JODOH RAJAWALI : JILID-34


Siang In muncul dari tempat sembunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api unggun telah padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di situ, ditusuk bambu dan sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu, dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali! Kiranya Siluman Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula dan diberi garam. Bukan main!

Siang In cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam hutan. Dengan lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai dengan yang kedua, akan tetapi kini kelahapannya berkurang. Daging paha itu besar sekali dan menghabiskan sepotong pun sudah amat kenyang. Akhirnya dia tak mampu menghabiskan paha kedua dan melemparkannya ke samping. Perutnya kenyang dan tenaganya pulih, akan tetapi rasa kenyang itu menimbulkan kantuk sehingga tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon!

Sementara itu, Kian Bu yang melakukan pengejaran menjadi penasaran bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak tahu ke arah mana larinya bayangan yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali. Betapa pun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu ke arah mana larinya.

Kini, hanya sinar bulan remang-remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia hanya ingin mendapat kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Namun dia segera teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu datang dari arah lereng bukit di depan. Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang di depan.

Setelah tiba di lereng bukit itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan mendengar-dengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga.

Tiba-tiba dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok panjang. Jangan-jangan...! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh kewaspadaan.

Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakaian hancur dan tubuh penuh luka-luka berjalur jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-sayat dengan pisau tajam!

Kian Bu teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa kejamnya wanita itu, dan agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu telah mencambuki empat orang laki-laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah pedang tajam yang menyayat-nyayat kulit daging!

Dengan perasaan muak Kian Bu kemudian mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia lalu membuang muka dan mengutuk. Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga bahwa wanita muda ini tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas!

Tiba-tiba, bagaikan seekor kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah, di dekat mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke depan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis, ”... ampunnn... ampunkan saya...” Tubuhnya menggigil.

“Siapa kau?” Kian Bu membentak dengan suara bengis.

“Saya... saya... bernama Giam Hok... harap Taihiap sudi mengampuni saya...,“ orang itu meratap dengan memelas. “Harap Taihiap sudi menolong dan menyelamatkan saya... nama Taihiap sudah terkenal di seluruh kang-ouw... harap lindungi saya dari... dari iblis betina itu... hu-huuhhh...”

Kian Bu mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil, dan memang namanya banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dia melihat wajah orang ini mirip dengan wajah empat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah selatan.

“Hemmm, apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?”

Orang itu mengangguk-angguk, kemudian dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah pernah mendengar akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan sering kali mengandalkan kekerasan, memaksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan mengapa?

“Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?” tiba-tiba dia bertanya, suaranya bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jeri setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh tubuhnya.

“Yang membunuh adalah... dia... Bu-eng-kui...”

Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang memiliki gerakan sedemikian gesitnya itu.

“Dia seorang wanita?”

“Begitulah... yang saya dengar...“ Orang yang bernama Giam Hok itu menjawab dengan wajah ketakutan.

“Dan namanya Ouw Yan Hui?”

“Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw... akan tetapi tidak tahu jelas...“

“Apa artinya kata-katamu ini?” Kian Bu membentak marah. “Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh saudara-saudaramu ini?”

“Dia... dia bergerak seperti setan… hampir tak dapat saya lihat... bayangan berkelebat kadang-kadang ada kadang kadang tidak dan… yang terdengar hanya bunyi bersuitan dari sinar putih bergulung-gulung dan kami... kami sudah disayat-sayat... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi. Saya... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi...“

“Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?” Kian Bu mendesak lagi.

“Kami... saya... sudah lama mendengar mengenai Bu-eng-kui yang sangat kejam dan mengerikan itu... dan bahwa dia she Ouw... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia...“

“Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?”

“Karena... karena sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dan dia mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tak dapat mengampuni segala cacing busuk!”

Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih terhitung suci-nya sendiri! Hmmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!

“Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?”

“Kami... kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia..., entah mengapa, dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara...“

“Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?”

“Dia... dia...“

“Hayo katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?” Kian Bu menghardik.

“Dia adalah tawanan kami...“

“Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati, ya?”

Orang itu mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan akan tetapi menyeramkan karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama julukan ‘siluman’ itu, tentu pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan terus terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil.

“Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, dan sudah menjadi hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan...“

“Desssss...! Aughhh...!”

Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya.

“Jahanam busuk kau!” katanya memaki.

Cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak mempedulikan Giam Hok lagi yang mengaduh-aduh dan berkelojotan. Tendangan itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!

Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapa pun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu memasuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci.

Tak lama kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal separuh dan yang berada di atas rumput.

“Sialan...!” Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya.

Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak.

Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu bukanlah bangsa Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya itu. Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang ditinggalkan. Fajar telah menyingsing dan cuaca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi.

Dilihatnya Giam Hok sedang mengubur jenazah keempat orang saudaranya dengan susah-payah dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapa pun jahatnya, orang ini telah menerima hukuman yang amat berat. Bayangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih!

Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya. Ia bertolak pinggang dan berkata, “Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi kesempatan pada para anggota golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku.”

Kian Bu menarik napas panjang, kemudian melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biar pun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainkan menunduk, menutupi muka dengan rambut putihnya. Dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong tajam itu mengerling.

“Giam Hok loheng,” katanya ramah. “Jangan mengira yang bukan-bukan. Walau engkau memang sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah.”

“Kalau begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?” Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercayainya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup.

“Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau memperolehnya atau menawannya?”

Mendadak sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini Kian Bu menjadi heran dan tertarik.

“Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat dia bukan seperti orang sini.” Dia berhenti sebentar dan menyambung, “Dia seperti orang dari... Bhutan. Benarkah?”

Memang keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu.

Akan tetapi Giam Hok menggelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu... hanya dia... dia itu sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang tadinya melayani ehhh...“ Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan.

“Orang she Giam!” Kian Bu membentak tak sabar lagi. “Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa lagikah?”

Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata dengan muka pucat, “Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal.”

Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah barat, di Pegunungan Himalaya.

“Hei, bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?” tanyanya, tertarik.

Giam Hok menarik napas panjang dan berkata, “Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang saudaraku tewas semua.” Lalu dia bercerita dengan suara sedih, “Kami berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali terhadap orang orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia telah memandang rendah dan kami diberi pekerjaan mengepalai orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar, sampai kami mendapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untungnya kami masih dapat melarikan diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, kembali muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga akibatnya... beginilah...”

Kian Bu tertarik sekali mendengar cerita akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat mencurigakan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu memang bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan.

Suma Kian Bu adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya.

Melihat wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok kemudian melanjutkan, “Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak perempuan yang seperti bidadari...“

“Ahhh...!” Kian Bu benar-benar tertarik.

Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan-jangan di sana sudah menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di perbatasan antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!

“Taihiap... ahhh...!” Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya…..

********************

Lembah Huang-ho yang menjadi benteng pertahanan Kui-liong-pang itu benar-benar amat hebat! Jenderal Kao Liang sungguh-sungguh telah memenuhi janjinya terhadap Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya, membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak akan mudah diserbu oleh musuh. Benteng itu terletak di lembah sungai yang mengalir di belakang benteng dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai itu lebar sekali dan di bagian itu merupakan bagian yang mengandung banyak pusaran air.

Selain berbahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga sebelum musuh berhasil mendekati, tentu pihak penjaga benteng sudah dapat menghujankan anak panah ke perahu-perahu itu. Kanan kiri benteng itu terlindung oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini sukar sekali musuh dapat menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan ini sudah diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba di benteng, musuh sudah akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng itu melalui jalan terusan yang di kanan kirinya terapit tebing-tebing curam. Pasukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing ini sama dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di kanan kiri itu akan sukar sekali mereka tangkis atau balas.

Akan tetapi, biar pun tidak dapat disangkal pula bahwa tempat itu merupakan tempat berbahaya dan sukar ditembus oleh pasukan, namun bukanlah merupakan tempat yang tidak mungkin didatangi oleh seorang pendekar berkepandaian tinggi seperti Siluman Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga penyelundupan pasukan besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para penjaga untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang membuat dia dapat bergerak seperti burung terbang itu!

Kian Bu juga tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apa lagi karena di situ terdapat orang-orang yang amat sakti seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani muncul di siang hari dan menyelundup ke lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan seekor burung saja ringannya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula-mula melalui pohon, sampai ke puncak pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa kali, makin lama makin tinggi sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar membayangkan ada seorang manusia dapat berloncatan sampai setinggi itu. Orang lain, betapa pun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk memanjat naik. Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat tinggi sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya.

Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara kelenengan di tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian Bu terkejut bukan main dan cepat memeriksa bawah kakinya. Kiranya, di atas tembok itu terbentang tali yang amat halus dan karena malam hari itu gelap, maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apa lagi di waktu malam, bahkan andai kata dia meloncat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat kawat halus yang warnanya sama dengan kawat tembok itu. Dan kakinya hanya menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah cukup bagi alat rahasia ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang perlengkapan yang dipasang sebagai penjagaan keselamatan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang itu hebat sekali.

Begitu ada suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan bersambung sambung, tidak terlalu keras sehingga tak akan meributkan penduduk di sebelah dalam benteng atau di lembah itu, namun cukup untuk memberitahu kepada seluruh penjaga yang bertugas di sekeliling benteng!

Kian Bu menjadi bingung. Dia masih berada di atas tembok, dan sekarang dia sudah ketahuan oleh penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah dalam tembok, hinggap di atas atap rumah penjaga dan mendekam di balik wuwungan tinggi, mengintai ke depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi sangat sibuk dan banyak sekali pasukan pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan.

Celaka, pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian seragam itu, agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasukan terlatih! Padahal tidak demikian sesungguhnya. Orang-orang yang membentuk pasukan-pasukan kecil dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah Kui-liong-pang yang mulai terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Hingga saat Kian Bu datang, belum ada rencana Gubernur Ho-nan untuk menempatkan barisan yang dikuasainya ke dalam benteng yang menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu.

Dari tempat sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang-orang. Dia semakin terkejut. Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan tetap bersembunyi di tempat gelap. Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan tertimpa sinar lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali, pakaiannya serba hitam, dan muka tengkorak yang putih seperti kapur itu kelihatan jelas sekali di atas pakaiannya yang hitam. Itulah Hek-hwa Lo-kwi!

Kemudian datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan jenggotnya sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana. Kakek bersorban ini gerakannya juga amat hebat sehingga Kian Bu menjadi semakin kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti di situ! Ternyata cerita Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia bersembunyi, dan kemudian mereka bercakap-cakap, maka dia lalu mengerahkan pendengarannya untuk menangkap percakapan mereka.

“Jangan memperbolehkan para penjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!” terdengar kakek bersorban berkata dengan suaranya yang kaku. “Jangan sampai mengagetkan pangeran kalau belum jelas persoalannya.”

“Penjaga-penjaga tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu benar-benar tidak becus!” berkata Hek-tiauw Lo-mo.

Hek-hwa Lo-kwi memandang marah. “Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat rahasianya yang menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang melanggarnya hingga kelenengan berbunyi. Jangan lancang mengatakan anak buahku yang tidak becus, Lomo. Bahkan anak buahku memperlihatkan kesigapan sehingga ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!”

“Ataukah panik karena ketakutan?” Hek-tiauw Lo-mo mengejek.

“Kau berani menghina anak buahku?” hardik Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut.

Melihat dua orang kakek ini yang memang sering kali saling berbantahan dan saling tidak mau kalah, kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan berkata, “Sudahlah, sesungguhnya tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Andai kata benar hanya kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa hasil kerja Jenderal Kao memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa ketahuan. Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuktikan kesigapan mereka hingga membuktikan pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya jangan sampai hal ini didengar oleh pangeran. Kalau hanya masuknya kucing yang melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran, kita semua tentu akan menerima teguran keras.”

“Kucing atau tikus yang melanggarnya, kita tidak boleh lengah. Andai kata ada orang pandai masuk, dia tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba melarikan tawanan,” kata Hek-hwa Lo-kwi.

“Ahhh, sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku mengawasi anakku, engkau mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat penjagaan Jenderal Kao di sana,” kata Hek-tiauw Lo-mo.

Kakek bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Koksu Nepal, mengangguk dan ketiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu termenung dan termangu-mangu. Kiranya di tempat ini terdapat tawanan-tawanan dan di antaranya adalah keluarga Jenderal Kao! Akan tetapi, menurut percakapan tadi, benteng ini adalah buatan Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua? Namun, dia segera melupakan semua itu karena perhatiannya sepenuhnya tertarik oleh ucapan Hek-tiauw Lo-mo yang menyebut-nyebut tentang ‘puteri’ dan menyuruh Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya berdebar tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi?

“Besar kemungkinannya demikian,” pikirnya. “Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi sudah meninggalkan Bhutan dan kini diculik serta dilarikan orang. Bukan tidak aneh kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi tawanan orang-orang Nepal!” Setelah berpikir demikian, dia lalu dengan hati-hati berlari menuju ke arah larinya Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang menjadi tawanan di tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menolong puteri itu untuk keluar dari benteng ini!

Akan tetapi, Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan dia mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa agaknya kakek itu tadi lenyap di tempat ini dan agaknya sudah meloncat turun. Dia bersembunyi di balik wuwungan dan melihat bahwa kini para pasukan sudah mulai tenang, agaknya mereka itu pun menganggap bahwa yang melanggar tanda bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja.

Akan tetapi jauh di bawah, dia melihat bayangan seorang tinggi besar yang dengan suara lantang berkata kepada para pasukan, “Malam ini tidak ada istirahat! Semua harus berjaga secara bergiliran sampai pagi! Baik kucing mau pun apa saja yang melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!”

Kian Bu terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak dapat menahan suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguh pun dia hampir tidak percaya. Jenderal Kao kini memimpin pasukan menjaga benteng itu? Dan Jenderal Kao ini kini menjadi pembantu atau kaki tangan seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-nan yang akan memberontak? Sungguh tidak masuk di akal dan sukar sekali untuk dapat dipercaya. Padahal nama Jenderal Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan yang amat setia kepada kerajaan!

Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang menyinggung adanya keluarga Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan lenyap diculik orang itu ternyata diculik oleh kaki tangan Pangeran Nepal dan berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sungguh pun pengertian itu juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu keluarga jenderal itu telah ditawan dan dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan musuh supaya jenderal itu suka membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa jenderal itu suka melakukan perbuatan yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan keluarganya.

Diam-diam Kian Bu merasa khawatir. Kalau keluarga jenderal itu menjadi tawanan, dan juga Syanti Dewi seperti yang diduganya, maka takkan mudahlah untuk menyelamatkan mereka dan meloloskan mereka dari tempat ini. Harus diakuinya bahwa benteng ini amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa saja masih mengalami kesukaran dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biar pun berkepandaian tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istimewa, kiranya akan sukar memasuki benteng ini. Dan di dalam benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai. Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa mempergunakan kekerasan, karena mana mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang pandai yang masih dibantu oleh pasukan pula?

“Aku harus menolong Syanti Dewi,” pikirnya dengan hati bulat. “Apa pun yang terjadi, aku harus menyelamatkan dia.”

Jantungnya berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik jelita dan lembut itu membangkitkan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak menyelidiki bangunan besar di mana Hek-hwa Lo-kwi tadi menghilang. Dia memandang ke bawah. Sunyi di pekarangan belakang gedung itu, maka dia lalu melayang turun dengan maksud untuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan gerakan yang amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan yang amat mengejutkan hatinya.

“Hei, berhenti! Siapa di situ?”

Bukan main kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang pun manusia di bawah ini, mengapa begitu kakinya menyentuh tanah lalu ada orang yang menegurnya? Bayangan orang itu muncul dari balik sebuah pintu, maka dia menduga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya lagi. Akan tetapi, dia cepat mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah kembali mencelat ke atas dengan kecepatan kilat.

Dia mendekam di atas genteng, mendengar langkah kaki beberapa orang di bawah dan terdengar suara orang sedang mengomel, “A-ban, siapa yang kau tegur tadi? Tidak ada bayangan seorang pun di sini!”

“Ahh, jelas kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?”

Kian Bu cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari bagian lain. Akan tetapi mendadak terdengar bentakan yang nyaring, “Maling hina, menyerahlah!” Dan sebuah lengan panjang yang besar, dengan tangan membentuk cakar, dan dari kuku-kukunya yang panjang keluar bau amis dan gerakan tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram pundaknya dari belakang.

Kian Bu maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga kuku-kuku tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan kelincahannya, melesat ke belakang dan menyerong ke kanan sehingga cengkeraman itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan.

Raksasa yang menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar teguran penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat itu, maka diam-diam dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat berkelebatnya bayangan orang, dia langsung saja menerkam. Tetapi Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Terkaman mautnya itu dapat dielakkan sedemikian mudahnya oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya.

“Hendak lari ke mana kau?” bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat.

Kian Bu cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak wuwungan sebuah bangunan lain, tiba-tiba terdengar suara berkerining di dalam bangunan itu, disusul bentakan kasar yang parau dan keras sekali, “Anjing dari mana berani mengantar nyawa? Ha-ha-ha!” Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan orang tinggi besar yang langsung naik ke atas genteng. Begitu melihat bayangan ini, Kian Bu mengenalinya. Orang itu bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, musuh lamanya!

Kian Bu hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya. Cepat dia mengelak dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia mengelak sambil menendang dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental, akan tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun terpentalnya tombak itu cukup bagi Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah melesat dengan cepat sekali dari situ.

“Ha-ha-ha, kau hendak lari? Tak mungkin!” Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa, suara ketawa untuk menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata mampu mengelak dari senjatanya yang ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya!

Tentu saja Kian Bu tidak merasa jeri menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi kedatangannya bukan untuk bertanding dengan mereka, tetapi untuk membebaskan Syanti Dewi. Jika dia melayani mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi yang belum diketahuinya berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar Puteri Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan.

Maka dia cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari depan sedangkan Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri ke kanan. Akan tetapi baru saja dia melompat ke atas genteng bangunan di sebelah kanan, mendadak muncul belasan orang pasukan yang melepaskan anak panah ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa dia lalu menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini sambil menggerakkan kedua tangan menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya. Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu membalikkan diri lagi dan berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu terang sekali, bahkan di atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar digantung di tingkat atas.

Celaka, belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di situ, dia telah ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru kemudian mencari akal untuk menyerbu tempat ini, jika perlu minta bantuan kakaknya atau teman teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan kiri, dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah dan terang itu.

Dia mengerahkan ginkang-nya dan menggunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, sehingga kedua kakinya seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan, kemudian jarak antara bangunan ini dan bangunan megah itu diloncatinya dengan gerakan yang membubung ke atas, lalu tubuhnya berjungkir-balik beberapa kali dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan gedung megah yang terang benderang itu.

“Kraaakkkkk...!”

Tiba-tiba genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan suara keras dan terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu genteng-genteng itu terbuka dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat diloncatinya, terpaksa dia melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang pun manusia.

“Pyarrrrr...!”

Sebelum tubuhnya turun ke lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan sebuah genteng yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa lantai dan pecah berantakan, namun tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu. Ternyata ruangan yang lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, tetapi kesunyian tempat itu amat menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi!

Sebelum Kian Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar suara gerakan gerakan di sekeliling tempat itu. Kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan terang itu, makin lama makin banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung! Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata lengkap mengepung tempat itu dan kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia!

Kian Bu berdiri dengan dua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, mukanya agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang panjang riap-riapan dan berwarna putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja karena tidak pernah bergerak, akan tetapi mendatangkan perasaan ngeri di dalam hati para pengepungnya. Hanya sepasang mata di balik tirai rambut putih itu saja yang bergerak memandang ke kanan kiri, dengan sikap tenang namun jelas bahwa setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Pemuda berambut putih ini kini terlihat jelas sekali karena penerangan di situ menjadi makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu.

“Siluman Kecil...!”

Kian Bu mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung itu. Tahulah dia bahwa para prajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah orang-orang asing karena ternyata telah mengenalnya. Memang, para penjaga yang kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kui-liong-pang, maka tentu saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biar pun jarang di antara mereka ada yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan keadaannya yang aneh menyeramkan.

“Aha, kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar yang namanya menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang dijuluki orang Siluman Kecil?”

Kian Bu mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang tinggi besar mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tampan. Pemuda itu memakai pakaian yang serba indah gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi permata besar dan bulu burung dewata. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet, rambutnya hitam agak kemerahan, hampir menyamai kulitnya. Usia pemuda ini sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya ramah, akan tetapi juga penuh dengan wibawa. Agaknya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal itu, pikirnya.

Kian Bu memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama tama dia mengenali Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu. Sejak dia berusia belasan tahun, dia sudah mengenal kakek ini, bahkan dia bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di Pulau Neraka. Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong, dia pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah bertanding segebrakan melawan kakek ini yang kini makin lihai saja. (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)

Namun sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu, dan kini memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali ketika mendengar bahwa orang yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah Siluman Kecil, nama tokoh yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat dan disegani oleh semua tokoh golongan putih pula.

Di samping Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi majikan lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut dan memegang tongkat kayu cendana. Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak orang-orang yang terlihat berkepandaian dan yang tidak dikenalnya.

Memang banyak yang datang mengepung ‘maling’ itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau yang oleh para anggota Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu, bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ. Hadir pula Hoa-gu-ji yang memegang senjata dayung panjang. Seperti juga Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh Kui-liong-pang. Masih ada lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa, karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-i-kongcu, tokoh-tokoh Liong-sim-pang yang kini sudah bergabung dan bersekutu dengan Pangeran Nepal. Mereka bertiga itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To. Di samping tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang yang berpakaian sebagai orang-orang Bhutan, mereka ini adalah para pembantu Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu.

Kian Bu maklum bahwa dia kini dikepung oleh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja yang tidak dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh kalau mereka maju semua untuk mengeroyoknya.

Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan sikap ramah, Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang mencari dan mengumpulkan tenaga yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu memberontak. Dua orang pangeran tua itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu mereka dalam usaha pemberontakan mereka. Kini, Pangeran Nepal ini agaknya juga bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya! Tetapi sebagian perhatiannya ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari kemungkinan meloloskan diri andai kata terpaksa harus menggunakan kekerasan. Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh Jenderal Kao Liang yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dengan sikapnya yang gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya!

Dengan menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar tubuhnya menghadapi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang pangeran bergidik juga melihat mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar dengan ketajaman yang menusuk perasaan.

“Hebat orang ini,” pikirnya, “kalau saja aku dapat menaklukkannya!”

“Tidak keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari Nepal?” tanya Kian Bu dengan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh semua yang hadir.

Semua orang terkejut dan pangeran itu juga tercengang, tetapi dia tersenyum lebar dan wajahnya kehilangan kebengisannya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan, bahkan amat tampan bagi ukuran orang Nepal yang menyukai hidung melengkung.

“Ha-ha-ha, sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih dikenal di sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa ayahku adalah mendiang Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal. Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat berkenalan dengan Sicu dan merasa terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu. Kami harap saja Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan, Sicu, marilah kita bicara di dalam sebagai sahabat-sahabat.”

Jelaslah bagi Kian Bu. Memang telah diduganya demikian. Dia akan disuruh membantu seorang anak pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu memiliki niat yang tidak baik terhadap pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia mengerling ke arah Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut dan pengkhianat itu. “Pangeran, saya datang bukan sebagai musuh, karena saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan, saya mendapatkan kesan kurang baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya menyinggung Paduka, tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak bersahabat kalau yang mengajaknya itu termasuk golongan pembecontak.“

“Uhhh...“ Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari tenggorokan Jenderal Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah mundur dan menyelinap di antara para pasukan.

Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah. Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum, “Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?”

Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus.

“Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka membereskan yang tak semestinya itu.”

“Hemmm, Sicu mendengar apakah?”

“Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar Pangeran suka membebaskan dia!” katanya dengan suara tegas.

“Ahhh...!” terdengar suara bentakan marah.

Sang pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula.

Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu, “Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak.”

Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang padanya dengan penuh perhatian. “Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kau sebut tadi?” tanya Mohinta dengan marah.

“Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan...,“ jawab Kian Bu.

“Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, hanya akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk menguruskan diri beliau?”

Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah. “Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara sendiri denganku.”

“Keparat! Kau kira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?” Mohinta mendamprat dan sudah langsung menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil.

Pemuda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis.

“Krekkkkk!”

“Aughhhhh...!”

Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar mundur.

“Aku tahu jelas orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti kau, manusia rendah yang sombong!” Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri. “Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu.”

Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil.

Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi. “Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong kedatanganmu ini?”

“Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang ditawan di sini, dibebaskan semua!”

Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh, “Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang selalu dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasukan istana yang memusuhi mereka.”

“Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!”

“Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan menjawabmu.”

Begitu mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu, “Siluman Kecil, harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!” Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para prajurit dengan muka menunduk, kelihatan berduka sekali.

Kian Bu merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan?

Betapa pun juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya memiliki hak penuh untuk menolak permintaannya. Kemudian mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak menanyakan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan berkata, “Ahhh... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja...”

Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagai seorang tamu yang terhormat.”

Kian Bu menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan pihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu, bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara?

Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening, “Tangkap dia...!”

“Ehhh, mau apa kau?” Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo.

Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, sedang dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru, “Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!”

Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan. Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang kepalanya dan nampak mukanya yang tampan. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenali wajah ini dan dia pun amat terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum