JODOH RAJAWALI : JILID-45


Malam itu terang bulan, karena bulan sedang purnama. Di permukaan bumi tidak ada angin, akan tetapi di angkasa awan-awan berarak dengan cepat, tanda bahwa di atas sana terdapat angin yang menggerakkan awan-awan sehingga kadang-kadang awan putih tipis menyembunyikan bulan yang menjadi agak suram cahayanya. Akan tetapi karena awan itu bergerak cepat, hanya sebentar saja bulan muncul lagi dengan lebih berseri.

Kao Kok Cu nampak duduk bersila di atas sebuah batu besar, sedang tenggelam dalam siulian (semedhi) yang hening.

Semedhi akan kehilangan artinya jika di dalamnya tersembunyi pamrih untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Semedhi adalah keadaan hening dan bersih, bersih dari segala macam pamrih, hening karena berhentinya segala pikiran. Keheningan barulah benar-benar hening kalau datang tanpa diundang, kalau ada tanpa diadakan, kalau tidak dibuat agar supaya hening. Di waktu segala keinginan dan pamrih berhenti, maka keheningan akan ada dan itulah semedhi yang sesungguhnya. Bukan acuh tak acuh, bukan tidur duduk, melainkan sadar dan waspada akan segala sesuatu, di luar dan di dalam diri, mengamati apa adanya tanpa keinginan, untuk mengubah, menerima atau pun menolak, tanpa menilai, tanpa membenarkan atau menyalahkan. Tanpa ‘aku’ yang bersemedhi, itulah semedhi yang sebenarnya.

Ceng Ceng juga duduk tidak jauh dari suaminya, akan tetapi dia tidak dapat duduk diam karena pikirannya selalu teringat akan puteranya, akan keluarga suaminya. Dia merasa gelisah karena sudah hampir sepekan dia dan suaminya duduk menanti di tempat itu. Sampai berapa lama dia harus menanti, membiarkan puteranya terancam bahaya di dalam tangan musuh-musuh yang dia tahu adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat itu? Dia tidak dapat beristirahat seperti suaminya, makin lama semakin merasa gelisah sehingga akhirnya dia turun dari atas batu dan berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Malam itu memang indah sekali, namun sayang, bagi seorang yang sedang kacau batinnya oleh kegelisahan seperti Ceng Ceng, tidak ada apa pun yang kelihatan indah di dunia ini.

Tiba-tiba sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar dan tubuhnya yang tadinya kelihatan lemas itu tiba-tiba saja menjadi cekatan. Dia melihat sesuatu yang tentu saja menimbulkan kecurigaannya. Melihat bayangan manusia berkelebat tak jauh dari situ. Tentu musuh yang datang! Atau mata-mata musuh yang mengintai! Kemarahannya bangkit dan dengan gerakan ringan dan cepat sekali Ceng Ceng sudah bergerak melakukan pengejaran, menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu. Akan tetapi bayangan itu dapat bergerak amat cepat dan sekali berkelebat, bayangan itu menyusup dan lenyap di balik semak-semak belukar.

Ceng Ceng makin curiga, akan tetapi karena dia maklum akan kelihaian orang-orang di dalam benteng dan dia yakin bahwa yang nampak bayangannya tentulah orang dari dalam benteng, dia bersikap hati-hati sekali dan menyelidik dengan jalan memutar. Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga cahayanya menjadi remang-remang saja. Dengan langkah satu-satu dan amat waspada, Ceng Ceng memutari semak-semak di mana dia melihat bayangan tadi lenyap. Seluruh perhatian dicurahkannya melalui pendengaran dan penglihatannya.

Tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang dan ketika secepat kilat dia membalik, dari sudut matanya Ceng Geng melihat bayangan orang menyerangnya dengan totokan yang cepat dan hebat. Akan tetapi Ceng Ceng memang sejak tadi sudah siap sedia, maka diserang seperti itu dia tidak menjadi gugup. Dia miringkan tubuh mengelak dan tangannya membalas dengan tamparan kilat ke dada penyerangnya itu.

Orang itu terkejut bukan main, agaknya tak mengira bahwa yang diserangnya itu selain dapat mengelak, juga dapat membalas dengan tamparan yang sedemikian hebatnya, terbukti dari sambaran angin yang menandakan sinkang yang dahsyat. Maka dia pun menggerakkan lengannya menangkis.

“Dukkkk...!”

Keduanya terhuyung ke belakang dan mereka kaget bukan main mengetahui betapa kuatnya lawan. Ceng Ceng cepat memandang, akan tetapi karena bulan masih tertutup awan, cuaca remang-remang dan dia hanya melihat seorang pria yang berdiri di depannya, seorang pria yang memiliki sepasang mata yang tajam bersinar.

“Manusia curang, siapakah engkau? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!” bentak Ceng Ceng dengan marah sekali.

Orang itu kelihatannya terkejut mendengar suara ini. “Ehhh...? Kau...?!“ Pada saat itu awan telah meninggalkan bulan dan cahaya bulan yang terang menyinari wajah kedua orang yang saling pandang itu. Keduanya kini kelihatan makin kaget.

“Kau Ceng Ceng...!”

“Tek Hoat...!”

Memang orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini terus-menerus mengikuti jejak Puteri Syanti Dewi setelah dia gagal merampas Syanti Dewi dari puncak Naga Api sarang dari perkumpulan Liong-sim-pang yang diketuai oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun. Dia dibantu oleh Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang katanya tahu di mana harus mencari Syanti Dewi. Akan tetapi sebetulnya Siluman Kucing itu pun tidak tahu, hanya menduga-duga saja dan sebenarnya wanita cabul itu bermaksud untuk mendekati pemuda ini dan kalau mungkin mencengkeram pemuda lihai ini untuk menjadi korban nafsu birahinya.

Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang mulai sadar akan kesesatannya itu, apa lagi setelah dia berjumpa dengan seorang pelacur yang sudah membuka matanya, dia malah mempermainkan Siluman Kucing dan meninggalkannya pergi untuk mencari sendiri jejak Syanti Dewi. Akhirnya dia mendengar tentang keadaan di lembah Huang-ho dan dia menaruh hati curiga.

Dia pernah menyerang lembah itu sebagai sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang untuk memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pang, bersama dengan Siluman Kucing yang menjadi guru dari ketua Hek-eng-pang, hingga mereka akhirnya dapat membobol bendungan air dan membuat lembah itu tenggelam dalam genangan air bah setelah tanggul atau bendungannya itu dijebolkan oleh alat-alat peledak dari Mauw Siauw Mo-li.

Kini dia mendengar berita angin bahwa lembah itu telah berubah menjadi benteng yang kuat. Dia merasa curiga sekali dan ingin tahu, maka dia lalu menyelidiki ke lembah. Siapa tahu kalau-kalau Syanti Dewi yang seperti lenyap ditelan bumi itu berada di tempat itu, pikirnya. Hal ini memasuki pikirannya ketika dia mendengar bahwa banyak tokoh kaum sesat kabarnya juga berada di dalam benteng itu. Andai kata Syanti Dewi tidak berada di situ, setidaknya dia akan dapat bertanya kepada para tokoh sesat itu dan tentu ada di antara mereka yang tahu di mana adanya Syanti Dewi dan siapa yang telah menculiknya.

Malam itu dia tiba di dekat benteng lembah dan selagi dia berjalan dan hendak mulai dengan penyelidikannya, dia melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan mengejarnya. Maka kemudian dia menyelinap dan menyerang bayangan itu untuk menotoknya, karena dia menduga bahwa bayangan itu tentulah mata-mata dari dalam benteng. Akan tetapi betapa kagetnya ketika bayangan itu sedemikian lihainya, dan makin kagetlah dia pada saat cahaya bulan menyinari wajah yang cantik itu, wajah dari Ceng Ceng, saudara tirinya seayah berlainan ibu!

Ibu dari Ceng Ceng adalah Lu Kim Bwee, sedangkan ibu dari Tek Hoat bernama Ang Siok Bi. Ketika kedua orang wanita itu masih gadis, mereka telah tertimpa malapetaka dan aib. Mereka itu dicemarkan oleh seorang laki-laki yang berilmu tinggi sehingga keduanya mengandung. Dari kandungan itulah terlahir Ceng Ceng dan Tek Hoat.

Karena mereka terlahir sebagai akibat perkosaan, maka mereka berdua menggunakan she ibu mereka masing-masing. Ceng Ceng menggunakan she Lu sedangkan Tek Hoat menggunakan she Ang. Ayah kandung mereka, yaitu pria yang mencemarkan ibu masing-masing itu bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah putera tiri dari Pendekar Super Sakti yang bernama Wan Keng In.

Ketika masih kecil, baik Ceng Ceng mau pun Tek Hoat tidak tahu akan rahasia itu karena ibu masing-masing tidak mau menceritakan aib itu kepada anak masing-masing. Baru setelah kedua orang anak ini menjadi dewasa, di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, mereka bertemu dan bahkan mereka hampir saling jatuh cinta. Kemudian terbukalah rahasia itu dan keduanya baru tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah saudara tiri, seayah berlainan ibu! Dan keduanya sesungguhnya adalah she Wan.

“Ahhh, kusangka engkau seorang mata-mata dari benteng!” seru Tek Hoat.

Ceng Ceng cemberut. “Engkaulah yang kukira mata-mata dari dalam benteng!”

Keduanya kemudian tersenyum dan saling pandang. Memang keduanya mempunyai perasaan suka satu sama lain, apa lagi setelah mereka tahu bahwa mereka adalah saudara seayah. Dalam pandang mata mereka itu terdapat keharuan karena memang keduanya tidak mempunyai saudara lain, bahkan tidak bersanak kadang lagi.

“Bagaimana keadaanmu...?” Keduanya bicara berbareng dan dengan pertanyaan yang sama. Kemudian keduanya tersenyum dan pada saat itu muncullah Kao Kok Cu.

Di dalam siulian tadi, Kok Cu mendengar suara isterinya, maka dia pun cepat meloncat turun dan mencari. Dia merasa heran sekali melihat isterinya berhadapan dengan seorang pria dan ketika dia tiba di situ, segera dia mengenal Tek Hoat.

“Ahh, kiranya engkau, Tek Hoat!” katanya.

Tek Hoat memandang wajah Kok Cu penuh perhatian. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan bahwa antara Tek Hoat dan Kao Kok Cu sesungguhnya terdapat hubungan yang tidak asing lagi, akan tetapi sesungguhnya baru sekarang inilah Tek Hoat sempat mengenal dan memandang wajah Kok Cu, karena dahulu Kok Cu selalu memakai topeng yang amat buruk sehingga dia pun hanya dikenal sebagai Si Topeng Setan. Setelah memandang wajah suami Ceng Ceng itu dia menarik napas panjang.

“Ah, kiranya engkau adalah seorang yang gagah dan tampan, Topeng Setan!” katanya. “Aku girang sekali bahwa saudaraku ini memperoleh seorang suami hebat seperti engkau.”

Akan tetapi hanya sebentar saja Tek Hoat kelihatan gembira dengan pertemuan ini. Segera wajahnya muram kembali, apa lagi karena dia teringat betapa keadaannya jauh dibandingkan dengan Ceng Ceng yang berbahagia dengan suaminya, sedangkan dia, sampai sekarang pun belum juga dapat mengetahui di mana adanya Syanti Dewi.

“Bagaimana engkau sampai tiba di sini?” tanya Ceng Ceng.

“Aku memang perantau yang bisa berada di mana saja. Akan tetapi kalian? Mau apa di sini?” Tek Hoat balas bertanya karena dia tidak suka menceritakan keadaan dirinya.

“Ahh, engkau tidak tahu, Tek Hoat. Malapetaka besar menimpa keluarga kami,” kata Ceng Ceng dan dia lalu bercerita tentang keluarga Kao dan juga puteranya yang diculik orang dan ditawan di dalam benteng itu.

Kok Cu tidak sempat mencegah isterinya bercerita, apa lagi dia merasa kurang enak karena dia maklum bahwa isterinya sangat suka kepada saudara tirinya itu. Dia melihat betapa Ang Tek Hoat mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang mengeluarkan seruan kaget mendengar betapa orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, bahkan Im-kan Ngo-ok yang terkenal itu semua berkumpul di dalam benteng! Bukan tidak mungkin Syanti Dewi berada di situ pula sebagai tawanan, pikirnya. Dia tidak dapat memikirkan hal lain kecuali Syanti Dewi.

Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tek Hoat menegur, “Kalau begitu, kenapa kalian tidak segera masuk dan menolong mereka yang tertawan?”

“Ah, kami sudah masuk, akan tetapi kami melihat betapa keluarga kami terancam, maka kami hendak menanti saat baik untuk menolong mereka,” jawab Ceng Ceng, akan tetapi jawaban ini seolah-olah tidak didengar oleh Tek Hoat. Dia lalu bangkit berdiri, dan berkata kepada suami isteri itu.

“Aku pergi dulu...!”

“Engkau hendak ke mana?” Kok Cu menegur.

“Aku akan mencoba masuk ke dalam benteng itu!”

“Tek Hoat, jangan...!” Ceng Ceng berkata. “Keadaannya amat berbahaya, engkau akan celaka di sana sebelum berhasil...“

“Aku tidak takut!” jawab Tek Hoat dengan sikapnya yang keras kepala.

Ceng Ceng merasa terharu sekali. Dia mengira bahwa Tek Hoat kini telah berubah menjadi seorang yang berwatak pendekar gagah, yang merasa penasaran mendengar tentang ditawannya Cin Liong dan keluarga Kao lainnya, dan bermaksud untuk nekat memasuki benteng dan menolong keluarga yang tertawan itu.

“Tek Hoat, tidak perlu kau mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Keluarga kami terlalu banyak untuk dapat kau selamatkan seorang diri saja. Sebaiknya tunggu kesempatan dan kelak bergerak bersama kami.”

Sebetulnya, niat dari Tek Hoat itu amat cocok dengan niat di hati Ceng Ceng yang juga sudah tidak sabar lagi menanti kesempatan, dan ingin dia mengajak suaminya untuk bersama dengan Tek Hoat malam itu juga menyerbu benteng. Akan tetapi ucapan Tek Hoat sungguh tidak diduganya sama sekali.

“Aku harus mencari Syanti Dewi, sekarang juga!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari situ.

Ceng Ceng termangu-mangu, kemudian mengepal tinjunya dan merasa mendongkol sekali. “Ahhh, kiranya dia hendak mencari Enci Syanti Dewi? Hemmm, tidak sempat kutanya dia mengapa dia meninggalkan Enci Syanti Dewi di Bhutan dan sekarang pura pura ribut mencarinya, hemmm...,“ Ceng Ceng marah dan mendongkol karena kecewa. Tadinya dia kira Tek Hoat mau membela keluarga suaminya, tidak tahunya pemuda itu sama sekali tidak memikirkan tentang keluarga Kao, dan keinginannya memasuki benteng itu tidak lain hanya untuk mencari Syanti Dewi.

Kok Cu maklum akan kejengkelan hati isterinya, dia merangkul isterinya dan berkata, “Kasihan dia. Dia menderita tekanan batin yang hebat sekali, hal itu dapat kulihat dari wajahnya.”

“Hemmm, mungkin dia kembali menjadi jahat lagi...,“ kata Ceng Ceng, membayangkan kembali cerita tentang ayah kandungnya, seorang manusia yang amat jahat!

Dia merasa beruntung bahwa dia menjadi isteri seorang bijaksana seperti Kok Cu, karena kalau dia teringat akan pengalamannya dahulu, setelah menjadi murid Ban-tok Mo-li, mungkin saja dia pun menjadi seorang tersesat yang jahat, seperti mendiang ayah kandungnya. Dan mendadak dia bergidik, lalu menyembunyikan mukanya dalam rangkulan lengan kanan suaminya…..

********************

Malam telah larut, lewat tengah malam. Bulan purnama telah condong ke barat dan malam itu dingin serta sunyi sekali. Akan tetapi, sesosok bayangan berkelebatan seperti setan di bawah tembok benteng. Bayangan orang itu bukan lain adalah Tek Hoat yang telah meninggalkan Ceng Ceng dan suaminya. Ceng Ceng tidak melihat Syanti Dewi di dalam benteng, akan tetapi siapa tahu? Dan seandainya dia tidak menemukan Syanti Dewi di situ, tidak pula bisa memperoleh kabar tentang puteri itu, setidaknya dia akan dapat menuntut agar putera Ceng Ceng dibebaskan.

Dia tidak perlu banyak berjanji kepada suami isteri itu, akan tetapi kalau di sana tidak ada Syanti Dewi, dia tentu akan membebaskan putera Ceng Ceng! Saudara tirinya itu kelihatan demikian gelisah, dan diam-diam dia merasa amat kasihan kepada Ceng Ceng. Dia tidak takut biar pun di sana ada Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan yang disebut Im-kan Ngo-ok yang tidak dikenalnya itu. Biar semua iblis dan setan berkumpul di sana, dia tidak takut!

Ketika dia mulai mendekati tembok benteng, Tek Hoat yang berpenglihatan tajam itu mengerti bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Orang yang membayanginya itu juga amat cepat gerakannya. Mula-mula dia menduga bahwa bayangan itu tentulah Ceng Ceng atau Kok Cu, akan tetapi setelah dia melihat sekelebatan, dia tahu bahwa bayangan itu bukan Ceng Ceng, karena orang itu tinggi besar tidak seperti bentuk tubuh Ceng Ceng dan lengannya lengkap tidak seperti lengan Kok Cu.

Namun karena bayangan itu hanya mengikutinya, maka dia pun tak mempedulikan dan melanjutkan gerakannya meloncat naik ke atas tembok benteng seperti seekor burung garuda terbang saja. Loncatannya tidak mungkin dapat mencapai di atas tembok yang demikian tingginya, akan tetapi seperti seekor cecak terbang, dia hinggap di tembok dan menggunakan kaki tangannya menempel tembok, kemudian terus merangkak ke atas menggunakan sinkang-nya yang membuat telapak tangannya menyedot dan menempel dinding, menahan tubuhnya. Dengan cepat dia merayap seperti seekor cecak dan akhirnya dia dapat mencapai pinggiran tembok dan meloncat naik ke atas tembok benteng yang tinggi itu.

Akan tetapi baru saja dia berdiri, kakinya telah menginjak alat jebakan dan dari bawah menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya! Namun, Tek Hoat telah siap waspada dan begitu mendengar bunyi berdesir dari bawah, dia telah meloncat ke atas dan mengelak, lalu turun lagi di atas dinding tembok di depan. Kiranya semenjak benteng itu kebobolan, Im-kan Ngo-ok telah memasang jebakan-jebakan di atas tembok benteng dan satu di antara alat jebakan itu tadi terinjak oleh Tek Hoat.

Tek Hoat terus berloncatan di atas tembok benteng yang berlapis-lapis itu, dari tembok pertama ke atas tembok kedua. Dia melihat bayangan di belakangnya masih tetap mengikutinya, akan tetapi dia tidak peduli dan terus meloncat ke tembok sebelah dalam. Tiba-tiba dia terkejut sekali ketika tembok yang diinjaknya bergoyang dan melesak ke bawah! Karena secara tiba-tiba tubuhnya terjeblos ke bawah, tentu saja dia tidak dapat meloncat lagi ke atas dan ketika dia memandang ke bawah, ternyata di bawahnya telah menanti ujung-ujung tombak yang meruncing.

Dari atas, ujung-ujung tombak itu kelihatan menyeramkan dan orang yang terjatuh ke tempat itu tentu akan tembus-tembus tubuhnya oleh puluhan batang tombak itu. Untuk meloncat ke lain tempat sudah tidak mungkin lagi, maka mau tidak mau Tek Hoat harus terus meluncur ke bawah! Dia cepat mengerahkan ginkang-nya dan ketika ujung-ujung tombak itu telah dekat sekali, dia menggunakan ujung kakinya menotol ujung tombak dan mengenjot ke atas untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak.

Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak seperti seekor burung saja! Dengan berjongkok tangannya mencabut sebatang tombak. Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan gagang tombak itu, lalu dia mengenjot tubuhnya meloncat ke atas. Ketika dia tidak mencapai atas tembok, dia menggunakan tombak patahan tadi untuk menyodok dinding dan dengan tenaga sodokan ini dia dapat berpoksai lagi ke atas. sehingga akhirnya dapat juga dia hinggap di atas tembok kembali.

“Bagus sekali...!” Pujian ini terdengar dari bayangan yang masih mengikutinya dari jauh. Akan tetapi Tek Hoat tidak peduli lagi dan melanjutkan penyelidikannya, meloncat terus ke tembok sebelah dalam lagi.

Sekarang Tek Hoat telah tiba di lapisan tembok benteng yang paling dalam. Tiba-tiba terdengar suara berdering-dering ketika kakinya menyangkut tali rahasia dan Tek Hoat melihat pasukan berbondong-bondong datang ke sebelah dalam tembok. Bahkan ada pasukan dua puluh orang lebih yang menghujankan anak panah ke arah dia berdiri di atas tembok. Akan tetapi, Tek Hoat sama sekali tidak menjadi gentar, dia malah terus meloncat ke dalam sambil memutar tombak yang dicabutnya dari tempat jebakan tadi dan semua anak panah dapat ditangkisnya dan runtuh ke bawah. Dengan ringan kakinya menginjak tanah di tengah-tengah lapangan di sebelah dalam benteng itu dan sebentar saja dia sudah terkurung oleh pasukan penjaga yang banyak sekali. Akan tetapi, pemuda ini berdiri tenang dan sepasang matanya bersinar-sinar menyeramkan.

Tidak ada anggota pasukan yang berani menyerang karena selain tidak ada perintah dari atasan, juga mereka maklum bahwa yang datang ini adalah seorang pemuda yang lihai sekali, seperti Si Naga Sakti dan isterinya yang juga datang ke benteng ini beberapa hari yang lalu. Menghadapi orang-orang sakti seperti ini bukanlah tugas mereka dan memang benar saja, tak lama kemudian terdengar aba-aba dari komandan mereka untuk membuka jalan dan nampaklah Koksu Nepal dan para pembantunya menghampiri tempat itu dan berhadapan dengan Tek Hoat yang memandang kepada rombongan ini dengan sikap tenang dan sinar mata tajam penuh selidik.

“Ha-ha-ha, dia adalah Si Jari Maut! Semenjak tadi aku sudah mengenalinya!” Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Hek-hwa Lo-kwi. Juga Hek-tiauw Lo-mo yang turut datang bersama Koksu Nepal segera mengenal pemuda itu.

“Ang Tek Hoat si Jari Maut, mau apa kau berkeliaran ke sini?” bentaknya.

Tek Hoat memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, lalu terdengar dia berkata dengan sikap angkuh dan tenang, “Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apakah kalian menjadi pimpinan di sini ataukah hanya sebagai pembantu-pembantu belaka? Kalau begitu, siapakah pemimpinnya? Aku mau berbicara dengan pemimpin benteng ini.”

Begitu mendengar julukan Si Jari Maut, biar pun dia belum pernah mendengar julukan yang memang belum lama terkenal di dunia kang-ouw ini, namun koksu sudah merasa kagum. Orang yang mendapat pujian dari dua orang kakek iblis itu tentulah bukan orang biasa, dan pemuda ini masih begini muda, dan cekatan pula, buktinya dapat melalui jebakan-jebakan dengan begitu mudah. Maka dia lalu melangkah maju dan tersenyum lebar.

“Kami, koksu dari Nepal, adalah yang mewakili Pangeran Bharuhendra memimpin benteng ini. Ang-sicu sudah memerlukan malam-malam datang ke tempat ini, ada keperluan apakah?” tanyanya dengan sikap ramah.

Sinar bulan tenggelam, akan tetapi sebagai gantinya, banyak obor dinyalakan untuk membantu penerangan lampu yang banyak tergantung di tempat itu sehingga Tek Hoat dapat mengamati wajah banyak orang itu. Kini dia berhadapan dengan Ban Hwa Sengjin dan setelah sejenak memandang wajah kakek ini dengan penuh selidik, dia lalu berkata dengan lantang, “Kiranya yang memimpin adalah koksu dari Nepal! Sungguh hebat benteng ini, dan kulihat banyak orang-orang pandai membantu di sini. Koksu, aku sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemberontakan. Aku datang untuk urusan pribadi, yaitu aku mencari Puteri Bhutan...”

“Ahhh, Puteri Syanti Dewi?” Koksu Nepal itu memotong sambil tersenyum lebar.

“Benar!” Jantung Tek Hoat berdebar keras. “Bukankah dia berada di sini? Aku datang untuk mencari dia!”

“Ah, tentu saja sang puteri berada di sini, Ang-sicu. Beliau berada di sini sebagai tamu agung!”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Hemmm, siapakah yang tidak tahu bahwa Nepal selamanya tidak pernah bersahabat dengan Bhutan?”

Mendengar ini, Koksu Nepal terkejut dan tiba-tiba Gitananda berbisik dalam bahasa Nepal kepada koksu itu. Wajah koksu itu menjadi berseri. “Aha, kiranya engkau adalah panglima muda yang amat terkenal di Bhutan, yang pernah akan menjadi mantu Raja Bhutan itu? Ah, sungguh kebetulan sekali! Agaknya engkau telah meninggalkan Bhutan dan tidak tahu bahwa antara Bhutan dan Nepal telah terjadi persahabatan. Buktinya, Puteri Syanti Dewi kini menjadi tamu kami, diantar oleh panglimanya.” Dia lalu bicara kepada Gitananda untuk memanggil Mohinta.

Tek Hoat terkejut melihat munculnya panglima muda Bhutan itu di situ. Sebaliknya, ketika melihat Tek Hoat, Mohinta menjadi marah sekali dan bersama para pengikutnya, dia sudah melolos senjata dan hendak menyerang. Akan tetapi koksu mengangkat tangannya dan memberi isyarat kepada Mohinta untuk mundur.

“Ang-sicu, kau lihat sendiri, Panglima Mohinta dari Bhutan sendirilah yang mengawal Sang Puteri Syanti Dewi dan menjadi tamuku. Kita semua adalah merupakan satu keluarga, mengingat bahwa Sicu juga sudah berjasa untuk Bhutan. Nah, sekarang katakanlah, apa maksud kedatanganmu? Sebagai kawan ataukah sebagai lawan?”

Semua orang terkejut dan merasa heran mendengar ucapan koksu yang mengaku bahwa Puteri Bhutan itu berada di situ sebagai tamu. Padahal, bukankah puteri itu telah terculik orang dan sampai kini belum diketahui di mana adanya? Akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan kelicikan koksu ini. Dia memang sengaja mengatakan bahwa Syanti Dewi masih berada di situ, karena dia mempunyai rencana yang dianggapnya baik sekali untuk dapat menahan pemuda yang lihai ini agar dapat membantunya.

“Terserah kepada koksu akan menganggap aku sebagai kawan atau lawan. Maksud kedatanganku sudah jelas, yaitu aku ingin melihat Puteri Syanti Dewi dalam keadaan selamat.”

“Ha-ha-ha, permintaan yang amat mudah, Ang-sicu. Tentu engkau bisa maklum bahwa keselamatan sang puteri sepenuhnya berada di tangan kami. Kalau Sicu mau membantu kami, sudah pasti sang puteri akan selamat...“

“Sudah kukatakan bahwa aku tidak hendak mencampuri urusan pemberontakanmu!” Tek Hoat memotong cepat.

“Baiklah, setidaknya asal engkau suka berjanji bahwa engkau tidak akan membantu pihak musuh kami dan bahwa engkau suka melindungi Puteri Syanti Dewi di sini.”

“Tentu saja aku akan suka melindunginya dari siapa pun juga!” jawab Tek Hoat. “Akan tetapi biarkan aku lebih dulu bertemu dengan dia.”

“Ang-sicu, hendaknya Sicu maklum bahwa setelah Sicu berada di dalam benteng, maka kamilah yang menentukan segala sesuatu, karena betapa pun lihainya Sicu, seorang diri saja tidak berdaya terhadap kami. Sicu baru saja datang, tentu tidak baik kalau bertemu dengan sang puteri. Akan tetapi tunggulah satu dua hari, kalau memang Sicu benar-benar mau tinggal di sini melindunginya dan memperlihatkan iktikad baik bahwa Sicu bukan mata-mata musuh kami, barulah Sicu akan dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.”

Tek Hoat memandang ke sekeliling. Dia melihat bahwa selain Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga terdapat banyak orang yang kelihatan berilmu tinggi. Semua tokoh ini sudah berbahaya, apa lagi ditambah dengan banyak pasukan dan keadaan benteng yang kokoh kuat, memang kalau dia menggunakan kekerasan hal itu adalah bodoh sekali. Apa lagi setelah ada kepastian bahwa Syanti Dewi berada di situ dan dalam keadaan selamat, apa lagi yang dikehendakinya? Dia harus bersabar sampai dia benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Setelah bertemu barulah dia akan mencari akal bagaimana untuk dapat membawa keluar puteri itu dari benteng ini. Kalau hal ini tidak mungkin, setidaknya dia berdekatan dengan wanita yang dicintanya itu dan dapat melindunginya dari gangguan siapa pun juga dengan taruhan nyawanya.

“Baiklah, asal benar-benar dia berada di sini, aku akan melindunginya di sini dan tidak akan mencampuri urusan kalian dengan musuh-musuh kalian,” katanya.

Tek Hoat lalu diberi sebuah kamar dan diam-diam gerak-geriknya selalu diikuti. Pemuda ini pun tidak memperlihatkan sikap mencurigakan karena dia hanya menanti sampai dia dapat dipertemukan dengan kekasihnya. Satu dua hari, kata koksu. Baik, dia akan bersikap baik selama dua hari sampai dia benar-benar melihat sang puteri dalam keadaan selamat.

Sementara itu, kalau semua orang merasa heran, koksu dengan tenang lalu memanggil pembantunya yang amat ahli dalam hal itu, yaitu Ang-siocia dan gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong. Adanya dua orang yang pandai melakukan penyamaran inilah yang membuat koksu tanpa ragu-ragu mengatakan kepada Tek Hoat bahwa Syanti Dewi memang berada di situ sebagai tamu!

“Pemuda selihai itu sebaiknya kalau berpihak kepada kita,” kata koksu kepada para pembantunya setelah Ang-siocia hadir bersama gurunya, “atau setidaknya, dalam menghadapi masa gawat ini, sebaiknya kalau dia di sini dan tidak membantu musuh. Karena itulah aku menggunakan dalih adanya Puteri Syanti Dewi untuk menahan dia di sini, dan untuk melaksanakan akal ini, aku mengharapkan bantuan Ang-siocia, dan tentu saja Hek-sin Touw-ong.”

Dara itu saling pandang dengan gurunya. Semenjak berada di dalam benteng, mereka itu tidak pernah melihat kesempatan untuk melarikan diri karena biar pun mereka itu dianggap pembantu-pembantu, akan tetapi seperti juga Jenderal Kao, mereka adalah pembantu-pembantu yang dicurigai sehingga selalu terjaga dan tidak pernah dibolehkan keluar dari benteng.

“Memang hal itu mudah dilakukan karena kami melihat di sini banyak wanita Nepal yang potongan wajahnya agak mirip dengan sang puteri sehingga mudahlah untuk meriasnya sampai tidak akan ada bedanya dengan wajah sang puteri sendiri,” kata Touw-ong.

“Menghias mukanya memang mudah sekali, juga pakaian dan gerak-geriknya, akan tetapi meniru suaranya harus dilakukan oleh seorang yang mengenal betul cara sang puteri bicara,” kata Ang-siocia. “Kalau benar Ang Tek Hoat itu dahulu adalah tunangan sang puteri, tentu dia akan dapat mengenal cara wanita itu bicara.”

“Bagus!” kata Ban Hwa Sengjin berseru girang. “Soal cara bicara dan lagaknya, di sini terdapat Mohinta yang akan mampu melatihnya karena dia tentu hafal akan kebiasaan sang puteri bicara dan bersikap.”

Mohinta mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya dia tidak setuju kalau Tek Hoat diterima sebagai sekutu di tempat itu. Menurut keinginannya, pemuda itu sebaiknya dibunuh saja! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah kehendak Koksu Nepal yang bertindak demi kepentingan benteng.

Mudah saja bagi Ang-siocia dan gurunya untuk menyulap seorang dayang Nepal yang menjadi pelayan Pangeran Bharuhendra, menjadi Puteri Syanti Dewi. Biar pun baru satu kali guru dan murid ini melihat Syanti Dewi, namun ingatan mereka kuat sekali, dan pula di situ terdapat Mohinta dan para bekas dayang yang melayani sang puteri sehingga mereka ini dapat memberi petunjuk.

Dalam waktu satu dua jam saja berubahlah seorang dayang menjadi Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dari rambut sampai ke kakinya, persis sekali! Kini tinggal melatih dayang itu untuk bersikap dan bicara seperti Syanti Dewi dan hal inilah yang lebih sukar sehingga membutuhkan waktu dua hari di bawah pimpinan Mohinta, baru dayang itu dapat meniru dan agak mirip dengan gerak-gerik dan cara bicara Puteri Bhutan itu. Oleh karena itu, Koksu Nepal memesan kepada dayang itu untuk bicara seperlunya saja dan wanita ini sudah dilatih sampai hafal betul apa yang harus diucapkannya kalau dia sebagai Puteri Syanti Dewi bertemu dengan Ang Tek Hoat!

Demikianlah, setelah dua hari lamanya menanti di situ, akhirnya Ang Tek Hoat ditemui oleh koksu dan kakek ini tertawa lebar. “Ha-ha-ha, girang hati kami melihat bahwa engkau ternyata tidak memperlihatkan sikap yang buruk, Sicu. Maka, sekarang kami memenuhi janji untuk mempertemukan engkau dengan Puteri Bhutan. Tentu saja hanya terbatas, pokoknya Sicu dapat membuktikan bahwa dia selamat di sini dan dapat bicara sepatah dua patah kata.”

Tek Hoat tidak lagi memperhatikan syarat itu karena hatinya sudah berdebar penuh ketegangan dan juga kegirangan. Sejak dia meninggalkan Bhutan, hatinya menderita hebat oleh rasa rindunya kepada Syanti Dewi dan dia sudah merasa putus asa karena tidak mungkin dia akan dapat bertemu lagi dengan kekasihnya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan berada di timur, dia mencari cari sampai akhirnya sekarang tiba saatnya dia akan bertemu muka, berhadapan dan bicara dengan kekasihnya itu! Jantungnya berdebar-debar dan dia hanya dapat mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin dengan perasaan berterima kasih.

Mereka menuju ke satu bagian di dalam benteng itu dan dari dalam sebuah pintu di pondok besar, muncullah Syanti Dewi dengan gerak-geriknya yang lemah lembut dan harus diiringkan oleh beberapa orang dayang. Ketika Syanti Dewi melihat Tek Hoat, dia mengeluarkan seruan tertahan dan berhenti melangkah, lalu memandang dengan mata terbelalak kemudian menundukkan mukanya, lalu jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya. Kebiasaan sang puteri kalau sedang merasa tegang, kebiasaan yang amat dikenal oleh Tek Hoat!

“Dewi...!” Tek Hoat berseru lirih dan melangkah maju, lehernya seperti dicekik rasanya karena terharu dan juga girang. Ternyata kekasihnya itu benar-benar dalam keadaan selamat dan hal ini amat menggirangkan hatinya! “Terima kasih kepada Thian bahwa engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat!” Hanya demikianlah Tek Hoat dapat berseru dengan girang sekali.

“Ang Tek Hoat,” terdengar sang puteri berkata dengan suara agak gemetar, tanpa mengangkat mukanya. “Mau apakah engkau minta bertemu dengan aku...?” Dalam suara itu terkandung kedukaan dan kemarahan.

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Biasanya, Puteri Syanti Dewi menyebutnya koko atau kanda, kini menyebut namanya begitu saja. Dia dapat mengerti bahwa tentu sang puteri ini marah kepadanya, dan dia dapat mengerti mengapa puteri ini marah kepadanya.

“Dinda Syanti Dewi, engkau tahu... betapa berat hatiku berpisah... dan betapa kaget hatiku mendengar engkau berada di sini, meninggalkan Bhutan. Aku hanya ingin melihat engkau selamat dan bahagia...“ Tek Hoat mengeluarkan isi hatinya tanpa malu dan sungkan lagi sungguh pun di situ terdapat empat orang dayang dan juga terdapat Ban Hwa Sengjin. Bahkan dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan tak jauh dari situ. Dan memang diam-diam empat orang Im-kan Ngo-ok lainnya bersiap-siap tidak jauh dari tempat itu, menjaga kalau-kalau Tek Hoat melihat penyamaran itu.

Puteri palsu itu sengaja menyebut Tek Hoat dengan namanya saja karena hal ini sudah diperhitungkan baik-balk oleh Mohinta yang mengatur percakapan itu! Maka berkatalah puteri itu sesuai dengan hafalannya, “Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita. Akan tetapi kalau engkau memperlihatkan bantuan untuk menghadapi musuh dari Pangeran Nepal, baru aku mau mengenalmu lagi. Nah, sampai jumpa pula... dan semoga kau berhasil!” Setelah berkata demikian, puteri palsu itu membalikkan tubuhnya dan diiringkan oleh para dayang dia masuk, kembali ke dalam pondok.

“Syanti...! Syanti Dewi...!” Tek Hoat berseru akan tetapi sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya, puteri itu tidak mau berhenti atau menoleh. Daun pintu ditutupkan oleh para dayang dan ketika Tek Hoat melangkah ke depan, Ban Hwa Sengjin sudah mendekatinya dan menegurnya.

“Sicu, pondok ini khusus untuk sang puteri, tidak ada pria yang boleh masuk. Marilah kita bicara. Saya kira sang puteri sudah cukup jelas bicara.”

Seperti orang yang kehilangan semangat Tek Hoat mengikuti Koksu Nepal dan dengan ucapan Syanti Dewi masih terngiang di telinganya, apa lagi kata-kata terakhir “semoga kau berhasil!” berkesan di dalam hatinya. Dia mendengarkan bujukan-bujukan Koksu Nepal dan akhirnya dia menyetujui untuk melindungi sang puteri di dalam benteng itu dan akan membantu menghalau musuh yang membahayakan keselamatan Syanti Dewi sedapat mungkin!

Selagi koksu membujuk Tek Hoat, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan datanglah penjaga melapor bahwa pasukan Gubernur Ho-nan datang berlari-larian, nampaknya ketakutan dan mengalami kekalahan! Mendengar ini, Ban Hwa Sengjin cepat pergi melapor kepada Pangeran Bharuhendra yang cepat keluar dan pintu gerbang dibuka lebar untuk menyambut datangnya sang gubernur bersama pasukannya yang melarikan diri dari Lok-yang itu.

Dengan muka pucat dan napas terengah-engah Gubernur Kui Cu Kam menceritakan betapa pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Milana telah menggempur Lok-yang dan telah menduduki semua kota, dan tentu akan segera menyerbu ke lembah.

Dalam pertemuan ini, dengan singkat Tek Hoat diperkenalkan kepada sang pangeran oleh Koksu Nepal. Pangeran Liong Bian Cu sudah mendengar laporan lengkap tentang Tek Hoat, maka ia pun menyatakan kegirangannya jika pemuda itu suka membantunya. Kemudian, pangeran memerintahkan supaya semua pembantunya dikumpulkan dan diadakanlah persidangan kilat untuk mengatur rencana dan siasat menghadapi musuh yang sudah mengancam.

Kepada Jenderal Kao Liang yang juga diharuskan hadir, sang pangeran berkata, “Sekarang tiba saatnya engkau memperlihatkan kepandaianmu dan memenuhi janjimu, Jenderal Kao!”

Jenderal yang tua itu dengan wajah muram mengangguk. “Saya akan memperlihatkan bahwa janji saya akan tetap saya penuhi, dan tidak akan ada pasukan mana pun yang mampu membobol benteng ini!” Jenderal Kao Liang lalu berpamit mundur untuk mulai mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas kepada para komandan bawahannya.

Pangeran Liong Bian Cu lalu mengajak Gubernur Kui Cu Kam untuk bicara di dalam, sedangkan persidangan itu dilanjutkan oleh Koksu Nepal yang membagi-bagi tugas kepada para tokoh pembantunya untuk memperkuat kedudukan benteng di sebelah dalam, karena kedudukan di sebelah luar seluruhnya menjadi tanggung jawab Jenderal Kao Liang.

Sibuklah semua orang yang menanti dengan jantung berdebar tegang karena para pasukan gubernur yang melarikan diri ke benteng itu bercerita betapa kuatnya pasukan kota raja yang dipimpin oleh Puteri Milana yang memang terkenal pandai sekali dalam hal memimpin pasukan itu. Puteri Milana ini memang mengingatkan kaum tua kepada Puteri Nirahai, ibunya, yang dahulu juga merupakan seorang panglima besar yang amat pandai. Tek Hoat juga memperoleh bagian dalam pembagian kerja itu, yaitu dia harus melindungi bagian bangunan di mana juga tinggal Puteri Syanti Dewi. Tentu saja pemuda ini menerima tugas itu dengan girang dan dia pun bersungguh-sungguh, karena dia akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawanya.

Pada keesokan harinya, muncullah pasukan kerajaan yang telah dinanti-nanti dengan hati penuh ketegangan oleh semua orang di benteng itu! Pasukan yang besar dan berbaris rapi, dipimpin oleh Puteri Milana. Dari atas menara di tembok benteng sudah nampak debu mengepul tinggi ketika pasukan itu datang dari jauh, kemudian makin lama nampaklah barisan itu seperti serombongan semut yang bergerak dengan teratur. Jantung mereka yang memandang dari atas menara berdebar tegang karena gerakan pasukan besar itu memang amat menyeramkan.

Di atas tebing bukit yang tinggi dari mana orang dapat melihat tembok benteng di kejauhan, Puteri Milana memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Pembawa bendera menggerak-gerakkan bendera sebagai isyarat dan barisan itu pun berhenti.

Puteri Milana menunggang seekor kuda besar berbulu hitam, diiringkan oleh beberapa orang panglima dari kota raja. Gagah dan cantik sekali puteri ini, seorang wanita berusia empat puluh tahun namun kelihatan masih muda, dengan wajah yang cantik dan matang, kelihatan angker dan mendatangkan rasa hormat ketika dia duduk dengan tenang di atas kuda yang besar itu, memegang kendali dengan tangan kiri.

Pakaiannya tertutup oleh baju perang bersisik baja berwarna kuning emas, sehelai mantel merah menutupi pundak dan punggungnya. Rambutnya disanggul ke atas dan ekor rambut berjuntai ke belakang diikat dengan pita kuning. Sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah tanda bahwa pedang itu adalah pedang kebesaran dari kota raja, dari istana, tergantung dipinggang kirinya. Hati setiap orang prajurit tentu akan penuh semangat kalau memandang kepada pemimpinnya seperti itu!

Milana membagi-bagi barisannya dalam pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Serigala, Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan lain nama binatang yang perkasa pula. Para komandan masing-masing pasukan memakai lukisan binatang yang menjadi tanda pasukannya, demikian pun setiap pasukan membawa bendera lambang pasukan berupa gambar binatang itu. Hal ini untuk memudahkan mereka saling mengenal dan sifat setiap pasukan disesuaikan pula dengan lambang binatang yang menjadi nama mereka.

Setelah semua pasukan berhenti, Milana mengamati keadaan benteng yang nampak dari jauh dan kelihatan sunyi itu. Dia sudah mempelajari keadaan tempat di sekitar benteng itu dari gambar yang dibuat oleh para penyelidik, maka kini dia memandang untuk mempelajari keadaan itu sesuai dengan gambar yang pernah dipelajarinya. Memang sebuah benteng yang amat kuat, pikirnya. Dan hatinya terasa perih kalau dia teringat bahwa benteng itu dibuat atas petunjuk Jenderal Kao Liang! Keadaan benteng yang angker, sunyi dan kelihatan kokoh kuat itu benar-benar menggiriskan hati, berbeda dengan benteng-benteng lain di mana kelihatan anggota pasukan penjaga hilir-mudik dan kelihatan sibuk. Tidak, benteng ini seperti kosong saja, bahkan dari luar tak nampak seorang pun penjaga.

Milana masih duduk di atas pelana kudanya dan memandang ke arah benteng dengan alis berkerut dan sinar mata melamun. Dari sebelah kanannya datang seorang Panglima Pasukan Serigala yang melapor dengan suara tegas, “Laporan, Panglima! Para penyelidik melaporkan bahwa benteng itu tak dapat diserang dari belakang karena membelakangi tebing sungai yang penuh rawa-rawa liar dan berbahaya. Kanan dan kirinya tertutup jurang yang dalam. Laporan selesai!”

Milana mengangguk-angguk. “Hemmm, jadi cocok dengan keterangan dalam gambar. Kalau begitu, siapkan pasukan, jalan satu-satunya hanyalah menyerang dari depan untuk mencoba sampai di mana ketangguhan lawan. Akan tetapi, kalau ternyata pihak lawan kuat sekali, jangan memaksakan diri, tunggu tanda untuk mundur agar jangan sampai kehilangan banyak anak buah menjadi korban!”

Komandan itu lalu mundur dan Milana memberi perintah kepada pemegang bendera isyarat untuk menyampaikan perintahnya. Pemegang bendera itu berdiri di atas batu besar dan menggerakkan benderanya dengan gerakan-gerakan tertentu agar terbaca oleh semua komandan. Perintah dari Panglima Puteri Milana adalah agar Pasukan Serigala maju menyerang pintu gerbang depan benteng itu sedangkan pasukan pasukan lain hanya bersiap di kanan kiri sesuai dengan kedudukan mereka tanpa ikut menyerang, hanya melindungi kalau-kalau Pasukan Serigala terdesak agar membantu mereka mundur dengan selamat.

Pasukan Serigala yang terdiri dari sepuluh ribu orang itu lalu dikerahkan dan mulailah pasukan ini menyerang dan menyerbu benteng dari pintu gerbang depan. Setelah jarak mereka mulai dekat dan sejauh sasaran anak panah, tiba-tiba dari atas tembok benteng itu berhamburan datang anak panah dan batu-batu bagaikan hujan menyambut mereka! Hal seperti ini tidak mengejutkan pasukan yang sudah berpengalaman itu dan memang sudah mereka duga lebih dulu. Maka mereka pun cepat mengangkat perisai masing masing untuk melindungi diri dan mereka terus menyerbu sambil bersorak-sorak, dan pasukan-pasukan bagian panah lalu membalas dengan melepaskan anak panah mereka ke tembok benteng, tubuh mereka dilindungi oleh teman yang mengangkat perisai besar. Hiruk-pikuk bunyi anak panah dan batu menimpa perisai-perisai itu.

Puteri Milana menyaksikan penyerbuan Pasukan Serigala itu dengan seksama sambil memandang ke arah atas tembok benteng. Dari menara tembok itu dia melihat bendera merah dikibarkan dan tiba-tiba anak panah dan batu yang meluncur bagaikan hujan dari atas tembok itu berhenti. Pasukan Serigala masih menyerbu terus, kini sudah mulai menaiki lereng menuju ke pintu gerbang.

“Perintahkan mereka mundur!” Tiba-tiba Milana berseru dan pemegang bendera lalu memberi isyarat, disusul bunyi tambur sebagai perintah kepada pasukan itu.

Namun terlambat, karena tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka dan dari dalam pintu gerbang itu keluar batu-batu besar bergulingan ke bawah lereng, juga dari atas tembok dilempar-lemparkan batu-batu sebesar kepala orang ke bawah sehingga batu-batu ini pun bergulingan ke bawah menyambut pasukan musuh!

Diserang secara bertubi-tubi dan mendadak ini, Pasukan Serigala menjadi terkejut. Mereka berusaha menyingkir dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tertimpa dan tertumbuk batu-batu besar sehingga ramailah suara mereka yang diserang oleh batu-batu ini. Terpaksa mereka mundur secara tidak teratur dan dalam penyerbuan pertama ini Pasukan Serigala kehilangan dua ratus orang lebih. Milana melihat dari atas dan nampak olehnya betapa pintu gerbang tertutup kembali dan bendera merah di atas menara itu bergerak-gerak memberi tanda. Tembok benteng musuh kembali menjadi sunyi dan tidak nampak seorang pun prajuritnya!

Milana menarik napas panjang. Hebat, pikirnya. Benar-benar Jenderal Kao Liang telah bekerja untuk musuh! Baik, dia pun harus melawan dengan kekerasan!

Dia memberi kesempatan agar Pasukan Serigala memulihkan tenaga dan mengatur kembali keberesan pasukan itu. Kemudian terdengar aba-abanya nyaring, “Lepaskan panah berapi!”

Pasukan anak panah lalu berindap-indap memencar dari depan, kanan dan kiri, dan tak lama kemudian berluncuranlah anak panah yang membawa api menuju ke benteng itu. Akan tetapi, karena benteng itu berlapis-lapis, maka anak-anak panah berapi itu hanya mengenai tembok benteng di sebelah dalam, tidak mengenai bangunan-bangunan di dalam benteng. Betapa pun juga, hujan anak panah berapi itu membuat para prajurit di dalam benteng terpaksa berlindung dan memadamkan api begitu anak panah itu menimpa tembok sebelah dalam. Sementara itu, diam-diam Milana lalu memberi perintah kepada pasukan untuk menggali lubang-lubang naik ke lereng itu.

Kemudian, tiba-tiba Puteri Milana memerintahkan tiga pasukan, yaitu Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan Pasukan Singa untuk menyerbu dari kanan kiri dan tengah, didahului oleh pasukan yang mengerjakan penggalian-penggalian itu. Kembali hujan anak panah dan batu, yang dibalas oleh serangan anak panah dari pasukan kerajaan. Seperti juga tadi, ketika pasukan penyerbu sudah mulai naik ke lereng, batu-batu besar berjatuhan dari atas dan keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi kini pasukan-pasukan itu sudah siap. Cepat mereka bertiarap ke dalam lubang-lubang itu sehingga batu-batu yang menggelundung itu melewati tubuh mereka. Ada pula yang terkena, akan tetapi tidak begitu banyak dan sebagian besar pasukan selamat dan setelah hujan batu mereda, mereka terus mendaki naik sambil menggali lubang-lubang berikutnya.

Siasat Milana ini berhasil dan akhirnya tiga pasukan itu dapat bergabung dan sambil bersorak-sorak mereka lari menuju ke depan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka disambut oleh teriakan yang mengejutkan dan dari dalam tanah di depan tembok benteng itu terbuka lubang-lubang dan ternyata di situ terdapat pasukan-pasukan pendam yang sudah lama menanti. Begitu keluar dari tempat persembunyian mereka, pasukan pendam ini melepaskan anak panah dari kanan kiri, sedangkan pasukan inti menyerbu dari tengah, dan kini pintu gerbang terbuka dan bersama dengan bunyi tambur dan teriakan-teriakan menggegap-gempita, keluarlah pasukan besar menyerbu dari tengah, menghimpit pasukan kerajaan dari kanan kiri dan tengah.

Terjadilah pertempuran yang hebat, akan tetapi pasukan kerajaan sama sekali tidak mampu untuk mendesak musuh. Bahkan mereka yang coba untuk mendekati tembok, menerima siraman-siraman air panas dari atas tembok sehingga mereka terpaksa mundur kembali! Melihat ini, kembali Milana memerintahkan mundur semua pasukan. Serangan yang kedua itu pun gagal dan ternyata lebih dari seribu orang anak buah pasukan tewas!

Setelah dua kali kegagalan ini, dan melihat betapa tembok benteng itu kembali sunyi, Milana lalu menarik mundur pasukannya dan membiarkan mereka mengaso. Dia sendiri lalu mengadakan perundingan dengan para panglima kerajaan menghadapi benteng musuh yang demikian kuatnya.

Dia tahu atau dapat menduga bahwa yang menggerakkan bendera merah di menara itu tentulah Jenderal Kao, atau setidaknya tentulah pembantu jenderal yang pandai itu. Untuk menyerbu secara nekat dan membobolkan benteng dengan kekerasan, agaknya lebih dulu akan mengorbankan banyak sekali prajurit dan hasilnya pun belum dapat menyakinkan, mengingat betapa kuatnya penjagaan di benteng itu.

Malam tiba dan Milana masih melakukan perundingan dan mencari siasat bersama para panglima pembantunya, terus mencari-cari kemungkinan untuk menyerbu dengan lain cara…..

********************

Sementara itu, pendekar Gak Bun Beng yang mendahului pasukan isterinya, sedang menyusup-nyusup melalui hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan dia melihat Kok Cu dan Ceng Ceng yang bersembunyi di tepi sungai. Dia lalu muncul di depan suami isteri pendekar itu.

Kok Cu dan isterinya terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat bayangan berkelebat. Orang yang datang ini sama sekali tidak mereka ketahui, tanda bahwa orang ini hebat sekali ilmunya. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat siapa adanya orang itu, dia girang bukan main.

“Paman Gak Bun Beng...!” serunya ketika melihat pria yang berdiri sambil tersenyum di depannya itu.

Juga Kok Cu menjadi girang dan cepat dia memberi hormat. Melihat pendekar ini, hati Ceng Ceng menjadi besar dan cepat dia bertanya, “Paman, kapankah pasukan Bibi Milana akan menyerbu ke sini?”

“Dalam satu dua hari ini, kini telah berangkat setelah menduduki Lok-yang.”

“Ahhh, Paman. Benteng itu kuat bukan main, dipimpin oleh...,“ Ceng Ceng tidak mampu melanjutkan karena merasa tidak enak kepada suaminya.

“Aku sudah tahu. Jenderal Kao Liang, ayah mertuamu itu terpaksa oleh karena semua keluarganya ditawan, bukan? Tentu ada apa-apanya ini. Aku akan menyelidiki lebih dulu ke dalam, dan sebaiknya kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu. Ehhh, apakah kalian tidak bertemu dengan Suma Kian Bu? Dia telah lebih dulu meninggalkan kota raja menuju ke sini!”

Kok Cu dan Ceng Ceng saling pandang dengan heran lalu menggeleng kepala. “Kami bertemu dengan Ang Tek Hoat yang mencari Puteri Syanti Dewi dan dia memasuki lembah, entah apa jadinya dengan dia.” Ceng Ceng kemudian menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Tek Hoat. Mendengar hal ini, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.

“Sungguh aneh sekali, mengapa Syanti Dewi kembali dapat terbawa-bawa dalam pemberontakan ini dan dia berada di lembah? Ahh, benteng di lembah itu mengandung banyak rahasia, dan hal ini makin mendorongku untuk lebih dulu masuk menyelidiki ke sana.”

“Keadaan mereka kuat sekali... Paman Gak,” kata Kok Cu yang merasa agak kaku menyebut paman kepada pendekar itu, akan tetapi karena memang pendekar itu adalah suami dari Puteri Milana, bibi dari isterinya, maka dia pun menyebut paman. “Di sana terdapat Im-kan Ngo-ok, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan banyak lagi tokoh tokoh kaum sesat. Karena putera kami juga tertawan di sana, maka kami terpaksa menahan diri dan mencari kesempatan untuk dapat menyelundup masuk dan menolong semua keluarga ayah.” Lalu Si Naga Sakti ini bercerita tentang puteranya yang juga terculik dan tahu-tahu sudah dibawa oleh penculik itu ke dalam benteng dan menjadi tawanan bersama keluarga ayahnya pula.

Mendengar ini, Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya dengan kagum dan juga penasaran sekali. “Ahhh, agaknya Pangeran Liong Bian Cu putera Pangeran Liong Khi Ong yang ternyata juga menjadi Pangeran Nepal ini ternyata lebih cerdik dan berbahaya dari pada ayahnya dahulu. Untuk mencapai cita-citanya, dia tidak segan-segan menggunakan segala macam kecurangan untuk memaksa Jenderal Kao membantunya dan membuatmu tidak berdaya pula dengan menguasai puteramu.”

“Kalau hanya seorang anggota keluarga saja yang ditawan, kami berdua tentu sanggup untuk menyelamatkannya, akan tetapi anggota keluarga sedemikian banyaknya, tidak mungkin menggunakan kekerasan menolong mereka semua,” kata Kok Cu dengan penasaran.

“Paman Gak, kalau Paman sudah berhasil memasuki benteng, harap Paman sudi mengamat-amati keadaan putera kami, Kao Cin Liong.”

Gak Bun Beng mengangguk. Dia maklum bahwa bagi Kok Cu tak mungkin mengajukan permintaan seperti itu karena selain puteranya, juga ayah bundanya, dan keluarga ayahnya semua tertawan di sana, akan tetapi bagi Ceng Ceng sebagai seorang ibu, tentu saja yang diingat hanyalah keselamatan puteranya.

“Jangan khawatir, tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin agar mereka itu tidak sampai terancam.” Bun Beng lalu bangkit berdiri. “Nah, sebaiknya memang kalau kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu sehingga dalam kekacauan itu mereka tidak begitu memperhatikan kalian. Sebelum itu, kehadiran kalian di sana hanya membahayakan keselamatan keluarga kalian yang ditawan. Sampai jumpa,” Setelah berkata demikian, Gak Bun Beng lalu meloncat pergi. Diam-diam Ceng Ceng merasa berbesar hati setelah bertemu dengan pendekar itu karena dengan adanya bantuan pendekar sakti itu, keselamatan puteranya lebih terjamin.

Ke manakah perginya Kian Bu dan Hwee Li? Mereka itu beberapa hari lebih dulu dari Gak Bun Beng meninggalkan kota raja menuju ke benteng di lembah Huang-ho, kenapa setelah Bun Beng sudah tiba di situ, dua orang muda ini belum kelihatan bayangannya? Ternyata mereka berdua itu mengambil jalan memutar. Mereka berdua sudah mengerti benar akan kekuatan di dalam benteng, dan sedikit banyak Hwee Li sudah mengenal keadaan di sekeliling benteng itu.

Maka mereka lalu mencari akal, yaitu hendak menyelidiki benteng itu dari samping, melalui jurang yang amat curam dan sukar, oleh karena itu mereka menggunakan waktu berhari-hari untuk mencari jalan melalui tempat yang amat sukar dan tak mungkin dilalui oleh pasukan atau manusia biasa itu. Sampai beberapa hari lamanya Kian Bu dan Hwee Li mencari-cari jalan rahasia yang menurut Hwee Li terdapat di sekitar jurang itu, namun tanpa hasil. Kian Bu mencela Hwee Li, mengatakan bahwa mungkin tidak ada jalan rahasia itu dan Hwee Li menjadi uring-uringan.

“Aku belum gila,” jawabnya marah. “Kalau tidak ada, perlu apa aku bersusah payah mengambil jalan ini? Memang pintu rahasia itu belum kulihat di sebelah sini, akan tetapi aku sudah tahu di sebelah dalamnya menembus di taman, di belakang rumpun bambu kuning.”

Mereka duduk di atas batu, menyeka peluh karena hari amat panas dan mereka sudah lelah sekali.

Mendadak Kian Bu meloncat berdiri. “Aku pergi dulu sebentar...,“ bisiknya, matanya terus mengincar ke kiri, di mana terdapat semak-semak belukar.

“Mau apa? Ada apa?” Hwee Li bertanya.

“Sssttt, kulihat berkelebatnya bayangan kelinci gemuk di sana tadi. Perutku lapar, aku akan menangkapnya untuk makan.” Kian Bu lalu berjingkat-jingkatan bergerak cepat tanpa suara mencari kelinci yang baru saja dilihatnya. Sebentar saja bayangan pemuda itu sudah lenyap di balik semak-semak.

Hwee Li merasa panas hatinya karena agaknya keterangannya tentang jalan atau pintu rahasia itu tak dipercaya oleh Kian Bu. Dia bangkit berdiri, membanting-banting kakinya dan mulailah dia mencari lagi, mencari sendiri karena hatinya merasa penasaran sekali. Ditelitinya setiap batu, setiap rumpun alang-alang atau semak-semak. Sampailah dia di tepi jurang dan tiba-tiba dia tertegun memandang ke kanan, kemudian cepat tubuhnya bergerak memutar, matanya terbelalak dan mukanya perlahan-lahan berubah merah, tanda bahwa dia mulai marah sekali melihat apa yang sedang terjadi di seberang jurang itu!

Apakah yang sedang dilihatnya? Yang menimbulkan kemarahan hati Hwee Li ternyata adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Seperti telah kita ketahui, dua orang muda ini pun setelah lolos dari tangan Im-kan Ngo-ok lalu pergi menyelidiki benteng. Akan tetapi karena mereka maklum bahwa menyelidiki dari depan amatlah berbahaya, mereka lalu mengambil jalan memutar dan menyelidiki dari samping, melalui jurang jurang seperti yang dilakukan oleh Kian Bu dan Hwee Li.

Ketika mereka harus menyeberangi sebuah jurang yang amat berbahaya, keduanya menggunakan akal. Untuk meloncati jurang itu tidaklah mungkin karena di seberang sana terdapat semak-semak berduri sehingga tidak diketahui bagaimana keadaan tanah di tepi jurang di seberang. Oleh karena itu, Kian Lee lalu mengumpulkan akar-akar yang panjang dan kuat, disambung-sambungnya, kemudian dia mengikatkan ujungnya pada sebuah batu sebesar kepala orang dan melontarkan batu itu ke seberang sampai akar yang merupakan tambang itu melibat pada sebatang pohon dan ditariknya sehingga menegang dan cukup kuat untuk dipakai sebagai jembatan menyeberang.

Dan keduanya sedang menyeberangi tali dari akar yang kuat itu ketika Hwee Li melihat mereka. Biar pun Siang In memiliki ginkang yang amat tinggi dan baginya merupakan pekerjaan amat mudah untuk menyeberang dan berjalan di atas tali itu, jangankan hanya sepanjang itu, meski lima kali lebih panjang pun sanggup dilakukannya, akan tetapi dara ini ternyata merupakan seorang yang mudah merasa ngeri kalau berada di tempat yang curam, maka begitu dia mulai melangkah dan melihat ke bawah, dia menjerit tertahan, “Aihhh... aku... aku ngeri...!” Dan dia lalu menggerakkan payungnya, dibukanya payung itu dan dipergunakannya untuk membantu keseimbangan tubuhnya! Padahal kalau dia tidak merasa ngeri, sambil berlari biasa pun dia sanggup melintasi jurang itu melalui tambang.

Melihat wajah dara itu mendadak menjadi pucat, Kian Lee menjadi tidak tega dan juga khawatir kalau-kalau saking ngerinya dara itu menjadi pingsan dan hal itu tentu saja amat berbahaya. Karena itulah, dia pun kemudian berjalan di belakang dara itu dan memegang tangan kiri Siang In sehingga Siang In menyeberangi tali akar itu dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri digandeng oleh Kian Lee. Dan pemandangan inilah yang membuat wajah Hwee Li menjadi merah saking marahnya. Cemburu menyesakkan dadanya. Dia melihat Kian Lee bergandeng tangan demikian mesranya dengan seorang dara cantik yang memegang payung, seorang dara yang genit! Tanpa disadarinya, tangan kanannya sudah menyambar sebuah batu sebesar kepala orang!

Menurut hatinya yang panas karena cemburu, ingin dia melontarkan batu itu untuk menyambit tali itu agar putus, akan tetapi dia teringat bahwa kalau tali itu putus, bukan hanya dara itu yang akan terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi juga Kian Lee! Maka ketika dia melihat betapa di ujung jurang itu terdapat tempat dangkal penuh lumpur, yaitu setelah hampir tiba di tepi jurang, dia menanti sampai dua orang itu berada di atas genangan lumpur itu, lalu dia menyambitkan batu di tangannya.

“Crottttt...!”

Batu itu menimpa air lumpur dan tentu saja air lumpur itu muncrat ke atas dan Siang In yang berada di depan itu paling banyak terkena lumpur pakaiannya. Tentu saja kedua orang itu terkejut bukan main. Ketika Siang In menoleh dan melihat bahwa yang menyambitkan batu sehingga air lumpur memercik ke pakaiannya itu adalah seorang gadis pakaian hitam yang cantik manis dan yang berdiri sambil bertolak pinggang dan sengaja mentertawakannya dengan mengejek, menjadi panas perutnya. Dia lupa akan kengeriannya, melepaskan tangan Kian Lee dan dengan sekali lompat dia telah tiba di tepi jurang melampaui semak-semak berduri, lalu langsung dia berlari menghampiri Hwee Li!

“Bocah setan, engkaukah yang melempari lumpur itu tadi?” bentak Siang In marah sekali. Payungnya masih terbuka dan kini ujungnya yang runcing itu ditodongkan ke depan. “Kalau kutusukkan payungku ini, mampus kau karena kelancanganmu itu!”

“Ehh, ehh, engkau mau membunuh aku? Bocah iblis, mudah saja kau bicara! Sebelum payung bututmu itu bergerak, lehermu sudah putus oleh pedangku ini!” Setelah berkata demikian, sekali tangan kanannya bergerak Hwee Li telah mencabut pedangnya!

“Bocah siluman gunung! Kau sudah berbuat kurang ajar, melempar lumpur sampai pakaianku kotor semua, masih berani membuka mulut lancang dan kotor? Sungguh selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan anak kurang ajar macam engkau!” Siang In menjadi makin marah.

“Engkau siluman jurang! Memang pantas berlepotan lumpur! Memang aku melempar batu ke lumpur, habis kau mau apa? Apakah tempat ini milikmu? Aku mau melempar ke mana pun aku suka, kau peduli apa?” Hwee Li menantang.

“Bocah ingusan kau harus dihajar!”

Siang In marah sekali, tangan kirinya sudah bergerak menampar ke arah pipi Hwee Li. Tamparannya itu cepat bukan main, seperti kilat menyambar, tetapi Hwee Li adalah seorang ahli silat tinggi, maka dengan miringkan tubuh saja dia dapat menghindarkan diri dan kontan keras tangan kirinya juga bergerak menampar ke arah pipi Siang In.

“Syuuuuuttt...!” Siang In cepat melangkah mundur untuk mengelak.

“Ehh, tahan dulu...! Jangan berkelahi, tahan dulu...!” Kian Lee datang dan pemuda ini tentu saja segera mengenal Hwee Li dan dia berteriak melerai ketika melihat betapa dua orang dara itu sudah saling tampar dan kini bahkan menggerakkan senjata mereka!

Melihat munculnya Kian Lee yang melerai, hati Hwee Li menjadi makin panas dan dalam nada suara Kian Lee itu dia menangkap sikap Kian Lee yang membela dan berpihak pada wanita yang cantik itu. Cemburunya naik ke kepala. Dia membelalakkan matanya, memandang kepada dara itu. Benar cantik sekali, dan pakaiannya juga indah. Seorang gadis pesolek yang sinar matanya genit! Melototlah dia kepada Kian Lee, seperti hendak ditelannya bulat-bulat pemuda itu. Bulat-bulat…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum