JODOH RAJAWALI : JILID-24


Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. “Nona, harap Nona menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama.”

“Akan tetapi siapa yang mengganggunya? Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak mengganggumu, Kian Lee?” Hwee Li membantah.

Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, “Paman, siapakah yang akan mengunjungi aku?”

“Ada Panglima Kao Liang di luar...“

“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, “Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk.”

“Huh, jadi kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya? Kau lebih senang bicara dengan dia dari pada dengan aku?”

Kian Lee tersenyum. “Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah lama menanti sejak tadi.”

Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu!

Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya, dan kemudian mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, “Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari.”

“Ahhh, Lo-ciangkun terlalu sungkan...”

“Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa...“

“Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalah pahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar semua rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami.”

Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh.”

“Terima kasih.”

Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik ke dalam kamar itu.

Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini sukar untuk dilupakannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya.

“Kau... kau... Ceng Ceng...?” Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.

Sejenak hati Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajah tampannya itu jelas membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.

“Paman...!” Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee yang tetap duduk di atas pembaringan. “Keponakanmu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee.”

“Ehh... ehhh..., Ceng Ceng, bangunlah...!” Kian Lee berseru gugup. “Ha-ha-ha, hampir saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, kau bangunlah dan duduklah di atas bangku itu...“

Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit kemudian duduk di atas bangku, mukanya menjadi merah sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan.

“Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah. Bagaimana keadaanmu? Mana suamimu dan apakah engkau sekarang telah menjadi seorang ibu yang baik?”

Ceng Ceng mengangguk-angguk kemudian bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. “Paman, keadaan kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman.”

Suma Kian Lee tersenyum. “Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong.”

“Aku tahu, Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku.”

“Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”

Ceng Ceng hanya mengangguk.

“Hebat sekali!”

“Marilah kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang,” kata Ceng Ceng dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana sini, meraba sana sini, dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.

Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya sendiri!

Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya, masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!

Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."

Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi."

Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng kemudian menceritakan hasil pemeriksaannya.

"Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan engkau sudah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalan-jalan darah tertentu."

Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat itu?"

"Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum emas, sangat kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku."

"Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum.

Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat ia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati tetapi cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri. Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu tentang racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat tentang segala macam racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini, Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.

Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.

Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang malah berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi.

"Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya.

Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya erat-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.

Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan matanya yang lebar terbelalak.

"Brakkk!"

Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku? Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu kecil?"

Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya."

Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapa pun gagahnya Ceng Ceng, namun sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh rasa kekhawatiran kalau dia mengingat akan puteranya yang hilang.

Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggota keluarganya diculik orang.

"Ehhh...!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat?"

Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka.

"Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!"

"Ahhh...!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.

"Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orang-orang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."

"Ahhh... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa? Para penjahat dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin ribuan. Kemana kita harus menyelidiki?"

"Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Marilah kita berunding dengan dia untuk mengambil keputusan."

Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu, oleh karena hanya kepada pendekar inilah mereka bisa menggantungkan harapan. Mereka kemudian meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing.

Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang sangat keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Ada pun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Dan Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.

Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat dari Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan kedua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!

Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini kemudian memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar dan penuh dengan masakan dan minuman.

"Terima kasih... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah membantu mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka."

Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini."

Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada kedua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apa lagi ketika berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hidup sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya... ahhh, setelah tua saya kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.

Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh semua orang, kakek itu kemudian mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis, namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggota keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang.

Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya. Kamar-kamar itu digunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.

Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain dari pada kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini?"

"Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat."

Kamar itu memang megah, diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biar pun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambar-gambar orang tergantung rapi.

"Itu adalah kumpulan gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat.

Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kai-ong?" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!"

Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya lalu menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.

"Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki," kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan mana pun juga. Beliau memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."

Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia?"

Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas.

"Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia bernama Kam Liong..."

"Heeei... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya?" Hwee Li berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu.

Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.

"Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan tetapi sayang... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati dalam keadaan sebagai seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.

"Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku."

Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut. Di dalam hati mereka merasa menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu..."

"Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.

Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ahh, benarkah itu, Nona? Di mana?"

"Tentu saja di tangan Sin-siauw Sengjin! Aku melihatnya beberapa bulan yang lalu."

"Benarkah itu? Sin-siauw Sengjin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Sengjin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia?"

Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kau tanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"

"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang.

Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.

"Apa? Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah bersiap dan memandang marah.

"Siapa pun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.

"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"

Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subo-nya dan sejenak dua orang wanita itu saling ‘mengukur’ tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subo-nya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...," lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kau maafkan kelancanganku tadi, ya?" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu?

Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!

"Paman Yu, benarkah itu... bahwa Sin-siauw Sengjin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas?" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong, jenazah muridnya she Khu, juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar supaya kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."

"Ah, mana mungkin itu?" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri dan anak."

Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah dia memperoleh seorang putera..."

"Ahhhhh...!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.

"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong sendiri tidak pernah mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.

"Ehhh, bagaimana pula itu?" Kian Lee bertanya kaget.

"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas Sin-siauw Sengjin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan itu. Karena, hanya apa bila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telah menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."

"Koai-lojin..." Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.

"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang? Siapa dia...?" Kian Lee bertanya penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.

"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang asli sebenarnya? Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Sengjin? Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya diterima dari kakek Gu Toan, dan juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka, Lulu, menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan tetapi sekarang muncul keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!

"Kian Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siauw Sengjin?" Sai-cu Kai-ong bertanya, akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu.

Ketika Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk dan melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang tidak dikenal. Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam ketegangan itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi gambar Kam Liong.

Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran dahsyat sekali. Yang bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan melawan seorang kakek tua renta yang bersenjata sebatang suling emas! Hwee Li, Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek tua yang bersenjata suling emas itu adalah Sin-siauw Sengjin.

Dua orang ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari suling ditangan Sin-siauw Sengjin. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh sehingga keduanya saling serang dengan dahsyatnya. Sedangkan tidak jauh dari situ, beberapa orang anak buah Hek-tiauw Lomo dengan wajah seram-seram sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw Sengjin yang jumlahnya lima orang.

Melihat ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke depan dan berseru, "Ayah...! Aku berada di sini!"

Sai-cu Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah kepada lawan Sin-siauw Sengjin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada sahabatnya itu, "Sengjin, hentikan pertempuran di antara orang sendiri!"

Mendengar seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Sengjin terkejut dan meloncat mundur, mengelebatkan sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang murid lain untuk mundur dan menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang seram-seram itu pun mundur dan berkelompok.

Hek-tiauw Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok gergajinya, menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan mata terbelalak lalu tertawa bergelak. Semua orang merasa ngeri ketika melihat kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di mulut kakek itu! Sungguh seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji dan tombak tulang ikan, sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.

"Ha-ha-ha! Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku sudah menduga bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau bersama orang-orang yang berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini. Hebat... hebat..."

"Ayah, aku bersama Subo di sini..."

"Hemmm, aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio. Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak mengajak puteriku pergi."

"Ahhh, tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo...!" Dan gadis berpakaian hitam itu menoleh, bukan kepada subo-nya, melainkan kepada Kian Lee!

"Hushhh! Sudah lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan hati yang rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak kasihan kepada ayahmu? Aku rindu padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah engkau hendak menjadi searang anak yang sama sekali tidak berbakti terhadap ayahmu? Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku..." Aneh sekali, kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya terdengar menggetar seperti mengandung isak!

"Hwee Li, kau tahu bahwa Subo-mu dan Suhu-mu sedang sibuk menghadapi banyak urusan. Sekarang, Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti kau tidak boleh menyakitkan hati Ayahmu. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menghibur hati Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling bertemu lagi."

Mulut yang manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Kian Lee? Apakah benar bahwa aku harus turut dengan Ayah?"

Kian Lee terkejut. Tidak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal itu. Tentu saja semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan alisnya karena guru yang sudah bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu dapat merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak enak. Dia tahu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Kian Lee!

"Ehhh... ini... ini... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, dan kurasa ada baiknya jikalau engkau ikut bersama ayahmu sebab aku yakin bahwa dengan adanya engkau di sampingnya, engkau akan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik." Dengan ucapan ini Kian Lee hendak mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan karena dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang ganas dan keji seperti iblis itu.

Mulut itu makin cemberut. "Tapi... kita baru saja saling berjumpa... dan kau baru saja sembuh. Aku masih belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."

"Hwee Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah menyetujui, dan... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih banyak membantah?"

Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan panjang. Tidak lama kemudian terdengar lengking panjang menjawab, itulah garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li sekali lagi membanting kaki kanannya dan menghampiri ayahnya.

"Ha-ha-ha! Apakah kau marah, anakku? Apakah gurumu terlalu galak kepadamu? Apakah ada orang yang membuatmu tidak senang? Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan isi perutnya, ha-ha-ha!" Semua orang bergidik mendengan ucapan ini, apa lagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang berada di situ tanpa terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.

"Sudahlah, Ayah. Mari kita pergi.” Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi, "Benarkah aku harus pergi?"

Kian Lee hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.

"Subo, sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng Ceng.

Wanita itu mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika melihat Hwee Li meloncat ke atas punggung garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu berat sekali harus pergi bersama ayahnya.

"Muridku yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!" katanya melambaikan tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu.

"Heiii, Hwee Li, aku ikut...!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.

"Ayah mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan tahu-tahu tubuh raksasa ini sudah melayang naik bergantung pada benda halus hitam yang telah mengait pada kaki garuda yang baru terbang tadi. Kiranya kakek itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke arah kaki garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak lama kemudian dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya! Semua orang terkejut dan kagum karena memang hebat sekali kakek raksasa itu. Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya burung garuda.

Setelah orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Sengjin lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi terheran heran dan cepat dia menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.

"Sengjin, apa artinya ini? Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu seperti ini?"

Akan tetapi, kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong dan dia berkata lagi, "Ehhh, kakakku, Sin-siauw Sengjin, apakah yang terjadi? Lihatlah dia itu..." Sai-cu Kai-ong menuding ke arah Siauw Hong, "Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun yang lalu. Lihat, dia telah menjadi seorang dewasa dan telah memiliki dasar kepandaian yang cukup kuat. Dan manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu? Mengapa tidak kau bawa bersamamu? Ahhh, tentu dia sudah dewasa sekarang!"

Sin-siauw Sengjin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan keluarnya air matanya.

"Kai-ong adikku yang baik... kau... kau bunuhlah saja aku sekarang...," akhirnya kakek tua renta itu berkata.

Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. "Apa... apa maksudmu... Twako?"

"Cucumu... cucumu itu... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang... sampai sekarang..."

"Ahhh...!" bagai tersengat Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas panjang dan menarik tangan Sin-siauw Sengjin.

"Sengjin, marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dahulu dan kemudian kita bicara di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia menggandeng tangan Sin-siauw Sengjin, diajak naik ke puncak dan mereka semua lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu.

Sementara itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Sengjin, Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa Kian Bu tidak berada di situ. Dia merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw Sengjin pernah bertanding melawan adiknya? Tentu adiknya itu menyembunyikan diri agar supaya jangan terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.

Setelah duduk, pandang mata Sin-siauw Sengjin ditujukan kepada orang-orang asing yang ikut duduk di situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata, "Tenangkan hatimu, Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat sendiri. Beliau ini adalah bekas Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah mantunya, dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang sendiri..."

Sin-siauw Sengjin memandang dengan kagum dan mengangguk-angguk. "Sudah lama mendengar nama-nama Cu-wi yang mulia...," katanya, akan tetapi kembali dia terbenam ke dalam kedukaan.

"Sekarang ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."

"Dua tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat tinggi kepandaiannya. Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari jauh ke luar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja aku tidak berani melanjutkan pengejaran. Seperti telah kau ketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku dapat menguasai secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas tahun telah lewat dan baru-baru ini sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku telah dikalahkan orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari tentang lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku merasa bersalah dan selanjutnya terserah kepadamu..." Dia berhenti sebentar.

"Ketika aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang, sikapnya mencurigakan dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ahh, sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat menguasai ilmu-ilmu keluarga Suling Emas!" Dia menarik napas panjang. "Andai kata aku sudah berhasil, tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi tentu sudah dapat kurobohkan. Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat..."

Lalu dia memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng, dan kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata, "Kongcu... kuharap saja engkau tidak akan mengecewakan... leluhurmu..." suaranya seperti tercekik keharuan.

Siauw Hong balas menjura. "Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.

Semua orang saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu berkata kepada Sin-siauw Sengjin, "Twako, di depan para sahabat yang gagah perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena kita boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."

Sin-siauw Sengjin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk angguk. "Sebaiknya memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di antara keturunan kami sehingga menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang tepat untuk mewarisi ilmu dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini kubuka saja di depan orang-orang gagah."

Mereka semua mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di Pulau Es. Bahkan sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu antara nenek moyang keluarga Suma dan nenek moyang keluarga Kam. Hanya sayangnya, di antara keluarga Suma, yaitu nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga Kam yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri Kam Liong, adalah karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri!

Dengan perasaan bersalah pemuda Pulau Es ini mendengarkan, dan dia maklum bahwa adiknya, Kian Bu tentu sengaja tidak mau muncul karena merasa tidak enak terhadap Sin-siauw Sengjin, dan memang benarlah dugaan Kian Lee ini. Kian Bu yang tadinya bengong di dalam ruangan menghadapi gambar dari Menteri Kam Liong di waktu muda, menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang bersama orang orang itu adalah Sin-siauw Sengjin!

Dia merasa tidak enak untuk keluar, takut kalau-kalau kakek yang belum lama ini dikalahkannya akan merasa malu dan penasaran sehingga akan terjadi bentrok antara mereka. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini karena kalau terjadi demikian, dia merasa sungkan sekali kepada Sai-cu Kai-ong yang begitu baik. Maka diam-diam dia pun mendengarkan dari balik pintu ruangan.

Sin-siauw Sengjin mulai dengan penuturannya…..

Kakek besarnya, Gu Toan bekas pelayan setia dari Menteri Kam Liong, menyelamatkan pusaka-pusaka Suling Emas dan membawa jenazah Menteri Kam Liong dan muridnya she Khu, menguburkan mereka di tanah pekuburan keluarga Suling Emas. Gu Toan lalu menjadi penjaga kuburan dan diam-diam dia memperdalam ilmu-ilmunya dari kitab-kitab pusaka Suling Emas yang berada di tangannya, sehingga dia menjadi seorang yang lihai sekali. Dia khawatir bahwa pusaka-pusaka itu tentu akan dicari dan diperebutkan orang-orang pandai, maka dia menyimpannya di tempat rahasia, dan dia telah membuat beberapa buah suling dan kipas palsu, juga kitab-kitab palsu yang dikutipnya dari yang asli, lalu menyimpan pusaka-pusaka palsu itu di beberapa tempat.

Hal ini dilakukannya untuk menjaga keamanan yang asli dan memang dugaannya tidak meleset karena banyak orang pandai yang mencari pusaka itu sehingga beberapa pusaka palsu itu sempat dirampas orang. Akan tetapi pusaka yang asli tetap di dalam kekuasaannya, disimpan di tempat aman dan rahasia, dan hanya diketahui oleh dia sendiri dan seorang puteranya yang sengaja dia singkirkan jauh-jauh dan tak diakuinya sebagai anak secara terbuka agar jangan ada yang tahu bahwa Gu Toan mempunyai seorang anak laki-laki! Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan anaknya berikut pusaka-pusaka itu.

Dan akhirnya, seperti yang telah dikhawatirkannya pula, Gu Toan tewas di tangan seorang di antara mereka yang memperebutkan pusaka itu. Akan tetapi pusaka Suling Emas yang aslinya selamat bersama anaknya yang juga menyembunyikan diri, bahkan tidak berani mengaku she Gu!

Mendengar penuturan sampai di sini, Kian Lee terbelalak dan mukanya menjadi merah. Ibunya yang dulu bernama Lulu, ternyata telah ‘mewarisi’ kitab-kitab Suling Emas yang palsu! Kitab-kitab itu diambilnya dari kuburan keluarga Suling Emas seperti yang ditunjukkan oleh Gu Toan sendiri ketika kakek bongkok ini diserang orang yang lihai. Jadi kiranya ibunya itu pun hanya memperoleh yang palsu saja, dan agaknya hal itu disengaja Gu Toan untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang memperebutkan pusaka itu ke arah lain.

Dan juga ibu tirinya, Puteri Nirahai yang meminjam senjata pusaka suling emas dari kakek Gu Toan, hanya menerima suling yang palsu saja, biar pun benar-benar terbuat dari emas! Ah, kiranya ibu kandungnya dan ibu tirinya, dua orang wanita perkasa yang memiliki kesaktian hebat, isteri-isteri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, ternyata telah dikelabui oleh kakek Gu Toan, bekas pelayan Menteri Kam Liong itu!

"Betapa berat tugas nenek moyang kami..." Sin-siauw Sengjin kemudian melanjutkan penuturannya dan kakek ini kelihatan lelah sekali. "Bukan hanya karena kami tidak lagi menggunakan nama keturunan kami she Gu agar jangan dikejar-kejar orang, juga kami harus menjaga pusaka itu dengan taruhan nyawa, mempelajari kitab-kitab yang amat sukar itu..." Kembali dia kelihatan lelah sekali dan menarik napas panjang. "Itu masih belum berapa sukar. Yang lebih sukar lagi, menjaga dan mengikuti perkembangan keturunan dari Pendekar Suling Emas, keturunan she Kam dan meneliti kalau-kalau lahir seorang anak laki-laki yang berbakat dalam keluarga Kam itu agar kami dapat mengembalikan pusaka kepadanya."

Kian Lee yang mempunyai dugaan bahwa Siauw Hong mempunyai hubungan erat dengan urusan itu, mengerling dan dia melihat Siauw Hong duduk seperti arca sambil menundukkan kepalanya, hanya mendengarkan tanpa berani memandang kepada kakek Sin-siauw Sengjin atau kepada gurunya, Sai-cu Kai-ong.

"Sungguh amat luar biasa dan amat menyukarkan kami selama beberapa keturunan ketika ternyata bahwa keturunan keluarga Kam tidak ada yang berbakat dalam ilmu silat! Kami tak boleh memaksa, dan kami harus meneliti bakat mereka tanpa membuka rahasia mereka. Akan tetapi selama beberapa keturunan ini, keluarga she Kam hanya menjadi sastrawan, petani, atau pedagang. Tidak ada seorang pun yang memiliki bakat baik dalam ilmu silat. Kesukaran kami ini, juga rahasia kami sebagai keturunan she Gu yang melanjutkan tugas nenek moyang kami Gu Toan sebagai pelayan setia keluarga Kam, tidak diketahui oleh lain orang, kecuali oleh keluarga Yu inilah yang selalu membantu kami, dan keluarga Yu sudah kami percaya sepenuhnya sebagai keturunan dari tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang, seorang sahabat baik dari keturunan keluarga Kam, semenjak jaman Menteri Kam Liong, yaitu Locianpwe Yu Siang Ki." Kakek tua itu berhenti sebentar, kemudian dia mengerling kepada Siauw Hong yang masih terus mendengarkan sambil menundukkan mukanya.

"Kam-kongcu, bolehkah saya melanjutkan?" tanyanya kepada pemuda itu dengan sikap hormat.

Semua orang terkejut mendengar ini. Kian Lee memandang tajam wajah pemuda yang pernah menjadi ‘rekannya’ ketika dia menyamar dan memasuki sayembara sehingga terpilih menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dalam usahanya menyelidiki Pangeran Yung Hwa tempo hari. Kiranya pemuda ini she Kam, keturunan dari pendekar sakti Suling Emas! Dia melihat Siauw Hong bangkit dan menjura ke arah Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong, lalu dia berkata dengan suara lantang dan tenang.

"Budi keluarga Gu yang dilimpahkan kepada keluarga saya sudah setinggi langit dan sedalam lautan, demikian pula dengan budi dari Suhu. Oleh karena itu, saya hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Locianpwe dan Suhu saja." Setelah memberi hormat dia lalu duduk kembali dengan tubuh tegak.

Kini Kian Lee dapat melihat bahwa wajah pemuda itu memang selain tampan juga mengandung kegagahan yang mengagumkan, yang terselimut dan tersembunyi di dalam kesederhanaannya. Maka dia merasa kagum sekali.

Sin-siauw Sengjin lalu melanjutkan penuturannya dengan suara tenang dan lambat, "Setelah menanti sampai beberapa keturunan dengan sia-sia, akhirnya saya dapat menemukan bakat itu di dalam diri Kam Siauw Hong, Kongcu ini. Dialah yang berhak untuk mewarisi seluruh ilmu dari nenek moyangnya. Karena saya sendiri masih terikat sumpah tidak akan turun gunung selama belum berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, dan agar Kam-kongcu memperoleh kesempatan meluaskan pengetahuannya, maka untuk memberi pelajaran dasar ilmu-ilmu silat tinggi, saya mempercayakannya kepada sahabat saya yang telah saya percaya penuh, yaitu Sai-cu Kai-ong. Dan bagi engkau juga, Kam-kongcu, sekarang hendak saya bukakan rahasia yang selama ini tidak Kongcu ketahui. Kai-ong, harap kau lanjutkan ceritaku tentang pertunangan itu…"

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang, kemudian memandang muridnya. "Siauw Hong, betapa pun juga engkau harus bersyukur bahwa keturunan keluarga Gu amat setia kepada keluargamu sehingga dahulu timbul akal mereka untuk menyerahkan engkau kepadaku karena memang banyak tokoh kang-ouw yang selalu menyelidiki pusaka Suling Emas dan tentu akan mengganggumu kalau ada yang tahu bahwa engkau keturunannya. Ketahuilah, ketika engkau masih kecil, sebelum dititipkan kepadaku untuk menjadi muridku, dengan persetujuan kami berdua, telah diikat tali perjodohan antara engkau dan cucuku, yaitu Yu Hwi yang kutitipkan kepada Sin-siauw Sengjin agar dididik dengan dasar ilmu-ilmu silat tinggi pula. Engkau tahu bahwa semenjak kecil, ayah bundamu telah meninggal dunia karena sakit, engkau hidup sebatangkara dan karena itu kami berdua berani mengambil keputusan tentang tali perjodohan itu agar hubungan baik antara keluarga Kam dan keluarga Yu menjadi makin erat dan berubah menjadi keluarga." Kakek berpakaian sederhana itu menarik napas panjang.

Siauw Hong mengerutkan alisnya, memandang ke arah gurunya dan kepada Sin-siauw Sengjin, nampaknya dia terkejut bukan main. Di luar tahunya, dia sudah dijodohkan dengan seorang gadis semenjak dia masih kecil dan belum tahu apa-apa. Akan tetapi, karena memang dia sudah tidak berkeluarga dan sejak kecil dia menerima budi kedua orang tua itu, maka dia tidak berkata apa-apa, lalu menunduk kembali. Ohh, nasib.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum