melihat seorang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar itu kini sudah memasuki taman, menyeberangi sebuah jembatan taman dan orang itu menoleh kepadanya, lalu tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran, akan tetapi orang itu sudah membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan pergi dan lenyap di tikungan bangunan. Kian Lee memasuki kamarnya lagi.

“Siapa dia?” tanya Kian Lee kepada gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir.

“Yang menjenguk tadi?” Bibir yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak senang. “Dia pun seorang tamu, kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang pembesar berpangkat Tee-tok dari San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala pengawal she Bu. Orangnya menjemukan sekali, Kongcu, semenjak kemarin dia selalu berusaha untuk menggoda saya kalau kebetulan bertemu.”

“Hemmmmm...“ Diam-diam Kian Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam dan berkumis lebat itu.

Dia masih membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun pintu, tiba-tiba terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu yang agaknya juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu hanyalah pengawal-pengawal dari pembesar yang baru datang. Akan tetapi ketika Kian Lee memandang kepada rombongan orang itu, dia terkejut sekali melihat salah seorang di antara mereka yang dikenalnya.

Seorang wanita yang cantik pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping dan padat terpelihara. Sinar matanya tajam dan kerlingnya menyambar-nyambar ganas, di pinggangnya tergantung pedang dengan sarung pedang yang terukir indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li Si Siluman Kucing, wanita yang lihai bukan main, ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka!

Wanita ini merupakan seorang tokoh yang amat ditakuti, dan ketika terjadi huru-hara pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang penting. Mau apa wanita tokoh sesat yang amat berbahaya itu berkeliaran di sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan terjadi peristiwa penting di tempat ini pikirnya.

Cepat dia masuk kembali agar tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agaknya akan banyak kaum persilatan dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini, pikirnya. Entah siapa gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan terjadi sesuatu yang hebat. Dia harus waspada.

“Sudahlah... Cui Lan. Sekarang lebih baik kau tinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita berdua berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau-kalau orang akan menduga jelek kepadamu.”

“Tetapi, Kongcu…. saya justeru takut untuk pergi meninggalkan Kongcu,“ kata gadis itu mulai basah dengan air mata. “Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi, saya takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya malah akan disuruh melayani pengawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus menerus mengincarku. Kongcu, saya mohon kepadamu, harap Kongcu perbolehkan saya tetap berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut...“

Suma Kian Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum. “Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan.”

“Tidak, kalau di sini saya tentu tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu saya.“

“Hemmm, baiklah... akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan.”

“Mengasolah, Kongcu, saya akan duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk Kongcu?”

“Tidak usah. Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi karena menyanyikan lagu yang sedih itu.” Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun.

Tentu saja ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya Kian Lee bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur, bergembira dan lupa seolah-olah dia sedang bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaannya. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan.

Waktu lewat tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagian para tamu sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.

Selain sinar bulan yang belum terlalu tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah.

Tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masing-masing yang terdiri dari orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah seram-seram, kelihatannya lihai dan angkuh gerak-geriknya.

Kian Lee yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan yang terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apa bila ada tamu baru datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di antara sekian banyak tamu itu.

Hatinya lega ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang cukup jauh dari tempat dia duduk. Suasana makin gembira dengan suara para tamu yang mulai bercakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara orang-orang bicara, dilatar belakangi suara musik yang meriah.

Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan yang umurnya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang kedudukannya tertinggi, dia tidak langsung menyambut tamu sendiri, tetapi diwakili oleh pembesar-pembesar bawahannya dan ia hanya duduk sambil mengangguk sebagai balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan memberi hormat kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri. Di belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak!

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik yang berbunyi gagah, seolah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung.

Maka tampaklah iring-iringan tamu agung itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman dengan senyum di bibir dan matanya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah. Melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti terhias oleh banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggota pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi.

Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi namanya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa. Di belakang pemuda tampan itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja terletak.

Di belakang Gubernur Hok ini berjalan para pengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki bermata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Ho-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok.

Akan tetapi Kian Lee tidak mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya tertuju kepada pemuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu. Kiranya utusan kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar itu, pangeran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan ini pernah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama.

Setelah masuk di ruangan itu, tiba di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan leng-ki (bendera utusan atau wakil kaisar) dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri.

“Hamba Kui Cu Kan Gubernur Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,” Kui-taijin berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada yang berani membuka suara.

Pangeran Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan suara lantang Pangeran Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan kepada seluruh pejabat di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh kaisar agar semua rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya, menjaga tata tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng dari pada peraturan yang telah diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan dihancurkan sampai ke akar-akarnya.

Baru saja membaca sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang keluar dari lubang hidung, datangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat orang-orang yang semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk diketahui siapa orangnya yang mengeluarkan suara ejekan yang amat jelas terdengar tadi itu.

Pangeran Yung Hwa menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun penuh wibawa, “Siapa yang berani mentertawakan amanat Sri Baginda Kaisar?”

Tentu saja tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biar pun ikut pula berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat mengintai ke depan.

“Hemmm, tidak ada yang mau mengaku, ya?” Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa diejek dan dihina sebagai utusan kaisar. Dia menoleh kepada Gubernur Hok dari Ho-pei dan memberi isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu Tok-gan Sin-ciang Si Mata Satu.

“Baik, akan hamba tangkap dia!” Orang bermata sebelah ini mengangguk.

Tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah mencelat bagaikan terbang menyambar ke sudut tadi. Tangannya yang kurus itu, dengan lengan yang panjang mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki yang berlutut di dekat pot bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Si Mata Satu itu demikian cepat gerakannya. Segera dia mengangkat lengan menangkis.

“Dukkkkk!” Keduanya terhuyung dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka terjadilah pertandingan antara Si Mata Satu melawan orang ini.

Kian Lee mengerling, dan terheran-heran ketika mengenal orang yang diserang oleh Si Mata Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang sore tadi lewat di depan kamarnya, berdehem dan kemudian tersenyum sinis kepadanya, lakl-laki muka hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama Bu Ok Ti, pengawal dari Ouw-teetok bupati kota San-sian! Dan ternyata orang bermuka hitam yang agaknya tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki kepandaian hebat! Gerakannya cukup lincah dan kuat sehingga pertandingan antara dia dan Si Mata Satu itu berjalan seru dan dahsyat.

Biar pun di situ terdapat banyak orang, bahkan banyak juga orang pandai, di antaranya terdapat Suma Kian Lee, akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam inilah yang tadi mengejek amanat-amanat dari kaisar. Hal ini adalah karena mereka semua berlutut. Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si Mata Satu tadi tidak berlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam pandangnya itu dapat melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat langsung turun tangan hendak menangkap Si Muka Hitam.

Pertandingan makin seru, namun para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa masih berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Dan kedua orang yang bertanding itu berloncatan ke sana-sini, mencari tempat-tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan sakti, pukulan-pukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya mendatangkan angin bersuitan itu.

Bu Ok Ti mulai meloncat ke sana-sini berputar-putar menghindarkan diri dari serangan-serangan maut itu. Akan tetapi, sambil meloncat seperti terbang, yaitu loncatan ginkang istimewa yang dikuasai oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang menyerbu dan melewati banyak kepala orang, menubruk dan dengan suatu totokan kilat akhirnya dia berhasil merobohkan Bu Ok Ti.

Tok-gan Sin-ciang lalu menyeret tawanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung Hwa. Kian Lee yang sejak tadi melirik dengan penuh perhatian dapat melihat ini semua. Akan tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat Siluman Kucing, dia berteriak mengaduh dan terguling roboh!

Gegerlah keadaan saat Tok-gan Sin-ciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang lihai tentu saja dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sin-ciang adalah ketika lewat di depan Siluman Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara mereka meloncat dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan bangkit berdiri lalu menangkis dengan tangkisan hebat yang membuat komandan itu hampir terjengkang karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan cantik itu sedemikian hebat tenaga sinkang-nya. Maka mereka lalu bertempur, lebih hebat dari pada pertempuran yang tadi.

Tok-gan Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak dan kini pertandingan antara komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan Mauw Siauw Mo-li terjadi lebih cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi komandan Kuku Garuda dan sekarang dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua pengawal pribadi utusan kaisar, karena memang hebat kepandaiannya. Biar pun Mauw Siauw Mo-li adalah seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan ini dapat mengimbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat muka, menjadi silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian cepatnya.

Mauw Siauw Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini pedang itu diputar sedemikian rupa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulung sinar hijau yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun mengeluarkan sebatang pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah pemandangan yang amat indah, dua gulungan sinar hijau dan putih, saling belit di antara berkelebatnya bayangan mereka, seolah-olah dua orang penari yang sedang bergaya dengan menggunakan selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua orang merasa tegang karena maklum bahwa ‘selendang’ hijau dan putih itu adalah sinar-sinar pedang yang mematikan.

Sambil mengeluarkan suara aneh seperti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li mengirim tusukan kilat dan tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam. Komandan itu terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke belakang. Namun ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur Ho-nan atau tuan rumah yang sedang berlutut, tiba-tiba ada angin menyambar ke arah punggungnya.

“Tranggg...!”

Untung dia cepat menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata yang menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai senjata! Kiranya guci arak itu bukan hanya tempat arak untuk diminum, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari istana kaisar itu.

“Penjahat pemberontak!” Komandan kedua dari pasukan Kuku Garuda yang jenggotnya lebat sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo hingga sekarang pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo.

Keadaan menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan telah menerima perintah kemudian maju, disambut oleh pasukan pengawal Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang kacau-balau dan hebat.

Kian Lee juga sudah melompat berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang karena dia sangat mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun membayangi dan bersiap untuk menolong apa bila pangeran itu terancam bahaya.....

********************

Kita tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata diam-diam telah mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan.

Pada suatu senja yang dingin. Musim dingin sudah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri ke luar dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopiah atau pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga. Hanya orang-orang yang punya keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat seperti itu. Di dalam rumah hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu menyalakan api di dalam perapian.

Tidak ada angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti mati, sungguh pun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitaman karena sinar matahari sudah menyuram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa di bawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu dimekarkan untuk menghangatkan tubuh. Tiada nampak sesuatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dari langit biru sampai air empang teratai dalam taman yang tak bergerak sedikit pun, nampak lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu.

Akan tetapi di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang sangat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana. Wajahnya cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun mulut yang bentuknya indah menggairahkan itu membayangkan kekerasan hati.

Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan dan kegembiraan. Apa lagi setelah puteri yang tadinya dianggap sudah hilang atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia!

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa terhadap Bhutan sehingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu.

Akan tetapi, segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, muncullah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan.

Wanita yang hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya ke luar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi meninggalkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya.

Demikianlah, Syanti Dewi hanya menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi.

Mendengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam karena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi, berkat perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan besar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biar pun dia masih cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung. Tentu saja raja dan ratu merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.

“Syanti Dewi, ingatlah bahwa kau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur menjadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?” berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka.

“Kenapa dia pergi tanpa menemui aku?” berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh penyesalan.

“Tentu dia malu!” kata Sri Baginda Raja. “Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu.”

“Tidak, Ayah... tidak...“ Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras. “Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengertikah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!”

“Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!” Sri Baginda berkata marah.

“Aku tahu, aku pernah melihat Ibunya. Ayah, Ibu... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak mengertikah Ayah dan Ibu?”

Akan tetapi semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mencari kekasihnya, tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapa pun juga memasuki istana puteri. Apa lagi manusia, seekor kucing pun tak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia belaka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.

Kemudian ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita yang telah banyak jasanya.

“Mohinta adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya adalah seorang yang setia kepada Bhutan,” demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya. “Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang didatangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu.”

“Ayah...!” Syanti Dewi hanya dapat menangis.

Akan tetapi setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak berani memaksa, apa lagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya bahwa kedukaan tak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar menanti. Betapa dia tidak akan bersabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi orang yang kedudukannya paling tinggi di kerajaan itu?

Demikianlah, sampai empat tahun lamanya semenjak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri. Kalau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang!

Sementara itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat dingin membuat orang-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju dan topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di tempat penjagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit barat yang mulai memudar, targanti warna kelabu yang gelap.

“Sssttttt, lihat dia itu...!” Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang.

Kawannya menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan sebagai tanda kekaguman jika mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Oleh karena itu, para penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang sedang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu gerbang. Kepala mereka menjeguk ke luar dan dengan terbelalak mata mereka memandang menembus kesuraman senja.

“Waduh cantiknya...!” kata seorang.

“Bukan main! Manis sekali...!”

“Tubuhnya... amboiiiii...!”

“Mati aku... lenggangnya...“

“Wah, dia memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!” Seorang yang lebih teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini.

“Dan tidak hujan tidak panas dia memakai payung!”

“Wah, wah... sepatunya juga kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?”

“Cantik jelita, malam-malam tidak hujan pakai payung, sedingin ini berpakaian tipis pula tanpa merasa dingin, wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !”

“Hihhh...!”

Semua orang mulai merasa seram dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing dan kini lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan mereka, yaitu seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah keluar pula dan memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis bergerak-gerak dan ini merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka itu sedang tegang hatinya!

“Hemmm, mencurigakan. Anak-anak, siap!” Sang komandan memberi komando dan dia sendiri lalu menghadang di tengah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat itu, tidak ada orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu.

Tak salah penjaga yang sambat mata melihat lenggang itu. Memang bukan main! Bagai harimau lapar lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian melangkah maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak jelas pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu miring ke kanan kiri berirama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu berjalan seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan kirinya terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang gagang payung itu pun bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan main! Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu!

Wanita itu kini makin dekat, dan makin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang tertutup pakaian tipis dari kain sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu. Dagunya meruncing dan bibirnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak lucu penuh daya pikat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan tergetar seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, mengandung gejolak perasaan yang menggerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya agak lebar, jeli dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan seolah-olah sinar mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan selubung atau tirai indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan seperti buah tomat masak.

Seorang dara yang amat cantik jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak bentuk tubuhnya, namun potongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan terbuat dari sutera mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari sutera dan gagangnya berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata yang sinarnya jernih itu seolah-olah mengajak semua orang bersendau-gurau tanpa kata.

Kalau saja para penjaga itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pandangan tajam, tentu mereka sudah dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan begitu ayu dan lemah lembut, tentulah bukan orang sembarangan. Tanda-tandanya sudah nampak jelas. Dara ini aneh, tidak ada hujan, tiada panas memakai payung, ini menunjukkan bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasanya hanya dimiliki para kelana yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan perjalanan, padahal di masa itu bagi seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri merupakan hal yang langka.

Kalau dara ini kelihatan membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana persilatan), akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalanan seorang diri membayangkan keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga tidak membutuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat pada orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para prajurit penjaga yang terlatih dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api unggun, dara itu hanya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan seenak-enaknya saja berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa, ciri seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa.

Akan tetapi, para penjaga itu seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama terdorong oleh gairah yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh, apa lagi setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari dara itu, memancing sikap ugal-ugalan dari mereka.

Si komandan gendut pendek cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu seolah-olah menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek. “Ehmmm, berhenti dulu, Nona!” katanya sambil mengangkat tangan ke atas dengan gerakan menghentikan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali.

Wajah di bawah payung itu berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan benda putih seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir yang bergerak-gerak itu. Si Gendut menelan ludah, sampai berceleguk bunyinya. Matanya seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat buah anggur masak yang segar.

Dengan bahasa Bhutan yang tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah orang Han dari timur itu menjawab, “Mengapa aku harus berhenti? Bukankah ini merupakan jalan umum?” Ketika bicara, bibirnya itu bergerak-gerak manis dan pinggang yang seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya meliuk-liuk.

Komandan gendut itu kembali menelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh tubuh orang, dari rambut yang hitam subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil. “Memang jalan umum, tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan.”

Senyum manis itu melebar dan menjadi makin manis. “Ehh, apakah kau anggap aku mencurigakan?”

“Engkau seorang wanita muda berjalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali menggairahkan... ehhh, Nona... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita mengobrol heh-heh...” Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai.

Dara itu tidak menjadi marah. Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan tidak mudah menjadi marah, sungguh pun pandang matanya tetap tersenyum dan dia lalu berkata, “Aihhh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat.” Dia membujuk.

Melihat gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut merasa mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik tangannya sehingga pegangan itu pun luput.

“Ehemmm, Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih dapat membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!”

“Ho-ho, dia memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!”' terdengar seorang penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali mendekati gadis itu.

Tak ada yang sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa kuatnya, namun mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu.

Kembali dara jelita itu menggerakkan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat kosong. “Hei, engkau ini manusia ataukah katak? Kulihat engkau gendut bundar mirip katak!” Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan. “Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar ini?” Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.

“Katak...?”

“Katak gendut...?”

“Katak...!

“Heiiiii! Ada katak...!”

“Dari mana datangnya katak raksasa ini?”

“Wah, jangan diserang! Lihat celananya... ehh, dia...!”

Semua penjaga terbelalak dan memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang mendekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri. Katak raksasa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata terbelalak tak pernah berkedip.

Para penjaga menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya tadi terdapat seekor katak raksasa yang memakai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang mustahil itu membuat mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan!

“Heiii...!” seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan lalu berseru ketika melihat gadis itu.

Semua orang juga menengok. Dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu!

“Hei, tunggu dulu...!” Seorang penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya erat-erat.

“Tangkap...!”

“Dia tentu siluman...!”

Lima belas orang itu yang kini teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi katak raksasa oleh dara jelita yang mereka yakin tentu sebangsa siluman, kini berlari mengejar dengan senjata di tangan.

Dara itu berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang dipanggul di atas pundaknya. Kini payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata, “Kalian ini sebetulnya mau apa sih?”

Lima belas orang itu tersentak kaget dan otomatis menahan kaki mereka sampai ada yang hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semua menahan napas, mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau gila.

Mereka adalah prajurit-prajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing-kencing, celana mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut dan seram kalau melihat wajah wanita itu?

Tadinya wanita itu demikian cantik jelita, bagai bidadari yang murah senyum manis, akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi kini wajah itu ‘polos’, hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan rata, tidak ada mata, hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan muka polos seperti itu!

“Hihhhhh... hu-hu-huuhhhhh...“ Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu.

Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apa lagi ketlka mereka melihat ‘katak raksasa’ tadi sudah lenyap dan kini mereka melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih menyeringai, kaku seperti arca!

Dara itu mengeluarkan suara ketawa ditahan, lalu tubuhnya membalik lagi, payungnya berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.

“Hi-hik, orang-orang tolol...!” bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan ‘kedok’ atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit.

Tiba-tiba komandan jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, “Ehh, orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!” Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri.

“Tapi... tapi... dia... siluman”

“Siluman atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita pasti celaka!” Si komandan membentak dan para anak buahnya sadar.

Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan menjadi berani lagi.

“Kejar...!”

“Tangkaaapppp...!”

Berserabutan mereka berlari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.

“Siluman...!” Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.

“Celaka, dia masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!” Si komandan yang masih belum sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana.

Gegerlah seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu. Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya. Namun betapa pun juga, para panglima mengerahkan pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluarga istana raja. Juga para pendeta Buddha dikerahkan untuk mengusir ‘roh’ jahat atau siluman yang mengganggu istana.

Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana. Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat. Kemak… kemik… kemak… kemik…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum