JODOH RAJAWALI : JILID-20
Kian Bu terkejut bukan main. Dia menoleh dan kiranya dara cantik jelita itu telah berdiri di atas batu dan burung garudanya hinggap di pohon yang tumbuh tinggi di dinding tebing. Tentu saja sukar mendengarkan suara halus dari gerakan sayap yang menahan peluncuran mereka tadi dan tahu-tahu gadis itu telah berada di situ, mengeluarkan kata kata yang mengejek dan dengan pandang mata yang marah dan mengandung hinaan pula.
“Ahh, jangan sembarangan bicara!” bentaknya marah, akan tetapi tentu saja dengan perasaan tidak enak dia melepaskan pelukannya yang tadi dilakukan untuk mencegah Cui-ma lari dan membiarkan wanita itu menangis.
Tiba-tiba Cui-ma menjerit nyaring sekali. “Siluman datang hendak mencabut nyawaku!” Dia menoleh ke arah dara itu, lalu melarikan diri dengan cepat berloncatan ke atas batu batu yang besar-besar dan berserakan di tempat itu.
“Cui-ma...!” Kian Bu berteriak mengejar. Akan tetapi seperti orang nekat Cui-ma telah lari cepat berloncatan membabi-buta. Tiba-tiba dia tergelincir dan terbanting jatuh ke depan.
“Prakkk!” terdengar suara dan tubuhnya terguling, tidak bergerak lagi.
“Cui-ma...!” Kian Bu melompat dan cepat berlutut di atas batu di mana Cui-ma roboh tadi. Dia memeriksa dan menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah dara cantik yang masih berdiri itu.
“Dia telah mati...,“ katanya seperti orang mengeluh.
“Mati...?” Gadis itu cepat berlari menghampiri, terbelalak memandang wanita setengah tua yang kini kepalanya pecah berlumuran darah.
Kiranya ketika terjatuh tadi, kepalanya menimpa batu keras dan pecah sehingga dia tewas seketika! Dan baru sekarang Hwee Li mendapat kenyataan bahwa wanita yang dipeluk oleh Kian Bu tadi ternyata adalah seorang wanita setengah tua yang mukanya kotor menjijikkan dan yang agaknya adalah seorang wanita yang tidak waras otaknya.
“Dia siapa? Kenapa?” tanyanya sambil memandang kepada Kian Bu.
Tetapi Kian Bu masih merasa marah, sedih dan kecewa melihat nasib Cui-ma sehingga dia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, malah tidak mempedulikannya lagi dan dia memondong mayat Cui-ma, dibawanya ke tempat yang ada tanahnya. Dia menggali lubang tanpa bicara sepatah kata pun, kemudian mengubur mayat Cui-ma di situ, di depan sebuah goa. Akhirnya dia membersihkan kedua tangannya sambil menghela napas.
“Suma Kian Bu, kau menganggap dirimu ini siapa sih? Sikapmu begitu sombong!” Hwee Li yang sejak tadi diam saja dan menonton semua yang dilakukan Kian Bu sambil duduk di atas batu besar, kini menegur dengan wajah cemberut karena dia merasa sama sekali tidak diacuhkan oleh pemuda itu.
Kian Bu menengok dengan alis berkerut. “Engkau telah membuat dia ketakutan dan menjadi sebab kematiannya, dan kau sama sekali tidak menyesal?”
“Ehh, ehh! Siluman Kecil, ngawur saja bicaramu! Bagaimana duduk perkaranya maka kau katakan bahwa aku menjadi sebab kematiannya?” Hwee Li berseru sambil bangkit berdiri dan bertolak pinggang, wajahnya merah karena marahnya.
“Hemmm, pemarah benar gadis ini,” pikir Kian Bu. Akan tetapi dia tak mau kalah karena memang merasa kasihan sekali kepada Cui-ma dan mendongkol melihat kedatangan gadis itu yang mengejutkan Cui-ma.
“Kau telah mengejutkan dia, mengira engkau siluman maka dia lari lalu terjatuh. Apa kau tidak melihat itu?”
“Huh, kalau dia menganggap aku siluman, apakah itu kesalahanku? Kalau dia takut melihat aku lalu lari seperti gila, apakah itu juga kesalahanku? Kalau kau yang dekat dengan dia tidak mampu mencegah dia lari, apakah itu pun kesalahanku? Kalau memang wajahku jelek sekali seperti siluman sehingga membikin dia takut, apakah itu juga kesalahanku?” Diberondong oleh ucapan yang nadanya menantang dan mengejek, namun tak dapat dibantah kebenarannya itu membuat Kian Bu merasa tidak enak dan serba salah. Memang kalau dipikir benar-benar, tentu saja munculnya gadis itu tidak salah dan tidak sengaja hendak mengagetkan Cui-ma.
“Kau tidak berwajah jelek...,“ saking bingungnya dia membantah kalimat terakhir itu.
“Sudah jelas dia menyangka aku siluman sehingga dia ketakutan! Wajahku jelek seperti siluman, dan apa dayaku?”
Kalau dia diserang dengan kata yang mengandung kemarahan, agaknya Kian Bu akan dapat membalas karena dia pun terhitung seorang yang pandai bicara, bahkan dahulu sebelum dia menjadi Siluman Kecil, dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan pandai menggoda orang lain dengan kata-kata, akan tetapi sekarang melihat dara itu memburuk-burukkan diri sendiri, dia menjadi makin tidak enak.
“Tidak, tidak..., sebaliknya malah, kau cantik sekali...“
“Huh, sudah keluar pula sifat cabulnya!” Hwee Li mengejek.
Suma Kian Bu makin bingung. Celaka, gadis ini benar-benar membikin orang menjadi kewalahan dan mendongkol sekali! “Maksudku, kau tidak jelek dan karena cantik itu agaknya dia menyangka kau siluman. Tentu saja bukan salahmu, akan tetapi, ahh, aku kasihan sekali padanya. Nasibnya demikian buruk sampai matinya...“ Dan pemuda itu memandang ke arah gundukan tanah campur batu yang menjadi kuburan Cui-ma itu.
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari pemuda itu, rasa penasaran Hwee Li juga mereda dan dia bertanya sambil memandang ke arah kuburan itu, “Siapakah dia itu?”
“Namanya Cui-ma, dia pelayan dari Ang Siok Bi yang telah menjadi gila karena tekanan batin yang hebat dan dia sampai di sini karena dilempar ke Sungai Huang-ho dan hanyut oleh pusaran air.”
“Ihhh...! Siapa yang melakukannya dan kenapa? Siapa pula itu Ang Siok Bi?”
“Dia adalah ibu Ang Tek Hoat.”
“Ang Tek Hoat...? Ang Tek Hoat? Serasa pernah aku mendengar nama itu!” Hwee Li mengerutkan alisnya sambil mengingat-ingat.
“Mungkin saja. Dia pernah terlibat dalam urusan pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong. Dia terkenal dengan julukannya si Jari Maut, Ang Tek Hoat.”
“Ahhh...! Benar! Wah, dia terkenal sekali dan orang itu amat menarik. Kau bilang bahwa wanita tadi adalah pelayan ibu si Jari Maut?”
Melihat betapa Hwee Li amat tertarik, maka dengan singkat Kian Bu lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Cui-ma dan tentang cerita Cui-ma bahwa ibu dari Tek Hoat telah dibunuh oleh orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh orang yang bernama Mohinta, seorang panglima dari Bhutan yang lihai. Hwee Li mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia kembali memandang ke arah kuburan itu.
“Maafkan aku, tadinya kusangka...“
“Kau sangka apa?”
“Dari atas tadi kulihat engkau memeluk seorang wanita, kelihatan kalian seperti sedang bercinta-cintaan dan bermesra-mesraan.”
Kian Bu sudah mendapatkan kembali sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang. “Andai kata benar demikian, mengapa?”
Kedua pipi itu berubah merah dan matanya bersinar marah. “Aku sih tidak peduli! Akan tetapi karena kau bilang hendak mencarikan obat untuk Suma Kian Lee, dan melihat kau bermain gila, maka aku sudah menegurmu.”
“Obat? Ahh, benar! Agaknya aku sudah menemukan tempatnya, berkat petunjuk dari Cui-ma,” berkata demikian, Kian Bu lalu melangkah menuju ke goa yang ditunjuk oleh Cui-ma tadi.
Hwee Li cepat mengikutinya dan mereka berdiri di depan goa besar yang agak gelap karena sinar matahari tidak dapat langsung masuk ke dalamnya. Akan tetapi lambat laun mata mereka sudah menjadi biasa dan ketika mereka memasuki goa, kelihatanlah oleh mereka banyak sekali kerangka kecil di situ.
“Hemmm, Cui-ma bilang bahwa goa ini penuh tengkorak bayi dan anak kecil. Agaknya inilah goa Tengkorak itu...,“ kata Kian Bu sambil memandang tengkorak dan tulang tulang yang berserakan.
“Tidak ada tengkorak bayi atau anak kecil. Ini adalah tengkorak dan kerangka binatang, semacam monyet, hanya mukanya seperti anjing. Hemmm, tidak salah lagi, ini adalah kerangka binatang baboon yang tubuhnya monyet dan mukanya anjing. Ini agaknya menjadi kuburan mereka.”
“Dan Cui-ma bilang di sini terdapat mata iblis...,“ kata pula Kian Bu.
Mereka masuk terus ke dalam goa yang agak panjang itu. Tiba-tiba Hwee Li berseru, “Ihhhhh...” dan otomatis tangannya memegang tangan Kian Bu.
Pemuda ini pun terkejut sehingga dia pun membalas pegangan tangan itu. Mereka saling berpegang tangan dan jantung mereka berdebar tegang. Jauh di sebelah dalam, di tempat gelap, nampak banyak mata yang mencorong dan bersinar-sinar memandang ke arah mereka! Bukan mata manusia, bukan pula mata binatang, dan agaknya itulah mata iblis yang ditakuti oleh Cui-ma.
Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan melepaskan tangannya. “Ahhh, memang benda yang berkilau dan mengeluarkan sinar, akan tetapi lihatlah, sinarnya tidak pernah bergerak. Bukan mata, melainkan benda-benda bersinar.”
“Benar engkau, Nona. Dan agaknya inilah yang kucari-cari. Lihat, bukankah sinarnya berubah-ubah dan seperti warna pelangi? Inilah jamur panca warna itu! Dan menurut penuturan Sai-cu Kai-ong, jamur itu hanya mengeluarkan sinar di tempat gelap, kalau di tempat terang tidak bersinar.”
Kian Bu mendekat, berjongkok dan menggunakan tangannya mencabuti jamur-jamur itu. Jamur-jamur itu masih bersinar-sinar di tangannya ketika dia bawa keluar, akan tetapi setibanya di luar, jamur-jamur itu kehilangan sinarnya dan berubah sebagai jamur biasa saja!
“Inilah obatnya, tidak salah lagi!” Kian Bu berseru dan menoleh ke arah kuburan Cui-ma sambil berkata, “Terima kasih, Cui-ma, engkau telah menyelamatkan kakakku.”
“Belum tentu,” tiba-tiba Hwee Li berkata. “Kalau kau tidak dapat keluar dari sini dan cepat-cepat memberikan jamur itu kepada kakakmu, mana bisa dia tertolong? Mari, kuantar kau naik.”
Hwee Li mengeluarkan suara melengking dan burung garuda itu menyambar turun lalu hinggap di atas batu di depan gadis itu. “Siluman Kecil...“
“Namaku Suma Kian Bu, Nona.”
“Sebaiknya sekarang kukenal sebagai Siluman Kecil saja. Kau akan kubantu agar dapat naik ke sana.”
“Terima kasih, Nona. Akan tetapi...“ Kian Bu meragu karena dia merasa ‘ngeri’ kalau harus duduk membonceng lagi. Dia tidak berani tanggung kalau tidak akan bangkit birahinya lagi duduk berhimpitan dengan nona yang amat cantik itu.
“Kau kira akan membonceng? Aku pun tidak mau...!”
“Kalau aku duduk di depan...”
“Huh, di depan pun berbahaya. Seorang cabul seperti engkau!”
“Kalau begitu kau tinggalkan saja aku di sini, Nona, aku akan mencari jalan ke luar sedapatku dan aku tidak mau menyusahkanmu.”
“Sombong!” Hwee Li lalu meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung garudanya dan burung itu pun terbang ke atas. Hwee Li menjenguk ke bawah sambil berteriak, “Kau bergantunglah pada ini!” Dan sehelai sabuk sutera merah muda meluncur ke bawah.
Kian Bu tersenyum. Memang banyak akalnya nona ini, pikirnya dan karena dia harus cepat-cepat dapat kembali ke kakaknya, maka dia pun lalu meloncat dan menangkap ujung sabuk sutera itu, bergantung di udara. Gadis itu mengeluarkan suara melengking dan burungnya terbang ke atas dengan cepat sekali. Tubuh Kian Bu tetap bergantung dan diam-diam pemuda perkasa ini merasa ngeri juga. Ia tahu bahwa nyawanya berada di telapak tangan nona itu karena sekali saja nona itu melepaskan sabuk, betapa pun tinggi kepandaiannya, dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan nyawanya lagi.
Untuk keluar dari tempat itu, belum tentu akan dapat dilakukannya dalam waktu berhari hari karena dia harus akan mencari-cari jalan lebih dulu, tetapi dengan menggantung pada sabuk sutera itu, dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tiba di atas tebing dan dia meloncat turun. Burung garuda itu terbang perlahan-lahan, berputaran di atas kepalanya dan gadis itu menjenguk ke bawah. “Siluman Kecil, kau cepat bawa obat itu kepada kakakmu!”
Kian Bu menjura ke arah gadis itu dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Engkau sungguh amat baik, Nona. Engkau telah menolong aku dan berarti engkau telah menyelamatkan nyawa kakakku. Aku menghaturkan terima kasih atas bantuanmu.”
“Aku tidak membantumu! Kalau tidak ingat kepada kakakmu, apa kau kira masih hidup setelah apa yang kau lakukan di atas punggung garuda kemarin?”
Wajah Kian Bu terasa panas dan menjadi merah sekali. “Nona, semua itu terjadi tanpa kusengaja, apakah kau tidak dapat memaafkan aku?”
“Sudahlah, cepat pergi dan obati kakakmu.”
“Tapi tinggalkan dulu namamu, Nona.”
“Aku tidak ingin menjadi kenalanmu.”
“Akan tetapi kalau kakakku bertanya siapa adanya dewi kahyangan yang menolongnya bagaimana aku akan menjawab?”
Disebut dewi kahyangan, Hwee Li tersenyum. “Engkau memang perayu besar! Katakan saja bahwa lima enam tahun yang lalu aku pernah mengobati luka di paha kakakmu!” Setelah berkata demikian dia menepuk punggung garudanya yang terbang cepat ke atas.
Kian Bu menjadi bengong. Pernah kakaknya dahulu bercerita betapa ketika kakinya terluka parah, terkena ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, paha kakaknya yang terluka itu diobati dan disembuhkan oleh seorang gadis cilik yang bernama Kim Hwee Li, yaitu puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Jadi gadis cantik jelita itu adalah puteri ketua Pulau Neraka!
“Engkau Kim Hwee Li dari Pulau Neraka?” Dia berseru nyaring ke arah burung garuda yang sudah terbang tinggi. Tidak ada jawaban kecuali suara melengking nyaring yang makin menjauh, entah lengking gadis aneh itu ataukah lengking garuda…..
********************
Kian Bu melakukan perjalanan cepat sekali, akan tetapi ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan di mana tempo hari pasukan kerajaan berada, kini tempat itu telah menjadi sunyi dan tahulah dia bahwa pasukan itu telah meninggalkan tempat itu. Dan hal itu memang benar. Setelah Pangeran Yung Hwa selamat sampai di istana kaisar, kaisar lalu memerintahkan agar pasukan kembali ke kota raja.
Kaisar tidak ingin melihat timbulnya perang saudara yang baru, karena pasukan lebih diperlukan untuk menjaga perbatasan dengan negara tetangga dan melindungi tanah air dari serbuan orang-orang liar terutama dari utara dan barat, dari pada dipergunakan untuk perang saudara. Ada pun mengenai tanda-tanda dan sikap-sikap memberontak dari para gubernur, akan diserahkan kepada orang-orang pandai dari kerajaan untuk mengatasi dan membereskannya.
Setelah mendapatkan kenyataan bahwa pasukan telah meninggalkan tempat itu, Kian Bu teringat akan pesan Sai-cu Kai-ong, maka tanpa membuang waktu lagi dia langsung pergi dengan cepat menyusul ke puncak Bukit Nelayan, yaitu bukit di tepi sungai sebelah selatan kota Pao-teng di mana Sai-cu Kai-ong tinggal.
Beberapa hari kemudian, setelah tiba di puncak Bukit Nelayan, benar saja dia bertemu dengan Sai-cu Kai-ong dan kakaknya juga berada di situ, berbaring di dalam sebuah kamar dan keadaannya tidaklah separah ketika dia tinggalkan berkat perawatan yang baik dari seorang ahli pengobatan yang pandai, yaitu Sai-cu Kai-ong. Kakek itu girang dan kagum sekali menerima jamur panca warna dari Kian Bu.
“Benar..., benar inilah jamur yang mukjijat itu... aihhh, Suma-taihiap, sungguh engkau hebat sekali, dan kakakmu tentu akan sembuh dengan cepat berkat obat ini,” kata kakek itu sambil membawa masuk jamur itu untuk dibuatkan ramuan obat.
Kian Bu memandang girang dan menoleh ketika kakaknya berkata, “Bu-te, engkau telah bersusah-payah untukku. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, adikku.”
Kian Bu duduk di atas bangku dekat pembaringan kakaknya, wajahnya berseri gembira dan dia berkata, “Lee-ko, kau tidak semestinya mengucapkan terima kasih kepadaku, karena yang berjasa mendapatkan jamur mukjijat itu bukanlah aku...“
“Aku tahu, memang Locianpwe Sai-cu Kai-ong juga telah melimpahkan budi kepadaku, akan tetapi engkau yang bersusah payah mendapatkannya, padahal menurut cerita Locianpwe itu, amat sukarlah mendapatkannya dan engkau telah berhasil dalam waktu singkat.”
“Ah, sama sekali bukan aku. Kalau tidak ada pertolongan orang itu, kiranya belum tentu satu bulan lagi aku sudah dapat kembali, bahkan belum tentu bisa mendapatkan jamur itu.”
“Ah, begitukah? Siapakah penolong yang budiman itu, adikku?”
“Dia adalah seorang yang amat kau kenal baik, Koko.”
“Siapa?”
“Pacarmu!”
Kian Lee terkejut dan mengerutkan alisnya memandang wajah adiknya yang berseri dan kemudian dia tersenyum. Meski adiknya ini telah mengalami banyak sekali perubahan, rambutnya putih semua persis seperti keadaan ayah mereka si Pendekar Super Sakti, wajah adiknya itu sudah nampak dewasa dan ‘matang’, namun ternyata adiknya masih belum kehilangan sifat kebengalannya!
“Kian Bu, jangan main-main kau!” katanya menegur karena dia mengira bahwa yang dimaksudkan oleh Kian Bu itu tentulah Ceng Ceng, atau Lu Ceng, atau kini telah menjadi isteri Kao Kok Cu putera sulung Jenderal Kao Liang yang dulu berjuluk Topeng Setan. Ketika mendengar adiknya menyebut ‘pacarmu’, terbayanglah wajah Ceng Ceng, akan tetapi Kian Lee cepat-cepat mengusir bayangan itu karena maklum bahwa tidak semestinyalah kalau dia membayangkan wajah isteri orang lain!
Melihat wajah kakaknya menjadi agak muram, Kian Bu segera teringat dan maklum, maka cepat-cepat dia menyambung, “Bukan dia maksudku, Lee-ko, akan tetapi dara cantik jelita yang menjadi pacarmu dalam cinta pertamamu. Hayo, masa kau lupa lagi siapa yang menerima cinta pertamamu?”
Kian Lee masih mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa adiknya ini bengal dan suka menggoda orang, terutama menggoda wanita-wanita muda. Dia sendiri jarang bergaul dengan wanita, dan selama hidupnya, baru satu kali dia jatuh cinta, jatuh cinta benar benar dan ternyata yang dicintanya itu, Ceng Ceng, keponakan tirinya sendiri! Ceng Ceng adalah puteri gelap dari mendiang Wan Keng In, sedangkan Wan Keng In itu adalah anak kandung dari ibunya sendiri, jadi satu ibu lain ayah dengan dia! Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan Ceng Ceng dan kenyataan itu sebenarnya banyak menolongnya, karena kalau tidak, tetap saja dia akan patah hati, malah lebih parah lagi karena ternyata Ceng Ceng mencinta seorang laki-laki lain, yaitu Kao Kok Cu!
“Aku tidak mengerti siapa yang kau maksudkan itu, Bu-te,” katanya menggeleng kepala.
Kian Bu tertawa. “Dia sendiri tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali Koko, galak dan lincah, menunggang seekor garuda, pakaiannya serba hitam dan ilmu kepandaiannya hebat.”
Kian Lee tetap tidak dapat menduga siapa adanya gadis itu. “Siapakah dia, Bu-te? Katakanlah, siapa dia dan mengapa kau tadi mengatakan bahwa dia adalah pacarku.”
“Dia tidak bilang begitu, Koko, maafkan aku. Akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia dahulu pernah menolongmu dan mengobati pahamu yang terluka parah lima enam tahun yang lalu...”
“Aihhh...! Dia...?” Tentu saja Kian Lee teringat baik akan peristiwa itu.
Lima tahun lebih yang lalu dia terluka oleh ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, dan dia tentu akan tertawan musuh dan tidak berdaya dalam keadaan luka itu kalau tidak ditolong oleh seorang gadis cilik yang manis dan mungil, murid keponakan Mauw Siauw Mo-li sendiri, gadis yang muncul bersama banyak kucing, Kim Hwee Li atau puteri tunggal dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Terbayanglah dia wajah anak yang cantik itu.
“Benar dia, tentu kau ingat sekarang bukan, Koko?” tanya Kian Bu sambil tersenyum dan menyelidiki wajah kakaknya. Dia tahu bahwa kakaknya telah patah hati karena kasih tak sampai dan dia akan senang kalau kakaknya ini mendapatkan seorang pacar baru, dan gadis pakaian hitam itu memang hebat!
“Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” Kian Lee menegaskan.
“Benar, dialah orangnya yang memungkinkan aku secepat ini memperoleh jamur itu untukmu, Koko.” Kian Bu lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia mencari jamur dan bertemu dengan Hwee Li yang memboncengkannya turun ke bawah tebing itu. Tentu saja dia tidak berani menceritakan tentang peristiwa memalukan dan lucu ketika dia terserang oleh nafsu birahi yang bangkit ketika dia dibonceng di belakang tubuh Hwee Li dan betapa Hwee Li menjadi marah-marah dan menyerangnya sehingga dia terjatuh ke bawah.
“Dia... dia cinta padamu, Koko.”
“Hushhhhh...!” Kian Lee membentak dengan muka berubah merah. “Jangan menyalah tafsirkan kebaikan orang, Bu-te. Apakah karena dia dahulu pernah mengobati pahaku, kemudian sekarang membantumu mencari jamur panca warna, kemudian kau anggap kebaikan hatinya itu sebagai tanda jatuh cinta? Kau sungguh terlalu merendahkan kebaikan orang, Bu-te.”
“Bukan begitu, Lee-ko. Aku tentu saja tidak akan sembarangan bicara kalau tidak ada bukti-bukti nyata. Buktinya menyatakan bahwa dia cinta kepadamu.”
“Hemmm, kau masih bengal seperti dulu, Kian Bu. Hayo, apa buktinya?” Kian Lee mendesak.
“Ketika dia mengobati pahamu dahulu tentu saja aku tidak dapat membuktikannya, apa lagi ketika itu dia tentu masih kecil, belum dewasa, maka tidak patut bicara tentang cinta. Akan tetapi sekarang, hemmm... dia telah menjadi seorang dara dewasa yang cantik jelita dan manis sekali, Koko...“
“Hal itu belum menjadi bukti bahwa dia cinta padaku, agaknya padamulah dia jatuh hati, Bu-te, karena engkau selalu pandai merayu wanita!”
“Tidak, Lee-ko, dengarlah dulu ceritaku. Kukatakan tadi bahwa dia menolongku dengan membonceng garudanya turun ke dasar tebing. Nah, ketika dalam penerbangan itu dia bertanya mengapa kau terluka, dan dia tadinya sudah menunjukkan pula bahwa hanya karena mendengar Suma Kian Lee terluka saja maka dia mau membantuku. Ketika aku berterus terang mengatakan bahwa kau terluka oleh pukulanku, sebelum aku sempat menceritakan bahwa hal itu kulakukan tanpa sengaja dia sudah menjadi begitu marah dan dia menyerangku sampai aku terjungkal dari atas punggung garudanya!”
“Ahhh...!” Kian Lee terkejut sekali
“Untung burung itu telah terbang rendah dan hampir sampai di dasar tebing sehingga aku selamat. Akan tetapi bukankah hal itu jelas membuktikan bahwa dia cinta padamu sehingga ketika dia mendengar engkau luka terpukul olehku dia lalu marah dan hendak membunuhku?”
“Hemmm, dia ganas...!” Kian Lee berkata lirih. Tentu saja dia tidak memikirkan gadis itu, melainkan memikirkan bahaya yang mengancam adiknya.
“Akan tetapi dia sudah kuceritakan bahwa perkelahian antara kita adalah karena tidak tahu, maka dia berbaik kembali dan mau mengantarku naik dengan garudanya setelah aku berhasil menemukan jamur itu.”
“Karena petunjuk wanita gila itu seperti yang kau ceritakan tadi? Ahh, sungguh hebat pengalamanmu, adikku. Siapa kira di tempat itu kau bertemu dengan pelayan Ibu Tek Hoat yang menceritakan peristiwa hebat yang menimpa diri Ang Siok Bi itu. Entah Tek Hoat sudah mendengar atau belum bahwa ibunya dibunuh oleh Mohinta dan teman temannya dari Bhutan.”
Percakapan mereka terhenti karena munculnya Sai-cu Kai-ong yang datang bersama Siauw Hong dan Gu Sin-kai. Siauw Hong membawa periuk obat yang terisi godokan obat yang berwarna hijau.
“Ahh, Suma-taihiap,” kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Bu. “Kakakmu tidak boleh diajak bicara terlalu banyak. Dia harus banyak istirahat karena luka yang dideritanya amat hebat. Jamur panca warna ini akan menyelamatkannya, akan tetapi dia harus banyak beristirahat.”
Kakek ini lalu mengambil periuk dari tangan Siauw Hong dan memberi minum ramuan jamu panca warna yang telah digodok dengan obat-obat lain itu kepada Kian Lee. Rasanya pahit dan baunya tidak sedap, agak amis dan wengur, akan tetapi ada hawa yang hangat menjalar dari perut setelah Kian Lee menghabiskan obat semangkok itu.
“Sekarang, beristirahatlah, Taihiap,” kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Lee. “Setiap hari Taihiap harus minum obat, ramuan ini tiga mangkok, pagi siang dan sore.” Maka mulailah Kian Lee minum obat campur jamur mukjijat itu, dilayani oleh Siauw Hong yang menggodokkan obatnya dan Kian Bu yang menjaganya siang malam.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali atas perkenan Sai-cu Kai-ong, Suma Kian Bu memondong tubuh Kian Lee yang belum boleh banyak bergerak itu keluar dari kamar, menuruni puncak dan menuju ke tepi sungai. Kian Bu menurunkan tubuh kakaknya di atas rumput hijau. Hawa amat nyaman di pagi hari itu, apa lagi setelah matahari pagi yang murni dan jernih itu mulai melimpahkan cahayanya yang keemasan.
“Sekarang tiba saatnya engkau menceritakan semua pengalamanmu, Bu-te. Mengapa selama lima tahun ini engkau tidak pernah pulang ke Pulau Es dan ke mana saja engkau pergi? Mengapa pula rambutmu menjadi putih semua seperti itu? Apakah memang karena engkau mewarisi warna rambut Ayah, ataukah ada terjadi hal lain?”
Mendengar pertanyaan kakaknya itu, tiba-tiba saja wajah Siluman Kecil itu menjadi muram kembali. Kalau tadinya semenjak dia mencari obat jamur dan bertemu dengan Hwee Li, hampir pulih kembali kegembiraannya dan hampir nampak kembali sifat-sifat Kian Bu yang lincah gembira, kini dia kembali muram seperti wajah Siluman Kecil selama ini!
Dia menarik napas panjang dan berkata lirih dan lambat, “Aku telah tenggelam di dalam kedukaan hebat, Koko. Semenjak aku melihat pencurahan kasih sayang dari Puteri Syanti Dewi kepada Ang Tek Hoat di dalam hutan, semenjak aku melihat kenyataan bahwa puteri yang kucinta dengan sepenuh jiwa raga itu ternyata mencinta orang lain, aku tak dapat menahan guncangan batin karena kecewa dan duka, dan aku tenggelam di dalam kesedihan seperti hampir gila dan tidak ingat apa-apa lagi...“
Kian Lee menarik napas panjang dan memegang tangan adiknya penuh kasih sayang dan belas kasihan. “Aku tahu, adikku. Aku telah mengenal pula perasaan itu. Sekarang lanjutkanlah ceritamu.”
“Aku seolah-olah menjadi bosan hidup. Alam di sekelilingku berubah seperti neraka dan aku tidak ingin kembali ke Pulau Es, tidak ingin bertemu siapa pun juga kecuali bertemu dengan malaikat maut yang boleh mencabut nyawaku. Aku pergi merantau ke mana pun kakiku membawaku, tanpa tujan, tanpa kemauan dan yang ada hanya perasaan merana dan sengsara.”
“Ahhh, kasihan sekali kau, Bu-te. Tidak kusangka seorang yang segagah dan selincah engkau, yang selalu gembira dan nakal, ternyata masih begitu lemah setelah tertimpa kekecewaan cinta...” Kian Lee memandang dengan sinar mata terharu sekali.
“Aku sendiri pun merasa heran, Koko. Tadinya kuanggap bahwa cinta terhadap wanita hanya merupakan permainan belaka. Akan tetapi cintaku terhadap Syanti Dewi sungguh lain sama sekali. Puteri itu telah menguasai seluruh jiwa ragaku, setiap bulu di tubuhku seperti telah mencintainya dan tidak mau berpisah lagi dari sisinya, maka begitu terjadi perpisahan dan kenyataan bahwa aku tidak dapat mendekatinya, aku jatuh dan hancur lebur. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku agar tidak membosankan engkau yang mendengar aku merengek-rengek tentang cintaku yang gagal, Koko. Dengarlah…..”
Kian Bu lalu bercerita. Dengan hati patah dan hancur dia lalu berkelana, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan telaga, masuk keluar hutan-hutan besar dan lebat, sama sekali tidak mempedulikan lagi dirinya sehingga pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus dan wajahnya pucat, rambutnya terurai riap-riapan tanpa pernah dibereskan. Karena membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sedemikian rupa, dan mungkin karena ditambah dengan keturunan, dalam waktu beberapa bulan saja sudah tumbuh rambut putih di kepalanya.
Pada suatu hari, tanpa disadarinya dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-pei sebelah selatan dan mendaki sebuah bukit. Karena dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, maka dia tidak peduli pula akan cegahan orang-orang ketika dia tiba di bawah bukit. Orang orang itu memperingatkannya agar tidak naik ke bukit itu, karena menurut mereka, bukit itu berada di bawah kekuasaan kakek dewa yang menghuni di gedung tua di puncak bukit itu dan kakek dewa itu amat galak, tidak memperkenankan sembarangan orang mendekati gedungnya.
Akan tetapi Kian Bu tidak mempedulikan itu semua, bahkan dia seperti sengaja hendak menempuh bahaya karena baginya pada waktu itu, kalau kematian datang, hal itu dianggapnya baik sekali! Dia seperti orang nekat dan dengan sembarangan saja dia lalu mendaki bukit yang sunyi itu pada waktu matahari mulai tenggelam.
Senja kala mendatangkan sinar layung yang kemerahan di permukaan bukit, membuat segala sesuatu seperti menyala kekuningan, terang sekali dan sesungguhnya amatlah indahnya. Namun bagi seorang yang sedang dilanda kedukaan hati dari pikirannya sendiri, tidak ada apa-apa yang indah, adanya hanya mengesalkan dan menjemukan hati belaka.
Jelaslah bahwa indah dan buruk hanyalah penilaian yang sesuai dengan keadaan hati seseorang belaka. Kenyataannya tidaklah baik atau buruk, melainkan ya sudah begitu, apa adanya, tidak baik tidak buruk, tidak indah tidak jelek. Hanya pikiran dan hati sendirilah yang memberi penilaian, sesuai dengan suka dan tidak suka, menyenangkan dan tidak menyenangkan, menguntungkan dan merugikan.
Ketika malam mulai datang, gelap menyelimuti cahaya terakhir dari matahari, Kian Bu menghentikan langkahnya dan duduklah dia di atas batu di pinggiran jurang, melamun, kadang-kadang merenung ke dalam kegelapan, kadang-kadang pula dia berdongak memandang langit yang terhias bintang-bintang muda yang berkedap-kedip lemah di langit yang masih muda warnanya. Pikirannya kosong, melayang-layang tanpa arah tujuan tertentu, suasana menjadi lengang dan kesepian menyelimutinya, menimbulkan ketrenyuhan hati yang makin merana.
Dia tidak tahu di mana dia berada. Sebenarnya pada saat itu dia telah berada di wilayah Pegunungan Tai-hang-san, di salah sebuah di antara puncak bukit-bukit di sekitar pegunungan itu. Tiba-tiba terdengar suara suling melengking, memecah kesunyian malam, menyelinap di antara suara belalang dan jengkerik serta binatang-binatang kecil yang biasa meramaikan suasana keheningan malam.
Kian Bu tertarik oleh suara suling itu. Sungguh nyaring sekali suara suling itu, peniupnya tentu seorang yang pandai. Seperti ada daya tarik luar biasa pada suara suling itu. Kian Bu lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah suara itu. Sementara itu, bintang bintang di langit mulai nampak lebih terang karena langit makin tua warnanya, dan bintang-bintang itu kelihatan seperti permata-permata indah tergantung pada beludru hitam yang bersih. Tidak begitu gelap keadaan di tempat itu sehingga Kian Bu dapat melihat seorang kakek yang duduk bersandarkan batang pohon dan meniup suling.
Suara suling itu terhenti seketika dan kakek itu meloncat, di tangan kanannya nampak sebatang tongkat dan sebatang suling yang putih berkilau, yang telah diselipkan di ikat pinggangnya. Kakek itu tinggi kurus dan usianya tentu sudah enam puluh lima tahun lebih. Sikapnya agung dan gagah ketika dia berdiri dengan kaki yang terpentang lebar, tongkatnya melintang dan kedua matanya memandang Kian Bu penuh perhatian dan kecurigaan.
“Siapa kau? Mau apa naik ke bukit ini yang berada di bawah kekuasaan kami? Hayo cepat kau pergi dari sini sekarang juga!” bentak kakek itu.
Kian Bu mengerutkan alisnya. “Apakah engkau ini yang dinamakan orang di bawah sana sebagai kakek dewa?” tanyanya.
Kakek itu mendengus dan menggerakkan tongkatnya yang panjang. “Kalau benar mau apa?”
“Hemmm, kalau benar begitu, namamu saja kakek dewa, akan tetapi sikapnya lebih menyerupai kakek iblis.”
“Bocah keparat! Berani engkau memaki Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak)? Hayo pergi, aku masih sabar dan dapat mengampunimu. Aku tidak mau ribut dengan seorang bocah masih ingusan.”
Kian Bu yang memang sedang murung itu, menjadi marah. “Kakek sombong, kalau aku tidak dapat mengalahkan engkau lebih baik aku mati saja!”
Ucapan yang sebenarnya keluar dari hati yang kesal itu tentu saja membuat Gin-siauw Lo-jin menjadi marah bukan main. “Bocah tak tahu diri! Pergi!” bentaknya, dan tangan kirinya menampar. Dia mengira bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda ugal-ugalan dari bawah gunung, maka dia bermaksud untuk menampar pundaknya agar pemuda itu takut dan lari. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pemuda itu tidak mengelak atau menangkis.
“Plakkk!” Tubuh kakek itu terhuyung dan hampir roboh! Maklumlah kakek itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pandai yang agaknya memang datang untuk mengacau, maka sambil berseru keras dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang.
“Wuuuuuttttt...! Wirrrrr...!”
Kian Bu juga kaget. Bukan main lihainya tongkat itu, gerakannya teramat cepat dan mengandung angin pukulan yang dahsyat. Ternyata bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang benar-benar amat lihai, maka dia pun tidak mau mengalah begitu saja. Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru dan kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget ketika melihat betapa tongkatnya membalik dan telapak tangannya panas ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.
“Keparat!” bentaknya.
Dengan sepenuh tenaganya karena penasaran, dia mengarahkan hantaman tongkatnya pada kepala Kian Bu. Sekali ini dia menyerang untuk membunuh! Kian Bu menanti sampai tongkat itu menyambar dekat, kemudian dia menggerakkan kedua lengannya memapaki dari kanan kiri dengan gerakan menggunting.
“Krekkk-krekkkkk!” Tongkat panjang itu patah-patah menjadi tiga potong dan bagian tengahnya terlempar jauh.
“Ehhhhhh...!” Kakek yang mengaku berjuluk Gin-siauw Lo-jin itu berseru keras saking kagetnya dan marahnya.
Dia adalah murid pertama dari Sin-siauw Sengjin (Kakek Dewa Seruling Sakti) yang menjadi ahli waris dari pendekar sakti Suling Emas, dan tongkatnya itu adalah sebuah benda pusaka yang selama puluhan tahun berada di dalam tangannya dan belum pernah terkalahkan. Akan tetapi kini patah menjadi tiga bertemu dengan lengan pemuda ini! Tentu saja dia menjadi penasaran, malu dan hal ini membuat ia marah bukan main.
Kemarahan sudah pasti timbul karena penonjolan kepentingan pribadi tersinggung, dan penonjolan kepentingan pribadi selalu mengejar kesenangan baik lahir mau pun batin. Salah satu di antara kesenangan batin adalah bayangan betapa pandainya diri sendiri. Membayangkan bahwa diri sendiri pandai, gagah perkasa, berkuasa dan sebagainya adalah menyenangkan dan kalau bayangan ini dirusak oleh kenyataan, maka akan menjadi marahlah batin.
Demikian pula halnya kakek Gin-siauw Lo-jin itu. Selama ini dia merasa dirinya sangat hebat, tongkatnya amat hebat, akan tetapi kenyataan bahwa tongkatnya patah-patah bertemu dengan lengan pemuda itu membuatnya marah bukan main.
“Bocah setan, engkau datang mengantar nyawa!” serunya dan nampak berkelebat sinar putih ketika dia mencabut suling perak dari ikat pinggangnya.
Ketika dia dan Suma Kian Lee, kakaknya, meninggalkan Pulau Es untuk pergi ke kota raja mencari enci-nya, yaitu Puteri Milana, oleh ayah ibu mereka di Pulau Es, mereka dilarang membawa senjata. Dan memang dua orang pemuda Pulau Es itu tidak lagi membutuhkan senjata. Seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian setingkat mereka memang sebenarnya tidak memerlukan lagi senjata.
Selain kedua lengan dan kedua kaki mereka merupakan senjata yang ampuh, bahkan setiap buah jari tangan mereka merupakan senjata ampuh, juga setiap benda yang mereka temukan dapat saja mereka pergunakan sebagai senjata. Kini, melihat kakek itu mencabut suling perak yang tadi ditiupnya, Kian Bu bersikap waspada. Dia adalah seorang yang sedang tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan, tentu saja melihat orang yang dianggapnya keterlaluan itu dia menjadi marah.
“Sing-sing-singgggg...!”
Sinar perak berkelebatan seperti kilat yang menyambar-nyambar dahsyat, disertai bunyi berdesingan yang nyaring.
“Bagus!” Kian Bu berseru kagum karena memang hebat gerakan suling itu.
Cepat dia mengelak ke sana-sini dan kemudian terkejutlah dia ketika dia melihat cara suling itu digerakkan. Dia mengenal gerakan itu. Cepat dia menghindarkan diri dan karena penasaran dia tidak balas menyerang melainkan mengelak ke sana-sini untuk mempelajari gerakan lawan lebih lanjut. Tidak salah lagi, itulah gerakan dari jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat!
Dan ilmu ini adalah sebuah di antara ilmu-ilmu keistimewaan kakaknya, Suma Kian Lee, yang mewarisinya dari ibunya, yaitu Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, bahkan yang mewarisi kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar sakti Suling Emas! Dia sendiri mengenal dan dapat memainkan Ilmu Pat-sian Kiam-hoat karena selain dia menerima petunjuk dari ibu tirinya itu, juga ibunya sendiri, Puteri Nirahai adalah seorang wanita yang serba bisa dan telah mempelajari semua Ilmu, termasuk ilmu dari Suling Emas ini!
Setelah kakek itu menyerangnya sampai sepuluh jurus dan dia yakin bahwa ilmu yang dimainkan itu adalah Pat-sian Kiam-hoat, dia meloncat ke belakang sambil berseru, “Bukankah yang kau mainkan itu Pat-sian Kiam-hoat?”
Kakek itu tertegun dan memandang kepadanya dengan heran, kemudian tersenyum mengejek karena mengira bahwa pemuda yang lihai itu merasa takut. “Hemmm, kau sudah mengenal ilmu silatku yang hebat? Bagus, kalau begitu lekas kau berlutut minta ampun dan mengenalkan dirimu agar engkau tak akan menjadi setan penasaran tanpa nama, tewas di ujung suling mautku,” kata kakek itu yang merasa mendapatkan kembali harga dirinya.
“Hemmm, maling hina! Dari mana engkau mencuri Ilmu Pat-sian Kiam-hoat?” Kian Bu membentak marah.
Kakek itu terkejut dan tentu saja dia menjadi marah sekali. Dikiranya pemuda itu menjadi gentar mengenai ilmunya, tidak tahu malah menghinanya dan mengatakannya maling! Terngiang bunyi di dalam telinganya, merah pandang matanya karena darahnya sudah naik ke kepala saking marahnya.
“Bocah lancang bermulut busuk, mampuslah!” bentaknya dan dia sudah menggerakkan lagi suling peraknya, kini dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi sampai suling itu mengeluarkan suara melengking nyaring seperti ditiup mulut!
Kian Bu cepat mengelak, akan tetapi kini dia mengelak lalu membalas serangan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...!”
Kakek itu pun mengelak karena kaget sekali betapa hawa yang sedang menyambarnya membawa rasa dingin yang menyusup tulang, lalu sulingnya kembali menghujankan serangan.
Pertandingan itu cukup hebat karena memang suling kakek itu amat lihai. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia bertemu dengan pemuda Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka lewat tiga puluh jurus lebih, hawa sakti dari Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu menyambar dadanya dan Gin-siauw Lo-jin berteriak keras dan roboh terguling dalam keadaan pingsan dan dengan suling masih tergenggam tangan.
Kian Bu memandang tubuh yang rebah pingsan itu, diam-diam merasa heran bagai mana kakek ini dapat menguasai ilmu simpanan dari ibu tirinya yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, kemudian dia menghapus peluhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak mempedulikan lagi kakek itu karena sudah mulai tenggelam lagi dalam kedukaannya.
Akan tetapi ketika dia berjalan di lereng bukit itu, di bawah sinar bintang-bintang di langit, peristiwa pertemuannya dengan kakek yang pandai ilmu peninggalan Suling Emas itu membuat dia ingat kepada Suma Kian Lee, kepada ibu tirinya, kepada ayah bundanya sendiri dan kepada Pulau Es dan bangkitlah rasa rindu di dalam hatinya. Teringat kepada mereka semua yang tercinta membuat hatinya makin merasa prihatin, merasa betapa sunyi hidupnya, betapa sengsara hatinya dan pemuda ini kemudian menjatuhkan diri duduk di atas rumput, terasa lemah seluruh tubuh dan dia duduk bersemedhi sampai pagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah disadarkan oleh kicau burung yang riang gembira menyambut datangnya pagi hari yang cerah dan indah. Akan tetapi tidak terasa keindahan itu di hati Kian Bu yang sedang gundah gulana. Dia teringat akan kakek yang dirobohkannya semalam dan hatinya segera merasa menyesal. Tidak ada persoalan hebat antara dia dan kakek itu, akan tetapi dia telah merobohkannya dan meninggalkannya rebah pingsan. Jangan-jangan kakek yang sudah tua itu akan tewas karenanya. Dia menyesal sekali. Bukan wataknya untuk membunuh orang begitu saja, padahal tidak ada persoalan penting di antara mereka. Teringat akan ini Kian Bu cepat bangkit dan pergi mendaki bukit itu lagi menuju ke tempat di mana dia berkelahi dengan kakek itu semalam.
Akan tetapi ketika dia tiba di tempat itu, di situ sunyi saja dan kakek itu sudah tidak ada lagi di tempat dia rebah semalam. Yang ada hanya burung-burung beterbangan sambil berkicau riuh-rendah. Padahal dia tahu betul bahwa di situ tempatnya, bahkan tongkat panjang yang patah-patah milik Gin-siauw Lo-jin pun masih berada di situ. Agaknya kakek itu sudah siuman lalu pergi dari situ. Kian Bu menarik napas lega. Baik kalau kakek itu tidak mati!
Tetapi belum puas hatinya jika belum dapat bertemu untuk menyatakan penyesalannya dan minta maaf. Lebih baik dia berkenalan dengan kakek itu dan bertanya secara baik baik tentang Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat itu. Siapa tahu masih ada hubungan atau pertalian perguruan antara kakek itu dengan ibu tirinya! Kalau memang benar demikian, bukankah berarti bahwa dia telah merobohkan kerabat atau kawan sendiri? Dia merasa makin menyesal dan mulailah dia mencari-cari di sekitar tempat itu. Akan tetapi sunyi saja di sekeliling situ, sunyi yang amat indah karena pagi itu memang cerah sekali.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang bersenandung, lapat-lapat terdengar olehnya. Cepat Suma Kian Bu melangkah menuju ke arah suara itu yang makin lama makin nyata. Kiranya itu adalah suara wanita yang amat merdu dan kiranya bukan nyanyian yang disenandungkan itu, melainkan doa yang dinyanyikan dengan suara yang amat merdu dan halus. Tak lama kemudian nampaklah orangnya yang berdoa itu dan kiranya dia adalah seorang nikouw (pendeta Buddha wanita) yang sedang memetik daun obat.
Nikouw itu sudah tua, tentu sudah hampir enam puluh tahun usianya. Tubuhnya masih ramping, wajahnya masih berkulit halus dan putih, masih nampak nyata bekas-bekas kecantikan seorang wanita, dan sekarang wajah itu nampak agung dan suci, di bawah kerudung yang berwarna kuning. Seorang nikouw tua yang berwajah lembut, yang memetik daun obat sambil berdoa, begitu bahagia nampaknya. Tiada bedanya antara dia dan burung yang sedang berkicau di atas dahan pohon, asyik dengan keriangan menyambut pagi yang indah!
Ah, nikouw itu agaknya tidak asing dengan tempat ini. Tentu dia tahu di mana dia dapat bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin! Berpikir demikian, Kian Bu lalu membalikkan tubuh hendak menghampiri, akan tetapi pada saat itu, nikouw tadi pun agaknya sudah selesai memetik daun obat dan melangkah pergi. Dan terkejutlah pemuda Pulau Es itu. Sekali berkelebat, nikouw tua itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan tempat itu! Bukan main cepat dan ringannya gerakan kedua kaki nikouw itu yang seolah-olah dapat terbang di atas rumput, pergi sambil terus bersenandung!
Tentu saja Kian Bu menjadi kagum bukan main. Mengapa bermunculan begitu banyak orang pandai di tempat ini, pikirnya. Gin-siauw Lo-jin itu sudah hebat, bahkan pandai memainkan ilmu silat tinggi Pat-sian Kiam-hoat. Dan nikouw ini pun bukan main ilmu ginkang-nya, seolah-olah pandai terbang saja.
Dia menjadi penasaran dan mengerahkan ginkang-nya untuk lari mengejar. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu menandingi kecepatan gerakan nikouw itu!
Nikouw itu seperti terbang di atas rumput-rumput, mendaki bukit dan dia terus mengejar, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena Kian Bu merasa penasaran sekali. Dia telah dilatih ginkang oleh ayah dan ibunya sendiri, padahal ayahnya adalah seorang ahli dalam Ilmu Soan-hong-lui-kun, yaitu gerakan kijang yang kecepatannya tiada keduanya di dunia ini! Biar pun dia sendiri tidak mungkin dapat mewarisi Ilmu Soan-hong-lui-kun yang hanya dapat dimainkan oleh seorang yang berkaki tunggal seperti ayahnya, namun dia telah memiliki ginkang yang hebat, tidak kalah oleh kecepatan ibunya, Puteri Nirahai yang terkenal itu. Namun, kini dia tidak mampu menyusul nikouw tua itu!
Kian Bu merasa malu dan heran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, namun maklumlah dia bahwa dia benar-benar jauh kalah cepat. Akan tetapi nikouw itu berhenti di dekat puncak bukit dan mulai memetik daun-daun obat yang lain lagi, tetap sambil bersenandung seolah-olah larinya yang amat cepat tadi sama sekali tidak membuatnya lelah, padahal Kian Bu sendiri agak terengah karena mengerahkan seluruh tenaga. Teringatlah pemuda ini akan niatnya bertanya kepada nikouw itu tentang Gin-siaw Lo-jin. Kini lebih mantap lagi hatinya bahwa dia harus minta maaf kepada kakek itu karena ternyata bahwa bukit ini benar-benar dihuni oleh orang-orang pandai sekali.
“Maafkan saya, Suthai...“
Nikouw itu menoleh dan tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan keranjang terisi daun obat itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah, menggelinding sampai ke dekat kaki Kian Bu! Sejenak nikouw itu hanya berdiri bengong memandang wajah Kian Bu, lalu dia berkata lirih, “Omitohud...!”
Seruan ini agaknya menyadarkannya dari kekagetan atau keharuan itu dan dia tersipu sipu memandang ke arah keranjang yang isinya tumpah semua itu.
“Maaf, Suthai, saya telah mengagetkan Suthai...,“ kata Kian Bu yang cepat mengambil keranjang itu dan mengumpulkan dauh-daun yang berserakan, lalu memasukkannya kembali ke dalam keranjang, serta menyerahkannya kepada nikouw itu penuh hormat.
Nikouw itu memandang dengan mata tetap membayangkan keheranan dan penuh rasa tertarik, memandang Kian Bu sejak tadi dari atas ke bawah, lalu menarik napas panjang dan bibirnya berkemak-kemik membaca doa yang tidak terdengar.
“Ah, tidak... sama sekali tidak. Sicu siapakah?” Suara itu halus sekali dan sinar mata itu penuh kelembutan sehingga Kian Bu seketika merasa suka dan hormat sekali kepada nikouw tua ini.
Akan tetapi dia yang sudah melakukan kelancangan merobohkan orang di tempat yang dihuni orang-orang pandai ini segera menjura tanpa berani memperkenalkan namanya, melainkan bertanya. “Kalau saya boleh mengganggu kesibukan Suthai, saya ingin bertanya apakah Suthai tahu di mana saya dapat bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin?”
“Gin-siauw Lo-jin? Ahhh, di puncak itulah tempat tinggalnya,“ jawab nikouw itu sambil menuding ke arah puncak bukit, tetapi matanya tetap saja tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu yang rambutnya panjang terurai dan dibiarkan awut-awutan itu.
Kian Bu menjadi girang sekali dan kembali dia menjura, “Banyak terima kasih atas petunjuk Suthai, dan sekali lagi maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan Suthai.”
Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan mendaki puncak.
“Nanti dulu... Sicu... siapakah Sicu?” terdengar nikouw itu bertanya.
Kian Bu menoleh dan merasa tidak enak. Dia telah berbuat salah di tempat itu, bagai mana harus memperkenalkan nama? Akan tetapi, nikouw itu demikian ramah dan halus budi, tidak mungkin pula tidak menjawab. “Suthai, saya she Suma..., maaf!”
Dia lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat naik ke atas puncak. Sama sekali dia tak tahu betapa jawaban itu membuat nikouw ini kembali menjadi pucat sekali wajahnya, matanya terbelalak dan tangan kirinya otomatis menyentuh dada kiri.
“Omitohud... omitohud... omitohud...“ berulang-ulang ia memuji dan tidak mempedulikan lagi keranjangnya yang jatuh untuk kedua kalinya. Kini dia telah melangkah perlahan lahan naik ke puncak, sepasang matanya memandang ke arah bayangan Kian Bu dan mulutnya masih terus menyerukan pujian untuk Sang Buddha.
Sementara itu, Kian Bu sudah mendaki puncak dengan cepat dan tibalah dia di depan sebuah rumah yang besar dan kuno. Rumah itu kelihatan sunyi saja seperti tidak ada penghuninya, akan tetapi ketika dia menghampiri pintu depan, terdengarlah suara dari dalam, suara yang berwibawa dan mengandung tenaga khikang amat kuat, “Inikah pemuda yang kau ceritakan itu?”
“Benar, Suhu.”
Kian Bu terkejut. Suara yang menyebut ‘suhu’ itu adalah suara Gin-siauw Lo-jin! Dan kini keluarlah dua orang dari dalam rumah kuno itu yang bukan lain adalah Gin-siauw Lo-jin bersama seorang kakek yang lebih tua lagi, yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh lima tahun, namun masih bersikap agung dan gagah. Kian Bu merasa tidak enak sekali melihat dua orang kakek itu memandang padanya dengan muka membayangkan kemarahan, maka cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat.
“Locianpwe, saya Suma Kian Bu datang untuk minta maaf atas semua kejadian malam tadi,” katanya dan ucapan ini ditujukan kepada Gin-siauw Lo-jin.
Akan tetapi yang menjawabnya adalah kakek yang lebih tua itu, yang berkata dengan suara kereng, “Orang muda, semalam kau telah mengalahkan muridku yang pertama, berarti bahwa engkau sungguh sangat lihai. Dan sekarang engkau muncul pula di sini, sungguh engkau bernyali besar. Apakah engkau hendak menyatakan bahwa engkau berani pula bertanding ilmu melawan kami yang mewarisi ilmu dari pendekar maha sakti Suling Emas?”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia telah merendahkan diri, telah mengalah dan datang untuk minta maaf, akan tetapi ucapan dari kakek tua ini sungguh di luar dugaannya. Tersembunyi kesombongan besar dalam ucapan itu! Dan juga dia merasa penasaran dan curiga. Bukankah pewaris ilmu-ilmu dari Suling Emas adalah orang tuanya di Pulau Es? Bukankah kitab-kitab ilmu dari pendekar Suling Emas terjatuh ke tangan ibu Lulu, ibu tirinya dan bahkan pusaka suling emas menurut ibunya pernah dipakai sebagai senjata oleh ibunya sendiri? Mengapa kakek ini sekarang mengaku sebagai pewaris pusaka Suling Emas? Namun, sebagai seorang pemuda yang terdidik baik, dia masih mampu menahan diri.
“Maaf, Locianpwe, saya datang bukan untuk mengajak bertanding ilmu dengan siapa pun juga,” jawabnya dengan suara agak kaku.
“Hemmm, kalau begitu kau takut?”
Sepasang mata Kian Bu bersinar dan mengandung kemarahan ketika dia memandang kepada kakek tua itu. Benar-benar besar kepala dan sombong si tua bangka ini, pikirnya gemas.
“Tidak ada persoalan takut atau berani, Locianpwe. Saya datang untuk menyatakan penyesalan saya atas peristiwa yang terjadi semalam dan saya mau minta maaf.”
“Hayo lekas berlutut dan minta ampun dengan pai-kwi (menyembah dengan berlutut) sebanyak delapan kali, baru kami pikir-pikir apakah dapat mengampunimu!” Kakek itu membentak lagi.
Berkobar kemarahan di dalam hati Kian Bu. Dia mengangkat dada dan berdiri dengan sikap menantang. “Saya Suma Kian Bu selama hidup tidak pernah bersikap pengecut! Saya selalu berani menanggung semua perbuatan saya. Jangan harap Locianpwe akan dapat melihat saya merendahkan diri seperti itu!”
“Ha, kau menantang?”
“Terserah penilaian Locianpwe kepada saya.”
“Orang muda, engkau memang bernyali besar. Hemmm, engkau tak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Aku adalah Sin-siauw Sengjin, dan dia ini adalah muridku yang pertama. Aku adalah pewaris dari pendekar maha sakti Suling Emas dan biasanya, sekali aku turun tangan tentu lawanku akan mati. Tetapi, aku masih menaruh kasihan kepadamu...“
“Cukup, Locianpwe. Aku tidak takut akan segala ancaman, tidak takut mati. Akan tetapi tentang mewarisi pusaka pendekar Suling Emas, hal itu kiranya masih harus diselidiki lebih dulu! Kalau memang benar pusaka itu ada pada tangan Locianpwe, maaf kalau saya berani mengatakan bahwa Locianpwe tentu telah mencurinya!”
“Keparat!” Gin-siauw Lo-jin marah sekali dan sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan.
“Desssss...!”
Tubuh Gin-siauw Lo-jin terpental dan tentu dia sudah terbanting ke atas tanah kalau saja tangan kiri Sin-siauw Sengjin tidak diulur dan dengan cekatan sekali kakek ini menangkap leher baju muridnya dan mencegah muridnya terbanting. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengagumkan Kian Bu, sebaliknya Sin-siauw Sengjin juga terbelalak melihat betapa tangkisan orang muda itu membuat muridnya terpental!
“Orang muda, engkau benar-benar berani sekali. Terpaksa aku tidak memandang lagi usia, dan bersiaplah untuk menandingi pewaris ilmu-ilmu Suling Emas!”
Orang ini terlalu menonjol-nonjolkan diri sebagai pewaris Suling Emas, pikir Kian Bu dengan hati mendongkol. Jelas bahwa dia telah mengaku-aku saja, atau kalau melihat betapa muridnya dapat mainkan Pat-sian Kiam-hoat, agaknya kakek ini telah mencuri kitab-kitab itu dari Pulau Es!
“Baiklah, ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu-ilmu yang palsu itu.”
Sin-siauw Sengjin sudah marah sekali dan karena dia maklum betapa lihainya pemuda itu, maka dia sudah mencabut suling emas yang terselip di pinggangnya dan menerjang maju.
“Swinggggg... singgggg...!”
Kian Bu terkejut. Sinar emas berkilauan itu memang hebat bukan main dan matanya terbelalak memandang ke arah suling emas di tangan kakek itu yang tadi hampir saja mengenai kepalanya kalau saja dia tidak cepat-cepat mengelak. Dari mana kakek ini mendapatkan senjata pusaka ampuh itu? Apakah benar itu suling emas, senjata dari pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lampau, seperti yang diceritakan oleh ibunya?
Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lama lagi karena sinar emas itu bergulung-gulung dan sudah menerjangnya dari segala jurusan dengan amat dahsyat! Kian Bu cepat mengelak dan membalas dengan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Namun ternyata kakek itu gesit sekali, juga ketika dengan lengan kiri menangkis, dari lengannya menyambar hawa sinkang yang amat kuat, bahkan tidak kalah kuatnya dari tenaga sinkang yang dikuasai oleh Kian Bu sendiri sehingga keduanya terhuyung ke belakang! Kakek itu makin terkejut, akan tetapi juga Kian Bu merasa kaget dan berhati-hati.
Makin lama, makin terheran-heranlah Kian Bu melihat betapa kakek itu dengan suling emasnya memainkan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai Kun-hoat, dan akhirnya suling itu mengeluarkan bunyi melengking dan mendengung dengung seperti ditiup orang ketika kakek itu membuat gerakan corat-coret aneh sekali.
Kian Bu mengenal gerakan ini sebagai ilmu mukjijat Hong-in Bun-hoat, ilmu yang amat ampuh dari pendekar Suling Emas, yang amat sukar dipelajari, bahkan ibu tirinya, Lulu sendiri pun belum dapat menguasainya secara sempurna! Ilmu ini didasari kepandaian sastra, kepandaian menulis huruf indah dan dari gerakan corat-coret huruf inilah maka diciptakan ilmu silat yang amat mukjijat ini.
“Kau... kau pencuri...!” teriaknya kaget.
Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kakek itu ternyata amat lihai. Setiap huruf yang digerakkan oleh sulingnya mengandung tenaga dahsyat dan mengeluarkan bunyi lengkingan aneh sekali. Beberapa kali Kian Bu sampai terhuyung karena terdorong oleh hawa yang amat tajam dan aneh. Dia sudah berusaha untuk membalas dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berselang-seling, namun kakek yang lihai itu dapat pula menghindarkan diri.
Bukan main hebatnya pertandingan itu. Mati-matian dan seru, sama kuat dan seratus jurus lewat dengan cepatnya. Kian Bu menjadi penasaran dan juga terheran-heran. Tidak banyak dia menemui lawan berat selama perantauannya, dan ternyata kakek ini hebat sekali, sungguh pun dia masih tidak percaya bahwa ilmu-ilmu Suling Emas yang dimainkannya itu adalah ilmu-ilmu yang asli, karena pada dasarnya terdapat beberapa perbedaan dengan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu-ilmu peninggalan dari Suling Emas.
Menurut ibunya, kemukjijatan Ilmu Hong-in Bun-hoat terletak pada bunyi suling yang ketika dimainkan seperti ditiup orang dan mengeluarkan lagu yang amat indah dan hal ini amat mempengaruhi lawan. Akan tetapi, walau pun suling emas di tangan kakek ini juga mengeluarkan suara melengking-lengking dan seperti berlagu, namun sama sekali tidak dapat disebut indah karena bagi telinganya terdengar sumbang! Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa sukar baginya untuk dapat mengimbangi kecepatan kakek itu dan dia mulai terdesak hebat.....
Komentar
Posting Komentar