JODOH RAJAWALI : JILID-13
Tentu saja para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan
Hok-taijin, tidak memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang
mereka anggap juga tamu-tamu yang sama-sama melarikan diri.
“Minggir...!” Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!
Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan oleh karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang sedangkan di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.
Melihat betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-taijin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang sangat hebat. Air muncrat tinggi sekali dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit.
Akan tetapi, air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah.
Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi sudah dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang sangat mengerikan itu!
Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, sedang tersenyum kepadanya. Kian Lee mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar di mana orang-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.
Ketika Kian Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat meminggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apa lagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan. Yang penting baginya adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan kini mereka sudah berhasil diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.
Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai. Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali.
Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, dan tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee kemudian melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini.
Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya, “Ehh, Lopek, apakah yang sudah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah?” Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.
“Aihhh, kami telah mengalami hari sial kemarin, Kongcu,” kata pelayan itu. “Tidak saja barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin itu, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami.”
“Ehh, apakah yang terjadi?” Kian Lee makin tertarik.
“Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang orang kasar, namun Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan, maka kami pun melayani dengan senang hati. Mendadak masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga, jadi untuk melayani terlalu lama. Kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya pihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana.”
Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini.
“Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?” tanyanya kepada si pelayan.
“Mana saya tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana.”
“Apakah pihak tentara itu kalah?” Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
“Sebetulnya sih masih ramai, entah pihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan...”
“Siluman Kecil!” Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia lalu bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.
“Benar...!” kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan.
Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat dia mengambil kembali sepasang sumpitnya sambil membungkuk dan pada saat dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.
“Munculnya pendekar itu menghentikan pertempuran dan para prajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para prajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii…, itulah mereka! Mereka datang lagi ke sini...!” Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melaporkan kepada majikannya tentang kedatangan para prajurit yang kemarin itu.
Ia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang.
“Ciangkun, ke sinilah!” teriaknya kepada perwira itu.
Perwira setengah tua itu terkejut, lalu menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut sambil memberi hormat. “Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!” serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hok-taijin, segera berlutut pula memberi hormat.
Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap saat mengiringi Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.
“Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa tahu, di tempat yang tak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?”
“Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan.
Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa inginnya dia berjumpa dengan pendekar yang amat dipujanya itu. Alangkah besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.
“Ehh... saya... hemmm, saya pun biasa naik kuda...,“ jawabnya gagap.
“Bagaimana pula kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya.
Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.
“Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada dia dan nona ini dan juga nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.”
Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, “Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.”
Kian Lee kemudian berkata kepada gubernur itu, “Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Taijin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa...“
Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri. Betapa pun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.
“Benar, dan pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw.
“Suthai...,“ Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.
Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, “Tentunya engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?”
Kedua pipi gadis itu menjadi merah dan matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, “Terima kasih, Suthai... “
Suma Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-taijin dan Cui Lan.
“Suma-taihiap!” Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil.
Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit. “Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?”
Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. “Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?”
Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. “Baiklah, Taijin. Kelak, jika sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin.”
Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para prajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah prajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.
Pada esok harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang. Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat.
Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu yang mengebul tinggi. Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.
Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.
“Heiiiii... Enci Lan...!!” Tiba-tiba anak itu berseru.
Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.
“Ahhh, kiranya engkau, Hong Bu...!” Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun, tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.
“Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?” Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.
“Terima kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.
“Eh, kalian hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya.
Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang. “Ha-ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!” katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.
“Sebetulnya ada urusan apakah?” Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil!
Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para prajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapa pun juga merasa curiga pada tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.
“Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.”
“Ehhhhh...?” Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh gairah.
“Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimana pun juga, kami ingin membantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu.”
“Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gihu?” Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapa pun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.
“Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, kurang lebih lima tahun yang lalu, di dalam pengembaraannya beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid-muridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu telah terjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biar pun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau.”
Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, mendadak hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.
“Selamat tinggal, Enci Cui Lan!” terdengar Hong Bu berteriak.
Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, “Selamat berpisah, sampai jumpa kembali!” lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.
Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui Lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, “Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?”
Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, “Benar sekali, Gihu. Gihu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa kepadanya, bahkan lebih dari itu, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya… saya ingin sekali menonton, Gihu.”
Hok-taijin mengerutkan alisnya. “Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita dapat terancam bahaya maut. Jangan kau khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita.”
Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguh pun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para prajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.
Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguh pun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah dan perut kenyang itu dihembus angin sejuk.
Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang rebah terlentang di antara rumput-rumput hijau sambil bersenandung.
Cui Lan ingin segera pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala yang terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!
Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.
“Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!”
Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia dapat melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apa lagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.
“Kau... bukankah kau gadis dalam perahu...“
Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. “Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan prajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?”
“Ah, dia telah pergi...“ Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan, “Engkau siapakah? Aneh sekali ada seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu.”
“Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!”
Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir saja menjilat-jilat dahinya!
Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.
“Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?”
“Namaku Phang Cui Lan.” Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar. “Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh.”
“Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana.”
Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. “Apakah kau maksudkan... keramaian... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti...?”
Kini Hwee Li yang terkejut. “Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?”
Cui Lan mengangguk. “Tentu saja aku mengenalnya,” dan pandang matanya sekarang merenung, membayangkan pendekar itu.
“Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri.”
Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya. “Ahh, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?”
“Benarkah? Ehh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?”
“Orang macam apa...?” Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas. “Orang yang hebat...! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap...“
“Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Sengjin di puncak bukit itu.”
“Sin-siauw Sengjin? Siapakah dia?”
“Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher...“
“Potong leher?” Cui Lan terkejut.
“Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang? Hi-hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apa lagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali.”
Pucat wajah Cui Lan. “Apa... apa... maksudmu...?”
“Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ular-ularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.”
“Ihh... kau... kau kejam sekali!” Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. “Kau sungguh kejam, dan aku... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka berani melakukan hal itu!”
“Ehhh...?” Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. “Wahh...! Kau cinta padanya, hi-hi-hik! Kau cinta padanya!”
Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia kemudian mengangguk. “Aku memang cinta padanya...“
“Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!”
“Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li.”
“Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?”
“Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku... hemmm, hal itu aku... aku tidak tahu...“
“Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan.”
Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Agaknya mereka sudah mulai berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.
“Aku... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku... aku harus pergi bersama mereka.”
“Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguh pun kau lemah.”
“Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa.”
“Siapa bilang? Baru dua puluh orang prajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!”
“Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik.”
“Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!”
“Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku.”
“Nah, berpamitlah!” Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.
Melihat Cui Lan datang bersama seorang dara cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.
“Gihu, ini adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat... dan dia... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gihu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gihu... setelah selesai nonton...“
“Akan tetapi, Cui Lan...!” Hok-taijin berkata penuh keraguan.
“Mari kita pergi, Cui Lan!”
Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para prajurit berada jauh di bawah pohon besar itu!
“Pejamkan mata, kita pergi sekarang,” bisik Hwee Li.
“Gihu, maafkan, saya pergi dulu...!”
Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin yang bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.
Tidak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li, “Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu.”
Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, namun sama sekali tidak melihat lagi rombongan Gihu-nya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.
Cui Lan memandang Hwee Li. “Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti.”
“Hi-hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andai kata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari pada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.”
Akan tetapi tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini sangat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.
“Hati-hati, Hwee Li...“ bisik Cui Lan.
Gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Jika ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangsa yang lewat.
“Hi-hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang matanya dari pada seekor anjing.”
Baru saja Hwee Li berkata demikian, salah seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu bergerak-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tidak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.
“Hi-hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!” Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.
Cui Lan bergidik ngeri. “Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi adalah seorang manusia?” bisiknya.
“Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu akan digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak akan mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku.”
Hari telah menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.
“Agaknya kosong...,“ Cui Lan berkata.
“Sssttttt... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau sama sekali tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik,” Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu seolah membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali.
Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu sangat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan.
Malam makin larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan. “Cepat telan ini...,” Hwee Li berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning.
Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali, seakan-akan dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.
Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.
Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, “Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjian kita lima tahun yang lalu!” Suara itu biar pun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.
Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau, “Silakan masuk!”
Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.
“Sssttttt...!” Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan.
Cui Lan membelalakkan matanya agar supaya dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu semakin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat cepatnya, seakan-akan orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.
Hwee Li mengerahkan kekuatan pandang matanya, dia memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya sangat tampan, rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinar keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!
Kakek bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang sedang ditunggu-tunggunya, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah hendak memasuki pintu, tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung.
“Anakku...!”
Seorang nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biar pun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.
“lbu...!” Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.
Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran sekali melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!
“Ibu, mengapa kau menyusulku?” tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.
“Hemmm, aku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!”
Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.
“Diakah...?” Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biar pun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, dia datang memenuhi janji!” katanya.
Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. “Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya,” katanya dengan sikap merendah.
Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. “Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu?”
Siluman Kecil mengangkat muka memandang hingga mata mereka saling bertemu dan beradu pandang. “Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?”
Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela. “Ahhh, kalau muncul dengan terang terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?”
“Ohhh...! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Ahh, sungguh saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!”
“Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar.” Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua itu mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.
Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.
Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, “Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diri!”
Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya akan bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka!
Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, “Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?”
Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka lalu menjawab, “Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu.”
Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Sengjin (Kakek Suling Sakti) jadi tersenyum lebar.
“Aku tidak menghendaki bantuan dari siapa pun!” Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada pihak tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.
“Cu-wi telah terlanjur datang, boleh saja menyaksikan pertandingan.” Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus akan tetapi menembus sampai jauh seperti hembusan angin, “Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!”
Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecil. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, “Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!”
Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.
Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kun-lun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, “Harap Sengjin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu asli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Sengjin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.”
Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Sengjin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan. Maka majulah dia dan dengan suara halus akan tetapi bernada menantang dia pun berkata, “Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi.”
Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain. Hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Sengjin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai lalu memberi isyarat kepada sute-nya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang kedua dari Bu-tong-pai, tokoh kedua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh kedua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu dia menjura. “Silakan!”
Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya. Dia bertanya, “Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?”
“Pinto Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai,” kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. “Kim Thian Cu totiang, sebagai pihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang yang memulai, dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu.”
Sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, Kim Thian Cu tentu saja telah memiliki pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. “Pinto mulai, sambutlah!”
Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu sudah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang ke semuanya ada seratus dua puluh jurus.
Biar pun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh kedua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, ia telah mengeluarkan salah satu jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.
“Bagus...!” Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, dua tangannya menangkis kedua serangan itu.
“Dukkk!... Dukkkkk!”
Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Sengjin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkang-nya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali akan tetapi dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!
Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sute-nya tak akan mampu menang. Sayang bahwa sute-nya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga menghadapi lawan yang demikian tangguh menjadi amat sukar untuk mendesaknya. Tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri, hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadang-kadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sute-nya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya. Dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, “Pinto mengaku kalah.”
“Hebat... hebat...!” Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. “Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi...“
Kakek itu tersenyum dan balas menjura. “Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Ada pun tentang ilmu-ilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu.”
Giok Thian Cu mengangguk-angguk. “Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau saja boleh, pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?” Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. “Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu untuk menyambut penghormatan Totiang.”
Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, “Lihat pedang!” dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.
“Bagus!” Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
“Tranggggg...!”
Kedua belah pihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.
Mendadak Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah menjadi gulungan sinar perak yang sangat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan saja hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu lalu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
“Hebat...! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-gelengkan kepala saking kagumnya. “Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas...“
Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu, kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, “Siancai...!”
Kedua gulungan sinar itu tiba-tiba berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
“Sungguh hebat, pinto mengaku kalah.”
“Ah, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali, akan tetapi harus diakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, jika dibolehkan.”
Liang Sim Tosu sudah melangkah maju sambil mengeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun lalu membalas dengan penghormatan dan menjawab, “Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju.”
Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, “Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!”
Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan semakin lama semakin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.
“Bukan main...!” Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
“Cring-tranggg...!”
Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus akan tetapi luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan yang saling menggunting, namun kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya kedua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan…..
“Minggir...!” Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!
Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan oleh karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang sedangkan di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.
Melihat betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-taijin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang sangat hebat. Air muncrat tinggi sekali dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit.
Akan tetapi, air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah.
Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi sudah dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang sangat mengerikan itu!
Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, sedang tersenyum kepadanya. Kian Lee mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar di mana orang-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.
Ketika Kian Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat meminggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apa lagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan. Yang penting baginya adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan kini mereka sudah berhasil diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.
Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai. Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali.
Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, dan tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee kemudian melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini.
Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya, “Ehh, Lopek, apakah yang sudah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah?” Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.
“Aihhh, kami telah mengalami hari sial kemarin, Kongcu,” kata pelayan itu. “Tidak saja barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin itu, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami.”
“Ehh, apakah yang terjadi?” Kian Lee makin tertarik.
“Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang orang kasar, namun Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan, maka kami pun melayani dengan senang hati. Mendadak masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga, jadi untuk melayani terlalu lama. Kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya pihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana.”
Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini.
“Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?” tanyanya kepada si pelayan.
“Mana saya tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana.”
“Apakah pihak tentara itu kalah?” Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
“Sebetulnya sih masih ramai, entah pihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan...”
“Siluman Kecil!” Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia lalu bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.
“Benar...!” kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan.
Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat dia mengambil kembali sepasang sumpitnya sambil membungkuk dan pada saat dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.
“Munculnya pendekar itu menghentikan pertempuran dan para prajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para prajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii…, itulah mereka! Mereka datang lagi ke sini...!” Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melaporkan kepada majikannya tentang kedatangan para prajurit yang kemarin itu.
Ia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang.
“Ciangkun, ke sinilah!” teriaknya kepada perwira itu.
Perwira setengah tua itu terkejut, lalu menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut sambil memberi hormat. “Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!” serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hok-taijin, segera berlutut pula memberi hormat.
Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap saat mengiringi Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.
“Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa tahu, di tempat yang tak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?”
“Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan.
Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa inginnya dia berjumpa dengan pendekar yang amat dipujanya itu. Alangkah besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.
“Ehh... saya... hemmm, saya pun biasa naik kuda...,“ jawabnya gagap.
“Bagaimana pula kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya.
Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.
“Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada dia dan nona ini dan juga nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.”
Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, “Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.”
Kian Lee kemudian berkata kepada gubernur itu, “Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Taijin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa...“
Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri. Betapa pun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.
“Benar, dan pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw.
“Suthai...,“ Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.
Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, “Tentunya engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?”
Kedua pipi gadis itu menjadi merah dan matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, “Terima kasih, Suthai... “
Suma Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-taijin dan Cui Lan.
“Suma-taihiap!” Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil.
Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit. “Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?”
Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. “Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?”
Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. “Baiklah, Taijin. Kelak, jika sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin.”
Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para prajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah prajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.
Pada esok harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang. Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat.
Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu yang mengebul tinggi. Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.
Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.
“Heiiiii... Enci Lan...!!” Tiba-tiba anak itu berseru.
Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.
“Ahhh, kiranya engkau, Hong Bu...!” Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun, tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.
“Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?” Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.
“Terima kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.
“Eh, kalian hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya.
Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang. “Ha-ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!” katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.
“Sebetulnya ada urusan apakah?” Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil!
Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para prajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapa pun juga merasa curiga pada tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.
“Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.”
“Ehhhhh...?” Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh gairah.
“Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimana pun juga, kami ingin membantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu.”
“Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gihu?” Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapa pun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.
“Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, kurang lebih lima tahun yang lalu, di dalam pengembaraannya beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid-muridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu telah terjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biar pun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau.”
Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, mendadak hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.
“Selamat tinggal, Enci Cui Lan!” terdengar Hong Bu berteriak.
Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, “Selamat berpisah, sampai jumpa kembali!” lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.
Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui Lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, “Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?”
Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, “Benar sekali, Gihu. Gihu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa kepadanya, bahkan lebih dari itu, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya… saya ingin sekali menonton, Gihu.”
Hok-taijin mengerutkan alisnya. “Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita dapat terancam bahaya maut. Jangan kau khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita.”
Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguh pun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para prajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.
Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguh pun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah dan perut kenyang itu dihembus angin sejuk.
Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang rebah terlentang di antara rumput-rumput hijau sambil bersenandung.
Cui Lan ingin segera pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala yang terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!
Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.
“Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!”
Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia dapat melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apa lagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.
“Kau... bukankah kau gadis dalam perahu...“
Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. “Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan prajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?”
“Ah, dia telah pergi...“ Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan, “Engkau siapakah? Aneh sekali ada seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu.”
“Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!”
Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir saja menjilat-jilat dahinya!
Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.
“Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?”
“Namaku Phang Cui Lan.” Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar. “Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh.”
“Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana.”
Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. “Apakah kau maksudkan... keramaian... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti...?”
Kini Hwee Li yang terkejut. “Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?”
Cui Lan mengangguk. “Tentu saja aku mengenalnya,” dan pandang matanya sekarang merenung, membayangkan pendekar itu.
“Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri.”
Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya. “Ahh, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?”
“Benarkah? Ehh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?”
“Orang macam apa...?” Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas. “Orang yang hebat...! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap...“
“Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Sengjin di puncak bukit itu.”
“Sin-siauw Sengjin? Siapakah dia?”
“Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher...“
“Potong leher?” Cui Lan terkejut.
“Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang? Hi-hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apa lagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali.”
Pucat wajah Cui Lan. “Apa... apa... maksudmu...?”
“Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ular-ularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.”
“Ihh... kau... kau kejam sekali!” Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. “Kau sungguh kejam, dan aku... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka berani melakukan hal itu!”
“Ehhh...?” Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. “Wahh...! Kau cinta padanya, hi-hi-hik! Kau cinta padanya!”
Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia kemudian mengangguk. “Aku memang cinta padanya...“
“Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!”
“Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li.”
“Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?”
“Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku... hemmm, hal itu aku... aku tidak tahu...“
“Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan.”
Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Agaknya mereka sudah mulai berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.
“Aku... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku... aku harus pergi bersama mereka.”
“Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguh pun kau lemah.”
“Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa.”
“Siapa bilang? Baru dua puluh orang prajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!”
“Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik.”
“Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!”
“Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku.”
“Nah, berpamitlah!” Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.
Melihat Cui Lan datang bersama seorang dara cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.
“Gihu, ini adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat... dan dia... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gihu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gihu... setelah selesai nonton...“
“Akan tetapi, Cui Lan...!” Hok-taijin berkata penuh keraguan.
“Mari kita pergi, Cui Lan!”
Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para prajurit berada jauh di bawah pohon besar itu!
“Pejamkan mata, kita pergi sekarang,” bisik Hwee Li.
“Gihu, maafkan, saya pergi dulu...!”
Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin yang bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.
Tidak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li, “Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu.”
Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, namun sama sekali tidak melihat lagi rombongan Gihu-nya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.
Cui Lan memandang Hwee Li. “Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti.”
“Hi-hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andai kata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari pada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.”
Akan tetapi tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini sangat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.
“Hati-hati, Hwee Li...“ bisik Cui Lan.
Gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Jika ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangsa yang lewat.
“Hi-hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang matanya dari pada seekor anjing.”
Baru saja Hwee Li berkata demikian, salah seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu bergerak-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tidak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.
“Hi-hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!” Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.
Cui Lan bergidik ngeri. “Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi adalah seorang manusia?” bisiknya.
“Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu akan digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak akan mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku.”
Hari telah menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.
“Agaknya kosong...,“ Cui Lan berkata.
“Sssttttt... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau sama sekali tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik,” Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu seolah membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali.
Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu sangat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan.
Malam makin larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan. “Cepat telan ini...,” Hwee Li berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning.
Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali, seakan-akan dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.
Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.
Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, “Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjian kita lima tahun yang lalu!” Suara itu biar pun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.
Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau, “Silakan masuk!”
Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.
“Sssttttt...!” Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan.
Cui Lan membelalakkan matanya agar supaya dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu semakin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat cepatnya, seakan-akan orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.
Hwee Li mengerahkan kekuatan pandang matanya, dia memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya sangat tampan, rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinar keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!
Kakek bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang sedang ditunggu-tunggunya, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah hendak memasuki pintu, tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung.
“Anakku...!”
Seorang nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biar pun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.
“lbu...!” Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.
Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran sekali melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!
“Ibu, mengapa kau menyusulku?” tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.
“Hemmm, aku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!”
Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.
“Diakah...?” Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biar pun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, dia datang memenuhi janji!” katanya.
Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. “Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya,” katanya dengan sikap merendah.
Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. “Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu?”
Siluman Kecil mengangkat muka memandang hingga mata mereka saling bertemu dan beradu pandang. “Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?”
Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela. “Ahhh, kalau muncul dengan terang terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?”
“Ohhh...! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Ahh, sungguh saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!”
“Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar.” Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua itu mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.
Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.
Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, “Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diri!”
Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya akan bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka!
Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, “Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?”
Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka lalu menjawab, “Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu.”
Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Sengjin (Kakek Suling Sakti) jadi tersenyum lebar.
“Aku tidak menghendaki bantuan dari siapa pun!” Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada pihak tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.
“Cu-wi telah terlanjur datang, boleh saja menyaksikan pertandingan.” Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus akan tetapi menembus sampai jauh seperti hembusan angin, “Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!”
Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecil. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, “Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!”
Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.
Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kun-lun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, “Harap Sengjin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu asli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Sengjin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.”
Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Sengjin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan. Maka majulah dia dan dengan suara halus akan tetapi bernada menantang dia pun berkata, “Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi.”
Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain. Hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Sengjin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai lalu memberi isyarat kepada sute-nya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang kedua dari Bu-tong-pai, tokoh kedua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh kedua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu dia menjura. “Silakan!”
Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya. Dia bertanya, “Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?”
“Pinto Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai,” kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. “Kim Thian Cu totiang, sebagai pihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang yang memulai, dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu.”
Sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, Kim Thian Cu tentu saja telah memiliki pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. “Pinto mulai, sambutlah!”
Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu sudah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang ke semuanya ada seratus dua puluh jurus.
Biar pun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh kedua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, ia telah mengeluarkan salah satu jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.
“Bagus...!” Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, dua tangannya menangkis kedua serangan itu.
“Dukkk!... Dukkkkk!”
Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Sengjin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkang-nya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali akan tetapi dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!
Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sute-nya tak akan mampu menang. Sayang bahwa sute-nya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga menghadapi lawan yang demikian tangguh menjadi amat sukar untuk mendesaknya. Tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri, hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadang-kadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sute-nya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya. Dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, “Pinto mengaku kalah.”
“Hebat... hebat...!” Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. “Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi...“
Kakek itu tersenyum dan balas menjura. “Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Ada pun tentang ilmu-ilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu.”
Giok Thian Cu mengangguk-angguk. “Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau saja boleh, pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?” Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. “Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu untuk menyambut penghormatan Totiang.”
Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, “Lihat pedang!” dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.
“Bagus!” Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
“Tranggggg...!”
Kedua belah pihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.
Mendadak Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah menjadi gulungan sinar perak yang sangat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan saja hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu lalu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
“Hebat...! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-gelengkan kepala saking kagumnya. “Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas...“
Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu, kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, “Siancai...!”
Kedua gulungan sinar itu tiba-tiba berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
“Sungguh hebat, pinto mengaku kalah.”
“Ah, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali, akan tetapi harus diakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, jika dibolehkan.”
Liang Sim Tosu sudah melangkah maju sambil mengeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun lalu membalas dengan penghormatan dan menjawab, “Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju.”
Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, “Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!”
Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan semakin lama semakin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.
“Bukan main...!” Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
“Cring-tranggg...!”
Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus akan tetapi luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan yang saling menggunting, namun kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya kedua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan…..
Komentar
Posting Komentar