JODOH RAJAWALI : JILID-30


Ketika melihat munculnya Hong Kui, Ma Khong dan Ma Ti Lok menjadi gembira bukan main, demikian pula para anak buah mereka. Tek Hoat dapat mudah saja menduga bahwa di antara Hong Kui dan dua orang kakak beradik yang gagah dan cukup tampan itu tentu terdapat hubungan gelap, dan juga dengan banyak anak buah mereka termasuk orang she Kwa tadi.

Dugaan itu memang benar. Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang gila laki-laki, seorang wanita yang diperhamba oleh nafsu birahinya sehingga menjadi tidak normal lagi. Dia merasa tersiksa kalau terlalu lama tidak ditemani pria, maka ketika dia melakukan perjalanan bersama Tek Hoat yang tidak mau melayaninya, dia merasa amat tersiksa.

Dan wanita yang seperti iblis betina ini memiliki kebiasaan yang mengerikan pula, yaitu dia akan membunuh setiap orang pria yang sudah memuaskannya semalam suntuk, yaitu pria yang asing baginya karena dia tidak mau kalau pria itu akan menceritakan semua pengalamannya dan membuat namanya sebagai seorang wanita tercemar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak akan membunuh pria-pria yang menjadi sahabatnya, yang akan merahasiakan dan menjaga namanya seperti para bajak yang telah menjadi teman-temannya sejak belasan tahun yang lalu ini.

Ada pula yang dibunuhnya secara tidak disengaja, yaitu kalau dia bertemu dengan seorang pria yang benar-benar memuaskan hatinya dan amat menyenangkannya sehingga dia akan terus merayu pria ini, dan memaksanya bermain cinta sampai pria itu tewas! Dan dengan ilmunya yang luar biasa, Siluman Kucing ini bisa saja memaksa pria melayani dan memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam itu sampai pria itu mati.

Ketika Hong Kui memperkenalkan Ang Tek Hoat sebagai Si Jari Maut, dua orang kepala bajak itu bersikap hormat kepada pemuda ini. Mereka kemudian mengadakan pesta perjamuan untuk menyambut kedatangan Hong Kui dan Tek Hoat. Mereka makan minum dengan gembira dan beberapa kali Tek Hoat memberi isyarat kepada Hong Kui untuk cepat menceritakan maksud kedatangan mereka. Akan tetapi Hong Kui akhirnya berbisik kepadanya, “Tidak perlu tergesa-gesa, nanti setelah makan minum selesai.”

Tek Hoat merasa mendongkol, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat memaksa. Setelah ruangan itu dibersihkan dan mereka duduk mengobrol, barulah Hong Kui berkata kepada dua orang kepala bajak itu, “Twa-ong dan Ji-ong, sebetulnya kedatangan kami ini selain terdorong oleh rasa rindu hatiku terhadap semua teman di sini, juga kami bermaksud minta bantuanmu untuk urusan sahabatku Si Jari Maut ini, urusan yang amat penting.”

Ma Khong dan Ma Ti Lok memandang kepada Tek Hoat penuh perhatian. Pemuda sakti ini pun balas memandang mereka. Ma Khong adalah seorang laki-laki bertubuh besar dan agak pendek, usianya kurang lebih empat puluh tahun, matanya lebar dan memiliki kumis lebat. Adiknya, Ma Ti Lok, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan jangkung, mukanya bersih tak ada brewoknya karena tercukur rapi, rambutnya panjang dan hitam dijalin menjadi kuncir besar. Seperti juga kakaknya, tubuhnya berotot dan nampaknya kuat sekali.

Di lain pihak, kedua orang kepala bajak itu memandang Tek Hoat dengan ragu-ragu, karena mereka merasa sukar untuk percaya apakah pemuda yang kelihatan amat muda dan lemah ini benar-benar Si Jari Maut yang demikian menggemparkan? Tentu saja mereka bukan tidak percaya bahwa mungkin saja seorang pemuda yang kelihatan lemah memiliki kepandaian hebat, karena mereka tahu bahwa Lauw Hong Kui, seorang wanita yang cantik jelita itu pun kepandaiannya hebat bukan main, masih jauh melebihi kepandaian mereka sendiri.

“Urusan apakah itu, Lihiap?” tanya Ma Khong akhirnya sambil memandang wanita itu.

“Ketahuilah, Ang-taihiap ini mempunyai seorang sahabat baik, seorang wanita yang terculik dan karena penculiknya membawanya ke daerah Po-hai, maka kami minta bantuan kalian untuk merampas kembali sahabat Ang-taihiap ini.”

Dua orang kepala bajak itu saling pandang, lalu tersenyum lebar dan berkatalah Ma Khong. “Ahhh, itu urusan kecil sekali, Lihiap. Tentu saja kami mau membantu. Siapakah penculik itu yang berani mati sekali, berani mengganggu sahabat Si Jari Maut, padahal ada Lihiap pula di samping Si Jari Maut?”

“Jangan bilang bahwa urusan ini kecil, Twa-ong, sebelum kalian mengetahui siapa penculik itu.”

“Siapakah dia?” tiba-tiba Ma Ti Lok bertanya sambil memandang tajam penuh selidik.

“Kalau orang biasa, agaknya kami tidak perlu minta bantuan kalian. Menurut dugaanku, penculik itu bukan laln adalah Hek-sin Touw-ong...“

“Ahhhhh...!” Dua orang Saudara Ma itu melonjak kaget dan bangkit berdiri dari bangku mereka dan muka mereka berubah pucat. “Tidak mungkin...!”

“Apanya yang tidak mungkin? Dia yang menculik ataukah kalian yang membantu kami?” tanya Lauw Hong Kui.

“Kedua-duanya...!” kata Ma Khong yang sudah duduk kembali dan dia belum pulih kembali ketenangannya karena dia bersama adiknya benar-benar terkejut mendengar disebutnya nama Hek-sin Touw-ong Itu. “Yang pertama, tidak mungkin Touw-ong sudi melakukan penculikan terhadap seorang wanita, dan keduanya, andai kata benar dia yang melakukannya, tidak mungkin bagi kami untuk mencampurinya. Kami selamanya tidak pernah dan tidak akan mencampuri urusan Touw-ongya karena locianpwe itu pun tidak pernah mengganggu kami,” jelas bahwa Ma Khong kelihatan jeri sekali terhadap nama itu.

“Kalian tidak tahu siapa wanita yang diculiknya itu, Twa-ong dan Ji-ong. Dengarlah, wanita yang diculiknya itu, sahabat dari Ang-taihiap ini, adalah seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, bukan sembarang wanita belaka. Baru-baru ini, puteri itu terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Lu-liang-san, tempat yang amat kuat seperti benteng dan Liong-sim-pang dipimpin orang-orang pandai dan mempunyai banyak sekali anak buah. Namun, seorang kakek mampu menculiknya dari tempat itu dan jejaknya menuju ke pantai Po-hai. Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong yang melakukan penculikan itu?”

Mendengar ini, kedua orang kepala bajak itu saling pandang dan mengerutkan alis, berpikir keras. “Agaknya tidak mungkin Touw-ong yang melakukan penculikan,” kata Ma Ti Lok. “Biar Touw-ongya dan puterinya berilmu tinggi dan tentu saja bukan merupakan pantangan bagi mereka untuk mencuri apa saja yang mereka sukai, namun agaknya tak masuk di akal kalau Touw-ongya menculik wanita, walau pun wanita itu seorang puteri kerajaan sekali pun!”

“Benar,” kata pula Ma Khong. “Agaknya bukan dia...”

“Habis siapa lagi kalau bukan dia? Hanya dia seorang saja kakek berilmu tinggi yang berada di pantai Po-hai,” kata Hong Kui.

“Ah, bukan hanya dia,” kata Ma Khong. “Ada seorang lagi dan kurasa dia inilah yang melakukan penculikan. Ya benar, tidak salah lagi. Tentu kakek aneh itu yang bertapa di tepi pantai sebelah ujung utara, di tempat yang sangat sukar didatangi orang, yaitu di Goa Tengkorak.”

“Hemm, siapa dia?” tanya Hong Kui.

“Seorang kakek tua renta yang kabarnya aneh dan lihai bukan main, bahkan orang orang pernah melihat dia menghilang seperti setan, dan... berjalan di atas air!”

“Bohong...!” kata Hong Kui.

“Mungkin bohong mereka itu, akan tetapi jelas bahwa kakek itu amat lihai, mungkin juga pandai bermain sihir, dan karena kami pun tidak mengenal benar siapa dia dan orang macam apa adanya dia, maka besar kemungkinan dialah yang melakukan penculikan,” kata Ma Khong.

“Kalian berdua tentu suka membantu kami, bukan? Kumaksudkan, membantu aku!” tanya Hong Kui sambil mengerling tajam.

“Tentu... tentu...!” Mereka berdua menjawab serentak.

“Kalau begitu, harap kalian membawa anak buah dan mengantar kami mencari kakek aneh di Goa Tengkorak itu untuk menyelidiki.”

“Baik,” jawab mereka.

“Dan jika kemudian ternyata bahwa bukan kakek aneh itu yang menculik Puteri Bhutan, kalian harus membantu kami menyelidiki keadaan Hek-sin Touw-ong.”

“Akan tetapi... ini... ini...” Ma Khong dan Ma Ti Lok menjawab penuh keraguan dan jelas membayangkan perasaan takut-takut.

“Kalian tak mau membantu aku?” Hong Kui mendesak dan kini senyumnya menantang.

“Kami tentu saja mau membantu Lihiap!” tiba-tiba Ma Ti Lok berkata.

“Benar, kami suka membantu Lihiap, dan harap Lihiap suka menghargai bantuan kami ini yang sesungguhnya kami lakukan dengan nekat demi rasa sayang kami kepada Lihiap. Sungguh kami tidak berani main-main terhadap Touw-ong, akan tetapi demi Lihiap... kami mau melakukan segalanya, asal Lihiap tidak melupakan kami dan malam ini...“

Lauw Hong Kui tertawa. “Hi-hik, kalian sungguh bodoh! Pernahkah aku Lauw Hong Kui melupakan kebaikan orang? Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik, dan aku sudah rindu kepada kalian. Akan tetapi nanti kalau urusan ini sudah selesai dengan baik, tunggu saja dan lihatlah betapa aku adalah seorang yang tahu terima kasih, yang mengenal budi dan kutanggung kalian berdua tidak akan menyesal telah membantu aku. Akan tetapi nanti kalau sudah berhasil, karena malam ini... hemmm, aku ingin dilayani oleh dia itu.” Tiba-tiba Lauw Hong Kui menuding ke arah seorang pelayan pria yang sejak tadi memang menarik perhatiannya.

Tek Hoat ikut memandang bersama dua orang kepala bajak itu. Pria yang ditunjuk oleh Lauw Hong Kui itu adalah seorang pria muda, usianya paling banyak enam belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tidak tampan namun gagah dan membayangkan kejantanan. Dia berpakaian sederhana sebagai seorang pelayan, namun kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan tubuhnya yang mulai dewasa, kekar dan kuat. Sepasang matanya lembut dan sejak tadi dia memandang kepada Lauw Hong Kui penuh kekaguman karena sudah banyak dia mendengar dari kawan-kawannya di tempat itu tentang kehebatan wanita ini, hebat ilmu silatnya, hebat pula kepandaiannya merayu pria.

“Ah, si A-cun itu? Dia seorang yang baru di sini, baru belajar. Belum ada dua tahun dia ikut kami..., ehhh, dia masih bodoh dan hijau...“

“Hi-hik, justeru kebodohan dan kehijauannya itu menarik hatiku dan malam ini dia akan melayani aku. Ada pun kalian berdua, tunggu sampai selesai urusan yang kalian bantu, tentu kalian akan mendapatkan bagian sepenuhnya.” Wanita itu lalu bangkit berdiri, menoleh kepada Tek Hoat dan berkata, “Tek Hoat, kau bercakap-cakaplah dulu dengan mereka, aku akan pergi dan mengaso.” Dia lalu menghampiri pemuda pelayan yang di sebut A-cun tadi, menggandeng tangannya dan berkata, “Marilah, kau tunjukkan aku di mana bagian-bagian yang paling indah di daereh ini.”

Pelayan muda itu memandang dengan mata terbelalak, kelihatan bingung dan gugup, akan tetapi dia tidak membantah ketika ditarik dan diajak pergi oleh Hong Kui, diikuti suara ketawa dua orang kepala bajak itu yang memandang dengan mata mengandung iri.

Malam itu, Tek Hoat rebah di atas pembaringan dalam kamar tamu dengan hati gelisah memikirkan Syanti Dewi. Benarkah kakek yang aneh seperti setan itu yang menculik kekasihnya? Ataukah si Raja Maling? Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya ketika dia membayangkan keadaan Syanti Dewi yang menderita bermacam kesengsaraan. Melakukan perjalanan jauh dari Bhutan, mungkin menyusulnya, dan tiba di tangan orang-orang jahat, bahkan hampir dikawin oleh Hwa-i-kongcu secara paksa dan kini entah berada di tangan siapa dan di mana dan bagaimana keadaannya. Semua ini terjadi karena ibunya yang muncul di Bhutan!

Ahh, dia tidak akan menyalahkan ibunya yang telah meninggal. Ibunya yang meninggal dalam keadaan demikian menyedihkan, terbunuh oleh orang dan sampai kini pun dia belum berhasil memecahkan rahasia pembunuhan terhadap ibunya itu. Dia terpaksa menunda penyelidikannya ketika muncul persoalan Syanti Dewi. Dia harus lebih dulu menyelamatkan kekasihnya itu, baru ia akan melanjutkan usahanya mencari pembunuh ibunya.

Malam itu sunyi sekali di hutan itu. Akan tetapi bagi para anggota bajak yang beringas di malam hari itu dan mengadakan penjagaan di sekitar sarang mereka, kadang-kadang mereka itu mendengar suara yang aneh, suara seperti rintihan seekor kucing, yang terdengar jauh di luar hutan itu. Mereka hanya saling berbisik-bisik dan tertawa, akan tetapi tidak berani mendekati tempat dari mana suara itu terdengar, karena mereka maklum bahwa itulah suara Siluman Kucing yang sedang mempermainkan korbannya, yaitu A-cun yang masih muda remaja itu.

Baru pada keesokan harinya, setelah mereka melihat Mauw Siauw Mo-li dengan wajah berseri dan segar, rambut kusut dan bibir tersenyum datang menggandeng A-cun, mereka para penjaga itu, atas isyarat wanita itu, menghampiri dan mereka memapah A-cun yang keadaannya payah, hampir pingsan, pucat dan seperti orang mabuk itu. Mereka cepat menggotong pemuda remaja itu ke kamarnya dan membiarkan pemuda remaja itu tidur setelah memaksa pemuda itu minum obat yang diberikan Mauw Siauw Mo-li.

Tek Hoat yang mendengar akan hal ini sama sekali tidak mengambil peduli. Begitu dia terbangun dan membersihkan badan, dia lalu mencari dua orang kepala bajak itu dan bertanya tentang usaha mereka menyelidiki ke Goa Tengkorak. Ternyata Hong Kui sudah siap pula bersama dua orang kepala bajak. Biar pun semalam suntuk tidak tidur, wanita itu kelihatan segar dan wajahnya berseri, bibirnya tersenyum, dan hanya mukanya agak pucat. Dia telah memperoleh kepuasan setelah berhari-hari melakukan perjalanan bersama Tek Hoat, setelah banyak malam dilewatkan dengan gelisah sendirian tanpa kawan, dan ternyata pemuda remaja anak buah bajak itu bukan hanya memenuhi harapannya, bahkan melampaui yang diharapkannya sehingga dia merasa gembira dan puas.

Mereka melakukan perjalanan berempat dan agar dapat melakukan perjalanan cepat, Ma Khong dan Ma Ti Lok mengajak mereka naik perahu dan menyusuri tepi pantai menuju ke utara. Ketika perahu itu melewati tebing yang amat tinggi, Ma Khong menuding ke atas tebing dan berkata, “Di sanalah tempat tinggal Hek-sin Touw-ong. Tidak kelihatan dari sini, di atas tebing itu terdapat sebuah rumah gedung yang menjadi tempat tinggalnya. Terus terang saja, kami sendiri belum pernah pergi ke tempat itu. Siapa pula orangnya yang berani mendekati tempat tinggal Touw-ongya? Mudah mudahan saja dugaan kami benar bahwa kakek aneh di ujung pantai itu yang menculik Puteri Bhutan itu sehingga kita tidak perlu mendatangi Touw-ong.”

Setelah hari menjadi sore, baru mereka mendarat di ujung utara dari pantai teluk itu dan mereka menuju ke daerah yang penuh dengan batu dan goa, daerah yang merupakan tebing dan pegunungan batu kapur. Tidak lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah goa yang bentuknya memang seperti tengkorak manusia, goa yang sangat menyeramkan. Akan tetapi sunyi saja di tempat itu dan ketika mereka memasukinya, mereka mendapatkan goa itu kosong. Memang ada tanda-tanda bahwa goa itu pernah ditinggali manusia, bahkan agaknya belum lama penghuninya meninggalkan tempat itu.

Mereka memeriksa Goa Tengkorak itu dan tiba-tiba Tek Hoat berdiri termenung di depan dinding goa sebelah kiri, memandang dan membaca tulisan yang diukir dengan indahnya di dinding batu itu. Dia melihat guratan-guratan huruf kecil-kecil itu dengan teliti dan diam-diam dia merasa kagum karena dari bekasnya dia dapat menduga bahwa orang itu menggurat-guratkan jari tangannya untuk menuliskan huruf-huruf itu! Dia membaca dengan hati tertarik.

Sayang, sungguh amat sayang…, belum pernah aku bertemu seseorang yang setelah melihat kesalahan sendiri, lalu benar-benar menyesalkan kesalahannya itu dan benar benar memperbaiki dirinya sendiri!

Tek Hoat membaca tulisan itu berkali-kali dan termenung. Dia merasa seperti pernah mendengar kata-kata itu, akan tetapi karena pelajarannya tentang sastra memang tidak begitu mendalam, maka dia lupa lagi di mana dan bilamana.

“Hi-hi-hik, orang tolol yang menuliskan itu. Mana di dunia ini ada orang yang mampu melihat kesalahan sendiri?”

Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan ejekan Mauw Siauw Mo-li itu dan dia malah termenung. Keluhan orang yang menuliskan kata-kata di dinding batu itu memang merupakan kenyataan. Adalah mudah melihat kesalahan sendiri, akan tetapi sukarlah untuk memperbaiki diri sendiri sungguh pun dari penglihatan itu selalu timbul penyesalan. Sesungguhnya, tulisan itu adalah petikan dari ujar-ujar dalam kitab Lun Gi bagian kelima dan pasal kedua puluh tujuh, ujar-ujar dari Nabi Khong Cu dan kata-kata itu berasal dari Nabi Khong Cu sendiri.

Memang sudah menjadi kebiasaan kita untuk merasa menyesal setelah kita melihat kesalahan sendiri. Akan tetapi, biasanya penyesalan itu bukan datang karena benar benar kita menyadari akan kesalahan sendiri, melainkan penyesalan yang timbul karena akibat buruk yang timbul karena kesalahan perbuatan kita itu! Jadi, sama sekali bukan penyesalan akan perbuatan kita yang salah, melainkan penyesalan karena kita dirugikan oleh perbuatan itu sebagai akibatnya.

Misalnya, kita melakukan sesuatu perbuatan yang salah, yaitu mencuri. Akibatnya, kita tertangkap dan dihukum. Menyesallah kita, akan tetapi penyesalan ini timbul karena JATUHNYA HUKUMAN itulah atas diri kita. Oleh karena keadaan seperti inilah maka di lain kesempatan, kita dapat saja mengulangi perbuatan itu asal saja tidak terlihat ancaman hukumannya. Itulah sebabnya maka Nabi Khong Cu tidak pernah melihat orang yang melihat kesalahan sendiri lalu benar-benar menyesalkan perbuatannya dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri. Perbaikan diri sendiri yang dimaksudkan TIDAK MENGULANGI lagi perbuatannya yang salah itu.

Mempelajari atau menghafal ayat-ayat suci saja sesungguhnya tidak ada artinya sama sekali bagi jalannya kehidupan. Yang penting adalah menyelami sedalam-dalamnya segala hal yang berhubungan dengan kahidupan kita. Kalau kita melakukan suatu kesalahan tidak hanya cukup untuk disesalkan saja, melainkan kita hadapi secara menyeluruh. Kita selidiki diri kita sendiri mengapa kita melakukan kesalahan itu, apa yang mendorongnya dan apa yang menimbulkan terjadinya hal itu. Kalau kita selalu waspada akan gerak-gerik diri sendiri setiap saat, maka akan timbul kesadaran yang menyeluruh, bukan kesadaran sepintas lalu yang didapat dari membaca ayat.

Kesadaran membaca ayat hanya terbatas pada saat membaca ayat itu saja, untuk kemudian dilupakan lagi sehingga di waktu kita memikirkan atau melakukan sesuatu menurut pikiran, ayat-ayat itu sama sekali terpendam dan terlupa. Dan biasanya, ayat ayat itu yang kesemuanya amat muluk-muluk dan baik, hanya teringat oleh kita kalau kita ingin menasehati orang lain saja, sebaliknya sama sekali terlupa kalau kita melakukan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ayat-ayat itu seperti nyanyian-nyanyian merdu yang hanya mampu menggerakkan hati nurani kita pada saat kita mendengarnya atau membacanya, dan apakah artinya itu bagi kehidupan kita kalau hanya dinikmati sepintas lalu saja tanpa adanya PENGHAYATAN DALAM HIDUP?

Mengetrapkan ayat-ayat suci di dalam kehidupan sehari-hari pun hanya merupakan kepalsuan yang dipaksa-paksakan belaka, mungkin dengan tujuan agar kita dipuji, agar kita menjadi orang baik dan sebaiknya. Kebaikan tidak mungkin dilatih, karena kalau kebaikan itu muncul karena dilatih, maka dia bukan kebaikan lagi melainkan kepalsuan. Kebaikan adalah kewajaran, tidak dilatih tidak dibuat-buat, tidak mencontoh ini atau itu, melainkan keadaan bebas dari kekotoran. Kalau kebusukan-kebusukan sudah tidak ada maka muncullah kebaikan, wajar seperti kalau awan-awan gelap sudah sirna maka nampaklah sinar matahari. Melatih kebaikan hanya akan menciptakan manusia-manusia munafik.

Yang penting, mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran-kekotoran dan kebusukan-kebusukan diri sendiri dengan mengamatinya setiap saat, dengan waspada setiap saat akan segala gerak-gerik lahir batin diri sendiri. Pengamatan seperti ini adalah tanpa pamrih sama sekali, tanpa pengejaran akan sesuatu, tanpa ingin menjadi baik, tanpa adanya aku yang berpamrih, tanpa adanya aku yang mengejar dan menginginkan apa pun. Yang ada hanya batin mengamati diri sendiri, gerak-geriknya setiap saat yang menimbulkan segala macam perbuatan, tanpa ada keinginan mengubah, memperbaiki, mengendalikan, dan keinginan-keinginan ini tentu tidak ada kalau YANG MENGAMATI tidak ada pula!

Sampai lama mereka berempat memeriksa keadaan di dalam goa Tengkorak, akan tetapi tetap saja mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas-bekas yang menunjukkan bahwa Syanti Dewi pernah berada di dalam goa itu.

“Jelas bahwa bukan penghuni goa ini yang menculiknya. Tentu Hek-sin Touw-ong!” kata Tek Hoat.

“Kalau begitu kita akan menyelidiki ke rumah Raja Maling itu,” kata Mauw Siauw Mo-li.

Dua orang Saudara Ma itu kelihatan gentar. “Kalau begitu kita sebaiknya pulang dulu, kami akan mengerahkan anak buah kami.”

“Tidak perlu,” kata Tek Hoat sambil mengerutkan alisnya. “Kita berempat sudah cukup. Kalian hanya menunjukkan saja jalan menuju ke gedung itu, setelah bertemu dengan Hek-sin Touw-ong, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya.”

“Tapi... tapi dia amat sakti, dan puterinya juga amat lihai. Kami... kami tidak berani. Kalau engkau gagal, Taihiap, kami pun tentu akan celaka.”

“Jangan takut, Twa-ong. Ang-taihiap cukup kuat untuk menghadapi Touw-ong, dan selain itu ada aku di sini, bukan?” kata Hong Kui. Karena takut kepada wanita itu, akhirnya dua orang itu terpaksa menurut.

Malam itu mereka bermalam di dalam goa Tengkorak.

Hong Kui tidak mempedulikan dua orang kepala bajak yang membuat api unggun di dalam goa itu. Dia mendekati Tek Hoat dan berusaha merayu pemuda ini. Akan tetapi Tek Hoat menjadi merah mukanya dan marah. Hampir saja dia memukul wanita tak tahu malu itu dan akhirnya dia keluar, lebih suka tidur di luar goa yang dingin dari pada di dalam goa di mana dia menghadapi godaan Hong Kui yang amat mengganggunya.

Tak lama kemudian dia mendengar suara dua orang kepala bajak itu tertawa-tawa, dan menjelang tengah malam, kembali dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat memuakkan hatinya. Dia pergi menjauh dari goa, tidur di antara batu-batu karang, menerawang ke langit yang penuh bintang dan mengenangkan semua kehidupannya yang telah lalu. Timbul perasaan malu di dalam hatinya.

Teringat akan tulisan di dinding batu, sekarang dia melihat betapa dia telah memenuhi kehidupan yang lalu dengan segala hal yang amat memalukan dan jahat. Betapa dia dapat mengubah itu semua setelah dia bertemu dengan Syanti Dewi, bahkan di Bhutan dia telah menjadi seorang terhormat, sebagai panglima dan calon suami Syanti Dewi. Cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi selain membuat dia hidup bahagia, juga membuat dia hidup bersih, jauh dari pikiran kotor sama sekali. Bahkan dia mulai menganggap dirinya berharga dan patut menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es dan menjadi calon suami Syanti Dewi yang berbudi mulia.

Akan tetapi terjadi perubahan. Dia terusir dengan cara yang amat merendahkan dari Bhutan. Dia lalu meninggalkan Syanti Dewi dan kebahagiaannya hancur, kehidupannya hancur dan hatinya juga remuk-redam. Dia menjadi tidak peduli akan kehidupannya, apa lagi setelah melihat ibunya terbunuh. Dia tidak peduli lagi apakah dia hidup melalui jalan kotor atau bersih. Dia tidak peduli!

Akan tetapi sekarang, kembali dia terombang-ambing antara kehancuran hidupnya dan pertemuannya kembali dengan Syanti Dewi. Bagaimana jika mereka bertemu kembali? Apakah dia masih berharga untuk puteri itu? Apakah puteri itu dapat mencintanya? Dia mulai merasa menyesal! Penyesalan yang timbul karena kekhawatirannya akan kehilangan Syanti Dewi lagi! Dia telah melalui jalan kotor dan sesat!

Dengan hati gelisah, akhirnya dia dapat pulas juga dan dapat-lapat seperti dalam mimpi dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat dibencinya. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya diseret ke dalam lumpur kehinaan oleh Mauw Siauw Mo-li! Dia harus membuktikan bahwa dirinya masih berharga untuk mencinta Syanti Dewi!

********************

“Suhu, lihat apa yang kudapatkan ini!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berkata bangga di depan kakek itu sambil membuka buntalan besar yang dibawanya masuk ke dalam gedung besar di tebing itu, buntalan yang tadi diseret masuk oleh dua orang pelayan yang menyambut kedatangannya bersama beberapa orang pelayan lain.

Rumah itu merupakan gedung besar dan sama sekali tidak pantas menjadi rumah seorang yang berjuluk Raja Maling! Rumah itu teratur rapi, biar pun tidak terlalu mewah namun amat menyenangkan dengan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf indah. Pot-pot kembang kuno menghias di sudut-sudut ruangan, lantainya bersih dan kesemuanya menunjukkan bahwa rumah itu terpelihara dan penghuninya suka akan kebersihan.

Ada kurang lebih sepuluh orang pelayan bekerja di luar dan dalam rumah, kesemuanya walau pun berpakaian pelayan namun sebetulnya adalah anak buah Hek-sin Touw-ong dan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan ilmu mencuri yang lihai. Akan tetapi tentu saja sekarang mereka tidak lagi mencuri, setelah menjadi anak buah dan pelayan dari Raja Maling itu.

Kakek yang berjuluk Hek-sin Touw-ong itu adalah seorang lakl-laki tua berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya hitam seperti dicat, sesuai dengan julukannya si Raja Maling Bermuka Hitam. Sebenarnya, sudah sejak bertahun-tahun yang lalu kakek ini menjalankan pekerjaannya sebagai Raja Maling, yaitu ketika dia masih beroperasi di perbatasan Ho-nan dan Ho-pei. Namanya amat terkenal di daerah itu dan semua kaum pencuri tunduk kepadanya dan menganggapnya sebagai datuk atau raja.

Karena kepandaiannya yang hebat, dan oleh karena semua pencuri menganggapnya sebagai raja, kemudian karena mukanya hitam, maka dia memperoleh julukan Hek-sin Touw-ong. Akan tetapi sesungguhnya dia bukanlah maling sembarang maling! Dia hanya mau melakukan pencurian di dalam istana-istana saja! Dan biar pun mukanya hitam, ternyata hatinya tidaklah sehitam mukanya.

Kakek yang terkenal dengan julukan Raja Maling ini terkenal dermawan dan suka menolong orang-orang yang menderita kekurangan dan kesengsaraan. Pernah dia mencuri satu peti besar terisi ratusan tail uang emas milik gubernur di Ho-nan dan menggunakan seluruh uang itu untuk membeli ratusan ton gandum untuk dibagikan kepada rakyat yang kelaparan di daerah lembah Huang-ho di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei pada saat Sungai Huang-ho mengamuk dan membanjiri! Perbuatannya ini menimbulkan kegemparan. Selain dia dimusuhi oleh para pembesar, juga perbuatannya itu menimbulkan rasa kagum dalam hati para pendekar.

Ketika kakek itu mendengar akan kedatangan muridnya, dia cepat keluar menyambut di ruangan tengah dengan wajah berseri-seri. Kakek ini amat sayang kepada muridnya, bahkan murid itu juga sekaligus menjadi anak angkatnya, sungguh pun Swi Hwa masih belum dapat mengubah sebutan ‘suhu’ kepadanya. Sudah berbulan-bulan muridnya pergi merantau, dan kini muridnya pulang dan membawa ‘oleh-oleh’ yang demikian banyaknya. Ketika buntalan dibuka dan kakek itu melihat tumpukan perhiasan emas permata, uang dan juga kitab-kitab, dia terbelalak dan menatap wajah muridnya dengan alis berkerut.

“Swi Hwa, apa yang telah kau lakukan? Dari mana engkau memperoleh semua benda berharga ini?”

Biar pun dia berjuluk Raja Maling, akan tetapi kakek ini selalu melarang muridnya untuk melakukan pencurian, apa lagi pencurian kecil-kecilan yang akan merendahkan nama mereka, sungguh pun muridnya sudah pandai sekali dalam hal ilmu mencuri dan ilmu menyamar.

Gadis itu tertawa. “Suhu, harap jangan mengira, bahwa aku sembarangan saja mencuri segala macam benda. Benda-benda ini bukan benda-benda sembarangan, juga bukan milik orang-orang sembarangan pula.”

“Hemmm, kantung itu terisi uang tidak berapa banyak dan kau bilang bahwa itu bukan benda sembarangan?” Gurunya mencela dan menegur.

“Benar, Suhu. Hanya sekantung uang yang tidak berharga. Akan tetapi tahukah Suhu dari siapa aku mengambil kantung ini? Hemmm, Suhu tentu tidak akan pernah dapat menerkanya. Kantung ini kuambil dari buntalan yang dibawa oleh pendekar Siluman Kecil!”

“Wahhhhh...!” Suhu-nya terbelalak dan memandang kepada muridnya dengan heran.

Tentu saja dia sudah mendengar akan nama pendekar yang baru muncul dalam waktu beberapa tahun ini, yang namanya amat terkenal di antara para tokoh besar dunia hitam, bahkan amat disegani. Dia pernah mendengar betapa ilmu kepandaian pendekar Siluman Kecil itu amat hebat dan kini muridnya berani mencopet kantung uangnya!

Melihat kekagetan dan keheranan suhu-nya, Swi Hwa menjadi bangga dan senang, maka dia lalu menuding ke arah peti terbuka yang terisi barang-barang perhiasan emas permata.

“Dan Suhu lihat peti itu! Isinya adalah harta pusaka dari keluarga yang amat terkenal pula. Keluarga panglima besar kota raja, Jenderal Kao Liang!”

“Ehhh...?” Sepasang mata Raja Maling itu semakin terbelalak lebar ketika mendengar laporan itu.

Nama Jenderal Kao malah lebih terkenal lagi dari pada nama Siluman Kecil. Siapa yang tidak mengenal nama jenderal yang amat hebat itu? Baru mendengar namanya saja orang menjadi gentar dan segan, akan tetapi muridnya ini berani mencuri harta pusaka keluarga jenderal itu!

Hati Swi Hwa semakin besar dan bangga. “Dan kitab-kitab ini, Suhu. Tentu Suhu tidak akan dapat menerka dari mana aku mencurinya. Kitab-kitab ini adalah milik si tua renta yang amat lihai itu, Sin-siauw Sengjin...“

“Apa...?!” Sekali ini kakek itu hampir berteriak dan mukanya berubah, lalu tiba-tiba dia tertawa bergelak dan membuka-buka kitab itu. “Ha-ha-ha-ha-ha! Lucu...! Lucu sekali! Muridku, anakku, hayo cepat kau ceritakan bagaimana engkau dapat melakukan semua itu, terutama sekali kitab-kitab palsu ini!”

“Palsu?” Swi Hwa mengerutkan alisnya. “Bagaimana Suhu tahu bahwa ini palsu? Aku mengambilnya langsung dari rumah Sin-siauw Sengjin sendiri setelah dia dikalahkan oleh Siluman Kecil.”

Kembali kakek itu terkejut. “Sin-Siauw Sengjin dikalahkan oleh Siluman Kecil? Bagai mana pula itu? Ahhh, Swi Hwa, ceritakan... ceritakan...!”

Melihat kegembiraan gurunya, Swi Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Mula-mula dia menceritakan tentang keluarga Jenderal Kao Liang yang membawa keluarganya pulang ke kampung halamannya di selatan, kemudian betapa muncul beberapa kelompok gerombolan yang hendak membunuh dan hendak merampok keluarga itu. Dalam keributan ketika para kelompok gerombolan itu saling bertempur sendiri, dia lalu menggunakan kesempatan itu untuk merampas peti terisi harta pusaka itu dan melarikannya. Kemudian dia menceritakan tentang penyamarannya sebagai tukang penjual sepatu dan berhasil mencopet kantung uang milik Siluman Kecil, dan akhirnya dia menceritakan pula bagaimana dia telah mencuri kitab-kitab pusaka milik Sin-siauw Sengjin. Akan tetapi tentang dia masuk menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dan tentang rahasianya yang terbuka oleh Siauw Hong, dia sama sekali tidak berani menceritakan kepada suhu-nya.

Kakek itu mendengarkan penuturan muridnya dan berkali-kali dia berseru kagum. Apa lagi ketika dia mendengar tentang pertandingan antara Siluman Kecil dan Sin-siauw Sengjin sampai kakek Suling Sakti itu kalah, berulang kali dia mengeluarkan suara heran dan memuji. “Hebat... hebat sekali orang muda yang berjuluk Siluman Kecil itu. Tadinya kukira bahwa Sin-siauw Sengjin tidak ada lawannya. Kiranya dia kalah oleh seorang pemuda. Ha-ha-ha-ha!” Kelihatan kakek ini girang sekali mendengar tentang kekalahan Suling Sakti itu.

“Suhu, tadi Suhu mengatakan bahwa kitab-kitab ini palsu, padahal Suhu sendiri belum memeriksanya dengan teliti. Benarkah itu?”

“Ha-ha, tentu saja, Swi Hwa. Aku sudah mengenal baik siapa kakek tua bangka itu! Kalau kitab-kitab peninggalan Suling Emas dapat dicuri orang begitu saja, tentu ilmu ilmu itu tidak akan menjadi rahasia sampai sekarang. Kau boleh bakar kitab-kitab itu, karena semua itu palsu, apa lagi kalau telah dia tinggalkan begitu saja.”

“Betapa pun juga, aku telah merampasnya dari dalam rumahnya, Suhu.”

“Ha-ha-ha, itulah yang sangat menggirangkan hatiku. Kalau saja dia mendengar bahwa rumahnya kemasukan maling dan maling itu adalah engkau, muridku, ha-ha-ha... ingin aku melihat mukanya, ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa-tewa, akhirnya lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Muridku, anakku, apa yang telah kau lakukan ini benar-benar hebat dan amat mengagumkan hatiku. Aku girang dan puas mempunyai murid seperti engkau. Tetapi engkau telah bermain-main dengan api, anakku. Kurasa perbuatanmu ini akan berekor dan siapa tahu akan ada orang-orang pandai yang mencarimu di sini untuk merampas kembali benda-benda ini. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita segera menyembunyikan di tempat aman.”

“Di goa rahasia di tebing?”

Kakek itu mengangguk dan mereka lalu membawa benda-benda itu ke tepi tebing, lalu mereka merayap turun melalui tebing yang sangat curam itu dan menyembunyikan benda-benda itu di dalam sebuah goa di tebing yang tertutup oleh batu dan tumbuh tumbuhan sehingga kalau bukan mereka yang sudah mengenal tempat itu, kiranya tidak mungkin orang lain akan dapat mencari dan menemukan tempat itu.

Malam itu, di meja makan, Swi Hwa dengan hati-hati lalu menceritakan pengalamannya kepada gurunya. Tanpa menyinggung perasaan hatinya yang mula-mula tertarik kepada Siluman Kecil, dia akhirnya menceritakan juga tentang petualangannya saat memasuki sayembara di Ho-nan.

“Ehhh, Swi Hwa, apa yang kau lakukan itu? Mau apa engkau memasuki sayembara untuk menjadi pengawal?” tegur gurunya.

Swi Hwa memang amat dimanja oleh gurunya ini dan sejak kecil dia menganggap gurunya sebagai ayah sendiri. Oleh karena inilah, maka biar pun ketika datang tadi dia tidak berani bercerita tentang semua itu, namun akhirnya dia bercerita juga karena dia tidak dapat menahan semua itu di dalam hatinya dan dia tidak mempunyai orang lain untuk diajak bicara.

“Suhu, aku hanya ingin meluaskan pengalaman saja. Apa lagi aku terbawa oleh orang orang lain yang melakukan perjalanan bersamaku. Dan Siluman Kecil juga melakukan perjalanan bersama, maka aku pun ingin memperlihatkan kepandaian.”

“Hemmm... kau seorang wanita sungguh terlalu berani beraksi di depan umum.” Lalu dia memandang tajam. “Apakah sebabnya maka kau ingin agar orang-orang mengetahui kepandaianmu?”

“Suhu, tentu saja dengan maksud untuk mengangkat nama Suhu!”

“Ehhh, bocah lancang! Apa kau mengaku bahwa kau muridku?”

Ditegur begitu oleh gurunya, Swi Hwa terkejut. “Aku... aku... hanya mengaku sebagai wakil Suhu dalam pertemuan di lembah Huang-ho...“

“Itu memang atas kehendakku. Engkau kusuruh mewakili aku menghadiri pertemuan itu di sana. Akan tetapi tidak di tempat umum!”

“Suhu, maafkan, aku... aku hanya mengakui nama dan nama Suhu di depan... ehhh, Siluman Kecil ketika aku mengambil kitab-kitab Sin-siauw Sengjin.”

Gurunya menarik napas panjang. “Kau sungguh mencari penyakit. Nah, karena sudah terlanjur, bagaimana nanti sajalah, akibatnya kita hadapi bersama. Lanjutkan ceritamu.”

Setelah mulai menuturkan tentang sayembara itu, Swi Hwa tentu saja tidak dapat menutupi apa-apa lagi dan kata-kata pun mulai lancar keluar dari mulutnya. Dibukanya segala peristiwa itu kepada suhu-nya. Betapa dia terlibat dalam urusan perebutan Pangeran Yung Hwa yang ditawan oleh Gubernur Ho-nan, betapa dia terpukul oleh Siluman Kecil.

“Ahhh, engkau benar-benar sembrono sekali, muridku. Untung engkau tidak sampai terpukul mati oleh pendekar itu,” kata kakek itu dengan mata terbelalak, terheran-heran akan petualangan muridnya yang berani itu.

Swi Hwa lalu menceritakan bahwa perkelahian itu membuat dia tidak suka lagi tinggal di gubernuran, apa lagi karena teman-temannya telah pergi, yaitu si gagu yang ternyata adalah kakak sendiri dari Siluman Kecil, Siauw Hong, Siluman Kecil dan seorang kakek gagah perkasa yang dia mendengar dari para pengawal adalah seorang tokoh bernama Sai-cu Kai-ong yang memimpin pasukan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa.

Mendengar nama ini, Hek-sin Touw-ong menjadi makin heran, matanya terbelalak dan dia berseru, “Sai-cu Kaiong...? Ahhh... betapa aneh dan kebetulan...!”

”Apa maksudmu, Suhu?”

Gurunya menarik napas panjang. “Tidak apa-apa, aku kenal dengan tua bangka itu, kelak engkau pun akan tahu sendiri. Teruskan, teruskan, ceritamu makin menarik.”

“Setelah aku pergi meninggalkan gubernuran Ho-nan oleh karena aku tidak ingin lagi melanjutkan sebagai pengawal gubernur, setelah terjadi peristiwa perebutan Pangeran Yung Hwa itu, aku bertemu dengan Jenderal Kao Liang yang sedang diserang oleh seorang wanita berpakaian hijau yang amat lihai. Melihat jenderal yang sudah kudengar kegagahannya itu roboh, aku merasa kasihan dan aku lalu membantunya, kuserang wanita baju hijau yang lihai itu, Suhu.”

Gurunya mengangguk-angguk. “Sekali ini kau benar, muridku. Pertama, karena engkau telah melakukan kesalahan terhadap jenderal itu dengan mencuri harta pusakanya, maka sudah selayaknya engkau menebusnya dengan membantunya, apa lagi engkau belum mengenal wanita penyerangnya itu.”

“Akan tetapi dia lihai bukan main, Suhu! Pukulan Kiam-to Sin-ciang yang kupergunakan tidak merobohkannya...“

“Ahhh, ilmumu belum cukup tinggi untuk dapat menggunakan Kiam-to Sin-ciang dengan sempurna.”

“Pada saat itu, muncul pula Siluman Kecil dan Siauw Hong. Mereka melerai, akan tetapi aku sudah terpukul oleh wanita baju hijau itu sehingga aku roboh pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi...”

”Ahhh, begitu hebat dia? Siapakah wanita itu?”

“Aku tidak tahu, Suhu. Usianya lebih tua dua tiga tahun dari pada aku, pakaiannya serba hijau, wajahnya cantik dan sikapnya dingin. Pukulannya itu hebat bukan main, aku merasa betapa seluruh tubuhku seperti dimasuki salju yang dinginnya menyusup tulang sumsum dan menyerang rongga dada sehingga aku tidak kuat dan roboh tidak ingat apa-apa lagi.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. “Dingin...? Hemmm, tentu dia memiliki ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang sangat kuat. Lalu bagaimana, Swi Hwa? Kemudian apa yang terjadi denganmu?”

Mendadak wajah gadis itu menjadi merah sekali. Dia sudah kepalang basah, sudah menceritakan segala-galanya kepada gurunya, maka sukarlah untuk menyembunyikan peristiwa yang terjadi atas dirinya, apa yang dilakukan oleh Siauw Hong itu. Teringat akan ini tiba-tiba saja gadis itu merasa amat malu dan terhina, lalu menangis!

Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi terkejut sekali. Dia memandang muridnya dengan sinar mata penuh selidik, lalu dia bertanya, “Apakah yang menimpa dirimu, muridku? Mengapa engkau menangis?” Suaranya mengandung kekhawatiran karena mendengar muridnya roboh pingsan lalu kini menangis itu, dia menyangka bahwa jangan-jangan terjadi hal yang buruk atas diri muridnya.

Swi Hwa menyusut air matanya dan setelah tangisnya mereda dan hatinya mulai tenang kembali, dia melanjutkan ceritanya, “Pukulan itu membuat aku pingsan, Suhu. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku siuman kembali, aku telah berada di bawah pohon, di atas rumput terlentang dan... dan...“

“Ya? Bagaimana?” Gurunya bertanya dengan tangan terkepal karena hatinya tegang menanti lanjutan cerita muridnya itu.

“Ketika aku siuman kembali, aku melihat dia duduk di dekatku dan... dan tangannya diletakkan di… di atas dadaku, Suhu...“ Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

“Dia? Dia siapa?”

“Siauw Hong...“

“Keparat! Berani benar dia!” Kakek itu membentak marah.

“Suhu tentu mengerti betapa kaget dan malu rasanya hatiku. Tangannya itu meraba dadaku di balik bajuku... maka aku kemudian bangkit dan memukulnya sekuat tenaga sehingga dia terlempar dan mungkin dia mampus!”

“Bagus! Benar itu! Kalau dia belum mampus, biar aku yang akan mencarinya dan memukulnya sampai mampus benar-benar! Laki-laki keparat dia itu! Siapa sih Siauw Hong itu?”

“Dia adalah pemuda yang melakukan perjalanan bersama aku dan Siluman Kecil, yang juga memasuki sayembara dan diterima menjadi pengawal, akan tetapi ketika terjadi keributan perebutan Pangeran Yung Hwa, dia membantu Siluman Kecil.”

“Hemmm, jadi dia memiliki kepandaian juga, ya? Orang macam apa dia berani berbuat kurang ajar seperti itu?”

“Dia... dia masih muda, mungkin tidak lebih tua dari pada aku, Suhu, dan dia dikenal sebagai pangeran pengemis...“

“Pengemis??” Gurunya makin penasaran. Anak angkatnya, muridnya yang tersayang itu diganggu oleh seorang pemuda pengemis?

“Ya, dia seorang pengemis aneh, dan ternyata kemudian bahwa dia adalah murid dari kakek pengemis aneh yang memimpin pasukan memperebutkan Pangeran Yung Hwa itu, Suhu.”

”Siapa? Murid siapa?” Muka kakek itu berubah.

Swi Hwa terkejut melihat perubahan muka gurunya. “Dia murid Sai-cu Kai-ong...“

“Ahhhhh...! Ya Tuhan...!”

“Ada apakah, Suhu? Mengapa Suhu demikian kaget?”

Kakek itu masih terbelalak, kemudian dia memegang lengan gadis itu dengan cepat sehingga gadis itu menjadi kaget dan takut kalau-kalau gurunya marah. Belum pernah gurunya marah kepadanya, akan tetapi sikapnya sekarang benar-benar mengagetkan hatinya.

“Hayo katakan, apakah dia melakukan hal itu, meraba dadamu, untuk berbuat kurang ajar dan melanggar susila? Apakah dia berusaha... memperkosamu?”

Sekarang Swi Hwa yang memandang dengan mata terbelalak. “Memperkosa? Apa maksudmu, Suhu? Sama sekali tidak! Dia meraba dadaku untuk menyembuhkan aku, terasa olehku dia menyalurkan sinkang yang sangat kuat dan mengusir hawa dingin akibat pukulan gadis pakaian hijau itu.”

“Ahhh...!” Kakek itu tertegun dan menjadi melongo. “Jadi dia malah menolongmu? Kalau dia menyelamatkanmu dengan mengobati lukamu, mengapa pula kau menghantamnya sampai... mungkin dia mati?”

Wajah Swi Hwa menjadi merah dan dia menunduk. “Habis... habis dia... meraba dadaku dan aku malu karena rahasiaku terbuka. Tadinya dia dan mereka semua mengira aku seorang pemuda sejati Suhu, aku selalu menyamar. Ketika aku melihat dia meraba dadaku, di balik baju, tentu saja aku merasa malu dan marah karena rahasiaku terbuka dan aku lalu memukulnya, kemudian aku melarikan diri, dan pulang ke sini.”

Kakek itu menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. “Ahh, aku menjadi bingung, Swi Hwa. Sebentar aku marah, sebentar aku khawatir, dan kemudian aku terheran dan bingung lagi. Jadi pemuda yang mengobatimu dan juga yang berani meraba dadamu itu adalah murid Sai-cu Kai-ong?”

“Benar, Suhu.”

Kakek itu menarik napas panjang. “Aaahhhhh... kekuasaan Thian sungguh amat hebat dan luar biasa, penuh rahasia ajaib...“

“Maksud Suhu?”

“Swi Hwa, engkau adalah seorang gadis yang sudah cukup umur. Sudah menjadi kewajibanku sebagai guru dan ayah angkatmu untuk memikirkan perjodohanmu...“

“Ah, Suhu! Harap jangan bicara tentang itu!” Swi Hwa berseru dan mukanya menjadi merah sekali. Dia teringat kepada Siluman Kecil, pemuda yang amat dikagumi itu, akan tetapi hatinya kecewa dan tawar kembali melihat betapa Siluman Kecil sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan memusuhinya!

“Swi Hwa, hanya ada tiga peristiwa dalam kehidupan manusia yang kuanggap penting, bahkan yang diakui kepentingannya oleh semua orang, menjadi pusat perhatian dan didatangi sanak keluarga dan handai-taulan. Pertama adalah kelahiran, kedua adalah pernikahan dan ketiga kematian. Usiamu sudah hampir sembilan belas tahun, sudah cukup untuk memikirkan tentang jodoh. Dan setelah kau menceritakan tentang pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, hemmm... timbul pikiranku untuk menyelidikinya lebih jauh dan melihat kalau-kalau dia berjodoh denganmu.”

“Suhu...!”

“Swi Hwa, bagi seorang wanita terhormat dan bersusila, merupakan pantangan besar untuk membiarkan tubuhnya diraba oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya tentu saja! Siapa berani merabanya berarti telah melakukan penghinaan dan hanya layak ditebus dengan nyawa. Oleh karena itu, pemuda bernama Siauw Hong yang telah meraba tubuhmu itu pun hanya mempunyai dua pilihan, pertama menjadi jodohmu atau kedua dia harus dibunuh!”

“Tapi... tapi... dia telah menolongku, Suhu, dia telah mengobatiku.”

“Nah, itulah sebabnya mengapa aku pun hendak menyelidiki dia. Aku pun lebih condong untuk menjodohkan dia denganmu, apa lagi mengingat bahwa dia adalah murid seorang seperti Sai-cu Kai-ong yang biar pun berkepala besar dan berhati baja, namun kurasa tentu dapat memilih seorang murid yang baik.”

“Akan tetapi, Suhu, aku belum...!”

“Ssshhhhh...!” gurunya memberi isyarat agar muridnya diam dan dia lalu meloncat ke luar dari kamar itu, diikuti oleh Swi Hwa yang juga mendengar suara ribut-ribut di luar rumah itu.

Ketika mereka tiba di luar rumah, mereka terkejut bukan main melihat para pelayan mereka telah menggeletak di sana-sini dalam keadaan tertotok, pingsan atau terluka! Pelayan-pelayan mereka adalah orang-orang yang cukup lihai, akan tetapi bagaimana dalam waktu singkat saja mereka roboh semua?

Hek-sin Touw-ong yang baru muncul itu mendadak meloncat ke samping ketika dia melihat bayangan orang berkelebat dan sinar hijau menyambarnya. Dia mengelak dan memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah seorang wanita cantik yang pesolek, dari pakaiannya tersebar bau semerbak harum dan pedangnya yang bersinar hijau itu lihai sekali.

Segera dia mengenal wanita ini dan dia berseru marah, “Mauw Siauw Mo-li, mau apa kau? Berani benar kau mengacau di tempatku?”

“Tek Hoat, cepat...!” Mauw Siauw Mo-li sudah berseru;

Dan tanpa mempedulikan pertanyaan Hek-sin Touw-ong, dia sudah menerjang lagi dan mengirim serangan-serangan kilat kepada lawannya. Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi karena dia maklum bahwa adik seperguruan Hek-tiauw Lo-mo ini adalah seorang yang amat lihai maka dia tidak berani sembrono menyambut serangan pedang itu, melainkan mengelak lagi dan mulai membalas dengan tendangan kilat yang dapat dielakkan pula oleh wanita itu.

Sementara itu, Tek Hoat yang datang bersama Mauw Siauw Mo-li sudah berkelebat ke sebelah dalam rumah. Dia melihat bayangan merah berkelebat dan di dalam keadaan remang-remang itu dia pun mengira bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi. Bukan main girang rasa hatinya.

“Syanti Dewi...!” Dia berseru dan meloncat menghampiri, hendak memeluk dara itu.

“Wuuuttttt... wirrrrr...!”

Tek Hoat terkejut bukan main karena dara yang dikira Syanti Dewi itu mengelak dan cepat menghantamnya dengan tangan kiri yang mengandung hawa tajam dan kuat sekali. Dia cepat meloncat ke belakang dan memandang. Kiranya dara itu sama sekali bukanlah Syanti Dewi, sungguh pun harus diakuinya bahwa dara itu juga cantik jelita.

Dara itu adalah Ang-siocia atau Swi Hwa yang tentu saja menjadi marah sekali melihat pemuda ini datang-datang hendak memeluknya. Dari tempat itu dia melihat suhu-nya telah bertanding melawan seorang wanita cantik yang mainkan pedang bersinar hijau secara hebat sekali, dan dia dapat melihat pula para pelayan suhu-nya telah rebah di sana-sini. Tahulah dia bahwa ada orang-orang jahat menyerbu, maka dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Tek Hoat dengan sengit dan dahsyat.

Tek Hoat terkejut dan kagum juga menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis cantik ini, akan tetapi karena dia sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat menemukan kembali Syanti Dewi yang disangkanya diculik oleh Hek-sin Touw-ong dan disembunyikan di gedung itu, cepat mengerahkan kepandaiannya, memapaki serangan Swi Hwa dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga sakti Inti Bumi.

“Aihhh...!” Swi Hwa menjerit, ketika tubuhnya dilanda angin dahsyat yang amat kuat dan membuat dia terjengkang, dan sebelum dia sempat bergerak, pundaknya telah ditotok secara luar biasa sekali dan dia lantas menjadi lemas, tidak dapat berdaya lagi seperti kehilangan tenaganya.

“Hayo katakan, di mana adanya Syanti Dewi?” Tek Hoat menghardik. Akan tetapi gadis itu melotot kepadanya penuh kemarahan.

“Tidak tahu!” Gadis itu menjawab dengan keras pula.

Dua bayangan berlari datang dan mereka itu adalah Ma Khong dan Ma Ti Lok. Kedua orang ini tadinya gentar sekali ketika mendatangi rumah gedung milik Hek-sin Touw-ong itu, akan tetapi setelah mereka melihat bagaimana dengan amat mudahnya Ang Tek Hoat dan Lauw Hong Kui merobohkan para penjaga atau pengawal itu, kemudian melihat Lauw Hong Kui sudah bertempur dengan hebat lawan Hek-sin Touw-ong sedangkan Tek Hoat dengan amat mudahnya merobohkan murid Raja Maling, hati mereka menjadi besar dan mereka lalu berlari memasuki gedung itu.

Melihat mereka, Tek Hoat lalu berkata, “Hayo bantu aku mencari ke dalam gedung. Geledah semua kamar sampai kalian mendapatkan puteri yang disembunyikan itu!” Setelah berkata demikian, dia sendiri sudah mendahului mereka lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.

Banyak sudah kamar dimasukinya, akan tetapi dia tidak juga menemukan Syanti Dewi.

“Syanti Dewi...! Syanti...! Ini aku, Tek Hoat...!” Dia berteriak-teriak akan tetapi tidak pernah ada jawaban. Dia melihat pula kedua orang Saudara Ma itu ikut mencari-cari, namun belum juga berhasil.

Tiba-tiba dia mendengar teriakan keras yang dikenalnya sebagai suara Hong Kui, “Tek Hoat..., tolonggggg...!”

Cepat Tek Hoat berloncatan dan lari ke luar. Ternyata Hong Kui terdesak hebat oleh kakek bermuka hitam yang benar-benar amat lihai itu. Bahkan pedang wanita itu telah terlempar ke atas lantai dan kini Hong Kui terdesak mundur, setiap pukulan tangan kakek itu mengeluarkan bunyi mencicit nyaring dan biar pun Hong Kui sudah mengelak ke sana-sini dengan cepat, namun tetap saja lengan kiri dan pundak kanannya keserempet pukulan sakti itu sampai berdarah seperti terluka oleh pedang tajam. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mukjijat!

“Wuuuttttt...!”

Tek Hoat sudah menghantam ketika dia tiba di tempat itu. Melihat ada sambaran angin dahsyat dari samping, kakek itu meninggalkan Hong Kui dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan lengannya sambil dikerahkannya tenaga Kiam-to Sin-ciang yang membuat kedua lengannya kuat dan mengandung hawa tajam seperti pedang atau golok itu.

“Plakkkkk!”

Benturan dua tenaga mukjijat yang amat hebat itu membuat kakek itu terpelanting, akan tetapi Tek Hoat kaget melihat kulit lengannya lecet berdarah!

“Ahhhhh...!” Hek-sin Touw-ong terkejut setengah mati.

Baru kali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan hanya dapat menghadapi tenaga Kiam-to Sin-ciang tanpa membuat lengannya terluka hebat, akan tetapi juga mampu membuat dia terpelanting dan hampir roboh! Dengan marah dia lalu menerjang dan terjadilah perkelahian hebat antara Tek Hoat dan kakek muka hitam itu. Hong Kui yang tadi terdesak hebat, kini sudah mengambil kembali pedangnya dan dengan marah dia mengeroyok kakek itu untuk menebus kekalahannya dan membalas luka-luka yang dideritanya di lengan dan pundak.

Kakek itu kini sudah kewalahan dan bingung menahan serangan yang mengandung tenaga Inti Bumi yang dahsyat itu apa lagi ketika Tek Hoat mulai mempergunakan Ilmu Toat-beng-ci, melakukan totokan-totokan dengan satu jari, dia terkejut bukan main dan teringat akan nama seorang muda yang menggemparkan dunia kang-ouw.

“Si Jari Maut...!” teriaknya.

Tetapi pada saat itu pedang bersinar hijau di tangan Hong Kui telah menyambar ganas ke arah lehernya. Cepat dia menghindarkan diri dengan mengelak dan merendahkan tubuhnya, akan tetapi karena pada saat itu Tek Hoat juga sudah menyerangnya, maka sebuah totokan mengenai punggungnya dan kakek itu mengeluh, roboh terguling dalam keadaan tidak mampu bergerak lagi. Kalau orang lain yang terkena totokan Tek Hoat itu, tentu akan tewas seketika. Namun kakek itu cukup tangguh sehingga dia tidak tewas, hanya tertotok dan lumpuh.

“Hek-sin Touw-ong, hayo katakan di mana adanya Syanti Dewi!” Tek Hoat mengancam dengan jari tangan di atas ubun-ubun kepala kakek itu.

Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang keras hati dan tidak takut mati. Dirobohkan oleh pemuda itu sudah merupakan hal yang amat memalukan, maka dia menjawab dengan jengkel, “Mau bunuh, lekas bunuh, tidak perlu banyak cakap!”

“Aku tidak akan membunuhmu, aku mencari Syanti Dewi. Kau tidak berhak menculiknya dan menyembunyikannya. Hayo katakan, di mana Syanti Dewi? Di mana?!” Tek Hoat berteriak-teriak seperti orang gila.

“Aku tidak tahu!” jawab kakek itu dan membuang muka dengan gerakan lemah karena kedua kaki tangannya lumpuh.

Tek Hoat bangkit berdiri dan menarik napas panjang, memandang kepada Hong Kui. “Aku tidak melihat Syanti Dewi di dalam,” katanya dengan hati kecewa bukan main.

“Hemmm, biar pun tidak ada Syanti Dewi, akan tetapi di dalam rumah maling ini tentu banyak barang berharga. Sebaliknya kubunuh saja dia!”

Hong Kui lalu menggerakkan pedangnya membacok ke arah leher Hek-sin Touw-ong. Kakek itu membelalakkan mata, menanti datangnya maut dengan mata terbuka.

“Wuuuttttt... tranggggg...!”

“Eh, Tek Hoat, mengapa kau?” Hong Kui meringis dan memegangi pergelangan tangan kanannya yang terasa nyeri karena tadi terpukul oleh pemuda itu sehingga pedangnya terlempar dan berkerontangan di atas lantai.

“Kau tidak boleh sembarangan membunuh, tidak boleh selagi aku di sini!” bentak Tek Hoat yang merasa mendongkol sekali karena ternyata petunjuk dari wanita itu tidak menghasilkan dia menemukan kembali Syanti Dewi. Dia merasa tertipu.

Pada saat itu, terdengar jerit wanita dari dalam. Mendengar ini, Tek Hoat cepat berlari masuk, diikuti oleh Hong Kui yang sudah menyambar kembali pedangnya. Jantung pemuda itu berdebar tegang karena dia mengira bahwa itu adalah suara jeritan Syanti Dewi.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum