JODOH RAJAWALI : JILID-38


Kakek itu sudah memperingatkan mereka bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka lalu membeli dua ekor onta, membawa perbekalan secukupnya dan pada hari itu berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun pasir yang seperti laut tak bertepi itu!

Dan mulailah mereka mengalami hal-hal yang sangat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari kemudian, saat mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai! Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang, membentuk dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan menghalanginya.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah teruruk pasir dan kalau mereka tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!

Akhirnya, pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu! Mereka lalu meninggalkan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat.

Dan secara kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang diri di belakang istana itu, bermain layang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang terlalu keras, atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang itu membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa layang layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.

“Anak yang baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan.

Karena orang itu telah mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan menjawab, “Namaku Kao Cin Liong.”

“Ahhh, kau tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?”

Anak itu memandang tajam, lalu balas bertanya, “Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?”

Cui Yan tersenyum ramah. “Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?”

Anak itu mengangguk. “Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!” Sekecil itu, anak ini sudah pandai membanggakan ayahnya?

Kim Cui Yan berkedip kepada suheng-nya, kemudian berkata kepada anak itu, “Siapa bilang? Kami bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami bersembunyi, biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.”

“Ahhh, tidak mungkin!” Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja, maka dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya.

“Mari kita sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!” Cui Yan memondong anak itu dan membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka.

“He-he, ayah akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka.

Mendengar ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan oleh angin pukulannya!

Melihat ini Cin Liong tertawa, “He-he, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah ayahnya dapat mencari mereka.

Demikianlah dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya untuk mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan untuk melihat mana arah selatan, mereka kalau malam melihat letaknya bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari.

Di waktu pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman matahari dan bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak mereka selalu langsung dihapus oleh pukulan-pukulan Tek Hwi dan Cui Yan yang mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang mengerakkan pasir.

Akhirnya mereka dapat meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu anak ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian ayah dan ibu anak itu, maka mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang.

Hanya karena ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh saja untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan memberi alasan yang kuat.

“Kalau kau melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa tahu sekali waktu kita akan dapat mempergunakannya sebagai sandera yang amat berharga. Selain itu, kau juga sudah berjanji untuk tidak mengikut sertakan keluarga Kao, Sumoi.”

Demikianlah, dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ketika muncul pendekar Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu.

Maka, setelah kini banyak orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda tampan sekali yang memiliki kesaktian luar biasa, mereka menjadi jeri dan menurut usul Liong Tek Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan benteng oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi.

Ketika mereka tiba di benteng lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Liong Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini dengan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata kedua orang laki-laki yang masih ada hubungan keluarga amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua sebenarnya adalah keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri!

Akan tetapi, terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini. Yang seorang berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang kedua berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah campuran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang kedua beribu Nepal.

“Ahhh, Adik Tek Hwi... betapa keluarga kita telah berantakan...,“ terdengar Pangeran Nepal itu berkata dengan hati terharu.

Liong Tek Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih baik keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi keluarganya, ibunya pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak mempunyai keluarga lagi, kalau pun masih ada, maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia sebatang kara, tidak seperti kakak misannya ini, seorang pangeran!

Melihat Tek Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk nepuk pundak adiknya dan berkata, “Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Ehh, siapakah Nona ini, adikku?”

“Dia adalah sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.”

Wajah Pangeran Nepal itu berseri. “Ahh! Sungguh kebetulan sekali!”

Dia mengatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan calon isterinya, dengan Hwee Li, yaitu puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan.

“Dan anak ini?”

Tek Hwi hendak menjawab, akan tetapi didahului oleh Cui Yan. “Dia ini adalah calon murid kami.”

“Ah, bagus, bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nionio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?”

Tek Hwi dan Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan heran. Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayangkan betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti orang yang hendak melaksanakan perang!

“Hebat sekali!” Tek Hwi mengakui.

“Ha-ha-ha! Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara mereka sekarang sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Marilah kuperkenalkan dengan dia yang telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!”

Benar saja, Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka dihadapkan dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu melepaskan tangan Cui Yan dan lari menubruk kakeknya. “Kong-kong...!” teriaknya.

Kini giliran Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat cucunya itu. Dia segera mengenali Cin Liong. “Ahh, Cin Liong... kau... kau!” Dia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan menatap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan.

“Ha-ha-ha, engkau pandai sekali menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah berhasil pula menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu tertawa.

Jenderal Kao Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil memandang kepada kedua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang, “Siapakah kalian dan mengapa kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?”

Mendengar ini, pangeran dari Nepal itu terkejut. “Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?” tanyanya.

Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Istana Gurun Pasir yang sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan bangga karena memang merupakan hal yang patut dibanggakan bahwa dia dan sumoi-nya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!

“Hebat...! Bukan main kalian ini...!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera dari paman Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.”

“Ahhhhh...!” Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini yang menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.

“Kao-goanswe, kini engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.”

Jenderal Kao Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia lalu mengelus kepala anak itu sambil berkata, “Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga lain.”

“Kong-kong, siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!” Cin Liong berkata, akan tetapi Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao Liang. Terhibur dan girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.

Di dalam hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak misannya. Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan diam diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat melihat kesalahan mendiang ayahnya yang memberontak, dan dia merasa menyesal sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoi-nya yang perlahan-lahan juga dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak. Mereka berdua berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, tetapi kini mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah mereka yang lalu, yaitu memberontak!

Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya itu didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apa lagi karena dia dan sumoi-nya merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka untuk membalas dendam.

Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik misannya yang baru datang bersama sumoi-nya. Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan demikian memperkuat pengaruhnya atas diri jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri karena dia masih menanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li. Dua orang murid dari Kim-mouw Nionio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng, berkenalan dengan para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan para tokoh dari Nepal lainnya.

Diam-diam Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar benar kuat dan kakak misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak, bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat dari pada kedudukan pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, sekarang kakak misannya didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin di utara.....

********************

Memang Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung. Pangeran Nepal ini selain hendak membalas kematian ayahnya, juga hendak melanjutkan cita-cita ayahnya, menggulingkan kaisar dan bahkan dia memiliki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan kesempatan itu untuk bersekutu dengan gubernur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar!

Karena itu, dia membuat persiapan sebaiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang berkedudukan tinggi. Selain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhirat)! Pada waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan sesat, terdapat Im-kan Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun lamanya mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak ada semangat lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah lima orang yang amat tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia kaum sesat dijuluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat! Karena ini, Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk dapat memanggil empat tokoh yang lain agar supaya dapat membantu pergerakannya.

Koksu Nepal juga haus akan kedudukan. Kalau sampai pemuda yang bersemangat besar itu berhasil dan menjadi kaisar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari kerajaan yang amat besar yang menguasai seluruh Tiongkok! Maka dia pun kemudian mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu untuk datang membantu, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh pada hari itu dan tempatnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng itu…..

********************

Siang itu matahari sudah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah, karena dalam keadaan tidak mampu bergerak itu muka mereka yang tertimpa sinar matahari membuat mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum terbebas dari totokan dan agaknya sebentar lagi mereka baru akan bebas karena waktu mereka tertotok sampai sekarang sudah berjalan hampir setengah hari. Totokan pemuda sakti Siluman Kecil itu benar-benar amat hebat sehingga dua orang kakek sakti seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu dan harus menanti sampai totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya.

Mereka yang dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala gigitan semut pada tubuh mereka terasa semua, membuat mereka berkaok-kaok dan memaki-maki. “Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau kelak dia dapat olehku, akan kupermainkan dia, akan kuperkosa dia sampai mati seperti ibunya!” Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li.

“Huhhh, kau tidak akan berani!” Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hidung, di telinga, di bibir sehingga rasanya geli dan tidak enak sekali.

Lalat itu terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan seperti yang dikhawatirkan, kembali hinggap di bibirnya. Kakek ini mendongkol bukan main, lalu membuka mulutnya. Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut dan tiba tiba...

“Happp!” mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya mati dan diludahkan penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi.

“Aku? Tidak berani? Apa kau gila?!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada anak perempuan yang kubesarkan sendiri itu?”

“Ha-ha-ha, apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, “Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas aku membalas kekurang ajaran dan penghinaannya hari ini!”

Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak orang yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga beberapa kali menjadi rekannya yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo sudah menghadapi harapan pangkat dan kemuliaan besar, tentu dia akan melupakan lagi ancamannya terhadap Hwee Li.

“Kalau aku tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo. Yang merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong. Mereka berdua itulah yang hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus membayarnya.”

“Mereka juga, pasti akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Kini pengaruh totokan itu sudah mulai mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang dipandang oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia pun terbelalak sambil mengeluarkan suara tertahan.

Kebetulan sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sampai jauh ke sebelah depan terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang sampai jauh dan kini dari kejauhan nampak pemandangan yang membuat mereka terbelalak saking terheran-heran. Mereka melihat dari jauh sekali dua orang sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu berlari amat aneh dan bukan main cepatnya.

Yang seorang bertubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan langkah-langkah lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari menggunakan kedua tangan menjadi kaki, akan tetapi tidak berkurang kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang yang kedua amat pendek, seperti anak-anak pendeknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang orang ini menggelundung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula.

Seperti burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua makin terheran ketika dapat mengenal dua orang ini.

Yang bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tubuhnya seperti sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu dia satu setengah kali jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya! Pakaiannya serba hitam, lengan bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti tulang terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang. Rambutnya sebaliknya malah hanya sedikit dan tidak panjang, bercampur uban dan digelung ke atas model rambut para tosu, matanya juga panjang sehingga nampak sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya. Orang ini benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya.

Orang kedua tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang kedua ini melihat pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja. Dan bentuk tubuhnya merupakan kebalikan dari tubuh kawannya. Dia bertubuh gendut besar sekali, hanya setinggi pinggang si jangkung dan tingginya seperti seorang bocah berusia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat!

Orang lain yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh mereka yang aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang keduanya merupakan orang-orang aneh, pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau pelawak-pelawak panggung wayang. Apa lagi muka si gendut pendek, baru melihat mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah menimbulkan rasa geli dalam hati orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek nampak selalu gembira dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan, akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu selalu muram, cemberut dan sedih!

Kalau orang lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terkejut sekali dan memandang dengan muka berubah. Mereka berdua mengenal dua orang itu dan terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk besar di dunia hitam yang sudah lama menyembunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Siansu (Manusia Dewa Pencabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat), dia merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan itu, melainkan tingkat kepandaian mereka!

Im-kan Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu, sejak mereka masih muda dan mengangkat persaudaraan dan membentuk Im-kan Ngo-ok, mereka lalu bertanding dan mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang terpandai menjadi Twa-ok (Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan setiap tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan tingkat baru mereka.

Oleh karena persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan hebat, menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara saudara angkat sendiri agar naik tingkat mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering bertukar tempat atau tingkat selama sepuluhan tahun. Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa bosan dan masing-masing lebih suka bersembunyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu, Toat-beng Siansu menduduki tingkat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima).

Ada pun kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal. Seperti juga Toat-beng Siansu dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siang-cu (Si Gajah Cilik) atau dalam urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat keempat, yaitu disebut Su-ok (Jahat Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya masih lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi mengadu kepandaian, maka sekarang sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi kepandaian para tokoh dunia kang-ouw pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun maklum bahwa Koksu Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin yang amat lihai itu, hanya menduduki tingkat ketiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal, juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan kelihaian Koksu Nepal itu, maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa Sengjin karena sekarang belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Sejak dahulu pun, Ngo-ok Toat-beng Siansu terkenal dengan ginkang-nya yang tidak lumrah manusia kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa, ditambah dengan kaki dan tangannya yang amat panjang, maka dalam perkelahian sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan sesuai dengan julukannya sebagai seorang di antara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga mempunyai kekejaman yang tidak lumrah manusia.

Dahulu, di waktu dia masih aktif dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang membikin meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekali pun. Melakukan kejahatan merupakan sesuatu ‘keharusan’ untuk mempertahankan gelar mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini kelima Ngo-ok itu tidak lagi terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka. Hanya Ban Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan sebagai tokoh dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu tempat asalnya di mana dia dikenal sebagai seorang sakti penasehat raja yang bergelar atau berjuluk Lakshapadma.

Tentu saja orang keempat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam hal kejahatan juga tidak kalah dibandingkan dengan si jangkung itu. Melihat wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian dan kepalanya yang seperti pendeta, yang sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan kejahatan, sungguh sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan. Akan tetapi kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan mengkirik dan mungkin selama hidupnya dia tidak akan mampu melupakan peristiwa mengerikan itu!

Bayangkan, untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mukjijat saja, Su-ok ini dengan muka masih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita wanita yang mengandung begitu saja untuk mengambil anak-anak yang belum dilahirkan itu, untuk campuran ‘obat’ yang dibuatnya! Dan dia melakukan hal ini berkali kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan hidungnya!

Ngo-ok Toat-beng Siansu yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia amat suka menangkapi wanita-wanita, tak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan dia memperkosa sambil membunuhnya! Semua ini dilakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya sesuai dengan julukannya agar dia tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain! Dan setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji dan mendirikan bulu roma, juga dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan sampai sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai ‘tasbih’ yang terbuat dari kuku-kuku wanita yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu sudah ratusan banyaknya!

“Ha-ha-ha, larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa tawa ketika mereka tiba di tempat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja meringkuk dalam goa silumanmu itu tidak tinggal diam dan tak pernah melupakan ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi ilmumu melarikan diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu tertawa-tawa.

Wajah yang muram itu menjadi makin keruh. “Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan singkat lalu diam tidak mau melanjutkan kata-katanya.

“Ha-ha-ha, menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal jauh bukan licik namanya, akan tetapi cerdik! Biar pun dalam hal lari aku kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan menangkap dan memukul, kau masih setingkat lebih rendah dariku, adikku yang kelima!”

Toat-beng Siansu tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja tangannya yang amat panjang itu seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul itu. Cepat bukan main gerakannya dan melihat tangan yang sepanjang itu, baik Hek-tiauw Lo-mo mau pun Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si cebol itu pasti tidak akan mampu menghindar.

Akan tetapi, tiba-tiba si pendek itu tertawa.

“Dukkkk!”

Tubuhnya sudah terlempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu tahu tubuhnya itu bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung dan kontan dia mengirim pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah hebatnya dari pada pukulan si jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring, mengejutkan dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini cerdik bukan main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat menghadapi lawan yang memegang senjata panjang, yaitu mengajak bertanding dari jarak dekat!

Akan tetapi, si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tubuh belut saja dia sudah dapat mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur sampai dua meter jauhnya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga, sedangkan kedua kakinya yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua orang yang siap untuk bertanding!

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Jungkir-balikmu sudah kau sempurnakan, ya?” Bagus, coba kau hadapi pukulan Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin pendek karena dia sudah menekuk kedua kakinya, tubuhnya agak condong ke depan, kedua tangan dikembangkan, lagaknya persis seperti seekor katak buduk yang siap untuk melompat!

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka berdua maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang amat dahsyat yang dilakukan dengan ilmu-ilmu mukjijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah merasa betapa hawa tiba-tiba menjadi berubah, angin menderu-deru ketika dua kaki yang panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari tubuh kakek gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang sudah siap untuk saling gempur.

Mendadak bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang mengguncangkan jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking dari atas, seperti dari udara saja dan hebatnya, suara itu juga mengandung getaran sedemikian rupa sehingga menyusup ke dalam tubuh dua orang kakek iblis yang terkubur itu dan ketika mereka membarengi dengan pengerahan tenaga, maka segera mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak kehilangan pengaruhnya itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka membebaskan diri.

“Blarrr! Blarrrrr!”

Dua orang kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan loncatan ke atas, membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di situ.

Dua orang kakek yang sedang berhadapan untuk saling gempur tadi, mendengar suara melengking ini, terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mereka makin kaget dan cepat mereka bergerak ke arah kedua orang kakek iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan panjang menekan pundaknya dan sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dahsyat menyeretnya dan dia sudah dibanting masuk lagi ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur. Ketika dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan menempel di ubun-ubun kepalanya sehingga dia bergidik karena maklum bahwa sedikit saja jari-jari tangan itu bergerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi nyawanya lagi. Maka dia tak bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melainkan ditekan oleh kakek jangkung!

Juga Hek-hwa Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah tangan yang gemuk telah mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan darah kematian yang membuat dia tidak berani banyak bergerak karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan orang.

“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Ha-ha-ha, di jaman ini masih ada orang bertapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan kedua), coba lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau masih mengenal mereka? Yang kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang kabarnya dapat melarikan kitab itu. Ha-ha-ha, dan yang itu tentu adalah sekongkolnya, si Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka! Agaknya mereka kini bertapa untuk menciptakan ilmu permalingan baru!” Su-ok Siauw-siang-cu mengejek sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi Ngo-ok Toat-beng Siansu tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala Hek-tiauw Lo-mo untuk didudukinya, dan jari tangannya masih menempel di ubun-ubun yang didudukinya. Dia kini menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang ditakuti orang itu sebagai bangku!

“Hi-hi-hik, kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja. Kalau enci-mu ini tidak cepat datang, tentu kalian tadi telah saling serang kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah selama ini kalian tidak makin tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?” Dari atas pohon melayang turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi memandang, mereka bergidik.

Mereka sudah mendengar tentang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari Im-kan Ngo-ok. Tingkat wanita ini bahkan masih lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan kabarnya memiliki kekejaman yang sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sekali pun! Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak kecil yang belum satu tahun usianya untuk ‘jamu’, dan ketika orang-orang sedusun mengepungnya, dia mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni dusun yang jumlahnya ratusan orang itu, mengumpulkan mereka di rumah kepala dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan dibakarnya rumah itu. Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan dia tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut dibakarnya hanya anak-anak kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke dalam goanya, dipelihara baik-baik sampai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu anak karena menjadi ‘jamunya’!

Dan menurut kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah terbukti betapa lengking suaranya mengandung khikang yang demikian ampuhnya sehingga tanpa disengaja mampu menembus jalan darah kedua orang kakek iblis itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak berdaya sama sekali karena jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua orang anggota Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang baru datang itu dengan jantung berdebar tegang.

Wanita itu memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja biasanya membikin orang menggigil ketakutan itu kini merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Wanita itu bertubuh tinggi langsing, seperti tubuh seorang wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat karena muka itu memakai topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari tengkorak manusia sungguh-sungguh! Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan giginya yang besar besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam dan liar atau mengerikan, bukan seperti manusia melainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya rambutnya yang sudah putih semua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang nenek yang sudah tua!

Kabarnya, sebelum menjadi anggota nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di mana dia ditakuti sebagai seorang yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi, perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran negeri itu dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain. Dalam perayaan pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan seluruh keluarga, bahkan ratusan orang tamu ikut pula menjadi korban. Dan dia lalu memenggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke mana-mana sampai menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya ketika dia menjadi anggota Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup kejam dan pantas untuk menjadi tokoh kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!

“Ahhh, Ji-ci mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk berkumpul? Setelah berkumpul, kenapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian masing-masing? Siapa tahu aku dari Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!”

“Huh, cebol kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cici-mu? Oho, kau boleh belajar seratus tahun lagi, adikku!” Si topeng tengkorak itu mengejek.

Wanita ini adalah Ji-ok (Jahat kedua) yang bernama Kui-bin Nionio (Wanita Muka Setan) yang juga seperti yang lain telah lama sekali mengundurkan diri dan baru sekarang muncul karena undangan Sam-ok yang kini telah menjadi Koksu Negara Nepal! Mungkin karena jabatan koksu inilah yang membuat Ji-ok yang setingkat lebih tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan!

“Lihat ini!” Wanita itu menudingkan telunjuknya dan menggerakkan sedikit tangannya.

“Cuiiiiittttt...!”

Dari telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat Su-ok dan debu beterbangan seolah-olah batu itu di-‘bor’ dan ketika wanita topeng tengkorak menghentikan gerakannya, maka di permukaan batu itu terdapat ukiran berbunyi ‘Ji-ok’!

Su-ok menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil dia berkata nyaring. “Aha, kepandaian Ji-ci masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari Pedang) dari Ji-ci akan dapat mengalahkan aku!”

Akan tetapi agaknya wanita itu merasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau bertanding. Dia memandang ke sekeliling dan berseru, “Mana dia adik ketiga si Sam-ok? Apakah setelah menjadi koksu dia begitu congkak tidak mau menyambut kita? Dan apakah Twa-ko tidak mau datang?”

Tiba-tiba menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara itu terdengar amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo beserta Hek-hwa Lo-kwi sebab hal itu menandakan bahwa orang itu telah memiliki kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali.

“Hemmm, aku orang tua tak berguna bisa apakah?”

“Twa-ko...!” Tiga orang itu berseru secara berbareng.

Ketiganya bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Kalau tadi mereka tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak bangun, secepat kilat mereka sudah bergerak dan menghantam ke arah punggung para penawan mereka!

“Ha-ha-ha!” Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas dari hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar juga mengelak dan membalik hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali mengirim serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang diciptakannya dari kitab curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si Dewa Bongkok. Hawa beracun berupa uap hitam mengepul dari kedua tangannya ketika dia menyerang si jangkung itu.

“Hemmm...! Ngo-ok Toat-beng Siansu mendengus.

Tiba-tiba dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia tahu bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang kelima dari Im-kan Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung karena sasarannya menjadi aneh. Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu dengan paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul kepala, kini bertemu dengan lutut yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali!

Dan tiap gerakan kakek jangkung itu mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dimainkannya itu agaknya tidak mempengaruhi si jangkung karena beberapa kali si jangkung berani menangkisnya tanpa keracunan. Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia bingung karena kaki itu secara tiba-tiba dapat ‘memukulnya’ dari belakang, ke arah punggungnya!

Demikian pula, dengan keadaan Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ketua Kui-liong-pang ini terkejut bukan main ketika menghadapi lawannya yang pendek gemuk itu. Sukar sekali menyerang lawan itu karena tubuh lawan itu bergerak secara aneh sekali, kadang kadang bergulingan, kadang-kadang meloncat dan berlari-lari di sekelilingnya, dan kadang-kadang menerima pukulannya akan tetapi pada saat pukulan hampir mengenai tubuh, dia melejit lenyap dan tahu-tahu sudah membalas serangannya dari bawah dengan dasyat!

Hek-hwa Lo-kwi merasa penasaran sekali. Tidak peduli siapa adanya lawan ini, si pendek ini sudah menghinanya secara keterlaluan sekali, menduduki kepalanya dan tadi ketika si pendek ini duduk di atas kepalanya, biar pun tidak ada yang tahu karena tidak mengeluarkan suara, tetapi dia tahu betul bahwa dua kali si pendek ini melepas kentut yang bau busuk! Maka saking marahnya, Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan ilmu barunya yang sakti dan mengerikan, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.

“Hehhhhh...!” Dia berseru keras, kedua tangannya bergerak melakukan dorongan ke depan. Nampaklah uap putih mengepul dan angin dahsyat menyambar ke arah kakek pendek itu.

“Krok-krokkk!” Kakek pendek yang menghadapi pukulan maut itu tiba-tiba berjongkok, memasang kuda-kuda seperti seekor katak buduk. Kedua tangannya juga mendorong ke depan.

“Dessss...!”

Akibat pertemuan tenaga yang dahsyat, tubuh Hek-hwa Lo-kwi terjengkang dan dia terbanting roboh dengan kepala pening. Akan tetapi kakek muka seperti tengkorak yang tinggi kurus ini dengan cekatan telah meloncat bangun dan menyerang lagi kalang kabut. Ternyata ilmu barunya itu cukup tangguh sehingga menghadapi pukulan llmu Katak Buduk dari si pendek itu dia tidak sampai mengalami luka, hanya terjengkang saja. Melihat ini, Su-ok Siauw-siang-cu merasa kagum juga.

“Bagus, jongos maling, ilmumu lumayan juga!” katanya memuji akan tetapi juga sambil memaki.

Justeru Hek-hwa Lo-kwi paling benci kalau diingatkan bahwa dia dahulu adalah seorang pelayan dan seorang pelayan yang telah mencuri kitab majikannya! Maka sambil menggereng dia menubruk ke depan, akan tetapi si pendek melejit lenyap dan main kucing-kucingan sambil tertawa-tawa.

Di pihak lain, Hek-tiauw Lo-mo juga repot bukan main. Beberapa kali tubuh belakangnya kena digajul oleh kaki lawan secara aneh sampai dia hampir terpelanting. Ngo-ok Toat-beng Siansu tak pernah mengeluarkan suara, akan tetapi tangan dan kakinya sungguh jahil dan menghina sekali. Kadang-kadang kedua tangan kakek ini bergerak cepat, tangan yang panjang itu tahu-tahu sudah menyentil telinga Hek-tiauw Lo-mo, kemudian kakinya menendang pinggulnya secara aneh melalui belakangnya. Saat menggerakkan tangannya, maka kakek yang tingginya tidak lumrah ini hanya mengunakan kepala sebagai kaki, dan dia berloncatan sehingga kepalanya mengeluarkan bunyi ‘duk-duk-duk!’ memukul tanah!

Tiba-tiba terdengar suara yang tadi, suara halus yang tadi terdengar dekat, “Hemmm, Ngo-ok dan Su-ok masih repot melayani dua ekor kera tua ini, sungguh harus dikatakan bahwa kepandaian kalian selama ini tidak ada kemajuan sama sekali!”

Yang bicara itu adalah seorang kakek yang luar biasa sekali. Kakek ini tidak pantas disebut manusia, lebih patut dinamakan gorila atau monyet besar sekali, seekor monyet besar yang memakai sepatu dan pakaian seperti manusia, akan tetapi pakaiannya amat sederhana. Mukanya adalah muka campuran antara manusia dan monyet, akan tetapi masih lebih mendekati monyet dari pada manusia, sehingga pantasnya dia dinamakan monyet yang mirip manusia.

Bahkan dari bibir monyetnya itu menonjol keluar dua buah taring di kanan kiri! Hanya kulitnya saja yang tidak seperti monyet, karena kulit muka dan tangannya tidak berbulu, dan rambutnya juga seperti rambut manusia, pendek sampai di pundaknya dan masih banyak hitamnya. Kedua tangannya besar, seperti tangan manusia, akan tetapi kedua lengannya panjang melampaui lututnya, ciri lengan tangan monyet! Dan biar pun wajahnya menyeramkan seperti monyet, akan tetapi suaranya halus dan lemah lembut seperti suara seorang pendeta, dan pakaiannya amat sederhana!

Padahal dia adalah orang nomor satu dari Im-kan Ngo-ok, dan dia inilah yang disebut Twa-ok (Jahat Nomor Satu) bernama Su Lo Ti, nama yang berasal dari Pegunungan Himalaya, dan dia ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Koksu Nepal! Tentu saja, sebagai Twa-ok, kepandaiannya juga amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat sute-nya yang hanya menduduki tingkat Sam-ok, dan dalam hal kekejaman, kiranya tidak ada lawannya di dunia ini! Akan tetapi hebatnya, biar pun wajahnya menyeramkan dan bengis, sikap dan suaranya lemah lembut seperti orang yang sabar dan memiliki watak budiman!

Empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang kesemuanya sudah menyembunyikan diri selama belasan tahun, bertapa di tempat persembunyian mereka, menjauhkan diri dari dunia ramai itu, semua berpakaian sederhana sekali. Pakaian, cara kehidupan, dan sikap sederhana ini selalu menarik perhatian orang dan menimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang.

Benarkah semua itu yang dinamakan kesederhanaan? Kita sudah terlalu terbiasa untuk menilai segala sesuatu dari lahiriah belaka. Dan kita selalu mengejar sesuatu juga untuk kepentingan kesenangan diri sendiri dengan dasar-dasar lahiriah pula. Kesederhanaan adalah suatu hal yang menyangkut suatu keadaan rohani, keadaan batiniah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keadaan jasmaniah atau lahiriah.

Seorang pertapa boleh jadi hanya mengenakan cawat saja sebagai penutup tubuh, hanya makan sehari sekali atau kurang dari makanan seadanya, tetapi belum tentu dia itu berjiwa sederhana!

Ada orang-orang yang tampak sederhana, namun kesederhanaannya itu digunakannya sebagai pameran, memamerkan kesederhanaannya, agar semua orang tahu bahwa dia adalah orang sederhana! Kesederhanaan macam ini adalah kesederhanaan palsu, biar pun dia telah menyiksa tubuhnya sendiri, memaksa tubuhnya agar melaksanakan apa yang dianggapnya kesederhanaan.

Kesederhanaan yang diakui sendiri, dirasakannya sendiri ini hanyalah kesederhanaan pura-pura yang pada hakekatnya tak lain tak bukan hanyalah suatu kesombongan yang terselubung, suatu pamrih atau keinginan menonjolkan diri yang dibungkus dan diberi etiket berbunyi: Kesederhanaan! Kesederhanaan lahiriah yang disengaja seperti itu hanyalah merupakan daya upaya, merupakan cara untuk mencapai sesuatu belaka, yaitu: Agar orang lain tahu bahwa dia sederhana, bahwa dia suci, baik dan sebagainya yang pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa dia berpamrih agar terpandang! Dan ‘terpandang’ ini merupakan sesuatu yang menyenangkan hati! Jadi kesimpulannya adalah bahwa dia menggunakan kesederhanaan lahiriah sebagai kedok untuk mengejar kesenangan!

Ada pula orang yang sengaja hidup sederhana, bertapa di gunung-gunung dan goa goa, berpakaian setengah telanjang, jarang makan minum, menyiksa diri. Akan tetapi semua itu pun merupakan bentuk pemaksaan belaka, semua itu pun merupakan suatu jalan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu pun palsu adanya. Hanya sebagai cara memenuhi keinginannya, mencapai sesuatu dan segala yang berpamrih sudah pasti palsu adanya, tidak WAJAR!

Mungkin si pertapa yang menyiksa diri dan memaksa diri sederhana itu menghendaki sesuatu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan duniawi, bukan menghendaki harta, bukan menghendaki nama, atau menghendaki kedigdayaan yang kesemuanya adalah duniawi, bukan pula ingin memperoleh kemuliaan duniawi, tetapi menginginkan sesuatu yang dinamakannya ‘lebih tinggi’ yang pada umumnya dinamakan ‘kesempurnaan’, atau ‘kesucian’, atau ‘kebahagiaan’, bahkan ada pula yang menyebutnya Tuhan! Akan tetapi, semua sebutan itu pasti dihubungkan sebagai hal yang MENYENANGKAN!

Baik itu kesempurnaan, kebahagiaan atau lainnya, tentu digambarkan oleh PIKIRAN sebagai sesuatu YANG MENYENANGKAN, atau yang lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan dari pada yang sekarang ada padanya! Dengan demikian, kembali lagi lingkaran setan itu terbukti, bahwa yang dikejar adalah kesenangan! Baik jasmaniah, atau pun batiniah, tetap saja yang dicari-cari adalah kesenangan menurut ukuran pikiran! Karena yang selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, dengan senang susah, yang selalu mengejar-ngejar kesenangan adalah pikiran itulah!

Kesederhanaan, seperti cinta kasih seperti juga kebenaran, kebaikan, kebajikan dan sebagainya, jelas tidak dapat dilatih! Karena sesuatu yang dilatih itu berarti penekanan, berarti pemaksaan, dan sesuatu yang dilatih itu sudah pasti mengandung pamrih untuk memperoleh sesuatu! Dan kalau sudah ada pamrih, dan semua pamrih selalu berputar untuk kemudian menuju kepada pencapaian kesenangan sendiri, apakah itu dapat dinamakan kesederhanaan lagi? Kesederhanaan, seperti juga kebaikan atau kebajikan, adalah suatu keadaan, bukan suatu hal yang mati. Sekali kita merasa bahwa kita baik, maka itu bukanlah baik lagi namanya! Sekali kita menganggap bahwa kita sederhana, itu tiada lain hanyalah kesombongan yang berselubung dengan cap kesederhanaan. Kita dapat melihatnya semua ini secara gamblang di dalam diri kita sendiri kalau kita mau membuka mata setiap saat dan memandang diri sendiri.

Dan untuk mengenal apa yang dinamakan cinta kasih, kebahagiaan, keindahan, keagungan alam, apa yang dinamakan kekuasaan Tuhan yang biasanya kita hanya menerima saja dari pendapat-pendapat yang sudah ditentukan oleh kitab dan para ahli, untuk dapat mengenal itu semua secara nyata, bukan hanya teori belaka, bukan hanya harapan belaka, dibutuhkan jiwa yang sungguh-sungguh sederhana!

Dan kesederhanaan tak mungkin ada selama di situ terdapat aku yang berpamrih, aku yang ingin senang, selama terdapat pikiran yang mencari-cari hal yang menyenangkan. Batin yang hening, tidak dibikin hening dengan sengaja, melainkan batin yang hening dengan sendirinya, bukan buatan, batin yang tidak pernah mengharap, tidak pernah menginginkan sesuatu yang tidak ada, batin demikian ini yang berada dalam keadaan sederhana.

Namun sayang, sejak kecil kita sudah terbiasa oleh hal-hal yang palsu. Pendapat pendapat umum yang dibangun semenjak kita dapat berpikir, mempengaruhi kita, membutakan mata kita betapa palsunya semua itu. Kita menjadi buta dan hanya melihat hal-hal lahiriah belaka. Oleh karena itu maka kebanyakan dari kita mempergunakan hal hal lahiriah ini untuk mengelabui orang lain, yang tentu saja bersumber lagi kepada pamrih untuk menarik keuntungan lahir batin sebanyaknya, pamrih untuk mengejar kesenangan pribadi

.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum