JODOH RAJAWALI : JILID-08
“Ayah...! Paman...!” Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu
melihat wajah ayahnya yang beringas dan teringat bahwa dia telah
melanggar pantangan ayahnya, dia menjadi ketakutan dan mundur-mundur
berlindung di belakang Cui Lan!
Ayah bocah itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju, hanya bercelana hitam. Dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin seram kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang kapak dan tangan kanannya memegang gendewa besar.
“Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau... dan dua orang asing ini yang berani lancang memasuki rumahku!” Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak mengejar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya dikepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, namun kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat, setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik!
“Sabar dulu, Saudara!” Cui Lan cepat melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah yang hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong!
”Anak ini tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil.”
Mendengar ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya segera berubah pucat sekali, juga kedua orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju.
“Kau... kau bilang... Siluman Kecil...?” Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar.
Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga orang itu menjadi terkejut dan ketakutan. “Benar!” katanya lantang. “Dulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang datang tinggal di rumah ini!”
“Ah, maaf... maaf... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)...“
“Sudahlah, aku hampir tak kuat bertahan!” Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar Hok. “Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari mala petaka ini.”
“Mari...!” Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu.
Ternyata terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu dan melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono.
Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dulu itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya. Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil!
Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tak nampak dari atas tebing, maka para pengawal yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat menyelamatkan diri.
Dengan menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang.
Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daun-daun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas!
Setelah membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanyalah ayah bocah itu kepada Cui Lan. “Kami tidak hendak mencampuri urusan Siocia dan Lopek ini, dan oleh karena Siocia mengenal beliau, maka kami akan menolong sampai sekuat tenaga kami. Jika Siocia tak keberatan, kami ingin mengetahui kenapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?”
Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa tapi puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga.Karena itu, ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga. Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguh pun bagi dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Keadaan diri pembesar ini harus disembunyikan, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil menjawab pertanyaan itu.
“Benar seperti yang kalian duga. Mereka memang adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku bernama Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dikawinkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana.” Dia berhenti sebentar karena pada saat itu, Gubernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu.
“Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu kemudian mengangkat muka, memandang kepada Cui Lan dengan kagum. “Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona. Engkau adalah seorang wanita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan beliau itu..., bolehkah kami mendengarnya?”
Cui Lan merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apa lagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi kecerdikannya kembali menolongnya, “Siluman Kecil... pendekar itu pernah menolong kami ketika kami diganggu perampok...“
“Nona adalah seorang pelayan di gubernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?” seorang di antara dua paman bocah itu terheran-heran.
Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu, bangkit duduk dan berkata, “Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Ada pun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana Kui-taijin, Gubernur Ho-nan.” Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan, “Pada waktu itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan perampok dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau.” Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang ‘beliau’ itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai ‘Siluman Kecil’ dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai ‘beliau’ itu tentu seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.
“Demikianlah…,” Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah ‘pamannya’ sambil tersenyum dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi paman itu, “Dalam kesempatan itulah pendekar itu memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apa bila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu.”
Tiga orang pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut ‘pemburu gagah’ oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui Lan sendiri!
“Kami girang sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,” kata si ayah bocah itu.
“Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini...“
“Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,” sambung sang gubernur.
“Maka kami harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula kalian dapat berhubungan dengan beliau.” Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Siluman Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.
“Maaf, aku dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te, kau berceritalah!” Pemburu berewok itu menyuruh adiknya yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguh pun tidak sebesar kakaknya yang tertua.
Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya. Dan ada pun orang kedua itu adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu.
Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu. “Memang nama beliau muncul sekitar dua tahun yang lalu.” Sim Kun melanjutkan ceritanya. “Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, terjadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, hingga sering terjadi pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah perburuan itu. Pada suatu hari, muncullah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan menundukkan semua pemburu untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat girang dan bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!”
Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang sangat dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dirinya sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu kasar itu.
“Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih,” kata Cui Lan. “Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sangat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran.”
“Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!” kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap nona cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!
“Begini, Sim-twako,” Cui Lan yang amat pandai itu segera menyebut twako sehingga si pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab. “Di taman rumah gubernuran ada seorang pemuda yang terlibat dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Samwi (Kalian Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu.”
“Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?” tanya Sim Hoat.
“Namanya Suma Kian Lee.”
“Suma...?” Tiga orang kasar itu saling pandang.
“Mengapa?” Cui Lan bertanya heran.
“Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami bertemu atau mendengar adanya seorang she Suma. Ahhh, mungkin hanya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami pergi.”
Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali membawa berita yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu membantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal.
“Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun.” Sim Hoat melanjutkan ceritanya.
“Aihhhhh...!” Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan dikeroyok ular-ular beracun!
“Apakah kalian tidak dapat menolongnya?” Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh semangat. “Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!”
“Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?” Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan cerdik itu sudah cepat menolongnya.
“Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya kalian dan mati-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran...“
“Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!” Sim Hoat sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.
“Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kau lepaskan tanda rahasia!”
Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia kemudian keluar dari dalam pondok, melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat penjuru nampak sinar-sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi.
Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap kasar-kasar menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar. Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata berperawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga.
Akan tetapi, biar pun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi seperti seekor harimau bertemu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sahabat ‘beliau’, otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biar pun sikap hormat ini kasar pula!
Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis ini memang mempunyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa. Seorang pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, tetapi juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee.
Mulai terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun ini, dia tadinya seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pelayan dan lain-lain, yang dianggapnya adalah manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpribudi tipis dan lebih mendekati binatang dari pada seorang manusia yang luhur dan mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya!
Sekarang terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah, hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi dari pada orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran dari pada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandaian! Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan sifat-sifat yang jauh lebih agung dari pada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasa menjilat ke atas dan menginjak atau merendahkan ke bawah!
Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Siluman Keicl, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang ‘sahabat’ Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat datang! Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal, akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semuanya merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap sebagai manusia dewa itu!
Cui Lan tentu saja seram melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Di antara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera menceritakan niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran air dan terancam nyawanya itu.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sungguh pun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil pernah menanyakan she Suma, seperti juga seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andai kata seorang di antara mereka juga mengalami malapetaka, tentu teman-teman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar ini.
“Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan,” Sim Hoat menyatakan pendapatnya.
“Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik jika golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!” kata salah seorang yang matanya lebar sekali.
“Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak terhadap Gubernur Ho-nan tidak ada bedanya dengan memberontak terhadap pemerintah!” sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu!
Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!
“Saya tidak mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apa lagi untuk memberontak. Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol terowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari situ.”
“Bagus! Nona cerdik bukan main!”
“Akal yang baik sekali!”
“Aku setuju!”
Mereka bicara lagi tidak karuan seperti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu.
“Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas.”
Pertanyaan dari seorang di antara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biar pun dia seorang gubernur, jadi seorang pembesar yang memiliki kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak berdaya!
“Saya sudah mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang sebuah kuil. Tempat itu tertutup dan mana mungkin ada pengawal akan memeriksa sebuah kuil? Hanya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!”
“Kita paksa kepala gundul itu!”
“Kita serbu saja kuil ltu!”
Kembali Cui Lan mengangkat tangannya. “Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan perbuatan menolong di dalam ibu kota ini amatlah berbahaya dan harus memakai kecerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, walau pun lebih pandai dari pada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya.”
Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa di antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini.
“Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja,” kata pula Cui Lan.
“Kita serbu!”
“Kita bunuh hwesio-hwesio-nya!”
Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pemimpin seterusnya!
“Harap kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik dan tidak ngawur,” kata Sim Kun.
“Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?” Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda itu yang dia sebut ‘twako’ pula sehingga wajah pemuda itu berseri gembira.
“Begini,” katanya. “Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita akan menyamar sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak berdaya, dan kemudian...” Dengan suara bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya.
Sampai lama semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwira-perwira perang yang mengatur siasat!
“Aku percaya kalian tak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apa lagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu,” kata Cui Lan akhirnya.
Siang hari itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa. Seperti yang telah direncanakan, petani-petani yang masuknya berpencar, secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi. Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja memasuki kuil untuk bersembahyang.
Di antara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk melayani orang-orang dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk melayani dengan pisah-pisah.
Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat kepala dan ternyata bahwa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio! Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu dan muncullah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpal mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar!
Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu yang datang bersembahyang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf! Selagi mereka ini sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara ‘hwesio-hwesio’ baru itu!
Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap. Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh separuh badannya itu.
Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di taman istana gubernuran. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam terowongan itu semakin lama semakin tinggi! Walau pun air dari kolam sudah habis, akan tetapi karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang bertambah jauh lebih banyak dari pada yang dapat mengalir keluar melalui celah-celah batu yang menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi!
Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut terowongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu. Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang terowongan dari mana air mengalir dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang. Sambil menggandeng tangan komandan itu, Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia harus berdaya dan mencari jalan keluar.
Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah, “Taihiap... tidak ada gunanya lagi... dari pada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit itu... lebih baik... mari kita hadapi maut dengan tenang...“
“Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah begitu saja!”
Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam. “Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap.”
“Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun telah diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apa lagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini.”
Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir tidak kuat lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang ketiga!
“Taihiap… sebelum kita mati... aku ingin sekali mati sebagai salah seorang sahabatmu. Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An... dan siapakah nama Taihiap?” berkata Panglima Pasukan Kuku Garuda itu yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasukan pengawal di istana, bahkan ternyata dia adalah adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali.
Tentu saja Suma Kian Lee tidak merasa keberatan sedikit pun, maka dengan sejujurnya dia menjawab, “Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun.”
Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguh pun dia tidak melihat apa-apa kecuali kehitaman yang padat. “Suma...? Suma Kian Lee...? Ahhh... Keluarga Suma dari Pulau Es ?”
Kian Lee menghela napas. Dia tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apa lagi terhadap seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu?
“Kau benar, Ciangkun.”
“Ahhh...! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ahhh, Suma-taihiap, kau maafkan saya...“
“Sudahlah, Ciangkun. Dengar... aku seperti mendengar sesuatu...!” Tiba-tiba Kian Lee tidak bergerak dan mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan memasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Dukkk! Dukkk! Dukkk!”
Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun, menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali.
Tiba-tiba tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher mereka itu. “Suara orang menggali di atas kita!” teriaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.
“Kita lihat saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang mengharapkan mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti lubang sudah terbuka dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka.”
“Baik, Suma-taihiap.”
Suara itu makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang! Dan terdengarlah suara orang-orang di atas, kemudian lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak berkelap-kelipnya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguh pun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada kesempatan harus dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu pihak musuh, dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian!
Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?”
Suara ini bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan mendengar suaranya, di atas itu terdapat banyak sekali orang!
Pertanyaan itu diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjutanya, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan, sahabat Siluman Kecil, untuk menolongmu!”
“Suma Kian Lee berada di sini!” Kian Lee menjawab, suaranya nyaring hingga terdengar oleh semua orang yang berada di atas. Mereka itu kelihatan girang karena ada suara-suara tertawa lega.
“Kalau begitu naiklah melalui tali ini!” terdengar suara yang kasar parau itu lagi, lalu nampak sehelai tali besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular.
“Taihiap, biarkan saya naik dulu. Kalau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu...“
“Tidak, aku akan naik dulu, Ciangkun.”
“Taihiap, kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua akan mati. Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang akan mati karena Taihiap dapat mengetahui dan menghindarkan jebakan itu. Biarkan aku naik dulu!”
“Engkau gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka celakakan di atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang-orang yang hendak menolong, apa lagi tadi menyebut nama Phang Cui Lan, dan andai kata mereka itu adalah musuh, perlu apa susah-susah menolong kita? Mereka tentu tahu bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri.”
Panglima itu tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu saja dia sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua tangannya bebas dan siap untuk menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas dan ketika Kian Lee meloncat ke luar, dia melihat belasan orang laki-laki yang berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-benar hendak menolong karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak menyerangnya.
Kian Lee lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah. “Souw-ciangkun, sekarang naiklah!”
Dengan satu tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Kian Lee. Setelah keduanya berada di atas, Kian Lee dan Souw-ciangkun menjura pada belasan orang itu dan Kian Lee berkata, “Banyak terima kasih atas pertolongan Cu-wi sekalian. Sekarang, di manakah adanya Nona Phang Cui Lan?”
Tanpa banyak cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata, “Mari kita pergi!” dan Kian Lee berdua panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama rombongan mereka dan jumlah mereka yang menolong itu ada dua puluh orang!
Kiranya hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena di tengah jalan mereka menanggalkan pakaian hwesio dan di bawah jubah ini ternyata mereka berpakaian seperti petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga diberi pakaian petani itu, dan dengan menggotong Souw-ciangkun yang tidak dapat berjalan, mereka berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju ke hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti.
Air mata bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat orang-orang kasar itu berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun dengan hati terharu memegang tangan dara itu. “Terima kasih... terima kasih... Cui Lan,” katanya berulang-ulang.
“Jangan kepada saya, Kongcu, melainkan kepada dia...”
“Siluman Kecil?”
Cui Lan mengangguk dan kedua pipinya merah.
“Sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasihku.”
Souw-ciangkun ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera menjura dengan penuh hormat sambil berkata, “Syukur bahwa Taijin ternyata dapat diselamatkan, akan tetapi Pangeran...“ Dan komandan pengawal ini mengeluh karena begitu dipakai bergerak, tubuhnya terasa sakit-sakit dan dia tentu terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan.
“Engkau harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!” Kian Lee kemudian membawa komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai yang bertilam daun kering, kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh panglima itu.
Hanya dalam waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil membersihkan hawa beracun dari tubuh Souw-ciangkun, dan biar pun tubuhnya masih terasa lemah, namun Souw-ciangkun sudah sehat kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan lahapnya karena selama tiga hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa.
“Kemanakah perginya orang-orang yang menolong kami semalam?” tanya Kian Lee ketika melihat keadaan yang sunyi di pondok itu.
Cui Lan menggelengkan kepala. “Mereka telah pergi semua, tak mungkin dapat ditahan lagi. Mereka berkumpul dan menolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama Siluman Kecil. Setelah tugas mereka selesai, tugas yang akan mereka lakukan dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka lalu pergi. Urusan kita selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena mengingat pendekar itu.” Lalu Cui Lan menceritakan pengalamannya sejak ia melarikan Gubernur Ho-pei sampai bertemu dengan para pemburu dan nyaris saja dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup.
“Bukan main Siluman Kecil itu!” Kian Lee memuji penuh kagum.
“Akan tetapi bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap,” kata Gubernur Hok yang sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma Kian Lee membantu pihak istana menentang para jagoan Ho-nan. “Dia ini hanyalah seorang gadis muda yang lemah, namun sepak terjangnya sungguh tidak kalah oleh seorang pendekar yang perkasa!”
“Ah, Taijin bisa saja memuji orang...“ Cui Lan menunduk dengan muka merah.
“Memang, saya pun mengerti, Taijin,” kata Kian Lee. “Memang engkau patut menjadi sahabat baik Siluman Kecil, Cui Lan.”
“Sudahlah, Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebaiknya sekarang dipikirkan bagaimana dengan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal beliau.”
“Aku pun sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah aku sendiri yang menyelidiki ke sana malam ini.”
“Aihhh..., itu berbahaya sekali, Kongcu!” Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh khawatir. “Kami dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut itu dan sekarang Kongcu malah hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu!”
Kian Lee merasa terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang memiliki watak halus dan berbudi mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga diam-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman Kecil akan berhadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang tidak akan menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi mulia seperti Cui Lan!
“Ahhh, Cui Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap dia seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!” kata Gubernur Hok.
“Nona Phang, ketahuilah bahwa Suma taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang berjuluk Siluman Kecil itu!” kata pula Souw Kee An.
“Ahhh...!” Sepasang mata itu memandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum, diam-diam menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain mengejutkan juga dapat menurunkan pandangan nona itu yang teramat tinggi terhadap Siluman Kecil.
“Jangan percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya suka berkelakar. Nah, aku harus berangkat sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kau lindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Setelah aku kembali, baru kita berunding lagi bagai mana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan membawa Pangeran Yung Hwa ke sini.”
Maka berangkatlah Kian Lee, diiringkan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok dan Souw-ciangkun, akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh kekhawatiran…..
********************
Tidaklah sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-yang di Ho-nan. Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di sekeliling kota dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk menuju ke istana Gubernur Ho-nan.
Malam itu sunyi. Semenjak peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang keadaan ibu kota menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar malam. Penjagaan diperketat, akan tetapi dengan mudah Kian Lee menggunakan ginkang-nya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus meluncur ke dalam. Dengan sigap dia telah menotok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di dekat taman, lalu menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya, “Kubunuh kau kalau kau berani berteriak!”
Di dalam keadaan yang remang-remang itu, penjaga ini tidak dapat melihat muka Kian Lee dengan jelas, dan andai kata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah pemuda ini yang baru satu kali datang sebagai tamu dan belum banyak dikenal, kecuali oleh pasukan yang dulu menghadangnya.
“Ampun, Hohan...!” penjaga itu memohon.
“Aku tidak akan membunuhmu asal engkau suka menceritakan di mana adanya Pangeran Yung Hwa!” Kian Lee mengancam.
“Ampun... siapa Pangeran Yung Hwa...? Saya tidak tahu, Hohan...“
Kian Lee mengerutkan alisnya. “Kau tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tempo hari...”
“Ah, kalau beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi keributan di taman?”
“Ya, benar. Di mana dia ditahan?”
“Ditahan? Saya sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Hohan.”
“Bukankah kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, lalu diserang dan ditangkap?”
“Ahh, sama sekali tidak, Hohan. Memang terjadi keributan antara jagoan-jagoan Ho-nan melawan jagoan-jagoan Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang berniat buruk terhadap Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada keesokan harinya pun utusan itu telah kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat.”
“Bohong! Kubunuh kau kalau membohong!”
“Saya... saya tidak berani membohong Hohan!”
Kian Lee menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan karena penasaran, Kian Lee lalu mencari dan akhirnya dia berhasil menyergap dan menangkap seorang perwira pengawal seperti yang dilakukannya kepada prajurit itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang didengarnya dari si prajurit. Sungguh mengherankan!
Suma Kian Lee menjadi penasaran sekali. Para prajurit dan perwira itu tentu saja sudah diperintahkan untuk membuat pengakuan seperti itu setiap kali ada penyelidik datang hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Betapa bodohnya dia! Satu-satunya orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung Hwa hanyalah si gubernur sendiri. Dia harus menangkap Gubernur Kui Cu Kam dan memaksanya membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahayanya.
Menurut penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap lawan berat hanya beberapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo serta beberapa orang panglima pengawal saja. Bahkan baginya, hanya dua orang itulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia yakin akan dapat mengatasi mereka berdua.
Yang dikhawatirkan hanya kalau semua pasukan dikerahkan. Tentu saja tidak mungkin dia dapat menghadapi pengeroyokan ratusan orang pasukan, apa lagi di dalam istana yang masih asing baginya. Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah menyelundup dan kemudian diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah ditawannya, tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur yang memberontak itu sebagai tawanan ke kota raja!
Dengan keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan istana, mendekam karena khawatir kalau-kalau di atas genteng terdapat pula penjaga-penjaga. Ternyata dugaannya betul, namun hanya terdapat dua orang yang menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas genteng-genteng.
“Aku harus merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa mencari kamar gubernur,” pikir Kian Lee.
Bagaikan seekor kucing saja, dia bergerak-gerak di atas genteng tanpa mengeluarkan suara, menghampiri tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun tidak diketahui oleh dua orang penjaga yang sedang bercakap-cakap.
“Ah, kenapa kita masih harus melakukan penjagaan yang begini ketat? Sampai-sampai semua atap harus diawasi seolah-olah ada musuh yang akan terbang ke sini,” seorang di antara mereka mengeluh.
“Ah, siapa tahu!” bantah orang kedua. “Semenjak utusan Kaisar itu datang dan pulang, kita harus berjaga-jaga karena sudah pasti pihak Ho-pei tidak mau tinggal diam begitu saja. Demikian yang kudengar dari para perwira.”
Kian Lee yang sudah siap untuk menerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran. Dua orang ini sedang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, tetapi toh mereka menyatakan bahwa utusan kaisar sudah pulang. Bagaimana ini? Benarkah Pangeran Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan?
Dua orang itu kini membalikkan tubuh untuk memeriksa keadaan di sekeliling mereka dan pada saat itu Kian Lee meloncat. Dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga itu roboh pingsan karena tengkuk mereka kena disambar oleh jari tangan Kian Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk waktu yang agak lama mereka akan lumpuh dan menyumpal mulut mereka dengan robekan baju mereka sendiri, kemudian dia berloncatan di atas genteng mencari-cari kamar gubernur.
Selagi dia mencari-cari dan mengintai, tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengejutkan hatinya. Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat! Suara itu bergema dan menggetarkan genteng yang diinjaknya, lalu dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari arah datangnya suara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena dia tahu bahwa ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat itu dan mendekam di atas genteng lalu mengintai ke bawah.
Akan tetapi, berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di bawah genteng itu terdapat langit-langit sehingga dia tidak dapat melihat ke dalam ruangan. Kian Lee mendongkol sekali karena kini dia merasa yakin bahwa sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini! Hal ini dapat dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat, agaknya suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring.
“Percayalah, Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!” kemudian dia mendengar langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu terdengar lagi, “Harap Taijin beristirahat dan besok kita sambung lagi perundingan kita.”
Kian Lee cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik dinding dan mengintai. Dilihatnya seorang laki-laki yang tubuhnya sangat besar, seperti raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar dari ruangan itu. Raksasa ini sukar ditaksir usianya, tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad. Sungguh pun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaiannya mewah dengan memakai sehelai jubah mantel berwarna merah dan sepatunya memakai tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap, kadang-kadang mengeluarkan bunyi seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seperti seekor harimau melangkah. Sebentar saja kakek ini lenyap dan diam-diam Kian Lee menarik napas panjang. Orang itu sudah jelas merupakan lawan yang amat tangguh, taksirnya.
Akan tetapi karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek raksasa itu, dan mengintai dari jendela. Ruangan itu luas, merupakan ruangan perundingan agaknya, dengan banyak kursi dan meja yang panjang besar. Hatinya girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk seorang diri di sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang menuliskan sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah kesempatan yang baik, pikir Kian Lee. Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum ada pengawal datang.
Dengan gerakan kilat, Kian Lee menerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi keluar dan sedetik kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih duduk di atas kursi. Akan tetapi, tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan mendadak kursi yang diduduki gubernur itu berikut mejanya amblas ke dalam lantai!
“Heiiiii!” Kian Lee terkejut dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali!
“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian Lee menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak dengan dua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan perutnya yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa.
Mengertilah Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, kemudian menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak, “Pergilah!”
Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang begitu saja. Dia tak mengenal kakek ini, sungguh pun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya dan mengatur siasat untuk menjebaknya di ruangan itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri, dia hanya menggunakan setengah tenaga sinkang-nya karena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai orang dan membahayakan keselamatan orang itu.
Kakek itu dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua tangan pemuda itu. Buktinya, dia sama sekali tidak mengelak dari pukulan itu, juga tidak menangkis, melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pukulan telapak tangan yang didorongkan.
Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang dilakukan dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari ayahnya yang dilatihnya di Pulau Es. Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
“Desssss...!”
Akibat benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee lalu terjengkang dan terlempar sampai jauh ke dalam ruangan itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan tadi ketika bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja!
Dan pada saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga telah bersembunyi di balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan bergulingan, mereka sekarang menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan Ho-nan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya!
Akan tetapi biar pun tubuhnya terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka. Kalau dia terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau dia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa bodohnya!
Dengan ginkang-nya yang sangat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayahnya yang disebut Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang pendekar kaki tunggal yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee menggerakkan tubuhnya melesat dari bawah hingga hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan maut itu hanyalah mengenai tempat kosong! Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali, tubuhnya mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
“Brakkk!”
Daun jendela pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang pengawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee hingga mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.
Teriakan disusul sambaran anak panah sama sekali tiada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mungkin karena tubuhnya yang terlalu berat dan besar, tidak memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga tidak mengejarnya. Di antara mereka, yang ginkang-nya paling lihai adalah Mauw Siauw Mo-li, tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian karena dia pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya kalau dia berhadapan seorang diri saja melawan pemuda itu…..
Ayah bocah itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju, hanya bercelana hitam. Dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin seram kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang kapak dan tangan kanannya memegang gendewa besar.
“Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau... dan dua orang asing ini yang berani lancang memasuki rumahku!” Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak mengejar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya dikepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, namun kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat, setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik!
“Sabar dulu, Saudara!” Cui Lan cepat melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah yang hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong!
”Anak ini tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil.”
Mendengar ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya segera berubah pucat sekali, juga kedua orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju.
“Kau... kau bilang... Siluman Kecil...?” Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar.
Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga orang itu menjadi terkejut dan ketakutan. “Benar!” katanya lantang. “Dulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang datang tinggal di rumah ini!”
“Ah, maaf... maaf... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)...“
“Sudahlah, aku hampir tak kuat bertahan!” Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar Hok. “Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari mala petaka ini.”
“Mari...!” Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu.
Ternyata terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu dan melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono.
Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dulu itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya. Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil!
Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tak nampak dari atas tebing, maka para pengawal yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat menyelamatkan diri.
Dengan menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang.
Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daun-daun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas!
Setelah membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanyalah ayah bocah itu kepada Cui Lan. “Kami tidak hendak mencampuri urusan Siocia dan Lopek ini, dan oleh karena Siocia mengenal beliau, maka kami akan menolong sampai sekuat tenaga kami. Jika Siocia tak keberatan, kami ingin mengetahui kenapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?”
Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa tapi puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga.Karena itu, ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga. Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguh pun bagi dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Keadaan diri pembesar ini harus disembunyikan, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil menjawab pertanyaan itu.
“Benar seperti yang kalian duga. Mereka memang adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku bernama Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dikawinkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana.” Dia berhenti sebentar karena pada saat itu, Gubernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu.
“Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu kemudian mengangkat muka, memandang kepada Cui Lan dengan kagum. “Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona. Engkau adalah seorang wanita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan beliau itu..., bolehkah kami mendengarnya?”
Cui Lan merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apa lagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi kecerdikannya kembali menolongnya, “Siluman Kecil... pendekar itu pernah menolong kami ketika kami diganggu perampok...“
“Nona adalah seorang pelayan di gubernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?” seorang di antara dua paman bocah itu terheran-heran.
Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu, bangkit duduk dan berkata, “Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Ada pun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana Kui-taijin, Gubernur Ho-nan.” Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan, “Pada waktu itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan perampok dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau.” Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang ‘beliau’ itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai ‘Siluman Kecil’ dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai ‘beliau’ itu tentu seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.
“Demikianlah…,” Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah ‘pamannya’ sambil tersenyum dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi paman itu, “Dalam kesempatan itulah pendekar itu memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apa bila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu.”
Tiga orang pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut ‘pemburu gagah’ oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui Lan sendiri!
“Kami girang sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,” kata si ayah bocah itu.
“Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini...“
“Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,” sambung sang gubernur.
“Maka kami harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula kalian dapat berhubungan dengan beliau.” Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Siluman Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.
“Maaf, aku dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te, kau berceritalah!” Pemburu berewok itu menyuruh adiknya yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguh pun tidak sebesar kakaknya yang tertua.
Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya. Dan ada pun orang kedua itu adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu.
Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu. “Memang nama beliau muncul sekitar dua tahun yang lalu.” Sim Kun melanjutkan ceritanya. “Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, terjadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, hingga sering terjadi pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah perburuan itu. Pada suatu hari, muncullah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan menundukkan semua pemburu untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat girang dan bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!”
Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang sangat dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dirinya sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu kasar itu.
“Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih,” kata Cui Lan. “Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sangat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran.”
“Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!” kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap nona cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!
“Begini, Sim-twako,” Cui Lan yang amat pandai itu segera menyebut twako sehingga si pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab. “Di taman rumah gubernuran ada seorang pemuda yang terlibat dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Samwi (Kalian Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu.”
“Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?” tanya Sim Hoat.
“Namanya Suma Kian Lee.”
“Suma...?” Tiga orang kasar itu saling pandang.
“Mengapa?” Cui Lan bertanya heran.
“Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami bertemu atau mendengar adanya seorang she Suma. Ahhh, mungkin hanya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami pergi.”
Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali membawa berita yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu membantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal.
“Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun.” Sim Hoat melanjutkan ceritanya.
“Aihhhhh...!” Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan dikeroyok ular-ular beracun!
“Apakah kalian tidak dapat menolongnya?” Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh semangat. “Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!”
“Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?” Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan cerdik itu sudah cepat menolongnya.
“Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya kalian dan mati-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran...“
“Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!” Sim Hoat sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.
“Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kau lepaskan tanda rahasia!”
Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia kemudian keluar dari dalam pondok, melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat penjuru nampak sinar-sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi.
Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap kasar-kasar menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar. Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata berperawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga.
Akan tetapi, biar pun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi seperti seekor harimau bertemu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sahabat ‘beliau’, otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biar pun sikap hormat ini kasar pula!
Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis ini memang mempunyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa. Seorang pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, tetapi juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee.
Mulai terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun ini, dia tadinya seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pelayan dan lain-lain, yang dianggapnya adalah manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpribudi tipis dan lebih mendekati binatang dari pada seorang manusia yang luhur dan mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya!
Sekarang terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah, hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi dari pada orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran dari pada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandaian! Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan sifat-sifat yang jauh lebih agung dari pada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasa menjilat ke atas dan menginjak atau merendahkan ke bawah!
Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Siluman Keicl, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang ‘sahabat’ Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat datang! Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal, akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semuanya merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap sebagai manusia dewa itu!
Cui Lan tentu saja seram melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Di antara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera menceritakan niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran air dan terancam nyawanya itu.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sungguh pun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil pernah menanyakan she Suma, seperti juga seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andai kata seorang di antara mereka juga mengalami malapetaka, tentu teman-teman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar ini.
“Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan,” Sim Hoat menyatakan pendapatnya.
“Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik jika golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!” kata salah seorang yang matanya lebar sekali.
“Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak terhadap Gubernur Ho-nan tidak ada bedanya dengan memberontak terhadap pemerintah!” sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu!
Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!
“Saya tidak mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apa lagi untuk memberontak. Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol terowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari situ.”
“Bagus! Nona cerdik bukan main!”
“Akal yang baik sekali!”
“Aku setuju!”
Mereka bicara lagi tidak karuan seperti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu.
“Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas.”
Pertanyaan dari seorang di antara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biar pun dia seorang gubernur, jadi seorang pembesar yang memiliki kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak berdaya!
“Saya sudah mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang sebuah kuil. Tempat itu tertutup dan mana mungkin ada pengawal akan memeriksa sebuah kuil? Hanya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!”
“Kita paksa kepala gundul itu!”
“Kita serbu saja kuil ltu!”
Kembali Cui Lan mengangkat tangannya. “Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan perbuatan menolong di dalam ibu kota ini amatlah berbahaya dan harus memakai kecerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, walau pun lebih pandai dari pada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya.”
Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa di antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini.
“Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja,” kata pula Cui Lan.
“Kita serbu!”
“Kita bunuh hwesio-hwesio-nya!”
Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pemimpin seterusnya!
“Harap kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik dan tidak ngawur,” kata Sim Kun.
“Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?” Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda itu yang dia sebut ‘twako’ pula sehingga wajah pemuda itu berseri gembira.
“Begini,” katanya. “Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita akan menyamar sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak berdaya, dan kemudian...” Dengan suara bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya.
Sampai lama semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwira-perwira perang yang mengatur siasat!
“Aku percaya kalian tak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apa lagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu,” kata Cui Lan akhirnya.
Siang hari itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa. Seperti yang telah direncanakan, petani-petani yang masuknya berpencar, secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi. Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja memasuki kuil untuk bersembahyang.
Di antara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk melayani orang-orang dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk melayani dengan pisah-pisah.
Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat kepala dan ternyata bahwa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio! Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu dan muncullah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpal mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar!
Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu yang datang bersembahyang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf! Selagi mereka ini sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara ‘hwesio-hwesio’ baru itu!
Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap. Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh separuh badannya itu.
Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di taman istana gubernuran. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam terowongan itu semakin lama semakin tinggi! Walau pun air dari kolam sudah habis, akan tetapi karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang bertambah jauh lebih banyak dari pada yang dapat mengalir keluar melalui celah-celah batu yang menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi!
Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut terowongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu. Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang terowongan dari mana air mengalir dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang. Sambil menggandeng tangan komandan itu, Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia harus berdaya dan mencari jalan keluar.
Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah, “Taihiap... tidak ada gunanya lagi... dari pada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit itu... lebih baik... mari kita hadapi maut dengan tenang...“
“Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah begitu saja!”
Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam. “Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap.”
“Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun telah diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apa lagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini.”
Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir tidak kuat lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang ketiga!
“Taihiap… sebelum kita mati... aku ingin sekali mati sebagai salah seorang sahabatmu. Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An... dan siapakah nama Taihiap?” berkata Panglima Pasukan Kuku Garuda itu yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasukan pengawal di istana, bahkan ternyata dia adalah adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali.
Tentu saja Suma Kian Lee tidak merasa keberatan sedikit pun, maka dengan sejujurnya dia menjawab, “Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun.”
Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguh pun dia tidak melihat apa-apa kecuali kehitaman yang padat. “Suma...? Suma Kian Lee...? Ahhh... Keluarga Suma dari Pulau Es ?”
Kian Lee menghela napas. Dia tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apa lagi terhadap seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu?
“Kau benar, Ciangkun.”
“Ahhh...! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ahhh, Suma-taihiap, kau maafkan saya...“
“Sudahlah, Ciangkun. Dengar... aku seperti mendengar sesuatu...!” Tiba-tiba Kian Lee tidak bergerak dan mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan memasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Dukkk! Dukkk! Dukkk!”
Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun, menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali.
Tiba-tiba tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher mereka itu. “Suara orang menggali di atas kita!” teriaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.
“Kita lihat saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang mengharapkan mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti lubang sudah terbuka dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka.”
“Baik, Suma-taihiap.”
Suara itu makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang! Dan terdengarlah suara orang-orang di atas, kemudian lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak berkelap-kelipnya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguh pun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada kesempatan harus dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu pihak musuh, dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian!
Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?”
Suara ini bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan mendengar suaranya, di atas itu terdapat banyak sekali orang!
Pertanyaan itu diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjutanya, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan, sahabat Siluman Kecil, untuk menolongmu!”
“Suma Kian Lee berada di sini!” Kian Lee menjawab, suaranya nyaring hingga terdengar oleh semua orang yang berada di atas. Mereka itu kelihatan girang karena ada suara-suara tertawa lega.
“Kalau begitu naiklah melalui tali ini!” terdengar suara yang kasar parau itu lagi, lalu nampak sehelai tali besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular.
“Taihiap, biarkan saya naik dulu. Kalau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu...“
“Tidak, aku akan naik dulu, Ciangkun.”
“Taihiap, kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua akan mati. Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang akan mati karena Taihiap dapat mengetahui dan menghindarkan jebakan itu. Biarkan aku naik dulu!”
“Engkau gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka celakakan di atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang-orang yang hendak menolong, apa lagi tadi menyebut nama Phang Cui Lan, dan andai kata mereka itu adalah musuh, perlu apa susah-susah menolong kita? Mereka tentu tahu bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri.”
Panglima itu tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu saja dia sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua tangannya bebas dan siap untuk menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas dan ketika Kian Lee meloncat ke luar, dia melihat belasan orang laki-laki yang berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-benar hendak menolong karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak menyerangnya.
Kian Lee lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah. “Souw-ciangkun, sekarang naiklah!”
Dengan satu tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Kian Lee. Setelah keduanya berada di atas, Kian Lee dan Souw-ciangkun menjura pada belasan orang itu dan Kian Lee berkata, “Banyak terima kasih atas pertolongan Cu-wi sekalian. Sekarang, di manakah adanya Nona Phang Cui Lan?”
Tanpa banyak cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata, “Mari kita pergi!” dan Kian Lee berdua panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama rombongan mereka dan jumlah mereka yang menolong itu ada dua puluh orang!
Kiranya hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena di tengah jalan mereka menanggalkan pakaian hwesio dan di bawah jubah ini ternyata mereka berpakaian seperti petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga diberi pakaian petani itu, dan dengan menggotong Souw-ciangkun yang tidak dapat berjalan, mereka berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju ke hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti.
Air mata bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat orang-orang kasar itu berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun dengan hati terharu memegang tangan dara itu. “Terima kasih... terima kasih... Cui Lan,” katanya berulang-ulang.
“Jangan kepada saya, Kongcu, melainkan kepada dia...”
“Siluman Kecil?”
Cui Lan mengangguk dan kedua pipinya merah.
“Sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasihku.”
Souw-ciangkun ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera menjura dengan penuh hormat sambil berkata, “Syukur bahwa Taijin ternyata dapat diselamatkan, akan tetapi Pangeran...“ Dan komandan pengawal ini mengeluh karena begitu dipakai bergerak, tubuhnya terasa sakit-sakit dan dia tentu terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan.
“Engkau harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!” Kian Lee kemudian membawa komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai yang bertilam daun kering, kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh panglima itu.
Hanya dalam waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil membersihkan hawa beracun dari tubuh Souw-ciangkun, dan biar pun tubuhnya masih terasa lemah, namun Souw-ciangkun sudah sehat kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan lahapnya karena selama tiga hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa.
“Kemanakah perginya orang-orang yang menolong kami semalam?” tanya Kian Lee ketika melihat keadaan yang sunyi di pondok itu.
Cui Lan menggelengkan kepala. “Mereka telah pergi semua, tak mungkin dapat ditahan lagi. Mereka berkumpul dan menolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama Siluman Kecil. Setelah tugas mereka selesai, tugas yang akan mereka lakukan dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka lalu pergi. Urusan kita selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena mengingat pendekar itu.” Lalu Cui Lan menceritakan pengalamannya sejak ia melarikan Gubernur Ho-pei sampai bertemu dengan para pemburu dan nyaris saja dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup.
“Bukan main Siluman Kecil itu!” Kian Lee memuji penuh kagum.
“Akan tetapi bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap,” kata Gubernur Hok yang sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma Kian Lee membantu pihak istana menentang para jagoan Ho-nan. “Dia ini hanyalah seorang gadis muda yang lemah, namun sepak terjangnya sungguh tidak kalah oleh seorang pendekar yang perkasa!”
“Ah, Taijin bisa saja memuji orang...“ Cui Lan menunduk dengan muka merah.
“Memang, saya pun mengerti, Taijin,” kata Kian Lee. “Memang engkau patut menjadi sahabat baik Siluman Kecil, Cui Lan.”
“Sudahlah, Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebaiknya sekarang dipikirkan bagaimana dengan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal beliau.”
“Aku pun sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah aku sendiri yang menyelidiki ke sana malam ini.”
“Aihhh..., itu berbahaya sekali, Kongcu!” Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh khawatir. “Kami dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut itu dan sekarang Kongcu malah hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu!”
Kian Lee merasa terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang memiliki watak halus dan berbudi mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga diam-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman Kecil akan berhadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang tidak akan menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi mulia seperti Cui Lan!
“Ahhh, Cui Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap dia seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!” kata Gubernur Hok.
“Nona Phang, ketahuilah bahwa Suma taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang berjuluk Siluman Kecil itu!” kata pula Souw Kee An.
“Ahhh...!” Sepasang mata itu memandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum, diam-diam menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain mengejutkan juga dapat menurunkan pandangan nona itu yang teramat tinggi terhadap Siluman Kecil.
“Jangan percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya suka berkelakar. Nah, aku harus berangkat sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kau lindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Setelah aku kembali, baru kita berunding lagi bagai mana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan membawa Pangeran Yung Hwa ke sini.”
Maka berangkatlah Kian Lee, diiringkan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok dan Souw-ciangkun, akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh kekhawatiran…..
********************
Tidaklah sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-yang di Ho-nan. Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di sekeliling kota dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk menuju ke istana Gubernur Ho-nan.
Malam itu sunyi. Semenjak peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang keadaan ibu kota menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar malam. Penjagaan diperketat, akan tetapi dengan mudah Kian Lee menggunakan ginkang-nya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus meluncur ke dalam. Dengan sigap dia telah menotok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di dekat taman, lalu menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya, “Kubunuh kau kalau kau berani berteriak!”
Di dalam keadaan yang remang-remang itu, penjaga ini tidak dapat melihat muka Kian Lee dengan jelas, dan andai kata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah pemuda ini yang baru satu kali datang sebagai tamu dan belum banyak dikenal, kecuali oleh pasukan yang dulu menghadangnya.
“Ampun, Hohan...!” penjaga itu memohon.
“Aku tidak akan membunuhmu asal engkau suka menceritakan di mana adanya Pangeran Yung Hwa!” Kian Lee mengancam.
“Ampun... siapa Pangeran Yung Hwa...? Saya tidak tahu, Hohan...“
Kian Lee mengerutkan alisnya. “Kau tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tempo hari...”
“Ah, kalau beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi keributan di taman?”
“Ya, benar. Di mana dia ditahan?”
“Ditahan? Saya sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Hohan.”
“Bukankah kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, lalu diserang dan ditangkap?”
“Ahh, sama sekali tidak, Hohan. Memang terjadi keributan antara jagoan-jagoan Ho-nan melawan jagoan-jagoan Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang berniat buruk terhadap Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada keesokan harinya pun utusan itu telah kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat.”
“Bohong! Kubunuh kau kalau membohong!”
“Saya... saya tidak berani membohong Hohan!”
Kian Lee menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan karena penasaran, Kian Lee lalu mencari dan akhirnya dia berhasil menyergap dan menangkap seorang perwira pengawal seperti yang dilakukannya kepada prajurit itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang didengarnya dari si prajurit. Sungguh mengherankan!
Suma Kian Lee menjadi penasaran sekali. Para prajurit dan perwira itu tentu saja sudah diperintahkan untuk membuat pengakuan seperti itu setiap kali ada penyelidik datang hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Betapa bodohnya dia! Satu-satunya orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung Hwa hanyalah si gubernur sendiri. Dia harus menangkap Gubernur Kui Cu Kam dan memaksanya membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahayanya.
Menurut penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap lawan berat hanya beberapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo serta beberapa orang panglima pengawal saja. Bahkan baginya, hanya dua orang itulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia yakin akan dapat mengatasi mereka berdua.
Yang dikhawatirkan hanya kalau semua pasukan dikerahkan. Tentu saja tidak mungkin dia dapat menghadapi pengeroyokan ratusan orang pasukan, apa lagi di dalam istana yang masih asing baginya. Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah menyelundup dan kemudian diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah ditawannya, tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur yang memberontak itu sebagai tawanan ke kota raja!
Dengan keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan istana, mendekam karena khawatir kalau-kalau di atas genteng terdapat pula penjaga-penjaga. Ternyata dugaannya betul, namun hanya terdapat dua orang yang menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas genteng-genteng.
“Aku harus merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa mencari kamar gubernur,” pikir Kian Lee.
Bagaikan seekor kucing saja, dia bergerak-gerak di atas genteng tanpa mengeluarkan suara, menghampiri tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun tidak diketahui oleh dua orang penjaga yang sedang bercakap-cakap.
“Ah, kenapa kita masih harus melakukan penjagaan yang begini ketat? Sampai-sampai semua atap harus diawasi seolah-olah ada musuh yang akan terbang ke sini,” seorang di antara mereka mengeluh.
“Ah, siapa tahu!” bantah orang kedua. “Semenjak utusan Kaisar itu datang dan pulang, kita harus berjaga-jaga karena sudah pasti pihak Ho-pei tidak mau tinggal diam begitu saja. Demikian yang kudengar dari para perwira.”
Kian Lee yang sudah siap untuk menerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran. Dua orang ini sedang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, tetapi toh mereka menyatakan bahwa utusan kaisar sudah pulang. Bagaimana ini? Benarkah Pangeran Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan?
Dua orang itu kini membalikkan tubuh untuk memeriksa keadaan di sekeliling mereka dan pada saat itu Kian Lee meloncat. Dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga itu roboh pingsan karena tengkuk mereka kena disambar oleh jari tangan Kian Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk waktu yang agak lama mereka akan lumpuh dan menyumpal mulut mereka dengan robekan baju mereka sendiri, kemudian dia berloncatan di atas genteng mencari-cari kamar gubernur.
Selagi dia mencari-cari dan mengintai, tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengejutkan hatinya. Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat! Suara itu bergema dan menggetarkan genteng yang diinjaknya, lalu dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari arah datangnya suara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena dia tahu bahwa ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat itu dan mendekam di atas genteng lalu mengintai ke bawah.
Akan tetapi, berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di bawah genteng itu terdapat langit-langit sehingga dia tidak dapat melihat ke dalam ruangan. Kian Lee mendongkol sekali karena kini dia merasa yakin bahwa sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini! Hal ini dapat dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat, agaknya suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring.
“Percayalah, Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!” kemudian dia mendengar langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu terdengar lagi, “Harap Taijin beristirahat dan besok kita sambung lagi perundingan kita.”
Kian Lee cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik dinding dan mengintai. Dilihatnya seorang laki-laki yang tubuhnya sangat besar, seperti raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar dari ruangan itu. Raksasa ini sukar ditaksir usianya, tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad. Sungguh pun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaiannya mewah dengan memakai sehelai jubah mantel berwarna merah dan sepatunya memakai tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap, kadang-kadang mengeluarkan bunyi seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seperti seekor harimau melangkah. Sebentar saja kakek ini lenyap dan diam-diam Kian Lee menarik napas panjang. Orang itu sudah jelas merupakan lawan yang amat tangguh, taksirnya.
Akan tetapi karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek raksasa itu, dan mengintai dari jendela. Ruangan itu luas, merupakan ruangan perundingan agaknya, dengan banyak kursi dan meja yang panjang besar. Hatinya girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk seorang diri di sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang menuliskan sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah kesempatan yang baik, pikir Kian Lee. Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum ada pengawal datang.
Dengan gerakan kilat, Kian Lee menerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi keluar dan sedetik kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih duduk di atas kursi. Akan tetapi, tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan mendadak kursi yang diduduki gubernur itu berikut mejanya amblas ke dalam lantai!
“Heiiiii!” Kian Lee terkejut dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali!
“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian Lee menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak dengan dua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan perutnya yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa.
Mengertilah Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, kemudian menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak, “Pergilah!”
Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang begitu saja. Dia tak mengenal kakek ini, sungguh pun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya dan mengatur siasat untuk menjebaknya di ruangan itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri, dia hanya menggunakan setengah tenaga sinkang-nya karena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai orang dan membahayakan keselamatan orang itu.
Kakek itu dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua tangan pemuda itu. Buktinya, dia sama sekali tidak mengelak dari pukulan itu, juga tidak menangkis, melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pukulan telapak tangan yang didorongkan.
Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang dilakukan dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari ayahnya yang dilatihnya di Pulau Es. Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
“Desssss...!”
Akibat benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee lalu terjengkang dan terlempar sampai jauh ke dalam ruangan itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan tadi ketika bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja!
Dan pada saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga telah bersembunyi di balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan bergulingan, mereka sekarang menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan Ho-nan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya!
Akan tetapi biar pun tubuhnya terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka. Kalau dia terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau dia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa bodohnya!
Dengan ginkang-nya yang sangat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayahnya yang disebut Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang pendekar kaki tunggal yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee menggerakkan tubuhnya melesat dari bawah hingga hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan maut itu hanyalah mengenai tempat kosong! Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali, tubuhnya mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
“Brakkk!”
Daun jendela pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang pengawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee hingga mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.
Teriakan disusul sambaran anak panah sama sekali tiada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mungkin karena tubuhnya yang terlalu berat dan besar, tidak memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga tidak mengejarnya. Di antara mereka, yang ginkang-nya paling lihai adalah Mauw Siauw Mo-li, tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian karena dia pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya kalau dia berhadapan seorang diri saja melawan pemuda itu…..
Komentar
Posting Komentar