JODOH RAJAWALI : JILID-44


Kian Bu yang juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat memperkenalkan gadis itu kepada enci-nya. “Enci, dia ini adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo...“

“Ehhh...? Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kau ajak dia ke sini, Bu-te?” Milana menjadi merah mukanya dan matanya melotot memandang kepada Hwee Li, siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu.

“Dia... dia bukan musuh, Enci, bahkan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko. Dia adalah sahabat baikku, Enci, dan dia bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maksudku bukan anak kandungnya, hanya anak angkat...“

“Anak angkat pun bukan, bahkan tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu kandungku!” Hwee Li melanjutkan.

Agar jangan menimbulkan salah sangka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu cepat-cepat menceritakan semua hal mengenai Hwee Li kepada enci-nya, betapa dia pernah tertawan di dalam benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia menceritakan tentang keadaan di dalam benteng lembah. Dalam penuturan ini, Hwee Li yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga menambah cerita Kian Bu dan setelah bercakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah seorang dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pemberani dan tidak suka untuk berpalsu-palsu dengan sopan santun buatan.

Ketika mendengar keadaan di dalam benteng lembah, Milana sangat terkejut. Betapa benteng itu dibangun oleh Jenderal Kao yang dipaksa oleh karena seluruh keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga turut tertawan di lembah dan mereka telah gagal dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Syanti Dewi.

Akan tetapi yang paling mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi benteng amat kuat itu. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian Cu, keturunan dari Pangeran Liong Khi Ong yang memberontak, sekarang telah mengumpulkan orang-orang sakti dan memaksa Jenderal Kao membentuk barisan amat kuat di benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa keadaannya benar-benar amat gawat.

“Ah, sungguh celaka! Kiranya keturunan dua orang Pangeran Liong yang memberontak itu telah menimbulkan pemberontakan pula yong lebih berbahaya. Karena benteng itu didirikan di antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya jadi lebih berbahaya dari pada pemberontakan kedua pangeran Liong beberapa tahun yang lalu. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga baru saja datang melapor, maka sebaiknya kalian berdua juga cepat pergi menyusul mereka, membantu mereka yang menyelidiki lembah. Aku akan mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan untuk menaklukkan Gubernur Ho-nan karena dari sanalah sumbernya tenaga bantuan kepada para pemberontak.”

Kian Bu dan Hwee Li tidak lama tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk kembali ke lembah, untuk membantu Kok Cu dan Ceng Ceng karena mereka pun maklum bahwa tempat itu sangat berbahaya, membutuhkan bantuan orang-orang sakti dan juga membutuhkan serbuan pasukan yang kuat sekali untuk dapat menghancurkan pemberontakan-pemberontakan dan juga menyelamatkan semua orang yang tertawan di situ.

Setelah kedua orang muda itu pergi, Milana kemudian mengirim utusan, cepat-cepat memberitahukan kepada suaminya tentang keadaan yang berbahaya itu. Dia menulis surat kepada suaminya, menceritakan semuanya dan mengharapkan suaminya untuk turun tangan pula membantu, agar suaminya langsung menuju ke lembah karena dia hendak memimpin pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu…..

********************

Pagi yang amat sunyi di tepi Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk di atas batu-batu besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu sebesar kerbau yang halus dan keputihan. Bagian tepi sungai ini sunyi sekali, karena jalan menuju ke situ tertutup oleh semak-semak belukar dan hutan-hutan yang lebat. Sudah lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri itu berada di tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai tempat melewatkan malam ini dapat nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat. Mereka berdua bercakap-cakap.

Semenjak terjadinya peristiwa penyerbuan, kini tembok benteng itu oleh Pangeran Liong Bian Cu diperkuat penjagaannya, tidak hanya penjagaan di setiap pintu gerbang dan perondaan di sepanjang tembok benteng, akan tetapi juga di atas tembok dipasangi alat-alat rahasia, jebakan-jebakan dan juga banyak disembunyikan pasukan-pasukan panah dan orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata musuh. Suami isteri ini telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Ceng Ceng sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi. Suaminya mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang. Mengapa suaminya belum juga mau menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua berada di dalam benteng itu?

“Kalau menyelinap secara diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu gerbang. Apa sih sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita sudah berada di dalam, kita akan bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau mereka mau diajak bicara baik-baik, kita tuntut dibebaskannya seluruh keluarga, kalau mereka berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!” Ceng Ceng berkata sambil duduk di atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah tembok benteng, kini memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak sabar lagi untuk lebih lama menanti.

Kok Cu menggeleng kepalanya. “Isteriku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan seluruh keluarga terancam, amat tidak bijaksana kalau kita menggunakan kekerasan begitu saja. Memang tentu mudah bagi kita untuk menyerbu masuk, akan tetapi kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh, dan banyak pula terjaga oleh orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat membebaskan semua keluarga ayah itu? Sebelum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam keselamatan keluarga ayah, apa yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar. Kita menanti kesempatan baik, kalau ada di antara anggota pasukan yang keluar dan dapat kita tangkap, kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan sehingga kita dapat melakukan tindakan yang tepat.”

Ceng Ceng hendak membantah, tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika Ceng Ceng mencurahkan perhatian, dia pun kemudian mendengar suara yang mencurigakan di sebelah belakang, dari dalam hutan kecil yang lebat itu. Suami isteri ini masih duduk dengan tenang, akan tetapi waspada dan semua syaraf di tubuh mereka menegang. Keduanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok benteng itu memang amat kuat dan cermat sehingga agaknya kehadiran mereka telah diketahui oleh pihak musuh!

Dugaan mereka ini ternyata benar, segera terdengar suara sebelum orangnya nampak. “Ha-ha-ha, Ngo-te, sungguh akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya dua orang laki-laki dan wanita muda di sini. Sepasukan orang saja cukup untuk menangkap mereka, mengapa mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini namanya menangkap dua ekor ikan teri menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!”

Lalu terdengar suara kedua, suara orang yang agaknya malas bicara, “Su-ko, kuku ibu jari perempuan itu untukku!”

“Ha-ha-ha, dia cantik juga, Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!”

Ceng Ceng dan Kok Cu masih duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat. Mereka berdua terkejut. Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepatnya, suami isteri ini maklum bahwa yang datang bukanlah orang-orang biasa, melainkan dua orang yang termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali, bukan tokoh-tokoh kang-ouw umum saja yang mampu bergerak seperti itu. Maka suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran karena yang berdiri di depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk tubuhnya.

Yang seorang amat jangkung hingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah termasuk seorang pria yang tinggi, agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek jangkung itu! Dan yang seorang lagi, yang kepalanya gundul, berpakaian hwesio, adalah seorang yang amat gendut akan tetapi juga amat pendek, begitu pendeknya sehingga paling-paling sampai di dada Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu jangkung dan seorang hwesio pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat berlawanan, yang seorang tinggi kurus dan yang kedua gendut pendek.

Sebaliknya, Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu sama sekali tidak mengenal suami isteri itu, karena biar pun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan sebagai seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya jarang sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir. Ketika melihat betapa cantiknya Ceng Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Siansu dan dia sudah memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu jari tangan Ceng Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik itu.

“Su-ko, aku tidak tahan lagi. Kau lihatlah pertunjukan yang menarik!” kata si jangkung dengan suara serak. Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa dia dengan cara sadis memperkosa wanita di depan Su-ok, kemudian mencabut kuku ibu jari wanita yang telah diperkosanya lalu dibunuhnya.

“Heh-heh-heh, senang sekali, aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?” tanya si gendut pendek kepada Kok Cu. Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan dipaksa menyaksikan isterinya diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si jangkung.

Tetapi Kok Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan apa-apa, juga Ceng Ceng hanya berdiri memandang si jangkung, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kilat dan diam-diam Ceng Ceng sudah mengerahkan tenaganya yang mukjijat dan kedua tangannya yang berkulit putih halus itu tanpa diketahui orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengandung Ilmu Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)!

Tiba-tiba si jangkung melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya, “Berhati hatilah.” Lalu suami ini malah menyingkir dari samping isterinya.

Ceng Ceng berdiri dengan kedua kaki terpentang dan sepasang matanya tidak pernah meninggalkan si jangkung yang memandang kepadanya dengan mata seperti terpejam. Setelah jarak di antara mereka tinggal kurang dari dua meter, si jangkung berhenti dan kedua mata sipit itu bergerak-gerak mengamati tubuh Ceng Ceng dari atas ke bawah, lalu dia mengangguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang melangkah dan tubuhnya bergerak, tahu-tahu ada dua lengan panjang sekali menyambar dari kanan kiri, menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng!

Ngo-ok yang jangkung itu tentu saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa wanita cantik yang menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan menyerah dan dapat dipeluknya. Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini benar-benar kecelik sekali. Wanita cantik yang ditubruknya dengan menggunakan dua lengan panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur, bahkan Ceng Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada dan lambung Ngo-ok!

“Wuuuttttt...!”

Melihat pukulan yang mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan itu, Ngo-ok terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan yang mengandung racun amat hebatnya. Tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini. Dia mengeluarkan suara teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya ditarik pula untuk melindungi tubuhnya.

“Duk! Dukkk!”

Kedua lengan Ceng Ceng dapat ditangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung terlempar ke belakang dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat itu, Ceng Ceng sudah melangkah maju pula dan melancarkan pukulan-pukulan saktinya.

“Aaahhhhh...!”

Si jangkung kaget setengah mati dan cepat dia sudah berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng yang menjadi agak bingung juga melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu.

Melihat ini, maklumlah Su-ok bahwa orang-orang muda yang disangkanya lemah ini ternyata adalah orang-orang pandai. Mengertilah dia sekarang mengapa koksu telah memerintahkan dia dan Ngo-ok untuk menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia pun sudah meloncat ke depan Kok Cu, tubuhnya berjongkok dan karena tidak ingin membuang waktu untuk segera merobohkan laki-laki berlengan buntung lalu membantu Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah menggunakan Ilmu Pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.

Angin pukulan dahsyat disertai bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi pendekar sakti ini bersikap tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat, tiba-tiba lengan kiri yang buntung, yang hanya tinggal lengan bajunya saja itu segera bergerak menyambar ke depan lalu bergoyang-goyang dan pukulan Katak Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong ke atas kepala Su-ok, mengancam hendak mencengkeram kepala yang botak itu!

Su-ok terkejut, cepat melempar dirinya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat dan menyerang lagi dengan pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu menerima pukulan itu dengan dorongan tangan kanannya. Pertemuan dua tenaga dahsyat itu hebat bukan main dan akibatnya, Su-ok terpental ke belakang dan dadanya terasa sesak!

“Tahan...!” katanya terengah. “Apakah... apakah Sicu ini Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Mendengar pertanyaan ini, Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki buntung lengan kirinya itu. Kok Cu mengangguk.

“Bukankah kalian ini Su-ok dan Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm... jadi kalian inikah yang telah menculik keluarga ayahku?” Di dalam suara itu terkandung ancaman hebat dan sepasang mata itu kini mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat itu diam diam menjadi jeri sekali.

Su-ok lalu berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu mengirim suara dari jauh untuk memberi tahu kepada koksu. Juga Ngo-ok membantunya sehingga dua orang aneh itu hanya berdiri seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini.

Dugaan pendekar ini memang benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar bahwa si lengan buntung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak berani menyerang lagi dan segera mengirim berita kepada koksu melalui ilmu mengirim suara dari jauh. Tak lama kemudian, terdengarlah lapat-lapat suara koksu yang ditujukan kepada pendekar itu dan isterinya.

“Koksu Negara Nepal mengundang Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya untuk memasuki benteng lembah!”

Mendengar ini, Kao Kok Cu lalu mengangkat mukanya menghadap ke arah banteng. Dadanya yang bidang itu mekar dan tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akan tetapi suara itu mengandung getaran hebat dan suara itu dapat mencapai tempat jauh sekali, “Kami datang memenuhi undangan Koksu Nepal!”

Su-ok dan Ngo-ok saling pandang dengan muka pucat. Barusan cara Naga Sakti itu mengeluarkan suaranya saja sudah menunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga sinkang yang jauh lebih kuat dari pada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak seperti itu, menunjukkan kekuatan sinkang yang sukar diukur lagi berapa dalamnya! Untung bahwa mereka tadi tidak lancang terus menyerang karena keduanya maklum bahwa mereka bukanlah tandingan Si Naga Sakti dan isterinya ini.

“Heh-heh-heh, maafkan kami...heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari Gurun Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan...,“ kata Su-ok yang pandai bicara dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya makin cemberut saja karena untuk ke sekian kalinya kembali dia gagal memperoleh seorang wanita yang telah membangkitkan birahinya!

“Kalian jalanlah lebih dulu,” kata Kok Cu dengan sikap dingin.

Dua orang kakek itu lalu berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan ginkang mereka untuk bergerak cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami isteri itu minta kepada mereka jangan terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka menoleh, mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal mereka berdua sudah berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka.

Karena mereka berjalan dengan pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah tiba di pintu gerbang. Di sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah biasa dan ketika meiewati pintu gerbang yang terjaga oleh pasukan yang kuat, Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada dan berjalan dengan lagak dua orang panglima yang menang perang atau dua orang yang telah berhasil ‘menawan’ seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan Kok Cu dan isterinya untuk berjalan di depan.

Kok Cu dan Ceng Ceng juga tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan terjaga kuat dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu berlapis-lapis dan luar biasa kuatnya. Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk menyerbu tempat ini, apa lagi kalau penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya.

Juga nampak pasukan yang berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang dan pasukan panah. Di atas tembok juga berjajar pasukan-pasukan yang siap menangkis setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu menahan napas. Hebat memang penjagaan di benteng ini dan dia merasa lega bahwa pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana. Biar pun demikian, dia masih menyangsikan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol benteng yang sedemikian kuatnya ini.

Lalu dia terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya yang berdiri di belakang semua ini! Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mampu menciptakan benteng sekuat dan sehebat ini? Ahhh, tentu ayahnya dipaksa, dan oleh karena keluarga ayahnya menjadi tawanan, maka ayahnya kemudian menurut saja untuk menyelamatkan keluarganya! Benarkah dugaannya ini? Dia masih ragu-ragu. Tak mungkin ayahnya mau membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian ayahnya.

Suami isteri pendekar itu makin terkejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam benteng, di antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lokwi, tiga orang tua yang mereka duga tentulah Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok karena mereka sudah pernah mendengar bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok. Masih banyak pula orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka kenal. Mereka semua itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakaian sebagai seorang pembesar, yang bertubuh raksasa berkepala botak, mengenakan mantel merah dan pakaiannya mewah. Inilah tentu Koksu Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian.

Ketika melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu bertanya, “Apakah kami berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?”

Ban Hwa Sengjin, yaitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura dengan sikap hormat. Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar lengan buntung ini. Sejak tadi dia sudah memperhatikan dan memang pria berlengan buntung sebelah ini patut menjadi seorang pendekar sakti. Dia masuk bersama isterinya dengan tangan kosong dan suami isteri itu melangkah dengan gagahnya, tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya mengagumkan hati Sam-ok, akan tetapi iuga mencengangkan semua tokoh yang sebelumnya memang sudah gentar mendengar nama Naga Sakti Gurun Pasir itu.

“Selamat datang di benteng kami, Sicu,” kata koksu. “Tidak salah perkiraan Sicu, saya adalah Koksu Nepal...“

“Hemmm, kalau begitu Sam-ok dan Im-kan Ngo-ok?” mendadak Ceng Ceng bertanya karena dia melihat betapa Im-kan Ngo-ok berdiri berjajar, di sebelah kanan koksu itu nampak nenek Ji-ok dan kakek Twa-ok, sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di sebelah kiri koksu.

“Li-enghiong berpemandangan awas benar!” kata koksu memuji. “Tidak salah, selain sebagai Koksu Nepal, saya juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi telah melihat sendiri betapa kuatnya keadaan kami, dengan bantuan semua tokoh yang pandai dari dunia kang-ouw.”

“Apa maksudmu mengundang kami?” Kok Cu bertanya singkat dan tegas.

“Sicu, kami atas nama Pangeran Bharuhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu berdua, mengajak Sicu berdua untuk bekerja sama...“

“Hemmm, apa hubungannya Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pangeran dari Nepal membuat benteng di sini? Apakah Pangeran Nepal berhubungan dengan mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?”

Semua orang saling pandang. Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian dan keangkuhan.

Akan tetapi koksu tersenyum. “Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran Bharuhendra adalah juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yang hanya melanjutkan cita-cita besar ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk membentuk suatu pemerintahan yang kokoh kuat dan bijaksana. Banyak orang yang sudah membantu perjuangan ini...”

“Hanya pengkhianat-pengkhianat saja yang mau membantu pemberontakan!” cela Ceng Ceng.

“Kami tidak sudi bekerja sama dengan pemberontak!” sambung Kok Cu.

“Sicu, ingatlah. Apakah Sicu juga masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu sewenang-wenang, memecat dan mengusir orang yang berjasa besar seperti ayahmu, Jenderal Kao itu? Ingat, bahkan ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami. Lihat benteng ini, ayahmulah yang membangun! Lihat pasukan-pasukan itu. Ayahmulah yang membentuk dan melatih sehingga keadaan kami begini kuat.”

“Tidak! Ayahku kalian paksa maka sudi melakukan semua ini!” bentak Kok Cu marah dan kini matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang menjadi gentar sekali. “Dan pula, siapa percaya bahwa ayahku berada di sini membantu kalian?” Dengan ucapan ini Kok Cu memang hendak melihat bukti bahwa ayahnya masih dalam keadaan selamat.

“Sicu agaknya belum percaya kepada kami? Lo-mo, harap kau panggil Jenderal Kao ke sini!” Mendengar perintah ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung Kok Cu berdebar tegang.

Tidak lama kemudian Hek-tiauw Lo-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal Kao Liang. Kok Cu membalikkan tubuh dan memandang kepada ayahnya, sukar dibayangkan bagaimana perasaan hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya yang tampan dan keras itu tidak terbayang sesuatu. Ceng Ceng juga memandang kepada ayah mertuanya dengan muka berubah agak pucat, akan tetapi juga wanita ini yang sudah pandai menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa.

Agaknya Jenderal Kao itu tadi tidak diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia dipanggil. Tadinya ia berjalan dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw Lo-mo menuju ke tempat itu. Akan tetapi begitu dia melihat puteranya itu, tiba-tiba langkahnya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke arah wajah Kok Cu, wajahnya berubah pucat sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, membelakangi puteranya itu untuk menyembunyikan air mata yang keluar dari sepasang matanya. Dia tidak mau dilihat puteranya mengeluarkan air mata, akan tetapi kakek ini tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat puteranya karena berbagai perasaan mencengkeram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga malu bahwa puteranya tentu telah melihat, mendengar betapa dia kini telah menghambakan diri kepada pemberontak! Lalu dengan langkah perlahan dan kepala menunduk, Jenderal Kao pergi lagi meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi.

Kok Cu mengerti dan merasa terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayahnya, dan dia tahu pula bahwa ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak ingin melihat keluarganya tersiksa atau terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu itu, Orang Jahat Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu tidak segan-segan melakukan apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya dengan jalan mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka setelah ayahnya pergi dan lenyap di tikungan, dia kemudian membalik dan kembali menghadapi koksu dan para pembantunya dengan sinar mata penuh tantangan.

“Koksu, engkau telah berhasil memperdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu dengan ancaman keluarga ayah. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat membujuk aku untuk membantu pekerjaanmu yang terkutuk ini!” katanya dengan suara tenang dan tegas dan di dalam suara itu saja koksu ini telah mengerti benar bahwa memang tidak mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan teguh seperti Naga Sakti Gurun Pasir itu.

“Apa pun yang kau tuduhkan, kenyataan adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah bekerja sama dengan kami,” kata Koksu Nepal. “Oleh karena itu sekali lagi, kami harap agar engkau dan isterimu suka bekerja sama dengan kami, Sicu. Andai kata tidak secara suka rela, tentu engkau akan melakukannya dengan bijaksana, melihat keadaan yang tak mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong, kalian lihat siapakah yang di sana itu!” Koksu Nepal itu menuding ke belakang dua orang suami isteri itu yang segera membalikkan tubuhnya memandang.

Hampir saja Ceng Ceng mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa Lo-kwi yang tentu akan turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini bergerak. Juga Kok Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak ketika dia melihat puteranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa putera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula!

Sekarang mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh keluarga, termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki senjata yang amat ampuh dan kuat untuk memaksa ayahnya melakukan apa pun juga. Betapa pun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa artinya pengorbanan ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda dan aib yang dilakukan ayahnya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya. Mengapa ayahnya tidak melihat hal ini?

“Ayah...! Ibu...!” Cin Liong berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak itu. Akan tetapi dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya.

Seperti diremas-remas rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak terbang dia mendekati puteranya, mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia merasa betapa lengannya dipegang oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya dan dia menelan ludah, lalu memandang kepada puteranya dengan batin yang lebih tenang.

“Cin Liong, kau tenanglah dan jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat membawamu pulang!” kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak mengandung kekhawatiran sehingga semua orang yang menyaksikannya menjadi kagum bukan main.

Koksu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin Liong pergi lagi, akan tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan berkata lantang, “Ayah, yang menculikku adalah laki-laki berambut keemasan dan wanita baju hijau itu!” Anak itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki dan wanita yang berdiri tidak jauh dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek iblis itu sudah memondong dan menariknya pergi dari situ.

Akan tetapi teriakan Cin Liong itu cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan bulat-bulat kedua orang itu sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga.

“Kenapa kalian menculik puteraku? Kenapa?” bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi api.

Baik Liong Tek Hwi mau pun Kim Cui Yan tidak menjawab, hanya memandang kepada koksu karena mereka tahu bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini hanyalah koksu.

“Sicu dan Li-enghiong, Ji-wi hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu ini adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedang sumoi-nya ini adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa keluarga Kim Bouw Sin dihukum dan dibasmi karena Jenderal Kao, dan juga betapa Pangeran Liong Bin Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena Jenderal Kao. Semua orang menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah maka terjadi penculikan-penculikan terhadap keluarga Kao dan juga terhadap puteramu, Sicu. Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang yang buta oleh dendam dan sakit hati. Tidak, kami adalah orang-orang yang mementingkan perjuangan. Oleh karena itu, Sicu, maka sampai sekarang pun keluarga Kao dan puteramu masih dalam keadaan selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau tewas.”

“Koksu, engkau dan semua orang yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau Pangeran Liong bukan karena bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang panglima yang bertugas membasmi pemberontakan sedangkan mereka itu adalah pemberontak-pemberontak. Kalau sampai mereka kalah dan tewas, hal itu tentu saja tidak boleh disalahkan kepada ayahku. Andai kata ayahku tewas dalam melaksanakan tugas, tentu aku pun tidak menaruh dendam pribadi kepada lawannya di medan perang! Oleh karena itu, sekarang aku datang bersama isteriku dan aku menuntut agar ayahku dan semua keluarga dibebaskan sekarang juga, untuk mana kami tentu akan berterima kasih sekali.”

“Hemmm, Kao-sicu, permintaanmu itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,” kata koksu. “Perjuangan kami belum selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar Jenderal Kao suka membantu kami sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil, tentu akan kami bebaskan semua, bahkan akan memberi ganjaran dan penghargaan atas jasa-jasa keluarga Kao kepada kami.”

“Koksu keparat! Hayo kau maju lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!” Tiba-tiba Ceng Ceng membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.

Akan tetapi Sam-ok atau Koksu Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak pengalaman. Dia tentu saja tidak jeri menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat kehadiran Si Naga Sakti Gurun Pasir di situ, dia tidak mau dipancing untuk bertanding satu lawan satu. Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang pun yang akan sanggup menandingi Si Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agaknya tidak akan menang.

“Li-enghiong, kami menghargai sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan bukan urusan pribadiku, melainkan urusan seluruh isi benteng. Kalau engkau dan suamimu hendak menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami semua berikut seluruh pasukan kami!”

Kembali Ceng Ceng merasa tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan kekerasan tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biar pun matanya masih berapi-api ditujukan kepada koksu.

“Baiklah, kami akan mundur dan kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat membebaskan keluarga kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang saja di antara keluarga Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat ini, maka Im-kan Ngo-ok yang bertanggung jawab dan kelak tentu akan berhadapan dengan kami! Camkanlah ini!”

Setelah berkata demikian, Kok Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan semua orang memandang dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu melangkah pergi diikuti oleh pandang mata mereka semua.

Melihat ini, Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah memandang dengan marah dan yang sudah mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang, cepat memberi aba-aba dan majulah dua puluh lima orang Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk tokoh-tokohnya yang berkepandaian, dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji, tokoh kedua dari Kui-liong-pang yang kemudian keduanya menjadi pembantu-pembantu Hek-hwa Lo-kwi.

Hek-hwa Lo-kwi penasaran sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biar pun wanita itu lihai, namun dia sanggup melawannya, apa lagi kalau dibantu oleh anak buahnya, biar pun di situ ada Si Naga Sakti!

Melihat Hek-hwa Lo-kwi dan anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti tenang saja, akan tetapi Ceng Ceng sudah mendamprat, “Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan hidup! Mau apa kau menghadang kami?”

“Ha-ha-ha!” Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Kalian dua orang manusia yang sombong sudah memasuki lembah kami, tentu tidak akan mudah keluar begitu saja!” Lalu kakek ini melambaikan tangan kepada para anak buahnya dan berkata, “Tangkap mereka!”

Kok Cu masih sempat berbisik kepada isterinya, “Jangan membunuh!” dan isterinya yang sedang marah itu terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak mereka dan keluarga Kao berada di tangan musuh.

Ketika dua puluh lima orang itu menyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak maju dan terjadilah pertempuran yang amat luar biasa.

Yang mula-mula menubruk maju adalah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama dan kedua dari Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini sesungguhnya cukup lihai. Khiu Sek adalah seorang bertubuh kecil yang permainan cambuknya lihai sekali. Cambuk hitam bercabang di tangannya itu adalah senjatanya yang istimewa. Ada pun Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Kerbau Belang, memiliki tenaga besar. Tubuhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang istimewa pula, yaitu sebatang dayung panjang yang amat berat.

Dua orang tokoh Kui-liong-pang ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita. Mereka memang sudah mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak menyerahkan lawan berat itu kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri memilih yang lunak dan menyenangkan, yaitu Ceng Ceng. Maka dengan ganas dan sangat dahsyat, keduanya sudah menerjang Ceng Ceng.

Akan tetapi, apa yang terjadi benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka melihat dua orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan ternyata wanita itu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia menggunakan lengannya yang berkulit putih halus dan kecil itu untuk menangkis dayung, sedangkan sambaran cambuk itu didiamkannya saja. Tetapi setelah cambuk menyambar dekat kepalanya, dia tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi menangkis sudah bertemu dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung, menariknya sehingga dayung bertemu cambuk dan dilibat oleh ujung cambuk.

Tentu saja kedua orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik senjata masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja ketika kedua senjata mereka bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk melepaskan dayung, menggerakkan kedua tangan ke bawah dan tubuhnya meluncur ke bawah seperti hendak menelungkup.

“Plak! Plak!”

Kedua tangannya berhasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan jari-jari tangan terbuka, kemudian dia sudah berjungkir balik dan meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan dua orang yang mengaduh-aduh dan memegang paha yang terpukul tadi karena Ceng Ceng bukan menggunakan pukulan sembarangan saja, melainkan menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang yang amat kuat dan panas!

Memang berkat darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya, hawa beracun di tubuhnya telah hilang. Namun hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang pukulan beracun hilang pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang kena pukulannya di paha itu merasa betapa bagian yang terpukul itu selain panas juga gatal gatal dan mereka berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari.

Tentu saja semua orang menjadi terkejut. Kepandaian dua orang itu, biar pun bagi para tokoh sakti di situ tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang kang-ouw, mereka telah termasuk orang-orang yang tangguh. Kini, dalam segebrakan saja mereka telah dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik itu.

Pada saat itu, Hek-hwa Lo-kwi telah menyerang Kao Kok Cu. Seperti telah diketahui, Hek-hwa Lo-kwi belum lama ini menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya, yaitu ilmu pukulan beracun yang bernama Pek-hiat-hoatlek. Memang bekas pelayan dari Dewa Bongkok ini adalah seorang yang ahli tentang racun, dan ilmu pukulannya yang baru itu amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda lengan buntung itu adalah murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang dia telah menggunakan ilmu barunya itu!

Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu sudah amat tinggi, bahkan tak lagi berselisih jauh dibandingkan dengan kepandaian gurunya sendiri! Maka menghadapi serangan yang luar biasa itu, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap tenang-tenang saja dan beberapa kali dia mengelak karena dia sedang memperhatikan isterinya.

Ceng Ceng kini mengamuk seperti seekor singa betina. Dia menerjang ke kanan kiri, menghantam atau menendang siapa saja yang berdekatan sehingga gegerlah dua puluh lebih anggota Kui-liong-pang itu. Terdengar teriakan susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi setelah terkena tamparan atau tendangan dari nyonya yang sedang marah itu. Andai kata Ceng Ceng tidak ingat akan pesan suaminya, tentu mereka yang dirobohkannya itu akan tewas semua, termasuk dua orang tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan maksud suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar semua orang tahu akan kelihaian mereka berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga yang ditawan takkan mengalami gangguan.

Setelah melihat betapa isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu kemudian mencurahkan perhatiannya terhadap lawannya. Dia harus memperlihatkan kelihaiannya! Dia maklum bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini selain dimaksudkan untuk mencegahnya keluar, juga untuk mengujinya dan semua mata dari Im-kan Ngo-ok tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan teliti.

Oleh karena itu, tiba-tiba pendekar sakti ini mengeluarkan suara melengking yang amat dahsyat, yang menggetarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat segera terguling roboh dan mereka yang kuat pun tergetar hebat sampai terguncang jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar itu meluncur ke depan seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut dan cepat dia menyambut dengan pukulan Pek-hiat hoat-lek yang dahsyat. Pendekar berlengan tunggal itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya mendorong.

“Desssss...!”

Tubuh Hek-hwa Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok Cu membantu isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang Kui-liong-pang sudah roboh dan kedua orang suami isteri itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam, di mana terdapat banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga itu pun diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng Ceng lewat. Setelah melalui beberapa lapis tembok benteng yang berpintu gerbang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu gerbang paling luar dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu.

Setelah mereka jauh meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka berhenti dan Ceng Ceng lalu menjatuh diri di atas rumput di bawah pohon sambil menangis! Kok Cu berdiri memandang isterinya dan untuk beberapa saat lamanya dia membiarkan isterinya menumpahkan semua kedukaannya melalui tangis. Dia tahu betapa isterinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang hebat, yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan sekarang isterinya menangis karena guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga girang melihat bahwa puteranya itu ternyata masih hidup dalam keadaan sehat, akan tetapi berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk membebaskan putera mereka itu!

Tiba-tiba Ceng Ceng menghantamkan tangannya ke batang pohon di sampingnya.

“Braaakkkkk!” pohon itu tumbang!

“Kubunuh mereka semua! Kubunuh seorang demi seorang jika sampai Liong-ji mereka ganggu...!” teriaknya dengan kalap.

Kini Kok Cu merangkul isterinya dan berkata tenang, “Mereka takkan berani, isteriku. Mereka justeru akan menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka takkan berani mengganggu anak kita...“

Ceng Ceng memandang wajah suaminya, lalu mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas dan pingsan di dalam pelukan suaminya! Terlampau hebat kemarahan, ketegangan dan kekhawatiran selama ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat isterinya sehingga guncangan perasaan itu tidak sampai mengakibatkan hal yang buruk atas diri wanita itu.

Setelah Ceng Ceng siuman kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu berkata, “Kita tentu saja dapat menyerbu ke sana dan mengamuk, tetapi apa artinya kalau akhirnya mereka bahkan membunuh keluarga kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik dan kesempatan itu baru akan tiba apa bila Bibi Milana telah menyerbu benteng itu. Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi serbuan pasukan Bibi Milana, kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan keluarga kita.”

“Akan tetapi, benteng itu sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi Milana untuk membobolnya. Apa lagi... yang mengatur dan menjaga adalah... adalah...” Tak sampai hatinya untuk menyebut nama mertuanya.

Kok Cu mengangguk-angguk. “Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan mudah dilawan begitu saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya kalau ayah benar-benar hendak berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat keluarga celaka maka ayah sengaja pura-pura menyerah, akan tetapi tentu ayah mempunyai suatu rencana lain yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan menunggu, kiranya tidak akan lama Bibi Milana datang bersama pasukannya.”

Demikianlah, suami isteri pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok benteng dan Ceng Ceng terpaksa menurut karena ia maklum bahwa pendapat suaminya itu memang tepat. Akan tetapi, suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di dalam keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri menjadi makin rapat, makin dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa iba satu kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan hiburan yang setidaknya meringankan penderitaan batin masing-masing itu…..

********************

Barisan yang besar di bawah panji Puteri Milana itu bergerak dengan teratur dan tertib sekali memasuki wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada pasukan besar lewat dengan tujuan perang, sekali ini pasukan-pasukan berjalan tertib dan tidak pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran. Biasanya, dusun-dusun yang dilalui oleh pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggota pasukan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kerasan. Hal ini adalah karena adanya disiplin yang kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan lagi oleh para pimpinannya, karena semua dewan pimpinan sendiri juga amat tertib.

Ketertiban di dalam kelompok atau golongan haruslah dimulai dari atas. Biasanya, yang di atas selalu menekankan dan menghendaki agar kaum bawahan berdisiplin dan tertib, sedangkan mereka sendiri yang merasa berkuasa tidak memperhatikan disiplin dan ketertiban diri mereka sendiri. Hal ini adalah tak mungkin karena manusia itu condong untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu tentulah yang berada di atas. Kalau sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak korup? Dan untuk melenyapkan sifat buruk dari bawahan, yang di atas haruslah melenyapkan lebih dulu sifat buruknya sendiri.

Jika atasan bersih, barulah dia berhak dan dapat menunjukkan kekotoran bawahannya dan membersihkannya. Sebaliknya, kalau dia sendiri kotor, mana mungkin dia mampu membersihkan bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa sungkan dan malu karena si bawahan tentu hanya akan mentertawakannya saja dan melawan dengan menunjuk kekotorannya pula

.

Pasukan dari kota raja ini hanya mengalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang dipimpin oleh Gubernur Ho-nan. Ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa pasukan itu selain amat besar dan kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana, sebelum bertempur nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat mereka menjadi lemah.

Hal ini tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana menggerakkan pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan hanya bertempur dengan setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri mundur, terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota raja. Akhirnya pasukan kerajaan memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan.

Juga di sini perlawanan amat tidak berarti karena belum apa-apa gubernurnya sudah ketakutan. Kesombongan-kesombongan yang sudah diperlihatkan oleh para komandan ternyata tidak ada kenyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu. Yang nekat melakukan perlawanan segera roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat saja sehingga akhirnya sebagian besar pasukan yang sebetulnya merupakan pasukan kerajaan pula yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh gubernur, menakluk dan menyerah. Sebagian lagi masih terus mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan diri, meninggalkan Lok-yang menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat sekutunya dalam benteng yang kuat.

Setelah menduduki kota Lok-yang, Milana lalu memberi kesempatan kepada pasukan pasukannya untuk beristirahat. Dia memerintahkan untuk membiarkan para anak buah pasukan berpesta makan minum sepuasnya, tetapi melarang siapa pun mengganggu penduduk sehingga para penduduk kota Lok-yang yang sudah ketakutan dikarenakan membayangkan bahwa tentu mereka akan dirampok habis-habisan oleh para tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima kasih.

Dengan suka rela para penduduk, terutama yang kaya, lalu mengeluarkan kekayaan mereka untuk menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang telah menang perang. Mereka tahu bahwa semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang terkenal itu. Dan anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan mereka dikagumi penduduk, para anggota pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan melakukan pelanggaran, karena kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mereka! Dan kebanggaan ini pun mendatangkan suatu perasaan senang yang luar biasa.

Milana sendiri beristirahat di dalam kamarnya, di bekas rumah gedung gubernur. Ketika seorang pengawal memberi laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang menyusul, Milana cepat menyambut suaminya dengan hati girang. Mereka kemudian bercakap-cakap di dalam kamar. Kiranya begitu menerima berita isterinya, Gak Bun Beng menitipkan kedua putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kepada kepala dusun di lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul isterinya ke kota raja. Ketika mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah menyerbu ke Ho-nan, dia pun cepat menyusul dan malam itu dia dapat bertemu dengan isterinya di rumah Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh penghuninya yang lari mengungsi ke lembah.

Ketika Milana menceritakan kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li tentang kekuatan di lembah Huang-ho yang ternyata dipimpin oleh pangeran dari Nepal yang dibantu oleh banyak orang pandai, bahkan bentengnya dibangun dan dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang terpaksa menyerah karena semua keluarganya ditawan, Bun Beng menjadi terkejut bukan main.

“Aihhh, kalau begitu berbahaya sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah putera dari pangeran tua Liong yang memberontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan pemberontakan ayahnya?”

“Dan agaknya dia tidak kalah licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah dapat memaksa Jenderal Kao untuk membantunya, dan menurut Kian Bu, dia dibantu oleh orang-orang pandai yang berilmu tinggi, sedangkan Koksu Nepal yang memimpin benteng itu sendiri juga memiliki kepandaian hebat. Oleh karena itulah maka aku sengaja mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang dipimpin oleh Jenderal Kao, dan mendengar betapa banyaknya orang pandai di dalam benteng itu, terus terang saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jeri juga.”

Ketika Bun Beng mendengar bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, Ceng Ceng, sudah lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera mereka pun menjadi tawanan, mendengar pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik ke sana, dia lalu mengambil keputusan untuk mendahului pasukan.

“Sebaiknya aku pun pergi dulu menyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya benar bahwa orang seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi membantu musuh yang memberontak, betapa pun dia tertekan dan betapa terancam pun keselamatan keluarganya. Dia bukanlah seorang lemah.”

Milana juga setuju dengan usul suaminya itu dan semalam itu Bun Beng bermalam di kamar isterinya. Suami isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling menasehati agar berhati-hati karena keduanya akan menghadapi bahaya dalam penyerbuan ke lembah itu.

Pada keesokan harinya, Bun Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia mendengar lagi penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao. Setelah berpamit dari isterinya, Bun Beng lalu berangkat, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu juga diatur oleh Milana untuk berangkat ke benteng di lembah itu…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum