JODOH RAJAWALI : JILID-10
Kian Lee adalah seorang pemuda yang selalu berhati-hati dan sikapnya
bijaksana. Dalam keadaan marah sekali pun dia tetap tenang dan waspada,
tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan ia masih sadar bahwa para
murid Yang-liu Nionio ini hanyalah mentaati perintah guru mereka, maka
dia pun bersikap lunak terhadap mereka. Yang diincarnya adalah Yang-liu
Nionio, maka ketika dia memperoleh kesempatan baik, saat nenek itu
menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis, membiarkan
ranting itu melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu
menangkis cengkeraman tangan nenek itu yang ditujukan ke arah
lambungnya.
“Plakkk! Aughhhhh...!”
Nenek itu melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, mengaduh-aduh karena biar pun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai masuk ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.
“Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?” katanya.
Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu, kemudian menghadapi nenek itu. “Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan.”
“Apa imbalannya? Katakan!” Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.
“Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang “
“Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?” Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali.
Siapa yang tidak mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti benteng istana itu?
“Aku hendak membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?” Tek Hoat bertanya, sambil tetap tersenyum.
Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Niocu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu Nionio.
“Pangcu... aduhhhh... kami tidak kuat menghadapinya,“ Kim-hi Niocu mengeluh sambil mengelus pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.
“Baiklah, kami menerima syaratmu, orang muda. Nah, kau robohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!” Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.
“Mundurlah kalian semua!” Tiba-tiba Tek Hoat membentak dengan suara mengandung getaran khikang kuat sehingga biar pun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang pemuda yang belum mereka kenal, akan tetapi bentakan Tek Hoat itu membuat mereka semua mundur, apa lagi karena memang mereka telah merasa jeri sekali terhadap Kian Lee.
Dua orang pemuda itu sekarang berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya, dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.
Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nionio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara dari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.
“Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!” Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka.
Cui Lan memandang dengan penuh perhatian. Wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.
“Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu.”
“Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!” Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapa pun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!
Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. “Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku.”
“Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!” Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
“Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!” Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.
“Plak-plak-plak-plakkkkk!”
Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali pula ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini, maka tadi serangannya sudah dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk kedua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mukjijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!
Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan sekarang dia telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan hanya sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!
Menyaksikan keganasan sepak terjang Ang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, hanya kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, tetapi serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang, apa lagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.
Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biar pun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni tapi bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu.
Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan, sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat. Baginya kali ini bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya.
Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggota Hek-eng-pang yang berdiri jauh, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sinkang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.
Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab kedua orang datuk Pulau Neraka. Mendadak dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggota Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat. Mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah lengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.
Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas yang agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, lalu melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.
“Hyaaattttt...!”
Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya, melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini sangat cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.
“Haaaiiiiittttt...!” Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
“Desssss...!”
Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia masih mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia dapat mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.
Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia pun merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!
Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan mata nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.
“Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas.
Melihat serangan ini, Kian Lee cepat-cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum dan yakin bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu, akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya.
Suma Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggota Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.
“Plakkk! Desssss...!”
Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.
Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang, lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.
“Kongcu...!” Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nionio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.
“Engkau... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun di dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau...” Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, “Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!”
“Diam, bocah lancang mulut!” Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras.
“Plakkk!” Pipi kiri Cui Lan kena ditampar.
Kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang, akan tetapi bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, “Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat, tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!”
“Bangsat, tutup mulutmu!” Anggota Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.
“Krekkk... aduuuhhhhh...!”
Anggota Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!
“Hemmm, apa artinya ini?” Yang-liu Nionio menegur dengan alis berkerut, memandang pada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. “Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!”
“Siapa yang memaki? Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku.” Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.
Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Niocu. “Kau bawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari.” Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu.
Hek-eng-pangcu kemudian mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah ketiga orang kepala pasukan lainnya, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.
Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan sudah menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Lu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi?
Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah dapat sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang.
Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta ‘bantuan’ mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya.
Akan tetapi sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biar pun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka…..
********************
Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, juga sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam ‘midodareni’, yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi.
Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal.
Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang menyeberang jembatan itu menuju ke pintu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga yang memeriksa semua orang yang masuk memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggota rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main cantiknya!
Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu sedang tertiup angin. Kedua lengannya yang agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyumnya yang manis membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu!
Gerak-gerik dara muda yang jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.
“Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!”
A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.
“Jangan kurang ajar kalian!” Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.
Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.
“Ihhhh... seperti siluman saja...!” seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara cantik sekali untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!
“Hihhh... jangan-jangan benar siluman...“
Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap. Untunglah datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggota rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun.
“Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut,” berkata pemimpin rombongan itu.
Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apa lagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggota Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li, kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu.
Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.
“Aihhh, dari Si Jari Maut?” Hwa-i-kongcu berseru bangga. “Mengapa beliau tidak muncul sendiri?”
Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.
“Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehingga mengirim bantuan pelayan!” Dia kemudian memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi.
Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah semenjak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguh pun opera itu sendiri belum dimulai.
Para pelayan yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu.
Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan ‘jalan keluar’ untuk teman-temannya itu apa bila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga tidaklah mungkin untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, maka dia mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita dari Hek-eng-pang itu.
Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan kemunculan gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri!
Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa sang bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian.
Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja lalu mengijinkan permintaan itu. Apa lagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu merupakan pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan lalu diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi. Sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu.
Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri. Tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh. Karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya.
Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan langsung masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu lalu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping, tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!”
Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata, “Terima kasih.” Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata, “Harap kalian keluar dari kamar ini dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar.”
Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar sebaiknya melayani sang puteri dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk hanya berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.
Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya, “Siapakah engkau?”
Bintang panggung itu tersenyum lebar. “Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?”
“Ah, Siang In...!” Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, “Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku... hampir lenyap harapanku...“
“Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha segera menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap yang wajar saja. Aku melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut.“
“Ahhhhh...!” Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini. “Dia...?”
Siang In mengangguk. “Namun aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Tetapi mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kau tinggallah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku.”
Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. “Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali?”
Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai ‘kedok’ yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.
“Aku harus menyamar sebaiknya, dan kalau tidak, mana mungkin aku bisa mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu?”
“Berminyak? Apa ada mata berminyak?” Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti!
“Hi-hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!”
Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali kedoknya yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!
“Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya?”
“Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?”
“Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hendak kulihat apakah...“ Syanti Dewi tidak dapat menahan ketawanya.
“Apakah hidungnya masih belang atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali, Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci.”
Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok, namun masih halus dan menarik kemerahan itu. “Nyawaku berada di tanganmu, adikku,” bisik Syanti Dewi.
Siang In tersenyum dan melangkah mundur. “Hi-hi-hik, apa kau kira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Sampai nanti, Enci...“ Dan pergilah dia keluar dari kamar.
Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri ini mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.
“Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta sendiri!”
Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.
Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak meminta agar sri panggung juga menari! Pemimpin rombongan itu, seorang tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, segera bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu yang akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak dapat ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari.
Siang In baru kemarin masuk perkumpulannya. Karena gadis itu memiliki kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis ini sebagai anggota rombongaannya, namun sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu memiliki wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat.
Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata, “Lopek, biarkanlah aku menari sendiri!” Dan dia bangkit, lalu menjura ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
“Cuwi sekalian, baru saja saya dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau telah mengajarkan sebuah tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai persembahan dari mempelai puteri!” Semua orang bersorak gembira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk-angguk dengan gembira dan bangga!
Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya ialah ahli-ahli yang sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biar pun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi.
Memang indah sekali! Baik nyanyiannya mau pun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu!
“Ini tarian Kerajaan Bhutan!” Tiba-tiba terdengar teriakan orang.
Hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, dan menggerak-gerakkan tongkat yang dipegangnya sehingga tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu. Dan si kakek Nepal ini menggeleng-gelengkan atau menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat lucunya!
Setelah Siang In menyelesaikan nyanyian dan tariannya, tepuk tangan lalu meledak di ruangan itu dan semua anggota opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tidak ternilai harganya! Tentu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sri panggung ini, pikirnya.
Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu sedang mempermainkan enam orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu memakai topeng monyet dan mulailah ia menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh dari Si Raja Monyet.
Di sini Siang In memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah!
Tongkat itu, seperti tongkat Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil seperti sebatang pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.
Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi seram karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka!
“Lihat, aku akan menjadi seekor harimau!” terdengar dara itu berseru dan… “Hauwww!” Di situ nampak seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!
Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping merasa kagum mereka juga memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu mencabut bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan muncullah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas panggung!
Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, lalu terdengar para pelayan menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu terhuyung-huyung.
Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan anggota opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan yang mengandung daya mukjijat untuk memusnahkan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati Siang ln.
“Bagus! Bagus sekali pertunjukan tadi!” Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biar pun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. “Kepandaian sripanggung tadi memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal benar-benar merasa beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda. Sekarang, untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!” Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah.
Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk. Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi bia pun tidak aneh, namun amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan ilmu sihirnya, maka sri panggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli sihir pula!
Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanya berupa permainan kanak-kanak saja, sungguh pun bagi dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah dilakukan.
Kini Kakek Gitananda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk keempat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian ia kembali ke tengah ruangan dan tiba-tiba ia menarik tongkatnya dan... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan... terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat!
Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak muncullah seekor ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi!
Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu memiliki tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan kemudian menari-nari menurut bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tidak lama kemudian, ketika suara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak itu perlahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan tiupan pada tongkatnya.
Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit berdiri, menjura keempat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.
Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali. Para anggota Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwa-i-kongcu, dengan sigapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.
Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi telah bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar.
Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak. Orang ini terkenal sebagai ‘setan arak’ di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!
Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini. Setiap cawan yang memasuki mulut mereka langsung diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan ini.
“Ahhh, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!” tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.
“Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja?”
Si gendut tersenyum. “Silakan kau dulu!” dia menantang.
Gitananda lalu mengangkat guci itu, menempelkan bibir guci ke mulutnya dan segera terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini. Sungguh merupakan hal yang luar biasa.
“Ha-ha-ha, giliranmu!” kata Gitananda kepada Si gendut.
Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit. Perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!
“He-he-heh... kau hebat... heh-heh, aku mengaku kalah deh...“ Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki.
Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah salah seorang anggota Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biar pun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu.
Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.
“Ehhhhh!” Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.
Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, dengan secara diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka bertiga sesungguhnya bukanlah anggota Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama.
Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lainnya yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah!
Ada pun yang kedua atau orang ketiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda. Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biar pun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.
Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hak Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu.
Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut demikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Walau pun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencurigakan. Apa lagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak.
Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya pergi menuju ke belakang untuk menyelidiki dan jikalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar suara terompet dan canang dipukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.
Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan lagi ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu-batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang menggunakan mangkok piring, menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang mempunyai kepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan kepandaiannya untuk bersiap-siap turun tangan membantu pihak tuan rumah.
Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli. Dia kemudian memaki kebodohan sendiri yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat sama dengan dia, yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol.
“Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!” teriaknya marah-marah.
Dari tempat persembunyiannya, Siang In bisa melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang sangat mengejutkan, dan melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita.
Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu.
Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggota-anggota Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang…..
“Plakkk! Aughhhhh...!”
Nenek itu melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, mengaduh-aduh karena biar pun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai masuk ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.
“Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?” katanya.
Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu, kemudian menghadapi nenek itu. “Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan.”
“Apa imbalannya? Katakan!” Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.
“Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang “
“Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?” Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali.
Siapa yang tidak mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti benteng istana itu?
“Aku hendak membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?” Tek Hoat bertanya, sambil tetap tersenyum.
Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Niocu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu Nionio.
“Pangcu... aduhhhh... kami tidak kuat menghadapinya,“ Kim-hi Niocu mengeluh sambil mengelus pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.
“Baiklah, kami menerima syaratmu, orang muda. Nah, kau robohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!” Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.
“Mundurlah kalian semua!” Tiba-tiba Tek Hoat membentak dengan suara mengandung getaran khikang kuat sehingga biar pun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang pemuda yang belum mereka kenal, akan tetapi bentakan Tek Hoat itu membuat mereka semua mundur, apa lagi karena memang mereka telah merasa jeri sekali terhadap Kian Lee.
Dua orang pemuda itu sekarang berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya, dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.
Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nionio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara dari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.
“Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!” Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka.
Cui Lan memandang dengan penuh perhatian. Wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.
“Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu.”
“Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!” Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapa pun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!
Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. “Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku.”
“Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!” Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
“Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!” Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.
“Plak-plak-plak-plakkkkk!”
Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali pula ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini, maka tadi serangannya sudah dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk kedua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mukjijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!
Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan sekarang dia telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan hanya sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!
Menyaksikan keganasan sepak terjang Ang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, hanya kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, tetapi serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang, apa lagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.
Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biar pun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni tapi bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu.
Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan, sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat. Baginya kali ini bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya.
Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggota Hek-eng-pang yang berdiri jauh, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sinkang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.
Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab kedua orang datuk Pulau Neraka. Mendadak dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggota Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat. Mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah lengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.
Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas yang agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, lalu melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.
“Hyaaattttt...!”
Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya, melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini sangat cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.
“Haaaiiiiittttt...!” Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
“Desssss...!”
Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia masih mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia dapat mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.
Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia pun merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!
Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan mata nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.
“Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas.
Melihat serangan ini, Kian Lee cepat-cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum dan yakin bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu, akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya.
Suma Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggota Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.
“Plakkk! Desssss...!”
Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.
Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang, lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.
“Kongcu...!” Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nionio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.
“Engkau... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun di dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau...” Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, “Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!”
“Diam, bocah lancang mulut!” Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras.
“Plakkk!” Pipi kiri Cui Lan kena ditampar.
Kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang, akan tetapi bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, “Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat, tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!”
“Bangsat, tutup mulutmu!” Anggota Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.
“Krekkk... aduuuhhhhh...!”
Anggota Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!
“Hemmm, apa artinya ini?” Yang-liu Nionio menegur dengan alis berkerut, memandang pada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. “Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!”
“Siapa yang memaki? Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku.” Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.
Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Niocu. “Kau bawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari.” Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu.
Hek-eng-pangcu kemudian mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah ketiga orang kepala pasukan lainnya, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.
Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan sudah menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Lu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi?
Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah dapat sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang.
Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta ‘bantuan’ mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya.
Akan tetapi sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biar pun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka…..
********************
Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, juga sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam ‘midodareni’, yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi.
Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal.
Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang menyeberang jembatan itu menuju ke pintu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga yang memeriksa semua orang yang masuk memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggota rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main cantiknya!
Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu sedang tertiup angin. Kedua lengannya yang agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyumnya yang manis membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu!
Gerak-gerik dara muda yang jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.
“Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!”
A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.
“Jangan kurang ajar kalian!” Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.
Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.
“Ihhhh... seperti siluman saja...!” seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara cantik sekali untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!
“Hihhh... jangan-jangan benar siluman...“
Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap. Untunglah datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggota rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun.
“Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut,” berkata pemimpin rombongan itu.
Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apa lagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggota Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li, kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu.
Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.
“Aihhh, dari Si Jari Maut?” Hwa-i-kongcu berseru bangga. “Mengapa beliau tidak muncul sendiri?”
Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.
“Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehingga mengirim bantuan pelayan!” Dia kemudian memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi.
Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah semenjak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguh pun opera itu sendiri belum dimulai.
Para pelayan yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu.
Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan ‘jalan keluar’ untuk teman-temannya itu apa bila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga tidaklah mungkin untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, maka dia mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita dari Hek-eng-pang itu.
Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan kemunculan gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri!
Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa sang bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian.
Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja lalu mengijinkan permintaan itu. Apa lagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu merupakan pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan lalu diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi. Sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu.
Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri. Tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh. Karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya.
Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan langsung masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu lalu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping, tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!”
Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata, “Terima kasih.” Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata, “Harap kalian keluar dari kamar ini dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar.”
Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar sebaiknya melayani sang puteri dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk hanya berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.
Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya, “Siapakah engkau?”
Bintang panggung itu tersenyum lebar. “Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?”
“Ah, Siang In...!” Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, “Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku... hampir lenyap harapanku...“
“Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha segera menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap yang wajar saja. Aku melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut.“
“Ahhhhh...!” Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini. “Dia...?”
Siang In mengangguk. “Namun aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Tetapi mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kau tinggallah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku.”
Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. “Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali?”
Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai ‘kedok’ yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.
“Aku harus menyamar sebaiknya, dan kalau tidak, mana mungkin aku bisa mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu?”
“Berminyak? Apa ada mata berminyak?” Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti!
“Hi-hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!”
Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali kedoknya yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!
“Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya?”
“Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?”
“Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hendak kulihat apakah...“ Syanti Dewi tidak dapat menahan ketawanya.
“Apakah hidungnya masih belang atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali, Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci.”
Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok, namun masih halus dan menarik kemerahan itu. “Nyawaku berada di tanganmu, adikku,” bisik Syanti Dewi.
Siang In tersenyum dan melangkah mundur. “Hi-hi-hik, apa kau kira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Sampai nanti, Enci...“ Dan pergilah dia keluar dari kamar.
Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri ini mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.
“Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta sendiri!”
Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.
Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak meminta agar sri panggung juga menari! Pemimpin rombongan itu, seorang tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, segera bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu yang akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak dapat ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari.
Siang In baru kemarin masuk perkumpulannya. Karena gadis itu memiliki kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis ini sebagai anggota rombongaannya, namun sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu memiliki wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat.
Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata, “Lopek, biarkanlah aku menari sendiri!” Dan dia bangkit, lalu menjura ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
“Cuwi sekalian, baru saja saya dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau telah mengajarkan sebuah tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai persembahan dari mempelai puteri!” Semua orang bersorak gembira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk-angguk dengan gembira dan bangga!
Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya ialah ahli-ahli yang sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biar pun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi.
Memang indah sekali! Baik nyanyiannya mau pun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu!
“Ini tarian Kerajaan Bhutan!” Tiba-tiba terdengar teriakan orang.
Hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, dan menggerak-gerakkan tongkat yang dipegangnya sehingga tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu. Dan si kakek Nepal ini menggeleng-gelengkan atau menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat lucunya!
Setelah Siang In menyelesaikan nyanyian dan tariannya, tepuk tangan lalu meledak di ruangan itu dan semua anggota opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tidak ternilai harganya! Tentu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sri panggung ini, pikirnya.
Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu sedang mempermainkan enam orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu memakai topeng monyet dan mulailah ia menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh dari Si Raja Monyet.
Di sini Siang In memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah!
Tongkat itu, seperti tongkat Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil seperti sebatang pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.
Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi seram karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka!
“Lihat, aku akan menjadi seekor harimau!” terdengar dara itu berseru dan… “Hauwww!” Di situ nampak seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!
Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping merasa kagum mereka juga memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu mencabut bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan muncullah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas panggung!
Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, lalu terdengar para pelayan menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu terhuyung-huyung.
Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan anggota opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan yang mengandung daya mukjijat untuk memusnahkan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati Siang ln.
“Bagus! Bagus sekali pertunjukan tadi!” Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biar pun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. “Kepandaian sripanggung tadi memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal benar-benar merasa beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda. Sekarang, untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!” Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah.
Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk. Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi bia pun tidak aneh, namun amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan ilmu sihirnya, maka sri panggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli sihir pula!
Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanya berupa permainan kanak-kanak saja, sungguh pun bagi dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah dilakukan.
Kini Kakek Gitananda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk keempat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian ia kembali ke tengah ruangan dan tiba-tiba ia menarik tongkatnya dan... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan... terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat!
Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak muncullah seekor ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi!
Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu memiliki tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan kemudian menari-nari menurut bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tidak lama kemudian, ketika suara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak itu perlahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan tiupan pada tongkatnya.
Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit berdiri, menjura keempat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.
Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali. Para anggota Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwa-i-kongcu, dengan sigapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.
Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi telah bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar.
Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak. Orang ini terkenal sebagai ‘setan arak’ di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!
Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini. Setiap cawan yang memasuki mulut mereka langsung diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan ini.
“Ahhh, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!” tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.
“Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja?”
Si gendut tersenyum. “Silakan kau dulu!” dia menantang.
Gitananda lalu mengangkat guci itu, menempelkan bibir guci ke mulutnya dan segera terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini. Sungguh merupakan hal yang luar biasa.
“Ha-ha-ha, giliranmu!” kata Gitananda kepada Si gendut.
Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit. Perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!
“He-he-heh... kau hebat... heh-heh, aku mengaku kalah deh...“ Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki.
Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah salah seorang anggota Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biar pun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu.
Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.
“Ehhhhh!” Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.
Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, dengan secara diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka bertiga sesungguhnya bukanlah anggota Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama.
Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lainnya yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah!
Ada pun yang kedua atau orang ketiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda. Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biar pun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.
Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hak Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu.
Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut demikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Walau pun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencurigakan. Apa lagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak.
Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya pergi menuju ke belakang untuk menyelidiki dan jikalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar suara terompet dan canang dipukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.
Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan lagi ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu-batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang menggunakan mangkok piring, menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang mempunyai kepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan kepandaiannya untuk bersiap-siap turun tangan membantu pihak tuan rumah.
Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli. Dia kemudian memaki kebodohan sendiri yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat sama dengan dia, yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol.
“Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!” teriaknya marah-marah.
Dari tempat persembunyiannya, Siang In bisa melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang sangat mengejutkan, dan melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita.
Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu.
Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggota-anggota Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang…..
Komentar
Posting Komentar