JODOH RAJAWALI : JILID-37


Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya. Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu.

Ketika belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tiba-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur secara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat-cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian.

Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali, yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apa lagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu.

Dara itu cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk lengkungnya yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya tajam dan aneh. Hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh, kedua kakinya kadang-kadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi pihak lawan.

Ada pun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun.

Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Ada pun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han asli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali dan membayangkan kehalusan budi.

Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mukjijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya.

“Sumoi, jangan!” tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan pukulannya yang mukjijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak mengijinkan sumoi-nya menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung itu.

“Hi-hik, kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada nonamu?” Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan.

Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu!

Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu sihir!

Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang mukjijat, biar pun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apa bila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hatinya merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya.

Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka tertawa terpingkal pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara tukang sihir itu.

Dengan pengerahan sinkang-nya, Kian Lee lalu mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali yang marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu.

“Siluman jahat!” bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biar pun dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Akan tetapi orang bule itu pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Maka seketika dara berpayung itu kini terdesak hebat!

Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Goa Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu.

Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah lantas meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.

“Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona...!” Dan diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!

“Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana...” Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah menghampirinya.

Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.

“Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!”

Setelah berkata demikian, Siang In lalu membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di bangkunya, akan tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar!

Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mukjijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun.

Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.

“Kenapa belum juga sampai?” terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek.

Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.

“Sssttt, kita makan dulu...,“ bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In.

Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu menari nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit menari!

Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In, “Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!” Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya.

Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biar pun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau laki-laki itu, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!

Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesannya telah datang, dia segera mulai makan.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!

“Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di sana!” demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih.

Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar.

Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka sedang berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah?

Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus.

Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja, sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki laki itu ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu membalik dan berseru dengan nyaring, “Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!”

Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga dirinya!

Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan. “Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan kami?”

Melihat sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura. “Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum memperoleh keterangan dari kalian berdua.”

“Hemmm, bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?” tiba-tiba wanita baju hijau itu berkata, suaranya jelas mengandung kemarahan.

Akan tetapi Siang In tetap saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang dan ditutup oleh senyumnya yang khas. “Aku kini hanya ingin bertanya, mengapa ada seorang gadis mempunyai anak dan mengapa ada anak disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya sendiri kepadanya!”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu memandang marah. “Jangan mencampuri urusan orang lain!”

Siang In tersenyum. “Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri segala macam urusan yang tidak beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini, laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata, “Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan saja agar kita dapat melarikan diri!” katanya.

Menghadapi pengeroyokan mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi kedua orang yang ternyata sangat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja. Dan pada waktu dia terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan menonton pertempuran itu.

Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu terdesak hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya.

Karena tadi mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu, kini suheng yang bule itu tidak lagi melarang sumoi-nya mempergunakan ilmu pukulan mukjijat tadi. Mereka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari pangeran itu, sedangkan sumoi-nya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak.

Sesungguhnya yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah! Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas kematian orang tua mereka karena kegagalan mereka ketika memberontak. Karena mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw Nionio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepandaian hebat, maka mereka melakukan penculikan atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka sebagai pembalasan dendam mereka.

Sejak melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apa lagi setelah mendengar betapa ayah dan ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran, maka tentu saja mereka selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gubernur Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu yang masih merupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu.

Kini Siang In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang lawannya ini benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.

“Mampuslah engkau siluman jahat!” bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya yang mukjijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa dingin itu.

Ketika itu, Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu demikian kuatnya sehingga dia terdorong dan hampir roboh. Sekarang wanita baju hijau itu menerjangnya demikian dahsyatnya sehingga tak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh. Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian Sin-ciang yang amat berbahaya itu.

“Dessss...!”

Tubuh Kim Cui Yan terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main. Pukulannya yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya menggigil. Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara berpayung itu, kini membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang lebih kuat dan lebih dingin dari pada Swat-lian Sin-ciang!

Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang sudah diculiknya diketahui orang, maka dia berseru, “Suheng, mari kita lari!” Dia berseru dalam bahasa Mongol dan suheng-nya yang memang segan untuk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh Liong Tek Hwi!

“Hayo, majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju dan keroyok sekalian, kau manusia tak tahu malu!”

Kian Lee hanya berdiri melongo menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil menodongkan payungnya ke arah dadanya itu.

“Ehh, Nona… aku tidak berniat buruk...“

“Huh, pandai kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu! Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang menjadi biang keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo kau lawan aku!” Siang In sudah menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada pemuda itu untuk menotok jalan darahnya.

“Eihhh...!” Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur. “Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka. Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk...“

“Dasar cerewet, pandai bicara kau, ya? Kau kira aku takut padamu, ya? Kalau memang berani, jangan main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu, hendak kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!”

Sejak tadi Kian Lee memandang wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini mempunyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada Kian Bu. Ahh, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini.

Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan akan tetapi matanya bersinar sinar seperti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya.

Melihat pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar makin indah, dan makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus saja tertawa. Melihat dara itu bertolak pinggang dan menantang-nantang dengan sikapnya yang dibuat-buat agar kelihatan galak dan menakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang In.

“Bagus, kau mentertawakan aku, ya? Kau lihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti orang gila?” Siang In menuding ke arah dahi di antara sepasang matanya.

Otomatis Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan tetapi mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, “Engkau adalah seekor monyet!”

Seperti orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih tersenyum itu, berkata, “Aku adalah seekor monyet...,“ agak meragu suaranya, seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk perangkap sihir.

“Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.

“Tidak... tidak...!” Kian Lee berusaha melawan, tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!

“Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari yang baik tidak boleh bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!”

Kian Lee tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin kehilangan kekuatannya karena mata itu sekarang mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang... dibencinya tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, maka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri.

Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, “Aihhh... Suma Kian Lee... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak...”

Mendengar ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi terburu nafsu mempermainkan pemuda ini dengan sihirnya.

“Ah... kau... kau bernama Suma Kian Lee...?” katanya agak gagap.

Kian Lee menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.

“Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?”

“Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?”

Wajah Kian Lee berseri seketika, “Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia sekarang?”

Siang In kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini.”

Kian Lee makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya.

“Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?”

“Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari penjagaanku!”

“Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?”

“Aku Teng Siang In.”

Kian Lee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Teng Siang In...? Siang In...?” Tiba tiba wajahnya berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. “Ahh, tahu aku sekarang! Bukankah engkau adalah murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!”

Wajah itu menjadi semakin merah dan semakin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya mendesak, “Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?”

Kian Lee menggeleng kepala. “Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan enci-mu yang bernama... ahhh, lupa lagi aku...”

“Mendiang Enci Siang Hwa?”

“Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan enci-mu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee memandang penuh rasa kagum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan.”

Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba telah tertutup mendung. Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, hal ini menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan tetapi biar pun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisan wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu.

“Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kau puji-puji pandai ini sudah menjadi mayat!” Dia termenung lalu melanjutkan, “Dua orang itu ternyata lihai sekali!”

Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. “Ahh, siapakah mereka, Nona? Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?”

Kembali terjadi perubahan hebat pada wajah cantik itu. Kalau tadi dia bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan marah, “Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu engkau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang yang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!”

Kian Lee adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, tetapi menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir saja berhasil menangkap dua orang penculik itu, sepatutnya kau kubunuh, tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak mungkin aku memusuhimu.”

Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata, “Nona Siang In...“

“Sudahlah, kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja...,“ dan tiba-tiba Siang In membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya!

Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan. “Nona Siang In... mengapa kau..., apa salahku?”

“Kau tadi berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku merasa sedang berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja.

Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa sangat kewalahan menghadapi dara ini. “Habis, aku harus menyebutmu apakah?”

“Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja tidak harus menyebut enci.”

“Ahh, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.”

Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas sebuah batu yang terdapat tak jauh dari situ. “Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?”

“Bicara apa...?” Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar sudah mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.

“Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kau katakan tadi!”

Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.

“Ehhh, kau sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya.

Kian Lee terkejut, memandang bengong. “Makan...?” tanyanya bingung.

Siang In tersenyum, manis sekali, kemudian mengangguk. “Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.“

“Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli... ahhh, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan?”

Siang In mengangguk, masih tersenyum. “Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan lezat?”

“Hemmm, jangan coba mengelabui aku, In-moi (Adik In). Biar pun mungkin bisa, tetapi nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.”

“Akan tetapi aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!”

“Aku tidak percaya,”

“Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!”

Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil sedang main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan gerakan lalu terdengar dara itu berkata, “Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!”

Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat!

“Nah, silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan kenyang tadi.”

Kian Lee mengerahkan sinkang-nya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Perut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum. “Hebat... engkau memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini... ahh, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!”

Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi menarik hati sekali. “Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan bertumpuk tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau bicarakan tadi?”

“Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?”

Siang In meloncat bangun dan wajahnya berseri. “Engkau tahu? Sekarang di mana dia?”

“Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su...“

“Ehhh, guruku?” Dara itu berteriak.

“Benar, tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai...“

“Di Goa Tengkorak?”

“Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu...“

“Siapakah Nyonya Kao Kok Cu itu?”

“Dia masih adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.”

“Ahh, Enci Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut sebut dan diceritakan oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?”

Kian Lee lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng Ceng bertempur melawan See-thian Hoat-su di Goa Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain.

Mendengar ini, Siang In mengepal tinjunya. “Ah, celaka! Sudah dapat, terlepas lagi! Dia belum bertemu, puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikiran!”

“Apa maksudmu? Siapa dia yang belum bertemu itu?”

Tiba-tiba wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam tahun yang lalu, telah... menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat menjawab, “Sayang bahwa dua orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau mengingat akan nasib anak laki-laki yang mereka culik.”

“Laki-laki dan wanita tadi, yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka culik?” Kian Lee tertarik sekali.

Siang In mengangguk. Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai nampaklah oleh dia perbedaan yang besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biar pun sudah enam tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian Bu yang tampan itu wajahnya agak lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan kata kata yang menyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri gembira.

Sebaliknya, Kian Lee ini biar pun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk mukanya bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada pertemuan pertama nampak benar persamaan di antara mereka.

“Kakak Suma Kian Lee, apakah engkau tidak suka bersendau-gurau?”

“Hahhh?” Tentu saja Kian Lee terkejut, heran dan bengong.

Dengan sungguh-sungguh dia amat tertarik dan bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik mereka, jawabannya malah pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah diduga-duganya!

“Bersendau-gurau...?”

“Ya, sukakah engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?”

Kian Lee tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa orang, dia mengangguk, lalu berkata, “In-moi, ceritakanlah bagaimana kau bisa tahu bahwa dua orang lawanmu yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.”

Sikap dan suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jeri! Pemuda ini benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, tetapi entah mengapa, wibawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan yang menggiriskan hati.

“Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu masih perawan...“

“Hemmm, bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?”

“Tentang dia masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!”

Tiba-tiba wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan atau bukan itu. “Lalu, bagaimana selanjutnya?”

“Mereka merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan meninggalkan si pria sendirian membeli masakan dan nasi. Setelah dia keluar dari restoran, aku lalu membayanginya...“

“Hemmm, jadi masakan yang sudah kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?”

Siang In terkekeh. “Hi-hi-hik…” Suara kekeh yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali. “Akan tetapi lezat, kan?”

Kian Lee terpaksa tersenyum, mengangguk dan berkata, “Lanjutkanlah ceritamu.”

“Wanita itu sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di mana. Melihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.”

“Anak laki-laki...? Berusia lima enam tahun...? Ahhh, jangan-jangan anaknya!” Kian Lee teringat dan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang itu tadi.

“Anaknya? Anak siapa, Koko?”

“Anak Ceng Ceng! Anaknya pun diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!”

“Ahhh...! Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu bukan anak sembarangan, meski baru berusia lima tahun tetapi telah memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh keberanian.”

“Dan melihat betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang menculik anak Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee.

“Lee-ko, aku ikut!” Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat.

Biar pun Siang In telah mengerahkan ginkang-nya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka dia berteriak-teriak memanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang dibawa lari cepat sekali. Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya Siang In mampu menyusulnya. Dara itu lalu memandang kagum. Bukan main hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan bangga.

“Larimu seperti kijang saja cepatnya...!” katanya terengah-engah.

Kian Lee yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu benar anak Ceng Ceng, tidak melayani senda gurau itu dan berkata, “Mari kita cepat mengejar mereka.”

Dengan teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan keterangan dari penduduk dusun yang mereka temui bahwa laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho. Mereka terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan gubernur dari Ho-nan!

Di depan telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong, yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada Pangeran Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang.

Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang merasa penasaran karena pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong ditewaskan dalam perang oleh Ang Tek Hoat.

Demikian, Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian karena pada waktu itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah seorang nenek yang sangat sakti, yang terkenal dengan julukan Kim-mouw Nionio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat, rambutnya pirang dan matanya biru. Kim-mouw Nionio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah belasan tahun dia tidak mau keluar lagi dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak mendatangkan kesengsaraan dari pada kebahagiaan.

Liong Tek Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw Nionio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai seorang murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sembarangan orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya tewas karena pemberontakannya. Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah.

Setelah Kim Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nionio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat pula. Bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!

Selain banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nionio juga terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang gelang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula untuk menyerang lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya, dan hebatnya gelang gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar dipelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya.

Ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara pria dan wanita adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang akrab. Hal ini tidaklah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan, ini terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk saling memiliki.

Demikian pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nionio, setiap hari bergaul dan berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nionio yang melihat gejala ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang muridnya itu.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan pada Jenderal Kao Liang sekeluarga!

“Suheng, kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus penuhi permintaanku agar aku tidak sampai melanggar sumpahku. Kita tak bisa menikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.” Dengan terus terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada suheng-nya.

Berbeda dengan Kim Cui Yan, ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini memiliki watak yang halus dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu yang telah mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya, dia tidak suka dan menentang adanya kekerasan dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.

“Tentu saja aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang diracuni oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kau anggap bahwa kehancuran keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap sebagai musuh pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikut sertakan keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga jenderal itu tidak pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku hanya menurut apa yang kau kehendaki karena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari pihak mana pun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi nasehat kepada sumoi-nya.

Ketika dua orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati mereka kepada guru mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran keluarga Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nionio menarik napas panjang.

“Permusuhan, bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan menghancurkan seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi Jenderal Kao saja kalian takkan kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai anak anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?”

Dengan terus terang Liong Tek Hwi berkata, “Subo, menurut penyelidikan teecu, salah seorang di antara putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir...“

Tiba-tiba wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru sekali. “Apa kau bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?”

“Memang putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir... begitulah kata orang...,“ kata Liong Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.

“Celaka! Kalau begitu dia tentu murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat itu! Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekali pun tidak akan mampu menyelamatkan kalian!”

Setelah mendapatkan nasehat-nasehat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong Tek Hwi dan sumoi-nya, Kim Cui Yan, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka. Menurut kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke selatan untuk mencari Jenderal Kao. Akan tetapi sumoi-nya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi malah mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!

“Suheng, penuturan Subo tadi mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita mencari Istana Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!”

“Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo sendiri jeri terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit? Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.”

“Aku tidak akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam dongeng itu.”

Liong Tek Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoi-nya atau kekasihnya yang amat keras ini. “Subo sendiri pernah mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak seorang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?”

“Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas markas jenderal itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.”

Liong Tek Hwi yang mencinta sumoi-nya terpaksa menuruti permintaan sumoi-nya dan demikianlah, mereka tidak langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari Istana Gurun Pasir! Dan dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu dengan soal-soal yang menimbulkan penasaran, mereka tentu turun tangan menentang setiap kejahatan. Semua ini memang sengaja diarahkan oleh Liong Tek Hwi yang tak ingin melihat sumoi-nya atau kekasihnya tersesat, maka dia mencoba untuk menarik perhatian sumoi-nya agar menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka.

Karena inilah, meski mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka, Kim Cui Yan amat menonjol dengan gerak-geriknya yang tangkas karena memang gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian, orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum