JODOH RAJAWALI : JILID-26


"Aku sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.

Daun pintu itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!

"Bukan main...!" Engkau... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aihh, rambutmu yang masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati semua luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat kuning dari dalam sakunya.

"Terima kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi kering.

"Ahhh, engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."

"Hanya luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak..." Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.

"Ahhh...! Benarkah? Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa dahulu pundakmu, Nona. Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekali pun, aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya!" Pangeran itu datang mendekat.

Dengan hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru, pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam...!" Tangannya lalu memeriksa dan dengan halus menyentuh pundak itu.

Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap ayahnya, tentu akan pulih seperti dahulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.

Kini, melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu, diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat orang, seekor ular tanah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.

"Ssssshhh...!"

Liong Bian Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke arah mukanya. Matanya terbelalak, dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya terhuyung dan roboh ke atas lantai.

Melihat ini, Hwee Li girang sekali. Cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang. Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh seketika.

"Bocah setan, berani engkau mengacau lagi?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!

"Ayah, aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat pergi dari sini!"

"Apa? Anak durhaka, engkau sungguh patut dihukum!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.

Hek-hwa Lo-kwi segera meloncat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan pengobatannya, maka sekarang dia cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.

Sementara itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. "Ayah, apa engkau sudah gila?" Dia nemaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang yang mendatangkan hawa mukjijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mukjijat.

Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang.

Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu, apakah Ayah hendak membunuhku?"

"Bocah keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan dahsyat.

"Baik! Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!" Hwee Li juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.

Setelah dara itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.

"Hemmm, inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!" Mendadak terdengar suara besar yang berwibawa dan muncullah dua orang kakek.

Yang seorang adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali. Usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kirinya memegang tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak seolah-olah mati.

Melihat munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan pandai sihir.

"Maafkan, Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang Cui-beng-kiam diputarnya cepat.

Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk melindungi pahanya.

"Desss...!" Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.

"Mampus kau!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar.

Hwee Li terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya. Pedang itu menyambar dengan ganas dan merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.

"Crok! Crokkk!"

"Ihhhhh... kau membunuh ular-ularku...?" Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat, menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong sambil melancarkan pukulan-pukulan beracun.

"Anak setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan kali ini, tak mungkin Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.

Tiba-tiba nampak sinar menyambar.

"Trangg...!"

Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu amat terkejut dan melompat ke belakang. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu dengan sambitannya.

"Dia ini adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau begitu berani mencoba untuk membunuhnya?!" teriak Koksu Nepal itu. "Gitananda, tangkap Nona itu!"

Gitananda membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya menyorot ke muka kakek itu.

Hwee Li tentu saja tak mengerti apa yang terjadi. Melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Betapa pun dia ingin mengalihkan pandangannya, dia tak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.
Tongkat Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan.....

********************

Kesadaran perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih tetap dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagai mana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang, hanya membuka telinga mendengarkan.

"Kalau Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka," terdengar suara parau dan asing, suara yang tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.

"Ahhh, Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku juga percaya bahwa menggunakan obat dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya sementara saja. Dan aku menghendaki agar selama hidupnya dia mau tunduk dan membalas cintaku!" terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian Cu.

Ahhh, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biar pun sudah terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup. Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga seorang ahli racun yang jempolan!

"Dia memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu keras kepala dan keras hati, seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu. Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"

Hwee Li hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikian pun dengan kedua lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!

Dia berada di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.

"Agaknya memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati, membujuknya akan sia-sia saja. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat dikalahkan oleh kekerasan pula."

"Akan tetapi... ahh, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta kasihku dengan sewajarnya.” Pangeran itu membantah dan mengeluh. "Menggunakan kekerasan? Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka..."

"Hemmm, pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya...," terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata pula.

"Akan tetapi, melihat dia dibelenggu terus..."

"Hal itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi. "Dan jangan khawatir ia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya berada di tangan Paduka."

Hening sejenak. Lalu terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat menimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah."

"Sudahlah, tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."

Terdengar langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li segera membuang muka. Pangeran itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak dia diam saja, hanya menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas panjang.

"Ahhh, betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa harus dilakukan karena engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu segera tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan terhindar dari maut."

Hwee Li tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi. Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah benar benar hendak melakukan usul-usul tadi? Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun agar dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak takut menghadapi apa pun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!

"Aku memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kau bunuh saja aku sekarang!" akhirnya dia berkata sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, sebab dia khawatir jika sinar mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.

Pangeran itu menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik dan geli, juga gelisah dan ngeri.

"Ahhh, bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu, Nona?"

"Aku sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.

"Tidak... tidak...! Engkau masih muda, belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu, engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku... ahhh, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa..."

"Hemmm, bagus, ya? Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar mencintaku, mengapa pula engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini? Beginikah perlakuan orang yang mencinta?" Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.

Pangeran itu mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Sekarang dia melepaskan lengan Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan halus sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan.

Kini Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya. Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.

"Sudah kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja, kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu, bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu yang disembah sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang? Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."

"Hemmm, janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk... hemmm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas cintamu itu?" kata Hwee Li hati-hati. "Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga?"

"Tentu saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.

Dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia merasa betapa tangan pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku sungguh amat mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercayai janjimu. Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kau lakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."

Dengan jantung berdebar Hwee Li berkata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!"

Mulut pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Dan kau berani bersumpah?" tanyanya perlahan.

"Aku bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya? Apa lagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!

"Ahhh, sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."

"Bukti? Bukti bagaimana maksudmu?" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.

"Jika benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku." Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.

Hwee Li merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan segala macam makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata, "Aku mau..."

Sepasang mata yang cekung itu langsung berkilat. "Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li, kekasihku..., benarkah engkau mau menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau benar, aku pasti akan mempercayaimu sepenuh hatiku. Nah, kau ciumlah aku, sayang." Pangeran itu lalu berlutut di dekat pembaringan dan mendekatkan mukanya pada muka dara itu.

Ketika muka itu mendekati mukanya, Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang aneh, agaknya pangeran itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan pria yang mungkin keluar dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas pangeran itu menyapu pipinya, panas dan tersendat-sendat. Hwee Li memejamkan matanya dan dengan cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya menyapu pipi pangeran itu.

"Ngokkk!"

Pertemuan antara ujung hidung dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu membuat Hwee Li mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.

"Terima kasih... ha-ha, ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita kelak akan menjadi suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium. Dan mengingat betapa Nona adalah seorang dara yang masih murni dari hijau, biarlah saya memberi contoh bagaimana jika mencium kekasih." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang muka, tahu tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu.

Ketika merasa betapa sepasang bibirnya tertawan dalam ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee Li menjadi pingsan. Dia cepat menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.

Wajah Hwee Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu birahi telah naik ke kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah.

"Benar. Hemmm, benar usul mereka...," katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li.

Dara itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.

"Jangan..." bisiknya dengan muka semakin pucat. "Lepaskan aku...!" Dia meronta, akan tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.

"Brettttt...!" Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup pakaian dalam yang tipis.

"Jangan...! Aku akan bunuh diri kalau kau lanjutkan... aku akan menggigit putus lidahku sendiri...!"

Pangeran yang sedang dikuasai nafsu birahi itu amat terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi menggerakkan dagunya, apa lagi untuk menggigit!

"Hwee Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segan-segan mempergunakan segala cara...," katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu penuh nafsu birahi yang berkobar-kobar.

Hwee Li merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.

Pangeran itu sudah meraba pakaian dalamnya pada saat melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali. "Ahhhhh..."

Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, sekarang dia mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI...! Hwee Li... jangan... jangan... aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu... jangan begitu nekat...!"

Dia mempergunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu. Dalam keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang mekar itu. Lenyap sama sekali nafsu birahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan.

"Hwee Li...!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.

Akhirnya, oleh karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi, terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali dan membuka matanya. Melihat bahwa tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua pipi pemuda itu!

"Hwee Li... ahh, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kau ampunkan aku, Hwee Li, percayalah padaku, semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar..." Liong Bian Cu meratap.

"Hemmm, kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau pun berjanji akan membebaskan aku."

"Akan kubebaskan... sekarang juga, tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri..."

Hwee Li tersenyum. "Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apa lagi menggunakan kekerasan untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"

"Tidak..., tidak..., kau maafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga." Dia meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin dan cerdik!

"Tetapi, kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li, sekarang juga. Karena kalau kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi... hemmm, kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!"

Hwee Li merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia membuat pangeran ini putus harapan dan marah. "Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum itu, sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting dari pada nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"

Bukan main girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas pembaringan, bergantian menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah-muntah!

"Ahhh, kau sakit...! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li..." Liong Bian Cu terkejut sekali melihat gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk memijat-mijat tengkuk gadis itu.

"Sudah, aku tidak apa-apa!" Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit mijit tengkuknya. Dia menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.

"Sungguh engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda)...?" tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan.

Pelayan datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu langsung disuruh keluar lagi setelah selesai mengerjakan perintah itu.

"Bekas belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan dan...!"

Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus akan tetapi mengandung tenaga yang amat kuat itu sekarang telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan darah kematian!

"Jangan bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.

"Aihhh, apa yang hendak kau lakukan ini, Moi-moi...?" Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong nyawanya lagi.

"Dengar kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk... ciuman itu saja engkau sudah layak mampus. Apa lagi penghinaan lainnya tadi! Hayo, cepat kau antar aku keluar dari lembah ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang juga."

"Ahhh, Hwee Li, apa kau kira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kau kira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati, apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, cepat kau bunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."

"Bohong!" bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapa pun juga, dia adalah ayah kandungku sendiri!"

Tiba-tiba pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan menyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.

"Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia telah memberiku nasehat buat memperkosamu? Kalau dia ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega memperkosamu seperti yang kau lihat sendiri tadi. Dia bukan ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"

"Bohong...!" Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, sekarang tangannya bergerak menampar.

"Plakkk!"

Pipi Liong Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh tamparan tadi.

"Bohong kau...! Bohong...!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.

"Tidak, Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu, dan kau boleh bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dulu sahabat ayahmu, dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan puterinya."

Mata yang indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil. "Bohong...! Bohong...!" Dara itu meloncat ke luar dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.

Malam telah tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di angkasa timur. Biar pun bukan bulan purnama, akan tetapi bulan yang tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan kehijauan.

Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di benaknya.

Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya, dan baru akhir-akhir ini berubah. Dan dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari kata kata ayahnya yang sukar dia lupakan, "Hanya kalau dia satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu."

Ah, ayahnya hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?

Hwee Li masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, tentu dia tak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat lihai itu.

Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya sendiri, kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol. Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!

"Moi-moi...!"

Hwee Li tahu siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.

"Hwee Li, kau maafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Tetapi percayalah, bahwa satu-satunya orang di dunia ini hanya aku yang dapat kau percaya, hanya aku yang mencintamu. Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Akulah yang akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."

Hwee Li masih terus menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu dengan muka basah air mata.

"Pangeran, betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan kebaikanmu, tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk kelak menjadi jodohmu."

Tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, takkan mengganggumu sebelum kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, Moi-moi, dengan adanya engkau di sampingku, aku sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!"

"Baiklah, Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini."

"Tentu saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa aku telah terlanjur menusukkan jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi itu di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu tidak akan bekerja sebelum satu tahun, tetapi dalam satu tahun, racun itu akan dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu berada di tanganku."

Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum. “Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak sebodoh itu."

Demikianlah, dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu lalu bermain sandiwara, pura-pura menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu. Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apa lagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai.

Ada pun sikap pangeran itu terhadapnya kini tak begitu merisaukan hati Hwee Li karena pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya. Sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan. Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan penasaran hatinya sehingga dia pun tidak melontarkan rasa penasaran itu secara kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.

Ketika beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan hati-hati mengajukan pertanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada malam hari itu.

"Ayah, jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa sesungguhnya Ayah bukanlah ayah kandungku."

"Ehhh?" Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.

"Sayalah yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. "Untuk melenyapkan rasa penasaran di hatinya."

Hek-tiauw Lo-mo memandang kepada pangeran itu, tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil tersenyum lebar. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau pun Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu."

"Ayah," kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam.

Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tak senang kepada ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan ayahnya itu.

"Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di mana adanya mereka." Hwee Li menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis. Kemudian dia menambahkan, "Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap orang tuaku itu."

"Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukan orang yang suka mengingkari perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya, terserah apa yang akan kau pikirkan terhadap diriku."

Dengan wajah tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan penuturan kakek itu…..

Belasan tahun yang lalu, dalam perantauannya setelah menemukan dan menundukkan orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kang-ouw. Karena tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin berkenan untuk menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari yang amat pandai.

Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biar pun pernah menjadi raja orang-orang liar, bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu birahi. Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai, dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya, Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu, dan bersama dia lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan!

Panglima Kim Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan ini, sungguh pun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.

Selir muda yang cantik itu menangis ketika dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka. Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah! Demi menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur. Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat bertahan dan tewas!

Walau pun dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apa lagi setelah anak perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti ibunya!

"Ha-ha-ha, dan engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terang-terangan tanpa menyembunyikan sesuatu apa pun untuk membuktikan ‘kegagahannya’.

"Melihat engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi, setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apa lagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku lantas mengambil keputusan untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Ha-ha-ha-ha-ha!"

Dapat dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Meski ayahnya mengaku cinta kepada ibunya, tetapi dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai ayah tiri sekali pun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah, melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!

Panglima Kim Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh? Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati?

Dia masih penasaran dan bertanya dengan suara kering, "Dan ayah kandungku...?"

"Panglima Kim Bouw Sin? Ha-haha, tentunya dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak. Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andai kata aku tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama, dihukum mati sebagai salah seorang anggota keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.

Dengan muka pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih, "Kalau begitu, engkau bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo..."

Pangeran Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, "Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapa pun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."

Pikiran Hwee Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian Cu. Tentu saja kalau tidak diaku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.

"Tentu saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah,” katanya sambil minum araknya beberapa teguk. Dia lalu melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.....

********************

Demikianlah, Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri, mulai menggunakan kecerdikannya. Tiap saat dia waspada dan mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.

Sering Hwee Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah harapannya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.

"Ingatlah, Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan sekarang kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?" Demikian antara lain bujukan dari Pangeran Liong Bian Cu.

Akan tetapi biar pun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang. Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan yang salah itu, apa lagi ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Bian Cu yang dibencinya.

Akan tetapi, kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia sama sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos hanyalah dengan bantuan garudanya, tetapi kini garuda itu telah dikurung, dijaga ketat dan kurungannya dikunci.

Hwee Li sudah menggunakan akal untuk terus bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu, Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwee Li menceritakan tentang kesenangannya menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa.

Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, "Jangan khawatir, kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku pasti akan mengajakmu berpesiar naik garuda itu."

"Ahhh, mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan mati."

"Ha-ha-ha, kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya."

lnilah yang ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!

Liong Bian Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah lagi memperlihatkan kekerasan, sungguh pun sikapnya mesra sekali. Namun, dia sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih. Akan tetapi, Hwee Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan telah makin mendekat. Liong Bian Cu sudah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari, dia telah hampir sebulan berada di situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!

Pada suatu senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga di tepi sungai sehingga andai kata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.

"Hwee Li...!"

"Moi-moi, di mana kau...?"

Liong Bian Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah. Biar pun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah.....

Liong Bian Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan suka mandi di sumber air mancur itu, sungguh pun di dalam kamarnya telah tersedia kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li.

Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba muda. Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir tiap malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu. Mimpi yang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum