JODOH RAJAWALI : JILID-43
“Ha-ha-ha, burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?” katanya dan dia cepat menggerakkan kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya dengan tubuh agak membongkok.
Burung rajawali yang sedang terbang itu tertahan terbangnya. Biar pun dia menggerak gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, akan tetapi burung itu tetap saja tidak mampu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali yang tidak nampak!
“Ha-ha-ha, burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!” Kakek bermuka gorilla itu menggerak-gerakkannya jari tangannya ke arah burung yang tidak mampu terbang pergi dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan sayapnya jatuh berguguran ke bawah.
Pada saat itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan mereka lupa akan takutnya.
Tiba-tiba Ji-ok berseru, “Eh, Twako, apa yang kau lakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau telah dipermainkan orang!”
Mendengar ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkang-nya dan mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah melemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!
“Hemmm...!” Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu ditahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andai kata burung rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu rajawali itu sudah tewas!
Pada saat Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka. Keduanya kaget bukan main. Bagaimana mungkin seorang berkaki buntung sebelah bisa bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah mempergunakan kesaktiannya untuk menghadapi mereka.
Pada saat mereka berdua menoleh, ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni dusun, membelakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat-cepat menjura dengan hormat ke arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia harus melindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar.
“Aihhh, sudah puluhan tahun kami mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es, dan ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak muncul di dunia kang-ouw, kini begitu muncul telah memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak dipertunjukkan di tempat yang keliru?” Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguh pun dia telah terpedaya.
Suma Han hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh. “Aku pun telah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh mengherankan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang tersohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan binatang binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak mencelakai burung rajawali?”
“Wah, bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?”
Twa-ok menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, ketika dia mengangkat kedua tangannya tiba-tiba ada hawa pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han! Sejak tadi memang Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan, menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu dengan ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, mengerahkan Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu. Tongkat di tangan kiri Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tongkat di tangan kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin!
Perlu diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah mencapai tingkat yang hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin.
Orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka merasa betapa ada hawa yang panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka. Dan ketika mereka berdua mengerahkan tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han mengeluarkan suara menggetar dari dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas. Kedua orang datuk kaum sesat itu terkejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Batu yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya ujung tongkatnya menumbuk batu.
“Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali kali untuk bermusuhan dengan siapa pun juga, tapi untuk mencari putera-puteraku dan mengajak mereka pulang. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan orang-orang menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!”
Ucapan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya, maka cepat mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga ketika mereka memandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan menimbulkan rasa jeri di dalam hati mereka.
Twa-ok bukan seorang bodoh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi pertandingan, belum tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ, tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang dan mengeroyok. Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum tiba saatnya untuk mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan seorang tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian hormat yang wajar.
“Maaf, maaf, kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!” Dia mengangguk-angguk. “Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi kalau Taihiap bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es.”
Mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik. “Siluman Kecil? Siapa yang kau maksudkan?”
“Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu? Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biar pun usianya masih muda namun rambutnya sudah putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?”
Suma Han hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kini di dunia kang-ouw Suma Kian Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut puteranya itu telah menjadi putih semua!
“Dia tidak mungkin mau pulang setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara cantik jelita...” Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia memperhatikan wajah pendekar itu.
Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak ‘membaca’ keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya.
“Kalau kau hendak memberi tahu, segera lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan keterangan apa pun darimu, Twa-ok.”
Wajah kakek bermuka gorilla itu menjadi merah karena malu. “Dia ke mana pun berdua dengan Nona Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka itu saling mencinta... ha-ha-ha, begitulah orang muda.”
Mendengar ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah bidikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak.
“Twa-ok, mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!” Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok menggeleng kepalanya.
“Ji-moi, engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah, akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang dusun itu.”
Kakek bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh kepala dusun itu, kemudian menjura sambil berkata, “Kami mohon maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang sudah hidup serba kekurangan. Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga delapan ekor lembu ini...“ Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletakkannya di atas batu dekat bangkai bangkai lembu. “Dan daging-daging tembu ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta.” Dia lalu menghampiri bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut perut lembu yang gemuk. “Lembu gemuk, daging lezat...“ katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuknya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok, “Ji-moi, hayo kita pergi!”
Tanpa pamit lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang telah dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi orang-orang dusun itu apa bila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu menyerang mereka.
Melihat kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja lembu-lembunya diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup banyak untuk pengganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging lembu!
Maka dia lalu berseru, “Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!”
Para penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twa-ok tadi menaruh beberapa potong uang perak.
“Jangan sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang antara mereka denngan bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu.
Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka monyet, ternyata malah orang-orang yang amat baik, karena biar pun telah membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi selain lembu lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya yang akan merampas atau merampok uang dan daging lembu itu!
“Orang tua, apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?” Kepala dusun bertanya dan dia sudah memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah mempersiapkan senjata mereka.
Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apa lagi menghadapi kakek berkaki buntung sebelah ini! Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung ini dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada seorang pun yang mengetahui, dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang biasa saja.
Ditegur seperti itu, Suma Han menarik napas panjang. “Ahhh, kalian tidak tahu akan bahaya yang mengancam nyawa kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan tewas. Dan bangkai-bangkai lembu itu pun telah mengandung racun.”
Semua orang terkejut akan tetapi tidak percaya. “Bohong... bohong...! Dia ingin memiliki sendiri semua itu!” terdengar mereka berteriak-teriak.
Suma Han melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas cabang pohon yang berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu berkata, “Kalian lihatlah sendiri!”
Dia menggunakan tongkatnya mencongkel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor burung gagak cepat menyambut daging itu dan memperebutkannya. Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung itu tiba tiba berkaok nyaring, lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah, berkelojotan dan mati!
Semua orang terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka pucat.
“Daging lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang berada di situ.”
Kini kepala dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar, kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam lubang besar dan menutupnya dengan tanah. Sementara itu, Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang perak itu dan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau!
Setelah ‘membakar’ racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang perak itu ke atas batu sambil berkata, “Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian melihat dua orang itu atau seorang di antara mereka, lebih baik kalian menyingkir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!”
Melihat kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut dan kepala dusun itu berseru, “Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami ingat.”
Suma Han menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata, “Aku hanya seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung.” Setelah berkata demikian, dia melangkah terus, diikuti pandang mata para penduduk dusun itu dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang itu lenyap dari pandang mata mereka.
Seperti kita ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran Nepal melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Saking jengkelnya karena tidak juga berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji itu mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andai kata tidak secara kebetulan Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan menjadi korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan Ngo-ok itu.
Suma Han telah memanggil burung rajawalinya dan sekarang dia sudah melanjutkan penerbangannya untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar benar menggores di hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu kini berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang.
Apa yang telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua dan berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya. Akan tetapi ketika dia teringat berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah!
Ketika Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biar pun Suma Han adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia bergidik juga.
Ji-ok si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biar pun jahat dan keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik, lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh semua orang dusun itu secara sangat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik, memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, tetapi ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun.
Akan tetapi segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee? Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya, yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana tidak lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja. Dan sekarang dia sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang tentu akan lebih mudah dicari dari pada mencari Suma Kian Bu, karena tentu orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu dari pada nama aslinya.
Andai kata Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu tidak mengetahuinya…..
********************
Kita tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu, pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu.
Seorang pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda ini kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso.
Ketika dia memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya.
Masuknya pemuda ini ke rumah makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus, namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin.
Akan tetapi, orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya.
Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman. Semua ini dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa.
Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya.
Dia sama sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya enam orang itu memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman, kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda itu lalu melangkah keluar rumah makan.
Pada saat dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih dengan nada suara mengancam, “Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan ikut bersama kami!”
Pemuda itu bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang diculik orang. Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan berita penangkapan atas dirinya itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau.
Saking khawatirnya karena melihat betapa keluarganya yang terculik secara aneh masih belum diketahuinya nasibnya dan sekarang bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya dengan kembali ke goa singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya.
Baru setelah enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa dia berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biar pun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam dan suara tenang dia menghampiri mereka dan berkata, “Siapakah kalian? Apa sebabnya kalian hendak menangkapku?”
“Tidak perlu banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara, dengan majikan kami,” kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya bengis sekali.
Kok Han mengerutkan alisnya, sikapnya masih tenang. “Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau aku tidak sudi menyerah?”
“Bocah sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!” bentak si muka hitam sambil meraba gagang goloknya, sikapnya kereng sekali.
Kini Kok Han menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya, dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apa lagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak.
“Penjahat-penjahat hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apa lagi terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!” Dia berseru dengan keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke depan.
Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu dari pada menghadapi serangan pemuda itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas tanah. Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat. Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang, dan seperti biasanya setiap kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja hingga tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang menonton.
Biar pun dua orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang, namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh pemuda ini sehingga jatuh bangun.
Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri. Namun Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu.
Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima tua yang menjadi musuh besar ayahnya karena ayahnya pernah membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat! Dia maklum bahwa campur tangan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek.
“Hemmm, kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Ehh, bocah she Kao, di mana adanya ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?”
Tentu saja Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat, “Kakek tua bermulut busuk! Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia lalu berkata keras, “Ahhh, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biar pun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat, kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak pula dengan menghina seorang panglima?”
“Manusia she Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?” Kok Han kembali membentak, makin marah.
“Cu-wi sekalian mendengar betapa bocah ini sudah menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!” Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok Han!
Kao Kok Han maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi. Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah pundaknya, dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu.
“Ehhh!” Kok Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu, sambil tertawa kakek itu sudah menendang.
Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget. Dia terpaksa menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah mencabut pedangnya.
Kakek itu memandang sambil tersenyum lebar. “Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh orang? Nah, majulah!”
Hati yang diliputi kedukaan dan kekhawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini menantangnya, biar pun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan main. Orang yang marah lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang yang dibencinya.
Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang.
“Tar-tar-tarrr...!”
Tiga kali ikat pinggang cambuk itu meledak. Pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya, malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil mengusap pangkal lengan kanannya dan juga pundaknya yang berdarah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main lihainya permainan cambuk kakek itu!
Panglima Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya semenjak rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami penurunan pangkat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao. Akan tetapi karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat berbuat apa pun juga. Kini dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai pengganti Jenderal Kao seenaknya karena bukankah banyak saksinya betapa pemuda itu menghinanya?
Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena mempertahankan kehormatan masing-masing! Dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang hendak memberontak! Kalau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap Jenderal Kao Liang!
“Ha-ha-ha, bocah pelarian sombong! Bocah hijau macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah tujuh turunan tidak akan berani melawanku lagi, baru aku akan mengampunimu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Kok Han cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambukan ketiga mengenai lengan kanannya yang memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak melepaskan pedangnya, apa lagi harus berlutut minta ampun!
“Manusia hina, lebih baik seribu kali mampus dari pada menyerah kepada pembesar durna macam engkau!” Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor harimau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi.
“Tar-tar-tar-suuuuuttttt...!”
Karena jari-jari tangannya yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergelak dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah!
Kok Han terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas tanah!
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu sekarang meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat. Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan.
Melihat kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas, sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar cambuknya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung cambuknya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak.
Akan tetapi, begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk menotoknya, mendadak cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot, akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu telah dipegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak berusia dua puluh empat tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut dan wajahnya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan api.
“Siapa kau? Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan Panglima Chang?” bentaknya sambil dia mencoba membetot cambuknya sekali lagi.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu! Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan tangan wanita itu.
“Plakkk!”
“Ahhh!” Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah gerakan dan menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangannya menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!
“Jahanam busuk, berani kau mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu, akan tetapi biarlah kuambil dulu kedua telingamu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu segera meledak-ledak di udara saat diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah bukan main.
“Bangsat perempuan, engkau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah cepat mencabut pedangnya.
Akan tetapi, wanita cantik itu menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah seperti kilat cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.
“Prattt! Aduhhhhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap telinganya. Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi!
“Dan sekarang telinga kananmu!” Wanita itu membentak dan kembali cambuknya menyambar.
Chang-ciangkun sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan main, dan kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat saja, ujung cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan.
“Prattt! Aughhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk dapat menggunakan tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah bercucuran dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus.
Cambuk itu masih meledak-ledak di udara. “Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu kusayat hidungmu?” Wanita cantik itu mengancam dengan suara bengis.
Mendengar ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa nyawanya berada di tangan wanita itu.
“Sudah, isteriku, jangan bunuh dia!” tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia menarik napas panjang dan membuang cambuknya.
“Twako...! Twaso...!” Kok Han berseru dengan girang bukan main.
Tadi pada saat dia melihat twaso-nya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan menghajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa girang bukan main. Sekarang melihat munculnya kakaknya, tentu saja dia amat girang, melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil mereka.
“Mari kita pergi dari tempat ini,” kata Kao Kok Cu dengan tenang.
Tanpa mempedulikan Panglima Chang yang masih berlutut sambil menangis, dan para penonton yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya bermalam.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya, yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pimpinan Puteri Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan.
Mereka mulai melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang. Tentu saja nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu.
Setelah mereka tiba di rumah penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka. Dia cepat memberi obat kepada adiknya dan Kok Han lalu berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan di lembah.
“Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak ipar kedua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah.”
Kao Kok Cu mengepal tinjunya. “Mari kita serbu ke sana!” teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi.
Anak mereka diculik orang, belum juga berhasil mereka temukan, dan sekarang semua keluarga suaminya ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apa lagi dia pernah menjadi murid dari Ban-tok Mo-li, maka begitu kini dilanda duka yang bertubi-tubi, kekerasan hatinya pun muncul kembali sehingga tadi dia memberi hajaran yang ganas sekali kepada Chang-ciangkun. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biar pun hatinya juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan nada suara halus dan tegas, “Kita pergi menghadap Puteri Milana lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang mencurigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.”
Maka pada hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentara yang hendak dipimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Hati Puteri Milana girang sekali ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng.
“Kau... Ceng Ceng...?” seru puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu. “Akan tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?”
Berjumpa dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang ramah, hampir saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka tidak patutlah kalau sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.
“Ahh, dan engkau adalah Kao-taihiap yang dahulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!” kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang menimbulkan rasa kagum di hatinya itu.
“Paduka terlalu memuji,” kata Kao Kok Cu. “Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang membawa berita tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami mengambil keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk...“
“Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah masih keponakanku, maka engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak saja. Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng.”
Melihat sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga tentang putera mereka yang juga lenyap diculik orang.
Puteri Milana menarik napas panjang dan memotong, “Aihhh, demikianlah memang kehidupan orang-orang gagah dan orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh dan sewaktu-waktu tentu ada saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita. Sungguh aneh sekali, siapa orangnya yang begitu berani menculik keluarga yang demikian banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian dari Gurun Pasir! Sungguh berani mati sekali!”
“Bukan itu saja, Bibi,” kata Ceng Ceng. “Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan menceritakan bahwa ayah mertuaku dan adik Kok Tiong juga terpaksa pergi mengikuti musuh karena mereka membawa bukti bahwa keluarga Kao telah mereka tawan.” Lalu Kok Han menceritakan kembali pengalamannya kepada Milana yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu berkata kepada Milana, suaranya sungguh-sungguh.
“Sebetulnya, urusan keluarga kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani mengganggu Bibi yang sudah cukup repot menanggulangi para pemberontak dengan tugas Bibi yang mulia itu. Bahkan kami sendiri, mendengar akan adanya usaha pemberontakan, tanpa diminta tentu akan membantu Bibi sekuat tenaga, kalau saja tidak ada urusan pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa ada pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau memang para penculik itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka menawan semua keluarga, tidak membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan keadaan lembah itu sungguh mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi.”
Milana mengangguk-angguk. “Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu. Setelah memimpin pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan menyelidiki ke lembah itu.”
“Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha mulia Bibi itu karena kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik saya Kok Han ini kiranya akan dapat menyumbangkan tenaganya, mewakili ayah untuk membantu Bibi menghadapi para pemberontak.”
Kok Han yang memang sebetulnya telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah, “Semenjak muda ayah telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela negara, maka karena kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah untuk membela negara, Bibi Milana. Harap bantuan saya yang tidak berharga ini dapat diterima.”
Milana memandang kagum dan mengangguk-angguk. “Keluarga Kao memang terkenal keluarga gagah perkasa dan setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali istana tidak sadar akan hal ini dan tenaga sehebat itu kini dihentikan dan dikeluarkan dari istana. Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami.”
Setelah meninggalkan Kok Han bersama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana menghadapi pemberontak, Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja, menuju ke lembah untuk melakukan penyelidikan lebih dulu. Mereka memang sengaja meninggalkan Kok Han di kota raja bersama Milana, bukan hanya memberi kesempatan kepada adik itu untuk ikut membela negara menghancurkan pemberontak, akan tetapi juga karena mereka berdua akan lebih leluasa untuk melakukan penyelidikan berdua saja, mengingat bahwa tingkat kepandaian Kok Han belum dapat diandalkan untuk menghadapi lawan-lawan yang tangguh.
Kao Kok Han lalu ikut bersama Milana untuk menyusun dan menggembleng pasukan pasukan yang akan dipimpin untuk menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal Kao ini oleh Milana diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana sengaja melaporkan tentang putera Jenderal Kao yang membantu ini dan pangeran mahkota menerima laporan dengan girang.
“Memang ayahanda kaisar lemah sekali, mau mendengarkan omongan dan bujukan pembesar-pembesar khianat sehingga Jenderal Kao yang gagah perkasa menjadi korban. Kalau saja tidak terjadi hal itu, kalau saja Jenderal Kao masih bertugas di sini, kiranya pemberontakan itu tidak akan sampai berlarut-larut dan sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat. Sekarang puteranya ikut mewakili ayahnya membantu, sungguh menggirangkan hatiku!” kata pangeran itu.
Beberapa hari kemudian, Milana sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah bersiap-siap untuk memimpin pasukannya, secara tidak terduga-duga muncullah Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li!
“Enci Milana...!” begitu menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu berseru dengan suara girang sekali karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya itu.
Sejenak Milana tertegun, memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di depannya itu. Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari kursinya, berlari menghampiri pemuda itu.
“Bu-te...! Kian Bu... benar-benar engkaukah ini...?”
“Enci Milana...!”
Milana merangkul adiknya, mereka saling berangkulan untuk menumpahkan rasa rindu masing-masing. Enci dan adik sekandung ini saling pandang dan di kedua mata Milana nampak air mata membasahi matanya.
“Kian Bu... kau... kenapakah kau? Rambutmu ini...“
Kian Bu tersenyum dan melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan. “Enci, lupakah Enci bahwa rambut ayah juga putih semua?”
“Tapi... tapi ayah...“
Milana sudah mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena penderitaan hati yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah dia akan keadaan adik kandungnya ini, tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu dengan Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti ditusuk rasanya dan kembali dia melangkah maju dan merangkul leher adiknya sambil memejamkan mata supaya jangan sampai air matanya keluar.
“Enci yang baik, apakah buruknya rambut putih?” Kian Bu berkata untuk menghibur hati enci-nya, tetapi kata-kata itu bahkan dirasakan seperti menikam hati wanita perkasa itu.
“Aihhh, sungguh mengharukan sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang mencinta dan adiknya...“
Mendengar suara wanita yang nyaring dan bernada seperti mengejek ini, Milana cepat melepaskan rangkulannya dan memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya datang bersama seorang dara berpakaian hitam yang amat cantik jelita, akan tetapi pertemuannya dengan adiknya itu membuat dia lupa kepada dara itu dan kini setelah dara itu mengeluarkan suara yang demikian mengejek, dia cepat memandang dengan alis berkerut, sinar matanya tajam menyambar dengan penuh selidik kepada dara yang berdiri dengan sikap tenang dan lagak yang angkuh itu.
Memang Hwee Li, dara itu, marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang demikian mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia, seolah-olah dia tidak ada di situ! Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek tadi. Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa artinya takut, apa artinya sopan santun. Biar di dalam istana sekali pun, di depan kaisar sekali pun, dia tetap akan mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya melalui mulut tanpa sungkan sungkan dan ragu-ragu lagi…..
Komentar
Posting Komentar