JODOH RAJAWALI : JILID-36


“Ha-ha, kita adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.

“Swi Hwa, kau bebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi.

Si muka tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata malah membantu Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mengelak.

“Srattttt!” Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!

“Ahhhh...!” Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main.

Kiranya maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian hebatnya. Teringatlah dia akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah mendemonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Jika murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, sekarang si raja maling ini menggunakan tangan seperti pedang! Dia lalu balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang.

Segera terjadi pertempuran hebat, saling menyerang di antara dua orang kakek ini. Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat merobohkan mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung.

Dia seperti seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia menyerang ke sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala hltamnya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung, namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu, mengulurkan tangan kemudian menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.

“Dukkkk...!”

Tubuh Hek-tiauw Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi sehingga robohlah kakek itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi!

Sementara itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, tetapi tentang racun, pengertiannya baru kelas nol. Maka dia menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. Dengan hati-hati sekali Swi Hwa menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan paku-paku itu hanya memisahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu menggunakan ginkang-nya dan melompat melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar.

Hwee Li melihat itu semua dan tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia diam saja. Dara ini semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek-tiauw Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal kasihan, sungguh pun sering pula timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo.

Apa lagi setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguran-teguran dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak watak Ceng Ceng bersama suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi kadang kadang timbul keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apa lagi kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak, lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan hatinya.

Swi Hwa berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya. “Bocah galak, akhirnya toh engkau membutuhkan pertolonganku...,“ kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa pening di kepalanya bertambah.

Hwee Li menjebikan bibirnya yang merah. “Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kau lihat saja, bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engkaulah yang akan mampus kalau tidak ada aku yang menolongmu!”

Tentu saja Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini tidak dapat bergerak. Dia tidak berani membangkang terhadap perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia mengiri juga.

“Huh, manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?” dia bersungut-sungut akan tetapi kembali kepalanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan Hwee Li.

“Nanti dulu!” kata Hwee Li. “Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana mampu membuyarkannya? Hayo kau totok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!”

Sikap dan kata-kata Hwee Li benar-benar membuat Swi Hwa menjadi dongkol bukan main. Bocah ini benar-benar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena ia tentu akan makin diejek dan makin dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok dengan pengerahan lweekang-nya ke arah jalan darah in-thai-hiat di punggung Hwee Li.

“Dukkk...!”

Totokan itu keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Hwee Li bangkit berdiri, mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada Swi Hwa dengan senyum mengejek.

Tiba-tiba terdengar seruan Hek-sin Touw-ong, “Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?” Dia hendak melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan, “Touw-ong, jangan meloncat ke sini! Dia juga keracunan setelah meloncat ke sini, biar aku membawanya ke luar!”

Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil merobohkan Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sin-ciang membuat kedua tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh.

Sebaliknya, Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan ilmu barunya yang mukjijat itu, yaitu Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling, mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan mempergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan.

Mendengar ucapan Hwee Li, Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu.

“Harap turut saja kata-katanya, Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun,” kata Kian Bu dan dia sendiri pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa murni dan melawan hawa beracun yang melukai dadanya.

Hwee Li mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan sapu tangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis baju merah itu dengan mengikatkan sapu tangan di depan muka gadis itu, kemudian dia melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu. Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, Hwee Li terkejut sekali dan dia melepaskan tubuh Swi Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah, kemudian tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu.

“Kian Bu, kau... kau kenapa? Apakah kau terluka?” Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan penuh kekhawatiran.

Kian Bu membuka matanya, tersenyum. “Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pukulan aneh, tanpa kuketahui lebih dahulu terkena hawa beracun dari pukulannya..., tetapi perlahan lahan dapat kuusir dengan sinkang...“

“Ahhh? Kau terkena Pek-hiat-hoat-lek! Aku tahu macam apa pukulan iblisnya itu! Dan kau bilang perlahan-lahan? Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo yang amat ces-pleng (manjur) sekali!” Gadis itu segera mengeluarkan buntalan besar dari dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu, memilih-milih obat. Kemudian dia mengeluarkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil seperti tahi kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu.

“Kau telan ini dan tentu hawa itu akan mudah terusir!” katanya.

Kian Bu maklum akan kelihaian dara ini tentang segala jenis racun, maka dia percaya, menerima dua butir obat pulung seperti tahi kambing itu dan menelannya sekaligus. Rasanya agak pahit, akan tetapi mengandung manis dan baunya tidak seperti tahi kambing, melainkan agak harum. Begitu dua butir obat pulung itu memasuki perutnya, terdengar perutnya berkeruyuk dan ada hawa panas berkumpul di situ. Kian Bu kaget dan girang sekali. Tak disangkanya obat tahi kambing itu benar-benar hebat sekali, maka dia lalu menggunakan sinkang-nya, perlahan-lahan mendorong hawa panas itu ke arah dadanya.

Benar saja, hawa panas yang terdorong sinkang-nya itu seolah-olah seperti api yang membakar hawa beracun yang menyesakkan dadanya. Hawa beracun itu menjadi asap dan membubung naik melalui hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis bercampur bau harum obat tadi. Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang sakti, memiliki sinkang yang amat hebat. Andai kata dia tidak diberi obat sekali pun dengan sinkang-nya dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi hal itu akan memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati mengerahkan sinkang-nya. Kini, obat yang manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat mengusir hawa beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek.

“Taihiap..., Lihiap..., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!” mendadak Hek-sin Touw-ong berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali.

Hek-sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia merasa khawatir bukan main. Telah dicobanya dengan segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka dan wajah Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu.

Hwee Li yang melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Swi Hwa.

“Touw-ong, muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini, Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!”

“Enci Hwee Li, jangan kurang ajar, harap lekas kau sembuhkan dia!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

“Hemmm, baru saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara kasar kepada enci-nya!”

Dalam keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan mereka berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li, “Nona yang baik, harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan pernah melupakan kebaikanmu ini.”

Wajah Hwee Li berseri-seri dan mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar sinar penuh kebanggaan. Biar pun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di seluruh perbatasan Ho-nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biar pun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!

“Aku akan mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai kulit akan membuat kulit, daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja yang cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya, karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu memang paling suka memakai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah... ehh, oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagiku. Kau lihat!”

Dia kemudian menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan kedua tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan melempar-lemparkannya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika, pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam waktu sebentar saja!

Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi pucat. “Bukan main! Ahh, Nona yang baik, tolonglah muridku ini...“

“Tapi dia tadi bicara kasar kepadaku...,“ Hwee Li berlagak jual mahal!

“Hwee... eh, Enci Hwee Li! Cepat kau obati dia!” Kian Bu berkata dengan suara keras.

Hwee Li mengerling kepadanya. “Hmmm, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila pada seorang gadis berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada pakaian merah, hemmm...!”

“Enci Hwee Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, kenapa kau main-main seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak membalas budi malah menggoda orang!”

Hwee Li bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan mengobati Swi Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu segera dapat mengenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata, “Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan selanjutnya dia tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu.” Kakek itu lalu menjura kepada si gadis galak dan berkata, “Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah aku sebagai gurunya mintakan maaf kepadamu!”

Hwee Li memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat kakek itu begitu menghormat kepadanya, dia cepat-cepat menjura dan berkata dengan muka merah sekali, “Aihhh, Touw-ong... jangan begitu. Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kau maafkanlah aku yang muda. Biar kuobati muridmu sekarang juga.”

Dia lalu berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan itu. Diambilnya obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak. Dengan tutup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia kemudian menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu. Nampak cairan seperti arak itu mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari dalam cangkir tutup guci.

Kemudian, Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.

“Haaa... cinggggg...!” Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan obat dari cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh pada Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.

“Kini dia sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu,” katanya seenaknya, lalu menoleh dan memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka.

“Ehhh, akan tetapi... mengapa dia belum sadar, Nona?” Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang nadanya masih khawatir.

Hwee Li menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata, “Dia belum kentut, sih!”

“Ehh, apa...?” Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira dara berpakaian hitam itu masih marah.

“Racun itu sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut, itu tandanya dia sembuh benar-benar dan sadar...“ Sambil berkata demikian, Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.

“Enci, benarkah kata-katamu itu?” tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau gadis itu melakukan hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu.

“Puiiittttt...!”

Suara kentut yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!

“Suhu...!”

”Ah, syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia...“ Selanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li.

Gadis ini menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang mata terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah leher Hek-tiauw Lo-mo.

“Singgggg... trakkk...!”

Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada Kian Bu dengan mata berapi karena marahnya.

“Kau... kau malah membantu dia?” bentaknya marah.

Kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri terbuka miring di depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring), berdiri menghadapi Kian Bu dengan sikap marah!

Kian Bu sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek iblis itu, agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan membiarkan saja. Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kali pun!

Akan tetapi, dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek itu, dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia membiarkan gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li, bahkan diam-diam mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia durhaka dan dia telah menghalangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo.

“Enci Hwee Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!” Kian Bu menegur, suaranya tegas dan berwibawa.

Hwee Li membalikkan tubuhnya menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan cara mengubah kedudukan kakinya, sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kakinya menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang. Semua gerakannya dilakukan dalam gerak silat hingga nampak lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.

“Kau tahu apa tentang pantas atau tidak?” Akhirnya dia berkata lantang. “Kau tahu apa tentang balas-membalas? Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar kebaikan! Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah kau hendak menghalangiku?”

Kian Bu menghela napas panjang. “Sama sekali bukan aku hendak menghalangimu membunuhnya, melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!”

“Eihhh...?” Saking heran dan penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangannya bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).

“Aku hendak membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya, lebih heran dari pada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini mau mempermainkannya.

“Enci, bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan hutang kebaikan...”

“Bayar kebaikan!” sambung Hwee Li saat melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya.

“Nah, belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo telah merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih sayang, bukankah itu berarti bahwa engkau sudah hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus membayar hutang kebaikan itu dengan kebaikan, Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat budi?”

Hwee Li tertegun dan melongo, bingung. Akhirnya dia berkata ragu, “Akan tetapi dia telah membunuh ibuku...“

“Heh, siapa membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!” terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia adalah seorang manusia iblis, maka biar pun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga.

“Tutup mulutmu yang busuk!” Hwee Li memaki. “Engkau memaksa dia, biar pun tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?”

“Enci, sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap dirimu. Kalau sekarang kau balas kematian ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya terhadap dirimu selama belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya, lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum terlambat.” Kian Bu menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa saja menggunakan kepandaian untuk mencegah pembunuhan itu, akan tetapi hal itu tentu akan menjadi kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.

“Benar sekali, Adik Hwee Li. Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan baik budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan orang!” Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa.

Tadi gadis ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia sudah mendengar penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Kemudian dia mendengar percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu, atau pemuda yang dikenalnya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut merasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut ‘enci’ oleh Siluman Kecil, lenyap rasa iri dan tidak senangnya terhadap Hwee Li. Tadinya dia mengira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum sekali terhadap Siluman Kecil.

Hwee Li yang mendengar ucapan ramah itu kemudian cepat melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan tetapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu.

“Kalau begitu, apa kau minta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Ia telah memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai belasan tahun?” Dia makin penasaran.

Kian Bu tertawa. “Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang, berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?”

“Waaahhhhh, terlalu enak buat dia!” Hwee Li berkata dengan alis berkerut. “Kalau begitu, apakah kita harus membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya perjalanan?” Karena jengkel Hwee Li lalu mengeluarkan kata-kata yang berlebihan itu.

Swi Hwa adalah seorang yang terdidik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona yang berpakaian hitam itu betapa pun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata, “Adik Hwee Li, jika aku boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka tertotok, bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup di tempat ini?”

“Wah, cocok!” Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu,. dan dia sudah mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya. “Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau bisa bicara apa menghadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?”

Siluman Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia sempat melihat dara berpakaian merah itu berkedip kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata, “Terserah, asal kalian tidak membunuhnya.”

“Adik Hwee Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kini kau membebaskan dia dari kematian, itu berarti telah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan sampai mereka mati.”

“Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?” tanya Hwee Li bingung.

“Kita kubur tubuhnya saja biar kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari totokan, tentu orang-orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri sendiri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian engkau telah melaksanakan dua macam pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas busuk.”

Hwee Li girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru yang menarik. “Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, kau bantulah aku.”

Dua orang dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus, tetapi jangan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu mengandung Iweekang yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah lubang. Sekarang keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki maki kalang-kabut. Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jeri dan tentu akan dapat mempertahankan nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu! Mereka dipermainkan oleh dua orang gadis remaja!

“Hi-hik, biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka dapat membebaskan diri!” kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan.

Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal Swi Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang kakek tadi, mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa, “Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap kau maafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau.”

Hwee Li memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari Swi Hwa dan berkata, “Akulah yang telah bersikap kasar. Kau maafkan aku, Enci yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih kepadamu.”

Sementara itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka kemudian bersuit panjang dan nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking panjang sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu bersikap manis kepadanya, dari pada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam kepadanya.

Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata, “Paman garuda, kau baik saja bukan? Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu.”

Garuda itu mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap itu. Kian Bu menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong.

“Sekarang kami berdua harus kembali ke sana untuk coba menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan.” Dia menutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia mendengar penuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biar pun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi me-nolong puteri itu!

“Suhu, mari kita ikut membantu mereka ini!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun mengangguk-angguk tanda setuju biar pun alisnya berkerut karena dia merasa sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak buah Kui-liong-pang.

Akan tetapi, sebelum kakek itu mengeluarkan suara, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang menyatakan ketidak senangan hatinya, “Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami, akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, karena... karena... hemmm...“ Kian Bu merasa tidak enak hati untuk melanjutkan kata katanya.

Dahulu Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin. Urusan itu pun belum diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke pantai Po-hai? Dengan demikian, antara mereka tiada hubungan persahabatan, bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai pihak yang bertentangan. Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak enak kalau harus mengemukakan hal itu.

Ang-siocia ini telah mencuri pusaka Sin-siauw Sengjin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri, hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan oleh karena memang dia murid Raja Maling! Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Sengjin. Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li pula?

“Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau menolak? Enci ini... ehhh, siapa namamu tadi, Enci?”

Swi Hwa tersenyum. “Namaku Swi Hwa, she Kang...,“ katanya sambil mengerling ke arah Siluman Kecil.

Mendengar nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin. Ketika itu, dia mengira bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan ‘Ang’ itu bukan she, melainkan berarti merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.

“Enci Swi Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak sekali orang pandai dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan menguntungkan bagi kita. Kenapa engkau menolak?”

“Aku percaya bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi...,“ dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar tidak senang menyorot dari pandang mata pendekar itu.

Swi Hwa tersenyum dan menjura kepada Kian Bu, katanya halus, “Ahh, tentu Taihiap masih mendendam karena uangnya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, lengkap dengan kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan maaf sebesarnya!” Seperti bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi Hwa telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu. “Tidak ada satu sen pun berkurang, Taihiap!”

Kian Bu mengenal pundi-pundi uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya kantung itu dan dia lalu berkata, “Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi uangku. Akan tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi...“

Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong maju menjura kepada Siluman Kecil dan berkata, “Taihiap, muridku yang jahat ini pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah Sin-siauw Sengjin mendahului Taihiap, tentu hal itulah yang membuat Taihiap meragu, bukan?”

Hati Kian Bu terasa tidak enak, namun dia mengangguk. “Muridmu telah mengundang aku untuk berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.” Kian Bu mengingatkan tantangan Ang-siocia.

“Harap Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab kitab palsu. Dan tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap...“ Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat mengangkat tangan membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia mentertawakan Ang-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu.

“Sudahlah, urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang bahwa kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya.”

“Aku ada rencana yang baik sekali!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya. “Kalau rencanaku dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam rumah sendiri, tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa pertempuran!”

Hwee Li sudah merasa girang sekali mendengar ini. “Bagaimana rencanamu itu, Enci?”

“Engkau lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan begitu mudah saja bagi kalian untuk memasuki benteng?”

“Ahhhhh...!” Kian Bu sampai mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya.

Dia memandang gadis pakaian merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis ini, pikirnya. Juga Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa.

“Enci, jangan main-main...!”

Swi Hwa tertawa geli. “Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik dari pada itu? Bayangkan saja. Kedua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan berani menghalangi mereka di dalam benteng?”

“Tapi... tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan agar kita melepaskan dua orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami berdua?” Hwee Li sudah mulai marah karena merasa dipermainkan.

Namun jawaban Swi Hwa mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran heran, demikian pula Kian Bu. “Siapa yang suruh kau membebaskan mereka, adikku? Biarkan mereka digerogoti semut-semut merah! Aku belum gila untuk menyuruh kau membebaskan dia.”

“Ehhh, bagaimana kau ini? Tadi kau katakan...“

Swi Hwa lalu mendekati dan merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di atas tanah itu dan yang memandang ke arah mereka dengan mata melotot. “...aku dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng...“

Kian Bu terkejut sekali. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar sebagai salah satu di antara mereka, akan tetapi nona itu?

“Ahh, mana bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,” katanya.

Juga Hwee Li tak dapat menerima rencana itu. “Enci Swi Hwa, harap jangan kau main main. Kita bukan menghadapi kumpulan anak-anak kecil yang mudah kau permainkan dengan penyamaran. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara...“

“Wah, wah! Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?” Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang dan kelihatan marah.

Gurunya kemudian menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan kedua tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.

“Apa yang dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya.”

“Suhu, mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di sana sebentar, Suhu.”

Gadis berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke belakang semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan tidak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali.

Tempat guru dan murid itu menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan dagangannya, “Sepatuuuuu... sepatu rumpuuuuut...! Barang baik harga murah lekas beliiiii...!”

“Eh? Di dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?” tanya Hwee Li dan dia memandang heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok membawa beberapa buah sepatu rumput.

Akan tetapi Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah. “Dia...? Dia... adalah nenek itu...!”

Teringatlah dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu. Jantungnya berdebar. Nenek ini yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia!

“Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal dia...?” Hwee Li bertanya.

Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu memandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu telah lenyap di balik semak-semak!

Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li makin heran. “Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?”

Akan tetapi yang ditanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian merah itukah kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamarannya, juga lihai ilmu copetnya!

“Hai, bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!”

Kian Bu terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon di sebelah kanannya, sikapnya jelas telah lama mengenal Kian Bu.

“Ehh, kau di sini, Kang-kongcu...?” kata Kian Bu.

Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi.

“Tunggu, Kang-kongcu...!” Kian Bu hendak menghampiri dan mendadak dia tersentak kaget bukan main ketika teringat akan nama itu.

Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ahhh, pantas saja tadi pada saat Ang-siocia memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu. Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ternyata telah menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai pemuda Kang Swi tanpa dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi lebih hebat pula!

Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama ‘pemuda’ itu, melihat Kang Swi memasuki sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa ‘pemuda’ itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar. Pantas saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan, ‘pemuda’ itu tidak mau tidur sekamar dengan dia!

Hwee Li masih bingung. “Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu muncul dan melihatmu, mereka terus pergi.”

Wajah Kian Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh gadis itu! “Mereka... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu...“

“Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?” Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara tertawa.

Hwee Li hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat-cepat membalikkan tubuhnya dan terbelalak memandang kakek raksasa yang kini berdiri di depannya.

“Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu kembali ke Pulau Neraka...!”

“Tidak, tidak...! Engkau bukan ayahku! Engkau... heeeee?”

Hwee Li teringat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat dia membalik dan memandang lagi, tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia menjerit, “Kau iblis tua bangka! Kau setan...!” Dan dia segera bergerak hendak menyerang.

Akan tetapi, Kian Bu memegang tangannya dan menahannya. “Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat dulu baik-baik siapa dia...“

“Ha-ha-ha, anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo? Ha-ha-ha!” Dan sekarang raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanannya sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam tipis.

“Sudah kulihat jelas, dia memang iblis tua itu!” Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada raksasa di depannya.

“Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!”

Hwee Li terkejut sekali memandang kakek bermuka tengkorak yang baru saja muncul. Hek-hwa Lo-kwi! Tak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana! Bagaimana dua orang kakek iblis ini tahu-tahu mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya masih kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang dengan mata terbelalak lebar seperti melihat setan di tengah hari!

“Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya. Ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo berkata lagi.

Tiba-tiba Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata, “Kepandaian menyamar dari Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa amat kagum dan takluk!”

Mendengar ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur karena jeri.

“Hi-hi-hik, Adik Hwee Li, apakah sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini sangat menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Enci-mu ini dan Suhu?”

“Kau... kau... Enci Swi Hwa...!” Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu.

Akan tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis cantik yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah diri menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi besar itu? Dengan berindap-indap dia menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah yang seperti raksasa bertaring itu pun sama. Tubuh tinggi besar pun serupa. Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguh pun aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar sekali. Dia makin terheran-heran, lalu berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang hendak dibelinya.

“Bagaimana, Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?”

Hwee Li berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepaskannya kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepadanya. “Bagus sekali, Enci. Hanya sayang ada satu perbedaan menyolok.”

“Tanganku terlalu kecil?”

“Bukan itu saja, terutama sekali... baunya!”

“Baunya?”

“Ya, kau tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis tua itu amat apek!”

“Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu jadi harum! Hati-hati, lebih baik kau hilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga tahi ayam!” Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata.

Hwee Li bergidik. Kakek ini memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia. Kagum bukan main dan dia pun menjura.

“Hek-sin Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!”

Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri. ”Nah, setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kalian ke dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah untuk mengelabui mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong mereka yang ditawan,” kata Hek-sin Touw-ong.

“Nanti dulu, Locianpwe. Aku masih penasaran...“ Kian Bu sekarang memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo palsu alias Swi Hwa itu. “Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu...“

“Akulah yang menyamar, Taihiap. Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung uangmu?” kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo bersikap seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu.

“Dan... Kang-kongcu itu...?”

“Hi-hik, maaf bahwa aku telah mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi dan aku memang sedang bertualang mencari pengalaman, maka mendengar soal sayembara itu, aku ingin memasuki dan meluaskan pengetahuan.”

“Akan tetapi... engkau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu adalah seorang pengkhianat yang agaknya telah bersekutu dengan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo palsu itu mengangguk-angguk. “Tadinya aku memang tidak tahu apa apa. Tahuku hanya aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal. Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan pemberontak.”

Kian Bu mengangguk-angguk dengan hati lega. “Kalau begitu baiklah, mari kita cepat berangkat.”

“Akan tetapi tidak mungkin menunggang garuda kalau berempat,” kata Hwee Li. “Terlalu berat bagi garuda dan juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau garuda kembali ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.”

Semua orang setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun, kemudian menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat meninggalkan tempat itu…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum