JODOH RAJAWALI : JILID-47
Kian Bu dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir
sekali. Sekali ini dia tidak dapat merobohkan koksu dengan cepat karena
agaknya koksu kini berlaku hati-hati sekali, memusatkan seluruh
kepandaiannya kepada penjagaan diri sehingga dia tidak sempat membantu
Hwee Li. Maka dia lalu berseru, “Enci Hwee Li, cepat kau larilah!”
Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biar pun dengan amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, akan tetapi sekarang para pengepungnya memperlebar kepungan sehingga sukar bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu. Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya, dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal.
“Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku? Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian menyentuhku? Beranikah kalian menyerangku? Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukuman apa yang akan kalian terima dari pangeran!”
Para pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang kepada koksu. Akan tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun tahu bahwa kata kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Memang mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apa lagi membunuh dara ini. Selagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang mengepung itu tidak berani menggerakkan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.
“Tangkap dia...!” teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk memanggil para pembantunya.
Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada Kian Bu untuk lari.
Kian Bu memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biar pun dia tak dapat dengan mudah merobohkan koksu, tetapi jika hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.
“Mari kita lari!” serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan dua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh.
“Ehhhhh...!” Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini.
Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada lagi di depannya.
Akan tetapi pada saat itu muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga. Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri. Sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!
Kalau Kian Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian dari dalam benteng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan mereka juga ketahuan oleh pihak penjaga, lalu dihujani anak panah yang dengan mudah dapat mereka hindarkan. Namun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyokan setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri!
“Siang In, kau larilah dan biar aku menahan mereka!” Kian Lee berseru keras karena pemuda ini menghawatirkan keselamatan Siang In.
Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri saja. “Hi-hi-hik, kau kira aku takut mati? Mari kita lawan mereka itu!” jawab Siang In sambil memutar payungnya dan merobohkan dua orang prajurit musuh yang berani mendekat.
Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, tetapi pemuda ini langsung menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja.
Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya segera berubah menjadi bayangan hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi kacau-balau. Tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain sehingga berdatanganlah puluhan orang penjaga dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan juga.
“Siang In, lari...!”
“Kau juga tidak!” jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu oleh beberapa orang perwira yang lihai.
“Kau lari dulu, nanti aku menyusul!” teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu.
“Lee-koko, tunggulah aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!” Dara itu berteriak nyaring.
Dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri.
Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In, namun dara itu lenyap entah ke mana.
Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya prajurit musuh yang mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat mau pun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-tokoh lihai sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah mau pun mengumpulkan kembali tenaganya. Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah pelan ke tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.
Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruang belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!
Dia masih terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah menciumnya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertemu dia melihat pemuda yang dicari-carinya itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan berwatak rendah, hati siapa takkan menjadi panas? Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya sehingga dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna. Berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya.
“Byar-byar-byarrr...!” Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang orang yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu!
Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah berdiri seorang tosu berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang pedang di tangan kanannya, diikuti oleh tujuh orang prajurit pengawal. Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu!
Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini telah bersekutu dengan Koksu Nepal. Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggota Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi prajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya.
“Hemmm, kiranya pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas engkau menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!” Hak Im Cu membentak marah.
Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, “Kiranya para pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk berkhianat kepada negara!”
“Bocah bermulut lancang!” Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke depan.
Siang In mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping, payungnya bergerak untuk melindungi dirinya. Tidak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepat, tahu-tahu tangan tosu itu sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat-cepat menggerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram. Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu, maka dia menarik kembali tangannya, tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang.
Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam penyerangannya kedua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu juga digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya.
“Singggggg...!” Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggota Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.
“Trang-trang-tranggg...!” Siang In memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu.
Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali menggunakan sihirnya.
“Kalian adalah laki-laki semua bukan?” Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara beradunya senjata mereka. Biar pun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!
“Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur?”
Delapan orang itu tertarik dan biar pun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak? Dan apa hubungannya makanan dengan bertempur?
“Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit... aduhhh..., perutku sakit, mulas sekali...!” Tiba-tiba Siang In meloncat ke belakang, kemudian menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian hebat.
Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya!
“Aduh... perutku...”
“Aduh mulas... ahhh...!”
“Tak tertahankan... ingin buang air...!”
Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang In, melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka mereka membayangkan kesakitan hebat.
Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidak wajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkang-nya melawan rasa mulas di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh Siang In, dara yang bermata tajam ini melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payungnya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir.
“Dessss...!” Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan!
Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali, dia membuang muka dan meludah.
“Ihhh, sialan!” Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu.
Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka, apa lagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran.
Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari pada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu.
Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee? Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara sepasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi. Pada saat dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir saja dia bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat dan membelok di sudut bangunan itu.
“Heeeiiittttt!”
“Aihhhhh!”
Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini, keduanya terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang.
“Kau...?”
“Hemmm, kiranya engkau?”
Dua orang dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!
“Kau perawan genit dan binal!” Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar hatinya begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari Siluman Kecil itu.
Di lain pihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dirinya, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah. “Ahh, engkau perempuan tak tahu malu!”
“Engkau yang tak tahu malu!”
“Engkau perampas laki-laki!”
“Engkau yang pengeret hina!”
Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri!
Melihat Hwee Li, Hwa-i-kongcu tertawa. “Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau di sini!”
Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan saling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka sekarang menghadapi musuh yang sama sehingga mereka menghadapi lawan secara bersama-sama.
Hwee Li yang sekarang menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tidak mengenal rasa takut itu tidak tahu betapa sebenarnya ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya hingga terpisah dari Siang In.
Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru. Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.
“Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang lemah dan tak berdaya? Kalian merasa malu jika harus mengeroyok seorang anak perempuan!”
Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok itu menahan senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya, lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah Siang In lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos, maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut.
“Mundur semua! Mana wanita itu tadi?”
“Dia... dia sudah melarikan diri...” Seorang di antara mereka menjawab.
“Bodoh, kejar!” teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, “Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!”
Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.
Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis seperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subo-nya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biar pun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.
“Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?”
Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut, apa lagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apa lagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan demikian, dia termangu.
“Mampuslah!” Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.
“Aihh...! Cringgg...!”
Tang Hun kaget bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datangnya tidak tersangka-sangka, pada saat Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.
“Dessss!”
Pahanya kena ditendang sehingga tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis oleh karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.
Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi sembunyi jangan sampai bertemu dengan para prajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk cepat dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.
Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang prajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!
Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata, “Mundur kalian semua!”
Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jeri. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum.
“Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya sekarang malah berani mendatangi tempat ini lagi. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!”
Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat, akan tetapi tidak melepaskan kewaspadaan.
Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis.
Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.
“Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!” Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya.
Memang hebat sekali kepandaian orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar nyambar, bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang.
Namun, tiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mukjijat yang aneh! Dia makin terkejut, namun dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.
“Lee-ko, kau serang bagian bawahnya!” Mendadak terdengar seruan nyaring dan ada bayangan orang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat-cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.
“Aughhhhh...!” Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar, dan biar pun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.
“Dukkk...! Desss...!”
Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mukjijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
Twa-ok memandang dengan kaget. “Ah, kiranya engkau yang disebut Siluman Kecil? Hebat, hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat,” katanya halus akan tetapi tiba tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya.
Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sin-siauw Sengjin, kakek yang menyimpan pusaka pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi sekali, maka dua kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.
Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya?
“Lee-ko, mari kita pergi!” kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata.
Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
“Hebat... hebat...!” Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu.
Sementara itu Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri, kemudian bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap.
“Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali,” kata Kian Bu.
“Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia.”
“Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah.”
Kian Lee mengangguk. “Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya?”
“Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai dapat. Mari!”
Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masing-masing mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga menduga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu merasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama masing-masing itu.
Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee, Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Bahkan Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran.
Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin orang prajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biar pun kakek itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.
“Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini? Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang...“
Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong kedua ini telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para prajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong yang kedua itu sudah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong kedua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para prajurit menggotong perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rombongan koksu!
“Dia... dia baru saja menyerang dan merobohkan komandan kami!” prajurit-prajurit itu berseru.
“Kalian bicara apa? Semenjak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!” jawab Touw-ong yang tentu saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng.
Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada bersamanya, maka dia marah-marah dan memaki-maki para prajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan. “Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong.”
“Tapi... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...”
“Cukup dan pergi! Atau kau ingin kupukul roboh juga?” bentak koksu dan para prajurit itu segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel bahwa bentengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata mata musuh belum juga tertangkap.
Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pemuda Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang mahir limu sihir, juga memasuki benteng dan melakukan pengacauan. Kalau hanya orang orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan di dalam benteng ini tidak mampu menangkap mereka? Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi!
“Tangkap mereka!” bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya. “Kalau tidak dapat menangkap, bunuh saja mereka!”
“Akan tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!” tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja.
Akan tetapi kekacauan makin menghebat pada saat para pengawal itu tiba-tiba melihat Ang-siocia kembar! Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong kedua.
“Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap?” tanya Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya.
Ceng Ceng mengangguk. “Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat seperti ini? Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai berambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu?”
Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau.
Matanya liar memandang ke kanan kiri dan mendadak matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia dan Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai pembantu koksu yang lihai. Andai kata dia melihat seorang saja Ang-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai enci atau adik di situ, apa lagi saudara kembar.
“Heeiii!! Berhentii!” bentaknya.
Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata, “Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku? Apakah kau sudah berhasil membekuk mata-mata?”
Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung. “Ang-siocia, engkaukah Ang-siocia? Dan siapa pula yang seorang ini?”
Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng ingat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena ketegangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu.
“Lihiap, serang!” bisiknya dan dia sudah menerjang maju.
Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan cepat melarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-simpang yang berteriak-teriak.
Di sana-sini terjadi pertempuran, apa bila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu terkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa orang penjaga!
Twa-ok dan Ji-ok berdua sudah mendengar dari para anggota Liong-sim-pang betapa Ang-siocia telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu bertemu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang.
Ceng Ceng terkejut bukan main saat melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah sangat mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nionio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerikan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena suaminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan, dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi siapa pun juga, apa lagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi, Ang-siocia sudah menjadi amat pucat wajahnya dan dia berbisik, “Lihiap, celakalah kita sekali ini...“
Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah. “Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, dan sekarang terbukti bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau.”
“Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang kedua ini,” kata Ji-ok Kui-bin Nionio dan tiba tiba telunjuknya menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng.
Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka tengkorak itu! Di lain pihak, Ji-ok Kui-bin Nionio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu.
“Ehhh, kau boleh juga!” dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok mencegahnya.
“Tidak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aslinya. Kalau kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang sedang kau pakai itu.”
“Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu.”
“Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa membunuh mereka. Kau ingin lihat?”
“Baik, kau lakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng.”
Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.
“Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu?” bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat.
Pukulan ini adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dulu dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan mukjijat, tentu saja pukulan yang menggunakan jurus Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika Ceng Ceng menyerangnya.
“Aehhhhh...!” Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia langsung mengenal pukulan beracun yang mengandung tenaga amat kuatnya, maka segera dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Dessss...!”
Tubuh Ceng Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjungkir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguh pun napasnya agak memburu karena dadanya terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga itu!
Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga demikian kuatnya sehingga dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.
“Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup?” Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.
“Siapakah engkau?” tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.
“Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!” bentak Ceng Ceng dengan angkuh.
Twa-ok mengangguk-angguk. “Bagus, bagus! Kau kira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu? Nah, kau sambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu.”
Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengacam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki!
Ceng Ceng makin kaget. Dari suaminya dia sudah pernah mendengar akan adanya ilmu mukjijat ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk menyambut dua lengan panjang itu dengan babatan tangan yang dimiringkan.
“Wut-wuttt... plakkk!”
Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya lalu meloncat bangun kembali.
Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, dan kini dia menggunakan pedang, maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang ringan begitu saja.
Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan oleh Ji-ok!
Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, “Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari...!”
Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik, “Kita pergi!” Lalu dia menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biar pun dia maklum akan kelihaian lawan, dia tidak takut dan ingin melawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.
Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang.
“Hemmm, lagaknya...!” Ji-ok mengomel.
“Sam-te, memang sudah mabuk pangkat rupanya,” Twa-ok juga mengomel.
“Jangan pedulikan dia, kalau dia muncul lagi akan kutempiling kepalanya!” Jik-ok makin marah.
“Akan tetapi kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...“
Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka pada saat melihat koksu muncul lagi dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!
“Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini?”
“Bagus, ya? Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci segala?” Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci!
“Plak-plak!” Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.
“Ehh, ehh, apa-apaan ini? Siapa menyebut kalian begitu?”
Twa-ok memandang heran. “Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi pangeran?”
“Siapa? Aku baru saja datang...“
“Tentu kau koksu yang palsu!” Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Koksu meloncat ke kanan dan kiri, lalu meloncat ke belakang. “Tunggu, kau keliru, Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu?”
Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itulah Thian-te Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya.
“Wah, kalau begitu, ada orang yang tadi main-main dan menyamar sebagai engkau, Sam-te,” kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang kedua itu amat lihainya.
Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benar-benar telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia kedua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelundup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kau bawa anak Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka.”
Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok kemudian mengikuti koksu meninggalkan tempat itu.
Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu? Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini kenapa tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu?
Sesungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang, mereka berdua menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu untuk berusaha menyelamatkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, sedangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, kedua orang sakti ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada.
Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas menjaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu, tosu kurus yang tingginya dua meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke tempat gelap. “Penjagaan amat kuat,” bisik Bun Beng.
“Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk sehingga Paman dapat melindungi para tawanan dan membawa mereka keluar.”
Gak Bun Beng menggelengkan kepala. “Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan.”
“Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu,” bisik Kok Cu. “Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka.”
“Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Tetapi tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Jika sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu...“
Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu.
“Paman Gak...!”
“Sssttttt…, cepat ke sinilah...!”
Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biar pun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi.
Namun ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk juga Syanti Dewi.
Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal…..
Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biar pun dengan amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, akan tetapi sekarang para pengepungnya memperlebar kepungan sehingga sukar bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu. Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya, dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal.
“Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku? Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian menyentuhku? Beranikah kalian menyerangku? Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukuman apa yang akan kalian terima dari pangeran!”
Para pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang kepada koksu. Akan tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun tahu bahwa kata kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Memang mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apa lagi membunuh dara ini. Selagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang mengepung itu tidak berani menggerakkan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.
“Tangkap dia...!” teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk memanggil para pembantunya.
Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada Kian Bu untuk lari.
Kian Bu memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biar pun dia tak dapat dengan mudah merobohkan koksu, tetapi jika hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.
“Mari kita lari!” serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan dua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh.
“Ehhhhh...!” Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini.
Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada lagi di depannya.
Akan tetapi pada saat itu muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga. Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri. Sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!
Kalau Kian Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian dari dalam benteng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan mereka juga ketahuan oleh pihak penjaga, lalu dihujani anak panah yang dengan mudah dapat mereka hindarkan. Namun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyokan setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri!
“Siang In, kau larilah dan biar aku menahan mereka!” Kian Lee berseru keras karena pemuda ini menghawatirkan keselamatan Siang In.
Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri saja. “Hi-hi-hik, kau kira aku takut mati? Mari kita lawan mereka itu!” jawab Siang In sambil memutar payungnya dan merobohkan dua orang prajurit musuh yang berani mendekat.
Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, tetapi pemuda ini langsung menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja.
Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya segera berubah menjadi bayangan hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi kacau-balau. Tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain sehingga berdatanganlah puluhan orang penjaga dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan juga.
“Siang In, lari...!”
“Kau juga tidak!” jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu oleh beberapa orang perwira yang lihai.
“Kau lari dulu, nanti aku menyusul!” teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu.
“Lee-koko, tunggulah aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!” Dara itu berteriak nyaring.
Dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri.
Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In, namun dara itu lenyap entah ke mana.
Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya prajurit musuh yang mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat mau pun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-tokoh lihai sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah mau pun mengumpulkan kembali tenaganya. Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah pelan ke tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.
Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruang belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!
Dia masih terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah menciumnya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertemu dia melihat pemuda yang dicari-carinya itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan berwatak rendah, hati siapa takkan menjadi panas? Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya sehingga dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna. Berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya.
“Byar-byar-byarrr...!” Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang orang yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu!
Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah berdiri seorang tosu berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang pedang di tangan kanannya, diikuti oleh tujuh orang prajurit pengawal. Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu!
Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini telah bersekutu dengan Koksu Nepal. Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggota Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi prajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya.
“Hemmm, kiranya pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas engkau menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!” Hak Im Cu membentak marah.
Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, “Kiranya para pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk berkhianat kepada negara!”
“Bocah bermulut lancang!” Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke depan.
Siang In mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping, payungnya bergerak untuk melindungi dirinya. Tidak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepat, tahu-tahu tangan tosu itu sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat-cepat menggerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram. Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu, maka dia menarik kembali tangannya, tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang.
Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam penyerangannya kedua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu juga digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya.
“Singggggg...!” Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggota Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.
“Trang-trang-tranggg...!” Siang In memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu.
Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali menggunakan sihirnya.
“Kalian adalah laki-laki semua bukan?” Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara beradunya senjata mereka. Biar pun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!
“Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur?”
Delapan orang itu tertarik dan biar pun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak? Dan apa hubungannya makanan dengan bertempur?
“Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit... aduhhh..., perutku sakit, mulas sekali...!” Tiba-tiba Siang In meloncat ke belakang, kemudian menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian hebat.
Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya!
“Aduh... perutku...”
“Aduh mulas... ahhh...!”
“Tak tertahankan... ingin buang air...!”
Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang In, melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka mereka membayangkan kesakitan hebat.
Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidak wajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkang-nya melawan rasa mulas di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh Siang In, dara yang bermata tajam ini melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payungnya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir.
“Dessss...!” Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan!
Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali, dia membuang muka dan meludah.
“Ihhh, sialan!” Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu.
Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka, apa lagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran.
Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari pada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu.
Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee? Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara sepasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi. Pada saat dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir saja dia bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat dan membelok di sudut bangunan itu.
“Heeeiiittttt!”
“Aihhhhh!”
Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini, keduanya terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang.
“Kau...?”
“Hemmm, kiranya engkau?”
Dua orang dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!
“Kau perawan genit dan binal!” Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar hatinya begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari Siluman Kecil itu.
Di lain pihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dirinya, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah. “Ahh, engkau perempuan tak tahu malu!”
“Engkau yang tak tahu malu!”
“Engkau perampas laki-laki!”
“Engkau yang pengeret hina!”
Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri!
Melihat Hwee Li, Hwa-i-kongcu tertawa. “Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau di sini!”
Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan saling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka sekarang menghadapi musuh yang sama sehingga mereka menghadapi lawan secara bersama-sama.
Hwee Li yang sekarang menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tidak mengenal rasa takut itu tidak tahu betapa sebenarnya ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya hingga terpisah dari Siang In.
Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru. Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.
“Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang lemah dan tak berdaya? Kalian merasa malu jika harus mengeroyok seorang anak perempuan!”
Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok itu menahan senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya, lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah Siang In lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos, maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut.
“Mundur semua! Mana wanita itu tadi?”
“Dia... dia sudah melarikan diri...” Seorang di antara mereka menjawab.
“Bodoh, kejar!” teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, “Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!”
Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.
Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis seperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subo-nya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biar pun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.
“Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?”
Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut, apa lagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apa lagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan demikian, dia termangu.
“Mampuslah!” Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.
“Aihh...! Cringgg...!”
Tang Hun kaget bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datangnya tidak tersangka-sangka, pada saat Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.
“Dessss!”
Pahanya kena ditendang sehingga tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis oleh karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.
Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi sembunyi jangan sampai bertemu dengan para prajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk cepat dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.
Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang prajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!
Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata, “Mundur kalian semua!”
Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jeri. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum.
“Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya sekarang malah berani mendatangi tempat ini lagi. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!”
Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat, akan tetapi tidak melepaskan kewaspadaan.
Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis.
Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.
“Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!” Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya.
Memang hebat sekali kepandaian orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar nyambar, bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang.
Namun, tiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mukjijat yang aneh! Dia makin terkejut, namun dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.
“Lee-ko, kau serang bagian bawahnya!” Mendadak terdengar seruan nyaring dan ada bayangan orang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat-cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.
“Aughhhhh...!” Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar, dan biar pun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.
“Dukkk...! Desss...!”
Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mukjijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
Twa-ok memandang dengan kaget. “Ah, kiranya engkau yang disebut Siluman Kecil? Hebat, hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat,” katanya halus akan tetapi tiba tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya.
Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sin-siauw Sengjin, kakek yang menyimpan pusaka pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi sekali, maka dua kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.
Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya?
“Lee-ko, mari kita pergi!” kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata.
Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
“Hebat... hebat...!” Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu.
Sementara itu Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri, kemudian bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap.
“Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali,” kata Kian Bu.
“Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia.”
“Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah.”
Kian Lee mengangguk. “Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya?”
“Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai dapat. Mari!”
Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masing-masing mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga menduga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu merasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama masing-masing itu.
Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee, Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Bahkan Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran.
Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin orang prajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biar pun kakek itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.
“Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini? Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang...“
Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong kedua ini telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para prajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong yang kedua itu sudah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong kedua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para prajurit menggotong perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rombongan koksu!
“Dia... dia baru saja menyerang dan merobohkan komandan kami!” prajurit-prajurit itu berseru.
“Kalian bicara apa? Semenjak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!” jawab Touw-ong yang tentu saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng.
Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada bersamanya, maka dia marah-marah dan memaki-maki para prajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan. “Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong.”
“Tapi... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...”
“Cukup dan pergi! Atau kau ingin kupukul roboh juga?” bentak koksu dan para prajurit itu segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel bahwa bentengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata mata musuh belum juga tertangkap.
Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pemuda Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang mahir limu sihir, juga memasuki benteng dan melakukan pengacauan. Kalau hanya orang orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan di dalam benteng ini tidak mampu menangkap mereka? Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi!
“Tangkap mereka!” bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya. “Kalau tidak dapat menangkap, bunuh saja mereka!”
“Akan tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!” tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja.
Akan tetapi kekacauan makin menghebat pada saat para pengawal itu tiba-tiba melihat Ang-siocia kembar! Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong kedua.
“Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap?” tanya Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya.
Ceng Ceng mengangguk. “Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat seperti ini? Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai berambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu?”
Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau.
Matanya liar memandang ke kanan kiri dan mendadak matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia dan Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai pembantu koksu yang lihai. Andai kata dia melihat seorang saja Ang-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai enci atau adik di situ, apa lagi saudara kembar.
“Heeiii!! Berhentii!” bentaknya.
Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata, “Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku? Apakah kau sudah berhasil membekuk mata-mata?”
Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung. “Ang-siocia, engkaukah Ang-siocia? Dan siapa pula yang seorang ini?”
Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng ingat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena ketegangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu.
“Lihiap, serang!” bisiknya dan dia sudah menerjang maju.
Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan cepat melarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-simpang yang berteriak-teriak.
Di sana-sini terjadi pertempuran, apa bila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu terkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa orang penjaga!
Twa-ok dan Ji-ok berdua sudah mendengar dari para anggota Liong-sim-pang betapa Ang-siocia telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu bertemu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang.
Ceng Ceng terkejut bukan main saat melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah sangat mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nionio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerikan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena suaminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan, dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi siapa pun juga, apa lagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi, Ang-siocia sudah menjadi amat pucat wajahnya dan dia berbisik, “Lihiap, celakalah kita sekali ini...“
Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah. “Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, dan sekarang terbukti bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau.”
“Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang kedua ini,” kata Ji-ok Kui-bin Nionio dan tiba tiba telunjuknya menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng.
Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka tengkorak itu! Di lain pihak, Ji-ok Kui-bin Nionio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu.
“Ehhh, kau boleh juga!” dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok mencegahnya.
“Tidak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aslinya. Kalau kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang sedang kau pakai itu.”
“Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu.”
“Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa membunuh mereka. Kau ingin lihat?”
“Baik, kau lakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng.”
Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.
“Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu?” bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat.
Pukulan ini adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dulu dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan mukjijat, tentu saja pukulan yang menggunakan jurus Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika Ceng Ceng menyerangnya.
“Aehhhhh...!” Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia langsung mengenal pukulan beracun yang mengandung tenaga amat kuatnya, maka segera dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Dessss...!”
Tubuh Ceng Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjungkir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguh pun napasnya agak memburu karena dadanya terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga itu!
Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga demikian kuatnya sehingga dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.
“Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup?” Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.
“Siapakah engkau?” tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.
“Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!” bentak Ceng Ceng dengan angkuh.
Twa-ok mengangguk-angguk. “Bagus, bagus! Kau kira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu? Nah, kau sambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu.”
Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengacam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki!
Ceng Ceng makin kaget. Dari suaminya dia sudah pernah mendengar akan adanya ilmu mukjijat ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk menyambut dua lengan panjang itu dengan babatan tangan yang dimiringkan.
“Wut-wuttt... plakkk!”
Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya lalu meloncat bangun kembali.
Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, dan kini dia menggunakan pedang, maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang ringan begitu saja.
Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan oleh Ji-ok!
Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, “Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari...!”
Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik, “Kita pergi!” Lalu dia menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biar pun dia maklum akan kelihaian lawan, dia tidak takut dan ingin melawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.
Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang.
“Hemmm, lagaknya...!” Ji-ok mengomel.
“Sam-te, memang sudah mabuk pangkat rupanya,” Twa-ok juga mengomel.
“Jangan pedulikan dia, kalau dia muncul lagi akan kutempiling kepalanya!” Jik-ok makin marah.
“Akan tetapi kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...“
Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka pada saat melihat koksu muncul lagi dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!
“Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini?”
“Bagus, ya? Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci segala?” Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci!
“Plak-plak!” Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.
“Ehh, ehh, apa-apaan ini? Siapa menyebut kalian begitu?”
Twa-ok memandang heran. “Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi pangeran?”
“Siapa? Aku baru saja datang...“
“Tentu kau koksu yang palsu!” Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Koksu meloncat ke kanan dan kiri, lalu meloncat ke belakang. “Tunggu, kau keliru, Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu?”
Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itulah Thian-te Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya.
“Wah, kalau begitu, ada orang yang tadi main-main dan menyamar sebagai engkau, Sam-te,” kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang kedua itu amat lihainya.
Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benar-benar telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia kedua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelundup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kau bawa anak Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka.”
Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok kemudian mengikuti koksu meninggalkan tempat itu.
Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu? Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini kenapa tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu?
Sesungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang, mereka berdua menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu untuk berusaha menyelamatkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, sedangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, kedua orang sakti ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada.
Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas menjaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu, tosu kurus yang tingginya dua meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke tempat gelap. “Penjagaan amat kuat,” bisik Bun Beng.
“Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk sehingga Paman dapat melindungi para tawanan dan membawa mereka keluar.”
Gak Bun Beng menggelengkan kepala. “Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan.”
“Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu,” bisik Kok Cu. “Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka.”
“Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Tetapi tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Jika sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu...“
Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu.
“Paman Gak...!”
“Sssttttt…, cepat ke sinilah...!”
Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biar pun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi.
Namun ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk juga Syanti Dewi.
Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal…..
Komentar
Posting Komentar