JODOH RAJAWALI : JILID-35


Mendengar ini Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Jika benar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main!

“Tangkap dia!” perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman.

Sementara itu, Hwee Li telah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap Hwee Li. Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya?

Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu, “... kau tangkaplah aku...!”

“Wuuuttttt...!”

Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya.

Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah ikut menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mukjijat yang mengandung racun berbahaya sekali.

Akan tetapi, Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Namun, ke mana pun dia meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah rapat mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang beserta para pembantu Mohinta. Sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Dengan demikian, betapa pun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu.

Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apa lagi melihat betapa dara itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo.

Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali hingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat!

Tiba-tiba Hwee Li menubruknya. “Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!” bentaknya.

Kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara Hwee Li yang halus sekali, “... tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera...!”

Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya.

“Desss...!” Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.

“Ha-ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa sambil memegangi ujung tali jala.

Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu. Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat dan seketika dia menjadi lemas.

“Ayah..., tolong...“ Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu.

“Keparat, cepat lepaskan anakku!” Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju.

“Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Kian Bu menghardik dan jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li.

Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia laiu menerjang maju dengan goloknya.

“Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang tubuhmu!” Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan serangannya.

Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesali akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.

“Locianpwe, tahan dulu!”

Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li!

Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, kemudian berkata dengan gagap, “Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia.”

Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih, “Lekas..., lekas... Pangeran... kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini...? Lekas... ahhhhh...“

Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Jika Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau banyak pusing menikirkan hal itu.

“Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula,” katanya.

“Tentu saja! Kau lepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu.”

“Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini.”

“Kau... kau tidak percaya kepada omonganku?” Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, tetapi kemudian menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, “Locianpwe, harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas.”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas. Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di tangan kakek ini, maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya.

Kian Bu cepat bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk kepada pangeran itu dan berkata, “Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah sampai di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran.”

Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan bagai terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih, “Jangan ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!”

“Ahhh, tapi siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?” Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan alis berkerut.

“Kita harus membayangi dia!” Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk.

Sang pangeran menjadi bingung sekali, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan sekarang kekasihnya itu terancam bahaya tanpa dia berani mengerahkan orang-orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman seorang musuh yang amat lihai.

“Kenapa tidak menggunakan garuda saja...?” Tiba-tiba Gitananda berkata.

“Ah, benar! Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan Adinda Hwee Li!”

Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri. “Kenapa aku melupakan garuda itu?” Dia mencela diri sendiri. “Lo-kwi, hayo kau bantu aku menghadapi Siluman Kecil!”

Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo, maka kini mendengar ajakan itu, dia membuang muka. “Urusan anakmu sendiri, mengapa kau hendak merepotkan orang lain? Katakan saja kalau engkau tidak berani menghadapi siluman itu sendirian saja!”

“Siapa tidak berani? Biar ditambah engkau sekali pun, aku tidak takut!” Hek-tiauw Lo-mo menghardik.

Melihat dua orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong Bian Cu cepat berkata, “Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe menyelamatkan Adinda Hwee Li.”

Barulah dua orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran Liong Bian Cu kemudian memerintahkan kakek Gitananda untuk memimpin sepasukan pengawal melakukan pengejaran lewat jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh lagi.

Dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar dari benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Para penjaga yang sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari cepat memondong tubuh dara tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap.

Hwee Li sendiri memejamkan mata karena ngeri. Dia sudah biasa menunggang garuda yang terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah cepatnya, dia merasa ngeri juga.

Setelah jauh meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu membebaskan totokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, kemudian menurunkannya dari pondongan. Dia menjura kepada dara itu sambil berkata, “Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku mencarikan obat untuk kakakku, sekarang engkau malah menolong aku dan membebaskan aku dari cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas budimu yang besar itu.”

”Siapa berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu,” kata Hwee Li.

“Tidak, engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang nyawa kepadamu.”

“Hi-hi-hik, berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?”

Kian Bu gelagapan, akan tetapi memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali wataknya itu. “Ahhh, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat balk. Kalau engkau terancam bahaya maut, aku akan segera menolongmu sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hutangmu itu.”

“Hemmm...,” Hwee Li lalu duduk di atas rumput.

Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung rumput yang seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput bercampur tanah mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Sinar bulan lembut menyentuh mesra. Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa dalam sinar matahari siang.

“Kau benar-benar ingin membalas budi kepadaku?”

“Benar! Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan hatimu dan budi yang telah berkali-kali kau lepaskan kepadaku itu.”

“Kalau ada sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?”

“Benar, pasti akan kupenuhi permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu.”

“Nah, mulai sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku.”

“Ehhh...?” Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa maksudnya? Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan. “Lalu... menyebut apa?” tanyanya, ragu.

“Kau harus menyebut aku enci (kakak perempuan).”

“Hehhh...? Tapi... tapi aku lebih tua dari pada engkau...! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau paling banyak delapan belas...“

“Tujuh belas!” potong Hwee Li dengan cepat.

“Nah, baru tujuh belas malah!”

“Hemmm, baru permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau tidak mau! Apa lagi untuk membayar hutang nyawa segala...!” Hwee Li bersungut-sungut dan memalingkan muka dari pemuda itu.

“Ah, tentu saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah enso (kakak ipar)...?”

“Ihhh! Tak tahu malu!” Hwee Li membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi karena sinar bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara.

Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi. Jelaslah bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri!

“Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi...“

Hwee Li menoleh dan matanya yang indah itu melotot. “Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terus-menerus mengulang! Kau menantang, ya?”

“Ehh, ohhh... tidak..., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan ketika mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali menolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih, bukankah itu artinya mengejekku?”

“Huh, kau tidak tahu. Apa kau kira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan nyawaku menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?”

“Maksudmu...?”

“Bukan aku yang menolongmu, melainkan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng itu. Aku adalah seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?”

Tentu saja Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan. “Tawanan? Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi tawanan?”

“Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku, melainkan musuh besarku!”

“Ehhhhh...?” Kan Bu memandang dengan mata terbelalak.

“Dia... dia bahkan musuh yang telah membunuh ibuku...“ Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat akan riwayatnya itu.

“Ahhh...! Kalau begitu kionghi (selamat) kepadamu, Enci!” Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk di depan dara itu.

Hwee Li meloncat berdiri. “Engkau... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!” Dan tiba-tiba dara itu telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang, tangannya meluncur langsung menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!

“Ehhh...! Plakkk! Ohhh...! Plekkk!”

Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sinkang-nya sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. Dengan penasaran dan marah karena serangannya yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah menerjang lagi, seperti seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.

“Ehh, nanti dulu... wah, Enci... ehhh, Cici-ku yang baik... tahan dulu...!” Melihat Hwee Li terus menyerang, tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap!

Hwee Li termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut, “Tak tahu aturan, adik macam apa dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!”

“Wah, engkau salah sangka, Enci Hwee Li...“ Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya!

Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan ke atas tanda takluk, kemudian tergesa-gesa menyambung ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi, “Dengarkan dulu! Aku memberi selamat kepadamu bukan untuk itu, melainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa mempunyai seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau...“

“Wah, engkau memang seorang adik yang bejat moralnya!”

“Lhoh, kenapa lagi?”

“Engkau memuji-muji kecantikan cici-mu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?”

Kian Bu tersenyum. “Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kau anggap salah saja. Sudahlah aku minta maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu membalaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu..., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?”

Akan tetapi Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk. Keadaan menjadi sunyi, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas menjadi jodoh kakaknya. Betapa pun cantiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo.

Di lain pihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah sepantasnya menyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi pemberontak itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu, Siluman Kecil ini, adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya.

Melihat Hwee Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat akan orang tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan. “Enci Hwee Li, jadi engkau telah ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa engkau... ehh, engkau adalah tunangan pangeran itu!”

“Tidak sudi! Dia memaksa aku menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para pembantunya. Akan tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?”

“Ehhh, kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?”

“Tampan? Dia me... memuakkan...!”

Hwee Li teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar. “Terutama... hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu... ihhh, sangat menjijikkan!” Dan Hwee Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu.

Kian Bu tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya.

Memang benar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata hendak menolongnya, melainkan juga ingin menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Memang perhitungan dara itu amat cerdik. Karena ‘membiarkan’ dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu, maka biar pun tokoh-tokoh lain tak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan keselamatan tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li.

“Kalau begitu, Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos bersamaku?” Akhirnya Kian Bu bertanya.

“Kembali ke sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi... aku terpaksa harus kembali ke sana.”

“Ehhh? Engkau memang aneh, Enci.” Kian Bu memandang heran. “Setelah berhasil lolos, mengapa hendak kembali lagi ke sana? Tadi katanya engkau membenci sang pangeran?”

“Hushhh, aku bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan sakit hati ibuku terhadap iblis tua bangka dari Pulau Neraka itu.“

“Hemmm, tidak mudah! Dia lihai sekali.”

“Takut apa? Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kau kira aku tidak mampu membekuk batang lehernya?”

“Aku...? Ahhh, akan tetapi... belum tentu aku akan kembali ke sana.”

Hwee Li meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan pinggangnya yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal dan marah. “Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana bersamaku, membantu aku!”

Terlalu sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa lagaknya sudah begini memerintah dan memaksa. Bagaimana kalau kelak dia benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini!

“Bagaimana kalau aku tidak... sanggup?” Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akan marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi.

Betapa pun juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika menolongnya mencarikan jamur mukjijat itu, lalu telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi.

“Engkau harus sanggup dan engkau harus mau!” jawab Hwee Li. “Tanpa kuminta sekali pun engkau pasti akan kembali ke sana!”

“Ehh, bagaimana engkau begitu pasti, Enci...?” Kian Bu terheran.

“Karena ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat itu. Dia sendiri, isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu akan mencoba untuk menolong mereka.”

Kian Bu menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan jenderal yang dahulu sangat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak ketika dia menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apa lagi setelah melihat kenyataan betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh negara!

Maka dia menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao...“

“Akan tetapi dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!” Hwee Li berkata dan kini dia telah duduk kembali. “Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau membangun benteng itu.”

“Huh, laki-laki macam apa itu? Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Untuk menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat dilakukan oleh orang yang lemah dan pengecut.”

“Akan tetapi dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain yang ditahan dan yang pasti akan coba kau selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!”

“Bibi...? Kau menyebutnya bibi?” Kian Bu bertanya heran.

“Tentu saja! Habis disuruh menyebut apa?”

“Dia usianya tidak berselisih banyak denganmu.”

“Dasar kau yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andai kata dia lebih muda dari pada aku sekali pun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?”

Kian Bu makin terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri menyebut paman kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)! Akan tetapi, malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang sebenarnya masih terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh dengan dara ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mereka kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu!

“Bagaimana, Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti...“

Kian Bu menggeleng kepala. “Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di sana terdapat Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada di sana sebagai tamu...“

“Wah, engkau ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, ehh, kiranya hanya seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik oleh kakek Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran blo’on itu...”

“Ehh, kok ada pangeran blo'on segala?”

“Maksudku, pangeran hidung kakatua itu. Mohinta telah bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal dan mereka berjanji untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Kerajaan Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi... Coba, apa kau rela?”

“Ahhh...!” Kian Bu loncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa Siluman Kecil ini telah marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus berhadapan dengan dia!

Melihat pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya memandang sayu. “Kian Bu... dia... dia... Bibi Syanti Dewi...“ Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

Ketika Kian Bu cepat menoleh kepadanya, dia lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia dan Syanti Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh kepercayaan, Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa ditolak cintanya dan betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang lain! Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Dia kenapa...?” Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.

“Dia... harus ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu juga akan celaka akibat pemberontakan Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal.”

“Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tidak tahu malu!” Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas.

Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi!

“Tutup mulutmu yang berbau busuk itu, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!” Hek-tiauw Lo-mo membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas.

“Hemmm, begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?” Hek-hwa Lo-kwi mengejek sambil menghadapi Kian Bu. “Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!”

“Huh, manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?” Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil menyeringai penuh kebencian.

Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biar pun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang namanya menggemparkan di sepanjang lembah Huang-ho, namun dia tidak merasa takut. Pernah dia menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apa lagi kini di sampingnya ada Hek-hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mukjijat itu.

“He, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!” tiba-tiba Hwee Li membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri.

Bocah ini memaki ayahnya dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biar pun Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya sendiri, biar pun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, namun harus diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tak enak didengar.

“Kalian jangan menuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan bersikap khianat? Dia telah memegang janjinya, dia telah membebaskan aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?”

Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan halus, maka makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali tidak membekas. Dia hanya tertawa bergelak.

Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang tak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak, “Lo-mo, perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang ke benteng!”

Setelah berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok kedua tangannya dan aneh sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di lembah bersama para pengikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu menjadi ketua Lembah Bunga Hitam. Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu pukulan yang mengandung hawa mukjijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan dia menanam diri di dalam rumah tempurung dan diikuti oleh para anak buah bekas perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi yang dicapai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini.

“Biarlah kau hajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia, sekarang tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya, biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!”

Hek-tiauw Lo-mo memang licik sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng, dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan tetapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li.

Di dalam lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya ini. Orang ini adalah musuh besarnya yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan diam-diam dia telah mempersiapkan dirinya.

Selama beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat Hek-tiauw Lo-mo maju menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke kiri sedangkan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya.

Kini kedua tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkang-nya. Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi hitam dan telah mengandung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang diterimanya dari gurunya. Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu, murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mempelajari tentang racun seperti telah dijanjikan oleh gurunya itu.

Melihat tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh lebih ringan dari pada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri, maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan Hek-hwa Lo-kwi setengah mati dulu menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan seenaknya saja menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah benar-benar membutuhkan bantuan, barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan membantunya.

“Heh-heh-heh, bocah kurang ajar, kau kira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran, tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku mempermainkan ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!”

Hampir Hwee Li menjerit saking marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur mundur menjauhi lawan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan ‘senjata’ istimewa di dalam genggaman kedua tangannya itu.

Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring, dia telah bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara seperti angin puyuh mengamuk, dan dari dua telapak tangannya itu menyambar bau wengur yang mengeluarkan sinar putih.

Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau wengur menyambar. Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, tetapi juga bau itu dapat merobohkan lawan karena mengandung racun berbahaya. Tetapi dia sudah cepat mengelak dan membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang.

Tenaga berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi. Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan bagi lawan hanyalah menangkis dan hal ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar putih nampak bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.

“Nyesssss...!”

Kian Bu terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti seekor naga yang kembali ke goa karena takut bertemu lawan yang kuat!

Namun, pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia dapat menyimpan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun membalik. Oleh karena itu dia merasa penasaran. Siluman Kecil ini belum mau mempergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini.

Bahkan dia sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan pukulan gabungan itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkang-nya menjadi Swat-im Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin, yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.

“Bagus...!” Hek-hwa Lo-kwi berseru girang.

Seperti juga tadi, dia telah menggerakkan dua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat didahului sinar putih bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek dan kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di udara.

“Cesssss...!”

Dan sekali lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang digunakannya membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang.

Mendadak Kian Bu berteriak, “Celaka...!” dan dia pun terhuyung. Kepalanya terasa pening dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat.

Memang itulah kelihaian Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang untuk menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mukjijat, yang mengandung racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak apa-apa, tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dan sekali ini dia berhasil!

Memang dalam hal tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es ini tidak tahu bahwa ketika tenaga saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar oleh panasnya Hwi-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan melukai dadanya! Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah melukai lawan, maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulan-pukulan itu yang dilakukan dengan bertubi-tubi.

Memang hebat sekali ilmu mukjijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih nampak bergulung-gulung mengejar Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya menyambar-nyambar bagai kilat saja, mencelat ke sana sini sampai tidak dapat diikuti oleh pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingung, namun dia terus mengejar.

Kian Bu tidak banyak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu penggabungan Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan terkena hawa beracun. Kalau dia mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguh pun kecepatan itu masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.

“Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo cepat kau bantu aku. Sialan kau!” Hek-hwa Lo-kwi berteriak-teriak.

Hek-tiauw Lo-mo tentu saja telah melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan kagum terhadap kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan didesaknya itu. Hwee Li tak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan.

“Dukkkk!”

Tendangan kakinya mengenai perut bekas ayahnya, tetapi tendangan itu membalik dan kakinya terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah ‘senjata’ tanah dan pasir yang telah berubah menjadi senjata beracun itu. Dia memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia telah terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa dan kelihatan lengah.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung kedua lengan bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri.

Sebelum Hwee Li dapat mengelak, lututnya telah kena ditendang sehingga dia jatuh terpelanting. Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya memaki-maki kalang-kabut, “Iblis tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau mampus!”

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan kanan dan jala hitam itu dikepalnya di tangan kiri. Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu.

Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan biar pun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat lihai itu, namun mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya berkelebatan terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali hingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasarkan ginkang sempurna itu. Akan tetapi setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk dapat merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini.

Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apa lagi melihat betapa Hwee Li telah roboh tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakannya! Hampir saja dia kena disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan kini dia tidak mau membagi perhatiannya.

Sebetulnya, kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho Coan-in, dengan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda sekali pun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu mencari kesempatan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ secepatnya.

Akan tetapi, dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh terkemuka yang selain lihai ilmu mereka, juga amat cerdik. “Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang puthauw (tidak berbakti) itu!” kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya.

Untuk ke sekian kalinya, Kian Bu tak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang terkena benda cair itu mendidih!

Melihat ini, agaknya Hek-tiauw Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak, paku-paku itu menancap di sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga siapa pun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku beracun itu.

Kian Bu menjadi makin khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan lweekang-nya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah!

Tiba-tiba terdengar suara parau, “Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?”

Pertanyaan parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis, “Mana bisa keliru, Suhu? Teecu mengenalnya dengan baik.”

Kian Bu yang sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik. Dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin itu!

Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia, sebetulnya bukan lain adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung!

“Hemmm, aneh...!” berkata kakek bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. “Gerakannya demikian hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tak akan mampu memukulnya roboh. Hebat bukan main, tetapi mengapa dia tidak balas menyerang?” Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong berkata dengan heran.

Dia melihat gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, telah menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu. Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan lweekang dan balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak menyangka bahwa kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru sekitar tiga perempat bagian saja karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.

“Suhu, tentu ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu... ahhh, dia agaknya terluka, tidak mampu bergerak... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau.” Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li.

“Awas, Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!” gurunya memperingatkan karena dia merasa curiga.

Hwee Li juga melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, tetapi dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan melihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu.

“Heiii, kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua orang kakek iblis jahanam ini?” tanya Hwee Li dengan suara lantang.

Kakek itu mengerutkan alis dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat, “Kau ini bocah bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau mengalami nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut dan jahat! Manusia seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!”

“Swi Hwa, jangan sembrono dan jangan melayani orang!” gurunya memperingatkan, karena dia masih kagum sekali terhadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu.

“Kalau kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa aku dan dia itu telah membelaku, kalau kalian diam saja berarti kalian membantu dua iblis jahat itu!” Hwee Li berkata lagi.

“Hemmm, kau bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin menontonnya!” Kang Swi Hwa balas membentak.

“Wah, kau perempuan cabul...!” Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin Touw-ong, “Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?”

“Apa? Mereka itu adalah...“

“Benar, Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua Kui-liong-pang di lembah. Dialah Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan gadis berpakaian hitam galak itu bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?” kata Kang Swi Hwa.

Seperti kita ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia ini juga hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya yang juga tidak dapat hadir.

“Aihhh, kiranya engkau ini si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling maling besar dan kecil, tentu saja cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api neraka!” Hwee Li memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang menghadiri pertemuan di lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari pangeran pula!

Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran. Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru. Gadis itu jelas ditotok orang. Sepantasnya, jika gadis itu benar-benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo yang mainkan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan oleh ayahnya sendiri, apa lagi hendak diperkosa seperti yang diceritakan oleh gadis baju hitam itu.

Jadi, tentu pemuda berambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang menotok dan hendak memperkosanya, barulah benar dan masuk di akal. Akan tetapi, dia mengenal nama Siluman Kecil sebagai seorang pendekar besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja?

“Ha, apakah Lote ini adalah Hek-sin Touw-ong?” Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran sebab dia dan Hek-tiauw Lo-mo sampai kini belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata.

“Kebetulan sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang sudah berani melarikan tunangan Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan pangeran itu ke lembah!”

“Tunangan pangeran...?” Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, kemudian dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya dia ini telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!”

“Cocok hidungmu!” Hwee Li membentak dan matanya melotot. “Boleh kau gantikan saja kalau kau sudah ingin sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!”

Kang Swi Hwa tidak menjawab. Seperti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba runyam dan bertentangan itu. Gadis itu adalah tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil agaknya…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum