JODOH RAJAWALI : JILID-17


Perkiraan Siluman Kecil memang tidak salah. Siauw-hong terkejut setengah mati ketika melihat cara lawan menyerangnya. Hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bersuitan itu dan ketika dia memberanikan diri menangkis dengan pengerahan sinkang, lengan bajunya robek-robek bagai terbabat pedang dan kulit lengannya terluka berdarah seperti disayat pisau tajam! Tentu saja dia meloncat ke belakang dan menjura. “Saya mengaku kalah!”

Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It yang tadi pun menonton pertandingan itu, merasa kagum dan juga girang karena dua orang ini benar-benar patut untuk menjadi rekannya dan menjadi pengawal-pengawal pribadi Gubernur Ho-nan karena kepandaian mereka boleh diandalkan! Akan tetapi selagi dia ingin memanggil kedua orang itu untuk menghadap gubernur, kelihatan ada orang meloncat naik ke atas panggung. Melihat ini, Siauw-hong yang sudah merasa kalah itu segera mundur dan diajak turun oleh Ho-nan Ciu-lo-mo yang mempersilakan dia menanti di bawah panggung.

Sementara itu, ketika Kang Swi melihat siapa yang meloncat ke atas panggung untuk menghadapinya, dia tersenyum lebar. “Aihh, kiranya badut sandiwara itu yang muncul!” Dia mengejek, dan orang pincang yang gagu itu hanya memandang tajam, kemudian dengan gerak tangan dia menantang.

Para penonton yang berada di sekeliling panggung memandang heran, ada pula yang tertawa. Bagaimana orang bercambang bauk yang baru datang ini demikian berani mati? Mungkin juga pernah belajar ilmu silat, akan tetapi melihat bahwa dia hanya seorang gagu dan seorang yang kakinya pincang pula, mana mungkin dapat melawan pemuda tampan yang ternyata amat lihai itu?

Akan tetapi, Kang Swi yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kelihaian orang gagu dan pincang yang dia duga menyamar itu, tanpa membuang waktu segera menyambut tantangan dengan kata-kata nyaring, “Kau majulah!”

Si gagu sudah menerjang dengan pukulan sembarangan. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan yang berada di tempat itu, seperti Siauw-hong, Kang Swi sendiri, Ciu-lo-mo, Siluman Kecil dan orang-orang lain terkejut karena mereka ini maklum betapa di balik pukulan sembarangan itu tersembunyi hawa pukulan yang amat kuat.

Kang Swi yang menangkis pukulan itu segera mengetahuinya karena tangkisannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang-nya ternyata bertemu dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan yang membuat dia terhuyung! Marahlah pemuda tampan ini. Sambil berteriak keras dia menerjang, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan tadi.

Akan tetapi sekali ini dia sungguh-sungguh bertemu tanding. Biar pun si gagu itu tidak mengeluarkan ilmu-ilmu tertentu yang dapat dikenal orang, melainkan hanya bergerak sembarangan saja, bahkan gerakannya meniru gerakan lawan, namun tetap saja Kang Swi menjadl kewalahan! Pukulan-pukulannya dengan mudah dapat dielakkan atau ditangkis tanpa mengakibatkan apa-apa karena hawa pukulan mukjijat yang tajam itu ternyata lenyap ditelan hawa pukulan dari lawannya, bahkan beberapa kali dia dibuat terhuyung ke belakang, terpelanting ke samping atau hampir jatuh terjerumus ke depan. Seolah-olah dia tidak berdaya dan dipermainkan oleh serangkum tenaga dahsyat yang menguasainya.

Celakanya, secara aneh sekali tenaga si gagu itu kadang-kadang mengandung hawa panas membakar dan kadang-kadang dingin membekukan sehingga Kang Swi benar benar menjadi bingung dan penasaran. Karena jelas bahwa dia kalah angin, dan betapa pun dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya tetap saja dia terdesak, dia merasa tersinggung kehormatannya, maka Kang Swi meraba gagang pedangnya dengan maksud menggunakan senjatanya itu.

“Uh-uh-uhhh!” terdengar si gagu berseru keras dan tiba-tiba saja Kang Swi terpelanting roboh, dan dia hanya merasa betapa kakinya terangkat dan dia tidak dapat mencegah lagi tubuhnya terpelanting!

Sorak-sorai menyambut kemenangan si gagu ini. Akan tetapi Kang Swi menjadi amat marah. Dia meloncat bangun dan hendak mencabut pedangnya, akan tetapi ternyata Ho-nan Ciu-lo-mo telah berada di situ dan berkata, “Silakan Ji-wi ikut bersama kami menghadap gubernur!” Dan ternyata Siauw-hong juga sudah diajak oleh Wan Lok It ini. Sementara itu, Perwira Su Kiat mengumumkan bahwa kini telah terpilih tiga orang yang dianggap patut menjadi pengawal-pengawal pribadi di istana gubernur, yaitu yang pertama adalah si gagu, kedua adalah Kang Swi, dan ketiga adalah Siauw-hong.

Para penonton menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai memuji sedangkan tiga orang yang dipilih itu sudah diajak menghadap gubernur dan berlutut di depan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam yang merasa girang memperoleh tiga orang yang demikian gagah perkasa sehingga hal itu akan lebih memperkuat kedudukannya. Sang gubernur segera memuji-muji mereka bertiga dan menyatakan bahwa hari itu juga dia akan mengajak mereka bertiga kembali ke Lok-yang dan mereka itu langsung saja bertugas sebagai pengawal-pengawal istananya.

Perwira Su Kiat masih sibuk untuk mengadakan pemilihan calon-calon prajurit dan selagi para penonton masih memenuhi tempat itu, diam-diam Siluman Kecil menyelinap di antara banyak orang. Tidak ada orang yang menaruh curiga kepadanya. Siapa yang akan mencurigai seorang kakek sederhana dan biasa saja, seorang kakek yang menjadi seorang di antara ribuan orang penonton itu?

Siluman Kecil melihat seorang yang pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis menyelinap di antara banyak penonton dan hatinya tertarik sekali. Pengemis yang usianya setengah tua ini pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi bersih. Serupa benar dengan pakaian Siauw-hong sebelum pemuda itu berganti pakaian untuk mengikuti sayembara, sewaktu Siauw-hong masih menjadi seorang pengemis muda pula. Pakaian yang agaknya masih baru namun sudah penuh tambalan.

Lebih tertarik lagi hatinya pada saat dia melihat betapa ada seorang kakek, agaknya terus membayangi pengemis itu dan ternyata olehnya bahwa kakek ini adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang sudah dikenalnya. Siapa yang tidak mengenal jagoan Ho-nan itu? Tentu saja dia sudah mengenal baik Ho-nan Ciu-lo-mo, apa lagi pernah dia menjadi tamu kehormatan Gubernur Ho-nan ketika dia membersihkan Ho-nan dari para penjahat sehingga dia memperoleh kehormatan diterima sebagai tamu kehormatan oleh gubernur dan dia sekalian menitipkan Phang Cui Lan kepada sang gubernur.

Melihat betapa Ciu-lo-mo membayangi atau lebih tepat mengejar pengemis setengah tua itu, Siluman Kecil merasa tertarik sekali dan dia pun cepat membayangi mereka berdua. Dan benar saja dugaannya. Ketika pengemis setengah tua itu telah keluar dari pekarangan semacam alun-alun yang penuh dengan penonton itu, dan agaknya dia maklum bahwa dia dibayangi oleh Ciu-lo-mo, pengemis itu lalu melarikan diri dengan gerakan cepat sekali. Ciu-lo-mo juga cepat mengejarnya dan diam-diam Siluman Kecil yang masih menyamar sebagai seorang kakek itu pun mengejar dari jauh, ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan oleh Ciu-lo-mo terhadap pengemis itu.

Suasana di kota agak sunyi karena semua orang tertarik untuk menonton sayembara di depan istana, maka pengemis itu yang berlari cepat dikejar oleh Ciu-lo-mo juga dapat bergerak leluasa dan akhirnya yang berkejaran itu menuju ke pintu gerbang kota di sebelah utara. Pengemis itu ternyata dapat berlari cepat sekali sehingga sampai sekian lamanya belum juga Ciu-lo-mo mampu menyusulnya. Ketika melihat betapa pengemis itu akan lolos melalui pintu gerbang, Ciu-lo-mo cepat mengerahkan khikang-nya dan berteriak memberi perintah kepada para penjaga pintu gerbang untuk menutupkan pintu gerbang.

“Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan dia lolos...!” Suaranya menggema sampai jauh dan para penjaga pintu gerbang dapat mengenali suara Ciu-lo-mo. Apa lagi ketika para penjaga yang berjaga di menara pintu gerbang melihat dari atas betapa Ciu-lo-mo datang berlari dari jauh mengejar seorang pengemis yang juga berlari cepat sekali, mereka cepat-cepat memutar alat yang menggerakkan pintu gerbang itu. Pintu besi yang amat tebal dan berat itu bergerak perlahan dari kanan kiri, berderit-derit suaranya ketika bergerak di atas landasan besi.

Karena tergesa-gesa didorong oleh perintah Ciu-lo-mo, maka empat orang sekaligus maju memutar alat untuk menggerakkan daun pintu besi yang dua buah dan yang maju dari kanan kiri itu. Dua buah daun pintu itu sudah hampir tertutup, tinggal dua jengkal lagi ketika pengemis itu akhirnya tiba di sana. Empat orang penjaga menghadangnya dengan tombak di tangan, akan tetapi dengan beberapa kali gerakan kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri dan pengemis itu bagaikan burung terbang cepatnya sudah menerjang ke arah pintu yang masih dua jengkal terbuka. Dia menggunakan kedua tangan menahan dua buah daun pintu.

Terjadilah adu tenaga antara empat orang penjaga yang memutar alat penutup pintu dan si pengemis. Empat orang itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memutar alat yang tiba-tiba macet itu, akan tetapi sia-sia belaka. Dua orang penjaga maju lagi dan menyerang si pengemis yang mempertahankan daun pintu dengan golok, akan tetapi dua kali kaki pengemis itu menendang dan dua orang penjaga itu terlempar serta terbanting roboh. Kini pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menyelinap melalui renggangan yang sebetulnya terlalu kecil untuk dilalui tubuhnya itu. Ternyata dia telah mempergunakan ilmu Sia-kut-hoat yang amat hebat sehingga dia dengan mudah dapat menerobos celah dua daun pintu itu dan lolos ke luar dari pintu gerbang, tepat pada saat Ciu-lo-mo telah tiba di situ.

“Tolol! Buka pintu!” teriak Ciu-lo-mo ketika melihat daun pintu itu kini lantas tertutup setelah tidak ditahan lagi oleh tangan pengemis.

Mendengar bentakan ini, empat orang penjaga itu terkejut dan cepat memutar lagi alat pembuka daun pintu. Ciu-lo-mo lalu menerobos keluar dan melanjutkan pengejarannya. Para penjaga hanya melongo dan memandang dengan bingung ketika mereka melihat seorang kakek lain cepat berlari keluar dari pintu gerbang, tidak lama setelah Ciu-lo-mo lewat. Tentu saja kakek ini adalah Siluman Kecil yang terus saja membayangi mereka berdua.

Setelah keluar dari kota, kini pengemis itu berlari makin cepat lagi, akan tetapi Ciu-lo-mo yang merasa penasaran mengejar secepatnya sehingga setelah tiba di lereng bukit, dia hampir berhasil menyusul pengemis itu. Tiba-tiba pengemis itu berhenti, mengeluarkan busur dan meluncurkan anak panah yang meletus ketika melayang sampai di tempat yang tinggi. Itu adalah tanda rahasia dan tentu saja Ciu-lo-mo menjadi makin curiga.

Kiranya sekarang pengemis itu tidak lari lagi, bahkan menyambut kedatangan Ciu-lo-mo dengan sikap tenang. Mereka berhadapan dan Ciu-lo-mo membentak, “Mata-mata laknat! Engkau tentu seorang mata-mata, hayo cepat berlutut dan menyerah dengan baik-baik dari pada harus kupaksa dengan kekerasan!”

“Setan Arak, siapa yang takut kepadamu?” Pengemis setengah tua itu membentak.

“Mata-mata hina!” Ho-nan Ciu-lo-mo marah sekali dan guci arak di tangannya langsung menyambar ganas ke arah kepala pengemis itu.

Pengemis itu cepat mengelak dan balas menyerang dengan sebuah tongkat pendek yang ujungnya bercabang. Gerakannya gesit dan juga mengandung tenaga dahsyat maka cepat Ciu-lo-mo menangkis dengan guci araknya.

Tenaga mereka seimbang karena benturan dua macam senjata itu membuat keduanya terjengkang akan tetapi tidak sampai roboh. Melihat hal ini, Ciu-lo-mo tentu saja terkejut. Tak disangkanya bahwa pengemis itu demikian lihai, maka dia cepat menubruk dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan guci arak dan dengan tangan kirinya. Pengemis itu pun bergerak cepat, mengelak, menangkis dan balas menyerang. Kini terjadilah pertandingan yang seru, dan dari balik sebuah pohon yang besar, Siluman Kecil hanya menonton tanpa mencampuri pertandingan itu karena dia pun tidak mengenal siapa adanya pengemis setengah tua yang cukup lihai itu.

Tiba-tiba Ciu-lo-mo mengeluarkan suara melengking nyaring dan guci araknya menyambar dari bawah menghantam ke arah dada lawan. Serangan ini dahsyat sekali dan ketika pengemis itu menggerakkan tongkatnya untuk menangkis, dia terkejut bukan main melihat sinar keemasan menyambar ke arah mukanya. Itulah arak yang muncrat dari dalam guci, yang merupakan senjata rahasia yang amat aneh dan berbahaya.

“Ahhhhh...!” Pangemis itu menarik kepalanya ke belakang dan gerakan ini membuat tangkisannya menjadi kurang tepat.

“Trakkkkk...!”

Tongkatnya patah dan dia terlempar ke belakang. Akan tetapi dia cepat sudah meloncat bangun dan melempar diri ke kiri sehingga terhindar dari pukulan maut yang disusulkan oleh Ciu-lo-mo.

“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Pada saat itu Ciu-lo-mo kembali sudah menyerang, akan tetapi dia merasa betapa ada serangkum hawa yang amat kuat mendorongnya dari samping membuat dia hampir roboh dan cepat-cepat dia melompat ke belakang dengan kaget sekali, lalu mengangkat muka memandang.

Ternyata yang muncul adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, bersama seorang setengah tua yang juga bersikap gagah walau pun pakaian mereka sederhana. Siluman Kecil yang mengintai dari balik pohon, tadi kagum bukan main menyaksikan betapa kakek tua itu mendorong Ciu-lo-mo dari jarak cukup jauh menggunakan tenaga sinkang yang amat hebat, dan dia mengenali kakek ini sebagai kakek pembeli sepatu rumput dari nenek penjual sepatu rumput, kakek yang memimpin rombongan beberapa orang. Dia lalu menduga-duga, siapa gerangan kakek tua yang memiliki kepandaian tinggi ini.

Sementara itu, Ciu-lo-mo terkejut bukan main ketika dia mengenal laki-laki setengah tua, karena dia tahu bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Panglima Souw Kee An, komandan Pasukan Garuda yang dulu mengawal Pangeran Yung Hwa! Komandan yang lolos ketika dikepung dan telah terjerumus ke dalam selokan air di bawah tanah.

Dan kini komandan Souw Kee An datang bersama kakek tua yang kelihatan lihai ini, maka tentu saja dia menjadi gentar. Menghadapi pengemis itu saja, dia sudah merasa agak sukar memperoleh kemenangan, dan dia tahu bahwa kepandaian komandan Souw itu juga tinggi, setidaknya berimbang dengan dia. Padahal kakek yang tadi hampir merobohkannya dengan dorongan dari jarak jauh itu sudah jelas merupakan lawan yang amat berat.

Ciu-lo-mo tidak akan menjadi orang kepercayaan Gubernur Ho-nan kalau saja dia, di samping kepandaiannya yang tinggi, tidak cerdik pula. Dia tahu bahwa menggunakan kekerasan merupakan kebodohan, maka dia cepat menjura ke arah komandan Souw Kee An dan menebalkan muka berkata ramah, “Ahhh, kiranya Souw-ciangkun yang datang! Kalau Cu-wi ada keperluan dengan taijin, silakan menghadap selagi taijin masih berada di Ceng-couw. Saya tadi mengejar dia karena sikapnya mencurigakan dan saya mengira dia seorang mata-mata musuh.”

“Hemmm, memang dia mata-mata yang kami suruh menyelidiki ke Ceng-couw!” Tiba tiba kakek tinggi tegap yang gagah itu berkata, suaranya menggeledek dan penuh wibawa. “Dan memang kami ingin bicara dengan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam taijin. Akan tetapi kami tidak sudi memasuki perangkap yang kalian pasang di Ceng-couw, seperti yang telah kalian lakukan terhadap Pangeran Yung Hwa. Ciu-lo-mo, cepat kau sampaikan kepada Gubernur Kui, kalau dia ingin damai, dia harus menemui kami di sini, bukan di istananya. Kalau tidak, maka terpaksa kami akan menghancurkan istananya dan menangkapnya sebagai seorang tawanan pemberontak!”

Biar pun dia tidak berani memperlihatkan sikap secara berterang karena dia merasa kedudukannya saat itu kalah kuat, namun di dalam hatinya Ciu-lo-mo mengejek kata kata yang dianggapnya terlalu sombong ini. Tiga orang ini berada di wilayah Propinsi Ho-nan, akan tetapi berani mengeluarkan kata-kata sesombong itu!

Agaknya kakek tua itu dapat juga membaca isi hati Ciu-lo-mo, maka mendadak dia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa marah. Suaranya terdengar demikian keras sehingga bumi sekitar tempat itu seperti tergetar karenanya. Siluman Kecil sendiri yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi menjadi terkejut dan diam-diam dia kagum sekali, di dalam hati memuji kekuatan khikang kakek ini yang ternyata mahir ilmu Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa). Ilmu seperti ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan, sekali mengaum saja cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat dan wibawanya melebihi singa tulen yang kalau hendak menangkap mangsa didahului dengan auman yang cukup membikin pingsan atau lumpuh binatang yang akan menjadi korbannya.

Ciu-lo-mo juga kaget setengah mati, apa lagi ketika dia mendengar suara yang gegap gempita, suara banyak sekali orang dari balik bukit. Keringat dingin membasahi leher dan dahi jagoan Ho-nan itu karena dia mengerti apa artinya itu. Kiranya kakek luar biasa ini bukan hanya datang sendirian, melainkan membawa bala tentara yang entah berapa banyaknya!

“Di sana terdapat selaksa prajurit pilihan yang sudah siap untuk menghancurkan daerah ini dan menangkap Gubernur Ho-nan kalau dia tidak mau hadir di sini. Nah, cepat kau pergilah!” kata kakek itu dengan sikap penuh wibawa kepada Ciu-lo-mo.

Ciu-lo-mo bersikap hormat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kakek ini dapat memimpin pasukan yang begitu besar, tahu-tahu sudah memasuki Propinsi Ho-nan tanpa ada penjaga tapal batas yang datang memberi kabar. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek ini memang hebat luar biasa dan bahwa Propinsi Ho-nan terancam bahaya hebat. Dia menjura dengan hormat dan berkata, “Baiklah, saya akan menyampaikan pesan itu kepada Kui-taijin. Akan tetapi bolehkah saya mengetahui siapa gerangan Locianpwe, agar saya dapat memperkenalkan kepada Kui-taijin?”

Kakek itu tidak menjawab, bahkan memandang pun tidak kepada Ciu-lo-mo. Adalah komandan Souw Kee An yang menjawab, “Ketahuilah olehmu, Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It. Beliau ini adalah utusan yang dipercaya oleh Sri Baginda Kaisar untuk menuntut pertanggungan jawab Gubernur Ho-nan atas peristiwa yang terjadi di Ho-nan tempo hari. Dunia kang-ouw mengenal beliau sebagai Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Singa) dan secara tidak resmi seluruh perkumpulan kai-pang (persatuan kaum pengemis) memujanya sebagai seorang pemimpin dan pengawas.”

Siapakah sebenarnya kakek yang hebat ini? Memang kakek ini hanya terkenal di antara para tokoh dunia pengemis saja, sungguh pun dia tidak pernah berpakaian pengemis. Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan dianggap sebagai raja oleh seluruh pengemis yang bagaimana rendah sampai tinggi pun ini, dari yang lemah sampai yang sakti ini, sebenarnya bernama Yu Kong Tek dan memang nenek moyangnya dahulu merupakan tokoh-tokoh pengemis yang hebat-hebat. Yu Kong Tek ini masih keturunan dari Yu Jin Tianglo, ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal di jaman Suling Emas!

Yu Jin Tianglo mempunyai putera Yu Kang, kemudian Yu Kang mempunyai putera Yu Siang Ki yang menikah dengan Song Goat puteri seorang berilmu yang berjuluk Si Raja Obat (Yok-ong) dan kemudian suami isteri ini hidup sebagai orang-orang biasa dan membuka sebuah toko obat. Biar pun Yu Siang Ki sudah tidak mengurus perkumpulan pengemis, bahkan telah mengundurkan dlri dari dunia pengemis, namun dia selalu masih menghargai kedudukan nenek moyangnya. Oleh karena itu, turun-menurun keluarga Yu ini masih menggunakan tradisi nenek moyang mereka, yaitu di waktu muda mengembara sebagai seorang pengemis untuk menggembleng diri lahir batin!

Sampai kepada Kakek Yu Kong Tek, tokoh ini pun tidak pernah melupakan tradisi nenek moyangnya dan walau pun dia sekarang sebagai seorang kakek tidak lagi berpakaian pengemis, namun dia memakai julukan pengemis, yaitu Sai-cu Kai-ong! Dan biar pun dia tidak langsung menjadi raja pengemis, namun namanya dikenal dan dihormati oleh seluruh kaum pengemis, dari anggota terkecil sampai dengan para ketua perkumpulan yang berkepandaian tinggi.

Bagi para pembaca yang telah membaca cerita Suling Emas dan cerita Mutiara Hitam, tentu akan bertemu dengan nenek moyang Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek ini. Karena nenek moyangnya di pihak ayah adalah seorang ahli silat yang sakti, sedangkan dari pihak ibu adalah seorang ahli pengobatan, maka Yu Kong Tek ini selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga mahir ilmu pengobatan. Dia jarang muncul, namun akhirnya dapat menjadi kepercayaan kaisar karena komandan Souw Kee An yang memperkenalkan namanya kepada kaisar.

Semenjak istana ditinggalkan oleh Puteri Milana, kaisar kehilangan orang kepercayaan yang memiliki kesaktian, maka banyak ponggawa yang setia memperkenalkan banyak orang-orang pandai, akan tetapi Sai-cu Kai-ong memperoleh kepercayan kaisar dan dalam kesempatan ini kepandaian dan kesetiaan tokoh ini diuji oleh kaisar dengan mengutusnya untuk membereskan kekacauan di Ho-nan.

Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It tidak mengenal kakek ini. Tokoh Ho-nan berambut merah yang lihai ini hanya pernah mendengar bahwa di kalangan para pengemis terdapat seorang tokoh yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh para pengemis, yang besar sekali pengaruhnya secara turun-temurun dan ilmu silat keluarga tokoh ini kabarnya amat hebat, bahkan menurut dongeng, tidak kalah hebatnya oleh ilmu silat keluarga Suling Emas!

Menurut dongeng yang didengarnya, antara keluarga tokoh pengemis itu dan keluarga Suling Emas, dahulu, ratusan tahun yang lalu, memang terdapat hubungan yang amat erat, bagai keluarga saja. Seperti dikabarkan orang, ilmu keluarga Suling Emas katanya terjatuh ke tangan keluarga Pulau Es, dan ilmu keluarga pengemis aneh itu entah terjatuh ke tangan siapa. Apakah benar kakek ini keturunan dari keluarga pengemis aneh itu? Hatinya penuh ketegangan dan setelah memberi hormat dan berjanji akan menyampaikan semua kepada majikannya, Ciu-lo-mo lalu pergi meninggalkan mereka.

Setelah jagoan Ho-nan yang berambut kemerahan dan membawa guci arak itu pergi, pengemis setengah tua yang tadi bertanding melawan Ciu-lo-mo segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gagah itu. “Suhu!”

Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong itu memandang muridnya dan bertanya, “Bagai mana hasil penyelidikanmu?”

Pengemis setengah tua itu adalah murid pertama dari Sai-cu Kai-ong dan dia pun hanya menggunakan nama julukan saja, sungguh pun dia masih memperkenalkan she-nya (nama keturunannya), yaitu she Gu. Dia berjuluk Gu Sin-kai (Pengemis Sakti she Gu). Mendengar pertanyaan gurunya, Gu Sin-kai kemudian menceritakan tentang pemilihan pengawal yang diadakan oleh Gubernur Ho-nan, sampai dia dicurigai dan dikejar oleh Ho-nan Ciu-lo-mo tadi.

“Selain itu, teecu juga melihat suatu keanehan luar biasa, Suhu,” sambungnya. “Teecu melihat sute, akan tetapi sungguh mengherankan, teecu melihat bahwa sute memasuki sayembara pula dan dia berhasil dipilih sebagai pengawal gubernur tingkat ketiga, yaitu sesudah seorang pincang gagu dan seorang kongcu yang tampan.”

Dia kemudian menceritakan jalannya pertandingan pemilihan pengawal itu, dan Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya yang tebal.

“Ahhhhh...! Memang telah kuberitahukan bahwa dia telah tamat belajar dan dia sudah bebas untuk menjadi pengemis atau orang biasa, akan tetapi sungguh tidak kuduga mengapa dia mengangkat diri menjadi pengawal Gubernur Ho-nan yang tersesat itu!”

Siluman Kecil yang masih mengintai dan terus mendengarkan menjadi maklum bahwa ternyata Sai-cu Kai-ong yang gagah perkasa itu adalah guru dari Siauw-hong! Maka dia merasa tidak enak untuk mengintai terus, apa lagi ketika guru dan murid itu mulai membicarakan urusan mereka sendiri. Dia tidak perlu mendengarkan terus karena bagi dia masih banyak urusan menanti, yaitu mencari nenek pencuri dan kemudian mencari pencuri kitab-kitab pusaka Suling Emas. Maka keluarlah Siluman Kecil dari tempatnya bersembunyi dan dia berjalan pergi.

“Eh, apakah dia itu temanmu?” Tiba-tiba Sai-cu Kai-ong bertanya kepada Gu Sin-kai.

“Teecu tidak mengenal dia, tidak tahu pula bahwa dia berada di sini.”

“Ahhh...!” Sai-cu Kai-ong mengeluarkan suara gerengan seperti singa dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke depan.

Karena dia menaruh curiga kepada kakek yang diam-diam menyelinap pergi dari tempat persembunyiannya itu, langsung saja Sai-cu Kai-ong mengulurkan tangannya hendak mencengkeram pundak Siluman Kecil dan menangkapnya untuk diperiksa. Dia sedang memimpin pasukan dengan tugas amat penting dari kaisar, maka tentu saja kakek sakti itu harus bersikap waspada terhadap semua gerak-gerik musuh yang mungkin sudah menyebar banyak mata-mata, dan di antaranya barangkali adalah kakek yang hendak ditangkapnya itu.

“Wuuuttttt...!” Tangan Sai-cu Kai-ong seperti cakar singa yang menyambar, cepat dan kuat bukan main menuju ke pundak kiri Siluman Kecil.

“Plakkkkk!”

Tanpa menoleh, Siluman Kecil menggerakkan tangannya menangkis sehingga kedua tangan bertemu di udara. Keduanya tergetar dan Sai-cu Kai-ong yang tubuhnya masih melayang tadi, cepat berjungkir-balik dan turun ke atas tanah dengan mata terbelalak lebar! Sungguh tidak disangkanya bahwa orang itu mampu menangkis cengkeramannya dan bukan hanya mampu, bahkan dia merasa betapa lengannya tergetar hebat! Juga Siluman Kecil merasa lengannya tergetar, tanda bahwa Sai-cu Kai-ong memang benar seorang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali.

Sai-cu Kai-ong makin curiga. Orang yang dapat menangkis dengan kekuatan seperti itu, malah agaknya jauh lebih kuat dari pada Ciu-lo-mo tadi, tentulah seorang yang benar benar merupakan mata-mata pilihan dari Gubernur Ho-nan dan merupakan bahaya bagi tugasnya. Maka dengan cepat dia sudah menerjang lagi, kini menambah tenaga dalam gerakan tangannya. Di lain pihak, ketika tadi dia merasakan betapa lengannya sendiri tergetar hebat dalam pertemuan tangan tadi, Siluman Kecil menjadi gembira dan ingin sekali dia menguji kehebatan guru Siauw-hong itu. Maka ketika melihat kakek gagah itu menyerang dengan cepat dan kuat, dia pun segera bergerak mengelak dan lalu balas menyerang tidak kalah hebatnya.

“Plakkk! Plakkk!” Kembali ada pertemuan tenaga yang dahsyat melalui dua pasang telapak tangan dan keduanya terdorong mundur.

“Uhhhh...!” Sai-cu Kai-ong makin penasaran, mendengus keras dan menyerang lagi. Akan tetapi, Siluman Kecil sudah lenyap dari depannya seperti setan dan tahu-tahu telah menyerangnya dari atas, mencengkeram ke arah batok kepalanya.

“Hebat...!”

Sai-cu Kai-ong menggerakkan tubuhnya miring dan tangannya menyambar, yang dapat ditangkis oleh Siluman Kecil yang selanjutnya mengeluarkan ilmunya yang mukjijat, yaitu gerakan yang amat cepat seperti berkelebatnya kilat, seperti seekor burung yang beterbangan ke sana-sini dengan kecepatan yang menakjubkan. Namun, dia harus mengakui puka bahwa daya tahan kakek itu pun hebat sekali sehingga setelah dia berkelebatan dan bertanding sampai lima puluh jurus, barulah dia berhasil melubangi ujung lengan baju kakek itu.

“Bukan main...!” Sai-cu Kai-ong melompat ke belakang dan memeriksa lengan bajunya yang sudah bolong!

Kalau tidak menghadapinya sendiri tentu dia takkan percaya. Meski hanya merupakan kekalahan tipis saja, akan tetapi ternyata bahwa kakek di depannya ini sudah dapat mengalahkannya! Sungguh sukar dipercaya.

Tidak mungkin kiranya kalau Gubernur Ho-nan memiliki mata-mata yang seperti itu kepandaiannya, sedangkan orang kepercayaan gubernur itu saja, si Ciu-lo-mo, tingkat kepandaiannya baru setingkat dengan muridnya, Gu Sin-kai. Dan di lain pihak, Siluman Kecil juga kagum karena kembali dia dapat bertemu dengan seorang yang sakti! Kalau mereka berdua bertanding sungguh-sungguh, dia masih belum dapat memastikan apakah dia akan dapat mengalahkan kakek ini dengan mudah. Maka kini dia merasa ragu-ragu untuk maju, hanya menanti gerakan lawannya.

“Sabar, tahan dulu! Siapakah engkau dan mengapa engkau mengintai di sini?” tanya Sai-cu Kai-ong sambil memandang kakek di depannya itu penuh perhatian.

Siluman Kecil menjura dan menjawab, “Maaf, saya tidak sengaja mencampuri urusan Locianpwe. Saya kebetulan lewat, hanya orang lewat biasa saja... maaf.” Siluman Kecil menjura lagi dan memutar tubuhnya hendak pergi dari situ.

“Sahabat yang baik, tunggu dulu!” Sai-cu Kai-ong berseru. Kakek ini sungguh luar biasa, pikirnya, berwatak demikian sederhana dan merendah, kepandaiannya begitu tinggi namun masih menyebut dia ‘locianpwe’.

“Setelah kita bertemu di sini, setelah tanpa disengaja kita saling menguji kepandaian, apakah sahabat menganggap saya masih terlalu rendah untuk dijadikan kenalan? Saya disebut orang Sai-cu Kai-ong dan saya merasa kagum sekali kepadamu yang memiliki kepandaian hebat. Bolehkan saya mengetahui namamu yang terhormat?”

Siluman Kecil menggeleng kepalanya yang penuh rambut putih menutupi mukanya yang keriputan. “Saya tidak bernama...saya tidak mempunyai nama...“

Sai-cu Kai-ong tidak merasa heran mendengar ini. Dia maklum bahwa makin tinggi kepandaian orang, makin seganlah dia memperkenalkan namanya. Dia sendiri pun tidak pernah menyebutkan namanya sendiri dan membiarkan orang lain menamakannya. Tidak pernah nama aslinya, yaitu Yu Kong Tek, dikenal orang.

“Sahabat yang baik, biar pun engkau tidak sudi memperkenalkan nama, akan tetapi dengan hormat saya mengundangmu untuk menemani kami. Harap saja engkau orang tua tidak akan menolak undangan kami.”

Siluman Kecil sebetulnya tidak suka untuk berkenalan dengan orang banyak. Akan tetapi, mendengar tentang urusan Pangeran Yung Hwa tadi, dia merasa tertarik sekali dan sebetulnya ingin juga dia mengetahui bagaimana perkembangan urusan yang menyangkut diri pangeran itu, maka tanpa banyak cakap dia lalu mengangguk. Sai-cu Kai-ong girang sekali dan dia lalu bersama Siluman Kecil, diiringkan oleh Gu Sin-kai dan Panglima Souw Kee An, kembali ke perkemahan para pasukan di balik bukit, di mana dia menjamu Siluman Kecil dan bercakap-cakap tentang ilmu silat.

Makin gembiralah hati Sai-cu Kai-ong mendengar betapa tamunya itu ternyata luas sekali pengetahuannya tentang ilmu silat. Sebaliknya, Siluman Kecil terkejut ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa kakek gagah itu ternyata adalah keturunan dari para pendiri Khong-sim Kai-pang dan nenek moyangnya menjadi sahabat-sahabat baik dari keturunan Pendekar Sakti Suling Emas! Siluman Kecil mendengarkan pula penuturan tentang lenyapnya Pangeran Yung Hwa yang tadinya menjadi utusan kaisar, lenyap pada saat terjadi keributan besar di taman bunga istana Gubernur Ho-nan. Yang menceritakan urusan ini adalah Perwira Souw Kee An.

Menjelang sore hari itu, penjaga melaporkan bahwa di kejauhan muncul kurang lebih seribu orang prajurit dari Ho-nan dan utusan pasukan itu datang menyampaikan berita bahwa Gubernur Ho-nan telah datang untuk menemui pimpinan pasukan kota raja yang diutus oleh kaisar dan ingin bicara! Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk.

“Baik sekali kalau dia datang bicara,” katanya di hadapan Siluman Kecil, Souw Kee An, dan Gu Sin-kai. “Aku pun tidak akan merasa senang kalau harus menggempur Ho-nan dan mengorbankan banyak prajurit dan rakyat yang tidak berdosa.” Kakek gagah ini lalu memerintahkan penjaga untuk membawa utusan pasukan gubernur itu menghadap.

Setelah prajurit yang bermuka pucat itu menghadap, Sai-cu Kai-ong kemudian berkata, “Sampaikan kepada Gubernur Kui Cu Kam, bahkan saya akan menantinya di puncak bukit, dan saya mempersilakan dia datang tanpa pasukan, hanya bersama satu orang pengawal saja. Pergilah!”

Prajurit itu pergi dan Sai-cu Kai-ong berkata, “Sahabat yang baik, sekarang aku minta kepadamu untuk menemaniku menemui gubernur.”

“Baik, Kai-ong,” jawab Siluman Kecil. “Saya pun ingin sekali mendengar bagaimana nasib pangeran itu.” Siluman Kecil kini menyebut tuan rumah itu Kai-ong, karena Sai-cu Kai-ong menolak ketika disebutnya locianpwe. Sedangkan Saicu Kai-ong hanya menyebut Siluman Kecil ‘sahabat’ saja karena Siluman Kecil masih tetap berkeras tidak mau memperkenalkan namanya.

Berangkatlah dua orang itu ke puncak bukit. Dan mereka melihat bahwa dari depan, ada dua orang pula yang mendaki puncak bukit kecil itu dan ternyata mereka itu adalah Gubernur Kui Cu Kam sendiri yang dikawal oleh seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, kepalanya botak, mantelnya lebar dan berwarna merah darah, dan mulutnya selalu menyeringai lebar dengan lagaknya yang congkak. Orang ini bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang telah bersekutu dengan Gubernur Ho-nan!

Setelah empat orang ini saling berjumpa di puncak bukit itu, mereka tidak saling memberi hormat, melainkan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Akhirnya, Gubernur Ho-nan bertanya, “Menurut pelaporan Ciu-lo-mo, engkau mengundang kami datang ke sini. Apakah urusannya?”

Dari suaranya, jelas bahwa gubernur ini marah sekali karena sesungguhnya dia datang dengan terpaksa karena khawatir mendengar ancaman itu, bahwa kalau dia tidak mau datang maka Ho-nan akan diserbu. Menurut para penyelidiknya, memang ada sepuluh ribu orang prajurit kota raja siap di balik puncak bukit ini!

Sai-cu Kai-ong mengangguk dan berkata, “Gubernur Kui Cu Kam, kami memenuhi perintah kaisar untuk menuntut agar engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa dan memberi penjelasan akan sikapmu yang tidak layak itu!”

Suara Sai-cu Kai-ong menggeledek dan muka gubernur itu menjadi agak pucat. Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum mengejek dan memandang rendah, bahkan dia menggerak-gerakkan kakinya untuk menghilangkan lumpur dari bawah sepatunya pada sebongkah batu karang. Nampak bunga api berpijar ketika bawah sepatunya bertemu dengan batu karang dan ujung batu karang itu pun hancur lebur oleh injakan sepatunya yang dilapis tapal baja! Tentu saja suara tapal baja mengenai batu karang itu nyaring dan mengganggu dan memang inilah yang dimaksudkan oleh Ban Hwa Sengjin untuk memperlihatkan sikap bahwa dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dua orang kakek di depannya itu.

Gubernur Kui tersenyum dan matanya yang sipit menyambar penuh kecerdikan. “Kalau memang manusia she Hok dari Ho-pei itu sudah mengadu ke sana, penjelasan dari kami apa lagi artinya? Tentu keadaan yang sebenarnya sudah diputar balikkan oleh orang she Hok Gubernur Hopei itu. Di antara dia dan kami memang sudah lama ada pertikaian mengenai wilayah di perbatasan, dan pertikaian itu lalu meletus ketika dia mengantar Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar. Keributan antara dia dan kami serta para pembantu kami kedua pihak tak dapat dicegah lagi. Sudah tentu saja dia memutar balikkan kenyataan dan mendongeng di kota raja bahwa pihak kami sengaja hendak mencelakakan Pangeran Yung Hwa. Padahal, pihak orang she Hok itulah yang sengaja memancing timbulnya keributan di taman istana kami agar dapat menggunakan sebagai bahan fitnah.”

Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. Dia pribadi tentu saja tidak akan berpihak kepada Gubernur Ho-nan ini atau kepada Gubernur Ho-pei, dan dia tidak pula mengetahui apa urusannya antara mereka berdua. Tetapi sebagai utusan, ia hanya akan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

“Gubernur Kui, penjelasanmu tentu akan kami sampaikan kepada Sri Baginda Kaisar. Sekarang, kami harap engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa agar beliau dapat kembali ke kota raja bersama kami.”

Gubernur itu kembali tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Anggapan bahwa kami menangkap Pangeran Yung Hwa tentu timbul oleh karena fitnah yang dilontarkan oleh Gubernur Ho-pei itu. Padahal, kami hanya melindungi Pangeran Yung Hwa karena kami tahu bahwa pihak Ho-pei tentu berusaha sekuat mungkin untuk dapat membunuh pangeran itu sehingga kemudian kami pula yang akan dituduh sebagai pembunuhnya. Pangeran Yung Hwa kami lindungi dan dalam keadaan selamat. Tentu akan kami bebaskan dan setelah mendengar perjelasan kami ini, maka pengiriman pasukan dari kota raja itu sungguh tidak pada tempatnya dan harap sekarang juga ditarik mundur kembali.”

“Hemmm, mudah saja menarik mundur pasukan. Akan tetapi saya hanya akan menarik mundur pasukan kalau sudah melihat Pangeran Yung Hwa dibebaskan dan berada di antara kami.”

“Orang tua yang tinggi hati! Kami dengar bahwa engkau bukanlah seorang panglima, dan menurut Ciu-lo-mo, engkau hanyalah seorang kang-ouw yang mempunyai julukan Sai-cu Kai-ong.”

“Memang benar demikian,” jawab kakek itu tenang.

“Mengapa orang seperti engkau tidak mempercayai kami?” bentak gubernur itu, marah bukan main bahwa seorang ‘raja pengemis’ saja berani tidak percaya kepadanya.

“Tidak ada soal percaya atau tidak percaya, Kui-taijin. Kami hanya menjalankan tugas yang akan kami pertahankan sampai detik terakhir. Kami ulangi bahwa kami baru akan menarik mundur pasukan kalau Pangeran Yung Hwa sudah diserahkan kepada kami.”

Gubernur itu menoleh kepada Ban Hwa Sengjin dan sampai beberapa lamanya mereka bertemu pandang, kemudian Gubernur Kui berkata, “Baiklah, kau tunggu saja. Besok akan kami bebaskan Pangeran Yung Hwa. Hari sudah mulai gelap, kami akan kembali dulu.”

Setelah berkata demikian, gubernur itu mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin. Koksu dari Nepal yang bertubuh seperti raksasa itu lalu memondong tubuh Gubernur Kui, lalu dia berlari cepat sekali menuruni bukit itu. Gerakannya gesit dan larinya seperti terbang saja.

“Hemmm, raksasa itu lihai sekali dan gubernur itu amat cerdik,” kata Sai-cu Kai-ong dan Siluman Kecil mengangguk.

“Saya kira juga ada sesuatu yang direncanakannya,” kata Siluman Kecil.

Sai-cu Kai-ong mengajak Siluman Kecil kembali ke perkemahan dan dia mengadakan rapat kilat di antara para pembantunya. Semua pembantunya juga menyatakan rasa curiga mereka terhadap Gubernur Kui, maka akhirnya diambil keputusan bahwa Sai-cu Kai-ong sendiri, dibantu oleh Gu Sin-kai, pergi menyelidiki ke istana Gubernur Kui di Lok-yang dan atas permintaan Sai-cu Kai-ong, Siluman Kecil mau juga menemani mereka. Berangkatlah mereka bertiga pada malam hari itu juga menuju ke Lok-yang.

********************

Malam itu suasana sangat sunyi di istana gubernuran di kota Lok-yang. Karena menurut keterangan dari Ho-nan Ciu-lo-mo bahwa Gubernur Kui sedang sibuk dengan urusan penting dan belum sempat berbicara dengan tiga orang jagoan yang terpilih sebagai pengawal-pengawal pribadi, maka tiga orang yang memenangkan sayembara yang diadakan di Ceng-couw itu kini diserahi tugas menjaga keamanan di istana gubernuran, ditemani oleh Ciu-lo-mo sendiri.

Seperti diceritakan di bagian depan, yang memang dalam pertandingan itu adalah tiga orang, yaitu pertama adalah laki-laki pincang yang gagu, yang kedua adalah Kang Swi pemuda royal itu, dan ketiga adalah Siauw-hong, yaitu pengemis muda yang tadinya menjadi tukang kuda dari Kang Swi. Setelah menang dalam sayembara, Kang Swi lalu memberikan keempat ekor kudanya kepada A-cun, kacungnya itu, dan lalu menyuruh kacungnya itu pergi.

Kang Swi yang berwatak ugal-ugalan dan manja, juga agak angkuh itu, masih merasa penasaran karena dia hanya jatuh nomor dua, dinyatakan kalah oleh si pincang gagu! Padahal, siapakah si gagu itu? Orang yang sama sekali tidak punya nama! Benar-benar tidak punya nama karena si gagu itu tidak bisa menjawab ketika ditanyai namanya, dan ketika disuruh tuliskan namanya, dia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang goyangkan tangannya sebagai tanda bahwa dia tak dapat menulis. Pincang, gagu, dan buta huruf! Akan tetapi toh dianggap pengawal nomor satu dan dia berada di bawahnya!

Karena malam itu sunyi dan mereka menanti berita dari gubernur, maka mereka merasa kesal juga. Setelah makan malam, Ciu-lo-mo lalu mengajak mereka bermain kartu. Akan tetapi, dalam permainan ini pun si gagu amat bodoh dan sukar diajari sehingga Kang Swi merasa makin tidak senang.

“Aku berani bertaruh bahwa kumismu itu palsu, Gagu!” katanya.

Karena tidak punya nama, maka laki-laki pincang gagu yang menjadi yang nomor satu atau juara di antara tiga pengawal baru yang terpilih itu, disebut Gagu. Dan si Gagu ini biar pun tidak pandai bicara, rupanya dapat mengerti semua kata-kata orang yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi ternyata orangnya pendiam, sabar dan sama sekali tidak mau melayani terhadap goda-godaan dan gangguan-gangguan dari Kang Swi.

“Kang-sicu, harap kau suka hentikan godaan-godaanmu itu. Jangan sampai dia menjadi marah dan terjadi keributan antara engkau dan dia,” Ciu-lo-mo akhirnya menegur Kang Swi yang terus-menerus menggoda Gagu.

“Hemmm, kalau dia marah aku pun tidak takut,” kata Kang Swi.

“Bukan soal takut, akan tetapi kalau sampai terjadi keributan di sini, bukankah hal itu tidak baik sekali?” Ciu-lo-mo menasehatinya.

Akan tetapi, di dalam hatinya Kang Swi masih merasa penasaran dan marah karena dikalahkan oleh orang gagu dan pincang ini, maka dia tetap saja membantah. “Mana dia berani ribut-ribut? Akan kubuka kedoknya kalau dia ribut-ribut. Dia ini orang palsu, entah darimana dia. Kalau dia berani ribut, akan kuajak keluar dia dan dalam pertandingan sungguh-sungguh, tentu pedangku mampu membuka kedoknya!”

Ciu-lo-mo mengerutkan alisnya dan tiba-tiba si gagu menggebrak meja, lalu bangkit berdiri dan meninggalkan mereka bertiga. Kang Swi juga bangkit, akan tetapi Ciu-lo-mo berkata, “Kang-sicu, harap kau jangan mencari keributan di sini. Biarlah dia sendiri dan jangan mengganggu lagi!” Suaranya mulai terdengar keras hingga mau tidak mau Kang Swi menengok kepadanya.

“Apa yang dikatakan oleh Ciu-lo-mo memang benar, Kang-kongcu. Sebagai pengawal pengawal baru, sungguh tidak baik kalau membuat ribut-ribut. Kalau nanti taijin datang dan mendengar bahwa antara engkau dan si Gagu terjadi keributan, tentu beliau menjadi marah,” Siauw-hong juga membujuk Kang Swi.

Pemuda tampan ini mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah dia tidak takut akan semua akibatnya, akan tetapi akhirnya dia duduk kembali dan mereka bertiga melanjutkan permainan mereka tanpa mempedulikan si Gagu yang kelihatan berjalan-jalan perlahan seperti orang yang sedang meronda, memandang ke sana-sini dengan penuh perhatian. Ketika Ciu-lo-mo menoleh kepadanya, si Gagu lalu memberi isyarat dengan kedua tangannya bahwa dia hendak meronda dan berkeliling memeriksa istana itu untuk menjaga keamanan. Ciu-lo-mo dapat mengerti maksudnya, maka untuk mencegah agar jangan sampai si Gagu itu digoda terus oleh pemuda she Kang itu, dia mengangguk memberi ijin.

Mula-mula si Gagu meronda di dekat sekitar tempat itu dan masih kelihatan oleh tiga orang pengawal yang bermain kartu, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak lagi diperhatikan oleh tiga orang yang makin asyik bermain kartu setelah tidak ada gangguan dari si Gagu yang kurang pandai bermain, si Gagu menyelinap dan masuk ke bagian belakang dari istana itu. Dan begitu dia menyelinap masuk dan tidak nampak lagi oleh tiga orang itu, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dengan kecepatan luar biasa dia telah meloncat ke dalam taman dan mencari-cari! Agaknya dia tidak asing dengan tempat itu, buktinya dia berlari ke sana-sini dengan cepatnya dan akhirnya tibalah dia di tempat tahanan yang tersembunyi, yaitu di bagian ujung belakang istana. Dia melihat enam orang prajurit pengawal berjaga di luar sebuah kamar sambil bercakap-cakap. Si Gagu lalu keluar dari tempat sembunyinya, dan berjalan seenaknya menghampiri mereka.

Ketika melihat si Gagu, enam orang prajurit itu lalu cepat berdiri dan memberi hormat. Mereka tentu saja sudah mengenal si Gagu yang telah diperkenalkan kepada semua pasukan pengawal, bahkan tiga orang pengawal pribadi gubernur yang baru itu tadi menjadi bahan percakapan mereka, terutama si Gagu ini yang membuat mereka amat merasa kagum sekali. Pincang, gagu dan kabarnya buta huruf, akan tetapi memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga dapat mengalahkan semua peserta sayembara. Bahkan mereka mendengar bahwa tingkat kepandaian si Gagu ini kiranya masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Ciu-lo-mo sendiri.

“Selamat malam, Ciangkun!” kata mereka serentak, bingung harus menyebut apa kepada si Gagu yang tak bernama ini.

Si Gagu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, kemudian dengan tangannya dia menuding ke arah kamar dan menunjuk dada sendiri, lalu menunjuk dua orang di antara mereka. Dengan jelas dia memberi isyarat bahwa dia ingin memeriksa kamar itu dan minta agar ditemani oleh dua orang di antara mereka. Mereka saling pandang dengan ragu-ragu, akan tetapi karena si Gagu ini adalah orang baru yang menjadi pengawal pribadi gubernur, mereka tentu saja tidak berani membantah, apa lagi ada mereka di situ, dan si Gagu minta diantar oleh dua orang. Dua orang pengawal lalu mengantarnya membuka pintu kamar dengan kunci dan masuklah mereka bertiga.

Ternyata Pangeran Yung Hwa yang berada di dalam kamar itu, kamar yang cukup mewah dan indah, dan pangeran itu kelihatan sehat-sehat saja, bahkan ketika mereka memasuki kamar itu, pangeran yang muda itu sedang asyik membaca kitab. Ketika mendengar pintu dibuka, dia menoleh dan memandang tiga orang yang masuk itu dengan alis berkerut, kemudian Pangeran Yung Hwa membentak, “Mau apa kalian? Berani sekali masuk tanpa kupanggil!”

Dua orang pengawal itu menjura dengan hormat sekali. “Harap Paduka maafkan, Pangeran. Perwira... ehhh, Gagu yang baru saja diangkat menjadi pengawal ini...“

Tiba-tiba orang itu menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, berbareng dengan temannya dia sudah roboh pingsan karena ditotok dengan jari-jari tangan si Gagu di arah tengkuk mereka. Si Gagu cepat menyambar tubuh mereka agar tidak roboh.

Pangeran Yung Hwa tentu saja terkejut sekali, tetapi tiba-tiba orang yang dinamakan Gagu itu berkata lirih kepadanya, “Harap Paduka tenang saja, Pangeran. Saya datang untuk menolong Paduka keluar dari tempat tahanan ini.”

Ternyata si Gagu itu sama sekali tidak gagu! Bahkan dia dapat bicara dengan halus sekali.

“Akan tetapi...“ Pangeran Yung Hwa berkata dengan mata terbelalak, bingung dan juga curiga.

“Sssttttt...“ Si Gagu itu memberi tanda dengan jari di depan bibir, kemudian dia berjalan ke pintu, membuka pintu sedikit dan memberi isyarat kepada para penjaga di luar pintu agar dua di antara mereka masuk.

Dua orang pengawal bergegas masuk, tetapi begitu mereka samapi di dalam, sebelum mereka sempat berteriak, mereka sudah roboh oleh totokan si Gagu yang amat lihai. Kembali dia menjenguk keluar pintu dan dua orang penjaga lainnya dipanggilnya masuk dengan isyarat tangan, dan mereka ini pun dirobohkannya. Enam orang pengawal itu roboh semua dalam keadaan pingsan tertotok!

“Apa artinya ini?” Pangeran Yung Hwa bertanya sambil berdiri tegak dan memandang tajam kepada orang yang tidak dikenalnya itu.

“Maaf, Pangeran. Kiranya tidak banyak waktu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi saya datang untuk membebaskan Paduka...“

“Ahh, akan tetapi aku tidak ditahan! Aku malah dilindungi di sini.”

Si Gagu menjadi terkejut dan memandang heran. “Dilindungi?”

“Benar, Gubernur Ho-nan telah menyelamatkan aku dan melindungi aku dari ancaman Gubernur Ho-pei yang hendak memberontak! Aku tidak diperbolehkan kembali karena khawatir kalau tertimpa bencana, bahkan katanya sampai sekarang orang-orangnya Gubernur Ho-pei masih mencari-cariku. Dan kau... jangan-jangan... kau...“ Pangeran itu memandang tajam penuh kekhawatiran.

“Ahh, Paduka telah kena ditipu! Gubernur Ho-nan itulah yang akan memberontak! Saya mengalaminya sendiri, juga Gubernur Ho-pei hampir saja tewas! Percayalah kepada saya, Paduka, dan mari kita lari selagi masih ada waktu.”

“Hemmm, engkau orang aneh, aku tidak mengenalmu, akan tetapi... memang aku juga selalu curiga kepada Gubernur Ho-nan. Katanya aku selalu dilindungi dan dijaga, akan tetapi aku dilarang keluar dari kamar, seperti orang tahanan saja.”

“Memang Paduka ditawan..., marilah...“ Si Gagu lalu menggandeng tangan Pangeran Yung Hwa diajak lari keluar dari dalam kamar itu. Dengan cepat dia mengajak pangeran itu ke ruangan dalam dan dia mencari-cari jalan keluar yang paling aman.

“Sebaiknya kalau saya menyelidiki dulu keadaan di luar… harap Paduka menunggu...“ bisiknya dan dia lalu menghampiri jendela ruangan itu, menjenguk ke luar untuk melihat keadaan. Kemudian perlahan-lahan dia membuka pintu ruangan itu untuk meneliti keadaan di luar.

“Wuuuttttt...!”

Terkejutlah si Gagu ketika dia melihat ada bayangan orang menyambar turun dari atas genteng dan tahu-tahu orang itu telah tiba di depan pintu ruangan. Orang ini adalah seorang pengemis setengah tua. Si Gagu terkejut sekali melihat munculnya seorang yang berpakaian pengemis. Juga pengemis itu pun terkejut melihat seorang laki-laki bercambang bauk berada di dalam tempat itu bersama Pangeran Yung Hwa yang telah dikenalnya.

“Pangeran, harap Paduka tenang. Kami datang untuk menolong Paduka!” berkata si pengemis dan secepat kilat dia sudah menyerang si Gagu!

Tentu saja si Gagu terkejut dan dia pun cepat mengelak dan balas menyerang, karena dia sendiri tidak percaya bahwa pengemis ini datang untuk menolong Pangeran Yung Hwa. Keadaan negara sedang kacau dan banyak terdapat orang-orang yang berniat membantu pemberontak, maka dia tidak boleh percaya kepada siapa pun juga dalam hal menolong Pangeran Yung Hwa ini.

Pengemis setengah tua itu bukan lain adalah Gu Sin-kai, murid dari Sai-cu Kai-ong yang datang ke istana itu bersama gurunya dan Siluman Kecil. Mereka bertiga sedang melakukan penyelidikan secara berpencar untuk mencari tempat ditahannya Pangeran Yung Hwa dan kebetulan sekali Gu Sin-kai melihat si Gagu bersama Pangeran Yung Hwa di dalam ruangan itu. Tentu saja Gu Sin-kai menganggap si Gagu itu adalah orangnya gubernur dan langsung saja dia menyerangnya. Terjadilah pertempuran di dalam ruangan itu.

Pangeran Yung Hwa sendiri hanya menonton saja dengan bingung. Dua orang yang saling hantam ini keduanya mengaku datang hendak menolongnya, akan tetapi kedua duanya tidak dia kenal, maka tentu saja dia tidak tahu harus percaya dan membantu yang mana. Karena itulah maka dia diam saja dan hanya menanti perkembangan selanjutnya.

Tetapi ternyata kepandaian si Gagu terlalu tinggi bagi Gu Sin-kai dan dalam belasan jurus saja Gu Sin-kai sudah terdesak hebat sekali sampai beberapa kali terhuyung dan nyaris roboh. Baiknya bagi pengemis ini adalah kenyataannya bahwa si Gagu tidak mau menurunkan tangan besi, karena kalau demikian, kiranya pengemis itu sudah roboh sejak tadi.

Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, “Muridku, mundurlah kau!”

Dari luar menerjang masuk seorang kakek yang gagah perkasa, yang datang-datang terus menerjang si Gagu dengan pukulan yang mendatangkan angin bersuitan saking kuatnya tenaga sinkang yang terkandung di dalamnya. Gu Sin-kai cepat melompat mundur dan hatinya girang melihat kedatangan gurunya, yaitu Saicu Kai-ong.

Seorang kakek lain yang sebenarnya adalah penyamaran Siluman Keciil, juga sudah tiba di situ dan Siluman Kecil hanya menonton saja pada saat melihat Sai-cu Kai-ong bertanding melawan laki-laki penuh cambang bauk itu. Tidak perlu membantu seorang yang sakti seperti Sai-cu Kai-ong, pikirnya dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menandingi kakek itu.

Akan tetapi, makin lama dia menjadi makin terheran-heran dan memandang dengan mata terbelalak kaget dan kagum ketika dia melihat betapa lawan Sai-cu Kai-ong itu ternyata memiliki gerakan yang cepat dan hebat bukan main! Tentu saja Sai-cu Kai-ong sendiri merasa terkejut ketika tangkisan lengan lawannya itu membuat dia terhuyung ke belakang. Dia menjadi penasaran dan menubruk dengan pengerahan tenaga dahsyat karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini agar dapat menolong Pangeran Yung Hwa.

“Desssss...!”

Pertemuan tenaga itu amat hebatnya dan akibatnya tubuh Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan ia harus berjungkir-balik beberapa kali baru dapat berdiri dan memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak. Kemudian dia menerjang lagi dan kali ini Siluman Kecil yang menjadi bengong. Orang itu ternyata dapat melancarkan pukulan pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang dari Pulau Es!

“Keparat!” bentaknya.

Ketika Sai-cu Kai-ong terdorong mundur lagi dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan, Siluman Kecil sudah menerjang ke depan, disambut oleh si Gagu dengan sama kuatnya. Keduanya terkejut karena ternyata serangan mereka dapat dielakkan oleh lawan dengan mudah. Melihat kesaktian lawannya, Siluman Kecil langsung saja mengeluarkan ilmunya, ilmu yang hebat, yaitu ilmu gerak kilat yang diberi nama Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan). Hebat bukan main pertandingan itu. Tubuh Siluman Kecil mencelat ke sana-sini, namun sungguh tidak mudah baginya untuk dapat mengalahkan si Gagu yang ternyata benar-benar sakti dan menyimpan banyak ilmu ilmu mukjijat dan sakti itu.

Sai-cu Kai-ong yang berdiri menonton berkali-kali menggelengkan kepalanya. Baru sekarang ini selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang seperti ini hebatnya. Dia seorang sakti, keturunan dari keluarga yang gagah perkasa, namun pandang matanya sampai menjadi kabur ketika dia menyaksikan kakek berambut putih itu bertanding melawan laki-laki bercambang bauk. Sukar mengatakan siapa yang terdesak karena keduanya berkelebatan seperti dua ekor burung garuda bertanding di angkasa.

Di seluruh ruangan itu menyambar-nyambar angin pukulan yang bercampur aduk, sebentar panas kemudian sebentar dingin sehingga Pangeran Yung Hwa sendiri sudah bersembunyi di balik meja di sudut ruangan karena tidak tahan menghadapi sambaran sambaran angin itu. Kulit mukanya terasa sakit semua dilanda hawa yang amat panas dan kadang-kadang berubah amat dingin itu, bahkan Gu Sin-kai sendiri juga sudah menjauh sampai mepet dinding ruangan.

Si Gagu agaknya merasa penasaran bukan main. Selama ini, dia hanya mengeluarkan sebagian kecil saja kepandaiannya untuk melayani musuh, akan tetapi sekarang ini, biar pun dia sudah mengeluarkan semua ilmu simpanannya, dia masih tidak mampu menang, bahkan mulai terdesak karena gerakan kilat lawannya benar-benar amat hebat. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangannya, lalu memukul dengan dorongan kuat.

Siluman Kecil terkejut bukan main. Dia tahu bahwa pukulan lawannya itu merupakan pukulan maut yang amat hebat, maka dia pun lalu menerimanya dengan dua tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti yang selama ini dilatihnya, yaitu tenaga sakti yang merupakan penggabungan dari inti tenaga Im dan Yang.

“Bresssss...!”

Tubuh si Gagu terlempar seperti sehelai daun tertiup angin dan tubuh Siluman Kecil terhuyung-huyung sampai jauh ke belakang. Hebat bukan main pertemuan tenaga itu, terasa oleh semua orang dan dinding ruangan itu sampai tergetar. Tubuh si Gagu rebah terlentang dan dia mengeluh perlahan, kulitnya luka-luka seperti terkena air mendidih. Cambang bauk dan kumisnya ternyata palsu semua dan kini cambang bauk itu copot semua, meninggalkan pemuda yang tampan.

Akan tetapi, Siluman Kecil juga kehilangan topeng penyamarannya yang dilakukan oleh Kang Swi. Topeng itu terkupas oleh hawa pukulan lawan sehingga kelihatanlah wajah yang asli, wajah seorang pemuda yang tampan akan tetapi dengan rambut panjang berwarna putih semua, wajah Siluman Kecil yang asli…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum