JODOH RAJAWALI : JILID-16


Pemuda tampan itu tertawa. “Nah, masih tidak percayakah kalian kepadaku? Kuda ini memang terlatih untuk menentang ditunggangi pria, akan tetapi ada rahasianya untuk menjinakkan dia dan aku mengenal rahasia itu. Sobat, marilah kita berangkat. A-cun, dan kau, Siauw-kai...“

“Nama saya Siauw-hong, Kongcu!” kata Siauw-hong, tidak senang disebut Siauw-kai (Pengemis Cilik). “Dan saya tidak pernah mengemis.”

“Ahhh, engkau seorang bocah aneh, tidak kalah anehnya dengan kuda ini dan sahabat itu!” Si pemuda tampan menunjuk ke arah Siluman Kecil yang sudah meloncat naik ke atas punggung si Putih. Dan memang benar kata-kata si pedagang kuda, Si Putih itu tenang-tenang saja ketika punggungnya ditunggangi oleh Siluman Kecil, seorang pria!

Mereka berempat lalu berangkat meninggalkan si tukang penjual kuda yang terus berdiri bengong, masih terheran-heran menyaksikan mereka. Baru hari itu dia memperoleh keuntungan besar di samping keheranannya bertemu dengan orang-orang yang begitu aneh. Si pengemis yang pandai menunggang kuda, si kongcu yang masih muda akan tetapi sudah putih semua rambutnya, dan si kongcu royal yang ternyata seorang ahli yang luar biasa dalam menaklukkan kuda hitam itu! Akhirnya dia menggeleng-geleng kepala dan berjalan masuk sambil menggenggam uang emas yang memenuhi saku bajunya.

Sementara itu, Siluman Kecil yang menunggang kuda si Putih menjalankan kudanya berendeng dengan pemuda tampan bernama Kang Swi yang menunggang kuda si Hitam. Mereka menjalankan kuda secara perlahan-lahan karena Siluman Kecil sedang melamun dan agaknya Kang Swi juga tidak tergesa-gesa. A-cun, kacung dari Kang Swi, dan Siauw-hong, menjalankan kuda di belakang mereka dan Siauw-hong kelihatan gembira sekali, sikapnya sama sekali tidak seperti seorang jembel biar pun pakaiannya tambal-tambalan, melainkan seperti seorang jenderal perang menunggang kuda dan memeriksa barisan!

Siluman Kecil mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan memutar otak, mencari-cari ke mana lenyapnya uangnya yang banyak itu. Sungguh memalukan, juga mengherankan. Dia bukan seorang anak kecil yang pelupa, bukan pula seorang yang lemah sehingga uang yang berada di dalam buntalan pakaiannya dapat lenyap begitu saja! Dia adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dijuluki orang Siluman Kecil, akan tetapi pada kenyataannya uangnya dicuri orang dari dalam buntalannya tanpa dia ketahui! Sungguh menggemaskan!

Dia mengepal tinju. Tanpa disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara, “Hemmmm!”

Terdengar suara tertawa ditahan dan ketika dia menoleh, dia melihat Kang Swi melirik ke arahnya sambil tersenyum-senyum, senyum yang kelihatan seperti orang mengejek.

“Huh, bocah ini sikapnya manja dan sombong bukan main!” pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia merasa tidak enak kalau memperlihatkan rasa gemasnya karena betapa pun juga, hartawan muda ini telah membelikan kuda untuknya dan Siauw-hong!

“Tidak mungkin uang itu lenyap begitu saja,” bisik hatinya dan kembali dia tenggelam dalam renungan.

Ketika dia membayar sepatu rumput, uang itu masih ada. Dia ingat benar. Dan sesudah itu, dia hanya berdekatan dengan si nenek penjual sepatu rumput yang agak tuli dan pengemis muda, Siauw-hong itu. Siau-whong tidak mungkin mengambil uangnya, biar pun dia tahu bahwa Siauw-hong juga bukan anak biasa, melainkan seorang anak yang memiliki kepandaian. Siauw-hong bukan pencuri uangnya. Anak ini kelihatan jujur dan tidak membawa apa-apa di dalam bajunya yang penuh tambalan itu, dan semenjak bertemu di tempat penjual sepatu rumput, anak ini tidak pernah berpisah dari sampingnya. Bukan, bukan Siauw-hong yang mencuri uang itu.

Kalau begitu, tidak ada orang lain, tentu si nenek itu! Si nenek yang mencurigakan sekali sekarang, sikapnya yang ramah dan aneh, bicaranya yang membujuk-bujuk, yang sering harus dia dekati karena tidak mendengar kata-katanya, gerak-geriknya yang aneh dan akhirnya nenek itu tadi menggulung tikarnya hendak kukut dan mengantar dia ke tempat pedagang kuda. Dan sekarang dia teringat betapa nenek itu kadang-kadang tidak mendengar omongannya, akan tetapi kadang-kadang seperti tidak tuli, sikapnya aneh dan penuh rahasia. Menjual sepatu rumput di luar kota, di jalan yang hanya dilalui orang-orang dusun yang tidak akan pernah mau membeli sepatu seperti itu, seolah-olah memang sengaja menghadangnya!

Teringat akan semua itu, tiba-tiba dia menghentikan kudanya.

“Ehh, ada apakah?”

“Saya harus kembali sebentar!” Siluman Kecil berkata.

“Hemmm, mau mencari uangmu yang hilang?” Kang Swi bertanya sambil tersenyum simpul. “Tak ada gunanya. Ke mana engkau hendak mencari uangmu itu di dunia yang begini luas?” Dia mengebutkan ujung bajunya dengan sikap agung-agungan.

“Siauw-hong, nenek itu!” Siluman Kecil menoleh kepada pengemis muda dan Siauw-hong juga mengangguk, seolah-olah baru ingat bahwa mungkin sekali uang majikannya itu dicuri oleh nenek penjual sepatu rumput yang aneh itu.

“Mungkin sekali, Taihiap!” kata Siauw-hong.

“Terlambat, Sobat!” kata kongcu tampan itu sambil menggerak-gerakkan cambuknya. “Dia sudah pergi. Bukankah kau maksudkan nenek si penjual sepatu rumput yang tuli itu? Lihat, sepatu yang dipakai A-cun itu adalah sepatu terakhir yang saya beli darinya,” katanya menunjuk ke belakang dan Siluman Kecil melihat sepatu rumput yang dipakai oleh kaki kacung itu.

Siluman Kecil memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada Kang Swi. Dia harus berhati-hati. Pemuda tampan ini tidak kalah anehnya dari pada si nenek penjual sepatu rumput! Seorang pemuda yang sikapnya begitu baik kepadanya, yang tahu segala!

“Hemmm, Saudara Kang, bagaimana kau tahu bahwa nenek itu yang kumaksudkan?”

Kang Swi tertawa. “Ha-ha, jangan kau memandang kepadaku seperti itu, Kawan! Aku menjadi takut karenanya! Kau memandang kepadaku seolah-olah akulah si pencuri uangmu itu! Tentu saja aku tahu. Begitu mudahnya! Jangan engkau memandang ringan kepadaku. Lihat, engkau memakai sepatu rumput yang baru, dan kau tadi menyebut nenek, maka setiap orang pun tentu akan dapat menduga nenek yang mana yang kau maksudkan,” jawabnya dengan sikap tenang sekali.

Siluman Kecil mengangguk-angguk. “Engkau sungguh cerdik.”

“Sama sekali tidak. Hanya aku menggunakan otak dan engkau yang terlalu memandang ringan kepadaku. Bukan hanya itu saja, aku pun dapat menduga siapa adanya engkau, Sahabatku!”

“Eh?” Siluman Kecil kembali menatap wajah tampan itu dengan tajam. “Siapa kiranya?”

“Aku berani bertaruh seribu tael bahwa engkau adalah pendekar yang dijuluki orang Siluman Kecil.”

Siluman Kecil cepat menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya yang putih itu sebagian menutupi mukanya. Dia terkejut dan tercengang. Benar-benar pemuda ini aneh dan cerdik bukan main. Dia harus berhati-hati!

“Bagaimana kau tahu? Menggunakan otak pula ataukah hanya kira-kira saja?”

“Aku tidak pernah mau bertindak ceroboh. Segalanya harus kupikirkan masak-masak baru aku berani mengambil kesimpulan. Dengar alasanku, Sobat. Aku sudah sering mendengar tentang Siluman Kecil, yang kabarnya masih muda akan tetapi rambutnya sudah putih semua. Sekarang, aku bertemu dengan engkau. Engkau masih muda, rambutmu seperti benang-benang perak, gerak-gerikmu penuh rahasia, dan Siauw-kai... ehhh, Siauw-hong itu menyebutmu Taihiap. Siapa lagi kau kalau bukan Siluman Kecil yang tersohor itu?”

“Saudara Kang Swi, engkau memang cerdik sekali,” Siluman Kecil kembali memuji. “Aku harus kembali dulu untuk mencari nenek itu.”

“Taihiap... hemmm, setelah benar bahwa engkau adalah Siluman Kecil, aku harus menyebutmu Taihiap! Taihiap, percuma saja kalau kau hendak mencari nenek itu.”

“Mengapa kau berkata demikian?”

“Seorang yang dapat mencuri uangmu tanpa kau ketahui, tentulah bukan orang yang sembarangan, dan dia tentu tahu bahwa dia telah mencuri uang dari Taihiap, maka setelah berhasil, apakah dia akan menanti di sana sampai Taihiap kembali ke sana dan menghajarnya? Kurasa dia tidaklah begitu bodoh, Taihiap, dan sekarang ini tentu dia sudah pergi jauh sekali, jauh dari kota An-yang. Mencari dia di sana sama dengan membuang-buang waktu, sedangkan kita harus cepat tiba di Ceng-couw karena besok ujian itu sudah dimulai!”

Siluman Kecil terpaksa membenarkan pendapat ini, tetapi mendengar ucapan terakhir itu dia berkata, “Aku tidak ingin mengikuti ujian itu.”

“Ahhh, tentu saja tidak. Mana mungkin seorang pendekar sakti seperti Taihiap hendak merendahkan dlri menjadi seorang pengawal? Akan tetapi, kurasa amat penting bagi Taihiap untuk pergi secepatnya ke Ceng-couw jika Taihiap hendak menyelidiki tentang lenyapnya uang Taihiap itu.”

“Ehhh?” Siluman Kecil memandang heran dan tidak mengerti.

“Taihiap, setiap orang yang memiliki kepandaian tentu akan tertarik oleh sayembara memasuki ujian pengawal itu, dan kurasa nenek tuli itu pun tidak terkecuali. Kurasa di Ceng-couw itulah satu-satunya tempat di mana Taihiap dapat mengharapkan untuk bertemu kembali dengan dia.”

Siluman Kecil mengangguk dan memandang kagum. “Kau benar, mari kita berangkat!”

Dan dia pun membedal kuda putih itu dengan cepat. Kongcu tampan itu tertawa dan membedal si Hitam untuk mengejar. Keduanya membalapkan dua ekor kuda itu sampai akhirnya mereka terpaksa berhenti dan menanti dua orang pelayan yang berteriak-teriak karena tertinggal jauh.

Ternyata kemudian oleh Siluman Kecil betapa menyenangkan melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda kaya yang royal itu. Mereka selalu makan di rumah makan besar dan kongcu itu memesan masakan-masakan yang termahal dan terbaik, bersikap royal sekali dan ternyata dia merupakan seorang dermawan besar. Setiap orang pengemis yang meminta selalu diberi uang yang tidak tanggung-tanggung banyaknya. Siauw-hong yang menjadi tukang kuda sampai mengacungkan jempolnya saking girang dan kagum terhadap Kang Swi.

“Kang-kongcu benar-benar seorang yang dermawan!” ia memuji. “Saya ikut menyatakan terima kasih atas kebaikan Kongcu terhadap para pengemis itu.”

Akan tetapi Kang Swi tersenyum dan tidak kelihatan bangga, malah menjawab, “Aku dapat mencari uang dengan mudah sekali. Begini banyak uang untuk aku sendiri apa gunanya? Lebih baik kubagi-bagi kepada mereka yang membutuhkan!”

Siluman Kecil merasa makin kagum terhadap teman seperjalanan yang amat aneh ini. Memang bocah itu manja dan agak sombong, pikirnya, tinggi hati dan penuh rahasia, akan tetapi harus diakuinya bahwa Yang Swi memang berwatak dermawan.

Yang amat kagum dan senang hatinya adalah Siauw-hong. Baru sekarang dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa di dunia ini banyak pula orang-orang yang berbaik hati. Dalam beberapa hari saja dia sudah bertemu dengan tiga orang yang selain gagah perkasa dan aneh, juga amat baik.

Pertama-tama dia bertemu dengan laki-laki berlengan sebelah yang menjamu para pengemis cilik dengan royal, kemudian ada Siluman Kecil yang telah tersohor sebagai seorang pendekar budiman, dan kini pemuda yang sikapnya penuh lagak dan agung-agungan ini ternyata lebih baik hati lagi.

Kota Ceng-couw di Propinsi Ho-nan hari itu kelihatan ramai sekali, jauh lebih ramai dari pada biasanya. Banyak orang luar kota membanjiri kota ini dan pagi-pagi sekali sudah banyak orang berduyun-duyun memasuki halaman yang luas di depan istana gubernur. Mereka semua ingin menonton ujian pemilihan calon pengawal dan prajurit.

Gubernur Ho-nan, yaitu Kui Cu Kam, tinggal di Lok-yang, yaitu kota yang menjadi ibu kota Ho-nan, tetapi dia mempunyai istana di Ceng-couw dan di kota inilah pemilihan prajurit itu diadakan. Seperti telah diketahui, Gubernur Ho-nan ini diam-diam memiliki keinginan untuk menanam kekuasaannya di Ho-nan, lepas dari kedaulatan kaisar.

Untuk keperluan ini, selain bersekongkol dengan semua pihak yang anti kerajaan, juga dia berusaha mengumpulkan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi sebanyak mungkin. Untuk keperluan itu pula maka dia lalu memerintahkan untuk mengadakan sayembara pemilihan calon pengawal di Ceng-couw itu dan untuk urusan ini, dia telah menugaskan kepada Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It, jagoannya yang terkenal lihai itu, untuk membantu pembesar di Ceng-couw dalam mengawasi jalannya sayembara atau ujian pemasukan pengawal itu.

Karena banyaknya tamu dari luar kota, bukan hanya mereka yang ingin memasuki sayembara akan tetapi juga mereka yang ingin menonton, maka kota Ceng-couw menjadi sibuk sekali. Semua rumah penginapan, besar kecil, penuh dengan tamu, juga semua warung makan penuh dengan tamu sehingga banyak penduduk kota Ceng-couw hari itu benar-benar mengalami panen besar!

Karena banyaknya orang-orang aneh, jagoan-jagoan kang-ouw, memasuki kota Ceng-couw di hari itu, maka munculnya Siluman Kecil dan Kang Swi bersama dua orang pembantu mereka, tidak begitu menyolok dan menarik perhatian banyak orang, meski pun dua ekor kuda mereka, si Hitam dan si Putih, menimbulkan kekaguman banyak orang, terutama mereka yang mengenal kuda baik.

Akan tetapi, Kang Swi sejak tadi bersungut-sungut dan marah-marah karena semua rumah penginapan telah penuh. Sukar bagi mereka untuk memperoleh kamar di rumah penginapan. Akhirnya Kang Swi turun tangan sendiri, tidak mengandalkan dua orang pelayan itu untuk menanyakan kamar di rumah penginapan. Dia mendatangi sebuah rumah penginapan yang besar dan langsung dia menemui pemilik rumah penginapan itu.

“Saudara Kang, bukankah tadi A-cun dan Siauw-hong sudah menanyakan dan di situ sudah penuh pula?” Siluman Kecil menegur temannya itu ketika mereka turun dari atas punggung kuda di depan sebuah rumah penginapan besar.

“Hemmm, ingin kulihat sendiri apakah benar-benar sudah penuh semua, Taihiap.”

“Sssttttt, harap Saudara Kang jangan menyebut aku Taihiap di tempat ramai ini, hal itu hanya akan menarik perhatian orang saja,“ Siluman Kecil berkata.

Kang Swi tersenyum, senyum pertama sejak dia merengut dan marah-marah karena belum memperoleh kamar tadi. Matanya lalu berkedip-kedip menggoda, “Kenapa sih? Bukankah Taihiap memang pendekar sakti yang terkenal itu?”

“Sudahlah, aku tidak ingin dikenal orang.”

“Kalau begitu, karena engkau lebih tua dari pada aku, aku akan menyebutmu Twako (Kakak), akan tetapi siapa namamu?”

“Kau boleh menyebutku Twako, dan aku...aku tidak punya nama.”

Kang Swi tertawa lagi. “Engkau sungguh seorang manusia aneh penuh rahasia, Twako. Nah, aku akan mencari kamar.” Dia lalu berjalan memasuki penginapan besar itu sambil membawa kantung uangnya. Tak lama kemudian keluarlah dia dengan wajah berseri.

“Aku berhasil mendapatkan sebuah kamar!” teriaknya.

“Ehh! Tadi saya sendiri yang menanyakan dan para pengurus itu bilang kamar telah penuh semua!” Siauw-hong berseru dengan penasaran.

“Tentu saja, memang penuh semua,” kata Kang Swi.

“Ehh, Kang-kongcu... kalau begitu...“ Siauw-hong berkata heran.

“Yang kusewa adalah kamarnya. Kamar pemilik rumah penginapan itu sendiri. Dia mau mengalah dan bersama isterinya dia rela tidur di gudang malam ini dan menyerahkan kamarnya untukku.” Dia tertawa dan sikapnya penuh lagak kemenangan.

Diam-diam Siluman Kecil dapat menduga. “Tentu dengan kekuasaan uang,” pikirnya. Entah berapa puluh kali lipat dari harga biasa pemuda royal ini menyewa kamar itu.

“Akan tetapi sayang, kamarnya hanya satu untukku sendiri, dan untuk kalian bertiga terpaksa aku menyewakan sebuah kandang kosong karena memang sudah tidak ada kamar kosong lagi. Maaf, Twako.”

“Hemmm...!” Siluman Kecil menggumam. “Di kandang atau di mana pun tidak ada bedanya bagiku.”

Pelayan muncul dan empat ekor kuda itu digiring ke kandang, juga tiga orang laki-laki itu. Kandang yang disulap menjadi kamar untuk mereka bertiga itu sudah dibersihkan dan lantainya ditutupi rumput kering. Bau rumput kering dan tahi kuda kering memang tidak begitu busuk, bahkan mempunyai kesedapan yang khas, akan tetapi tetap saja hati Siluman Kecil merasa mendongkol juga.

Kurang ajar, pikirnya. Sungguh sekali ini dia tidak dihargai orang sama sekali! Dia, yang di mana-mana disambut orang dengan penuh penghormatan, kini tidur di kandang kuda, sedangkan pemuda royal berpakaian mewah dan banyak uangnya itu tidur sendirian di dalam kamar besar! Kalau dilanjutkan begini, pada suatu hari aku tentu akan menampar kepala yang sombong itu, pikirnya. Dan hal itu amat tidak baik karena pemuda itu, betapa pun juga telah bersikap baik kepadanya, tidak sayang membelikan kuda untuk dia dan Siauw-hong dengan harga mahal.

“Aku harus cepat-cepat pergi menghindarinya,” katanya dalam hati.

Dengan hati mengkal Siluman Kecil meninggalkan A-cun dan Siauw-hong di dalam kandang kuda itu dan dia keluar. Malam gelap, langit hitam pekat, akan tetapi banyak lampu dipasang di sekitar penginapan itu. Siluman Kecil melangkah keluar dengan niat hendak mencari warung untuk makan dan minum arak menghangatkan badan, karena malam itu dingin sekali sehingga perutnya terasa amat lapar.

“Ahhh...“ Tiba-tiba dia mengeluh dalam hati dan merogoh semua saku bajunya untuk mencari kalau-kalau ada sisa uang di dalam salah saku bajunya. Namun percuma dan dia sudah menduganya. Semua sakunya kosong. Dia tidak mempunyai uang sepeser pun! Mana mungkin membeli makanan dan minuman? Mencuri? Mudah saja baginya, akan tetapi hal itu tidak sudi dia melakukannya. Minta? Hemmm, sedangkan seorang bocah jembel seperti Siauw-hong saja tidak sudi mengemis, apa lagi dia!

“Twako! Kau ada di sini?” Tiba-tiba terdengar teguran orang dan wajah Siluman Kecil bersungut-sungut di dalam gelap. Pemuda congkak itu sudah berada disampingnya sambil tersenyum-senyum, seolah-olah mengerti akan kesukarannya, yaitu ingin makan minum akan tetapi tidak mempunyai uang! Dia hanya mengangguk, tidak ingat bahwa di dalam kegelapan mungkin saja pemuda she Kang itu tidak dapat melihat jawabannya tanpa kata itu.

“Twako, mari kita mencari minuman!” Kang Swi berkata dengan nada suara gembira. Sebelum Siluman Kecil sempat menjawab, tangannya sudah digandeng dan ditarik oleh pemuda itu dan diajak memasuki sebuah warung arak yang berada di sebelah rumah penginapan.

Muka Siluman Kecil terasa panas. Untung bahwa waktu itu malam, maka penerangan lampu warung yang kemerahan menyembunyikan perubahan mukanya yang menjadi merah. Bagaimana dia dapat menolaknya biar pun hatinya merasa amat tidak enak? Pemuda ini boleh jadi congkak dan agung-agungan, akan tetapi harus diakuinya amat ramah dan akrab. Mereka memasuki warung itu dan memilih tempat duduk di sudut. Seperti biasa, secara royal sekali Kang Swi menanyakan masakan-masakan istimewa dari warung itu dan memesan macam-macam masakan dan arak yang paling baik!

Siluman Kecil diam-diam menegur diri sendiri, mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, melihat sikapnya yang demikian ramah, semua ketidak-senangan hatinya lenyap sama sekali! Malah dia mendapatkan dirinya makan minum dengan lahapnya, karena selain perutnya lapar, juga hawa yang dingin dan masakan yang lezat membuat dia menjadi seorang pelahap! Dan seperti biasa, yang diketahuinya semenjak dia melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda tampan ini makan sedikit sekali.

“Kenapa makanmu sedikit amat?” Dia pernah bertanya siang tadi.

“Habis, kalau sebegitu saja sudah kenyang, perlu apa banyak-banyak?” jawab yang ditanya.

“Pantas tubuhmu kecil!”

Dan sekarang, pemuda itu juga makan sedikit saja, biar pun hampir semua masakan dicobanya. Akan tetapi pemuda itu minum arak dengan lagak seorang jagoan minum.

“Agaknya engkau kuat minum arak, Kang-hiante,” berkata Siluman Kecil melihat wajah yang gembira itu.

Kang Swi tersenyum dan diam-diam Siluman Kecil harus mengakui bahwa pemuda ini memang tampan sekali. Kalau tersenyum tampak deretan gigi yang putih bersih, kecil dan rata. Mulutnya berbentuk indah. Seperti mulut wanita saja.

“Ah, kau kira hanya engkau yang kuat minum, Twako? Mari kita bertanding minum arak, agar diketahui siapa di antara kita yang lebih kuat.”

“Hmmm, engkau bisa mabuk nanti,” Siluman Kecil menjawab sambil tersenyum melihat lagak pemuda yang seperti anak-anak itu.

“Eh, ehh, engkau memandang rendah. Nah, mari kita coba. Berapa banyak pun engkau minum, akan kuimbangi, Twako!”

Siluman Kecil telah dapat menduga bahwa pemuda tampan ini memang bukan orang sembarangan, dan tentu memiliki kepandaian, akan tetapi karena sikapnya yang baik dan ramah, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus menguji kepandaiannya, biar pun dia ingin sekali tahu sampai di mana kelihaiannya. Maka sekarang dia memperoleh kesempatan untuk menguji kekuatan minum pemuda itu dan bagi seorang ahli silat tinggi hal ini sudah dapat dipakai ukuran akan kekuatan tenaga dalam seseorang.

“Baiklah, aku akan minum tiga cawan berturut-turut.” Siluman Kecil lalu minum tiga cawan arak berturut-turut.

Sambil tertawa dan dengan sikap memandang ringan, Kang Swi juga minum tiga cawan arak dan cara dia minum memang menunjukkan dia seorang ahli, sekali teguk saja setiap cawan lenyap memasuki perutnya yang kecil.

Siluman Kecil tersenyum. “Kau memang ahli minum,” katanya dan sekarang dia minum berturut-turut lima cawan arak! Lalu dia memandang kepada temannya itu yang juga tersenyum dan tanpa berkata apa-apa pemuda tampan itu lalu dengan gerakan tangan cepat sekali minum sampai tujuh cawan arak berturut-turut!

“Aku melebihi dua cawan, Twako,” katanya sambil tersenyum lebar.

Siluman Kecil terkejut juga. Gerakan tangan pemuda itu demikian cepatnya dan walau pun sudah menghabiskan tiga dan tujuh cawan arak, akan tetapi sedikit pun jari-jari tangannya tidak pernah kelihatan gemetar dan jari-jari tangan itu masih tetap tenang ketika meletakkan kembali cawan kosong di atas meja. Padahal dia yang baru minum delapan cawan sudah merasakan betapa hawa arak yang keras sudah naik ke dalam kepalanya yang tentu saja dapat ditekannya keluar dengan tenaga sinkang-nya. Dia memandang wajah yang tersenyum ramah itu. Tidak enak juga kalau sampai Kang Swi diujinya terus sehingga menjadi mabuk, pikirnya. Sekarang pun sudah jelas bahwa dugaannya tidak salah. Pemuda ini memiliki sinkang yang cukup kuat. Biarlah dia minum lima cawan lagi.

“Kau memang hebat,” katanya dan kini dia minum lagi lima cawan arak.

Akan tetapi Kang Swi memegang guci araknya. “Mengapa bersikap sungkan, Twako? Kita sama-sama kuat minum. Mari kita habiskan arak dari guci masing-masing.” Dan pemuda tampan itu lalu mengangkat guci araknya, menempelkan bibir guci di mulutnya yang dibuka, kepalanya ditengadahkan dan guci itu lalu dimiringkan, araknya dituang dan seperti pancuran memasuki mulutnya yang ternganga sampai habislah arak dari dalam guci itu. Ketika dia menaruh kembali guci kosong ke atas meja, jari-jari tangannya masih tidak gemetar sama sekali sungguh pun mukanya yang putih itu menjadi agak kemerahan dan kepalanya agak bergoyang-goyang!

Siluman Kecil terkejut. Dia sudah menduga bahwa pemuda tampan itu memang memiliki sinkang yang kuat, akan tetapi tidak disangkanya sedemikian kuatnya. Maka gembiralah hatinya karena ternyata teman seperjalanannya ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pun lalu minum semua arak dari gucinya.

Setelah kemasukan arak yang masing-masing tidak kurang dari tiga puluh cawan, Siluman Kecil melihat betapa wajah yang kemerahan itu makin berseri dan sikap Kang Swi makin gembira! Kiranya ada pula sedikit hawa arak mempengaruhi pemuda ini dan diam-diam Siluman Kecil merasa girang karena bagaimana pun juga dialah yang menang dalam pertandingan ini. Pemuda itu biar pun belum dapat dikatakan mabuk, akan tetapi caranya bicara dan tersenyum sudah lebih ringan dan lebih gembira dari biasa, tanda bahwa dia telah dipengaruhi hawa arak.

Mendadak pemuda itu tertawa sambil memandang keluar. Siluman Kecil juga lantas memandang dan ternyata yang ditertawakan oleh Kang Swi itu adalah seorang laki-laki yang jalannya pincang. Orang ini mukanya penuh dengan kumis dan cambang bauk, amat lebat hampir menyembunyikan semua mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Begitu masuk, orang ini lantas duduk di sudut bagian depan dan sama sekali tidak mempedulikan para tamu lainnya yang mulai berdatangan untuk makan malam. Kemudian, dengan gerak tangannya dia memanggil pelayan. Ketika pelayan itu sudah berdiri di depannya, si pincang itu membuat gerakan-gerakan tangan memesan nasi dan arak. Dari gerakannya dan dari suaranya yang hanya ah-ah-uh-uh itu tahulah Siluman Kecil bahwa orang itu, selain pincang, juga gagu.

“Heh-heh-heh!” Kang Swi tertawa-tawa melihat tingkah laku si gagu itu ketika memesan makanan dan minuman, membuat gerakan seperti orang sedang makan dan minum.

Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Bocah ini terlalu lancang dan sembrono, pikirnya, mentertawakan orang begitu saja, apa lagi cara tertawanya begitu terpingkal-pingkal seolah-olah pemuda tampan itu melihat suatu hal yang luar biasa lucunya. Padahal, apakah lucunya seorang gagu memesan makanan dan minuman? Tentu saja harus menggunakan gerak tangan!

“Hemmm, Hiante, jangan sembarangan mentertawakan orang!” tegurnya. “Apakah kau tidak melihat langkahnya tadi biar pun terpincang-pincang? Dan lihat sinar matanya! Hati-hatilah, jangan menghina orang, kurasa dia bukan orang sembarangan!”

“Ha-ha-ha!” kembali Kang Swi tertawa dan masih terdengar terkekeh biar pun dia sudah mendekap mulutnya. “Bagaimana tidak akan tertawa melihat yang selucu itu? Hi-hik, Twako... apakah kau tidak tahu, heh-heh...“ Kang Swi kembali tertawa dan menutupi mulutnya sambil memejamkan mata menahan kegeliannya.

Tangis dan tawa biasanya amat menular. Melihat Kang Swi tertawa terpingkal-pingkal seperti itu, biar pun dia sendiri masih belum mengerti apa yang ditertawakannya, tanpa disadarinya Siluman Kecil juga tersenyum dan ikut gembira. “Apa sih yang lucu?” dia bertanya, kini menjadi ingin sekali untuk mengetahuinya.

“Twako, hi-hik-hik aku tidak mentertawakan pincangnya atau gagunya, akan tetapi... heh-heh...“

“Ada apa sih?”

“Mungkin orang lain dapatlah dia kelabui, akan tetapi aku!” Kang Swi menepuk dada dengan lagak sombong. “Di depan hidung seorang ahli seperti aku dia berani main gila, ha-ha-ha! Kumisnya terlalu ke atas dan agak miring penempelannya, dan cambangnya terlalu penuh di bagian pipi kiri. Ha-ha-ha, kalau tidak pandai menyamar, permainan itu sungguh berbahaya!”

Pemuda ini terus tertawa ha-ha-hi-hi dan Siluman Kecil maklum bahwa biar pun tidak sampai mabuk, terlalu banyak arak itu membuat Kang Swi menjadi terlalu gembira sehingga dia khawatir kalau-kalau sampai menimbulkan persoalan. Betapa pun juga, dia kini memperhatikan orang itu dan setelah mendengar kata-kata Kang Swi tadi, dia baru dapat melihat hal-hal yang hanya dapat diketahui oleh seorang ahli itu. Dan agaknya, temannya ini benar! Mencurigakan sekali si pincang itu. Mendengar orang tertawa, si pincang menengok, akan tetapi karena terhalang oleh pilar dan pot bunga, dia tidak melihat Siluman Kecil dan Kang Swi.

Siluman Kecil juga terpaksa ikut tertawa, lalu bertanya lirih, “Apakah kau mengenal dia?”

Kang Swi menggeleng kepala sambil tersenyum-senyum, pringas-pringis seperti orang sinting. Melihat keadaan temannya ini, Siluman Kecil merasa khawatir kalau-kalau ulahnya yang biasanya memang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan itu kini ditambah oleh pengaruh arak akan menimbulkan keributan, maka dia lalu bangkit dan mengajak kembali ke rumah penginapan.

Kang Swi tidak membantah, dibayarnya harga makanan dengan royal, dan mengatakan bahwa uang kembalinya agar dibagi-bagi di antara para pelayan, kemudian dia berjalan bersama Siluman Kecil pergi meninggalkan warung, setelah sekali lagi tertawa ke arah si pincang, sedangkan Siluman Kecil menyembunyikan mukanya di balik rambutnya yang putih panjang.

Akan tetapi ketika mereka tiba di depan rumah penginapan, terdengar teriakan tertahan, “Siluman Kecil...!”

Siluman Kecil dan Kang Swi terkejut dan cepat menoleh. Mereka masih sempat melihat dua orang prajurit dengan mata terbelalak dan muka pucat melarikan diri tergesa-gesa dari situ, menyelinap di antara orang banyak.

Siluman Kecil menarik napas panjang dan berbisik, “Sungguh tidak enak sekali. Di sini banyak orang mengenalku.”

Kang Swi tersenyum. “Twako, agaknya di kota ini banyak terdapat orang-orang yang ketakutan melihat wajahmu yang tampan dan gagah...“

“Hemmm, tidak perlu mengejek!” Siluman Kecil menegur.

“Ahh, aku salah bicara. Mereka takut mendengar namamu yang tersohor.”

“Sudahlah, aku pun tidak mempunyai keperluan di sini. Malam ini aku akan pergi saja,” kata Siluman Kecil.

“Eh-ehh, apakah kau akan merelakan saja uangmu dibawa lari oleh nenek itu? Kurasa hanya di tempat keramaian besok sajalah kita dapat menemukan nenek itu.”

“Bukankah ujian sudah dimulai hari ini?”

“Tidak, sudah kuselidiki. Hari ini hanya diadakan pemilihan di antara para pelamar, pemilihan dari mereka yang berkepandaian tinggi untuk dipertandingkan besok, untuk memperebutkan kedudukan pengawal pribadi gubernur yang hanya akan dipilih tiga empat orang banyaknya. Selebihnya hanya akan diterima sebagai prajurit pengawal kalau memenuhi syarat. Jadi besoklah orang-orang kang-ouw akan bermunculan dan tentu kita akan dapat menemukan nenek itu.”

“Tetapi aku banyak dikenal orang, hanya akan menimbulkan keributan saja.” Siluman Kecil yang biasanya menyendiri itu merasa tidak enak kalau mengingat akan hal itu.

“Twako, Jangan khawatir. Aku tadi mentertawakan penyamaran konyol si pincang itu bukan karena sombong, tetapi karena aku benar-benar seorang ahli dalam mendandani orang. Kalau Twako besok kudandani, agaknya orang tuamu sendiri tidak akan dapat mengenalmu lagi, Twako. Dengan menyamar, Twako akan dapat menonton dengan leluasa, juga akan dapat mencari nenek penjual rumput itu.”

Siluman Kecil menghela napas. Dia merasa kalah bicara dengan pemuda lincah ini. “Baiklah...,“ katanya.

“Dan maafkan aku, Twako. Bukan sekali-kali maksudku untuk merendahkan Twako dengan menyewakan kandang kuda, akan tetapi apa boleh buat, kamar telah habis dan aku... sejak kecil aku tidak bisa tidur sekamar dengan orang lain. Ataukah Twako yang memakai kamarku itu dan biar aku tidur di luar saja?”

“Ahhh, tidak...! Jangan...! Pakailah kamar itu sendiri, aku sudah biasa tidur di alam terbuka. Akan tetapi sungguh mengherankan. Mengapa sih kau tidak bisa tidur berdua dengan orang lain dalam satu kamar?”

“Sudah sejak kecil... aku tidak bisa tidur kalau ada orang lain dalam kamarku.“

Siluman Kecil terseret oleh sikap dan keanehan temannya itu, maka dia lalu menggoda, “Hemmm, kalau begitu bagaimana kelak kalau kau kawin?”

“Ihhh! Twako sungguh ceriwis! Siapa yang mau kawin?” Setelah berkata demikian, Kang Swi berkelebat pergi, memasuki rumah penginapan dengan gerakan cepat.

Siluman Kecil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu seperti anak kecil saja. Siauw-hong agaknya lebih dewasa dari pada Kang Swi. Maka dia pun kemudian memasuki kandang kuda dari pintu pekarangan samping dan ternyata A-cun dan Siauw-hong sudah tidur. Siluman Kecil lalu duduk melakukan siulian dan ternyata enak mengaso di atas tumpukan rumput kering itu dan mendapatkan hembusan angin semilir yang lembut dan yang dapat memasuki kandang kuda…..

********************

Pada keesokan harinya, keadaan di kota Ceng-couw menjadi makin ramai. Memang keramaian sayembara itu terjadi pada hari ini, di mana para pelamar yang mempunyai kepandaian tinggi akan memperebutkan kedudukan pengawal-pengawal pribadi dari gubernur. Di antara ratusan orang pelamar, setelah diuji ketangkasan dan tenaganya kemarin, hanya ada belasan orang saja yang dicalonkan, dan tentu saja bagi mereka yang belum sempat diuji, kalau memiliki kepandaian, diperkenankan juga mengikuti pertandingan adu kepandaian itu.

Pekarangan yang merupakan alun-alun di depan istana gubernur sudah penuh dengan manusia yang ke semuanya mengelilingi sebuah panggung yang tinggi dan luas, yang sengaja dibangun untuk keperluan itu. Karena panggung itu tinggi, maka walau pun mereka yang kebagian tempat agak jauh pun dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di atas panggung. Dan di tempat duduk kehormatan yang berada di depan istana, duduklah Gubernur Ho-nan sendiri, yaitu Gubernur Kui Cu Kam, dikelilingi oleh para pengawalnya dengan ketat untuk menjaga keselamatan gubernur ini.

Sedangkan Cui-lo-mo Wan Lok It yang mengatur sayembara pemilihan pengawal itu, sejak kemarin sudah sibuk dan kini dia kadang-kadang kelihatan di dekat panggung, kadang-kadang tidak kelihatan karena si rambut merah dan pemabuk ini terkadang mengadakan perondaan sendiri untuk menjamin kelancaran pemilihan itu, juga harus menjaga keamanan gubernur yang kebetulan berkenan menyaksikan pula pemilihan calon pengawal-pengawalnya itu.

Setelah matahari naik tinggi dan Gubernur Kui Cu Kam telah duduk di tempatnya, bersama dengan para pembesar-pembesar dan para pembantunya, tambur dan canang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa sayembara akan dimulai. Seperti semut-semut yang sibuk, orang-orang yang menonton bergerak mendekati panggung.

Kang Swi yang sudah siap dengan dandanan ringkas dan dengan pedang di punggung, sejak tadi telah siap dan kini dia mendatangi kandang kuda bersama seorang kakek keriputan. Kakek tua ini bukan lain adalah Siluman Kecil yang telah ‘disulap’ menjadi kakek oleh tangan Kang Swi yang ternyata memang benar-benar pandai sekali merias penyamaran itu, dan ternyata pemuda tampan ini sudah membawa perlengkapan untuk merias dan membuat penyamaran-penyamaran. Ternyata bahwa dia memang benar seorang ahli, maka tidak mengherankan kalau dia dapat mengetahui penyamaran si pincang yang gagu itu dan mencela penyamarannya.

Siluman Kecil menjadi kagum bukan main ketika dia melihat bayangan wajahnya sendiri yang sudah berubah menjadi seorang kakek itu di dalam cermin. Dia memuji kelihaian Kang Swi akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.

“Sekarang kau tidak khawatir akan dikenal orang lagi, Twako, dan dengan leluasa kau dapat mencari nenek itu di antara penonton.”

A-cun, pelayan atau kacung pengiring Kang Swi, lama memandang dengan bengong terlongong kepada kakek tua yang datang bersama majikannya itu. Dia tidak berani bertanya kepada majikannya siapa adanya kakek itu, hanya dia merasa heran dari mana datangnya kakek itu yang memasuki kandang bersama majikannya.

“Ehh, A-cun, di mana adanya Siauw-hong?” tanya pemuda tampan itu ketika dia tidak melihat si pengemis muda di situ.

“Dia? Ahh, sejak tadi dia sudah pergi, Kongcu. Katanya dia hendak nonton keramaian.”

“Hemmm, kalau begitu engkau tinggallah di sini menjaga kuda-kuda kita, A-cun, kami hendak pergi nonton keramaian juga,” kata Kang Swi yang segera mengajak Siluman Kecil pergi. Kang Swi tidak lupa membawa pedangnya yang digantung di punggungnya sehingga dia kelihatan gagah sebab pagi hari itu dia mengenakan pakaian yang ringkas.

Setelah tiba di depan istana gubernur, ternyata di situ telah berkumpul banyak orang dan di atas panggung itu tengah terjadi pertandingan yang ramai, diikuti oleh sorak-sorai para penonton yang sudah terdengar dari tempat jauh. Siluman Kecil lalu memisahkan diri untuk mencari nenek pencuri uangnya dan mereka saling berjanji akan berjumpa kembali nanti di rumah penginapan. Kang Swi sendiri kemudian menyelinap di antara penonton untuk mendekati panggung.

Ternyata pertandingan di atas panggung telah selesai. Seorang yang bertubuh gemuk pendek dirobohkan oleh seorang pemuda tinggi kurus. Pemuda tinggi kurus ini memang istimewa sekali. Dia bukan merupakan seorang di antara para calon yang kemarin terpilih, melainkan seorang yang baru muncul di antara penonton. Akan tetapi secara berturut-turut dia telah mengalahkan sepuluh orang calon terpilih dan masing-masing dirobohkan dalam waktu belasan jurus saja!

Si gemuk pendek yang terakhir itu pun dirobohkannya dalam waktu sepuluh jurus, maka tentu saja kemenangan-kemenangannya disambut oleh sorak-sorai para penonton yang merasa kagum terhadap pemuda tinggi kurus berpakaian sederhana itu. Sekarang, atas perintah Ho-nan Ciu-lo-mo yang dapat menilai kepandaian orang, pemuda kurus itu dipersilakan untuk beristirahat lebih dulu. Pemuda itu mengangguk dan turun dari atas panggung, lenyap di antara para penonton.

Ketika Kang Swi tiba di dekat panggung, pemuda tinggi kurus itu sudah turun sehingga pemuda tampan dan royal ini tidak sempat melihat wajah pemuda yang sudah menang sepuluh kali itu. Kini pengatur pertandingan, seorang perwira tinggi besar dan tua, yaitu bukan lain adalah Su-ciangkun yang bernama Su Kiat, seorang di antara pengawal Gubernur Ho-nan, setelah menyuruh mundur pemuda tinggi kurus, lalu memanggil dengan suara nyaring nama seorang calon yang kemarin dipilih. Muncullah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang bertubuh kecil, yang muncul di panggung dengan muka agak pucat dan sikap yang sungkan dan jeri.

Memang hati si kecil ini sudah jeri ketika menyaksikan betapa selain para calon, ternyata di antara banyak penonton itu terdapat orang pandai seperti pemuda tinggi kurus tadi. Oleh karena itu, belum juga bertanding, hatinya sudah merasa jeri dan dia kehilangan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Dengan sikap sungkan-sungkan dan merendah dia lalu berdiri menanti di atas panggung, dengan kedua pundak ke muka sehingga tubuhnya kelihatan makin kecil lagi.

Sebuah nama dipanggil lagi dan muncullah orang kedua, juga seorang calon yang kemarin telah dipilih, yang mukanya kuning pucat dan mulutnya selalu tersenyum masam. Setelah diberi tanda oleh Perwira Su Kiat, mereka bergebrak dan bertanding. Akan tetapi, belum sampal dua puluh jurus, si kecil menang dan orang bermuka kuning pucat itu terlempar ke bawah panggung, disambut sorak-sorai penonton yang merasa kagum bahwa laki-laki yang pemalu dan bertubuh kecil itu ternyata lihai juga.

Berturut-turut maju sampai lima orang calon, akan tetapi semuanya dikalahkan oleh si kecil yang lihai dan yang kini mulai menemukan kembali kepercayaannya kepada diri sendiri setelah berturut-turut memperoleh kemenangan. Habislah semua calon yang terpilih kemarin.

“Kini kesempatan dibuka kembali kepada para orang gagah yang hadir di antara penonton dan yang belum sempat didaftar kemarin, untuk turut mengikuti sayembara pertandingan dan dipersilakan naik ke atas panggung!” kata Perwira Su Kiat dengan suaranya yang menggeledek.

“Biar saya mencobanya!” Terdengar jawaban yang tidak kalah nyaringnya dan dari bawah panggung melayanglah sesosok tubuh yang tinggi besar. Semua penonton tertegun ketika melihat seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kepalanya gundul, bukan gundul karena dicukur, melainkan memang gundul karena botak!

Dengan mulut menyeringai lebar, raksasa gundul ini menghampiri si kecil, lalu berkata, “Anak yang baik, lebih baik kau meloncat turun saja dengan tubuh utuh dan mengalah kepadaku.”

Biar pun tadinya si kecil ini merasa jeri, tetapi kini setelah memperoleh kemenangan berturut-turut selama lima kali, hatinya sudah menjadi besar dan tentu saja dia marah sekali mendengar dirinya disebut ‘anak yang baik’ oleh raksasa itu. Terdengar suara ketawa di antara para penonton mendengar ucapan itu dan si kecil menjadi merah mukanya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia lalu menyerang dengan pukulan kedua tangannya. Gerakannya memang gesit bukan main dan kemenangannya yang berturut turut tadi pun mengandalkan kegesitannya itulah.

“Buk! Buk! Buk!”

Secara bertubi-tubi dan cepat bukan main, dua tangan jagoan kecil itu telah melakukan pukulan, dan anehnya si raksasa gundul itu menerima semua pukulan yang tepat mengenai perut dan dadanya itu tanpa menangkis atau mengelak, seolah-olah semua pukulan itu tidak dirasakannya sama sekali! Dan memang semua pukulan si kecil itu seperti mengenai karet saja, membalik dan selagi si kecil terkejut setengah mati, tiba-tiba raksasa itu tertawa, tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu lantas saja menyambar.

“Plakkk!”

Sebuah tamparan mengenai bawah telinga si kecil dan dia mengeluh kemudian roboh pingsan! Tentu saja peristiwa mengejutkan ini disambut oleh sorak-sorai para penonton. Si kecil tadi demikian lihainya, akan tetapi dengan sekali tamparan saja dia roboh pingsan oleh raksasa gundul itu. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya si raksasa gundul ini! Dan tentu akan ramai sekali kalau raksasa gundul yang kebal ini diadu dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi.

Agaknya Perwira Su Kiat juga berpendapat demikian. Dia sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke arah menyelinapnya pemuda tinggi kurus tadi. Tetapi tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan seorang pemuda tampan telah melompat dengan gerakan indah dan ringan ke atas panggung, menghadapi si raksasa gundul.

Pemuda tampan ini tersenyum lebar dan memandang si raksasa dengan sinar mata berkilat. Di punggung pemuda ini kelihatan tergantung sebatang pedang dan pakaian pemuda ini biar pun ringkas namun amat perlente dan serba indah. Karena pemuda tampan ini berperawakan kecil ramping, maka berhadapan dengan raksasa gundul nampak perbedaan yang amat menyolok sekali. Yang satu kecil dan kelihatan halus lemah, sedangkan yang kedua tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat. Sungguh bukan merupakan lawan yang seimbang!

“Ha-ha, anak kecil mengapa ikut-ikutan dan ingin bertanding?”

“Lebih baik pulang, nanti dicari ibumu!”

“Belajar lagi sepuluh tahun baru datang ke sini!”

Teriakan-teriakan penonton yang dilontarkan kepada pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampan itu disambut oleh pemuda itu dengah senyum simpul. Pemuda ini bukan lain adalah Kang Swi, pemuda tampan royal yang datang bersama Siluman Kecil. Dengan sikap tenang Kang Swi melangkah maju menghadapi si raksasa gundul.

“Heh, kau anak kecil yang lebih pantas membaca kitab dari pada berada di sini!” Si gundul berteriak.

“Benar, turun saja!”

“Buat apa mengantar nyawa sia-sia!”

“Mati konyol nanti! Sayang ketampananmu!”

Kang Swi tersenyum. Senang hatinya. Dia merasa yakin akan dapat mengalahkan raksasa gundul ini, maka makin hebat orang mengkhawatirkan dirinya, makin baiklah karena kemenangannya nanti akan terasa lebih nikmat. Dia menjura keempat penjuru dengan lagak yang angkuh, sehingga Perwira Su Kiat yang juga memandang rendah pemuda remaja ini lalu berseru, “Hayo kalian berdua cepat memulai!”

Raksasa gundul itu kemudian melangkah maju. “Bocah sombong, biarlah kau boleh memukulku, tanpa kulawan pun engkau akan kalah dan kedua tanganmu akan patah patah dipakai memukul tubuhku.”

Banyak orang tertawa menyambut ucapan raksasa ini.

“Benarkah?” Kang Swi bertanya. “Hendak kucoba sampai di mana sih tebalnya kulitmu maka kau berani berkata demikian. Nah, coba kau terimalah ini!” Tangan kiri Kang Swi menyambar ke depan secara sembarangan.

“Syuuuttttt, plakkkkk!”

“Aughhh...!” Raksasa gundul itu jatuh berlutut dan kedua tangannya memegangi dada yang terkena tamparan Kang Swi.

Tangan pemuda halus itu rasanya seperti tusukan pedang tajam yang dapat menembus kekebalannya, dadanya terasa nyeri bukan main, panas dan perih. Semua penonton tadinya menyangka bahwa raksasa itu pura-pura saja untuk mempermainkan lawan, akan tetapi ketika mereka melihat wajah itu berkerut-merut menahan nyeri, kemudian muka raksasa itu menjadi merah dan matanya melotot marah, mereka terkejut dan terheran-heran. Benarkah tamparan yang perlahan itu membuat si raksasa yang kebal itu kesakitan?

Sikap raksasa gundul itu menjawab keraguan mereka ketika si raksasa mengeluarkan suara gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya yang tadi berlutut itu menerjang ke depan. Gerakannya seperti seekor singa marah menerkam kambing, kedua lengan yang panjang itu dikembangkan, jari-jari tangan membentuk cakar hendak menerkam, matanya melotot dan mulutnya terbuka mengerikan!

Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Kang Swi sudah meloncat ke samping tepat pada saat kedua tangan lawan sudah hampir dapat mencengkeramnya dan pada detik itu juga, kaki kanannya menendang ke arah lutut dan tangannya dengan jari terbuka menyambar ke arah lambung.

“Dukkk! Plakkk!”

Tak dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terjelungkup ke depan dengan terpaksa, dan hidungnya mencium lantai panggung sehingga ketika dia merangkak bangun, hidungnya berdarah dan mulutnya menyeringai karena selain lututnya terasa nyeri, juga lambungnya mendadak menjadi mulas! Akan tetapi, dia menjadi makin penasaran dan marah, apa lagi ketika mendengar para penonton bersorak riuh rendah.

Tadi, ketika raksasa itu jatuh berlutut, para penonton masih belum yakin benar akan kelihaian Kang Swi, akan tetapi robohnya raksasa itu untuk kedua kalinya, kelihatan jelas oleh para penonton sehingga meledaklah pujian mereka terhadap Kang Swi. Tidak mereka sangka bahwa pemuda tampan yang masih muda sekali itu demikian hebatnya, dengan mudah saja dalam dua gebrakan telah merobohkan raksasa itu dua kali!

“Arghhhhh...!” Seperti suara seekor singa menggereng, raksasa gundul itu menyerang dan kini serangannya itu merupakan serangan maut yang mengerikan karena dia bukan hanya menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi juga mempergunakan kepalanya yang gundul botak itu untuk menyeruduk ke arah dada Kang Swi!

“Hemmm...!” Kang Swi berseru mengejek dan tiba-tiba ketika dia menjejakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke atas dengan gerakan cepat tak terduga sehingga serangan si raksasa itu luput dan tubuhnya terhuyung ke depan. Kang Swi yang meloncat tinggi ke atas itu kini sudah meluncur turun sambil membalikkan tubuh dan kakinya menginjak tengkuk lawan sambil mengerahkan tenaganya.

“Hekkk!” Tubuh tinggi besar itu terdorong ke bawah dan karena tadi dia menggunakan tenaga untuk menyeruduk, maka begitu diinjak tengkuknya, tenaga serudukannya bertambah dan kepalanya kini menyeruduk ke bawah dengan kekuatan dahsyat.

“Brakkkkk...!”

Kepala itu menancap di lantai papan panggung, masuk sampai ke lehernya dan kedua kakinya bergerak-gerak di atas panggung! Terdengar suara ketawa di sana-sini dari mulut mereka yang suka akan tontonan yang menyeramkan, akan tetapi banyak pula yang meringis dan merasa ngeri, mengira bahwa kepala botak itu pecah atau paling tidak tentu akan robek-robek.

Kang Swi mendekati, kakinya menendang.

“Bukkk!”

Tubuh itu tercabut dan terlempar ke luar panggung, jatuh berdebuk di bawah panggung dalam keadaan pingsan, dirubung banyak orang dan mereka ini terheran-heran karena kepala botak itu sama sekali tidak terluka, sungguh pun orangnya pingsan. Maka meledaklah sorak dan pujian yang dilontarkan orang kepada Kang Swi.

Diam-diam Perwira Su Kiat terkejut sekali. Hari ini dia telah banyak sekali melihat orang yang kepandaiannya jauh melampaui tingkatnya! Apa lagi perwira ini, bahkan Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It sendiri yang merupakan jagoan kepercayaan Gubernur Ho-nan terkejut melihat kepandaian Kang Swi. Pemuda tampan itu benar-benar hebat, entah mana lebih lihai dibandingkan dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali pertandingan tadi.

Maka Ciu-lo-mo segera memberi isyarat kepada Su Kiat untuk memanggil pemuda tinggi kurus tadi, dan dia sendiri lalu duduk dan minum arak dari gucinya dengan hati penuh kegembiraan dan ketegangan hendak menyaksikan pertempuran yang tentu akan amat menarik antara kedua orang pemuda itu. Sementara itu, Gubernur Kui Cu Kam sendiri mengangguk-angguk dan memuji, dia merasa senang kalau mendapatkan seorang pengawal yang lihai dan tampan seperti Kang Swi itu.

“Orang muda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi, kini dipersilakan naik ke panggung!” Su Kiat berseru dengan suara lantang.

Dia harus mengulang panggilannya sampai tiga kali, barulah kelihatan pemuda tinggi kurus itu naik ke atas panggung. Sikapnya seperti orang yang amat ragu-ragu sehingga mengherankan hati semua orang. Apakah pemuda tinggi kurus itu takut melawan pemuda tampan yang telah mengalahkan si raksasa gundul itu?

Kang Swi sendiri terkejut dan terheran-heran ketika dia memandang wajah pemuda itu karena ternyata bahwa pemuda kurus itu bukan lain adalah tukang kudanya sendiri! Siauw-hong! Dia memang sudah menduga bahwa tukang kudanya itu adalah seorang pengemis muda yang memiliki kepandaian, akan tetapi sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa Siauw-hong yang hanya kebetulan saja bertemu dengan Siluman Kecil, kini ikut pula memasuki sayembara dan menurut ucapan perwira itu tadi telah menang sepuluh kali!

“Harap Ji-wi enghiong suka memperkenalkan kepada Taijin dan semua tamu yang terhormat!” terdengar Perwira Su Kiat yang mendapatkan isyarat dari Ciu-lo-mo berseru dari sudut panggung.

Siauw-hong dan Kang Swi segera menghadap ke arah tempat kehormatan, menjura ke arah para pembesar di situ dan terdengarlah Kang Swi berkata dengan suara lantang, “Hamba bernama Kang Swi!”

Siauw-hong juga menjura dan berkata, suaranya lirih, tidak selantang suara pemuda royal itu, “Hamba bernama Siauw-hong!”

Su Kiat lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. “Karena calon-calon lain sudah habis, maka untuk menentukan siapa pemenangnya, harap ji-wi enghiong suka mulai dengan pertandingan ini. Silakan!”

“Kongcu...“ Siauw-hong berkata sambil memandang kepada calon lawannya dengan sinar mata penuh keraguan.

“Hemmm, kiranya engkau, Siauw-hong?” Kang Swi berkata lirih.

“Benar, Kongcu”.

Kang Swi memandang kepada Siauw-hong dengan penuh perhatian dan diam-diam merasa tertarik sekali. Wajah itu kini tidak kotor seperti biasa, melainkan bersih dan pakaiannya, biar pun sederhana dan tidak mewah, namun rapi dan tiada tambalannya seperti kemarin. Wajah itu tampan sekali, biar pun agak kurus. Dipandang seperti itu, Siauw-hong merasa canggung dan malu.

“Harap maafkan, Kongcu, sebenarnya... saya sudah tamat belajar maka saya berhak menanggalkan pakaian pengemis itu. Saya… saya ingin mencari pengalaman, maka saya memasuki sayembara ini, tidak saya sangka akan berhadapan dengan Kongcu sebagai saingan.” Dia tersenyum, hanya sebentar saja senyumnya karena dia segera memandang dengan wajah serius kembali.

Kang Swi tertawa. “Bagus! Aku senang sekali kalau aku dapat menguji kepandaianmu, Siauw-hong. Marilah!”

“Silakan Kongcu mulai,” kata Siauw hong yang bersikap hormat dan merendah.

“Nah, jagalah seranganku!”

Kang Swi menerjang maju dengan cepat dan Siauw-hong juga sudah bergerak cepat sekali mengelak dan balas menyerang. Gerakan pemuda pengemis ini mantap dan cepat, dari lengannya menyambar hawa pukulan yang membuktikan bahwa dia telah memiliki kekuatan sinkang yang cukup hebat. Kang Swi si pemuda tampan yang royal itu terkejut bukan main karena baru terbuka matanya bahwa tukang kudanya itu, yang dianggap sebelumnya hanya pernah belajar silat saja, ternyata merupakan seorang ahli silat kelas tinggi! Apa lagi ketika Siaw-hong mainkan ilmu silat yang penuh mengandung serangan-serangan totokan maut amat aneh dan cepat, dia sampai terdesak mundur!

Akan tetapi, pemuda hartawan she Kang ini mempunyai semacam watak yang buruk, yaitu dia selalu terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga sedikit congkak dan memandang remeh kepandaian orang lain. Kini, biar pun sudah jelas padanya bahwa kepandaian Siauw-hong sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun dia bersikap sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi hendak menguji kepandaian orang yang lebih rendah tingkatnya, maka dia sengaja main mundur dan hendak ‘menguras’ kepandaian orang!

Karena kekurang hati-hatian yang timbul dari kecongkakan inilah, ketika dia menangkis sambil mengelak, tanpa dapat dicegahnya lagi lengan dekat sikunya kena tertotok dan hampir saja dia berteriak karena untuk beberapa detik lamanya, lengan yang tertotok itu menjadi lumpuh!

Namun, memang orang she Kang ini lihai bukan main. Tubuhnya sudah mencelat ke atas, tinggi sekali seperti seekor burung terbang, berjungkir balik sampai empat kali di udara dan ketika dia turun kembali, lengannya sudah sembuh dan kini baru dia tahu bahwa Siauw-hong benar-benar amat berbahaya kalau diberi kesempatan. Oleh karena itu, dia lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu simpanannya. Dari kedua tangannya yang terbuka itu menyambar hawa yang mengeluarkan suara bersuitan seperti gerakan sebatang pedang tajam. Siauw-hong berseru kaget dan cepat mengelak ke sana-sini.

Di bawah panggung, menyelinap di antara banyak orang, Siluman Kecil juga kagum sekali. Dia belum berhasil menemukan nenek penjual sepatu rumput yang dianggapnya mencuri uangnya itu, maka dia berkesempatan pula menonton pertandingan antara dua orang yang dikenalnya dengan baik itu, dan terkejutlah Siluman Kecil…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum