JODOH RAJAWALI : JILID-21
Maka tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan, sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah dalam tubuh lawan.
“Ihhhhh...!” Kakek itu berseru keras.
Dia pun mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mukjijat itu, dan sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua tangannya. Suling Emas itu meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti kilat menyambar.
“Desssss... tukkkkk...!”
Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan roboh terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh sama sekali!
“Ughhh... ughhh...!” Sin-siauw Sengjin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia segera memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar saja pulih kembali kekuatannya. Dia membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang masih rebah miring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya yang menggeletak di atas tanah, lalu dipungutnya kembali dan diamat-amatinya.
“Saya... saya... mengaku kalah, akan tetapi... tunggu lima tahun lagi... saya pasti akan mencari Locianpwe dan membuat perhitungan... ahhhhh...,“ Kian Bu mengeluh karena totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri.
Mendengar ucapan Kian Bu itu, Sin-siauw Sengjin mendengus, lalu dia berkata, “Orang muda ini terlalu berbahaya...,” seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri, lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu.
Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah ke kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.
“Desss...!” Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!
“Omitohud...!” Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah!
Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi segera mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat gerakannya itu. Sin-siauw Sengjin kemudian berkata, “Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?”
“Siancai… siancai… siancai...!” Kim Sim Nikouw berkata halus. “Seorang yang gagah perkasa seperti Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri? Omitohud... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya... Omitohud...!”
Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya. Dengan gerakan kaki yang cepatnya luar biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu.
Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya. Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah!
Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya?
“Ibuuuuu...,” Dia memanggil dengan suara bisikan panjang.
Mulut itu tersenyum dan sepasang mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis!
Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah pandai terbang!
“Suthai...,” Kian Bu memanggil lirih.
“Omitohud... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha...! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti... seperti... sudah tak bernyawa lagi...,” Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar.
Pada saat Kian Bu hendak bangkit duduk, dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat digerakkan. Nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya, merapatkan duduknya.
“Jangan bergerak dulu... lukamu amat parah dan hebat...”
“Ouhhhhh...!” Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan semuanya. “Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?”
“Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu pertanda baik sekali.”
“Jadi... Suthai yang menolong saya...?”
Nikouw itu menaruh telunjuk ke depan mulut. “Sssttt... janganlah banyak bicara dulu, anakku. Kau harus banyak beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah.”
Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis.
“Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,” kata nikouw itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.
Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh. Meski dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tak ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu menyebutnya ‘anakku’!
“Nah, sekarang bahaya telah lewat!” pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri. “Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan kini tinggal memulihkan tenaga.”
“Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak...”
“Jangan khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali.”
“Betapa, besar budi Suthai kepada saya...” Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa terharu sekali.
Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya. “Sekarang engkau sudah tidak terancam bahaya. Bolehlah kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?”
“Ayah? Ayah bernama Suma Han...”
“Han Han... ahhh, sudah kuduga... wajahmu, sikapmu... dan Swat-im Sin-ciang itu...! Dugaanku tidak salah... ahhh, Han Han...” Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya. “Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau juga anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku...”
“Apa maksudnya ini, Suthai?” Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya?
Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya, mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan gembira!
“Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan... ehhh, siapa ibumu?”
“Ibu adalah Puteri Nirahai.”
“Hemmm, pantas... pantas...! Kuulangi lagi, janganlah kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu itu, dan aku... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu... dahulu sekali… puluhan tahun yang lalu, saat namaku masih Kim Cu, di antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan dahulu... dahulu... sekali... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku... aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan juga anakku sendiri, Kian Bu.”
Kian Bu mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini pada waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!
“Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?” tanya nikouw itu sambil mengusap air mata untuk ke sekian kalinya.
“Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es.”
“Jadi ayahmu hidup bahagia?”
Kian Bu mengangguk.
“Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih!” Nikouw itu berseru. “Betapa bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!”
Kian Bu memandang wanita itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya, “Di wakktu muda dahulu, Suthai... mencinta ayahku?”
Nikouw itu memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang. “Sampai detik ini tak pernah aku berhenti mencintanya.”
“Dan ayah... apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?”
Nikouw itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta? Mungkin sekali, ya, aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya...”
“Dan Suthai tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?” Kian Bu makin terheran.
“Puluhan tahun aku telah menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukanlah akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar dikatakan bahwa cintanya itu murni, apa bila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya atau pun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han Han seorang yang amat baik...,” dan dia berhenti sebentar. “Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni telah terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali...”
“Ahhh, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni... dan sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya... ahh, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?”
“Budi? Membalas budi? Omitohud... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka supaya hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa berhutang budi, baiklah kau balas dengan cara... mau kuanggap sebagai anakku. Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seakan-akan engkau adalah anakku sendiri.”
Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata, “Ibu...”
Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis!
Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, lalu dia dapat menekan perasaannya, duduk dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu. “Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti sedia kala.”
“Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.”
Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.
“Dulu aku bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku pula dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang untuk bersembahyang ke kuil ini.”
“Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu.”
“Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini.”
“Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin,” kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya.
Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu. “Kau mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?”
Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya.”
Kim Sim Nikouw membelalakkan matanya. “Apa maksudmu?”
“Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga dia memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini.”
Nikouw itu mengerutkan alisnya. “Ahh, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang kau pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya.”
“Betapa pun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.”
“Kau dapat belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu puluhan tahun ini hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku.”
“Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa.”
“Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biar pun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, tetapi menurut perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang mau pun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu menandinginya.”
“Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!” Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya masih lumpuh. “Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?”
“Kau harus bersabar, anakku. Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang Hui-teng bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apa lagi melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri sudah mencoba sampai belasan tahun, namun belum juga berhasil.”
“Ahhh, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!”
“Hemmm, lupakah kau bahwa engkau berjanji akan menemuinya lagi setelah lewat lima tahun?”
“Apa? Apakah maksudmu, Ibu?” Kian Bu berseru kaget.
Nikouw itu tersenyum. “Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali hingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang kau ucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.”
“Ahh, kenapa begitu lama?”
“Malah sebaiknya begitu, anakku. Engkau bisa menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?”
Suma Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu…..
“Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak pernah pulang ke Pulau Es.” Kian Bu mengakhiri ceritanya. “Selama kurang lebih tiga tahun itu aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw, dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang sudah diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.”
Semenjak tadi Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.
“Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu...?” tanyanya kagum.
“Itulah hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dengan Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku.”
“Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?” Kian Lee memandang kepala adiknya itu. “Itu disebabkan melatih sinkang mukjijat itu?”
“Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku.”
Kian Lee mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguh pun aku sama sekali tidak menyangka bahwa engkaulah orangnya. Pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.”
Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran. “Menegurnya?”
“Benar, dan sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!”
“Ehh, ada apa dengan dia?” Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.
“Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, namun engkau melupakan dia begitu saja dan membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?”
Kian Lee lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan.
Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu lalu menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata, “Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku sengaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?”
Kian Lee menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang wajahnya menjadi agak pucat. Dia menghela napas.
“Tentu saja tidak, adikku. Asal kau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kau balas karena engkau mencinta orang lain. Aihh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku...”
“Lee-ko, tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain, tetapi mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu.”
“Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kau ceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bu-te.”
“Ahh, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain.”
Biar pun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang sangat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata, “Dan aku akan mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi dapat hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan.” Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu.
Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang. “Sungguh aku khawatir sekali bahwa kenyataannya tidak seperti yang kau harapkan itu, adikku.”
“Apa maksudmu, Lee-ko?”
“Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini telah aku bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat.”
Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, mengenai perjalanannya mencari adiknya itu, lalu pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan juga menculik keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan.
Mendengar cerita kakaknya itu, bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir mendengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar dari pada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.
“Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?” katanya dengan alis berkerut. “Andai kata Syanti Dewi berada di sisi Ang Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!” Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. “Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!”
“Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apa lagi mengandung kemarahan di dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat demikian.”
“Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Tetapi...” Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja.
Mereka kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah sempat dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po-hai di teluk sebelah utara.
“Hemmm, banyak persoalan yang harus kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang masih belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan.”
“Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar, dan nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!”
Benar saja, muncullah Sai-cu Kai-ong. “Wah, jangan lama-lama membiarkan diri ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!” Kakek itu segera menegur. “Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!” Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, “Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.”
“Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami dua kakak beradik yang sudah menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,” kata Kian Bu.
“Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe,” sambung Kian Lee.
“Ha, kalau begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.” Mereka bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal seperti benteng.
Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat kedua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata, “Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini.”
Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah perlahan merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu…..
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san dekat belokan Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila kepada Syanti Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia.
Akan tetapi di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke mana lenyapnya Syanti Dewi yang asli!
Ke manakan perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu…..
Seperti kita ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka, tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali.
Dari dapur yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di telinganya, “Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak.”
Dia menoleh ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Pada saat dia bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, secara mendadak kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti sudah mengenal wajah koki itu.
Tahulah dia bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa didengar oleh para pelayan agaknya. Tetapi sebagai seorang yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti pendekar sakti Gak Bun Beng, bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang berilmu tinggi!
“Harap kau suruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,” kembali terdengar bisikan tadi.
Syanti Dewi tentu saja tidak mempercayai suara itu begitu saja, biar pun dia seperti pernah mengenal wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mukjijat yang membuat dia tidak dapat menolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata, “Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak suka makan ditunggui banyak orang.”
Para pelayan itu tersenyum dan mereka pun lalu pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar.
“Kau tutupkan daun pintunya, kunci dari dalam.” Kembali Syanti Dewi berkata kepada pelayan baju biru seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan daun pintu dan menguncinya, kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya.
Kini kakek yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh perhatian dan dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu melihat kakek ini. Dia terkejut dan heran. “Ihhh, kau masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar...”
Akan tetapi tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di mana Syanti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman, “Jangan berteriak, jangan banyak ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin selamat!”
Tiba-tiba sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan suaranya sama sekali seperti orang gagu!
“Hemmm, apa artinya ini? Siapa engkau?” Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.
“He-he-he, kau lupa lagi kepadaku, Puteri?” Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih. Biar pun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan biar pun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, tapi melihat wajah yang tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi.
“Ah, bukankah Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu...?” tanyanya dengan heran.
“Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku.”
Hati Syanti Dewi girang sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja Tambolon dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan diselamatkan oleh kakek yang pandai ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini adalah guru Siang In. Maka tentu saja dia menjadi girang dan kini menaruh kepercayaan kepada kakek ini.
“Locianpwe, baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini...”
“Itulah sebabnya mengapa aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewi. Keadaan di sini amat berbahaya dan terlalu banyak orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku.”
Syanti Dewi tidak terkejut mendengar itu sebab dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka dia lalu mengangguk.
“Cepat kau tanggalkan pakaian luarmu,” bisik kakek itu, dan ketika Syanti Dewi melihat kakek itu mulai menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu, mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti itu, apa lagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek sakti yang sudah amat dipercaya.
“Aih, sukarnya...!” Kakek itu mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian luar Syanti Dewi pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang tadi dipilihnya adalah seorang pelayan yang selain cantik juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian mereka saling ditukar, dapat pas sekali.
Setelah selesai, kakek itu lalu berbisik, “Cepat kau atur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu.”
Syanti Dewi cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri menggunakan alat penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir, alis serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat bayangannya sendiri dalam cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa dia sudah berubah menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol hitam yang melenyapkan semua kemanisannya.
“Mari cepat...,” kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh pengaruh yang amat kuat sambil berkata, “Kau tidak akan dapat bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang dilakukan orang-orang kepada dirimu!” Setelah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan itu, See-thian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar melalui jendela, tidak lupa untuk lebih dulu meniup padam lilin yang bernyala di atas meja.
Akan tetapi baru saja mereka meloncat ke luar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi menahan seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap ke arah mereka! Tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ.
Setelah kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran.
“Ehh, kenapa kita berdiri bengong di sini?” tanya yang seorang.
“Heran, aku merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi saja,” kata yang kedua.
“Hemm, agaknya kita tadi sudah terlalu banyak minum arak.” Dan mereka melanjutkan perondaan mereka.
Sementara itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon-pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun memang mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti Dewi merasa heran sekali mengapa penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di tempat terbuka seperti itu.
“Kenapa kita tidak lari...?” bisiknya.
“Sssttttt... kita tunggu sampai terjadi keributan,” jawab See-thian Hoat-su.
Syanti Dewi hendak bertanya mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan tetapi dia mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh salah seorang pengawal.
“Ini adalah kumpulan-kumpulan bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh Kongcu,” si pengawal menerangkan.
Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-cium, mendengus-dengus.
“Hemmm, wangi...!” katanya. “Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bunga-bunga ini dengan jelas.”
“Besok saja kita melihat-lihat lagi ke sini,” kata tamu kedua dan mereka berjalan pergi.
Syanti Dewi sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan dia disangka bunga! Dia terheran-heran, akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pot, maka rambutnya dicium oleh seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari Siang In yang membuat dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!
“Kenapa kita harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?” Dia berbisik.
Kakek itu menarik napas panjang. “Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat dari pada dia. Kalau kita lari sekarang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir.”
Saat yang dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang cantik memondong Syanti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan pesta, disusul padamnya lampu-lampu dan ributnya suara orang bertempur!
“Sekarang...!” Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri melalui jalan belakang.
“Heiii, siapa...?” Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk berkelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.
Setelah pergi jauh, Syanti Dewi berkata, “Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti dia?”
Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang indah penuh bintang. “Ahhh, dia kini bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri.”
“Akan tetapi... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya...”
“Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, ha-ha-ha!” Kakek yang aneh itu tertawa.
Syanti Dewi tak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak orang gila!
“Lalu... lalu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?” tanyanya penuh keraguan.
“Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku.”
Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biar pun dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat.
Rombongan Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Yang-liu Nionio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nionio lalu membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya.
Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula salah satu wanita dari rombongan Hek-eng-pang, namun jelas sudah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapakah yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan.
Sementara itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut itu.
Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nionio yang dianggapnya telah menculik pengantin perempuan, akan tetapi Yang-liu Nionio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai.
Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya, dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam.
Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat lihai, bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya.
Sebetulnya, ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tak mau mengganggu pengantin puteri.
Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang sangat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia mampu merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguh pun hal itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, dari pada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk melawan para penculik, biar pun tidak berhasil.
Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan, tentu saja tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran dengan seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi.
Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupakan burung yang amat cerdik. Dengan dalih ingin memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi, dia berhasil memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini dia melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang merah dan kuat.
“Carilah sampai dapat!” teriak Gitananda sambil melepaskan burung itu.
Burung hijau itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali, lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali.
Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, burung hijau itu terbang sampai tiba di atas tempatnya berdiri, lalu melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara mencicit.
“Burung yang baik, kau telah menemukan dia?”
Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng.
Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau yang terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.
“Eh, burung apakah itu demikian aneh?” katanya sambil menuding ke atas.
See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biar pun usianya jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya.
“Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?” tiba-tiba dia bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.
“Saputangan kuning...?” Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang janggal itu.
“Ya... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?”
“Benar... akan tetapi kutinggalkan di kamar...”
“Ah, celaka...! Benar, dia tentu burung mata-mata!” teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apa lagi ketika dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya!
“Kita harus cepat pergi dari sini!” Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri.
Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan!
Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika tidak beberapa lama kemudian, muncul pula seorang kakek berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu.
“Ah, kami melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek botak...”
“Yaaa! Itulah dia! Ke mana mereka pergi?” Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu dilarikan seorang penculik!
Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata, “Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?”
Tentu saja para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berpihak kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur, Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.
Sementara itu, See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Goa Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini…..
Komentar
Posting Komentar