JODOH RAJAWALI : JILID-42


Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri sang jenderal sendiri tidak mengenal kepalsuan ini. Mereka saling bercakap tentang lolosnya Puteri Bhutan, dan Swi Hwa sebagai Jenderal Kao menyatakan dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu.

Akan tetapi keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu, atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ketiga, yaitu Kao Kok Han, untuk mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa keluarga Kao.

Semua yang diketahui dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya kemudian dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu lantas menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembantu mereka karena Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai, terutama dari golongan hitam untuk membantunya.

Dan sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka pangeran dan koksu memaafkan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka sebagai pembantu dan sekutu…..

********************

“Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?” Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu.

“Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum.

Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya, memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat.

“Nah, itulah mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat.

Syanti Dewi juga ikut memandang, dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kapal yang amat indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas hingga dari jauh tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita.

“Tocu telah pulang!” Mereka berseru dengan girang dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau).

Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh keempat orang wanita itu menuju ke kapal besar.

Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah.

“Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku, dan kalian harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.”

Semua orang yang masih berlutut itu cepat memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut, “Siocia!” dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali.

Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul. Ia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima penghormatan itu.

Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situ pun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka segera sibuk melayani sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan.

Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah dari pada yang dipakainya tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakaian yang serba baru! Pakaian itu adalah pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.

Kemudian Sang Puteri Bhutan dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu. Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah lezat oleh masakan di restoran-restoran besar. Sekarang tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, juga amat kaya raya!

Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus berlayar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur.

Syanti Dewi baru merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa diusik mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur!

Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya, begitu dia duduk datanglah seorang pelayan yang berkata dengan sikap hormat dan suara halus, “Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?”

“Dingin saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.

“Sudah siap di kamar mandi, Siocia.”

“Ke manakah perginya... Tocu?”

“Tocu sudah menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.”

Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan.

Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan bagi dia amat bagusnya, dia berseru, “Ahh, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?”

“Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pelayan dengan tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.

Syanti Dewi cepat-cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberi hormat. “Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sambutan.”

Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main.

Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga dalam dongeng saja!

Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Mereka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau prajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.

“Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini. Enak makan di sini, mandi cahaya matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!”

Syanti Dewi menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.

“Terima kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman untuk puteri itu.

Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui.

“Enci, apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi bertanya.

Wanita cantik itu tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti.”

“Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?”

Wanita itu mengangguk. “Begitulah. Pulau ini kosong tiada orangnya, dan punghuninya hanyalah ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah lewat belasan tahun, kau lihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia.”

“Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan... menurut ceritamu, kau pernah bersuami... ehh, apakah kalian dulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga... ataukah yang kau maksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?”

Ouw Yan Hui tersenyum geli. “Ahhh, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!”

“Tapi... tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun...”

Ouw Yan Hui mengangguk. “Sudah tujuh belas tahun.”

Syanti Dewi terbelalak. “Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan tahun, Enci...”

“Ketika pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh dua tahun.”

“Ahhh...! Tapi... tapi...“ Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.

“Kau kira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.”

”Tidak mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru.

Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, malah hampir tertawa. “Baru melihat aku saja engkau sudah terheran-heran, apa lagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.”

“Siapakah Bibi Maya?”

“Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti.”

Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat di Kim-coa-to.

Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya itu. Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali, merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.

Benar saja seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman.

Hanya satu hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, bahkan pernah pula mengandung dan melahirkan!

Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia dilatih untuk bersemedhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana cara dia harus mengerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu.

Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar ngejarnya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, Syanti Dewi dapat menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan beberapa kali loncatan saja!

Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!

“Aihh, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak punya sayap seperti burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan.

“Kau lihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Aku akan menangkap burung-burung itu!”

Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas, dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi melihat bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat turun dan tahu tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun pohon itu!

“Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru.

“Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!”

Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama berlatih menangkap kupu-kupu, tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh lebih gesit dan cepat itu!

Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih semedhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu!

“Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasar dasar ilmu silat tinggi dari pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.”

Mulailah Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali. Seperti dua orang peri laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi!

Tanpa disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biar pun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular kepada Syanti Dewi!

Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang sangat rindu akan belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju…..

********************

Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di tempat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es!

Jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih terkenal dari pada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.

Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga merasa amat bahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suami dan madu mereka.

Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan tergantung dari pada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapa pun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya!

Oleh karena itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguh pun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi.

Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran

.

Demikian pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai mau pun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es yang amat sunyi itu, tetap saja bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka sudah mulai tua itu.

Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah pulang!

Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meninggalkan Pulau Es bersama adiknya itu, tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Sekarang, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.

Apa lagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang telah enam tahun tak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, tetapi mereka menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami mereka dengan wajah muram.

Ketika pada suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping.

“Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,” katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam terhadap kedua orang isterinya itu.

Setelah melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan.

“Kami besok hendak pergi meninggalkan pulau,” tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.

“Kami harus pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,” Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang. “Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai menantu.”

“Hemmm..., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?” Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran.

“Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!” Lulu berkata.

Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. “Baiklah, nanti kita bicarakan hal itu, untuk itu kalian tidak perlu mogok makan, membahayakan kesehatan sendiri.”

Dua orang isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu.

Setelah selesai makan dan ketika dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es, karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan.

Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya berbahagia!

Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia mau pun kedua orang isterinya mau melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih terikat, terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, tentu akan terjadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak boleh membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri!

Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin mempergunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenangan bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita, lalu kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak yang dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan!

Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan konflik dan kesengsaraan tiada hentinya. Karena perumusan kita tentang bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya mendatangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka.

Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak anak kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali takkan membiarkan anak-anak kita berperang! Saling bersaing dalam sekolah, lalu saling berebutan dalam mencari nafkah, juga saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita mengajarkan semua itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita!

Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka, bukan memaksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak!

Semalam suntuk Pendekar Super Sakti bersama dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka.

“Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa,” kata Pendekar Super Sakti antara lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh mereka masing masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka.”

“Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ahh, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa apa dengan dia.”

“Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,” Lulu juga membantah. “Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum sesat. Biar pun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.”

“Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han memandang kepada burung itu dengan terharu.

“Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini kau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” berkata pendekar ini sambil menepuk-nepuk punggung burung itu yang mengeluarkan suara menguk-nguk seperti seekor anjing setia.

“Hati-hati dalam perjalanan!” kata Nirahai.

“Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu.

Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas punggung burung rajawali.

“Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.”

Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan.

Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti kembali merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu! Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depan matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan diri dari dunia ramai?

Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar muda dan gagah seperti dua orang puteranya itu.

Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali itu terengah engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun sehingga beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan.

Pada suatu hari, pada waktu burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, kemudian dia meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan penduduk dusun itu.

Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang yang erat-erat.

“Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?” tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu.

Baru sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia yang agaknya hendak bertempur, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan.

“Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.

“Nenek siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han dengan heran.

“Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka tengkorak itu!” berkata pula si pemegang tombak. “Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusunnya. Kami hendak membunuh nenek siluman!”

“Nanti dulu, sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andai kata ada setan, masa dia keluar di siang hari? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?” tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi kesalah pahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh orang.

Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang sangat aneh itu, kepala dusun dan orang orangnya agaknya jeri juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang?

Karena jeri, kepala dusun kemudian bercerita, “Seorang anak dari dusun kami sedang menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh nenek siluman itu.”

Diam-diam Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.

“Di manakah nenek itu?” tanyanya.

“Di tengah hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan.

“Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu lembu itu!”

Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah merasa ngeri dan jeri mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu.

Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu.

Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok, kedok tengkorak asli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.

Dengan sikap tenang, Suma Han melangkah dan menghampiri tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu, satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguh pun belum hancur seperti yang seekor itu.

Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada hal-hal yang menyebabkan nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andai kata dia membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter.

Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, tapi agaknya nenek itu tak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan otak, dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak.

Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak asli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti itu?

Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak asli di depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.

Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus, “Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?”

Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan, kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh, “Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!”

Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!

“Kalau mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus.

“Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!”

Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya!

“Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?”

“Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya dibunuh, tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama itu, biarlah kau lewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!”

Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.

“Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?”

“Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nionio, ha-ha-ha!”

Suma Han mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang kedua dari Im-kan Ngo-ok. Ahhh, pasti hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sendiri itu kini turun ke dunia ramai!

“Hai, kau ini siapakah?” Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jeri kepadanya.

“Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa apanya yang patut diperhatikan!” jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu!

“Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!” Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung.

Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.

“Cusssss...!”

Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu!

Tentu saja setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.

“Wirrrrrrr...!”

Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, kemudian mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu benar benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang!

“Siapakah engkau?!” bentaknya.

Suma Han kembali menarik napas panjang. “Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,” jawabnya tenang.

“Kau... rambutmu putih, kaki kirimu buntung, kau... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...?” Ji-ok berseru kaget bukan main.

“Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?”

Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok.

Nama lima orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik kedua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik kedua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang kedua saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apa lagi orang yang pertama!

Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan.

“Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!” kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus.

Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di atas pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau.

Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata, “Sobat, apakah engkau hendak bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!”

Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biar pun dia bersikap lembut dan bersuara halus, tapi di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali. Biar pun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawannya sebelum berhadapan secara langsung…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum