JODOH RAJAWALI : JILID-19
Kini, bertemu dengan gadis berpakaian hitam yang amat lincah jenaka dan galak ini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan wajahnya mulai agak berseri, seolah-olah mulai ditanggalkanlah sedikit demi sedikit topeng kedukaan yang selama ini menutupi wajah aslinya.
“Nona, apakah otakmu miring?” Tiba-tiba Kian Bu yang sudah mulai ‘menemukan’ kembali sifat kegembiraannya itu bertanya sambil memandang tajam.
Dia bukan hanya sekedar menggoda atau balas mengejek, melainkan bertanya dengan sungguh-sungguh karena memang dia mulai menyangka dengan perasaan sayang bahwa gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi itu agaknya gila. Buktinya, dahulu pun sudah mencari keributan dengan dia untuk perkara yang bukan bukan saja, dan sekarang bicaranya begitu tidak karuan!
Hwee Li merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa kaget, heran akan tetapi marahlah yang lebih besar menguasainya sehingga biar pun matanya terbuka lebar amat indahnya, namun bibirnya cemberut meruncing dan sepasang alis yang hitam kecil panjang itu berkerut.
“Siluman Gila! Engkau adalah seorang gila, bunuh diri merupakan perbuatan gila, dan kau masih mengatakan orang lain gila. Sungguh gila!” Hwee Li memberi tekanan kepada setiap kata ‘gila’ sehingga dia seolah-olah telah membalas dengan makian gila kepada Siluman Kecil sampai empat kali gila!
Melihat cara gadis ini melampiaskan rasa mendongkolnya, Kian Bu tak dapat menahan diri lagi dan dia tersenyum. Senyum pertama semenjak dia berjuluk Siluman Kecil! Sebelum ini, kalau toh dia tersenyum, maka senyumnya itu tentulah hanya senyum untuk bersopan-sopan saja, senyum paksaan. Akan tetapi baru sekali ini dia tersenyum yang terdorong oleh kegembiraan hati.
“Nona ular...“
“Engkau makin kurang ajar!” Hwee Li membanting kaki kanannya.
“Harus disebut apa kalau tidak mau dinamakan nona ular? Engkau ke mana-mana pasti membawa ular yang menjijikkan!”
“Tidak lebih menjijikkan dari pada manusia, apa lagi yang gila seperti engkau!” Hwee Li balas menyerang.
“Hemmm...kau mengingatkan aku akan sebuah syair...”
“Wah, orang gila mau bersyair, coba kudengarkan sampai di mana kegilaannya!”
“Manusia adalah mahluk gila yang tidak mengenal kegilaannya!
Yang gila mengaku waras, yang waras dimaki gila!
Adakah yang lebih gila dari pada manusia?”
Hwee Li bersorak. “Bagus, bagus! Nah, syair itu cocok menggambarkan keadaan dirimu sendiri, hi-hi-hik! Sudah kusangka bahwa engkau memang Siluman Gila, Siluman Gila yang kecil!”
Kian Bu yang belum pulih semua kelincahannya merasa kewalahan juga menghadapi dara yang ternyata pandai sekali berdebat ini. “Nona, kau tadi datang-datang lantas membentak sampai aku kaget, lalu tiada hujan tiada angin kau memaki aku pengecut, cengeng, rendah dan gila yang akan membunuh diri. Sikapmu itulah yang membuat aku mengira engkau berotak miring.”
“Habis, mau apa engkau melongok-longok ke bawah tebing securam itu kalau bukan untuk bunuh diri? Ataukah engkau bercanda dengan kabut yang melayang di bawah kaki? Nah, itu pun merupakan tanda-tanda bahwa engkau gil...”
“Sudahlah, jangan engkau mengobral makian. Sungguh tak pantas maki-makian macam itu keluar dari mulut yang begitu indah.”
Sepasang mata itu terbelalak, lalu dia mengangguk-angguk. “Hemmm, sekarang baru aku mengerti mengapa Cui Lan jatuh hati kepadamu. Kiranya engkau adalah seorang laki-laki yang selain berkepandaian tinggi, berwajah tampan dan berambut aneh, juga pandai merayu!”
Kian Bu bengong. “Aku? Merayu?”
“Menyangkal lagi! Baru saja kau bilang mulutku indah...“
“Kalau memang benar mulutmu indah, harus berkata bagaimana aku ini? Lihat, bentuk bibirmu amat indah, kemerahan dan segar, kalau tersenyum gigimu kecil berderet rata dan putih berkilau, dan lesung pipit di kanan kiri mulutmu mengintai. Benar indah mulutmu. Apakah aku harus bilang mulutmu buruk dan jelek? Aku tidak merayu, hanya bicara sebenarnya. Salahkah itu?” Kian Bu mulai menemukan kembali kepandaiannya berdebat dan kini Hwee Li yang menjadi bengong, mencari-cari jawaban yang tepat.
Akan tetapi sekali ini sukar dia membantah. Wanita mana yang tidak suka akan pujian? Dan pujian dari Siluman Kecil itu begitu wajar dan terbuka, begitu langsung dan jelas bukan pujian kosong! Tanpa disadarinya, warna kemerahan menjalar di kedua pipi yang halus putih itu.
“Sudahlah!” katanya gemas karena tidak berdaya lagi untuk menangkis. “Ketahuilah, Siluman Kecil, hatiku masih penasaran dan benci kepadamu kalau aku teringat kepada Cui Lan!”
“Hemmm, mengapa tidak kau lupakan saja dia?”
“Huh, pantas! Apa kau tidak peduli betapa dara yang cantik jelita dan halus budi pekertinya itu jatuh cinta kepadamu? Dia tergila-gila kepadamu, sungguh tolol mengapa seorang gadis seperti dia bisa tergila-gila kepada seorang sepertimu ini. Dia tergila-gila kepadamu, hatinya merana penuh kerinduan kepadamu, dan kau bersikap tidak peduli kepadanya! Bukankah hal itu membuktikan bahwa engkau sebenarnya adalah seorang yang kejam, keji, dan jahat, suka melihat kesengsaraan yang diderita seorang wanita?”
Melihat dara itu hendak nerocos terus menyerangnya dengan kata-kata tajam, Kian Bu cepat mengangkat tangan ke atas. “Stop! Engkau salah mengerti dan tidak mengerti, Nona. Aku memang pernah menolong Nona Cui Lan. Dan dia jatuh cinta kepadaku, hal ini aku mengetahuinya. Akan tetapi, salahkah aku kalau ada seorang gadis jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak membalas cintanya? Engkau sungguh tidak mengerti. Hanya karena aku merasa amat kasihan kepadanya sajalah maka aku sengaja bersikap tidak peduli dan kasar kepadanya. Memang sikap itu kusengaja!”
Sepasang mata yang bening itu melotot. “Coba, betapa gilanya! Kasihan kepada orang dan menyatakan rasa kasihan itu dengan sikap tidak peduli dan kasar! Seperti baris terakhir dari syair gilamu itu, 'Adakah yang lebih gila dari pada itu'?”
“Engkau seperti anak kecil saja, dan memang engkau seorang anak-anak yang belum tahu tentang seluk-beluk cinta.”
Makin meradang hati Hwee Li. “Engkau makin besar kepala dan sombong saja. Baiklah, Guru Besar, berilah kuliah kepada hamba mengenai cinta karena Guru Besar tentu merupakan seorang yang berpengalaman dan ahli tentang cinta!” Hwee Li menjura dengan sikap mengejek.
Tetapi Kian Bu tidak mempedulikan sikap ini. “Aku sengaja bersikap kasar kepadanya agar dia membenciku! Aku tahu betapa sengsaranya hati yang menderita karena cinta gagal, dan kurasa penderitaannya itu hanya akan berakhir kalau cintanya terhadap aku berubah menjadi benci. Dengan demikian barulah dia akan dapat melupakan aku dan itulah sebabnya aku bersikap kasar kepadanya!” Kian Bu bicara penuh semangat dan Hwee Li menjadi bengong melihat betapa wajah tampan yang tadinya mulai berseri dan bersemangat itu kini kembali menjadi muram sekali, penuh duka yang membayang di dalam sinar mata dan tarikan mulutnya.
“Ohhh... begitukah? Mengapa kau tidak dapat mencintanya? Dan bagaimana kau tahu bahwa cinta gagal menimbulkan penderitaan hebat?”
“Karena aku sendiri... ahh, sudahlah, Nona. Harap kau tidak lagi menggangguku. Aku sedang menghadapi kepentingan yang sangat besar di sini dan kedatanganmu hanya mengganggu terlaksananya kepentingan besar itu. Maaf, aku tidak dapat lama-lama menunda urusanku.”
Akan tetapi gadis itu tentu bukan Hwee Li kalau dapat ‘digebah’ sedemikian mudahnya. Dia adalah seorang dara yang keras kepala, lebih keras dari pada baja sehingga dia tidak akan mudah saja disuruh pergi sebelum dia sendiri menghendakinya untuk pergi!
“Eh, apakah tempat ini milikmu maka kau berani mengusir aku pergi dari sini? Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa?” tantangnya.
Siluman Kecil melirik dan menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dilayani, hal itu hanya akan berkepanjangan dan mungkin sekali mereka akan bertarung lagi. “Terserah kepadamu, akan tetapi jangan ganggu aku dengan bicaramu lagi.” Setelah itu, dia lalu menghampiri tepi tebing, merenung kembali sambil mengasah otaknya, mencari jalan bagaimana dia dapat turun ke dasar tebing itu.
Setiap orang manusia tentu mempunyai sifat ingin tahu. Hwee Li pun tidak terkecuali. Melihat pemuda itu longak-longok memandang ke bawah tebing, dia tak dapat menahan lagi hasrat ingin tahunya dan dia pun lalu menghampiri tepi tebing dan mulai pula ikut longak-longok memandang ke bawah tebing, seolah-olah hendak mencari sesuatu yang sedang dicari-cari pula oleh pemuda itu.
Kian Bu sudah tenggelam dalam renungannya mencari-cari akal maka dia tidak peduli, bahkan hampir tidak sadar bahwa tidak jauh dari situ ada seorang gadis yang juga longak-longok seperti dia menjenguk ke bawah tebing. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menggeleng kepala, dan seperti dalam mimpi dia melihat Hwee Li juga menjenguk ke bawah tebing lalu gadis itu mengangkat muka memandangnya. Mereka saling bertemu pandang dan Hwee Li bertanya secara otomatis, “Sudah ketemu?”
Secara otomatis pula Kian Bu menggeleng kepala sambil menjawab, “Belum...,“ baru dia terkejut dan sadar, maka sambungnya dengan bentakan. “Ketemu apanya?”
“Tentu barang yang kau cari-cari itu, apa lagi? Tentu buntalan pakaianmu tadi terjatuh ke bawah tebing ini, bukan? Maka kau sejak tadi mencari-cari. Kurasa tidak mungkin dapat kelihatan dari sini buntalan itu dan...“
“Buntalan hidungmu!” Kian Bu membentak dengan hati mengkal karena dia merasa digoda terus-terusan.
Hwee Li meloncat berdiri dan kedua tangannya bertolak pinggang. Hampir saja bertemu jari-jari kedua tangannya di sekeliling pinggang itu saking rampingnya pinggang gadis ini. Mukanya merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
“Sombong, benar! Engkau berani menghidung-hidungkan orang, ya? Aku sudah susah payah ikut mencari-cari, engkau malah memaki orang sebagai balasan! Hayo berdirilah dan kita selesaikan penghinaan ini di ujung kedua kaki tangan!”
Kian Bu menarik napas panjang. “Sudahlah, Nona. Kita ribut-ribut untuk urusan kosong belaka. Aku tidak mencari buntalan apa pun, tidak ada kehilangan apa pun. Aku sedang mencari akal bagaimana aku dapat turun ke dasar tebing ini. Nah, Nona manis, sudah puaskah engkau sekarang dan sudikah engkau meninggalkan aku untuk melanjutkan usahaku ini?”
Hwee Li kembali menjenguk ke bawah tebing, lalu mendengus. “Huh, disebut gila tidak mau akan tetapi mau turun ke dasar tebing! Mau apa sih engkau hendak turun ke sana?”
Dengan setengah hati Kian Bu terpaksa menjawab, dengan maksud agar dara itu cepat pergi setelah rasa penasarannya dipenuhi, “Aku hendak mencari obat untuk kakakku yang terluka parah, dan obatnya hanya terdapat di dasar tebing itu. Nah, sudah cukupkah penyelidikanmu, Nona? Silakan meninggalkan aku sekarang.”
Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan Kian Bu mengerutkan alisnya. Terjadi perang di dalam hatinya melihat dara itu tertawa. Di satu pihak, ingin dia menempiling perawan ini, di lain pihak dia kagum melihat wajah itu ketika tertawa. Bukan main indah dan cantiknya ketika tertawa, seperti matahari di senja kala! Cerah namun tidak menyengat! Karena tertawa dara itu tidak dibuat-buat melainkan wajar, maka dia bertanya, “Kenapa kau tertawa?”
“Karena sekarang engkau harus bersikap sopan dan ramah kepadaku kalau engkau ingin dapat turun ke dasar tebing sana.”
“Hemmm, apa maksudmu?”
“Karena, biar pun engkau berjuluk Siluman Kecil, biar pun engkau memiliki kepandaian amat tinggi sehingga engkau mampu mengalahkan Sin-siauw Sengjin, namun engkau tidak akan mungkin turun ke dasar tebing ini kecuali kalau kau hendak membunuh diri. Oleh karena hanya aku seoranglah yang dapat menolongmu turun ke sana, tentu saja dengan selamat.”
“Jangan main-main, Nona!”
“Siapa main-main? Aku berani bertaruh potong leher bahwa aku dapat membawamu dengan selamat sampai di bawah tebing sana.”
Kian Bu mengerutkan alisnya. “Nona, jangan main-main. Aku menghadapi urusan yang amat penting dan aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sedikit banyak aku telah mengukur kepandaianmu itu dan aku yakin bahwa engkau tidak mungkin dapat menggunakan kepandaianmu itu untuk menuruni tebing ini.”
“Tentu saja! Siapa pun tidak mungkin dapat menuruni tebing ini, akan tetapi dengan terbang, betapa akan mudahnya!”
“Terbang? Jangan bilang bahwa kau pandai terbang...“
“Aku sih bukan kupu-kupu yang mempunyai sayap. Akan tetapi burung garudaku tentu bisa!”
Kian Bu terbelalak. “Kau... kau mempunyai burung garuda?”
“Tentu saja, kalau tidak, perlu apa aku banyak bicara kepadamu?” Gadis itu lalu bangkit berdiri, menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian terdengarlah bunyi lengking aneh seperti suara burung dari mulut yang dilindungi dua tangan itu.
Kian Bu terkejut. Lengking itu memang bunyi lengking untuk memanggil burung seperti rajawali atau garuda! Berkali-kali Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring itu dan tiba-tiba dia menuding ke atas.
“Nah, itu dia garudaku!”
Benar saja. Seekor burung garuda yang besar menukik turun dan terbang berputaran di atas kepala mereka. Berdebar jantung Kian Bu. Memang inilah jalan satu-satunya turun ke sana. Naik di atas punggung garuda! Dan dia bukanlah seorang yang asing dengan pengalaman seperti itu. Dia sudah sering kali naik punggung rajawali ketika dia masih berada di Pulau Es.
“Ahh, sungguh hebat kau, Nona! Maafkan semua kekasaranku tadi dan sekarang aku percaya. Kau tolonglah aku, Nona. Biarkan aku meminjam burungmu itu untuk turun ke sana mencarikan obat untuk kakakku.”
“Enaknya! Pinjam! Apa kau kira akan dapat menguasai Sin-eng-cu (Garuda Sakti)? Kau boleh kuboncengkan ke bawah sana, asal engkau mau minta maaf kepadaku dan mengatakan siapa adanya kakakmu yang terluka itu. Aku hampir tidak percaya bahwa seorang yang berjuluk Siluman Kecil masih mempunyai seorang kakak.”
Karena Kian Bu tahu bahwa hanya dengan pertolongan gadis ini sajalah dia akan dapat memperoleh obat untuk kakaknya itu dengan cepat dan pasti, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjura dan berkata halus, “Nona, harap kau suka memaafkan semua kesalahanku. Kakakku menderita luka dalam yang cukup hebat, kini dirawat oleh Sai-cu Kai-ong, obatnya hanya terdapat di daerah bawah tebing itu. Kakakku bernama Suma Kian Lee dan...“
“Kian Lee...? Aihhh, kenapa tidak dari tadi-tadi kau bilang...!” Hwee Li melonjak kaget dan cepat-cepat dia melengking keras memanggil garudanya. Burung itu menukik dan hinggap di atas tanah di depan gadis itu, mengeluarkan suara nguk-nguk-nguk manja, kemudian mendekam.
“Hayo cepat, nanti saja kau ceritakan bagaimana Suma Kian Lee sampai terluka hebat. Kau boleh duduk di belakangku. Sin-eng-cu, kauantarkan kami ke bawah sana!” Berkata demikian, Hwee Li melompat ke punggung garuda itu lalu menggeser ke depan sedikit untuk memberi tempat kepada Kian Bu.
Pemuda itu yang sudah biasa menunggang burung besar, lalu meloncat dengan ringan agar tidak mengejutkan burung itu dan dia telah duduk di belakang Hwee Li.
“Sin-eng-cu, berangkatlah!” Hwee Li menepuk leher burung itu yang lalu mengeluarkan suara keras, kemudian menggerakkan kedua sayapnya, kedua kakinya menggenjot dan melayanglah dia ke atas, lalu terbang melayang ke bawah tebing.
“Sekarang ceritakan, benarkah kakakmu itu Suma Kian Lee?”
“Benar,” jawab Kian Bu dan jantungnya mulai berdegup tidak karuan.
Punggung garuda itu agak melengkung di tengah-tengahnya, sehingga dia yang duduk di bagian belakang, tentu saja selalu melorot ke depan sehingga tubuhnya merapat dengan tubuh belakang dara itu. Rambut dara itu tertiup angin dan menyapu-nyapu muka dan hidungnya, selain mendatangkan rasa geli juga bau harum menyergap hidungnya dan rambut halus itu mengusap-usap mukanya seperti membelainya!
“Sungguh aneh! Engkau Siluman Kecil dan kakakmu Suma Kian Lee. Lalu siapa namamu sebenarnya?”
“Namaku Suma Kian Bu... “
“Ahhh...!” Gadis itu berseru demikian keras hingga burungnya terkejut dan agak miring. Hwee Li cepat menepuk-nepuk punggungnya menenangkan.
“Jadi engkau dan kakakmu itu putera-putera Pulau Es?”
Kian Bu kini yang terkejut. Bagaimana gadis ini dapat mengenal kakaknya dan tahu pula bahwa dia dan kakaknya itu dari Pulau Es? Akan tetapi karena dia mengharapkan bantuan gadis itu, dia tidak mau banyak bertanya lebih dulu.
“Benar, Nona.”
“Pantas engkau begini lihai!”
“Hemmm...”
”Dan pantas saja engkau agaknya sudah biasa menunggang garuda.”
“Memang kami juga mempunyai rajawali di sana...“
Hwee Li mengangguk. “Aku tahu...”
Hening sejenak dan terdengar oleh Kian Bu gadis itu bicara kepada diri sendiri, lirih, “Kiranya dari Pulau Es...”
Tak lama kemudian gadis itu berkata lagi, “Aku tahu bahwa Suma Kian Lee juga amat lihai seperti engkau, bagaimana dia sampai dapat menderita luka parah?”
Kian Bu hampir tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena dia sekarang makin gelisah duduknya. Sejak tadi jantungnya sudah berdebar keras tidak karuan dan makin lama makin hebat gelora di dalam hatinya. Dia duduk begitu rapat sehingga tubuh depannya menempel ketat pada tubuh belakang gadis itu! Dan kehangatan tubuh itu sampai terasa olehnya kelunakan dan kehalusan kulit di balik pakaian itu, tercium olehnya bau keringat, bau badan yang khas, dan mulailah dia membayangkan yang bukan-bukan.
Teringatlah dia ketika dia mengalami permainan cinta yang amat mesra dan hebat ketika dia untuk beberapa lamanya dahulu terpikat oleh seorang wanita cantik yang berwatak cabul, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing. Dan membayangkan semua pengalamannya dengan Lauw Hong Kui yang lalu, sedangkan di depannya duduk seorang dara yang malah jauh lebih cantik menarik dari pada Lauw Hong Kui, lebih muda, lebih menggairahkan, maka seketika naiklah darah ke kepala Kian Bu dan sejenak menggelapkan mata batinnya.
Dia memejamkan mata akan tetapi makin terbayanglah adegan-adegan mesra antara dia dan Lauw Hong Kui ketika bermain cinta, dan wajah Hong Kui itu berubah menjadi wajah dara yang duduk di depannya! Dia berusaha untuk menekan perasaan ini dan mengusir bayangan-bayangan itu, maka terjadilah perang hebat di dalam hati dan pikirannya pada saat itu.
Tidak salah lagi, timbulnya segala macam nafsu keinginan, termasuk nafsu birahi adalah dari ingatan yang bertumpuk di dalam pikiran. Biar pun kita duduk dikelilingi oleh puluhan orang wanita cantik manis, kalau kita menghadapi mereka dengan wajar dan dengan pikiran bebas, tidak akan terjadi sesuatu dalam batin kita. Akan tetapi, begitu pikiran mengusik dan mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu, baik pengalaman itu kita alami sendiri dengan wanita mau pun pengalaman orang lain yang kita dengar atau baca, terbayanglah adegan-adegan mesra antara kita dengan wanita atau laki-laki lain dengan wanita. Dan kalau sudah begitu, timbullah keinginan untuk menikmati kesenangan itu, bangkitlah nafsu birahi, timbul nafsu untuk memiliki. Seorang pertapa yang duduk semedhi seorang diri di puncak gunung, biar pun dalam jarak ratusan li jauhnya tidak ada wanita, namun kalau pikirannya membayangkan permainan cinta yang pernah dialaminya atau dialami orang lain dengan wanita, akan timbul pula nafsu birahinya.
Demikian pula dengan Suma Kian Bu. Selama lima tahun lebih ini dia tidak pernah mengalami hal seperti saat itu. Ketika dia duduk di atas punggung burung garuda bersama Hwee Li, duduk demikian dekatnya dan merapat ketat karena punggung itu miring sehingga tubuh depannya menempel rapat ke tubuh belakang Hwee Li, mula mula tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, setelah dia membayangkan adegan-adegan mesra yang pernah dialaminya bersama Lauw Hong Kui, maka mulailah terasa olehnya betapa dia seakan-akan sedang memeluk dara cantik jelita di depannya itu, memeluk dari belakang sehingga terasa dan tercium segala-galanya, kelembutannya, kepadatan tubuhnya, kehalusannya, kesedapannya, dan bangkitlah birahinya!
Karena sampai lama tidak memperoleh jawaban, Hwee Li menoleh dan bertanya, “Heiii, katakanlah, siapa yang melukai Suma Kian Lee?”
Ketika Hwee Li menoleh, muka mereka begitu berdekatan dan napas hangat dara itu menghembus di pipinya, membuat Kian Bu hampir tak kuat bertahan pula dan birahinya makin berkobar.
“Ihhhhh...!” Tiba-tiba Hwee Li berseru dengan kaget dan geli dan pada saat itu Kian Bu menjawab gugup karena dia maklum mengapa dara itu menjerit.
“Akulah yang memukulnya...”
“Ahhhhh...!” Kembali Hwee Li berseru kaget dan sekali ini seruannya adalah karena dua hal, pertama karena dia merasakan keadaan pemuda itu yang sedang diamuk birahi dan kedua kalinya mendengar bahwa pemuda itu yang memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berbareng dengan seruannya itu, tangannya bergerak dan dua ekor kepala ular mematuk dari kanan kiri ke arah leher dan dahi Kian Bu.
“Heiii...!” Kian Bu berteriak keras, cepat dua tangannya menangkis dengan pengerahan tenaga.
“Plak! Plak! Bukkkkk...!”
Kedua ekor ular itu ditangkis remuk kepalanya, tetapi tangan Hwee Li telah mendorong dadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kian Bu terguling jatuh dari atas punggung garuda!
Untung bagi Kian Bu bahwa pada saat itu mereka telah tiba di atas dasar tebing itu, tidak begitu tinggi lagi sehingga ketika dia terguling, dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan meloncat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di bawah itu dan menyambar cabang pohon sehingga dia dapat mendarat dengan selamat. Cepat dia lalu meloncat turun ke atas tanah dan peristiwa berbahaya itu sekaligus mengusir semua bayangan yang tadi membuat dia kehilangan kesadaran dan diamuk oleh nafsu birahi. Mukanya menjadi merah sekali ketika dia teringat dan dia melihat kini burung garuda yang ditunggangi oleh Hwee Li itu terbang berputaran di atas kepalanya.
“Kau adalah laki-laki cabul! Kau laki-laki kurang ajar yang tidak tahu kesusilaan dan kau laki-laki porno!” terdengar Hwe Li memaki-maki sambil menjenguk dari atas punggung garudanya, suaranya penuh dengan kemarahan. “Dan engkau juga laki-laki kejam dan durhaka, memukul kakak sendiri!”
Kian Bu merasa malu bukan main mengingat apa yang terjadi di atas punggung garuda tadi. Tentu saja dara itu menjadi kaget kemudian menjadi geli dan jijik! Tentu saja dara itu merasa dan tahu bahwa dia diamuk birahi karena tubuh mereka begitu rapat seolah olah dara itu tadi setengah dipangkunya!
“Nona... kau… kau maafkanlah aku...“ Dia berkata dengan pengerahan khikang hingga suaranya pasti dapat terdengar dari atas punggung garuda yang terbang berputaran di atas kepalanya beberapa tombak tingginya itu. “Engkau... engkau begitu cantik dan kita duduk begitu berdekatan dan aku... aku hanyalah orang lemah...“ Kian Bu menunduk, kemudian berkata lagi, “Aku menyesal sekali, Nona. Percayalah!” Pemuda ini memang benar-benar merasa malu dan amat menyesal mengapa dia tadi membiarkan saja pikirannya melamun dan mengingat-ingat hal yang dapat membangkitkan birahinya.
Dia tidak tahu betapa di atas punggung garuda, Hwee Li yang marah-marah itu menjadi merah mukanya karena jengah atau malu teringat akan keadaan pemuda itu tadi yang duduk mepet di belakangnya sehingga pinggulnya dapat merasakan kebangkitan birahi pada pemuda itu. Mendengar ucapan Kian Bu, diam-diam Hwee Li memuji kejujuran pemuda itu dan dia memang sudah memaafkannya karena bukankah sesungguhnya pemuda itu tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya?
Kalau pemuda itu sudah menggerakkan tangan untuk merabanya misalnya, barulah hal itu dapat dianggap sebagai suatu kekurangajaran. Yang membuat dia penasaran adalah ketika mendengar betapa Siluman Kecil itu memukul dan melukai Suma Kian Lee. Birahi yang timbul pada diri Siluman Kecil tadi bahkan membuktikan bahwa dia memang mempunyai kecantikan dan daya tarik istimewa sehingga seorang tokoh besar seperti Siluman Kecil, yang dia melihat sendiri menolak cinta kasih seorang gadis cantik jelita seperti Cui Lan, ternyata timbul birahinya terhadap dia!
“Aku tidak mau bicara tentang itu!” bentak Hwee Li dari atas dan dia membiarkan garudanya terus beterbangan perlahan mengelilingi pemuda itu. “Akan tetapi engkau telah memukul Suma Kian Lee, padahal, dia kakakmu sendiri!”
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, lima enam tahun yang lalu, Hwee Li pernah bertemu dengan Suma Kian Lee ketika pemuda ini terluka pahanya oleh senjata rahasia peledak yang dilepas oleh Mauw Siauw Mo-li dan Kim Hwee Li yang ketika itu baru berusia sebelas dua belas tahun, telah menolong pemuda itu, menyembunyikannya dan mengobatinya.
Melihat Suma Kian Lee yang tampan dan gagah, di dalam hati gadis kecil yang ketika itu baru menjelang dewasa, telah terdapat perasaan kagum dan memuja, dan Kian Lee merupakan pemuda atau pria pertama yang pernah menggoncangkan perasaan wanitanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa Kian Lee terluka parah dan yang memukulnya adalah pemuda yang mengaku adiknya itu sendiri, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Apa lagi, ketika menangkis serangan ular-ularnya tadi, Siluman Kecil telah memukul mati kedua ularnya!
Kian Bu mengerti bahwa hanya dengan bantuan gadis itu dia dapat mencapai dasar tebing, dan juga tanpa bantuan gadis dengan garudanya itu, agaknya akan sukar bahkan tidak mungkin baginya untuk mendaki tebing yang amat tinggi itu. Dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya terkurung di situ, akan tetapi kalau tidak dibantu, tentu ia akan terlambat sekali membawa obat untuk kakaknya. Maka dia mengambil keputusan untuk mengaku terus terang kepada gadis yang aneh itu. Siapa tahu gadis yang aneh itu mempunyai watak gagah yang dapat mempertimbangkan keadaan dengan adil. Buktinya gadis itu pun telah menghabiskan saja urusan yang timbul karena bangkitnya nafsu birahinya tadi, dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa gadis itu mempunyai kebijaksanaan dan kegagahan.
“Nona dengarlah baik-baik. Kakakku itu kena pukulanku karena kami berdua berkelahi dalam keadaan saling menyamar. Aku menyamar sebagai kakek-kakek dan dia menyamar sebagai seorang jagoan Gubernur Ho-nan sehingga kami tidak saling kenal dan saling serang. Setelah dia roboh dan penyamarannya terbuka, barulah kami saling mengenal. Melihat dia terluka parah, kemudian aku pergi ke sini untuk mencarikan obat penyembuhnya. Nah, terserah apakah engkau mau percaya atau tidak. Sekarang aku hendak mencari obat itu.”
Dia lalu membalikkan tubuhnya dan tidak lagi mempedulikan nona itu, melainkan meneliti keadaan di situ untuk mencari anak sungai seperti yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Walau pun dia maklum bahwa dia membutuhkan bantuan nona itu dan burung garudanya untuk dapat menyampaikan obat kepada kakaknya, tentu saja kalau sudah ditemukannya, namun bukanlah watak Suma Kian Bu untuk mengemis-ngemis bantuan orang. Maka dia pun tidak merasa kecewa ketika melihat burung itu terbang naik meninggalkan dirinya, dan dia melanjutkan penyelidikannya.
Akhirnya ditemukanlah anak sungai tidak jauh dari situ dan tepat seperti yang digambarkan oleh kakek itu dari hwesio yang secara kebetulan menemukan tempat itu, dan Kian Bu cepat mengikuti aliran sungai kecil itu sampai anak sungai itu memasuki sebuah goa yang gelap. Tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu turun ke air sungai yang dalamnya hanya selutut itu karena untuk mengikuti aliran sungai dari tepi sudah tidak mungkin lagi sekarang. Ketika dia hendak memasuki goa, dia melihat burung garuda itu menukik dan nona yang duduk di atas punggung burung itu terus memandang penuh perhatian, akan tetapi dia tidak mau mempedulikan lagi dan terus memasuki goa yang gelap.
Dia tidak tahu berapa jauhnya dia menempuh jalan yang amat gelap dan sukar itu karena dia harus terus berjalan di dalam sungai dengan air kadang-kadang sampai sedalam dadanya dan dasar sungai itu kadang-kadang amat licin dan kadang-kadang penuh dengan batu-batu runcing. Akan tetapi, setelah melewati waktu yang agaknya tiada habisnya itu, akhirnya Kian Bu melihat cahaya terang di sebelah depan dan tibalah dia di daerah terbuka.
Dia lalu mendarat di tepi sungai yang penuh dengan batu-batu besar hitam dan hatinya lega ketika melihat bahwa tempat itu terbuka, langit dapat kelihatan dari situ sungguh pun daerah itu merupakan sumur raksasa yang amat dalam dan sekeliling tebingnya terjadi dari dinding batu yang amat licin dan tidak mungkin sama sekali untuk mendaki naik. Akan tetapi di bawah dinding licin yang amat tinggi itu terdapat banyak batu-batu karang besar dan terdapat pula goa-goa yang besar dan hitam sehingga tempat yang terpencil itu kelihatan menyeramkan sekali.
Kian Bu menjadi bingung. Menurut petunjuk dari Sai-cu Kai-ong, setelah tiba di tempat terbuka dia harus memasuki sebuah goa karena di dalam goa yang katanya merupakan terowongan panjang itulah dia akan menemukan jamur panca warna yang akan menjadi obat bagi kakaknya. Akan tetapi goa yang mana? Dilihat dari tempat ia berdiri, agaknya di sekeliling tempat yang merupakan lambung gunung terhimpit tebing itu terdapat ratusan buah goa! Mana dia bisa tahu goa yang manakah yang benar? Dia tidak menyalahkan Sai-cu Kai-ong karena kakek itu sendiri belum pernah tiba di tempat ini dan hanya mendengar dari orang lain.
Tiba-tiba ada bayangan hitam di dekat kakinya. Cepat dia melihat ke atas dan benar saja, jauh sekali di atas tebing-tebing itu nampak titik hitam yang bukan lain adalah burung garuda tadi! Tentu saja seekor burung yang terbang dapat memeriksa keadaan sekeliling itu dan dapat menemukan ‘sumur raksasa’ ini, tetapi kalau harus mendatangi tempat ini melalui atas, dengan jalan kaki, sungguh merupakan hal yang sama sekali tidak mungkin.
Burung itu lewat dan samar-samar dia melihat gadis aneh yang duduk di punggung burung itu menjenguk ke bawah. Akan tetapi dia tidak mempedulikan gadis pemarah itu karena dia masih menghadapi banyak pekerjaan yang sukar sekali. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Kian Bu memeriksa dan memasuki goa itu satu demi satu! Sungguh hal ini merupakan pekerjaan yang amat sukar dan melelahkan. Goa-goa itu ternyata banyak sekali yang amat dalam, merupakan terowongan-terowongan panjang dan berliku-liku, akan tetapi setelah dimasuki dan diikuti, ternyata hanya merupakan goa-goa kosong dan buntu, tidak ada nampak jamur sama sekali di situ. Karena tidak dimasuki sinar matahari, lumut pun tidak nampak, apa lagi jamur panca warna!
Baru belasan lubang goa yang diperiksanya dengan sia-sia, hari telah mulai gelap. Kian Bu merasa heran sekali ketika keluar dari goa dan melihat matahari telah lenyap dan tempat itu cepat sekali gelap. Tadi ketika dia membonceng gadis itu turun, hari masih pagi dan dia membuang waktu untuk memeriksa goa-goa itu hanya makan waktu empat lima jam saja. Mengapa sekarang tahu-tahu telah menjadi remang-remang, menjadi senja dan hampir malam?
Akan tetapi ketika dia berdongak memandang ke sekeliling di atas tempat yang seperti sumur raksasa itu, mengertilah dia. Tentu saja di tempat ini, waktu yang diukur dengan sinar matahari amatlah berbeda dengan di atas sana, di lapangan terbuka di mana sinar matahari dapat bercahaya sepenuhnya. Di sini, matahari cepat lenyap terhalang ujung tebing di barat dan biar pun di dasar tempat itu sudah gelap, namun dia dapat menduga bahwa di atas sana tentu masih terang dan baru lewat tengah hari!
Karena gelap, terpaksa Kian Bu menunda pekerjaannya memeriksa goa-goa itu. Dia duduk di atas batu yang halus permukaannya dan banyak terdapat di tempat itu, sambil termenung dan memandang ke sekeliling. Di tempat ini tidak ditumbuhi pohon karena lantainya penuh dengan batu. Ada pohon-pohon tumbuh di lereng tebing dan pohon pohon itu merupakan pohon-pohon liar yang tidak mengandung buah yang dapat dimakan. Akan tetapi, dia tidak lapar dan sebagai seorang yang terlatih, tidak makan beberapa hari saja bagi pemuda Pulau Es ini tidaklah merupakan hal yang menyiksa.
Juga dia tidak perlu membuat api unggun karena hawa dingin tidak akan mengganggu tubuhnya yang sudah biasa dengan hawa yang jauh lebih dingin ketika dia berlatih di Pulau Es. Maka duduklah Suma Kian Bu di atas batu itu, bersila dan mulai melakukan siulan untuk mengumpulkan hawa murni, memulihkan tenaga dan memberi kesempatan kepada tubuhnya untuk mengaso.
Kegelapan kini menyelimuti tempat itu dan hanya sinar bintang-bintang di langit yang hanya seperempat luasnya kalau dibandingkan langit biasanya di tempat terbuka, yang mendatangkan cahaya remang-remang. Sunyi sekali di sekitar tempat itu, kesunyian yang makin terasa karena adanya suara gemercik air yang tiada hentinya dan yang kini terdengar amat jelas.
Berbeda dengan waktu siang yang harinya pendek sekali, sebaliknya waktu malamnya di tempat itu amat panjang dan lama karena matahari yang di permukaan bumi sudah muncul dan naik tinggi, di dasar sumur raksasa itu masih belum nampak! Kian Bu sudah tidak melihat adanya bintang-bintang di langit yang sudah disapu bersih oleh sinar matahari, namun tempat itu masih gelap.
Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dan meski Kian Bu merupakan seorang pemuda gemblengan, seorang pendekar sakti yang berkepandaian tinggi, tak urung bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh berindap indap keluar dari sebuah di antara ratusan goa itu. Akan tetapi segera dia melenyapkan rasa takut itu dengan dugaan bahwa tentu orang itu adalah dara cantik yang tentu saja dapat turun dengan bantuan garudanya. Karena itu dia pun bersikap dingin saja dan melanjutkan siulannya.
Bayangan orang itu dapat bergerak cepat dan kini telah tiba di dekat Kian Bu, lalu tiba tiba saja bayangan itu menyerang dengan cengkeraman dari belakang ke arah tengkuk dan kepala pemuda itu. Kian Bu terkejut dan cepat dia meloncat ke depan sehingga cengkeraman itu luput. Akan tetapi orang itu dengan marah menerjangnya terus dengan pukulan-pukulan yang aneh.
“Nona, berhenti dulu! Mengapa kau menyerangku? Nona...!” Kian Bu lalu mengelak ke sana-sini dan dia makin terheran ketika memperoleh kenyataan bahwa gerakan orang ini sungguh jauh berbeda dari pada gerakan nona pemilik garuda. Dara cantik pemilik garuda itu memiliki gerakan yang berdasarkan gerakan ilmu silat tinggi, lihai sekali, akan tetapi sebaliknya orang ini menyerangnya dengan gerakan kasar, hanya gerakannya lebih nekat dan liar.
“Heh-heh-heh, hi-hik, kau menyebutku Nona? Hi-hi-hik!” Wanita itu terkekeh dan Kian Bu makin terkejut dan terheran ketika dia mendapat kenyataan dari suara wanita ini bahwa dia sama sekali bukanlah dara pemilik burung garuda! Akan tetapi cuaca masih terlalu gelap untuk dapat mengenal orang ini yang hanya tampak bayangannya saja.
“Siapakah kau? Dan kenapa kau menyerangku?” tanyanya.
“Hi-hik-hik, kau adalah pembunuh keji! Kau manusia jahat, masih tanya mengapa aku menyerangmu? He-heh-heh, aku hendak membunuhmu untuk membalaskan kematian nyonya majikanku!” Dan wanita itu menyerangnya lagi.
Kian Bu kembali mengelak ke sana ke mari dengan amat mudahnya karena ternyata kini bahwa serangan-serangan itu hanya sembarangan saja dan sama sekali tiada artinya bagi dia. Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk merobohkan seorang wanita, apa lagi seorang wanita yang agaknya tidak waras otaknya.
“Aku tidak membunuh nyonya majikanmu! Siapa sih nyonya majikanmu itu?” tanya lagi Kian Bu sambil tetap mengelak ke sana-sini dan terus main mundur.
Wanita itu terus mengejar dan mendesaknya, melancarkan serangan-serangan nekat dan membabi-buta.
“Huh, engkau masih pura-pura lagi bertanya? Nyonyaku tentu saja Ang Siok Bi, siapa lagi? Dan dia sudah kalian bunuh secara kejam, dan kalian telah melemparkan aku ke sungai, ke pusaran maut. He-heh-heh, akan tetapi kalian keliru, aku tidak mati dan sekarang aku akan membalaskan kematian majikanku, hik-hik!”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Sementara itu, cahaya matahari mulai menerangi tempat itu dan akhirnya dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian itu adalah seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang jembel terlantar, seluruh tubuhnya menunjukkan bahwa wanita itu telah lama menderita di tempat ini. Sepasang matanya yang berputar-putar itu menandakan bahwa wanita ini memang tidak waras lagi otaknya.
Kian Bu mengelak ke samping dan kini jari tangannya menyambar. Robohlah wanita itu terkena totokannya. Setelah Kian Bu dapat melihat keadaan wanita itu, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk merobohkannya dengan totokan yang tidak berbahaya, hanya membuat kaki tangan wanita itu lumpuh.
Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan mata terbelalak, kemudian menangis. “Hu-hu-huukkkk... kiranya engkau adalah Tuan Muda Ang Tek Hoat...! Hu-huuuk, Tuan Muda, Ibumu telah mati dibunuh orang...!”
Kini Kian Bu terkejut bukan main mendengar wanita ini menyebut nama Ang Tek Hoat. Tentu saja dia mengenal nama ini, mengenalnya dengan baik sekali. Bukankah Ang Tek Hoat ini yang telah menjadi penyebab kehancuran hatinya dan kehidupannya? Dia telah jatuh cinta kepada Puteri Syanti Dewi, mencinta puteri itu dengan seluruh jiwa raganya, kemudian hatinya hancur berkeping-keping ketika dia mendapat kenyataan bahwa puteri yang dicintanya itu ternyata mencinta Ang Tek Hoat, pemuda yang tadinya amat jahat itu! Pemuda yang sebenarnya masih terhitung keponakannya sendiri, karena Ang Tek Hoat adalah cucu dari ibu Suma Kian Lee. Dan wanita ini menyebut Ang Tek Hoat sebagai tuan muda, dan mengatakan bahwa ibu Ang Tek Hoat mati dibunuh orang!
Kian Bu maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi seorang yang gila adalah melayani kegilaannya. Dia disangka Ang Tek Hoat, maka akan percuma saja kalau dia menyangkal di depan seorang gila. Biarlah dia berpura-pura menjadi Tek Hoat untuk mendengar tentang kematian ibu Tek Hoat itu.
“Bibi yang baik, engkau siapakah? Aku sudah lupa lagi,” katanya sambil duduk di atas batu dan membebaskan totokannya sehingga wanita itu kini dapat bergerak dan duduk pula di atas batu sambil menangis.
“Ahhh, Kongcu (Tuan Muda), engkau sudah lupa lagi kepadaku? Aku adalah Cui-ma, pengasuhmu di waktu kau masih kecil.”
“Hemmm, Cui-ma, tentu saja aku lupa karena sekarang engkau menjadi seperti ini. Ceritakanlah, Cui-ma, mengapa engkau bisa berada di sini dan apa yang telah terjadi dengan... Ibuku?”
Dengan sikap seorang gila yang mengerikan, kadang-kadang menangis, dan kadang kadang tertawa, mulailah wanita itu bercerita yang didengarkan oleh Kian Bu dengan penuh perhatian. Karena cerita itu menyangkut Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat, seorang di antara tokoh-tokoh besar cerita ini, maka sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri apa yang telah dialami oleh wanita she Ang itu, dari pada mendengarkan cerita Cui-ma yang tidak karuan…..
********************
Seperti telah diceritakan di bagian terdepan dari cerita ini, Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat, menyusul puteranya ke Kerajaan Bhutan. Setelah wanita yang bernasib malang itu mengetahui bahwa dugaannya selama ini keliru, yaitu yang memperkosa dia waktu dia masih gadis dahulu bukanlah Gak Bun Beng seperti yang selama itu disangkanya, melainkan Wan Keng In putera dari Lulu, isteri kedua majikan Pulau Es, maka sakit hatinya berpindah kepada keluarga Pulau Es! Dan untuk membalas dendamnya kepada keluarga Pulau Es, tentu saja dia merasa tidak mampu dan dia hendak menyuruh puteranya yang kini telah menjadi seorang sakti untuk membalas dendamnya kepada keluarga Pulau Es yang lihai itu.
Akan tetapi, Ang Tek Hoat yang sudah memperoleh kedudukan baik di Bhutan, sebagai panglima muda dan lebih-lebih lagi sebagai tunangan puteri raja, yaitu Puteri Syanti Dewi, menolak bujukan ibunya sehingga Ang Siok Bi menjadi marah. Ang Siok Bi lalu menemui Raja Bhutan dan membuka rahasianya sendiri bahwa calon mantu raja itu, puteranya yang bernama Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram tanpa ayah.
Setelah meninggalkan kata-kata beracun yang kemudian berakibat hebat itu, Ang Siok Bi lalu meninggalkan Bhutan, kembali ke tempat tinggalnya di puncak Bukit Angsa, di lembah Huang-ho di mana dia hidup mengasingkan diri, hanya ditemani oleh seorang pembantunya yang setia, yaitu Cui-ma, seorang janda yang telah lama ikut bersama dia. Sebagai teman satu-satunya, tentu saja dia mengajarkan ilmu silat kepada Cui-ma, sekedar untuk menjaga kesehatan dan untuk dipakai bela diri apa bila perlu. Cui-ma ini yang selalu menemaninya dalam semua kesengsaraannya hidup menyendiri itu.
Ketika melihat Ang Siok Bi pulang dan begitu tiba di pondoknya lantas menangis sejadi jadinya, penuh kedukaan dan kekecewaan, Cui-ma cepat memeluk dan menghiburnya. Akan tetapi pelayan dan teman yang setia ini pun ikut menangis pada saat mendengar cerita nyonya majikannya bahwa betapa Ang Tek Hoat, kongcu yang ditunggu-tunggu kedatangannya, yang diharap-harapkan akan dapat menghibur hati ibunya itu, ternyata menolak ajakan ibunya untuk meninggalkan Bhutan.
“Cui-ma, mulai saat ini kita harus berhati-hati...“ Setelah tangisnya mereda, Ang Siok Bi berkata, lalu cepat-cepat dia menutupkan daun pintu yang tadi terbuka, menutupkan pula semua daun jendela pondoknya yang terbuka.
Melihat sikap nyonya majikannya ini, Cui-ma terkejut dan merasa heran. Tempat itu biasanya sunyi dan selama ini keamanan mereka tidak pernah terganggu orang mau pun binatang. Lalu kenapa sekarang nyonya majikannya kelihatan begitu gelisah dan menutupi daun pintu dan jendela seperti orang ketakutan? Padahal, andai ada bahaya mengancam sekali pun, apa yang perlu ditakutkan? Bukankah nyonya majikannya ini memiliki kepandaian yang lihai?
“Toanio, apakah yang telah terjadi? Siapa yang mengancam keselamatan kita?”
“Panglima dari Bhutan... kalau tidak salah, Mohinta namanya, putera panglima tertinggi di Bhutan. Beberapa hari yang lalu aku melihat dia, dan dia bersama orang-orangnya berusaha untuk menangkap aku. Melihat gelagatnya agaknya dia memiliki tekad untuk membunuhku. Kita harus siap menghadapi mereka, Cui-ma.”
“Mengapa, Toanio? Siapa mereka dan mengapa?”
“Mereka orang-orang Bhutan yang telah menjebak puteraku, mengikat puteraku dan agaknya mereka itu diperintah oleh raja mereka untuk membunuh aku karena aku dianggap menghalangi rencana mereka mengikat anakku Tek Hoat...“
Dengan rasa cemas karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang yang sudah merencanakan kematiannya, mulai hari itu pula Ang Siok Bi dibantu oleh Cui-ma lalu mengatur persiapan untuk menghadapi musuh-musuh itu. Ang Siok Bi adalah seorang wanita yang berani dan berhati baja, maka biar pun dia sering kali kelihatan gelisah, namun dia membuat persiapan yang teliti, bahkan di balik daun pintu dan jendelanya dia pasangi alat-alat rahasia yang akan secara otomatis menggerakkan jarum-jarum hitam yang dipasangnya menyerang siapa saja yang membuka pintu atau jendela dari luar dengan paksa!
Tiga hari tiga malam Ang Siok Bi berjaga-jaga, tidak berani tidur, jarang makan dan tidak pernah berganti pakaian sejak dia pulang. Cui-ma menjadi khawatir sekali melihat keadaan nyonya majikannya itu. Pada malam yang kedua rumah itu telah diserbu orang ketika mereka tertidur saking lelahnya. Terdengar suara gedebugan dan ketika mereka memeriksa pada keesokan harinya, jelas nampak bekas kaki orang di luar pintu, daun pintu terbuka dan ada darah berceceran di situ. Jelas bahwa anak panah yang dipasang pada belakang daun pintu telah mengenai korbannya, yaitu orang-orang yang membuka pintu itu semalam. Sejak itu, Siok Bi dan Cui-ma tidak lagi berani tidur!
“Cui-ma, dengar baik-baik. Tidak boleh kita berdua mati di sini. Jika kita berdua berjaga di sini sampai akhirnya musuh dapat menerjang masuk dan kita berdua mati, tentu anakku tidak akan tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya. Kau harus pergi dari sini!”
“Ahh, lebih baik kita pergi berdua saja, Toanio. Mengapa kita harus menanti datangnya musuh di sini? Marilah kita pergi dan bersembunyi di lain tempat...”
Ang Siok Bi cepat menggelengkan kepala. “Percuma, mereka sudah membayangi dan mengejarku sejak dari Bhutan. Hendak bersembunyi ke mana? Tentu akhirnya akan mereka dapatkan juga. Dan kalau aku mati di tangan mereka, aku ingin mati di rumahku sendiri dan dapat melakukan perlawanan sebaiknya, dari pada mati di tempat asing. Kau pergilah, Cui-ma...“
“Tidak, Toanio. Kalau Toanio tidak mau pergi, biar aku mati bersamamu di sini.”
“Jangan banyak membantah!” Siok Bi membentak marah. “Aku sudah cukup mengenal kesetiaanmu. Aku menyuruh kau pergi bukan karena sayang nyawamu atau tak percaya kepada kesetiaanmu. Justeru kalau engkau setia, engkau harus pergi, harus hidup dan kelak kau ceritakanlah kepada Ang Tek Hoat anakku bagaimana ibunya mati dan oleh siapa. Mengertikah engkau? Katakan bahwa yang membayangi ibunya adalah Mohinta dan anak buahnya, orang-orang dari Bhutan. Mengerti?”
Sambil menangis akhirnya Cui-ma mentaati perintah majikannya dan sore hari itu juga pergilah dia meninggalkan rumah sewaktu menjelang senja dan cuaca sudah mulai gelap. Ang Siok Bi berjaga-jaga seorang diri di dalam kamarnya, matanya menatap ke arah pintu dan jendela kamarnya secara bergantian. Di balik pintu telah dia pasangi anak panah dan kalau pintu itu terbuka dari luar, tentu anak panah akan menyambar ke luar. Sedangkan di jendela kamarnya dia pasangi jarum-jarum hitamnya yang juga akan menyambar keluar apa bila daun jendela dibuka dengan paksa dari luar. Dia sendiri rebah terlentang melepaskan lelah dengan pedang terhunus di atas mejanya.
Malam itu sunyi sekali. Rasa kantuk hampir tidak tertahankan lagi, namun Ang Siok Bi mempertahankan rasa kantuk itu dengan mencoret-coret pada kayu pembaringannya, menggunakan jarum hitamnya menuliskan huruf-huruf kecil di kayu itu dengan cara menggores-goreskannya.
‘Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus...’
Tiba-tiba dia menghentikan goresan jarumnya karena dia mendengar sesuatu di luar kamarnya. Siok Bi cepat meloncat turun dan dengan pedang di tangan, matanya memandang tajam ke arah jendela dan pintu, juga dia melirik ke atas, kalau-kalau ada musuh yang datang masuk melalui genteng. Tetapi suara itu lenyap dan selanjutnya tak ada gerakan apa-apa lagi. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi lalu dia tenang kembali. Tentu hanya tikus, pikirnya dan dia merebahkan diri lagi di atas pembaringan, meletakkan pedang di dekat pembaringan, di atas meja sehingga sewaktu-waktu dia dapat menyambarnya. Gangguan suara yang mencurigakan itu menambah semangat dan mengusir rasa kantuknya yang tadi hampir tidak dapat ditahankannya lagi itu.
Dia membayangkan puteranya, tak terasa air matanya berlinang. Harapan satu-satunya hanya kepada puteranya. Dia telah menderita tekanan batin belasan tahun lamanya. Dia merasa sakit hati semenjak ada orang memperkosanya, orang yang disangkanya semula adalah pendekar sakti Gak Bun Beng akan tetapi yang ternyata bukan pria yang pernah menjatuhkan hatinya itu, melainkan Wan Keng In, putera dari Lulu yang kini menjadi isteri kedua dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es.
Dan Tek Hoat, puteranya yang diharap-harapkan akan dapat menebus penghinaan dan membalaskan sakit hatinya itu, ternyata telah mengecewakan! Bahkan kini dia dikejar kejar oleh rombongan orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh panglima Mohinta itu!
Jangan-jangan rombongan itu disuruh pula oleh puteranya! Mungkinkah itu? Dia menggigit bibir dan teringatlah dia akan dongeng kuno tentang seorang janda yang puteranya setelah menjadi seorang besar kemudian melupakan ibunya. Bukan hanya melupakan ibunya yang miskin, bahkan karena tidak ingin orang mengetahui bahwa wanita janda miskin itu adalah ibunya, si anak yang telah menjadi orang besar itu menyuruh membunuh ibunya sendiri! Akan demikian pulakah nasibnya? Sedemikian jahat dan durhakakah puteranya? Membayangkan kemungkinan yang dibantahnya sendiri ini, Ang Siok Bi tidak dapat menahan lagi tangisnya dan air matanya bercucuran.
Akan tetapi, dia merasa mengantuk sekali. Rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya lagi dan karena menangis tadi, maka dia menjadi lengah, tidak melihat betapa ada asap halus memasuki kamarnya dari lubang di dekat pintu! Setelah asap itu mengenai mukanya, timbuliah rasa kantuk yang amat hebat, yang tidak dicurigainya karena selama tiga hari tiga malam boleh dibilang dia tidak berani memejamkan mata. Dan sekarang, bersedih karena membayangkan kemungkinan puteranya akan berbuat keji dan durhaka terhadap dirinya, Siok Bi menjadi lemah dan bersikap masa bodoh, maka dia pun tidak melawan rasa kantuk itu dan akhirnya tertidurlah wanita ini dengan nyenyaknya.
Tak lama kemudian ada suara gerakan di atas kamar itu. Genteng dibuka dan sesosok bayangan melayang masuk. Ketika bayangan itu melihat betapa Siok Bi telah tidur, dia tertawa di balik sapu tangan yang dipergunakan sebagai kedok menutupi mulut dan hidungnya, kemudian dia mengeluarkan suara suitan perlahan. Dari atas genteng lalu melayang turun lagi seorang yang juga memakai kedok sapu tangan dan orang ini mengangguk-angguk.
“Dia sudah pulas, Tuan Muda Mohinta,” kata orang pertama dalam bahasa Bhutan.
Laki-laki kedua yang ternyata adalah Mohinta itu, mencabut pedangnya dan dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya. Pedang meluncur dan menusuk dada Ang Siok Bi, tepat mengenai ulu hatinya dan menembus sampai ke punggung! Cepat Mohinta mencabut pedang itu dan tubuh Ang Siok Bi berkelojotan, darah muncrat muncrat dari dada dan punggungnya, lalu dia terdiam dan tewas tanpa dapat bersuara lagi, hanya sepasang matanya yang terbelalak memandang kepada dua orang yang membunuhnya secara curang itu.
Dua orang laki-laki itu lalu meloncat keluar melalui genteng, di mana terdapat beberapa orang teman mereka dari pergilah mereka menghilang ditelan kegelapan malam. Tidak ada seorang pun yang menyaksikan pembunuhan keji itu.
Demikianlah peristiwa pembunuhan atas diri Ang Siok Bi dan ketika Ang Tek Hoat muncul di dalam pondok ibunya, dia hanya mendapatkan kerangka ibunya, coretan tulisan di atas kayu pembaringan, dan pedang ibunya, tanpa dapat mengerti siapa yang telah membunuh ibunya.
Tentu saja cerita yang disampaikan oleh Cui-ma kepada Suma Kian Bu tidak lengkap, dan dia hanya bercerita tentang Ang Siok Bi sampai dia disuruh pergi oleh majikannya di waktu senja itu, kemudian dia menangis lagi sesenggukan.
“Lalu bagaimana, Cui-ma? Bagaimana dengan... Ibuku?” Suma Kian Bu mendesah, masih terus bersandiwara melayani si gila itu yang menyangka dia adalah Ang Tek Hoat putera dari Ang Siok Bi.
“Karena tidak berani membantah, sore hari itu aku meninggalkan rumah, tetapi aku tidak pergi jauh dan pada keesokan harinya, aku kembali lagi ke pondok. Aku tidak berani membuka pintu atau jendela yang dipasangi senjata rahasia, maka aku mengintai dan aku melihat nyonya majikan... Ibumu itu hu... huuukkk... dia telah tewas...“
Kian Bu terkejut juga, terkejut dan marah walau pun dia tahu bahwa yang diceritakan itu bukanlah ibunya sendiri.
“Celaka!” serunya sambil mengepal tinju. “Siapa yang membunuhnya, Cui-ma? Siapa?”
“Tadinya aku pun tidak tahu siapa... hu-hukkk... akan tetapi tiba-tiba mereka itu muncul dan menangkapku.”
“Mereka siapa?”
“Orang-orang Bhutan itu, yang dipimpin oleh Mohinta, persis seperti diceritakan Toanio kepadaku. Mereka menangkapku, kemudian membawaku dengan paksa ke sungai dan melemparkan aku ke pusaran air maut di Huang-ho...“
“Pusaran maut?”
“Ya, aku tidak berdaya. Aku dilempar di air dan pusaran air menyedot dan menarikku. Aku tidak tahu apa-apa lagi dan ketika aku sadar, ternyata aku telah berada di sini... di tepi sungai yang memasuki terowongan itu...“ Kembali dia menangis.
Suma Kian Bu tertegun dan terheran-heran. Kiranya di samping hwesio yang tergelincir ke dalam jurang dan menemukan tempat ini secara aneh, juga dia yang dapat turun dibantu oleh gadis yang memiliki burung garuda, ada seorang lain yang dapat tiba di sini secara lebih aneh lagi, yaitu Cui-ma ini. Melalui pusaran air dan sungai yang memasuki terowongan! Kemudian dia teringat akan keperluannya sendiri. Mungkin Cui-ma ini mengetahui tentang jamur panca warna!
“Cui-ma, setelah mendengarkan ceritamu, maukah engkau menolongku?”
“Tentu saja, Kongcu. Akan tetapi engkau harus membalaskan kematian Ibumu.”
“Sudah pasti akan kulakukan itu, Cui-ma. Sekarang katakanlah, apa engkau tahu di mana adanya jamur panca warna yang berada di dalam satu di antara goa-goa ini?” tanya Kian Bu sambil memandang wanita itu penuh harapan.
“Jamur panca warna...?” Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan sinar mata tak seliar tadi. Agaknya pertemuannya dengan pemuda yang disangka putera majikannya itu, dan cerita yang dituturkan sambil menangis tadi, telah banyak mengurangi tekanan batinnya.
“Ya, jamur panca warna untuk obat.” Kemudian Kian Bu teringat bahwa mungkin Cui-ma tidak mengenal nama jamur itu. “Jamur itu kalau siang biasa saja, akan tetapi kalau malam mengeluarkan sinar lima macam seperti pelangi dan berada di dalam satu di antara goa-goa itu.”
Mendadak Cui-ma nampak ketakutan dan bergidik seperti melihat sesuatu yang sangat mengerikan. Dia memandang ke kiri, ke arah sebuah goa besar dan berkata, “Kau... kau maksudkan... ihhhhh... mata-mata iblis itu, mata setan yang kalau malam mengejar ngejarku... hiiihhhhh, sungguh mengerikan, di goa Tengkorak itu penuh tengkorak bayi dan anak kecil, di situ terdapat pula mata iblis yang hidup kalau malam. Aku takut, Kongcu, aku takut...!” Wanita yang mengalami banyak tekanan dan penderitaan batin itu menjerit dan melompat hendak lari. Akan tetapi Kian Bu lebih cepat lagi dan sudah memegang lengannya.
“Tenanglah, Cui-ma, tidak ada apa-apa dan jangan takut. Ada aku di sini. Yang kau maksudkan dengan goa Tengkorak itu yang mana? Yang besar itu? Yang di depannya ada tumpukan tiga buah batu besar itu?” Dia menuding ke arah kiri di mana terdapat sebuah goa yang agak besar.
Wanita itu menoleh dan memandang ke arah goa itu dan matanya makin terbelalak berputaran. Agaknya gilanya kumat lagi. “Benar... benar... aku takut... takuttt...!”
Dan dia lalu menangis terisak-isak dalam pelukan Kian Bu yang merasa kasihan sekali kepada wanita ini…..
Komentar
Posting Komentar