JODOH RAJAWALI : JILID-18


Semua orang menjadi terkejut bukan main menyaksikan peristiwa yang aneh ini. Sai-cu Kai-ong sampai melongo karena tidak disangkanya bahwa ‘kakek’ sakti yang menjadi temannya itu ternyata adalah seorang yang masih amat muda dan yang kini menangis seperti anak kecil, memeluk bekas lawannya yang juga masih amat muda.

Sementara itu, si ‘Gagu’ yang ternyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata memandang orang yang memeluknya. Luka yang baru dideritanya akibat pukulan gabungan tenaga Im dan Yang dari Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi dia tidak pingsan, bahkan kini dia tidak mengeluh sama sekali, menahan rasa nyeri yang seolah olah menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya.

Mula-mula dia memandang penuh keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut putih itulah yang meragukannya, akan tetapi kemudian dia pun menggerakkan kedua lengannya yang lemah, memeluk dan berkata, “Aihhh... Kian Bu adikku... sayang, betapa sukarnya mencarimu, Bu-te. Engkaukah kiranya si kakek berambut putih tadi? Bukan main, adikku, kau hebat... sekali..., ahhh, kau maju pesat sekali... uhhh, adikku, betapa selama bertahun-tahun aku rindu kepadamu, Bu-te...”

“Koko, ah, Koko... apa yang telah kulakukan tadi...?” Siluman Kecil yang ternyata bukan lain adalah Suma Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya.

Pukulannya tadi hebat sekali, pukulan yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun ini, pukulan yang mengandung penggabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang. Di tempat asal mereka, yaitu di Pulau Es, mereka berdua memang telah digembleng oleh ayah mereka, Si Pendekar Super Sakti, dan telah melatih diri dengan ilmu inti hawa sakti Im, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari hawa sakti Yang. Dan ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan antara kedua ilmu itu, akan tetapi penggabungan itu hanya merupakan kerja sama, yaitu menggunakan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang secara bergantian, atau juga berbareng dengan tangan kanan dan kiri.

Tetapi, penggabungan kedua tenaga yang berlawanan, sehingga merupakan tenaga yang mukjijat sekali, yang ketika melatihnya hampir saja mengorbankan nyawanya akan tetapi ternyata dia telah berhasil menguasai tenaga mukjijat itu. Dan kini, yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri!

“Sudahlah... jangan kau berduka, adikku... aku... aku mati pun tidak akan penasaran... engkau tidak bersalah... kita saling menyamar dan tidak mengenal... dan engkau hebat sekali, Bu-te... ehhh, adikku, mengapa rambutmu menjadi putih semua...? Apakah untuk menyamar? Bu-te... kalau kau pulang nanti... jangan bilang kepada Ayah dan Ibu... bahwa... kita saling bertanding...“ Napas Kian Lee terengah-engah dan agaknya sukar sekali baginya untuk bicara.

“Koko...!” Kian Bu memeluknya. Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak menyalahkannya, bahkan ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka bahwa adiknya yang telah memukulnya seperti itu! “Kian Lee koko... kalau kau mati... aku pun tidak mau hidup!”

“Ahh, jangan begitu, Bu-te...“ Kakak dan adik ini berpelukan.

Melihat ini, Saicu Kai-ong yang sejak tadi melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang pemuda luar biasa itu berangkulan dan bicara, kini melangkah maju dan berkata, “Biarkan saya memeriksa dan mengobatinya.”

Kian Bu menoleh kepadanya. “Locianpwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh pukulanku sendiri. Kalau Locianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan budimu.”

“Suma...?” Kini Sai-cu Kai-ong terkejut setengah mati. “Kalian berdua she Suma? Ada hubungan apa dengan majikan Pulau Es, Suma Han?”

“Dia adalah ayah kami...,“ kata Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah.

“Ahhh...! Ya Tuhan, kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam sendiri? Minggirlah, biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian untuk menyelamatkan dia.”

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah mengepung ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu memondong tubuh kakaknya, sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran Yung Hwa.

“Dari mana datangnya penjahat-penjahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara para pasukan pengawal itu meloncat masuk seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Kang Swi. Pemuda ini langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk merampas Pangeran Yung Hwa yang dipondong oleh kakek itu.

Akan tetapi, kakek gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai membentak marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang Swi. Mereka segera bertanding dengan hebat sedangkan para pengawal sudah menyerbu ke dalam ruangan itu sehingga kakek gagah perkasa dan Kian Bu yang masing-masing menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, mengamuk dengan tamparan satu tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka.

Sepak terjang kakek itu hebat, dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan kakaknya, juga marah bukan main sehingga tiap tendangan atau tamparan tangannya tentu langsung merobohkan seorang pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan para pengeroyok terlempar ke sana-sini di tengah-tengah teriakan-teriakan mereka.

Akan tetapi, Gu Sin-kai terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apa lagi setelah Kang Swi mencabut pedangnya. Biar pun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan tongkatnya, namun tetap saja dia menjadi kewalahan karena pedang di tangan Kang Swi benar-benar amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan mengandung hawa yang panas dan tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang itu mencium pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah.

“Mundurlah, Gu Sin-kai, biarkan saya yang menghadapinya!” teriak Kian Bu marah dan biar pun dia menggunakan tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan berani dia menerjang Kang Swi dengan tangan kosong.

“Wuuuuuttt...!” Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu.

“Eihhhhh..., kau...?” Kang Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang telah menjadi ‘sahabatnya’ itu sekarang menyerangnya demikian ganas. Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong mundur dan terhuyung-huyung!

“Saudara Kang Swi, mundurlah! Kau sudah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah seorang pemberontak,” Suma Kian Bu berkata. “Jangan coba kau halangi kami menyelamatkan Pangeran Yung Hwa!”

“Twako, kini aku telah menjadi pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembalikan Pangeran Yung Hwa dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan baik-baik!” kata Kang Swi.

“Bandel, kalau begitu terpaksa kita harus menjadi lawan!” Kian Bu menerjang lagi.

Kang Swi menyambut dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah lambung Kian Bu, sedangkan kakinya menendang ke arah lutut Siluman Kecil itu.

“Huhhhhh!” Kian Bu mendengus, tangannya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis pedang itu! Dan dia pun menyambut tendangan lawan dengan tendangan kakinya.

“Tranggg... dukkk... aihhhhh...!” Kang Swi menjerit

Tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting keras dan dia bangkit duduk dengan mata terbelalak sambil memijit-mijit kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki Siluman Kecil, bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk-nusuk tulang sumsum, sedang pedangnya yang tadi bertemu dengan tangan pendekar itu sudah terlempar, entah lenyap kemana. Tentu saja dia menjadi bengong dan hampir tidak percaya bahwa dia dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, dan betapa pedangnya ditangkis oleh tangan kosong saja!

Akan tetapi, Kian Bu tidak mempedulikannya lagi oleh karena pada saat itu telah muncul Ho-nan Ciu-lo-mo dan Siauw-hong! Di belakang mereka nampak banyak pengawal lagi yang memenuhi tempat itu!

Ho-nan Ciu-lo-mo segera mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka tahulah dia bahwa istana itu telah kebobolan mata-mata dari Ho-pei, akan tetapi ketika dia melihat Sai-cu Kai-ong, dia terkejut setengah mati. Kiranya orang tua gagah yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah berada di situ dan kini sudah memondong Pangeran Yung Hwa. Dia maklum akan siasat majikannya, maka dia lalu membentak marah, “Penculik-penculik hina, lepaskan Pangeran Yung Hwa!” bentaknya dan bersama beberapa orang pembantu dia sudah menerjang maju.

Tetapi Kian Bu yang tak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah memapaki si muka dan rambut merah itu dengan tamparan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya masih terus memondong tubuh kakaknya.

“Wuuuttttt...!”

Ciu-lo-mo cepat mengelak dan terkejut melihat sambaran tenaga dahsyat itu. Cepat dia menggerakkan guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari guci itu muncrat menyerang ke arah muka Kian Lee yang setengah pingsan.

“Keparat!” Kian Bu membentak, dengan gerakan tangannya dia kemudian menangkis dan sekaligus membuyarkan percikan arak itu dengan tiupan mulutnya.

“Tranggggg!” Guci arak itu membalik dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo saking kerasnya terpental oleh tangkisan itu.

“Hong-ji (Anak Hong)...!” Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru keras pada saat dia melihat Siauw-hong menyerbu ke dalam.

“Suhu...!”

“Apa kau sudah gila? Kau mau membantu musuh-musuhku?” Kakek itu membentak lagi sambil merobohkan seorang pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan tendangan kakinya yang panjang dan besar.

“Suhu...!” Siauw-hong memandang bingung. “Teecu... teecu menjadi pengawal dengan baik...“

“Tolol! Yang kau bantu adalah seorang pemberontak!”

“Ahhhhh...!” Siauw-hong memandang bingung.

“Hayo kau bantu kami keluar dari tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!” Kakek itu kembali berseru.

“Baik, Suhu!” Siauw-hong berseru dan sekarang dia membalik, sekali bergerak dia telah merobohkan dua orang pengawal!

Akan tetapi, kini banyak sekali pengawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada lagi jalan keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan berjejal di depan pintu dan jendela, siap dengan senjata di tangan untuk menggantikan kawan-kawan mereka yang roboh. Melihat ini Kian Bu merasa khawatir. Betapa pun lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat sempit ini amat berbahaya, pikirnya. Apa lagi amat berbahaya bagi kakaknya yang terluka parah.

“Mampuslah!” Dia membentak dan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo.

Kakek pemabuk ini terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia cepat menggerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis.

“Pyarrrrr...!” Guci arak itu pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka dan rambut merah itu roboh terjengkang!

“Siauw-hong, kau tolong panggul kakakku ini, biar aku membuka jalanl” Tiba-tiba Kian Bu berseru kepada Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melindungi suhu-nya.

“Baik, Taihiap,”' jawab Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu serta menerima tubuh Kian Lee yang sudah lemas setengah pingsan itu, lalu dipondongnya.

Melihat ini, Sai-cu Kai-ong merasa girang. “Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?” tanyanya sambil bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang lebar untuk menghalau senjata-senjata yang datang menyerangnya.

“Tentu saja, Suhu,” jawab Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiarkan lewat sebatang tombak yang menusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang tombak itu langsung menjerit dan roboh terjengkang. “Taihiap ini adalah Siluman Kecil.”

“Ahhhhh...” Sai-cu Kai-ong berteriak kaget.

Sungguh dia telah mendengar banyak hal yang aneh dan mengejutkan. Tadi, pemuda berambut putih itu mengaku sebagai putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan kini ternyata menurut penuturan muridnya, pemuda itu adalah juga Siluman Kecil yang namanya sudah tersohor!

Kini Kian Bu yang sudah tidak lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Dia menggunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dengan cepat dan kedua tangannya menyambar nyambar ganas sehingga dalam waktu pendek saja, semua pengawal yang berada di ruangan itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir.

“Mari keluar, biar aku membuka jalan!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu, dengan sekali dorong saja dia merobohkan enam orang pengawal di luar pintu. Tentu saja kehebatan pemuda yang rambutnya putih terurai ini mengejutkan orang-orang, apa lagi ketika mereka mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Siluman Kecil!

“Siluman Kecil...!”

“Celaka, dia mengamuk. Minggir...!”

Kini para perwira pengawal dan para anggota pengawal yang sudah pernah melihat bayangan Siluman Kecil, bahkan pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa yang mengamankan Ho-nan, menjadi gentar sekali dan mereka semua lantas mundur. Memang nama Siluman Kecil sudah terkenal sekali di Ho-nan.

Dia pernah membersihkan Ho-nan dari gangguan orang-orang jahat, bahkan pernah mengakurkan semua pihak yang bertentangan dari orang-orang kang-ouw, dan dia pernah diterima oleh Gubernur Ho-nan sendiri sebagai seorang pahlawan. Dan kini, Siluman Kecil tengah mengamuk dan membantu orang-orang yang hendak melarikan Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jeri menghantui hati para pengawal sehingga mereka tidak banyak melawan atau menghalangi ketika Kian Bu mempelopori teman temannya keluar dari ruangan itu dan langsung melarikan diri keluar dari daerah istana gubernuran.

“Siluman Kecil mengamuk!”

“Siluman Kecil melarikan Pangeran Yung Hwa!”

Teriakan-teriakan para pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka tidak banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus melarikan diri sampai ke pintu gerbang.

“Buka pintu! Aku, Siluman Kecil, hendak lewat bersama kawan-kawanku! Janganlah membikin aku marah!” Kian Bu membentak, suaranya nyaring dan menggema karena memang dia sengaja mengerahkan khikang-nya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya untuk menggertak agar supaya mereka tidak perlu mengerahkan tenaga dan membuang waktu untuk menggunakan kekerasan terhadap para penjaga pintu gerbang itu.

Dia harus cepat-cepat dapat menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang dipondongnya lagi itu telah tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian Lee ternyata masih membuka mata, memandangnya dengan kagum.

“Kau hebat, adikku... kau hebat...,“ bisik Kian Lee.

“Ahhhhh...!” Jantung Kian Bu rasanya seperti ditusuk dan bagi pendengarannya, pujian kakaknya itu seperti ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu sudah dipergunakan untuk memukul roboh kakaknya sendiri!

“Lekas buka! Kalau tidak, kubunuh kalian semua!” bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang tersiksa rasanya.

“Baik... baik, Taihiap!” terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka pintu benteng itu dibantu oleh kawan-kawannya.

Keluarlah mereka dari tembok kota yang menjadi benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan tetapi, malam telah mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan dari depan datanglah serombongan orang berkuda yang dipimpin oleh seorang raksasa berkepala botak bermantel merah. Ban Hwa Sengjin koksu dari Nepal tiba bersama pengawal-pengawal pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan!

Kiranya telah ada berita terdengar oleh Gubernur Kui yang masih berada di Ceng-couw dan mendengar berita bahwa ada keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan Koksu Nepal yang amat sakti itu untuk memimpin serombongan pengawal cepat-cepat menuju ke Lok-yang dan kebetulan sekali mereka bertemu dengan rombongan yang melarikan Pangeran Yung Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang!

“Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanyalah penculik-penculik yang hina!” bentak Ban Hwa Sengjin sambil tertawa bergelak penuh ejekan. “Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah dari pada mati konyol!” Biar pun suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah.

Sai-cu Kai-ong menjadi marah sekali. “Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak, padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah berada di depan mata! Siapakah engkau, orang asing?”

“Ha-ha-ha-ha! Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha-ha, biar pun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) akan tetapi engkau menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel busuk!”

Dimaki singa ompong dan jembel busuk yang tentu saja diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main. “Siauw-ji, kau jagalah beliau,” katanya sambil menunjuk Pangeran Yung Hwa yang sekarang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya.

“Ban Hwa Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih ini untuk menggertak kami? Kau kira kami takut?” Sai-cu Kai-ong membentak.

“Ha-ha, mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku sampai tak dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu.”

Ucapan ini merupakan kesombongan yang hebat.

“Benarkah itu? Apakah manusia macam engkau akan dapat menahan diri untuk tidak bersikap curang dan dapat memegang janji?”

Alis yang tebal itu jadi berkerut. “Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?” bentak Ban Hwa Sengjin.

“Ah, kiranya begitu?” Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini. Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah mendekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat!

“Nah, majulah menyerahkan nyawamu!” Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil tersenyum mengejek.

“Sambutlah!” Sai-cu Kai-ong membentak.

Sai-cu Kai-ong sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia dapat menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun dari nenek moyangnya. Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dahulu dipimpin oleh nenek moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang.

Ilmu pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini berdasarkan kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka Ilmu Khong-sim-sin-cang itu diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang kekosongan yang menjadi inti dari segalanya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.

Tiga puluh ruji berpusat pada satu poros roda,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Dari tanah liat dibuatlah jembangan,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Lubang pintu dan jendela dibuat untuk rumah,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya
.

Selain ayat dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang mengingatkan mereka akan pentingnya kekosongan, antara lain dinyatakan bahwa di dalam setiap langkah kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada kemajuan dalam langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada!

Serangan yang dilancarkan oleh Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan dan kosong saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti koksu dari Nepal itu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan dahsyat itu! Dia cepat membalas dengan pukulan yang tak kalah dahsyatnya hingga Sai-cu Kai-ong juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut pukulan yang amat hebat itu.

Terjadilah pertandingan hebat dan keadaan sekeliling tempat itu disambar oleh hawa hawa pukulan kuat sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur oleh karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga segera bersembunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri.

Akan tetapi, seorang yang sudah menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu saja adalah orang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman Kerajaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa saktinya, juga semua utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan yang berilmu tinggi.

Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena boleh dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal, maka tentu saja dia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi seorang lawan yang sedemikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira dan dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah. Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin ilmu silatnya dapat dikalahkan orang lain!

Memang, amat berbahayalah bagi seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai tinggi, apa lagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala macam ‘ter’ lagi. Dan kalau sudah demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalu waspada akan semua kekurangan dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat betapa bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagaimana pun juga.

Akan tetapi Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang amat mukjijat itu ternyata kalah kuat dibandingkan dengan Ban Hwa Sengjin sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan kepalanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walau pun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri dan cepat mengumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan lukanya.

Siluman Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju sendiri. “Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku celaka...,“ bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk berdiri sendiri.

Kian Bu mengangguk dengan sikap tenang. “Jangan khawatir, Koko.”

Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri Ban Hwa Sengjin. Koksu Nepal yang sudah memperoleh kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda, tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apa lagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya, biar pun rambut pemuda ini sudah putih semua!

“Kau mau apa?” tanyanya dengan sikap memandang rendah.

“Ban Hwa Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?” Kian Bu bertanya.

“Kau? Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!”

“Kalau aku kalah, kami semua menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah?”

“Ha-ha-ha, bocah lancang. Dengar baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewatt!

“Engkau adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah omongan seorang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap seranganmu selama dua puluh jurus, engkau mengaku kalah dan kami semua boleh lewat?” tanya Siluman Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu agar menyinggung kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini.

Dan anak panah yang dilepaskan berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban Hwa Sengjin menjadi merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak menjadi merah, semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi marah dan tersinggung.

“Bocah bermulut lancang! Kau kira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga dari pada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga harus mentaati semua perintahku!”

Siluman Kecil diam-diam merasa girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan ada muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri. “Baik, kalau sampai aku roboh sebelum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus kutaati!”

“Nah, sambutlah ini jurus pertama!” Ban Hwa Sengjin berseru.

Tubuhnya yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, sedemikian cepat gerakannya sehingga mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin. Kedua tangannya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah dada! Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat menyeramkan dan agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat cepat sedangkan tangan kanan yang menghantam ke arah dada itu sebaliknya gerakannya lambat dan perlahan.

Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu bahwa cakaran itu hanya merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan yang mengandung tenaga mukjijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan copot semua tulang iganya!

Karena maklum akan hebatnya serangan jurus pertama ini, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat sekali hingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan menangkis dua lengan lawan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan. Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kun-hoat ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas.

“Plak-plak...!”

Kedua lengan kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan dari samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya panas sekali.

“Ehhh...!” Ban Hwa Sengjin terkejut.

Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang pertama itu, tidaklah amat mengejutkan bagi dirinya, karena seorang pemuda yang sudah berani menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi, tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan adanya tenaga mukjijat yang panas sekali menyerang dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu.

Sebagai seorang yang sudah berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal sifat gerakan lawan. Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya dengan sifat dan gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya dengan ular adalah gerakan yang memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih dengan aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik, dapat menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan cekatan, terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang ampuh.

Karena sudah mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagai mana harus menghadapinya. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, lalu seperti seekor burung garuda hendak menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan jurus yang kedua.

Tetapi, Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun maklum bahwa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya. Kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu. Gerakannya menjadi kacau-balau tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat tertib.

“Des-des-plakkk!”

Kini tubuh Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya. Ternyata jurus keduanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana dia hendak menyerang dan mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua kali dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga terpental.

“Hemmm, kau boleh juga!” katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya.

Kemudian sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing! Itulah ilmunya yang amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang dinamakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan seperti mengamuknya angin taufan yang mengandung angin puyuh berputaran, seperti badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini.

Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan dalam putaran itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin yang seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang benar-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Sengjin yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan kedua adalah koksu dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri tidak masuk hitungan.

Agaknya Ban Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat tangan kosong yang menjadi andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan. Dan memang Kian Bu menjadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya mau pun dari ibunya. Namun dia maklum bahwa menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh percaya pada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal itu dapat membahayakan dirinya.

Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu sukar pula diduga-duga. Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman Kecil ini dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Itulah ilmunya yang baru, yaitu ilmu ciptaannya sendiri yang disebut Sin-ho-coan-in. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban Hwa Sengjin menjadi gagal!

Ban Hwa Sengjin amat terkejut. Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan berturut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cerdik. Pemuda itu sama sekali tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan seluruh perhatian pada perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu tergoda untuk balas menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang kuatnya, akan tetapi satu kali pun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan.

Tentu saja Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya yang amat aneh dan berpengaruh. Dia menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan mukjijat lalu terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengandung kumandang aneh, berseru, “Lihat nagaku menerkammu!”

Kian Bu terkejut bukan main dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia melihat seekor naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu bahwa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan serangan jurus terakhir! Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir sekali melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak ke atas, seolah-olah tidak lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan mengandung pengaruh yang mukjijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan menerkam naga hitam itu. Terdengar suara keras dan naga hitam itu lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya, menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya dengan ganas, serangan dari jurus terakhir!

“Desssss...!”

Ban Hwa Sengjin terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia memiliki tenaga mukjijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka luka seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian Lee. Dia hanya terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena terpukul oleh kekuatan mukjijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa tadi.

Kian Bu cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang kepadanya, seorang yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam. Dia merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana.

Karena dia menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata, “Terima kasih!”

Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata, “Mari kita cepat pergi dari sini!” dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa.

Kian Bu sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong, “Cepat kau ikuti Suhu-mu, biar aku yang menjaga dari belakang.”

Siauw Hong mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat berlari pergi mengejar suhu-nya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang untuk menjaga dua orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi setelah melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan membiarkan mereka pergi.

Gadis cantik jelita yang tadi tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan kebetulan saja dia menyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu.

Andai kata koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri.

Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam, tentu saja hatinya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun tangan membuyarkan pengaruh sihir itu. Bukan sengaja untuk mendukung orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli sihir! Dia pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah menjadi putih semua dan dia pun hanya melihat wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh. Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini!

Akhirnya tibalah mereka di perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu. Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa untuk memberi hormat.

Dengan hati terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat bangun kakek itu sambil berkata, “Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak sikap sungkan terhadap saya. Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua. Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu.”

Sai-cu Kai-ong mengangguk dan merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran berita di luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran yang begitu menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang sudah direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian.

“Taihiap, sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan seperti ini, agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi seorang penderita cacad selama hidupnya.“

“Ahhh, Locianpwe...!” Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianpwe sudi mengusahakan agar kakakku dapat sembuh...!” Dia berkata dengan muka pucat dan hati menyesal bukan main.

Sai-cu Kai-ong tersenyum dan membangunkan pemuda itu. “Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum pernah kusaksikan sedemikian kuatnya sehingga dia hanya mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya. Tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam obat yang kutahu akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi apakah kita akan dapat memperoleh obat itu...“

“Di mana tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!” Kian Bu berseru.

Kakek itu mengerutkan alisnya, “Obat itu adalah semacam jamur yang amat mukjijat dan tidak ada keduanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya kalau berada di tempat gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang, jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya.”

Kian Bu mengangguk-angguk. “Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di mana tempatnya?”

“Itulah sukarnya. Aku sendiri belum pernah ke sana, dan hanya mendengar penuturan seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu, akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar, maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan kepadaku, sayang bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang. Tempatnya di tepi Sungai Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya.”

Kakek yang gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing yang curam di pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu lalu berpamit kepada kakaknya.

“Lee-ko, harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik baik menjaga diri dan biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu.”

Kian Lee memegang tangan adiknya. “Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku belum tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun ini engkau menghilang dan tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya,” kata Kian Lee dengan pandang mata penuh kasih sayang kepada adiknya.

“Nanti saja kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat untukmu.”

“Suma-taihiap, kalau nanti engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di pinggir sungai, sebelah selatan kota Pao-teng.”

“Hati-hatilah mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,” kata Pangeran Yung Hwa yang hadir pula di situ. “Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh pasukan? Mereka dapat membantumu.“

“Terima kasih, saya kira tidak perlu,” jawab Kian Bu.

Maka segera berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Apa pun yang akan dihadapinya, apa pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya.

********************

Para pembaca yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya secara ‘kebetulan’ saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh dengan binatang setengah kera setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mukjijat.

Di tempat luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong. Dan memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat itu tidak pernah atau tidak mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari daun-daun obat yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ.

Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak sebuah batu telah tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu ‘diterima’ oleh sebatang pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya setelah mencelat ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air! Itulah air anak sungai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar biasa ini hwesio itu dapat berada di situ.

Setelah siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui khasiatnya dan hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia keluar dari tebing maut itu, melalui perjalanan yang amat jauh dan yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat ‘keluar’ dari sana!

Akan tetapi Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apa lagi harus mencari jalan turun! Akan tetapi dalam keadaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan hanya tebing yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya!

Dengan menggunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak mungkin ada orang dapat menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asal ada tempat untuk berpijak kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal sekali pun. Atau biar pun amat terjal, kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan ilmunya Sin-ho Coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing sebagai penahan luncuran dan tempat menjejakkan kakinya. Akan tetapi tanpa mengetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu, berarti mempertaruhkan nyawa secara konyol.

Dia dapat pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Bermain-main di Tembok) dengan sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat digunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan yang tidak securam tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur lebur! Menggunakan tali? Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas tebing. Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh musuh, nyawanya akan melayang.

Kian Bu duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapa pun juga, dia tidak akan menyerah begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke bawah. Memang terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor monyet sekali pun kiranya tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali.

Tiba-tiba dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mudahnya menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap!

Kembali dia menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja perhatiannya tidak tercurah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar biasa berkat sinkang-nya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam ini, betapa pun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.

“Heiii, jangan coba bunuh diri...!”

Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu terkejut bukan main. Dalam keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu tiba-tiba mendengar bentakan yang demikian nyaring, benar-benar amat membahayakan. Orang yang lemah jantungnya tentu akan terperanjat dan dapat saja langsung terjungkal ke dalam jurang!

Dia cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan alisnya dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular, yang dahulu pernah menyerangnya kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan dan oleh karena menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini!

Setelah dia membalik, gadis itu pun terkejut, kemudian tersenyum mengejek. Begitu tersenyum, seketika tercipta dua buah lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir yang merah basah. Cantik sekali!

“Ya ampuunnn...! Kiranya engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu, Siluman Kecil. Lanjutkan selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan senangnya menjadi orang satu-satunya yang menyaksikan betapa Siluman Kecil yang tersohor itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil pula seperti julukannya, seorang pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki cengeng yang mudah mendapat dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hi-hik, teruskanlah bunuh diri di depanku, aku akan senang sekali!”

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah, memandang wajah cantik jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda berambut putih itu, diam-diam gadis itu bergidik. Gadis itu tentu saja adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!

“Ihhh! Kenapa kau memandang aku seperti itu?” bentaknya dengan suara dibikin galak untuk menutupi rasa ngerinya.

Dia sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang dia tahu memiliki kepandaian amat tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan mampu menang melawannya. Kalau dia bersikap angkuh dan berani, hal itu hanya dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biar pun dia sudah dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya.

Suma Kian Bu dahulunya adalah seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan jenaka, juga bengal dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang.

Setelah dia mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi menemui kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah lagi oleh latihan ilmu penggabungan tenaga Im (dingin) dan Yang (panas) dari Pulau Es sehingga membuat rambutnya mengalami perubahan warna, dia menjadi seorang pendiam yang penuh rahasia. Penuh misteri.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum