JODOH RAJAWALI : JILID-14
Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat kedua mata Cui Lan menjadi
kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke
arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh
perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri-seri.
Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian
hebatnya.
“Ahhhhh...!” Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Meski ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya bisa membendung serangan lawan, namun karena memang kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
“Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah.” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. “Saya mengaku kalah.”
Liang Sim Tosu tersenyum lebar. “Bukan main... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi.”
Kini Sin-siauw Sengjin melangkah maju. “Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapa pun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hong-in Bun-hoat yang sudah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!”
Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat dari pada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
“Wah-wah-wah... kalau aku bisa mendapatkan suling itu...,“ terdengar Hwee Li berbisik.
“Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas?” Cui Lan mencela.
“Aihhh, kau mana tahu...“
Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika sekarang ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Namun kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke mana pun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
“Sekarang jagalah, Totiang!” Kakek tua renta itu berseru.
Kini nampak sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, kemudian menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Namun belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai cepat-cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai segera menjura penuh hormat. “Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah.”
Kakek itu tersenyum. “Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aslinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling kami adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan).”
Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, “Biar pun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu.” Semua orang makin kagum mendengar ini.
“Locianpwe, saya sudah menunggu!” Tiba-tiba terdengar suara bening yang melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, “Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah siap, majulah!”
Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, kemudian dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, “Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe suka mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak.”
“Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Sengjin dan Siluman Kecil.”
“Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!” kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. “Nah, maafkan aku!”
Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata, hanya tahu-tahu saja kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.
“Tringgggg...!”
Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas.
Memang hebat sekali kakek renta itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa memang Sin-siauw Sengjin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu semakin lama semakin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apa lagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung, namun belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, lalu terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untunglah Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga pada saat suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula.
Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Sengjin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, serta dahinya berkeringat dan napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
“Aku mengaku kalah... sekali... ini...“
“Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan...“
“Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!”
Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya yang dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tiada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Lagi pula, kakek itu memang benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pada pertandingan ketiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
“In-kong (Tuan Penolong)...!” Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan dibentangkan seperti orang hendak memeluk! Seorang gadis lain berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, “Ah, kau juga di sini, Nona?”
Melihat sikap Siluman Kecil itu seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya, sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, “In-kong... saya...“
Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.
“Hemmm...!” Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu.
Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tanpa disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
“Ahhhhh...!” Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
“Brettt...!”
Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia karena tidak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya. Dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.
“Laki-laki tak berperasaan!” Hwee Li memaki marah sambil memandang pada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang. Tadi ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenang, ”Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya.”
Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat didorongnya terbuka dengan mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. “Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?”
Hwee Li mencibirkan bibirnya. “Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kau kenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?”
“Ehhh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!” teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya menjadi panas, apa lagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnya dengan golok yang telah dicabutnya.
“Huhh, orang kasar!” Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis berpakaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, segera diikuti pula oleh ketua Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan. Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
“Berhenti semua! Jangan mendekat atau... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!” Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek ketua dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah turut menghadiri undangan Kui-liong-pang mewakili gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
“Siancai... di tempat begini ada maling!” Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
“Kau lepaskan dia...!” Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat “Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa jika aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!” Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
“Maling hina yang curang!” Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
“Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bisa bersikap tenang seperti seorang pendeta yang memiliki kedudukan tinggi?” Nona berpakaian serba merah itu mengejek. “Siluman Kecil, bagaimana?”
“Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kau curi itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!” ucapannya terdengar halus, akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan.
“Hi-hik, tentu saja. Dan agar kau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!”
Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia kemudian meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lalu lenyap ke dalam kegelapan malam.
“Aku akan segera ke sana!” Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
“Ihhhhh...!” Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu hanyalah sebuah kancing baju putih yang tahu-tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa!
“Siluman Kecil, aku dan Suhu menantimu di sana!”
Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, “Jangan bunuh orang... jangan lukai orang...!”
Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.
“Aihhhhhh...!” Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat.
Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan sekarang semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang.
Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu. Tiba-tiba terdengar Hwee Li menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam.
Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam tadi. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, “Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!” Begitu dia berkata ‘pergi’, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang sangat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan.
Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja oleh banyak orang, apa lagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar pun menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan.
Ayah bundanya sudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, malah kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apa lagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
“Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.”
Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan sehingga tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya.
Ada pun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mukjijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti.
Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai mau pun kipas dan kitab kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?
Hal ini akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan. Sabar ya…..
********************
Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa berlari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di suatu lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah sebuah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan, indah bukan main.
Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau oleh karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sengaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimana pun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini!
Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang secara mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tak membalas perasaan hatinya.
Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Sengjin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.
“Ihhhh...! Kau lagi...?!”
Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!
“Hemmm...“ Dia hanya menggumam.
“Hemmm apa? Kau adalah laki-laki tidak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!” Dara itu telah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. “Bocah lancang mulut, apa yang kau maksudkan itu?”
“Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya? Kau kira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?”
Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. “Yaaah, terserah. Sekarang cepat kau katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?”
“Maksudnya? Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lan. Kau tinggalkan gadis itu begitu saja, tidak tahu bahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau…, setelah kau jatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kau sia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?”
Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis yang bertolak pinggang itu, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguh pun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.
“Aku tidak mengejarmu, Nona.” Akhirnya dia berkata singkat.
“Dusta kau!” Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut.
Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata, “Nona, aku tidak ingin berkelahi!”
Akan tetapi Hwee Li tak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.
“Mau lari ke mana kau?” Hwee Li membentak dan mengejar.
Namun pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.
“Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!”
“Eh, Subo...!” Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.
Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi dari pada si dara galak, apa lagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.
Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga.
Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya dengan alis berkerut dan sinar mata yang tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigai dan memperhatikan semua gerak-geriknya.
Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.
Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun. Cepat dia memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.
“Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kau lupakan, ha-ha-ha!”
“Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang punya ilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah...!”
Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, “Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!”
Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, “Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!” Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.
Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, “Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubur dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.”
“Ahh, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,” kata wanita itu dengan sikap gembira.
Melihat sikap dan mendengar kata-kata ini Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya.
Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.
“Sumoi...!” Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
“Ahhh, Suheng, kau baru datang?” Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.
Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, “Sumoi, dia kulihat di luar dusun... sedang menuju ke sini... sendirian.”
Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, “Hemmm, tidak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapa pun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku.”
Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
“Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...“ Wanita itu memperkenalkan.
“Saya Ma Kok Ciang!”
“Saya Kam Seng!”
“Saya Kam Tiong!”
Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoi-nya menghadap ke arah Siluman Kecil.
“Sobat, Suheng-ku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?” Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.
“Namaku...? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,” jawabnya pendek.
“Ughhh-ukkkhhhhh!” Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang hanya dapat mereka lihat punggungnya.
Sedangkan wanita baju hijau dan suheng-nya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu saja.
Silumah Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. “Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!”
Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suheng-nya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.
Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
“Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya?” kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak.
Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang tiba tiba mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, “Saya... saya adalah pengusaha warung... harap maafkan... saya tidak lagi menangkap ikan...“
“Bohong!” Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan. “Siapa yang tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai? Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kau suruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kau suruh menjual kepada kami. Berani kau menyangkal?”
Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu. Tidak disangkanya bahwa Boan-wangwe, ‘raja’ kaum nelayan itu sedemikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. “Maaf... ampunkan saya... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...“
“Ha-ha-ha!” Sekarang Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. “Sudahlah! Sekarang kau keluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu.”
“Heiii, pelayan! Tambah araknya!” Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah olah dia sama sekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.
Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, lalu berdiri membongkok-bongkok dan berkata gugup, “Harap Cu-wi sudi memaafkan saya... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan... dan Cu-wi tidak usah membayar harga semua makanan dan minuman tadi...“
“Hemmm, apa artinya ini?” Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
“Maaf, Siauw-ya... warung ini... kini harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...“
“Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!” Pemuda asing itu membentak marah. “Hayo tambah lagi araknya!”
“Ba... baik...“ Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambil memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suheng-nya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini?
Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang ini telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan juga memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho.
Hartawan she Boan ini dikenal sebagai ‘raja’ kaum nelayan, dan ia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku demi untuk membantu segolongannya, tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang para kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.
“Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!” bentak Si Muka Hitam.
Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoi-nya masih enak-enak menggunakan sumpit dengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, “Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!”
“Keparat!” Si Muka Hitam membentak.
Dia merupakan salah seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.
“Plak-plakkk... aughhhhh...”
Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoi-nya yang seolah-olah tidak mempedulikan suheng-nya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga. Akan tetapi, sambil melanjutkan makan hidangan di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!
Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka.
Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang kini sudah menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya.
“Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!” katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar putar di depan dada.
“Suheng, jangan...!” Wanita baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biar pun dia mendengar seruan mencegah dari sumoi-nya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka saling beradu hingga berbunyi berkeretakan, mulut mereka pun mengeluarkan suara.
“Hu-hu-hu-huuu...,” dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.
“Huh!” Pemuda asing itu mendengus. “Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.”
Boan-wangwe sekarang mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yang aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya!
Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya. Tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwe-nya yang panjang!
“Wuuuttttt... singgggg...!”
Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
“Tranggggg!... Cringgggg...!”
Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampaklah api berhamburan. Keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak walau pun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka.
Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.
Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biar pun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.
“Hyaaaaattttt...!”
Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwe-nya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.
“Brettttt...!”
Untunglah dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.
“Awas, Suheng...!” Wanita baju hijau itu berseru.
Pemuda asing itu sudah waspada ketika dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.
“Tringgg... tarrrrr-tarrrrr!”
Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
“Suheng...!” Wanita baju hijau itu berteriak.
Dengan marah dia lalu meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat. Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.
“Tranggggg...!”
Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwe-nya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat dari pada suheng-nya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu lalu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil.
Wanita baju hijau terpaksa harus menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
“Ha-ha-ha, kini baru kalian tahu rasa!” Boan-wangwe tertawa bergelak. “Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha-ha!” Sekarang pergilah kalian ke neraka!”
Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdiri dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwe-nya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu!
Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.
“Plakkk...! Nyesssss...!”
Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
“Celaka...!” serunya dan dia cepat menoleh ke kiri.
Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah jadi pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!
Siapa pun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwe-nya sebagai sumpitan. Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.
Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.
Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sana sini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur di antara hujan peluru kecil itu. Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak.
Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!
Pada saat itu pula muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia sudah tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak.
“Hebat!” serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. “Ahh...!” Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
“Tahan...!” Laki-laki ini berseru, suaranya melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan mendadak badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya sudah habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali…..
“Ahhhhh...!” Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Meski ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya bisa membendung serangan lawan, namun karena memang kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
“Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah.” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. “Saya mengaku kalah.”
Liang Sim Tosu tersenyum lebar. “Bukan main... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi.”
Kini Sin-siauw Sengjin melangkah maju. “Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapa pun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hong-in Bun-hoat yang sudah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!”
Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat dari pada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
“Wah-wah-wah... kalau aku bisa mendapatkan suling itu...,“ terdengar Hwee Li berbisik.
“Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas?” Cui Lan mencela.
“Aihhh, kau mana tahu...“
Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika sekarang ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Namun kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke mana pun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
“Sekarang jagalah, Totiang!” Kakek tua renta itu berseru.
Kini nampak sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, kemudian menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Namun belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai cepat-cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai segera menjura penuh hormat. “Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah.”
Kakek itu tersenyum. “Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aslinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling kami adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan).”
Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, “Biar pun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu.” Semua orang makin kagum mendengar ini.
“Locianpwe, saya sudah menunggu!” Tiba-tiba terdengar suara bening yang melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, “Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah siap, majulah!”
Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, kemudian dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, “Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe suka mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak.”
“Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Sengjin dan Siluman Kecil.”
“Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!” kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. “Nah, maafkan aku!”
Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata, hanya tahu-tahu saja kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.
“Tringgggg...!”
Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas.
Memang hebat sekali kakek renta itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa memang Sin-siauw Sengjin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu semakin lama semakin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apa lagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung, namun belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, lalu terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untunglah Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga pada saat suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula.
Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Sengjin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, serta dahinya berkeringat dan napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
“Aku mengaku kalah... sekali... ini...“
“Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan...“
“Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!”
Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya yang dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tiada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Lagi pula, kakek itu memang benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pada pertandingan ketiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
“In-kong (Tuan Penolong)...!” Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan dibentangkan seperti orang hendak memeluk! Seorang gadis lain berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, “Ah, kau juga di sini, Nona?”
Melihat sikap Siluman Kecil itu seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya, sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, “In-kong... saya...“
Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.
“Hemmm...!” Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu.
Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tanpa disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
“Ahhhhh...!” Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
“Brettt...!”
Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia karena tidak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya. Dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.
“Laki-laki tak berperasaan!” Hwee Li memaki marah sambil memandang pada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang. Tadi ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenang, ”Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya.”
Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat didorongnya terbuka dengan mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. “Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?”
Hwee Li mencibirkan bibirnya. “Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kau kenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?”
“Ehhh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!” teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya menjadi panas, apa lagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnya dengan golok yang telah dicabutnya.
“Huhh, orang kasar!” Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis berpakaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, segera diikuti pula oleh ketua Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan. Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
“Berhenti semua! Jangan mendekat atau... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!” Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek ketua dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah turut menghadiri undangan Kui-liong-pang mewakili gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
“Siancai... di tempat begini ada maling!” Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
“Kau lepaskan dia...!” Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat “Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa jika aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!” Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
“Maling hina yang curang!” Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
“Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bisa bersikap tenang seperti seorang pendeta yang memiliki kedudukan tinggi?” Nona berpakaian serba merah itu mengejek. “Siluman Kecil, bagaimana?”
“Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kau curi itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!” ucapannya terdengar halus, akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan.
“Hi-hik, tentu saja. Dan agar kau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!”
Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia kemudian meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lalu lenyap ke dalam kegelapan malam.
“Aku akan segera ke sana!” Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
“Ihhhhh...!” Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu hanyalah sebuah kancing baju putih yang tahu-tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa!
“Siluman Kecil, aku dan Suhu menantimu di sana!”
Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, “Jangan bunuh orang... jangan lukai orang...!”
Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.
“Aihhhhhh...!” Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat.
Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan sekarang semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang.
Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu. Tiba-tiba terdengar Hwee Li menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam.
Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam tadi. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, “Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!” Begitu dia berkata ‘pergi’, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang sangat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan.
Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja oleh banyak orang, apa lagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar pun menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan.
Ayah bundanya sudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, malah kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apa lagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
“Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.”
Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan sehingga tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya.
Ada pun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mukjijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti.
Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai mau pun kipas dan kitab kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?
Hal ini akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan. Sabar ya…..
********************
Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa berlari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di suatu lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah sebuah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan, indah bukan main.
Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau oleh karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sengaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimana pun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini!
Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang secara mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tak membalas perasaan hatinya.
Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Sengjin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.
“Ihhhh...! Kau lagi...?!”
Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!
“Hemmm...“ Dia hanya menggumam.
“Hemmm apa? Kau adalah laki-laki tidak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!” Dara itu telah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. “Bocah lancang mulut, apa yang kau maksudkan itu?”
“Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya? Kau kira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?”
Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. “Yaaah, terserah. Sekarang cepat kau katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?”
“Maksudnya? Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lan. Kau tinggalkan gadis itu begitu saja, tidak tahu bahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau…, setelah kau jatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kau sia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?”
Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis yang bertolak pinggang itu, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguh pun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.
“Aku tidak mengejarmu, Nona.” Akhirnya dia berkata singkat.
“Dusta kau!” Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut.
Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata, “Nona, aku tidak ingin berkelahi!”
Akan tetapi Hwee Li tak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.
“Mau lari ke mana kau?” Hwee Li membentak dan mengejar.
Namun pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.
“Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!”
“Eh, Subo...!” Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.
Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi dari pada si dara galak, apa lagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.
Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga.
Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya dengan alis berkerut dan sinar mata yang tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigai dan memperhatikan semua gerak-geriknya.
Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.
Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun. Cepat dia memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.
“Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kau lupakan, ha-ha-ha!”
“Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang punya ilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah...!”
Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, “Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!”
Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, “Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!” Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.
Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, “Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubur dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.”
“Ahh, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,” kata wanita itu dengan sikap gembira.
Melihat sikap dan mendengar kata-kata ini Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya.
Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.
“Sumoi...!” Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
“Ahhh, Suheng, kau baru datang?” Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.
Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, “Sumoi, dia kulihat di luar dusun... sedang menuju ke sini... sendirian.”
Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, “Hemmm, tidak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapa pun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku.”
Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
“Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...“ Wanita itu memperkenalkan.
“Saya Ma Kok Ciang!”
“Saya Kam Seng!”
“Saya Kam Tiong!”
Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoi-nya menghadap ke arah Siluman Kecil.
“Sobat, Suheng-ku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?” Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.
“Namaku...? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,” jawabnya pendek.
“Ughhh-ukkkhhhhh!” Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang hanya dapat mereka lihat punggungnya.
Sedangkan wanita baju hijau dan suheng-nya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu saja.
Silumah Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. “Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!”
Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suheng-nya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.
Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
“Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya?” kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak.
Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang tiba tiba mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, “Saya... saya adalah pengusaha warung... harap maafkan... saya tidak lagi menangkap ikan...“
“Bohong!” Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan. “Siapa yang tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai? Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kau suruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kau suruh menjual kepada kami. Berani kau menyangkal?”
Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu. Tidak disangkanya bahwa Boan-wangwe, ‘raja’ kaum nelayan itu sedemikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. “Maaf... ampunkan saya... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...“
“Ha-ha-ha!” Sekarang Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. “Sudahlah! Sekarang kau keluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu.”
“Heiii, pelayan! Tambah araknya!” Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah olah dia sama sekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.
Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, lalu berdiri membongkok-bongkok dan berkata gugup, “Harap Cu-wi sudi memaafkan saya... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan... dan Cu-wi tidak usah membayar harga semua makanan dan minuman tadi...“
“Hemmm, apa artinya ini?” Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
“Maaf, Siauw-ya... warung ini... kini harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...“
“Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!” Pemuda asing itu membentak marah. “Hayo tambah lagi araknya!”
“Ba... baik...“ Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambil memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suheng-nya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini?
Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang ini telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan juga memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho.
Hartawan she Boan ini dikenal sebagai ‘raja’ kaum nelayan, dan ia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku demi untuk membantu segolongannya, tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang para kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.
“Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!” bentak Si Muka Hitam.
Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoi-nya masih enak-enak menggunakan sumpit dengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, “Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!”
“Keparat!” Si Muka Hitam membentak.
Dia merupakan salah seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.
“Plak-plakkk... aughhhhh...”
Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoi-nya yang seolah-olah tidak mempedulikan suheng-nya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga. Akan tetapi, sambil melanjutkan makan hidangan di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!
Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka.
Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang kini sudah menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya.
“Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!” katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar putar di depan dada.
“Suheng, jangan...!” Wanita baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biar pun dia mendengar seruan mencegah dari sumoi-nya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka saling beradu hingga berbunyi berkeretakan, mulut mereka pun mengeluarkan suara.
“Hu-hu-hu-huuu...,” dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.
“Huh!” Pemuda asing itu mendengus. “Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.”
Boan-wangwe sekarang mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yang aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya!
Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya. Tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwe-nya yang panjang!
“Wuuuttttt... singgggg...!”
Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
“Tranggggg!... Cringgggg...!”
Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampaklah api berhamburan. Keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak walau pun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka.
Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.
Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biar pun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.
“Hyaaaaattttt...!”
Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwe-nya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.
“Brettttt...!”
Untunglah dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.
“Awas, Suheng...!” Wanita baju hijau itu berseru.
Pemuda asing itu sudah waspada ketika dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.
“Tringgg... tarrrrr-tarrrrr!”
Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
“Suheng...!” Wanita baju hijau itu berteriak.
Dengan marah dia lalu meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat. Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.
“Tranggggg...!”
Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwe-nya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat dari pada suheng-nya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu lalu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil.
Wanita baju hijau terpaksa harus menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
“Ha-ha-ha, kini baru kalian tahu rasa!” Boan-wangwe tertawa bergelak. “Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha-ha!” Sekarang pergilah kalian ke neraka!”
Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdiri dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwe-nya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu!
Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.
“Plakkk...! Nyesssss...!”
Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
“Celaka...!” serunya dan dia cepat menoleh ke kiri.
Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah jadi pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!
Siapa pun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwe-nya sebagai sumpitan. Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.
Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.
Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sana sini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur di antara hujan peluru kecil itu. Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak.
Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!
Pada saat itu pula muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia sudah tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak.
“Hebat!” serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. “Ahh...!” Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
“Tahan...!” Laki-laki ini berseru, suaranya melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan mendadak badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya sudah habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali…..
Komentar
Posting Komentar