JODOH RAJAWALI : JILID-07


Baru saja berjalan belasan jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tak mampu menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian kanan kiri menyambar dan menghajarnya. Memang Siang In tadi berkata tidak berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh gurunya ia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas permainan kaki dan dinamakan ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) hingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi.

Terdengar bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki yang kecil mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti Dewi melawan raksasa tadi. Syanti Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu mengerti pula bagaimana cara untuk menggunakan kaki menendang, akan tetapi dia sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh kekuatan sihir Siang In. Kini, biar pun Jiu Koan berusaha mengelak dan menangkis, namun datangnya tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat bersarang di perutnya.

“Bukkk!”

Dan kini tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.

“Tangkap mereka! Bunuh...!” Jiu Koan berteriak-teriak.

Dia bangkit sambil memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang tergantung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan cepat dia mendekati Siang In.

Akan tetapi Siang In malah melangkah maju. “Kalian ini anggota-anggota Perkumpulan Hati Naga, apakah tidak mengenal seekor naga asli? Lihat baik-baik siapa aku!”

Syanti Dewi memandang penuh perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja Syanti Dewi juga ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah menjadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang lengkap, yang mengancam untuk menerkam mereka.

“Enci, kau kesinilah, aku tidak apa-apa,” kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh, ternyata Siang In sudah biasa kembali.

“Aihhh, kau menakutkan aku...,“ katanya.

Pada saat itu pula terdengar suara melengking panjang dan suara ini disusul bentakan, “Kembalilah kalian penakut-penakut menjemukan!”

Mendengar suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura kepada seorang pemuda yang baru muncul.

“Ampun, Kongcu... ada... ada siluman...,” Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke arah dua orang gadis itu, dan ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak nampak ada naga di situ. Tanpa mempedulikan Jiu Koan lagi pemuda tampan itu segera bertindak menghampiri Siang In dan Syanti Dewi.

Dua orang dara itu pun memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah orang ini yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di puncak bukit itu.

Ketika pemuda itu yang bukan lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun melihat bahwa yang ribut-ribut di situ adalah dua orang dara yang demikian cantik jelitanya, diam-diam dia merasa terkejut, terheran dan juga girang sekali. Jantungnya sudah bergoncang hebat karena dia harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara ini! Sejenak dia bengong dan pandangan matanya seperti terasa oleh dua orang gadis itu, menggerayangi wajah dan tubuh mereka.

Siang In memandang sambil tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan terlalu tampan dan wajah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat alis, bibir yang di beri sedikit pemerah bibir dan pipi yang agak kemerahan itu mendekati kecantikan wajah seorang wanita. Pemuda itu pesolek sekali, pakaiannya serba indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya berkembang-kembang dan biar pun pemuda itu berdiri dalam jarak empat meter darinya, dia masih dapat mencium bau wangi semerbak datang dari tubuh pemuda itu!

Diam-diam Siang In bergidik. Pemuda ini betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya sudah berusia tiga puluh tahun.

“Enci, mari kita pergi,” kata Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk turun kembali dari lereng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan pandang mata pemuda pesolek yang mengerikan itu.

“Eh-eh, harap perlahan dulu, Ji-wi Siocia (Nona Berdua)...!” Terdengar suara halus dan ada angin menyambar dari samping mereka.

Kembali Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek itu kini telah berdiri di depan mereka, tanda bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat juga! Sekarang mereka berhadapan dekat dan bau harum semerbak makin menyengat hidung kedua orang dara itu.

Siang In pura-pura tidak mengenal orang itu dan dia bertanya, “Siapa engkau dan perlu apa engkau menghadang perjalanan kami?”

Hwa-i-kongcu Tang Hun menjura dengan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata, “Harap Ji-wi Siocia suka memaafkan anak buah kami jikalau mereka itu lancang dan membikin Jiwi tidak senang hati.”

“Hemmm, anak buahmukah mereka itu?”

“Benar, Nona. Saya adalah Tang Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas itu adalah tempat tinggal kami”.

“Ah, kiranya begitu? Memang anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah kami beri hajaran kepada mereka. Kalau kau hendak membela mereka...“

“Aihhh, tidak sama sekali, Nona! Bahkan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap tamu-tamu kami yang terhormat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini kau!” pemuda itu membentak dan Jiu Koan, komandan pasukan itu cepat-cepat datang menghampiri ketuanya dengan sikap takut dan hormat.

“Siap, Kongcu,” katanya dengan berdiri tegak seperti prajurit.

“Aku melihat tadi engkau dan seorang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang lagi? Panggil sini!”

Jiu Koan berteriak memanggil temannya, si raksasa yang tadi telah digajul kedua tulang kering kakinya oleh Syanti Dewi. Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap hormat dan takut.

“Mereka berdua inikah yang telah mengganggu, Ji-wi?” Tang Hun bertanya sambil kini memandang kepada Syanti Dewi.

Puteri ini yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan aneh itu bergidik lalu mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh, hampir setajam mata Siang In, akan tetapi kalau mata Siang In tajam lembut dan jujur, mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsu-nafsu yang mengerikan.

“Baik, kalian lihatlah, Ji-wi Siocia. Aku menghukum mereka karena kekurang ajaran mereka. Kupenggal kepala mereka!”

Syanti Dewi terkejut bukan main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali gerakan kilat, pedangnya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu.

“Wuuuttttt... crak-crakkk!” Dan leher kedua orang itu terbabat putus, lalu kepala mereka terpental dan darah muncrat-muncrat!

“Ihhh...!” Syanti Dewi menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan tetapi Siang In memegang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali.

“Tidak apa-apa, Enci. Lihat lagi baik-baik, badut itu hanya membohongi kita.”

Syanti Dewi terheran, mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih berdiri dan tidak terjadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum.

“Tang-pangcu, kami bukan anak kecil. Tidak perlu kau menipu kami dengan sulapan yang hanya pantas kau pertunjukkan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor babi ini disembelih!” Berkata demikian, Siang In menggerakkan tangan ke arah dua orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini pemuda itu terbelalak dan meloncat ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu berubah menjadi dua ekor babi!

“Aihhhhh..., bukan main...!” Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, kelihatan mengerahkan sinkang dan seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat kedua orang pembantunya itu kembali menjadi manusia seperti biasa.

“Hebat...!” Dia berseru lagi dan sekarang dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu menjura. “Engkau amat hebat, Nona. Marilah kita naik ke puncak, kita bicara di sana. Ji-wi adalah tamu-tamu agung kami.”

Akan tetapi Siang In menggeleng kepala. “Terima kasih. Kami akan pergi saja.”

“Mana bisa begitu, Nona? Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi jika bukan hendak mengunjungi Liong-sim-pang?” Pemuda pesolek itu bertanya heran.

Siang In menggeleng kepala dan berkata, “Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk mengunjungi Liong-sim-pang atau siapa pun juga. Dari bawah bukit tadi kami mengira bahwa yang di atas itu adalah sebuah dusun atau kota, maka hendak kami kunjungi. Kemudian kami bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi salah paham. Sekarang biarkan kami pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan orang-orang gagah yang tidak suka mengganggu wanita.”

Pemuda itu menjura dengan hormat. “Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orangku telah berlaku lancang, tetapi sekali lagi aku mengundang kalian menjadi tamu kehormatan kami. Hari sudah hampir malam dan Ji-wi akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya bermalam ditempat kami ini.”

Akan tetapi, bujukan ini tak dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata pemuda itu saja mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh dipercaya.

“In-moi, mari kita pergi saja,” Syanti Dewi berkata.

“Pangcu, kami berterima kasih atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja. Selamat berpisah…”

Pada saat itu, terdengar suara ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In karena dia mengenal suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara ketawa namun tiada orangnya. Dia menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah pandangan mata temannya itu. Segera tampak olehnya ada asap hitam yang bergumpal-gumpal dan bergulung-gulung yang datang dari atas, kemudian setelah tiba di situ, asap itu membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang berpakaian serba hitam, sudah tua sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut karena dia pun mengenal nenek ini yang dulu merupakan pembantu dan guru mendiang Tambolon, raja liar yang sakti itu.

“Subo...!” Siang In juga cepat memberi hormat dengan menjura ke arah nenek itu.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek ini. Seorang nenek India ahli sihir yang berilmu tinggi sekali, isteri dari See-thian Hoatsu, yaitu guru Siang In. Oleh karena itu, Siang In menyebut subo (ibu guru) kepada nenek itu.

“Ehh, ehhh, Subo, siapakah Nona ini dan mengapa menyebutmu Subo?” Hwa-i-kongcu bertanya dengan heran, kaget dan juga girang.

“Ho-ho, dia itu adalah murid See-thian Hoatsu,” kata Si Nenek sambil tertawa sehingga mulutnya yang tidak ada giginya sama sekali itu terbuka seperti gua gelap.

“Aih, kiranya masih Sumoi-ku sendiri!” Tang Hun berseru girang.

“Hehh, bocah, siapa namamu? Aku sudah lupa lagi!” Nenek itu dengan kata-katanya yang logatnya kaku bertanya.

“Teecu (Murid) Teng Siang In...“

“Oya, Siang In! Mana tua bangka gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, hoho!” Durganini celingukan ke kanan kiri.

“Suhu sedang bertapa di Goa Tengkorak di Po-hai, Subo...“

“Hi-hik, dia tentu akan mampus dan menambah jumlah tengkorak di sana.” Tiba-tiba dia memandang ke arah Syanti Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar. “Hei! Ini... bukankah ini Puteri Bhutan itu?”

Siang In terkejut, tidak menyangka bahwa nenek itu mengenali Syanti Dewi. Memang Durganini seorang yang aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi kadang-kadang ingatannya tajam.

“Benar, Subo...“

“Wah, kebetulan. Tang Hun, Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling tepat menjadi permaisurimu. Hayo bawa dia!”

Tang Han juga terkejut dan girang sekali. Memang sudah lama dia mencari wanita yang kiranya cocok untuk menjadi isterinya yang syah, yang dapat dibanggakannya. Ketika tadi bertemu dengan dua orang dara ini, seketika dia telah jatuh cinta kepada keduanya dan wanita-wanita seperti mereka inilah yang kiranya pantas menjadi isterinya. Siapa tahu, yang satu masih sumoi-nya sendiri dan yang lain adalah Puteri Bhutan yang amat terkenal itu karena pernah nama puteri itu disebut-sebut oleh seluruh dunia kang-ouw sebagai puteri asing yang pernah menggegerkan negara. Kiranya orangnya demikian cantik seperti bidadari dan kini gurunya sendiri menganjurkan agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak menangkap lengan Puteri Syanti Dewi.

“Tahan...!” Siang In berseru marah.

“Ho-ho, Siang In, kau mau apa? Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri untuk Suheng-mu! Bawa dia, Tang Hun,” kata Durganini.

Tang Hun menyambar lengan Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu saja. Dia mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi pemuda ini tertawa, membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia telah menotok Syanti Dewi yang menjadi lemas dan memondong tubuh yang padat menggairahkan itu.

“Keparat...!” Siang In menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba dia berhenti sebab ada asap hitam menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti Dewi dipondong dan dibawa lari oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan kini dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-sim-pang menuju ke tempat itu.

“Hi-hik, bocah tolol. Apakah engkau mau melawan aku?” Durganini tertawa mengejek.

Hati Siang In mendongkol sekali. Sesungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena dia maklum bahwa biar pun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi kepandaian gurunya sendiri, namun dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya dan dia sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su bagaimana untuk melindungi dirinya sendiri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal. Akan tetapi, anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang diri akan dapat menang? Bahkan dia tentu akan tertawan sehingga celakalah mereka berdua kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus tetap bebas agar dapat mencari akal untuk menolong Syanti Dewi.

“Subo, kau terlalu!” teriaknya. “Kau hanya berani menggangguku. Suhu berkata bahwa kalau Suhu bertemu Subo, kalau Subo berani datang ke Goa Tengkorak di pantai Po-hai, Suhu akan menggunduli kepalamu!”

Nenek itu menjerit, suaranya melengking saperti suara iblis dari neraka layaknya. Akan tetapi Siang In yang sudah menduga bahwa nenek itu akan marah, telah membalikkan tubuhnya dan mengerahkan ginkang-nya untuk lari secepatnya menuruni bukit. Nenek itu mengejar, akan tetapi seperti telah diduga oleh Siang In, nenek yang sudah amat tua itu tak mampu menyusulnya dan dari belakang juga tak mampu menggunakan sihirnya.

Dia sudah tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pantangan besar, yaitu tidak mau diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan sampai dia tua renta pun rambutnya tetap hitam. Maka secara sengaja Siang In tadi mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli kepalanya, maka tentu saja nenek itu menjadi marah karena merasa dihina dan dengan gemas dia mengejar Siang In.

Karena dia tak mampu menyusul dara yang larinya cepat sekali itu, sehingga napasnya sampai hampir putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah sekali ini melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai Po-hai untuk mencari bekas suaminya, See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli kepalanya. Ia hendak membalas penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Goa Tengkorak. Dan memang inilah maksud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek sakti itu meninggalkan benteng Liong-sim-pang!

Malam itu, Siang In duduk dengan bingung dan termenung di bawah bukit, di dalam sebuah hutan. Hatinya gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia bersumpah bahwa kalau sampai pemuda pesolek murid Durganini itu mengganggu Syanti Dewi, memperkosa puteri itu, dia akan menyiksa dan membunuhnya!

Tetapi hatinya agak lapang ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya, menangkap seorang penjaga di dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar bahwa Hwa-i-kongcu tidak mengganggu Sang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua minggu lagi Hwa-i-kongcu akan merayakan pernikahannya dengan Syanti Dewi dan mengundang semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil menanti kembalinya Nenek Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana.

Mendengar ini Siang In kemudian mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari cengkeraman pemuda pesolek itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng untuk menolong sendiri, karena selain pemuda pesolek itu juga pandai ilmu sihir sehingga mungkin sihirnya tidak banyak menolong, juga dia mendengar bahwa di dalam benteng itu Hwai-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai dan anak buah Liong-sim-pang juga tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya. Dia harus mencari akal dan agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari pernikahan tiba, Syanti Dewi akan aman. Pemuda pesolek itu tentu tidak akan mau merusak keadaan dan suasana pengantin baru, tentu tak akan memperkosa gadis yang dicalonkannya menjadi isterinya yang syah…..

********************

Sekarang kita tinggalkan dulu Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi dan marilah kita kembali mengikuti pengalaman Suma Kian Lee yang telah kita tinggalkan, karena dua peristiwa itu sejalan dan agar jangan sampai salah satu di antaranya tertinggal jauh.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur Ho-nan, di mana Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, menyambut datangnya utusan kaisar yang bukan lain adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang masih muda belia itu.

Keributan di dalam taman terjadi ketika ada penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar kepada utusan sehingga mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan dan pihak yang anti kaisar. Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan Ho-nan yang diam-diam menentang kaisar dan para pengawal utusan. Jagoan-jagoan Ho-nan dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo li yang cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh jagoan-jagoan Gubernur Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke Ho-nan.

Seperti telah kita ketahui, diam-diam Suma Kian Lee hadir pula di dalam pesta itu dan menyaksikan pertempuran-pertempuran tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia melihat Pangeran Yung Hwa, utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia di celah-celah tebing ketika dia hendak ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam lagi. Betapa pun juga, ayahnya adalah menantu kaisar dan dia terhitung adalah cucu kaisar.

Biar pun sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu tirinya, ibu Kian Bu, akan tetapi Pangeran Yung Hwa itu masih sedarah dengan Nirahai, ibu tirinya, dengan demikian masih ada hubungan darah pula dengan Suma Kian Bu, adik tirinya! Oleh karena itu pangeran ini harus ditolongnya, apa lagi pada saat itu Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya tidak boleh diganggu oleh siapa pun karena mengganggu utusan sama dengan mengganggu yang mengutusnya.

Pada saat itu, Pangeran Yung Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su Kiat itu yang telah mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap pundak Sang Pangeran sambil berseru, “Pangeran, perlahan dulu...!”

“Plakkk!”

Dari belakang Kian Lee menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat akibatnya karena tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika!

“Keparat, kiranya engkau pun mata-mata dari Ho-pei!” terdengar bentakan keras dan tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari belakangnya.

Kian Lee cepat mengelak dan ternyata yang menyerangnya itu adalah kakek berambut merah tadi, yang menyerangnya dengan guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak itu yang menyambar ke arah kepalanya, tetapi juga dari mulut guci itu muncrat arak wangi yang seolah-olah hidup, yang menyambar ke arah matanya! Namun serangan dari kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan cepat dapat dihindarkan oleh Kian Lee.

“Singgg...!” Sinar hijau menyambar dari arah kiri Kian Lee.

Sekali ini Kian Lee terkejut karena pedang yang bersinar hijau itu benar-benar amat berbahaya, sangat cepat dan mendatangkan angin dingin. Dia segera membuang diri dan menggerakkan kakinya untuk menendang agar si pemegang pedang tidak dapat melanjutkan serangan. Pemegang pedang itu dengan gesitryya dapat pula mengelak dan ketika Kian Lee memandang, ternyata penyerangnya itu adalah wanita cantik yang agaknya menjadi pembesar para panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li.

Kian Lee masih diserang oleh beberapa orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun dia masih dapat mengelak dan balas memukul tanpa menggunakan pukulan maut karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi dia turun tangan hanyalah karena dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dan dikejar oleh Perwira Su Kiat.

Sambil menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya ada enam orang itu, Kian Lee memperhatikan keadaan di situ dan melihat bahwa Pangeran Yung Hwa sudah digandeng oleh Gubernur Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan gubernur ini bersikap seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan hendak melerai, lalu menarik Pangeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri. Juga dia melihat Gubernur Hok Thian Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu berlari-lari dan dikejar oleh beberapa orang jagoan Ho-nan pula. Kian Lee menjadi bingung, akan tetapi karena dia sendiri pun dikepung dan dikeroyok, maka dia harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.

Pemuda perkasa itu memang tadi salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena pangeran ini hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu. Dan Perwira Su Kiat mengejarnya bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur Ho-nan belumlah begitu nekat untuk mencelakakan utusan kaisar, bahkan gubernur itu hendak melindungi Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai pangeran itu ikut celaka dalam penyergapan yang sebenarnya ditujukan untuk menawan Gubernur Ho-pei. Dia ingin menawan Gubernur Hok Thian Ki dan mempergunakannya sebagai sandera untuk dapat menguasai sebagian daerah Ho-nan di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei.

Gubernur Hok Thian Ki yang melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan dilindungi oleh Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar yang merupakan pengawal pribadinya, juga dibantu dua orang pengawal lain. Belasan orang pengawal Ho-nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok-gan Sin-ciang bersama dua orang kawannya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan diri, menyelinap di sebuah lorong gelap. Melihat betapa para pengawalnya terus mundur sambil menahan serbuan para pengeroyoknya, Gubernur Hok cepat-cepat menyelinap memasuki sebuah kamar dan segera menutupkan pintu kamar itu.

“Taijin, cepat ke sini...“ Suara halus ini mengejutkannya.

Gubernur itu tadi tidak memperhatikan dan mengira kamar itu kosong. Tetapi ternyata kamar itu kamar tamu yang tadinya ditinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang menegurnya itu bukan lain adalah Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang melayani Kian Lee! Gubernur Hok membalikkan tubuh dan siap untuk melawan, akan tetapi ketika melihat bahwa yang menegurnya hanya seorang pelayan muda yang cantik, hatinya menjadi lega.

“Sssttttt... harap kau diam dan menolongku... aku hanya ingin bersembunyi... mereka mengejar untuk membunuhku,” katanya terengah-engah oleh karena tadi dia berlari-lari dengan hati tegang. Di luar kamar masih terus terdengar suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan orang bertempur, akan tetapi masih agak jauh.

“Saya mengerti, Taijin. Biar pun saya hanya pelayan di sini, tetapi saya memperhatikan semua dan mengenal Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin, gubernur dari Ho-pei?”

“Benar, anak baik. Biarkan aku bersembunyi di sini sampai aman.“

“Justeru kalau bersembunyi di sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat pergi dari tempat ini, pergi dari Ho-nan dan kembali ke utara.”

“Tapi... tapi bagaimana?”

“Saya akan membantu Taijin, tetapi Taijin harus menyamar. Marilah, Taijin.“

Dengan tabah sekali wanita muda itu lalu membantu Gubernur Ho-pei itu melakukan penyamaran. Dicukurnya kumis gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek, rambut kepala diawut-awut dan topi kebesarannya dlilepas, lalu rambutnya digelung biasa secara sederhana dan diikat dengan kain kepala yang kotor. Kemudian Cui Lai menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh gubernur itu berganti pakaian sebagai tukang kebun.

“Bagaimana dengan Pangeran...?” Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir sekali.

“Jangan khawatir, Taijin. Saya yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak akan apa-apa“

“Eh, engkau seorang pelayan, bagaimana tahu ?”

“Saya memperhatikan dan mendengarkan percakapan mereka, Taijin, antara gubernur dan Ouw-teetok dan juga para pengawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi memang Paduka yang akan ditawan.“

“Celaka...!”

“Jangan khawatir, kini tidak akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar ke luar,“ Cui Lan menggandeng tangan pembesar tua itu.

“Nanti dulu...!” Pembesar itu berhenti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya dara itu penuh keharuan. “Nona... kau seorang pelayan, akan tetapi... ahh, berhasil atau tidak usahamu ini percayalah bahwa aku Hok Thian Ki selamanya tak akan melupakan pertolonganmu ini!”

Cui Lan menjadi terharu. “Sudahlah, Taijin. Saya berani melakukan ini karena saya memperoleh suatu keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah diisi dengan perbuatan yang berguna, yaitu antaranya menolong orang yang berada di pihak yang benar. Marilah!”

Dia menggandeng tangan pembesar itu dan ditariknya keluar, lalu mereka menyelinap di antara rumah-rumah dan pohon-pohon serta di antara orang-orang yang masih ribut bertempur tanpa ada yang mempedulikan mereka. Siapa juga yang akan mempedulikan seorang pelayan dan seorang tukang kebun di saat geger seperti itu?

“Kita harus melalui taman...”

“Tempat pertempuran itu?” Gubernur Hok terkejut.

“Benar, akan tetapi hanya di sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pula, sebagai tukang kebun berada di taman, Paduka tidak akan menarik perhatian dan kecurigaan. Mariliah, Taijin...”

Mereka berjalan terus memasuki taman di mana benar saja masih terjadi pertempuran hebat antara para pengawal utusan kaisar, para jagoan Ho-pei serta para prajurit pengawal Ho-nan yang sangat banyak. Juga nampak Kian Lee masih dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti pengawal Ouw-teetok yang mata keranjang itu, Ho-nan Ciu-lo-mo jagoan dari Ho-nan, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh pengawal yang berkepandaian tinggi karena mereka melihat betapa lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi tamu mereka akan tetapi ternyata kini membantu pihak Ho-pei itu.

Kian Lee memang sengaja mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang terkuat dari Ho-nan agar mengeroyoknya sehingga dengan demikian, pihak Ho-pei akan dapat meloloskan diri. Dengan ilmunya yang tinggi, kalau mau tentu saja dia bisa mengirim pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang. Akan tetapi pemuda ini tidak bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa membunuhnya. Tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo, tentu saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya.

Sambil menghadapi pengeroyokan itu, menggunakan kaki tangannya untuk menangkisi senjata-senjata yang menyambar, juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian Lee masih terus mencari-cari. Bagaimana dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana pula dengan Gubernur Ho-pei? Demikian pikirnya dengan hati khawatir juga.

Tiba-tiba dia mengenali wajah Cui Lan. Terkejutlah dia. Apa yang dilakukan oleh gadis pelayan cantik itu di dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran itu? Dan siapa yang jalan tergesa-gesa bersama pelayan itu? Pada saat itu, Cui Lan juga menengok dan memandang ke arah pemuda yang dilayaninya tadi, pemuda yang amat baik dan sopan.

“Aiiiiihhh...!” Cui Lan menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Ho-nan Ciu-lo-mo, dengan dahsyat menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang agak terpecah perhatiannya memandang Cui Lan.

“Desssss...!”

Kian Lee terkejut. Tubuhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis bekerja, dan dia tidak mengalami luka parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan karena dia berdiri membelakangi kolam besar di taman itu, otomatis dia jatuh ke dalam kolam.

“Byuuuuurrr...!”

“Aiiiiihhhhh...!” Kembali Cui Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu.

Akan tetapi karena yang menjerit itu hanyalah seorang pelayan yang berdiri bersama seorang tukang kebun, maka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si tukang kebun sudah memegang tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan cepat, menyelinap ke dalam gelap.

Tok-gan Sin-ciang dan dua orang temannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka tadi dapat memancing para pengeroyoknya untuk menjauhi tempat di mana Gubernur Ho-pei bersembunyi dan kini, Tok-gan Sin-ciang biar pun hanya bermata sebelah, namun dia mengenal ‘tukang kebun’ yang tadi berdiri di sana bersama pelayan itu. Dia berteriak girang dan terus mengamuk, agar pihak musuh tidak memperoleh kesempatan memperhatikan tukang kebun itu!

Sedangkan komandan pasukan pengawal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda yang melihat betapa pemuda perkasa yang membantu pihaknya itu terjengkang ke dalam air kolam, dia cepat meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini adalah seorang yang pandai renang, maka dia khawatir akan keadaan pemuda yang membantu pihaknya itu, maka dia ingin menolong.

Tetapi, sebetulnya Kian Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di Pulau Es ini tentu saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya. Melihat komandan yang perkasa itu berenang menghampirinya, Kian Lee lalu berkata, “Tidak apa-apa, Ciangkun!”

“Awas...!” Komandan itu berseru ketika melihat banyak sekali anak panah menyambar ke arah Kian Lee.

Akan tetapi dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan anak-anak panah itu runtuh semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan main. Akan tetapi sekarang, anak-anak panah itu bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga menyerangnya! Terpaksa dia menyelam dan ternyata bahwa di tepi kolam telah berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak panah mereka!

Sibuk jugalah Kian Lee dan komandan itu. Biar pun Kian Lee amat lihai, namun berada di air tentu saja gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam, juga komandan yang cukup tangguh itu dapat pula menyelam untuk menghindarkan diri dari sambaran anak-anak panah, akan tetapi mereka berdua pun tidak bisa naik ke darat!

“Kita harus mencari jalan ke luar!” Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu menyelam lagi karena dia sudah dijadikan sasaran anak panah.

Mereka mulai berenang menjauh ke tengah. Kolam itu cukup luas dan dalam, dan ternyata di pinggir timur terdapat pintu air, agaknya untuk membuang atau menguras air itu. Kalau saja airnya tidak sedalam ini, tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan dapat menggunakan dasar kolam untuk berpijak dan meloncat ke dalam, pikir Kian Lee.

Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para pemanah itu. Tadi Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggota pasukan itu dengan menangkapi anak panah dan menyambitkannya ke arah mereka.

“Hentikan anak-anak panah itu, kalian orang-orang tolol. Lihatlah, aku akan membunuh mereka dengan ini!” Dan wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian Lee!

“Celaka...!” Kian Lee berseru.

Dia mengenal sekali benda itu karena dia tahu bahwa Mauw Siauvv Mo-li, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga mernpunyai senjata rahasia yang amat mengerikan, yaitu senjata peledak! Kalau sampai senjata itu meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal Kuku Garuda itu tentu akan celaka dan tewas!

Pemuda ini memang memiliki dasar watak yang tenang sekali. Walau pun menghadapi ancaman bahaya yang amat besar ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap tenang dan ketenangannya inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam ketenangan itu terkandung kewaspadaan dan kecerdasan yang luar biasa, yang dapat bergerak lebih cepat dari apa pun juga di dunia ini.

Dalam waktu beberapa detik itu saja, ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah dapat mempergunakan kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia lalu mengulur tangan, maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan benda keras, maka dia mengerahkan sinkang membuat telapak tangannya selunak kapas, lalu begitu benda itu menempel di tangannya, dia cepat melontarkan benda itu ke arah pintu air di timur!

“Blaaarrrrr...!”

Sinar kilat menyilaukan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu menghancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air kolam membanjir ke arah pintu air itu, dan arus yang terjadi karena sedotan air yang mengalir turun itu sedemikian kuatnya sehingga seorang yang perkasa seperti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang amat kuat itu. Apa lagi si komandan yang biar pun gagah namun masih jauh di bawah Kian Lee tingkatnya. Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus air yang amat kuat, melewati pintu air dan terus disedot masuk ke saluran air di bawah tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua air yang datang dari seluruh bagian istana.

Suma Kian Lee menangkap tangan komandan yang mengeluh karena terbentur-bentur batu, lalu mereka berdua membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk melindungi diri dari benturan tiba-tiba. Sementara itu melihat betapa dua orang itu selamat, Mauw Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak menjadi penasaran sekali.

“Kita hadang mereka di sungai, di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka di sana kalau mereka belum mampus!” teriak Wan Lok It. Bersama beberapa orang pengawal dia kemudian cepat berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang mengalir di pinggir dan luar kota.

Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata arus air tidak lagi begitu kencang, dan karena saluran itu melebar, maka air pun menjadi dangkal. Hanya setinggi pinggang. Maka mereka lalu berjalan kaki dengan hati-hati di tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap pekat di terowongan saluran air ini, sampai tangan sendiri pun tidak dapat mereka lihat.

“Eh, apakah di depan itu?” Tiba-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru.

Kian Lee juga sudah melihat benda-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan itu. Begitu kecil dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu tentulah kunang-kunang. Akan tetapi bagaimana terdapat kunang-kunang, di dalam terowongan, di atas air? Biasanya binatang-binatang kecil ini hanya terdapat di kebun-kebun dan ladang-ladang di mana terdapat padi atau gandum. Mereka merasa heran sekali, dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan betapa pun mereka membelalakkan mata, tetap saja mereka tak dapat melihat benda atau binatang apakah yang berkerlapan seperti kunang-kunang itu.

“Ehh, baunya...!” Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali. Teringatlah dia akan ular-ular merah di Pulau Es yang juga mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis, tanda ular beracun atau sejenis binatang lain yang beracun.

“Awasss...!”

Akan tetapi terlambat. Komandan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar berkeredepan itu telah mengulur tangan untuk menangkap seekor, akan tetapi ‘kunang-kunang’ itu bergerak dan tahu-tahu tangannya telah digigit oleh seekor ular!

“Aduhhhh...!” Dia menangkap dengan tangan kedua, dari rabaannya tahulah dia bahwa yang menggitnya adalah seekor ular, maka diremasnya ular itu sampai hancur. “Celaka, aku digigit ular...!”

Dan memang yang mereka sangka kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak sekali terdapat di dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu bergerak cepat dan mengeroyok mereka!

“Kerahkan singkang melindungi tubuh!” Kian Lee berseru.

Mulailah dia menggunakan kedua tangannya untuk memukul-mukul ke depan sehingga ular-ular yang berdekatan dengan mereka mati semua dan bangkai mereka hanyut oleh air. Kian Lee lalu memasukkan kedua tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil dari dasar terowongan itu, dan dengan batu-batu ini dia menyambiti ular-ular itu yang mudah saja dia ketahui dari mata mereka yang bersinar-sinar. Bagaikan lampu-lampu kecil, setiap terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa sambitan itu tepat mengenai kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan tetapi komandan itu tidak dapat membantunya karena lengan kirinya sudah terasa lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia telah terkena racun gigitan ular tadi yang mulai memperlihatkan pengaruhnya.

“Celaka...!” serunya. “Lenganku lumpuh...“

Kian Lee meraba lengan itu, lalu dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk menghentikan jalan darah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung. Kemudian dia minta pinjam pedang komandan itu, dan sambil meraba-raba dia merobek kulit daging tangan yang tergigit dan menyuruh komandan itu menyedot dan meludahkan sendiri darah dari luka itu.

“Biar pun bukan merupakan pengobatan yang manjur, namun sementara cukup untuk menyelamatkan nyawamu, Ciangkun,” katanya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara orang-orang, juga terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air. Telinga Kian Lee yang tajam dapat menangkap suara Si Setan Arak rambut merah, Ho-nan Ciu-Io-mo yang tertawa dan berkata nyaring, “Tutup mulut saluran itu, ha-ha-ha, biar mereka mati seperti tikus-tikus dalam selokan!”

Kian Lee maklum apa yang terjadi.

“Cepat, kita harus mencapai mulut terowongan sebelum ditutupi!” Dia berkata sambil menarik tangan komandan itu.

Akan tetapi, komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam air itu dan ternyata setelah mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan tangan tahulah mereka bahwa mereka telah terlambat. Terowongan itu telah tertutup oleh batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya sedikit air saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai naik perlahan-lahan! Selain air mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun menimbulkan bau yang menyesakkan dada…..

********************

Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana yang terkurung di dalam terowongan yang gelap pekat dan terancam maut, dan mari kita mengikuti perjalanan Gubernur Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan melarikan diri bersama Phang Cui Lan. Mereka dapat berlari cepat melalui tempat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota.

Karena mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh tukang kebun, dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya menjadi padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk meloloskan diri dari tembok kota. Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah melintasi batas propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi, belum jauh mereka berjalan tiba-tiba Gubernur Hok memegang lengan Cui Lan, kemudian menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda. Benar saja, tidak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang.

“Berbahaya sekali...“ Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. “Kita bersembunyi dulu di sini, siapa tahu mereka segera kembali...“

Cui Lan duduk di atas rumput di balik semak-semak itu. “Habis, bagaimana baiknya, Taijin?”

“Kalau mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai mereka kembali.”

Akan tetapi mereka tidak perlu menanti terlalu lama, karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang itu sudah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka menengok ke kanan kiri mencari-cari! Ketika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu berkata, “Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka pasti akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima hadiah, sedangkan si pelayan yang kabarnya cantik itu hemmm... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum mesra!”

“Eh, Twako. Mana ada hukuman mesra?”

“Kau tahu sendiri, ha-ha-ha! Kabarnya dia masih perawan!” Dan mereka tertawa-tawa sampai suara mereka lenyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan pucat.

“Celaka, kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku tidak tahu jalan...” kata Si Gubernur tua dengan khawatir. “Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan...”

“Aihhh, mengapa demikian, Taijin? Tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya...“

“Engkau seorang wanita...“

“Hanya seorang pelayan...“

“Bagiku engkau bukan sekedar pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda yang berani dan berbudi. Nona, siapa namamu?”

“Phang Cui Lan...“

“Nah, Cui Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap dan bawa ke Ho-nan. Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh melaporkan kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali, Cui Lan, agar aku bisa membalas budimu.”

Gubernur tua itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan tabahnya menuju ke selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pembesar yang demikian manis budi, seakan-akan sikapnya seperti seorang ayah saja baginya.

“Taijin...!” Tiba-tiba gadis itu memanggil dan dia bangkit berdiri.

Gubernur Hok berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari tempat persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.

“Eh, Cui Lan, jangan keluar!”

“Cepat, Taijin, saya mendapat akal. Mari!” Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar yang cukup lebat hingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan raya itu.

Dengan suara bisik-bisik Cui Lan berkata, “Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu berbahaya. Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat. Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apa bila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu.”

Gubernur Hok Thian Ki mengerutkan alisnya. “Cui Lan, engkau hendak melakukan perbuatan berbahaya demi menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wanita muda yang tak tahu apa-apa dan tak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang yang meninggalkan pesan itu? Apakah dapat dipercaya?”

“Taijin, saya tidak dapat mengatakan siapa dia, tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya, untuk itu saya berani tanggung dengan nyawa saya!”

“Ah... betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti engkau.“

Kedua pipi gadis itu menjadi merah, namun matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.

“Marilah, Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!” Dia lalu bangkit, memegang tangan orang tua itu dan kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena lecutan semak-semak yang mereka terjang, melalui jalan liar menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ.

Yang seorang biar pun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tak pernah melakukan pekerjaan berat, yang seorang lagi biar pun masih muda remaja hanyalah seorang gadis lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu terengah-engah, muka beserta leher mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar saking lelahnya.

“Wah, aku tidak kuat lagi...“ Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.

“Saya juga capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat ada genteng rumah di sana.”

Tiba-tiba terdengar bunyi ramai di bawah. Ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung.

“Celaka, mereka adalah para pengawal yang mengejar kita!” Cui Lan berseru kaget dan mukanya menjadi pucat sekali. “Mari, Taijin...!” Gadis itu seakan-akan memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah hutan.

“Heiiiii! Berhenti...!” Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan kedua orang pelarian ini makin mempercepat larinya.

“Auhhhhh...!” Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung dia tidak sampai terjerumus ke dalam jurang yang ada di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya berdiri.

“Auhhhhh... kakiku...“ Pembesar itu terpincang-pincang, akan tetapi terus digandeng Cui Lan, dipapahnya menuju ke rumah yang sudah berada di depan mereka.

“Mari, Taijin...!” Cui Lan menariknya dan mereka berdua berlari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu.

Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa berbeda dengan rumah biasa, rumah ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat dari pada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir hutan!

Akan tetapi karena para pengejar sudah berada dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok tentu saja tidak lagi memperhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu besar yang terbuat dari pada besi itu dan menggedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab dari dalam, apa lagi membuka daun pintunya.

“Bukalah... bukalah...!” Tolonglah kami...!” Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya sampai punggung tangannya berdarah!

“Cukup, Nona. Agaknya rumah ini kosong...“ Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu kemudian mencium punggung tangan yang berdarah itu.

“Tenanglah, kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama...,“ bisiknya.

Empat belas orang pengawal itu telah tiba dan mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika mereka tadi menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga mereka mentertawakan gubernur itu ketika dia tadi mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus, “Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!”

Karena munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil yang datang dari belakang mereka.

Anak ini menghampiri pintu, memandang kepada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata lirih, “Mari ikut dengan aku!”

Anak itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun pintu besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam. Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu menutup kembali dengan suara keras berderak!

Para pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka lalu mendorong-dorong, menarik-narik, menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga tidak dibuka dari sebelah dalam. Biar pun empat belas orang itu telah menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu besi itu.

Marahlah para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau keluar, rumah itu akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan kayu di sekeliling rumah itu dan setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celah-celah yang ada memasuki rumah itu, “Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau kalian tidak cepat keluar, kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!”

Tentu saja Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan yang takut kalau-kalau anak itu akan membuka pintu, segera berkata, “Anak baik, tolonglah kami... jangan kau buka pintunya, mereka itu hendak membunuh kami berdua...!”

Bocah itu memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang masih kecil sambil berkata dan menepuk dada, “Percaya padaku, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada orang-orang jahat itu!”

Mereka yang berada di dalam mendengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar rumah, ada asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu lari mengambil air dan menyiramkan di bagian yang ada sinar api membakar di luar tembok rumah. Cui Lan dan Gubernur Hok membantunya, akan tetapi usaha mereka itu tiada gunanya. Air itu tidak dapat langsung menyerang api yang menyala di luar rumah tembok tebal itu dan memang api tidak dapat masuk pula, akan tetapi hawa panas mulai menyerang makin hebat ke dalam!

Rumah itu kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar. Tidak ada pintu lain kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada hanyalah lubang-lubang hawa yang amat kecil di bagian atas. Tentu saja kini rumah itu mulai terasa seperti dipanggang.

Tiga orang itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai basah kuyup seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau kehujanan! Akan tetapi napas mereka mulai megap-megap. Rasa panas hampir tidak tertahankan lagi.

“Bukalah... bukalah... kalian berdua tidak layak mati untukku..., bukalah...“

“Jangan, Taijin... Paduka akan celaka...“

“Tidak, Cui Lan, aku akan lindungi kau sedapatku.“

Tetapi anak itu yang tadi kelihatan berkeliaran dan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, kini datang mendekat.

“Harap kalian jangan gugup,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar. “Ini kamarku dan Ayah, ini kamar kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut itu adalah kamar... Ibuku dahulu! Mari kita dobrak dan buka kamar itu!”

Daun pintu yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka. Dengan tenaga seadanya, bocah itu dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka pintu itu, menggunakan segala alat yang ada seperti palu dan linggis untuk merusak gembok.

Mengapa bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya melarang dia membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Barusan anak ini teringat akan cerita seorang di antara kedua pamannya, yang seperti juga ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di hutan-hutan untuk dijual kulit dan dagingnya.

Menurut cerita pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang cemburunya amat besar. Karena cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu dan setiap kali ayahnya pergi berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti dikurung di dalam penjara. Akhirnya ibunya tidak tahan dan setiap kali ayahnya pergi berburu, ibunya itu menggali terowongan sedikit demi sedikit, sampai bertahun-tahun lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari kamarnya itu menembus ke dinding tebing sungai! Maka, pada suatu hari kaburlah isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum