JODOH RAJAWALI : JILID-46


“Bocah bermulut lancang dan kurang ajar!” Siang In juga sudah marah sekali dan dia menganggap dara berpakaian hitam itu benar-benar tidak tahu sopan santun serta sombong sekali, maka dia cepat menggerakkan payungnya dan menangkis.

“Cringgg... Tranggg...!”

Bunga api berpijar ketika ujung payung bertemu dengan ujung pedang dan berkali-kali mereka sudah mengadu senjata dan saling serang dengan hebatnya!

“Eh-eh, apa yang terjadi ini...?” Tiba-tiba Kian Bu telah datang dengan loncatan kilat, di tangan kirinya dia memegang seekor kelinci gemuk.

“Bu-te...!”

“Ohhh, Lee-ko...!” Kian Bu girang bukan main melihat kakaknya, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada dua orang dara yang sedang bertanding hebat itu.

Dia kagum juga melihat Siang In yang dapat mengimbangi gerakan pedang Hwee Li yang ganas, dan melihat gadis itu memainkan payungnya dengan gaya yang demikian indah seperti orang menari, teringatlah dia. Gadis berpayung! Tentu saja! Mana mungkin dia dapat melupakan seorang gadis seperti Siang In? Apa lagi seorang gadis yang pernah diciumnya? Gadis itu kini makin dewasa dan makin cantik jelita!

Karena bingung dan khawatir melihat pertandingan dengan senjata itu, Kian Bu tanpa disadarinya sendiri melepaskan kelinci yang tadi dengan susah payah ditangkapnya dan dia mendekati tempat pertempuran itu sambil berseru, “Nanti dulu! Tahan senjata! Aihhh, berbahaya sekali...!”

Siang In meloncat ke belakang dan tentu saja dia segera mengenal Siluman Kecil! Dan setelah kini dia melihat wajah Siluman Kecil, hampir dia menjerit! Itulah dia orang yang dicarinya selama ini! Suma Kian Bu! Tapi dia itu Siluman Kecil. Lihat rambutnya yang putih semua!

“Kau... Siluman Kecil ataukah Suma Kian Bu...?” tanyanya dengan suara tertahan-tahan dan mukanya berubah agak pucat.

Kian Bu tersenyum dan menjura. “Kedua-duanya, boleh pilih yang mana pun...“

Kini tahulah Siang In bahwa orang yang selama ini dicari-carinya bukan lain adalah Siluman Kecil! Dan Siluman Kecil kini agaknya bersama dara cantik berpakaian hitam ini, buktinya kini Siluman Kecil berdiri di dekat dara berpakaian hitam itu, kelihatan memihaknya. Sungguh aneh sekali, dia merasa betapa hatinya panas bukan main, panas dan marah.

“Bagus! Kau boleh maju sekalian mengeroyokku!” katanya dan dengan hebat dia sudah menerjang maju dengan payungnya, menyerang Hwee Li.

“Siluman jahat!” Hwee Li juga memaki dan pedangnya bergerak menangkis, lalu dia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siang In.

Terjadilah pertandingan yang amat seru, sengit, namun sedemikian indah gerakan kedua orang dara yang sama cantiknya ini sehingga dua orang kakak beradik dari Pulau Es itu sampai melongo dan amat tertarik. Terdapat persamaan gerakan dari kedua orang dara itu, keduanya seperti sedang menari-nari, bukan sedang berkelahi, apa lagi karena senjata Siang In adalah sebatang payung yang dapat terbuka dan tertutup. Dan gerakan Hwee Li juga indah sekali. Hal ini tidaklah aneh karena selama dia tinggal bersama Puteri Syanti Dewi, Hwee Li diajari menari oleh Puteri Bhutan itu dan memang Hwee Li suka sekali menari sehingga gerakan silatnya tanpa disadarinya sendiri telah kemasukan gerak tari yang indah, namun tidak kehilangan keganasannya!

Kakak beradik itu saling pandang dari jauh dan keduanya mengangguk, seolah-olah dengan pandang mata mereka itu keduanya sudah sepakat untuk membiarkan dua orang dara yang sama cantik jelita dan sama pandainya menari dan bersilat itu melanjutkan pertandingan mereka dan mereka berdua diam-diam menjaga untuk melindungi dan mencegah kalau sampai ada bahaya mengancam keduanya dari perkelahian itu!

Siang In yang sudah menjadi marah dan kini juga penuh dengan hati panas melihat betapa Kian Bu yang dicari-carinya selama ini ternyata berduaan dengan dara cantik ini, membuat kemarahannya bertumpuk-tumpuk, kini mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, permainan payungnya yang didapatnya dari gurunya, yaitu See-thian Hoat-su kakek yang bertapa di Goa Tengkorak. Memang senjata payung adalah senjata yang istimewa dan karena keanehannya ini maka membingungkan lawan. Apa lagi ketika payung itu terbuka tertutup seperti permainan pedang yang dilindungi tameng, bahkan batangnya yang bengkok itu dipergunakan oleh Siang In untuk mengait leher lawan, sejenak Hwee Li menjadi terdesak dan dibikin kacau permainan pedangnya. Akan tetapi tentu saja Siang In tidak dapat merobohkannya, apa lagi menerobos lingkaran sinar pedang yang hebat itu, hanya mampu mendesak dara pakaian hitam itu.

“Serang gagang payungnya, serang bagian tengah tubuhnya!” Tiba-tiba Kian Bu berkata lirih namun terdengar jelas oleh Hwee Li dan juga tentu saja oleh Siang In.

Mendengar ini, Hwee Li melihat lowongan itu dan begitu gagang pedang menyambar ke arah gagang payung, Siang In menjadi sibuk dan cepat dia menarik payungnya ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwee Li dengan baik.

“Haiiittttt...!” bentaknya dan dia menekuk lengan kirinya, menyikut perut Siang In!

“Ihhhhh...!” Siang In terkejut dan mengangkat kakinya mengelak.

Nyaris perutnya kena disikut! Hwee Li menang angin dan terus mendesak dengan pedangnya sehingga Siang In terpaksa mundur-mundur sambil memutar payungnya yang terbuka seperti perisai. Kini berbalik terdesaklah Siang In dan hatinya makin panas, makin sakit melihat kenyataan betapa Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari carinya sampai dia jauh-jauh pergi ke Bhutan, pemuda yang seringkali membuatnya bangun dari tidur karena mimpi, pemuda yang pernah menciumnya, selain gulang gulung dengan dara pakaian hitam yang cantik jelita ini, juga membantu dara ini dan memberi petunjuk sehingga hampir saja dia mati! Betapa kejam hati pemuda itu! Siang In merasa kedua matanya panas dan dia menahan air matanya ketika dia terus memutar payungnya melindungi tubuhnya dari serangan pedang yang amat ganas dari lawannya.

Mendadak terdengar Kian Lee berkata, “Pertahanan bawahnya lemah, pergunakan tendangan untuk menghalau desakan!”

Juga suara Kian Lee ini jelas terdengar oleh kedua orang dara itu. Siang In menjadi girang dan cepat dia menggunakan kedua kakinya menendang secara bertubi-tubi dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-twi. Kedua kakinya bergerak dengan cepat sekali dan payungnya tetap menahan pedang Hwee Li di bagian atas. Terkejutlah Hwee Li. Terkejut dan juga marah bukan main. Kian Lee telah membantu perempuan ini! Hampir dia menjerit dan menangis! Jelas bahwa Kian Lee mencinta perempuan cantik ini, tentu Kian Lee telah terpikat oleh kegenitan wanita ini! Dia terpaksa mundur lagi agar jangan sampai terkena tendangan.

Pertandingan itu menjadi makin seru dan makin indah, juga lucu. Kadang-kadang Kian Bu memberi petunjuk kepada Hwee Li, dan sebaliknya Kian Lee memberi petunjuk kepada Siang In. Sebetulnya, kedua orang kakak beradik ini memberi petunjuk tanpa maksud untuk mencelakakan seorang di antara kedua dara itu, melainkan merasa sudah sepatutnya memberi petunjuk teman seperjalanan yang terdesak.

Biar pun mereka memberi petunjuk, namun di dalam hati mereka tidak berpihak, bahkan selalu menjaga untuk segera turun tangan mencegah kalau sampai ada yang terancam bahaya terluka. Tetapi, tanpa mereka sadari, sikap mereka ini makin menghancurkan hati dua orang dara itu yang terus bertanding mati-matian dengan hati dibakar cemburu dan kebencian!

Kalau dibuat perbandingan tingkat kepandaian silat antara dua orang dara itu, harus diakui bahwa tingkat kepandaian Hwee Li sedikit lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Siang In. Hwee Li semenjak kecil sudah digembleng oleh seorang yang amat tinggi kepandaiannya seperti Hek-tiauw Lo-mo. Sebagai anak angkat yang dicintanya, tentu saja kakek iblis itu menurunkan semua ilmunya kepada Hwee Li.

Kemudian, Hwee Li menjadi murid dari Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Sungguh pun menurut janjinya dahulu Hwee Li hanya akan berguru tentang racun dan pukulan beracun, akan tetapi karena Ceng Ceng kini tidak lagi menyukai ilmu itu, guru ini telah menurunkan ilmu-ilmu silat, bahkan telah ‘membersihkan’ ilmu silat dari kaum hitam yang dipelajari oleh dara itu dari ayah angkatnya.

Maka tidaklah mengherankan apa bila dalam pertempuran ini, akhirnya Hwee Li yang dapat mendesak Siang In dengan sinar pedangnya yang memang hebat sekali itu. Sifat dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Hwee Li masih amat ganas dan dahsyat, sungguh pun Ceng Ceng sudah banyak menyuruhnya membuang bagian-bagian yang terlalu ganas dan keji.

Karena memang kalah dalam hal mainkan senjata, akhirnya Siang In yang sudah marah dan tak mau kalah itu kemudian menggunakan kekuatan sihirnya. Dia berkemak-kemik, mengerahkan kekuatan batinnya dan memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar, lalu terdengar dia bersuara seperti orang bersenandung, “Nona pakaian hitam yang galak, engkau sudah lelah dan menyerahlah kepada nonamu, berlututlah...“

Aneh sekali, mendengar senandung ini, tiba-tiba saja Hwee Li merasa tubuhnya lemas dan kehilangan tenaga. Pada saat itu, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut kalau saja tidak terdengar suara Kian Bu yang mengeluarkan bunyi melengking panjang. Suara lengking yang aneh dan perlahan, akan tetapi penuh getaran dan seketika Hwe Li merasa biasa kembali dan pedangnya kembali menjadi ganas. Kembali Siang In merasa hatinya tertusuk, karena untuk ke sekian kalinya Kian Bu membantu Hwee Li.

Tadinya, kedua kakak beradik ini hanya ingin menonton permainan silat yang indah itu dan saling membantu supaya tidak sampai ada yang celaka, akan tetapi lambat-laun mereka berdua terseret pula dan masing-masing merasa heran.

Kian Lee mulai memandang dengan terheran-heran dan dengan hati penuh pertanyaan. Adiknya itu membela Hwee Li mati-matian, dan mereka berdua juga sudah melakukan perjalanan bersama, kelihatan begitu mesra! Dan memang adiknya itu mempunyai watak yang cocok sekali dengan Hwee Li. Ah, mengapa dia begitu bodoh? Tidak salah lagi, adiknya itu, Kian Bu, tentu jatuh cinta kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo ini!

Dia tidak tahu bahwa diam-diam Kian Bu juga menduga demikian. Kakaknya melakukan perjalanan bersama dengan Siang In dan kakaknya membantu Siang In mati-matian. Siang In memang cantik jelita dan demikian menarik, maka sudah sepatutnyalah kalau kakaknya itu jatuh cinta kepada dara itu. Diam-diam dia merasa bersyukur sungguh pun ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya.

Mengapa tidak kepada Hwee Li kakaknya mencinta? Dia tahu benar bahwa Hwee Li cinta kepada kakaknya! Hwee Li telah begitu berterus terang kepadanya bahwa dara ini amat mencinta Kian Lee, kakaknya. Dan kini melihat gejala-gejalanya, agaknya Kian Lee jatuh hati kepada dara berpayung yang memang sejak dulu pandai bergaya itu, cantik jelita, manis dan memikat sehingga sukar mencari keduanya dara seperti Siang In!

“Cukuplah, In-moi, cukuplah... kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu berkelahi...!” Akhirnya Kian Lee meloncat di antara kedua orang dara itu dan melerai. Juga Kian Bu meloncat di depan Hwee Li.

Melihat betapa Kian Lee menyebut ‘ln-moi’ demikian mesranya kepada dara itu, Hwee Li tak dapat menahan lagi kemarahannya dan dia lalu membalikkan diri dan lari dari situ sambil terisak menangis! Melihat ini, Kian Bu menjadi khawatir sekali dan juga mengejar dengan cepat. Akan tetapi Hwee Li tidak mau berhenti dan terus berlari, biar pun dihibur dan dibujuk oleh Kian Bu untuk berhenti.

“In-moi, mereka itu bukanlah orang lain...“

Akan tetapi baru berkata sampai di sini, Siang In yang hatinya makin panas melihat Kian Bu mengejar Hwee Li, juga membalikkan tubuhnya dan lari sambil menangis pula. Kian Lee terkejut dan cepat mengejar. Demikianlah, dua orang gadls itu melarikan diri ke jurusan yang berlawanan, dikejar oleh kedua orang pemuda itu yang tidak sempat untuk bicara lagi. Dua orang pemuda yang menjadi bingung sekali.

Setelah napasnya hampir putus karena berlari terus sambil menangis, akhirnya Siang In berhenti dan menjatuhkan dirinya di atas rumput. Muka dan lehernya penuh peluh dan mukanya agak pucat. Kian Lee juga duduk di atas rumput, hatinya menyesal sekali mengapa pertandingan itu berakibat sedemikian berlarut-larut.

“Jadi... jadi Siluman Kecil itu adalah adikmu, Suma Kian Bu itu?” Akhirnya Siang In berkata dengan terengah-engah.

“Benar, sudahkah engkau mengenalnya?” Kian Lee balas bertanya.

“Dan dara itu..., siapakah dia?”

“Ahh, dia itu bernama Kim Hwee Li, dia... puteri dari Hek-tiauw Lo-mo.”

“Hemmm, pantas! Dan adikmu itu... Siluman Kecil itu agaknya jatuh cinta kepadanya, ya?”

Kian Lee merasa sukar untuk menjawab. Dia tidak tahu dengan pasti, tetapi melihat betapa tadi Kian Bu membantu dara pakaian hitam itu...! “Yah, agaknya begitulah,” jawabnya tanpa dipikir panjang karena apa salahnya menjawab demikian, pikirnya. “Mari kita jumpai mereka.”

“Tidak sudi! Kalau aku bertemu dengan perempuan itu, akan kubunuh dia!” tiba-tiba Siang In berkata, suaranya penuh kebencian.

Kian Lee terkejut bukan main dan mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu dengan penuh selidik. Tidak biasa Siang In marah-marah seperti ini! Maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak mempertemukan kedua orang dara yang sedang diamuk kemarahan itu.

Memang Hwee Li telah berlaku keterlaluan, pikirnya, melemparkan batu itu sehingga pakaian Siang In menjadi kotor. Dia tidak mengerti mengapa dara itu berbuat seperti itu. Dia menarik napas panjang karena menduga bahwa Hwee Li masih berwatak kekanak kanakan dan mungkin ketularan watak Hek-tiauw Lo-mo! Sayang, pikirnya. Dara itu tidak jahat seperti ayahnya, mudah-mudahan saja Kian Bu akan dapat mendidik dan menuntunnya ke jalan benar.

Sementara itu, Hwee Li akhirnya juga berhenti karena kehabisan napas. Dia duduk menangis. Kian Bu duduk di depannya, tidak dapat membuka mulut karena dia tahu bahwa Hwee Li marah bukan main. “Dia... dia telah jatuh cinta kepada gadis siluman itu!” teriaknya dan kembali dia menangis.

Kian Bu menarik napas panjang. Dia sendiri juga meragukan kakaknya, mungkin saja kakaknya jatuh cinta kepada Siang In. Memang dara itu amat cantik jelita! “Belum tentu, hanya dugaan saja...,“ katanya menghibur Hwee Li.

Dia tahu kini bahwa Hwee Li marah-marah karena cemburu, “Lebih baik kita jumpai mereka dan kita bicara dengan baik-baik. Gadis itu bukan musuh...“

“Hemmm, agaknya engkau sudah kenal dia. Siapakah dia?”

“Namanya Teng Siang In, dia murid dari See-thian Hoat-su...“

“Hemmm, kakek tukang sihir itu? Pantas saja dia menjadi siluman! Kalau aku bertemu dengan dia, harus kubunuh siluman itu!”

Melihat kemarahan dan kebencian Hwee Li, Kian Bu beranggapan bahwa memang belum waktunya menemui kakaknya dan Siang In, karena kalau hal itu terjadi, sukarlah untuk menahan gadis ini mengamuk! “Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau engkau tidak dapat menemukan jalan rahasia itu, sebaiknya kita langsung saja naik ke atas tembok benteng.”

Pada saat Kian Bu bicara dengan Hwee Li dan Kian Lee bicara dengan Siang In itulah tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dari jauh. Itulah suara pasukan-pasukan dari kerajaan yang mulai menyerbu benteng dan seperti kita ketahui, penyerbuan dua kali dalam sehari yang diatur oleh Puteri Milana itu mengalami kegagalan…..

********************

Kali ini Puteri Milana merasa pusing bukan main. Benar-benar dia dibuat tidak berdaya oleh Jenderal Kao karena segala usahanya untuk menggempur benteng itu selalu gagal dan anak buahnya selalu dipukul mundur. Agaknya siasat apa pun yang digunakannya, telah diketahui belaka oleh Jenderal Kao sehingga tidak ada hasilnya sama sekali.

Ketika beberapa hari kemudian kembali dia mengusahakan penyerbuan besar-besaran. Di antara hujan anah panah, terlihat sebatang anak panah yang diikat sehelai surat. Seorang prajurit memungut anak panah ini dan cepat menyerahkan surat yang dibawa oleh anak panah itu. Puteri Milana cepat membacanya dan ternyata surat itu adalah tulisan dari Jenderal Kao Liang sendiri!

Panglima Puteri Milana!
Jangan menyerang. Kepung saja rapat-rapat. Kami akan bakar gudang ransum. Tunggu gerbang dan menara meledak, baru serbu. Kalau tidak menurut ini, takkan berhasil.
Jenderal Kao Liang

Puteri Milana merasa girang membaca surat ini, akan tetapi juga meragu. Apa maksud jenderal itu? Bagaimana kalau berita yang dikirim ini palsu? Akan tetapi, Jenderal Kao menyebut ‘kami’, siapa tahu jenderal itu telah berhubungan dengan suaminya yang dia percaya tentu telah berhasil menyelundup ke dalam benteng.

Memang tidak salah dugaan panglima wanita ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak begitu sukar bagi Gak Bun Beng untuk menyelundup masuk dengan cara merayap tembok dan menghindarkan diri dari jebakan-jebakan yang dipasang di atas tembok. Dia tidak begitu sembrono sehingga dia dapat menyelinap masuk ke dalam benteng itu tanpa diketahui oleh seorang pun. Benarkah tidak diketahui oleh seorang pun?

Kiranya tidak demikian, karena betapa pun lihainya Bun Beng, tetap saja dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya sendiri kakinya menginjak alat rahasia yang akibatnya hanya Jenderal Kao seorang yang mengetahui akan kedatangannya! Jenderal ini ketika membangun benteng dan membuat alat-alat jebakan dan alat-alat rahasia, diam-diam memasang semacam alat rahasia yang kalau dilanggar oleh penyelundup, hanya dia seorang yang mengetahuinya. Dan begitu mengetahui, dia sudah cepat berhubungan dengan Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia secara rahasia pula!

Bagaimana pula ini? Ternyata Ang-siocia dan suhu-nya yang amat cerdik itu, dengan kepandaian mereka menyamar dan mendandani orang, telah dapat menarik hati koksu dan mereka berdua selamat dan diampuni dari dosa-dosa mereka ketika mereka menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dahulu itu, bahkan mereka lalu diangkat sebagai pambantu-pambantu yang selalu diawasi gerak-geriknya. Mereka, seperti juga Jenderal Kao, tidak boleh keluar, akan tetapi kecerdikan Ang-siocia tidak memungkinkan koksu dan kaki tangannya mengetahui betapa guru dan murid ini secara diam-diam mengadakan hubungan rahasia dengan Jenderal Kao Liang!

Touw-ong dan Ang-siocia segera tahu akan duduknya semua perkara, dan tahu pula bahwa jenderal itu membantu pihak pemberontak hanya karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena semua keluarganya tertawan. Maka, dengan cerdik Ang-siocia kemudian menghubungi jenderal ini yang segera menaruh kepercayaan besar kepada mereka dan diam-diam dua orang ini menjadi pembantu-pembantu Jenderal Kao Liang yang seperti telah diduga oleh puteranya sendiri dan oleh Gak Bun Beng dan para orang gagah lainnya, diam-diam mempunyai rencana yang hebat terhadap para pemberontak yang telah memaksanya berkhianat itu!

Maka, ketika Jenderal Kao tahu akan kedatangan orang pandai, karena hanya orang pandai sekali sajalah yang tidak sampai melanggar jebakan-jebakan, hanya tanda rahasia untuk dirinya sendiri, cepat dia memberi tanda rahasia kepada Ang-siocia dan gurunya untuk ‘menyambut’ kedatangan orang pandai itu dan dia menunjukkan di mana tempat orang pandai itu datang yang diketahuinya dari alat rahasia yang oleh Bun Beng telah dilanggar itu.

Demikianlah, dapat dibayangkan betapa kagetnya Bun Beng ketika baru saja dia melayang turun di tempat yang amat sunyi, di taman yang indah dalam benteng itu, suara wanita yang halus menegurnya, “Selamat datang, sahabat!”

Baru saja berhenti bicara mulut Ang-siocia, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena orang itu dengan kecepatan kilat telah menotoknya tanpa ia mampu bergerak sama sekali. Ang-siocia terkejut bukan main dan dengan tidak berdaya sama sekali dia merasa betapa tubuhnya dipondong dan dibawa ke belakang sebuah gudang, di mana terdapat lampu penerangan. Orang itu memeriksanya di bawah lampu dan ketika melihat bahwa dia benar-benar seorang wanita muda yang cantik, orang itu kembali membawanya menyelinap ke dalam gelap lalu membuka totokannya, akan tetapi jari-jari tangan yang kuat menempel di tengkuknya dan orang itu berkata, “Jawablah baik-baik. Kalau berteriak, sekali tekan kau akan mati!”

“Sialan dangkalan...!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa itu mengomel dan merengut, mengerling kepada laki-laki setengah tua yang lihainya bukan alang kepalang itu.

Laki-laki itu adalah Bun Beng dan dia merasa sungkan juga harus menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita yang ternyata adalah seorang gadis muda yang cantik. Akan tetapi dia berada di sarang musuh, di dalam benteng yang berbahaya dan kedatangannya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati itu ternyata telah ketahuan oleh gadis ini! “Hayo kau cepat bawa aku kepada Jenderal Kao, dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni lain dari benteng ini. Awas, nyawamu berada di tanganku!”

Akan tetapi jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan Bun Beng. “Justeru aku menyambutmu adalah atas perintah Jenderal Kao Liang yang sudah mengetahui akan kedatanganmu. Akan tetapi ternyata kau bukan manusia baik-baik, melainkan seorang yang kasar dan kejam. Tidak, aku tidak mau membawamu kepada Jenderal Kao, karena agaknya engkau berniat buruk. Biar pun kau seribu kali membunuh aku, aku Ang-siocia yang sudah berani memasuki sarang naga dan harimau ini tentu tidak takut mampus!” Marah sekali Ang-siocia, bukan hanya karena dia diancam dan diperlakukan dengan kasar, akan tetapi melihat kenyataan betapa dia sama sekali tidak berdaya, tidak berkutik ketika ditangkap dan di bawa ke tempat terang lalu diseret lagi ke tempat gelap, dibebaskan totokannya dan kini tengkuknya diancam. Seperti ayam yang sama sekali tidak berdaya! Padahal biasanya dia amat mengandalkan kepandaiannya!

“Ahhh, maafkan aku... siapakah engkau?” Bun Beng bertanya.

“Hemmm, orang kasar. Engkaulah yang harus lebih dulu memperkenalkan diri, baru aku akan mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk kubawa kepada Jenderal Kao ataukah tidak.”

Menghadapi gadis yang ternyata berani mati ini, Bun Beng merasa tidak berdaya. Akan tetapi dia sudah amat tertarik, karena kalau gadis ini adalah pembantu Jenderal Kao, bahkan tadi menyatakan bahwa gadis ini sudah berani memasuki goa harimau dan naga, maka berarti bahwa gadis ini bukanlah kaki tangan dari musuh!

“Namaku adalah Gak Bun Beng, Jenderal Kao tentu mengenalku.”

Sepasang mata yang jeli itu terbelalak. “Gak... Gak-taihiap...?” Ang-siocia berseru dengan kaget sekali. “Ahhh, maafkan aku yang tidak mengenal Taihiap, mari kita cepat pergi dari sini, menemui suhu. Taihiap harus cepat menyamar, sesuai dengan rencana kami atas perintah Jenderal Kao,” bisiknya.

Tanpa ragu-ragu lagi Ang-siocia menggandeng tangan pendekar itu dan dibawanya pergi menyelinap melalui semak-semak dan memasuki pintu belakang sebuah pondok. Mereka tiba di dalam sebuah kamar dan di situ telah menanti seorang kakek yang mukanya hitam. Kakek itu segera menjura dan berkata, “Selamat datang, Gak-taihiap, kami sungguh lega dan girang sekali melihat Taihiap datang.”

Bun Beng memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal kakek dan gadis ini, walau pun kini dia dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Gadis itu benar-benar seorang gadis muda yang cantik dan lincah, nampak gagah dan berani, sedangkan kakek itu biar pun mukanya hitam, namun memiliki sepasang mata yang tajam.

Bun Beng segera menjura kepada mereka. “Agaknya Ji-wi telah mengenalku, akan tetapi maaf kalau aku tidak mengenal siapa Ji-wi dan apa hubungan Ji-wi dengan Jenderal Kao.”

Sebelum guru dan murid itu sempat menjawab, terdengar pintu depan diketuk orang! Guru dan murid itu kelihatan terkejut dan terdengar Touw-ong bertanya, “Siapa di luar?”

“Touw-ong, apakah Ang-siocia di dalam?”

Mendengar suara Ngo-ok, guru dan murid itu makin kaget dan Bun Beng dengan tenang dan waspada mengamati gerak-gerik mereka.

“Aku di sini. Ada apakah, Siansu?” tanya Ang-siocia.

“Aku disuruh oleh koksu untuk memanggilmu, Ang-siocia. Ada urusan penting hendak dibicarakan. Sekarang juga!” terdengar suara dari luar itu.

Ang-siocia memandang gurunya yang mengangguk, dan gadis itu lalu melangkah menuju ke depan untuk membuka pintu depan. “Dia itu Ngo-ok Toat-beng Siansu, saya harus membayangi dan melindungi murid saya, harap Taihiap tunggu di sini!”

Tentu saja Bun Beng belum percaya sepenuhnya kepada guru dan murid yang belum dikenalnya itu, maka dia berkata, “Biar aku yang membayangi.”

Touw-ong terkejut bukan main dan seperti yang dialami oleh muridnya tadi, tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya telah lemas karena tertotok! Sebetulnya, tingkat kepandaian Touw-ong sudah cukup tinggi dan kiranya tidaklah akan demikian mudah bagi Bun Beng untuk menotok kakek itu dengan sekali gerakan saja, akan tetapi gerakan Bun Beng tadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakek itu sehingga dia hanya melihat tangan pendekar itu berkelebat dan tahu-tahu dia telah roboh lemas. Akan tetapi Si Raja Maling ini tidak menjadi heran karena dia sudah mendengar nama besar pendekar Gak Bun Beng ini sebagai seorang pendekar yang luar biasa tinggi ilmunya.

Ang-siocia sudah membuka pintu dan mengikuti kakek tinggi seperti pohon bambu itu keluar dari pondok. Nona ini memang sengaja bersicepat agar Ngo-ok tidak melongok ke dalam di mana terdapat seorang asing. Dia tidak tahu betapa Bun Beng malah telah merobohkan gurunya dan kini bagaikan bayangan setan telah mengikutinya dengan diam-diam dari jarak tidak terlalu jauh, akan tetapi dengan amat hati-hati karena Gak Bun Beng sudah terkejut sekali ketika mendengar dari Si Raja Maling tadi bahwa si jangkung itu adalah Ngo-ok Toat-beng Siansu.

Tentu saja dia pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok dan tidak disangkanya sama sekali dia akan melihat seorang di antara mereka berada di tempat ini. Memang dia dan Milana belum mendengar bahwa Im-kan Ngo-ok berada di dalam benteng lembah, bahkan Kian Bu dan Hwee Li sendiri pun belum tahu maka kedua orang muda ini tidak menceritakan tentang adanya Im-kan Ngo-ok itu kepada Milana. Baru dari Ceng Ceng dan suaminya dia mendengar tentang mereka.

Di tempat yang sunyi, tiba-tiba Ang-siocia berhenti dan menegur si jangkung yang berjalan di depannya, “Ehh, kita mau ke mana?”

“Ke sana! Koksu menanti di sana,” jawab si jangkung itu sambil menuding ke arah sebuah pondok.

“Aneh, kenapa koksu tidak menanti di tempat tinggalnya sendiri?” Ang-siocia mengomel akan tetapi dia melangkah terus bersama si jangkung.

Setelah mereka tiba di depan pondok yang sunyi itu, tiba-tiba si jangkung membuka pintu dan berkata, “Mari kita menemui koksu.” Dia lalu memegang lengan gadis itu dan menariknya masuk, menutupkan kembali pintu itu, lalu dia menyeringai.

Ang-siocia terkejut bukan main. Pondok itu kosong dan melihat sikap si jangkung itu, jelaslah apa kehendaknya. “Mau apa kau? Mana koksu? Biarkan aku keluar!” teriaknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya sudah disambar oleh tangan Ngo-ok.

“Nona, sudah lama aku tergila-gila kepadamu!”

“Eh, lepaskan aku!” bentak Ang-siocia, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terangkat ke atas dan dipegang oleh sebelah tangan saja, dia tidak berdaya melepaskan diri sama sekali, sedangkan tangan yang lain dari si jangkung itu bergerak hendak merenggut pakaian Ang-siocia.

Dara itu terkejut setengah mati, kakinya menendang ke depan, ke arah perut si jangkung itu.

“Desss...! Hukkk...!”

Ngo-ok melepaskan tubuh Ang-siocia dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya terbelalak memandang ke arah gadis itu. Tak disangkanya bahwa tendangan nona itu sedemikian kuatnya sehingga perutnya seketika terasa mulas! Dia tidak tahu bahwa sebenarnya yang menghantam perutnya bukanlah kaki atau tendangan Ang-siocia melainkan sambaran angin pukulan yang dilakukan oleh Gak Bun Beng dari luar pondok.

Pendekar ini mengintai dari jendela dan pada saat Ang-siocia menendang, dia telah membantunya dengan pukulan jarak jauh, tepat mengenai perut si jangkung yang amat lihai itu. Orang lain yang disambar angin pukulan jarak jauh dari Gak Bun Beng, tentu akan remuk isi perutnya, akan tetapi Ngo-ok hanya merasa mulas saja sebentar!

Marahlah Ngo-ok dan kini dia memandang kepada Ang-siocia dengan mata disipitkan dan mukanya berubah menyeramkan.

“Tunggu!” Ang-siocia yang cerdik cepat berseru. “Ingat, aku telah menerima janji dari Sam-ok atau koksu bahwa kalau perjuangan ini selesai, aku akan diambil selir olehnya. Kau sama sekali tidak boleh ganggu aku!”

Mendengar ini, Ngo-ok terkejut, akan tetapi dia lalu menyeringai. “Kalau begitu, aku takkan membunuhmu, hanya mendahuluimu apa salahnya? Heh, tendanganmu boleh juga.”

Ang-siocia sudah merasa heran sendiri betapa tendangannya tadi dapat membuat terlepas pegangan kakek jangkung itu, bahkan membuatnya terhuyung. Akan tetapi kini melihat kakek itu melangkah maju, dia menjadi gentar. “Kalau kau memaksaku, aku akan menceritakan kepada koksu, hendak kulihat apakah dia tidak akan marah dan menghukummu!”

Mendengar ini, Ngo-ok menjadi ragu-ragu. Dia kena digertak dan dia mulai melihat bahaya kalau dia memaksa. “Ah, Nona Manis, mari layani aku sebentar... aku tidak akan menyakitimu...“

Akan tetapi Ang-siocia sudah lari ke pintu. “Kalau kau tidak menyentuhku, aku tidak akan bicara apa-apa kepada koksu!” katanya sehingga ketika Ngo-ok hendak mengejar, si jangkung ini kembali tertegun dan meragu.

Ang-siocia terus berlari cepat dan teringat akan ini, Ngo-ok mengejar, akan tetapi begitu keluar dari pintu pondok, dia jatuh menelungkup! Dia cepat bangkit dan mencaci-maki ambang pintu, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana dia, seorang ahli berlari cepat dengan kaki yang panjang dan langkah yang tinggi, dapat tersandung pada ambang pintu sampai jatuh menelungkup?

“Setan...!” dia mengomel lalu pergi dari situ. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang membuatnya jatuh menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng!

Ang-siocia memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat gurunya rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba dari belakangnya, Gak Bun Beng sudah memegang lengannya dan pendekar ini lalu bertanya, “Apa artinya janji koksu mengambilmu sebagai selir itu?”

Ang-siocia menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi merah. Pendekar ini tadi telah membayanginya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan tendangannya yang ampuh tadi dan dia menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam dan tidak peduli melihat nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak berhasil melepaskan diri.

“Benarkah engkau menjadi calon selir Koksu Nepal?” tanyanya dengan suara mendesak, sinar matanya tajam penuh selidik. Kalau benar gadis ini, yang memang cantik dan lincah, menjadi calon selir koksu, maka gadis ini berarti kaki tangan musuh!

Kalau menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia menjadi calon selir koksu, pendekar itu mau apa? Akan tetapi dia tahu akan gawatnya keadaan, apa lagi melihat gurunya dalam keadaan tertotok tak berdaya, maka biar pun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga dengan marah.

“Kalau aku tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos? Siapa sih yang sudi menjadi selir manusia macam Koksu Nepal?” Dia berkata setengah berteriak saking marahnya karena dia dicurigai.

“Sssttttt.... jangan keras-keras berteriak!” Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara itu berteriak, karena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya.

“Biar aku berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!”

“Sudahlah, aku bersalah telah mencurigarmu, Nona,” berkata Gak Bun Beng sambil melepaskan pegangannya.

Ang-siocia cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang erat-erat tadi. “Habis Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan mengapa Suhu menjadi begini?”

“Maaf, maaf... sekarang aku baru percaya,” kata Gak Bun Beng dan pendekar ini segera membebaskan totokannya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu.

Touw-ong dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis berkerut. “Sungguh aneh sikap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami guru dan murid,” katanya setengah menegur.

Gak Bun Beng kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tak senang lalu cepat berkata, “Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng musuh, maka tentu saja dia terlalu berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat. Untung ada Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah celaka, Suhu.” Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak Bun Beng telah menolong dengan ilmunya yang tinggi.

Mendengar ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada Gak Bun Beng.

“Ahh, terima kasih saya haturkan kepada Gak-taihiap yang telah menyelamatkan murid saya...“

Gak Bun Beng menggoyang tangannya dengan tidak sabar. “Sudahlah, kita adalah orang sendiri, menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi? Lebih baik Ji-wi menceritakan kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan siapa-siapa saja yang tertawan, siapa pula yang menjadi pembantu koksu, siapa di antara mereka yang lihai.”

“Sebelum kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak sampai mudah ketahuan musuh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita sambil melakukan penyamaran yang akan dikerjakan oleh Suhu.”

Mendengar kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk. “Memang sebaiknya demikian. Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya cukup dikenal di sini, kalau Taihiap menyamar sebagai saya, tidak akan dapat diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula.”

Gak Bun Beng setuju dan Touw-ong mulai ‘mengerjakan’ muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong yang kedua! Sambil mengerjakan penyamaran itu, Touw-ong dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan di dalam benteng yang didengarkan penuh perhatian oleh pendekar itu. Bun Beng mendengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ kini telah lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia mendengar betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng, betapa pemuda itu telah tertipu dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di situ sebagai tawanan.

“Kami yang merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi,” kata Ang-siocia sambil tertawa. “Yang dikira Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat percaya sepenuhnya.”

Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, “Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian yang amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biarkan dia tertipu yang akan membuat dia tenang. Kalau dia tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita.”

Kemudian guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi Jenderal Kao Liang.

“Sungguh kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu,” kata Touw-ong, “Dia seperti seekor naga yang telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya tertawan, maka mau tidak mau dia harus menuruti semua permintaan koksu. Akan tetapi, jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu saja hanya untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan besar, dan hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi kepada kami pun dia tidak mau membuka rencana siasatnya itu.”

Touw-ong kemudian melatih Bun Beng untuk bergaya dan bicara seperti dia supaya penyamarannya menjadi sempurna, baru pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia untuk menemui Jenderal Kao Liang. Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia tidak banyak bicara, hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata, “Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini. Sekarang makin yakinlah hatiku bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini dan keluargaku akan dapat diselamatkan!”

Gak Bun Beng menekan tangan jenderal itu. “Percayalah, Goanswe, saya pasti akan membantu sampai keluargamu semua selamat.”

Mereka tidak berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biar pun Jenderal Kao Liang, Touw-ong dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, akan tetapi mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu. Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu berpamit dan pergi lagi kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia.

Bukan hanya Jenderal Kao yang berbesar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong dan muridnya merasa girang sekali. Mereka lalu mengadakan perundingan secara diam-diam untuk mengatur siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak sudah tiba.

Koksu Nepal merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao terhadap penyerbuan tentara kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali serangan dari pasukan kerajaan itu dapat dihalau dan dipukul mundur. Dan pada malam itu, saking girangnya, Koksu Nepal bersama-sama para saudaranya dalam gerombolan Im-kan Ngo-ok, kemudian mengadakan pesta kemenangan untuk menghormati dan menyenangkan hati Jenderal Kao Liang. Pesta besar diadakan dan semua pembantu diundang.

Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta bersama Ang-siocia. Pada kesempatan ini Bun Beng dapat melihat sendiri semua anggota Im-kan Ngo-ok. Juga dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat, pemuda lihai yang berwatak aneh dan keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi palsu yang kelihatan sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal. Diam-diam Gak Bun Beng merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia sendiri pun tidak akan menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu! Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi kesempatan kepada Jenderal Kao untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan menghadiri pesta.

Karena Koksu Nepal benar-benar merasa bersyukur dan gembira, bahkan dia mulai percaya kejujuran Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang jenderal diperbolehkan untuk beramah-tamah dengan keluarganya. Akan tetapi, pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati Gak Bun Beng.

Jenderal Kao Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang, yaitu tokoh-tokoh pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya, lalu anak-anaknya dan semua anggota keluarganya seorang demi seorang. Ada beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya.

Adegan yang mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu.

“Kao-goanswe, pekerjaanmu sungguh baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kemenangan, tentu engkau dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi sayang, kita sekarang agaknya terancam bahaya. Kita telah dikepung musuh dan agaknya musuh hendak memperketat kepungan, membikin putus hubungan antara kita dengan dunia luar benteng.”

Jenderal Kao Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata, “Harap Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu.”

“Ha-ha-ha, hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Pangeran. Berkat siasat Jenderal Kao Liang yang sudah lama memperhitungkan kemungkinan bahaya ini, gudang-gudang kita telah penuh dengan ransum kering yang akan cukup untuk kita pakai selama satu tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan mengepung kita selama itu dan sudah tentu pula Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi pengepungan musuh,” kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal itu.

“Kong-kong, kenapa pula Kong-kong menangis? Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong adalah seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa seorang yang gagah pantang menangis. Mengapa Kong-kong menangis?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring ini yang membuat semua orang memandang kepada Cin Liong, karena bocah itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao sendiri menoleh dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu.

Diam-diam Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat menduga bahwa tentu anak itulah yang oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, putera dari Kao Kok Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat, pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan hati seorang gagah seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya yang masih kecil!

Melihat keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu Nepal lalu mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh pengawal mengantar kembali semua keluarga Kao, juga termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu. Ang Tek Hoat yang sejak tadi belum berhasil mendekati Syanti Dewi merasa kecewa, akan tetapi dia tidak melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat kekasihnya itu dalam keadaan sehat dan selamat.

Pesta dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan melihat ini, Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan membawanya kembali ke kamarnya. Dalam perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di kamarnya, mereka berunding.

Perundingan singkat itulah yang membuat Panglima Milana akhirnya dapat menemukan surat pemberitahuan dari Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana mengerahkan pasukannya menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu ‘menahan’ musuh. Maka sudah terjadi permufakatan antara mereka berempat untuk membakar gudang-gudang ransum sesuai dengan rencana yang diatur oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti tanda yang akan diberikan oleh jenderal itu.

Ketika terjadi penyerbuan yang terakhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng menggunakan keadaan yang ribut untuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk menyelundup masuk benteng lewat tembok tinggi di samping kiri agak jauh dari tempat penyerbuan pasukan kerajaan.

Ang-siocia yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda tanda rahasia, menyambut datangnya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri ini yang tanpa mereka sadari telah menginjak alat-alat rahasa pribadi Jenderal Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan mereka dan menyambut. Maka terkejutlah suami isteri itu pada saat mereka meloncat turun dan menyelinap di antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada sesosok tubuh ramping berkelebat disusul suara Ang-siocia yang halus.

“Kao-taihiap dan Lihiap, cepat ke sinilah...“

Suami isteri itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata pendekar itu mencorong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil berbisik, “Harap Taihiap jangan curiga, saya adalah utusan dari Jenderal Kao. Cepat, ke sinilah...“

Kao Kok Cu dan Ceng Ceng kemudian cepat mengikuti Ang-siocia menuju ke sebuah kandang kuda dan mereka memasuki sebuah kamar sederhana di belakang kandang kuda itu. “Harap kalian bersembunyi dulu di sini sampai keributan dari perang di luar itu selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu, yaitu Hek-sin Touw-ong, Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sendiri.”

Mendengar ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah tidak sabar lagi menanti berkata, “Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan engkau bekerja sama dengan ayah mertuaku?”

Ang-siocia mengangguk. “Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa menjadi pembantu-pembantu di sini.” Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa dia dan suhu-nya bertemu dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka berdua membantu dua orang muda itu berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi sehingga akhirnya mereka berdua tertawan.

“Untuk menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu Nepal. Namun diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao Liang.”

Hati Ceng Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan berkata, “Adik yang baik, kalau begitu harap kau cepat membawaku bertemu dengan puteraku!”

Ang-siocia mengangguk. “Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini, koksu telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga para tawanan dengan ketat. Sebaiknya nanti saja jika keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi Enci harus menyamar, jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengaturnya.”

Kao Kok Cu juga menasehati isterinya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali saja mereka itu gagal sehingga diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan membahayakan semua keluarga mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah pimpinan Puteri Milana kembali mengalami kegagalan dan setelah menerima surat yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui anak panah yang dilancarkan diam-diam oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong, Milana lalu menarik mundur pasukannya, lalu membagi-bagi pasukannya untuk melakukan pengepungan dengan ketat.

Gak Bun Beng lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding dan Ceng Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak lama kemudian di ruangan itu telah ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala galanya!

“Sebaiknya Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga kandang,” kata Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia pun tahu bahwa dia tidak mungkin dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain.

Jenderal Kao Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya, yaitu Kok Cu, bersama isterinya, telah tiba di dalam benteng. Betapa pun rindu rasa hatinya, namun dia tidak mau bertemu dengan putera atau mantunya. Amat berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan umum, karena puteranya itu pernah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar mereka semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang.

“Kalian harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil. Musnahnya gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu barulah aku akan memberi tanda kepada Puteri Milana untuk melakukan penyerbuan besar-besaran,” demikian pesan Jenderal Kao Liang yang telah mengatur rencana. Anehnya, jenderal ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara terperinci sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat menduga-duga saja siasat apa yang akan digunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang demikian kuatnya itu di samping membakar gudang-gudang ransun.

Puteri Milana mentaati pesan dari Jenderal Kao Liang. Dia lalu mengatur pasukannya, mengepung benteng itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya kadang-kadang saja dia membiarkan pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali menjaga dengan ketat sehingga pihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan hubungan dengan luar benteng. Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah menanti sampai beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan belum juga ada tanda dari Jenderal Kao untuk membolehkan dia melakukan penyerbuan.

Gak Bun Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat menanti dengan sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka semua itu percaya penuh akan kelihaian sang jenderal mengatur dan menjalankan siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu akan hal ini dan tidak dapat menanti! Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng ketika empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam benteng menjadi geger! Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In yang menyelundup masuk dari dinding timur, dan Suma Kian Bu bersama Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat!

Mula-mula terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur oleh karena ada tanda rahasia yang terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan anak panah pada dua sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun semua anak panah itu luput dan dua sosok bayaangan orang itu cepat lenyap dalam kegelapan malam di sebelah dalam benteng! Waktu itu sudah lewat tengah malam, sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi gempar ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di dalam benteng itu serentak bangun dan melakukan pengejaran dan pencarian. Namun, dua sosok bayangan orang yang dikabarkan menyelundup ke dalam benteng itu telah lenyap.

Selagi para tokoh dan penjaga mencari-cari, tiba-tiba terdengar tanda bahaya di sebelah barat, menandakan bahwa ada pihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat pula. Maka keadaan menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana sini, para tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari karena dikabarkan bahwa dari dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan manusia yang memiliki gerakan luar biasa gesitnya. Gegerlah seluruh benteng. Koksu sendiri sampai terbangun dari tidurnya kemudian dia sendiri bersama para saudaranya memimpin pengejaran dan pencarian terhadap empat orang penyelundup yang dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu.

Tentu saja sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus terusan di dalam benteng setelah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi itu mencari dengan penuh semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para penjaga yang mencari-cari sehingga mereka terpaksa mempergunakan kepandaian dan lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga keadaan menjadi makin kacau-balau.

Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang mengenal baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah untuk bersembunyi. Hwee Li hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu.

“Kita bekuk dia dan dengan dia menjadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka semua,” kata Hwee Li. “Kau tangkap dia dan betapa pun lihainya, aku yakin engkau akan dapat menang dan membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar suka membebaskan Jenderal Kao dan keluarganya.”

“Hemmm, mana mungkin begitu mudah? Kalau koksu menolak?”

“Apa? Menolak? Kita ketuk kepala si hidung kakatua itu sampai dia minta-minta ampun. Dia adalah seorang Pangeran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan mengalah. Kita kan hanya minta tukar orang?”

“Hemmm, kau benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu terjaga kuat. Jangan kau bertindak ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap lebih dulu.”

“Cerewet amat sih, kau ikut aku saja. Mari...!”

“Tangkap penjahat...!” Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap mereka, diikuti oleh enam orang prajurit. Teriakannya ini diikuti oleh teriakan-teriakan enam orang prajurit itu sehingga keadaan menjadi gaduh.

“Sialan! Diam kau!” Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan sebelum perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li sudah menampar.

Telapak tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu mengenai telinga kiri si perwira dan terasa olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya melihat seribu bintang runtuh. Dia terpelanting dan roboh tak sadarkan diri! Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang prajurit itu, dia melihat betapa enam orang itu telah roboh semua oleh Kian Bu, padahal dia tadi tidak mendengar apa apa. Entah apa yang dilakukan oleh Kian Bu kepada enam orang itu sehingga mereka roboh tanpa mengeluarkan suara dalam waktu secepat itu.

“Kau boleh juga!” Hwee Li memuji. “Mari...!”

Keduanya lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan rumah-rumah di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa orang penjaga menemukan tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa terluka. Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan mereka itu telah pergi jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, sebaliknya malah karena tiba-tiba saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang diiringkan oleh sepasukan pengawal pribadinya yang berjumlah dua losin orang! Bukan main marahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang yang membikin kacau benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li.

“Kiranya kalian datang kembali mengantar nyawa?” bentaknya.

“Kian Bu, kau hadapi si botak menjemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah itu!” Para pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan si kakek botak yang juga memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa Sengjin itu memang sudah menerjang ke depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang itu.

”Hemmmm...!” Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyambut dengan pukulan saktinya.

Namun, Koksu Nepal yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu tenaga, melainkan menggerakkan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah menjadi tubuh yang berlengan banyak sekali karena dia berpusing seperti gasing. Semua tangan yang menjadi banyak itu menyerang dan mengirim pukulan, tamparan, dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu.

Siluman Kecil maklum pula akan kehebatan lawan ini, maka dia tak berani memandang rendah. Cepat dia mengerahkan ginkang-nya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan seperti cahaya kllat ke sana-sini, menghindarkan diri dari semua serangan, kemudian membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi kakek botak yang lihai, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis hingga berkali kali terjadi pertemuan tenaga yang membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sinkang yang bersembunyi di kedua tangan masing-masing…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum