JODOH RAJAWALI : JILID-56


Getaran-getaran cinta yang tak perlu lagi dinyatakan dengan kata-kata, yang dalam keadaan seperti itu sudah kehilangan arti dan fungsinya, bahkan hanya mendatangkan kecanggungan belaka. Bahasa cinta melalui getaran sentuhan, melalui senyum dan terutama melalui sinar mata sudah lebih dari cukup mewakili suara hati masing-masing, jauh lebih sempurna dari pada kata-kata yang biasanya hampa dan dibuat-buat. Getaran dan sinar mata tak mungkin dapat dibuat-buat seperti suara melalui kata-kata.
“Kian Bu, sebelum aku menjawab, aku ingin lebih dulu mengetahui isi hatimu. Jawablah, adakah engkau merasakan sesuatu dalam... dalam... ciuman tadi?”
“Ahhh...!” Dengan mesra Kian Bu merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya, jantungnya berdegup dekat telinga Siang In yang seolah-olah mendengar bisikan hati melalui degup jantung itu. “Siang In... aku merasakan sesuatu yang ajaib, seolah-olah langit terbuka dan kita berdua terbang ke angkasa, aku... aku... ah, sukar menceritakan apa yang kurasakan tadi sampai... sampai aku terkejut melihat engkau terkulai...”
Siang In menyandarkan kepalanya di dada yang kuat itu, kemudian dia berbisik halus, “...lanjutkan... lanjutkan...“
“Mula-mula aku merasa heran dan terkejut, lalu takut-takut untuk menciummu seperti yang kau minta, Siang In. Akan tetapi ketika aku melakukannya, ahhh... dunia seakan kiamat! Aku merasa seperti tidak berpijak di atas bumi lagi... dan... dan pada detik itu juga tahulah aku...“ Kian Bu berhenti dan menunduk, mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu.
“Tahu apakah, Kian Bu...?” Suara itu makin lirih, berbisik dan gemetar.
“Aku tahu dan yakin benar, pada saat aku menciummu tadi, bahwa aku cinta padamu, Siang In.”
Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Pengakuan inilah. Sungguh pun tadi dia telah merasakan cinta pemuda itu melalui ciuman, melalui tatapan mata, melalui sentuhan ujung jari-jari tangan, melalui degup jantung di dekat telinganya, namun belum puas hatinya kalau belum mendengar pengakuan itu melalui mulut.
Memang demikianlah keadaan kita manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita sudah terdidik dan terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata hingga kita semua terjerumus ke dalam dunia penuh kepalsuan yang tersembunyi di balik kata-kata manis! Dan kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan senyum buatan ini oleh kita dinamai peradaban. Sesungguhnya peradaban yang tidak beradab. Kita namakan pula kesopanan. Kesopanan yang tidak sopan.
Kita sudah terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah yang menyebabkan kita sering tergelincir oleh kemanisan kata-kata dan sikap palsu. Kita tidak lagi peka untuk mengenal keadaan yang lebih mendalam, karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral oranglah kata-kata ‘aku cinta padamu’ sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu, sikap menghormat, menjilat, yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan palsu adanya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita, bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau membuka mata memandang dan mengamati apa adanya. Dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan ini?
Demikianlah pula dengan Siang In. Dia sudah yakin benar akan perasaan Kian Bu kepadanya, namun tidak puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu melalui kata-kata, padahal pernyataan macam ini sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan yang murni dan agung itu?
Cinta asmara lautan rahasia kemesraan sejuta.
Menciptakan embun sakti menembus lubuk hati.
Anggur semanis madu bunga dan lagu merdu.
Kepuasan yang nikmat sorga yang memikat.
Namun juga membawa bara api menghanguskan hati.
Sepahit empedu maki kutuk menggebu.
Kekecewaan mencekam neraka jahanam!
Cinta asmara, lautan suka-duka
...
Sampai lama rasanya ucapan Kian Bu dalam kalimat terakhir tadi, yaitu ‘aku cinta padamu’ bergema di dalam ruang hati Siang In, membuat dia seperti terlena, seperti terayun dalam buaian kasih sayang yang membawanya terbang ke sorga ke tujuh!
“Sekarang akan kuceritakan padamu, Kian Bu. Dengarlah akan tetapi jangan menatap wajahku, aku... aku malu sesungguhnya untuk menceritakan. Tetapi karena engkau cinta padaku, seperti yang baru saja kau katakan, biarlah kuceritakan kepadamu juga.” Siang In memejamkan matanya dan masih bersandar di dada Kian Bu, kemudian dia melanjutkan dengan suara lirih berbisik-bisik.
“Semenjak engkau menciumku di dalam hutan beberapa tahun yang lalu itu, aku... tidak pernah lagi dapat melupakanmu, tak pernah dapat melupakan saat engkau menciumku itu. Ada dua macam perasaan selalu berperang di dalam hatiku, yaitu perasaan terhina yang menimbulkan benci serta perasaan gembira yang sukar dilukiskan. Perasaan perasaan yang berperang itulah yang menimbulkan suka dan benci pada bayanganmu. Maka setelah aku selesai mempelajari ilmu dari suhu, aku lalu pergi mencarimu, sampai aku tiba di Bhutan dan di tempat-tempat jauh. Aku mencarimu dengan dua macam niat, yaitu membunuhmu atau memaafkanmu. Dan dua niat itu hanya dapat ditentukan oleh perasaan hatiku padamu, apakah benci ataukah cinta! Maka aku mengambil keputusan, yaitu kalau aku bertemu denganmu, sebelum melakukan sesuatu, aku harus lebih dulu yakin, apakah aku benci atau cinta kepadamu, apakah ciumanmu itu mendatangkan duka atau suka. Dan untuk dapat merasa yakin, aku harus minta kau cium sekali lagi! Nah, sekarang engkau mengerti mengapa aku minta cium padamu.” Siang In masih memejamkan mata karena dia menceritakan ini dengan perasaan malu sekali.
Kian Bu tahu betapa berat dan malu rasa hati kekasihnya itu untuk menceritakan semua ini, maka dia pun tidak mau menambah beban itu dengan menatap wajahnya, tetapi mencium rambut kepala itu dengan mesra. “Ahh, engkau memang seorang dara yang luar biasa, aneh, berani, jujur dan... hebat!”
Biar pun yang dicium hanya rambut kepalanya, akan tetapi Siang In sudah merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar dan jantung berdebar. “Dengarkan dulu ceritaku, Kian Bu.” Dia mengeluh dan agak menjauhkan kepalanya untuk menghentikan pemuda itu menciumi rambutnya.
“Lanjutkanlah, Siang In.”
“Ketika engkau menciumku untuk kedua kalinya, aku diam-diam sudah mempersiapkan pisau itu. Kalau dari ciuman itu aku menjadi yakin bahwa aku benci padamu, maka pisau itu akan menewaskanmu di saat itu juga, karena hanya saat itulah kesempatan satu-satunya bagiku untuk membalas dendam. Dalam keadaan biasa, mana mungkin aku dapat menandingimu? Nah, itulah sebabnya mengapa aku memegang pisau itu.”
“Hebat! Engkau memang pintar sekali!” Kian Bu memuji dan hati Siang In merasa senang sekali. Ahh, betapa cinta asmara membuat orang menjadi buta akan kenyataan.
Andai kata pada saat itu perasaan Kian Bu terhadap Siang In lain, tentu bukan pujian yang keluar dari mulut pemuda ini. Mungkin sebutan pintar itu akan berubah menjadi sebutan curang atau pengecut! Jelaslah bahwa penilaian terhadap suatu tindakan atau perbuatan itu tergantung dari keadaan batin seseorang. Bagi seorang yang sedang mencinta, maka segala macam perbuatan orang yang dicintanya itu akan nampak baik dan benar belaka. Sebaliknya, bagi seorang yang sedang membenci, maka segala macam perbuatan orang yang dibencinya itu akan nampak jahat dan salah belaka.
Oleh karena itu sudah jelas pula bahwa penilaian adalah palsu, karena penilaian didasari atas rasa suka atau tidak suka. Penilaian hanya mendatangkan konflik, karena yang dinilai baik oleh A, belum tentu dinilai baik oleh B, dan mungkin dinilai jahat oleh C, dan selanjutnya. Apa adanya dan yang sesungguhnya tidak baik tidak pula jahat, tidak bagus dan tidak pula jelek, karena baik dan buruk hanyalah hasil penilaian dan kita sudah tahu bahwa penilaian adalah palsu. Pengertian yang mendalam dan menyeluruh tentang kenyataan ini akan membuat kita hanya mengamati belaka tanpa penilaian sehingga kita tidak terseret untuk mengambil kesimpulan, pendapat, melainkan mengamati saja penuh kewaspadaan
.
“Sekarang tentang mengapa aku menjadi pingsan. Ohhh, Kian Bu, bagaimana aku dapat menjelaskan itu? Ketika engkau menciumku, aku... aku merasa... seperti yang kau rasakan pula, aku merasa bahwa itulah sesungguhnya yang kurindukan selama ini, pelukan dan ciumanmu, dirimu... dan aku tahu bahwa aku cinta padamu, Kian Bu. Mengingat betapa pisau sudah di tangan, betapa hampir saja aku membunuh satu satunya pria yang kucinta semenjak bertahun-tahun yang lalu, membuat aku begitu tegang dan terharu sampai aku tidak ingat apa-apa lagi...”
“Siang In, dewiku... pujaan hatiku...“
Kian Bu merasa terharu sekali dan kini dia mendekap lebih erat, mengangkat wajah ayu itu dan menciuminya dengan sepenuh perasaan cintanya.
Siang In mengeluh lirih dan mandah saja, bahkan kadang-kadang membalas ciuman itu, terdorong oleh perasaan hatinya yang mencinta. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman Kian Bu makin lama makin panas, dara itu lalu menarik dirinya, mukanya merah sekali, pandang matanya setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dan terengah. Ketika Kian Bu hendak merangkulnya, dia menolak halus dengan kedua tangannya.
“Jangan... sudah cukup, Kian Bu, jangan...,“ bisiknya di antara napasnya yang terengah.
Wajah Kian Bu juga merah padam, matanya mengeluarkan sinar aneh. “Kenapa, Siang In? Kenapa...? Bukankah kita saling mencinta...?”
Siang In melangkah mundur dua langkah. “Justeru karena cinta kita, maka kita harus tidak melanjutkan itu, Kian Bu. Tidak baik kalau dilanjutkan. Karena cinta kita, maka kita harus saling menjaga, kita harus mempertahankan, menunda dan menyimpan itu sampai pada saatnya yang tepat, yaitu... kelak kalau kita sudah menjadi suami isteri, sudah menikah!”
Mendengar ini, seketika sadarlah Kian Bu dan dia merasa malu sendiri. Memang tadi, setelah menciumi wajah Siang In, setelah merasa betapa bibir yang lunak itu membalas ciumannya, dia tenggelam dalam gelombang nafsu birahi yang mendorong-dorongnya untuk bertindak lebih jauh, untuk memuaskan gelora nafsu birahinya! Celaka, semua ini adalah gara-gara Siluman Kucing, keluhnya dalam hati. Dia lalu memandang wajah kekasihnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut karena merasa berdosa sekali.
“Ahh, betapa bijaksana engkau, dewiku. Betapa murni hatimu, dan aku... aku memang bersalah. Aku bersumpah tidak akan berani mengganggumu lagi sampai... sampai kita menikah kelak.”
Siang In tertawa, suara ketawanya sangat merdu dan nyaring karena semua itu amat menyenangkan hatinya. Dia mengulurkan tangan, memegang tangan pemuda itu dan menariknya bangun.
“Sudah, kalau kelihatan orang lain, disangka kita ini sedang berlatih main sandiwara! Kita saling mencinta, dan kita akan menikah! Dua hal ini merupakan rahasia besar dalam batin kita, Kian Bu. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah bundamu.”
“Benar, memang aku pun ingin membawamu pulang ke Pulau Es.”
“Kalau begitu, mari kita pergi. Eh, apakah perutmu tidak lapar?”
Ditanya begitu, Kian Bu terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, memang benar kata orang bahwa cinta membuat kita lupa makan lupa tidur. Aku sampai lupa bahwa sejak kemarin perutku belum kemasukan apa-apa dan setelah sekarang kau peringatkan, baru terasa betapa lapar perutku!”
“Aku lebih percaya kepada kata-kata orang bahwa cinta membuat kita selalu merasa lapar!”
“Ehh, mengapa begitu?”
“Habis, cinta membuat hati menjadi senang, dan hati senang membuat perut selalu merasa lapar dan apa pun yang kita makan terasa lezat. Pendapat ini kudukung karena lebih sehat dari pada pendapatmu tadi yang membuat kita kelaparan dan kecapaian. Kalau menurut pendapatmu itu, bisa-bisa orang yang jatuh cinta lekas mati karena kurang makan dan kurang tidur, bukan?”
Kian Bu tertawa. Kekasihnya ini selain cantik jelita, gagah perkasa, penuh keberanian, baik budi dan jujur, juga lincah jenaka dan pandai bicara! Pendeknya, segala macam kebaikan wanita terdapat lengkap dalam diri kekasihnya ini, pikirnya bangga!
“Kau memang hebat, Siang In. Hebat segala-galanya!”
“Hi-hik, engkau belum merasakan masakanku! Kalau engkau sudah menikmati lezatnya masakanku, engkau akan kehabisan kata-kata untuk memujiku. Tunggu saja. Mari kita mencari bahan-bahannya dulu dalam hutan itu.” Digandengnya lengan Kian Bu dan dua orang muda itu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu sambil tersenyum dan tertawa gembira.
Dunia seolah-olah berubah dalam sekejap mata bagi mereka berdua. Penuh keindahan, penuh kegembiraan, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk…..
********************
“Uhu-huuuuk-huuuu...!” Dara itu menangis mengguguk sambil berlutut di depan kaki gurunya, memeluk kaki itu dan air matanya bercucuran.
Tentu saja Hek-sin Touw-on terkejut bukan main menyaksikan keadaan muridnya ini. Datang-datang muridnya merangkul kakinya dan menangis sedih seperti itu, sungguh membuatnya bingung sekali. Berkali-kali dia menyuruh muridnya menceritakan apa yang begitu menyusahkan hatinya, namun Kang Swi Hwa atau Ang-siocia tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, hanya menangis mengguguk makin sedih sehingga akhirnya kakek itu maklum bahwa dia harus membiarkan muridnya menangis dulu sampai kedukaan yang menyesak di dada itu terlampiaskan dalam tangisnya.
Dari mana timbulnya duka? Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran dan tidak sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah untuk menolong dirinya dari ancaman bahaya karena duka, yaitu dengan jalan menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan peristiwa ini dapat melampiaskan duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu dapat membanjir keluar. Akan tetapi dari manakah timbulnya duka?
Jelaslah bahwa duka timbul dari pikiran sendiri. Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang sudah lewat, hal-hal yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok dengan apa yang dikehendaki sehingga hal yang telah terjadi itu mendatangkan kekecewaan yang kemudian menciptakan rasa nelangsa dan iba kepada diri sendiri, menjadi duka. Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak sadar, pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin diselubungi kenangan hal-hal yang sudah lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka yang datang menyerang, kita ingin lari dari duka, kita ingin menghibur dan melupakan hal yang mendukakan. Usaha menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri!
Kita tidak pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana adanya, mengamati duka dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, betapa kita mengenang-ngenang hal yang merugikan itu, terus mengunyah ngunyah kenangan itu sehingga semua kenangan itu seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang meremas-remas hati kita sendiri! Untuk dapat terbebas dari duka, kita harus mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan inilah maka akan timbul pengertian yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan menimbulkan kesadaran yang dengan sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita berusaha menghilangkannya.
Namun sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri terseret ke dalam arus suka-duka ini. Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan yang mendatangkan suka, untuk kemudian diseret ke dalam duka kembali, dan demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang berupa suka dan duka. Dan lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bahwa memang sudah demikian itulah hidup! Seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini kecuali menjadi hamba suka duka yang menyedihkan
.
Akhirnya reda juga tangis Ang-siocia, tinggal terisak-isak yang jarang. Gurunya, kakek Hek-sin Touw-ong lalu mengangkatnya bangun dan disuruhnya murid itu duduk di atas bangku di depannya. Mereka berada di dalam sebuah kuil rusak dan mereka duduk di atas bangku-bangku batu yang kasar. Kuil itu berada dalam sebuah hutan di lereng bukit.
“Swi Hwa, mengapa engkau menangis seperti ini? Sungguh memalukan sekali melihat muridku menangis seperti seorang perempuan lemah yang cengeng. Mana kegagahan yang kugemblengkan pada dirimu selama bertahun-tahun ini?” Kakek itu menarik napas panjang, agaknya dia melihat bahwa betapa pun gagahnya, muridnya itu hanya seorang wanita, dan menurut kata pujangga kuno, wanita tidak dapat dipisahkan dari air mata!
“Suhu, maafkan teecu...“ Gadis itu berkata di antara isaknya.
“Hemmm, entah sudah berapa ratus kali selama menjadi muridku engkau minta maaf, dan sebanyak itu pula aku selalu memaafkanmu. Sekarang ceritakanlah, mengapa kau menangis?”
“Suhu... teecu ingin mati saja...!” Gadis itu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah antara jari tangannya nampak air matanya menetes.
“Hehhh? Apa-apaan lagi ini? Mana bisa manusia minta mati kalau belum tiba saatnya? Kalau sudah tiba saatnya, tanpa diminta pun akan mati. Hayo bilang, mengapa kau sampai mengeluarkan kata-kata gila ini? Apa yang terjadi dengan dirimu?”
Gadis itu menggeleng kepala, kemudian menurunkan kedua tangan dari depan muka. Mukanya yang cantik itu agak pucat dan amat muram, basah oleh air matanya. Hati kakek itu terkejut dan kasihan juga melihat ini karena maklumlah dia bahwa muridnya ini mengalami pukulan batin yang parah juga.
“Tidak terjadi apa-apa dengan diri teecu, akan tetapi telah terjadi hal yang hebat dengan diri... dia...“ Gadis itu megap-megap seperti ikan di darat.
“Dia? Dia siapa?” Hek-sin Touw-ong bertanya, memandang wajah muridnya penuh selidik karena dia khawatir kalau-kalau kesedihan membuat muridnya ini mengalami guncangan batin yang akan mengganggu ketenangan jiwanya.
“Dia… Pendekar Siluman Kecil...!”
Alis kakek itu berkerut. Dia sudah mengerti bahwa muridnya ini tergila-gila kepada pendekar sakti itu.
“Ada apa dengan dia?” desaknya.
Siluman Kecil itu menurut muridnya dapat mengalahkan Sin-siauw Sengjin, berarti memiliki kesaktian setinggi langit yang sukar diukur lagi, maka apakah yang dapat menimpa seorang pendekar sakti seperti itu? Apakah pendekar itu terkena malapetaka maka muridnya menjadi berduka seperti ini?
“Siluman Kecil? Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi?”
“Dia... dia... mencinta wanita lain, Suhu... uuuhhhu-hu-huuuhhh...!” Dara itu menangis lagi.
Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya dan memandang kepala yang menunduk dan pundak yang berguncang-guncang dalam tangisnya itu. Dia menarik napas panjang berkali-kali dan hatinya penuh rasa iba kepada muridnya ini. Terbayanglah semua peristiwa semenjak dia mengambil anak itu sebagai murid.
Dia tahu bahwa Kang Swi Hwa adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong yang dititipkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk dilatih ilmu silat. Karena penasaran terhadap Sin-siauw Sengjin, maka dia menculik anak itu untuk dilatihnya sendiri. Akan tetapi kemudian, maksud yang hanya ingin menimpakan rasa penasaran itu kepada Sin-siauw Sengjin, akhirnya berubah setelah dia mulai mencinta murid itu sebagai puterinya sendiri! Maka anak itu pun dididiknya terus sampai menjadi dewasa dan dia telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya, baik ilmu silat, ilmu maling dan ilmu menyamar kepada dara itu.
Dia tahu bahwa muridnya ini adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong, seorang yang sudah dikenalnya dengan baik maka ia pun mendidik muridnya itu sekuat tenaganya sehingga muridnya sekarang memiliki tingkat kepandaian yang sudah hebat, hampir menyamai tingkatnya sendiri. Maka ketika dia mendengar betapa muridnya itu ‘dihina’ secara tidak sengaja oleh murid Sai-cu Kai-ong, dia terkejut bukan main dan heran mengapa justeru murid dari kakek gadis ini yang bertemu dan ‘menghina’ nya! Maka timbul pula niatnya untuk menjodohkan muridnya dengan pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, sebab dengan demikian, selain untuk menebus kesalahannya terhadap Sai-cu Kai-ong, juga untuk menghapus aib yang telah dialami oleh Swi Hwa.
Dia sengaja mengganti nama muridnya yang ketika itu masih kecil sekali sehingga tidak mungkin dapat mengingat apa-apa, mengganti namanya menjadi Kang Swi Hwa, bahkan dia telah menghapus tahi lalat di dagu anak itu agar tidak akan dapat dikenali oleh Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin! Dan kini, ternyata muridnya itu mencinta Siluman Kecil dan merana, patah hati, karena Siluman Kecil mencinta gadis lain!
Setelah sejenak membiarkan dara itu menangis lagi, dengan hati amat terharu Hek-sin Touw-ong kemudian memegang kedua pundak muridnya, dan berkata dengan suara menghibur, “Kalau begitu, masih jauh lebih baik bagimu, muridku...“
Mendengar ini, dara itu mengangkat mukanya yang basah air mata itu, memandang gurunya dengan penasaran.
“Lebih baik...? Apa... apa maksud Suhu?” Dia sedih setengah mati, gurunya malah mengatakan lebih baik! Hati siapa tidak menjadi penasaran?
“Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menarik napas panjang. “Jauh lebih baik gagal sebelum menikah, dari pada gagal setelah menjadi suami isteri... seperti gurumu ini...“
Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak. Tidak disangkanya gurunya akan berkata demikian. Gurunya tidak pernah bercerita tentang diri sendiri, bahkan tidak pernah bercerita tentang riwayatnya, tentang ayah bundanya.
“Apakah Suhu pernah menikah?” tanyanya, hatinya tertarik karena seluruh perhatiannya tertarik akan keadaan suhu-nya, maka otomatis ia melupakan diri sendiri dan lenyaplah seketika rasa duka di hatinya.
Memang, kedudukan bukan lain hanyalah permainan ingatan, permainan pikiran yang mengingat-ingat dan membayang-bayangkan, penuh dengan iba diri. Begitu pikiran meninggalkan semua itu, ditujukan kepada lain hal dengan penuh perhatian, maka duka pun lenyap tanpa bekas!
Kakek itu mengangguk. “Aku pernah menikah, akan tetapi terdapat ketidak cocokan dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami hidup menderita, seperti dalam neraka karena percekcokan terjadi setiap hari. Akhirnya, setelah menikah selama tiga tahun tanpa ada keturunan, kami terpaksa berpisah, dan semenjak itu, aku tidak mau lagi menikah...“
Melihat wajah suhu-nya membayangkan penderitaan batin, seketika lupalah Swi Hwa akan kesusahan hatinya sendiri. Dia memandang kepada suhu-nya dengan hati penuh perasaan iba.
Akan tetapi kakek itu lalu melanjutkan, “Karena itulah, Swi Hwa, kukatakan lebih baik gagal sebelum menikah dibandingkan seperti yang kualami ini. Bayangkan saja kalau kegagalanmu ini terjadi setelah engkau menikah dengan seorang suami yang tidak menaruh cinta kepadamu, tentu akan lebih pahit dan sengsara lagi.”
Dara itu kini menunduk, dia mengerti akan maksud ucapan gurunya itu. “Jadi, dalam pernikahan Suhu itu hanya terdapat cinta sepihak?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Ya, hanya dariku adanya cinta itu, tidak dari pihaknya. Maka, kalau Siluman Kecil tidak mencintamu dan mencinta orang lain, apa yang perlu disesalkan? Dunia tidak hanya setapak tangan lebarnya, dan masih terdapat banyak sekali pria yang cukup baik untuk menjadi calon jodohmu. Terutama sekali, kita harus mencari pemuda bernama Siauw Hong itu, karena menurut pandanganku, hanya dialah yang harus menjadi suamimu, karena dia yang pernah melihat tubuhmu!”
Dara itu makin menunduk dan mukanya berubah merah mendengar ucapan ini, karena dia teringat akan peristiwa itu, yaitu ketika dia yang menyamar sebagai pria dan terbuka rahasianya oleh Siauw Hong. Pada waktu itu Siauw Hong berusaha mengobatinya dan memeriksa dadanya!
“Hanya ada dua pilihan terhadap pemuda itu. Membunuhnya atau menikah dengan dia! Kehormatan dan nama baikmu tergantung sepenuhnya kepada persoalan ini, muridku. Maka, marilah engkau ikut bersamaku pergi mencari Sai-cu Kai-ong buat membicarakan urusan muridnya itu.”
“Tapi... Suhu, teecu belum mempunyai ingatan untuk menguruskan persoalan jodoh sebelum... sebelum teecu mendengar dari Suhu tentang keadaan keluarga teecu. Suhu selalu mengelak dan tidak mau memberi keterangan kepada teecu. Sekarang teecu mohon Suhu suka memberi penjelasan. Siapakah ayah bunda teecu? Apakah mereka masih hidup dan mengapa teecu sejak kecil ikut bersama Suhu?”
Kakek itu menghela napas. “Dalam hal ini aku berdosa kepadamu, muridku. Ketahuilah, bahwa engkau adalah seperti cucu atau anak angkatku sendiri, di samping engkau muridku satu-satunya. Dan terus terang saja, aku tidak dapat menceritakan tentang keluargamu karena memang aku tidak tahu. Hanya ada satu orang saja yang akan dapat menceritakan hal itu kepadamu.”
“Siapa dia, Suhu?”
“Dia adalah Sai-cu Kai-ong...“
“Apa...?” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa memandang kepada suhu-nya dengan mata terbelalak lebar. “Kakek sakti guru... Siauw Hong itu...?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Muridku, agaknya sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang meliputi dirimu. Akulah yang bertanggung jawab akan semua itu. Maka, mari kau ikut bersamaku menemui Sai-cu Kai-ong, sekalian kita bicarakan urusan muridnya itu.”
Dara itu mengangguk sambil menundukkan mukanya. Dia akan selalu merasa malu dan canggung kalau bicara tentang pemuda yang menjadi pangeran pengemis itu, karena nama Siauw Hong selalu mengingatkan dia akan peristiwa yang dialaminya, ketika rahasia penyamarannya sebagai pria terbuka oleh pemuda itu.
Berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan kuil tua itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang-siocia lari mengejar ketika melihat Siluman Kecil pergi, kemudian di tengah perjalanan dia bertemu dengan Siang In. Mereka berpisah dan tanpa disengaja, kembali dia bertemu dengan Siang In yang sedang berkasih-kasihan dengan Siluman Kecil. Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Kang Swi Hwa melihat betapa pria yang dikaguminya dan diam-diam dicintanya itu ternyata saling mencinta dengan seorang gadis lain.
Maka dia lalu diam-diam meninggalkan tempat itu sambil menangis. Dia tidak tahu bahwa ketika dia lari meninggalkan benteng yang terbakar, dari jauh gurunya selalu membayanginya dan melihat dara itu menangis, Hek-sin Touw-ong lalu mengejar, menyusulnya dan mengajaknya istirahat di kuil tua itu, kemudian bertanya apa yang disusahkan oleh muridnya. Karena kakek ini membayangi muridnya dari jauh, maka dia tidak ikut menyaksikan apa yang menjadi sebab muridnya berduka, dia tidak melihat betapa Siluman Kecil sedang berkasih-kasihan dengan Siang In.
Beberapa hari kemudian guru dan murid ini sudah tiba di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Dari lereng saja sudah nampak bangunan besar kuno yang dahulunya merupakan bangunan semacam istana megah dari raja pengemis, nenek moyang dari Sai-cu Kai-ong. Berbeda dengan nenek moyangnya, Saicu Kai-ong kini tidak suka menonjolkan diri dan walau pun dia dijuluki Kai-ong dan pengaruhnya masih besar sekali, dianggap sebagai datuk kaum pengemis dan dipuja-puja oleh semua perkumpulan pengemis, namun dia tidak secara langsung memimpin para pengemis itu. Dia lebih senang menyembunyikan diri di dalam bekas istana nenek moyangnya itu, hidup bersunyi di puncak Bukit Nelayan.
Ketika guru dan murid itu telah berdiri di depan rumah kuno yang kelihatan kosong dan sunyi itu, Hek-sin Touw-ong lalu berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya bergema sampai terdengar dari tempat jauh.
“Kai-ong, ini sahabatmu Touw-ong ingin berjumpa denganmu!”
Memang kedengarannya lucu. Touw-ong (Raja Maling) ingin bertemu dengan Kai-ong (Raja Pengemis)! Suara dari Hek-sian Touw-ong menimbulkan gema yang panjang dari dalam gedung besar itu, dan tidak lama kemudian terdengar suara yang nyaring dari dalam gedung.
“Selamat datang, Touw-ong! Pintu rumahku tidak tertutup, harap kau masuk saja!”
Agaknya di antara dua orang sakti itu terdapat jalinan persahabatan yang sudah akrab, maka mereka menggunakan kata-kata yang ramah dan kasar, tanpa banyak peraturan dan sopan santun yang biasa timbul antara orang-orang yang baru berkenalan. Hek-sin Touw-ong tertawa bergelak, kemudian mengajak muridnya memasuki pintu gerbang besar dari rumah kuno itu.
Hek-sin Touw-ong sendiri hidup sebagai seorang yang kaya, memiliki rumah besar yang terjaga oleh banyak pelayan, maka tentu saja guru dan murid ini tidak asing dengan rumah-rumah besar dan mewah. Akan tetapi, ketika memasuki istana tua ini, dara itu merasa seram juga, dan kagum melihat hiasan-hiasan kuno yang antik dan indah.
Rumah kuno yang besar itu nampak sunyi menyeramkan oleh karena kelihatan kosong tanpa ada seorang pun manusia yang menjaganya, kelihatan dingin karena kurangnya manusia di situ. Berindap-indap dara ini berjalan di samping gurunya, memandang ke kanan kiri seperti memasuki sebuah goa yang penuh ancaman bahaya. Akan tetapi Hek-sin Touw-ong yang dahulu sudah sering memasuki gedung ini, berjalan seenaknya dengan wajah gembira, sungguh pun terdapat ketegangan yang nampak dari kerutan di antara kedua alisnya. Kakek ini merasa gembira karena dia akan mengejutkan dan mendatangkan kegembiraan besar kepada sahabat lamanya ini dengan mengembalikan cucunya, akan tetapi juga dia merasa tegang karena merasa bersalah telah menculik cucu sahabatnya yang diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk menjadi murid Kakek Suling Sakti itu. Juga hatinya tegang mengingat bahwa pemuda yang pernah ‘menghina’ muridnya adalah murid sahabatnya ini.
Ketika mereka tiba di dalam sebuah ruangan, muncullah seorang kakek yang gagah perkasa, dan biar pun usianya sudah lebih dari enam puluh lima tahun, namun tubuhnya yang tinggi tegap itu masih nampak kokoh kuat, pakaiannya sederhana, pandang matanya tajam dan penuh kejujuran dan kegagahan. Kakek ini menggunakan sinar matanya menyapu wajah dua orang tamunya dan dia agaknya merasa puas sekali melihat keadaan Hek-sin Touw-ong karena sahabat lamanya itu masih nampak sehat dan sederhana, dengan mukanya yang hitam terbakar matahari dan pakaiannya yang serba hitam pula. Dia tahu bahwa Si Raja Maling ini amat kaya raya, namun pakaian dan sikapnya jelas membuktikan bahwa kakek itu tidak membanggakan kekayaannya.
Ketika Sai-cu Kai-ong, kakek tuan rumah itu, memandang wajah Ang-siocia, dia kelihatan tertarik sekali, bahkan seperti orang tertegun dan sinar matanya melekat pada wajah dara itu. Kalau orang tidak mengenal bahwa kakek ini adalah seorang kakek sakti yang gagah perkasa, yang sudah tidak tertarik lagi oleh wanita muda dan cantik, maka tentu orang akan menyangka dia adalah lelaki mata keranjang yang terpesona oleh kecantikan Ang-siocia.
Melihat tuan rumah seperti tertegun memandangnya, dengan sinar mata penuh selidik menjelajahi setiap bagian wajahnya, Ang-siocia mengerutkan alisnya dan diam-diam hatinya sudah merasa tidak senang. Dia menyangka bahwa kakek itu tentu tergolong pria tua yang cabul dan mata keranjang! Akan tetapi tidak demikian dengan gurunya, Hek-sin Touw-ong tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kai-ong, dia ini adalah muridku, mengapa engkau memandanginya seperti itu? Apakah engkau sudah mengenal muridku ini?” tanya Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.
Kalau saja dia memang terpesona oleh kecantikan gadis itu, tentu Sai-cu Kai-ong akan merasa canggung dan malu mendengar teguran itu, akan tetapi karena memang dia sama sekali tidak ada pikiran yang tidak patut, teguran itu diterimanya secara sungguh sungguh dan dia pun menjawab tanpa melepaskan pandang matanya dari Ang-siocia.
“Serasa kukenal dia... wajahnya serupa benar dengan... mantuku yang telah meninggal dunia... akan tetapi...,“ kini matanya meneliti ke arah dagu Ang-siocia.
“Ha-ha-ha, pengemis tua bangka, engkau mencari-cari sebuah tahi lalat kecil di dagu?”
Mendengar ini, secepat kilat kakek itu menoleh dan memandang pada tamunya dengan sinar mata berkilat, wajahnya berubah pucat. “Engkau maling tua, hayo katakan yang sebenarnya, apa maksudmu itu? Dari mana kau tahu tentang tahi lalat di dagu?”
Tiba-tiba mata kakek itu terbelalak. Dia menoleh lagi kepada Ang-siocia, memandang tajam wajah dara itu, kemudian dia menoleh lagi kepada Hek-sin Touw-ong, suaranya gemetar ketika dia berkata, “Touw-ong, demi Tuhan! Siapakah dia ini? Benarkah dia ini...?”
“Kai-ong, mari kita duduk yang baik dan akan kuceritakan sesuatu yang pasti akan mendatangkan kegembiraan besar bagimu.”
Dengan mata masih memandang kepada Ang-siocia, tuan rumah itu membawa dua orang tamunya ke sebuah ruangan dan mereka duduk berhadapan. Kemudian tuan rumah itu memandang wajah Si Raja Maling, dan dari sinar matanya dia mengajukan seribu satu macam pertanyaan.
“Kai-ong, tidak perlu kujelaskan lagi, engkau tentu mengenal baik Sin-siauw Sengjin, bukan? Biar pun engkau belum pernah membongkar rahasia kakek suling sakti itu, namun aku dapat menduga bahwa antara engkau dan dia terdapat suatu ikatan yang amat mendalam. Benarkah demikian?”
Urusan yang menyangkut Sin-siauw Sengjin merupakan rahasia besar bagi Si Raja Pengemis, akan tetapi karena dia percaya bahwa Raja Maling ini merupakan seorang gagah yang dapat dipercaya, maka tanpa banyak cakap lagi dia mengangguk.
“Nah, terus terang saja, aku pernah bentrok dengan kakek yang angkuh dan sombong itu dan aku telah kalah olehnya. Memang dia lihai bukan main dan betapa pun aku berusaha, aku tidak pernah dapat menangkan kakek yang penuh rahasia itu.”
Sai-cu Kai-ong tersenyum. “Hal itu tidak aneh, Touw-ong. Aku sendiri pun tidak akan mampu menandinginya.”
“Dan aku merasa penasaran, bukan main...“
“Ahhh, orang-orang macam kita ini, tua bangka-tua bangka yang sudah banyak makan garam dunia, masa masih harus merasa penasaran kalau dikalahkan orang? Engkau tentu tahu bahwa tidak ada orang terpandai di dunia ini,” cela Si Raja Pengemis.
“Engkau benar. Namun entah bagaimana, aku merasa penasaran sekali. Lebih-lebih ketika aku mendengar betapa engkau mempercayakan seorang cucumu kepada kakek sombong itu untuk dididik! Kai-ong, engkau memang terlalu. Jika hanya untuk mendidik cucumu saja, di dunia ini masih banyak sahabat-sahabat lainmu yang tidak sombong, dan termasuk aku yang tentu akan bersedia untuk menurunkan seluruh ilmu tidak berharga yang ada padaku kepada cucumu. Akan tetapi, engkau justeru menyerahkan cucumu itu kepada kakek takabur yang kubenci itu! Tentu saja aku menjadi makin penasaran saja.”
Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. “Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Touw-ong? Urusan keluarga adalah urusan kami sendiri dan kalau aku menyerahkan cucuku kepada Sin-siauw Sengjin, hal itu tentu terjadi dengan suatu sebab dan alasan yang kuat. Kalau tidak demikian, apakah kau kira aku malas untuk mendidik cucuku sendiri?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Agaknya engkau benar pula. Akan tetapi ketika itu aku dibikin buta oleh perasaan penasaranku terhadap si suling sombong itu, maka aku tidak dapat berpikir jernih. Dan untuk melampiaskan kemarahan dan rasa penasaranku, aku lalu memasuki rumahnya dan... kuculik cucumu itu, kubawa pergi!”
Terdengar teriakan nyaring dan Sai-cu Kai-ong sudah bangkit berdiri dari bangkunya, matanya melotot dan mukanya menjadi merah sekali. Mendengar teriakan nyaring tadi, Ang-siocia terkejut bukan main karena dia merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan tentu dia sudah roboh kalau saja dia tidak cepat mengerahkan sinkang-nya untuk melawan serangan suara yang luar biasa itu. Itulah Ilmu Sai-cu Ho-kang yang barusan dikeluarkan oleh Sai-cu Kai-ong dalam kemarahannya.
“Hemmm, jadi kiranya engkaukah yang menculik cucuku itu?” Suara Raja Pengemis itu terdengar penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan-tahan.
Akan tetapi Hek-sin Touw-ong masih bersikap tenang saja sungguh pun wajahnya berubah agak pucat. Dia mengangguk. “Benar, Kai-ong, akulah yang menculiknya, dan aku tidak menyesal karena aku menganggap anak itu seperti anakku atau cucuku sendiri, aku sudah menurunkan seluruh ilmuku kepada muridku itu...“
“Suhu...!” Ang-siocia berteriak kaget mendengar ini.
Sejak tadi dia mendengarkan saja tanpa mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu. Akan tetapi, ucapan terakhir suhu-nya itu membuka matanya. Kiranya dialah anak kecil yang dipercakapkan itu. Dialah cucu Raja Pengemis ini yang dititipkan kepada Sin-siauw Sengjin dan kemudian diculik oleh suhu-nya! Pantas saja suhu-nya rnengatakan bahwa orang yang dapat menceritakan semua keluarganya adalah Sai-cu Kai-ong yang ternyata adalah kakeknya sendiri!
“Dia... dia ini Yu Hwi cucuku...? Tapi... tapi...“ Sai-cu Kai-ong memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat, suaranya gemetar karena keharuan yang mendalam.
“Maksudmu tahi lalatnya? Tahi lalat di dagu itu telah kuhilangkan dengan obat, dan dia pun hanya mengenal namanya sebagai Kang Swi Hwa, atau julukannya Ang-siocia murid Si Raja Maling.”
“Yu Hwi... kau... kau cucuku...“ Sai-cu Kai-ong berseru dan melangkah maju.
Kang Swi Hwa atau lebih tepat lagi Yu Hwi juga memandang pada kakeknya itu, yang agaknya merupakan satu-satunya keluarganya, maka dia pun lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Kong-kong...!”
“Yu Hwi... ahhh, Yu Hwi...!” Kakek itu mengangkat dara itu dengan memegang kedua pundaknya, memandangi wajah itu. “Benar, benar..., engkaulah satu-satunya keturunan keluarga Yu kita... wajah dan mulutmu serupa dengan mendiang ibumu, akan tetapi matamu... ahhh, matamu adalah mata keturunan keluarga Yu...!”
Kakek itu merasa terharu sekali dan memeluk cucunya. Tak dapat menahan keharuan hatinya, dan Yu Hwi pun menangis.
Hek-sin Touw-ong tertegun. Baru sekarang dia merasa betapa dia telah melakukan suatu kesalahan besar. Dia melihat sekarang persamaan sinar mata kedua orang itu, dan dia merasa betapa dia telah membuat sahabatnya itu menderita hebat. Dia tidak mengira sama sekali bahwa sahabatnya itu pun baru belum lama ini mendengar tentang hilangnya Yu Hwi, baru setelah Sin-siauw Sengjin menemuinya beberapa bulan yang lalu. Tadinya, Raja Pengemis itu mengira bahwa cucunya masih belajar pada Kakek Suling Sakti itu dalam keadaan sehat.
“Kai-ong, aku telah melakukan kesalahan besar padamu...!” Dia berkata dengan suara penuh kedukaan, bukan duka karena menyesali kesalahannya, melainkan duka melihat betapa muridnya yang dianggap sebagai keluarga sendiri itu kini benar-benar telah bertemu dengan keluarga asli muridnya, dan baru terasa olehnya bahwa dia bukan apa apa, bahwa dia adalah orang luar, tidak berhak terhadap diri muridnya itu, bahkan dia orang luar yang telah melakukan kesalahan terhadap keluarga Yu!
“Kau... kau... plakkk!” Tiba-tiba tangan kanan Sai-cu Kai-ong menampar pipi Hek-sin Touw-ong.
Melihat ini, Yu Hwi terkejut bukan main. Akan tetapi yang ditampar masih berdiri dan menundukkan mukanya. Pipi kirinya menjadi merah sekali oleh tamparan itu. Kedua kakek itu saja yang tahu bahwa betapa pun marahnya Si Raja Pengemis, namun dia tadi menampar tanpa mengerahkan tenaga sinkang, karena kalau hal itu dilakukannya, tentu yang ditamparnya telah roboh dengan tulang pipi remuk! Dan juga, yang ditampar tadi sama sekali tidak mengelak, bahkan sama sekali tidak mengerahkan sinkang untuk melawan atau melindungi pipinya!
“Aku sudah layak kau tampar, bahkan kalau engkau hendak membunuhku sekali pun, Kai-ong, aku tidak akan melawan. Silakan!”
“Engkau tua bangka keparat!” Sai-cu Kai-ong membentak dan tangannya telah bergerak lagi.
“Kong-kong, tahan...!” Tiba-tiba Yu Hwi berteriak dan dara ini sudah meloncat ke depan dan memegang lengan kakeknya. Kakeknya memutar tubuh, kemudian menatap wajah cucunya dengan sinar mata penuh selidik.
“Kong-kong, biarlah aku yang mintakan ampun untuk Suhu!” Dara itu menjatuhkan diri berlutut. “Setelah aku mendengar riwayat itu, aku tahu bahwa Suhu bersalah besar kepada keluarga kita, terutama telah membuat Kong-kong menderita duka. Akan tetapi, selama ini, semenjak aku kecil, Suhu telah menjadi guruku, sahabatku, dan juga menjadi pengganti orang tuaku. Kalau Kong-kong mau menghukumnya, biarlah aku yang mewakilinya sebagai pembalas semua budi kebaikannya yang telah dilimpahkan kepadaku selama ini.”
Sai-cu Kai-ong berdiri tegak sambil menunduk, memandang kepala cucunya yang berlutut itu, dan Hek-sin Touw-ong juga berdiri dengan kepala tunduk, kelihatan terharu sekali. Hening sekali suasana di dalam ruangan itu setelah Yu Hwi menghentikan kata katanya.
Tiba-tiba meledak suara ketawa bergelak yang memecahkan keheningan itu. Hek-sin Touw-ong mengangkat muka memandang, juga Yu Hwi memandang wajah kakeknya dengan penuh keheranan. Kakek itu tertawa bergelak, menghadapkan mukanya ke atas dan tertawa lagi.
“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Kiranya Hek-sin Touw-ong tidak mencemarkan namanya dan tetap terbukti sebagai seorang laki-laki sejati yang pandai mendidik. Touw-ong, aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Engkau telah mendidik Yu Hwi sebagaimana mestinya sehingga dia tetap menjadi seorang dara yang gagah perkasa, berjiwa pendekar, sungguh tidak memalukan sebagai keturunan terakhir keluarga Yu. Ha-ha-ha, kau maafkanlah tamparanku sebagai ledakan kemarahanku tadi, Touw-ong!”
Hek-sin Touw-ong kini juga tertawa, akan tetapi ketika dia tertawa, ada dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya, dua titik air mata yang hinggap di pipi dan cepat dihapusnya dengan punggung tangannya. “Ha-ha-ha, engkau Raja Pengemis, jembel tua bangka yang menjemukan! Kau bilang menampar, namun sesungguhnya engkau hanya mengelus pipiku saja. Kalau engkau benar menampar, apakah mukaku yang buruk ini masih utuh sekarang? Ha-ha-ha, mengelabui anak sekali pun engkau tak becus, Raja Pengemis! Sekarang hutangku telah impas, cucumu telah kukembalikan. Dan tentang si sombong Sin-siauw Sengjin, sampaikan kepadanya bahwa aku mentertawakan dia, katakan bahwa akulah yang dulu mencuri muridnya dan kalau dia tidak terima, dia boleh mencariku. Rumahku tidak tersembunyi seperti rumahnya! Dan katakan lagi bahwa sekumpulan kitab-kitab palsunya telah dicuri orang, dan pencurinya adalah... ha-ha-ha, cucumu inilah! Jangan heran, Kai-ong, cucumu ini adalah murid Hek-sin Touw-ong, maka jangankan hanya milik manusia macam Sin-siauw Sengjin, biar milik kaisar sekali pun dia sanggup untuk mencurinya tanpa diketahui sang pemilik! Dan kalau si suling sombong itu ingin mendapatkan kitab-kitab palsunya kembali, suruh dia mengambil di rumahku. Nah, aku sudah cukup bicara, dan di antara kita tidak ada hutang-pihutang lagi. Selamat tinggal, Kai-ong!”
Setelah berkata demikian, Hek-sin Touw-ong membalikkan tubuh dan melangkah keluar dengan langkah lebar, tanpa menoleh kepada Yu Hwi lagi.
“Suhu...!” Yu Hwi meloncat dan menghadang di depan suhu-nya. Kini tampak olehnya betapa muka suhu-nya itu basah oleh air mata yang masih menetes-netes dari kedua mata itu dan mengalir di sepanjang kedua pipi yang keriput.
“Suhu...!” Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut dan menangis di depan kaki suhu-nya, memegangi tangan suhu-nya dengan perasaan penuh keharuan.
Teringatlah dia akan semua kebaikan suhu-nya itu semenjak dia masih kecil sekali. Terasa benar olehnya kasih sayang gurunya ini kepadanya. Tahulah dia mengapa tadi suhu-nya pergi tanpa pamit, bahkan sama sekali tanpa menoleh kepadanya. Kiranya suhu-nya merasa tidak kuat untuk berpamitan kepadanya, dan suhu-nya hendak menyembunyikan kedukaan hatinya karena harus berpisah darinya, bukan hanya berpisah lahir, bahkan harus memutuskan hubungan karena kini dia sudah kembali kepada keluarganya, kepada kakeknya.
“Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Suhu terhadap teecu, dan sampai mati teecu tidak akan melupakan budi kebaikan Suhu...“
“Swi Hwa, muridku, biar pun engkau adalah Yu Hwi cucu si Raja Pengemis, akan tetapi bagiku engkau tetap Kang Swi Hwa muridku. Engkau sekarang telah kembali kepada kakekmu, seorang gagah perkasa yang patut kau junjung tinggi, patut kau hormati dan patut kau taati. Aku hanyalah seorang maling yang tidak berhak menjadi gurumu, dan aku telah melakukan kesalahan besar terhadap keluargamu. Akan tetapi, biar pun aku tidak mengharapkan lagi untuk kau ingat, aku minta kepadamu, Swi Hwa, agar engkau mempergunakan semua ilmu yang pernah kuajarkan kepadamu itu untuk membela kebenaran dan keadilan. Nah, sudahlah, muridku, kita berpisah dan jangan ingat aku lagi.” Sebelum muridnya sempat menjawab, kakek itu telah berkelebat dan lenyap dari situ, melarikan diri dengan mengerahkan tenaga ginkang-nya sehingga sebentar saja dia sudah jauh sekali.
“Suhu...!” Yu Hwi memekik dan hendak mengejar, namun sebuah tangan memegang pundaknya dengan lembut.
“Yu Hwi, belum pernah keturunan keluarga Yu memperlihatkan kelemahan! Apakah yang kekal di dunia ini? Pengikatan diri hanya merupakan sumber segala derita. Ada waktu berkumpul, pasti ada waktu berpisah.”
Ucapan yang keluar dari mulut kakek Raja Pengemis itu terdengar sedemikian penuh wibawa dan semangat sehingga Yu Hwi atau Kang Swi Hwa atau Ang-siocia seketika berdiri tegak dengan muka agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. Dia dapat merasakan kegagahan yang terpancar keluar dari sikap, kata-kata dan pandang mata kakeknya itu dan dia merasa bangga menjadi keturunan keluarga Yu.
Kebanggaan makin membesar dalam diri dara itu pada waktu kakeknya mengajaknya berkeliling ke dalam istana kuno itu dan mendengar penuturan kakeknya mengenai kebesaran nama keluarga Yu, yaitu keluarga nenek moyangnya yang terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Kiranya dia bukanlah keturunan keluarga sembarangan, dan hatinya mengandung perasaan penasaran! Dia adalah keturunan keluarga Yu yang besar dan gagah perkasa, tidak kalah hebat dibandingkan dengan keluarga Pulau Es, keluarga dari Siluman Kecil!
“Yu Hwi, setelah engkau kini dapat kutemukan, kita harus cepat-cepat pergi menemui keluarga calon suamimu.”
Ucapan tenang dan lembut dari kakeknya itu mengejutkan hati Yu Hwi bukan kepalang. Namun dara ini dapat menekan perasaannya. Dia adalah keturunan keluarga besar, maka dia pun harus berjiwa besar dan berwatak gagah, tidak boleh memperlihatkan perasaan hatinya! Kenyataan bahwa dia adalah keturunan keluarga besar ini seketika telah mengubah sedikit watak Yu Hwi, mendatangkan semacam keangkuhan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang merasa dirinya ‘besar’. Maka dengan kekuatan batinnya dia telah berhasil menindas perasaannya yang terkejut ketika mendengar ucapan kakeknya itu dan dia hanya memandang tajam kepada kakeknya. Suaranya terdengar tenang saja ketika dia bertanya.
“Calon suami? Apa yang kau maksudkan, Kong-kong?”
Sikap Sai-cu Kai-ong juga tenang sekali dan diam-diam dia merasa girang melihat sikap cucunya. Benar-benar Si Raja Maling tidak mengecewakan, telah mendidik cucunya ini menjadi seorang dara yang gagah perkasa. Dia tersenyum dan memandang cucunya dengan wajah berseri.
“Yu Hwi, semenjak engkau masih bayi, engkau telah bertunangan. Dan jangan engkau khawatir atas keputusan yang diambil kakekmu ini. Tunanganmu itu bukanlah orang sembarangan. Dia adalah keturunan dari keluarga yang jauh lebih besar dan gagah perkasa dari pada keluarga kita malah! Dia adalah keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, satu-satunya keturunan pendekar itu yang masih ada. Dan jangan kau khawatir, Kam-kongcu, calon suamimu itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki kepandaian silat yang amat tinggi karena dia mewarisi kepandaian nenek moyangnya, yaitu Pendekar Suling Emas.”
Biar pun sikapnya masih tenang, namun sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut. Tentu saja dia sama sekali tidak tertarik ketika mendengar seorang pemuda bernama Kam-kongcu itu, biar pun kakeknya mengatakan betapa pemuda itu tampan dan gagah.
“Kong-kong, mengapa engkau mengikat perjodohanku ketika aku masih seorang bayi? Bukankah perjodohan adalah urusan dua orang yang berhak memilih sendiri calon jodohnya sesuai dengan perasaannya?”
Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek menarik napas panjang. “Boleh jadi benar anggapanmu, cucuku. Akan tetapi di antara kita keluarga Yu dan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam, terdapat ikatan yang amat erat semenjak nenek moyang kita dahulu. Kebetulan sekali keturunan keluarga kita yang terakhir terlahir sebagai seorang wanita, yaitu engkau, dan keluarga Kam yang terlahir sebagai seorang pria. Oleh karena itu, atas persetujuan bersama, engkau kutunangkan dengan Kam-kongcu, sehingga dengan demikian, keturunan Yu biar pun akan putus karena tidak ada lagi keturunan laki-laki, namun keturunanmu akan menjadi keturunan keluarga Kam dan berarti keluarga kita tidak putus melainkan menggabungkan dengan keluarga Kam. Sungguh penggabungan yang amat baik dan mengharukan.” Suara kakek itu agak gemetar ketika mengatakan kalimat terakhir.
Biar pun di dalam hatinya merasa tidak setuju dan tidak senang, akan tetapi sebagai keturunan keluarga ‘besar’, Yu Hwi hanya menunduk. Dia tahu bahwa janji seorang seperti kakeknya itu pasti tidak mungkin dapat ditarik kembali! Maka dia pun akan melihat dulu bagaimana keadaan tunangan itu, kalau kelak dia merasa tidak cocok, sampai bagaimana pun juga dia tidak akan tunduk dan menyerah begitu saja!
Sai-cu Kai-ong merasa girang bukan main ketika dia minta kepada cucunya untuk bersilat mempertunjukkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh cucunya itu dari Touw-ong. Dia merasa kagum melihat kehebatan Kiam-to Sin-ciang, dan lebih kagum sekali melihat kecepatan gerakan tangan cucunya yang memperlihatkan kemahiran ilmu mencopet, kemudian tertegun melihat cucunya dapat ‘pian-hoa’ (mengubah diri) menjadi orang lain dalam ilmu penyamarannya yang hebat!
“Ah, engkau telah menjadi seorang gadis yang lihai Yu Hwi. Dalam penggemblenganku sendiri, belum tentu engkau akan menjadi lihai seperti ini. Akan tetapi, engkau berhak untuk mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Yu kita, maka engkau harus menghafal semua ilmu itu untuk kemudian kau latih perlahan-lahan.”
Tentu saja Yu Hwi merasa girang sekali dan selama tiga hari tiga malam kakeknya menurunkan ilmu yang amat hebat, yaitu ilmu warisan keluarga Yu yang mengangkat nama keluarga itu selama puluhan, bahkan ratusan tahun, yaitu Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang, ilmu inti dari para raja pengemis perkumpulan Khong-sim Kai-pang! Setelah dara itu menghafal teori ilmu silat ini dengan baik, maka kakek itu lalu mengajaknya untuk pergi menemui tempat tinggal tunangannya!
Yu Hwi tidak membantah, dan jantungnya berdebar penuh ketegangan pada saat dia melakukan perjalanan dengan kakeknya menuju ke tempat tinggal calon suaminya, yang menurut kakeknya sekarang tinggal bersama Sin-siauw Sengjin! Dia tidak pernah menyinggung nama tunangannya itu, akan tetapi mendengar nama Sin-siauw Sengjin, dia berkata, “Apakah Kong-kong lupa akan pesan suhu? Aku pernah mencuri kumpulan kitab-kitab dari kakek suling sakti itu. Kalau dia mendengar itu dan melihatku, apakah dia tidak akan marah?”
Kakek itu tertawa. “Dia marah kepadamu? Ha-ha-ha, tidak mungkin cucuku. Dan dia tentu malah akan tertawa girang melihat kelihaianmu, apa lagi kitab-kitab yang kau curi itu hanya kitab-kitab palsu. Sudahlah, jangan khawatir. Kita akan menemui keluarga yang paling hebat dalam dunia ini, sedangkan Sin-siauw Sengjin itu hanya merupakan keturunan dari pelayan saja dari keluarga tunanganmu!”
Diam-diam Yu Hwi terkejut sekali mendengar ini dan timbul keinginan hatinya untuk melihat seperti apakah gerangan macamnya orang yang menjadi calon suaminya itu sehingga kakek sakti Sin-siauw Sengjin hanya merupakan keturunan pelayan dari keluarga pemuda itu!
Hari telah sore dan cuaca mulai gelap ketika akhirnya kakek dan cucu itu tiba di puncak sebuah bukit kecil yang kini menjadi tempat tinggal Sin-siauw Sengjin dan para pengikutnya. Di puncak itu terdapat sebuah bangunan sederhana namun cukup besar dan kelihatan sunyi saja. Di sekeliling bangunan terdapat tanaman bermacam-macam sayur dan bunga-bunga, suasananya hening dan bersih sekali.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di depan rumah besar itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri menghadang seorang kakek yang bertubuh tinggi kurus dan memegang tongkat butut. Yu Hwi kagum melihat gerakan kakek ini yang memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi sehingga dapat bergerak secepat itu.
Sejenak kakek tinggi kurus itu memandang kepada Sai-cu Kai-ong dan Yu Hwi, akan tetapi segera sikapnya berubah ketika dia mengenal Sai-cu Kai-ong. Kalau tadinya dia bersikap galak dan angkuh, sekarang wajahnya tersenyum dan dia cepat membungkuk dengan hormat.
“Ahhh, kiranya Kai-ong yang berkenan datang berkunjung. Harap maafkan bahwa guru kami tidak mengetahui sebelumnya sehingga tidak sempat menyambut.”
“Ha-ha-ha, Gin-siauw Lo-jin, engkau makin tua makin gagah saja. Tak usah bersikap sungkan, lebih baik lekas beritahukan gurumu bahwa aku datang dan minta menghadap kepadanya karena urusan keluarga yang amat penting,” kata Sai-cu Kai-ong.
“Silakan Kai-ong masuk dan menanti di ruangan tamu, saya akan melaporkan kepada suhu,” kata kakek itu sambil mempersilakan dua orang tamu itu masuk.
Sai-cu Kai-ong mengangguk dan mengajak Yu Hwi masuk, kemudian mereka berdua duduk di sebuah ruangan yang lebar dan sederhana, sedangkan kakek bertongkat itu lalu mengangguk lagi dan meninggalkan mereka.
“Siapakah kakek lihai itu, Kong-kong? Kalau tidak salah, pada waktu Sin-siauw Sengjin bertanding melawan Pendekar Siluman Kecil, aku pernah melihatnya,” bisik Yu Hwi yang masih kagum melihat kakek itu.
“Dia adalah Gin-siauw Lo-jin. Kau lihat, muridnya saja demikian lihai, apa lagi gurunya! Dan selihai itu pun masih belum dapat menguasai ilmu-ilmu Pendekar Suling Emas dengan sempurna. Yang dapat menguasainya kelak tentu hanya Kam-kongcu, yaitu tunanganmu itu,” kata kakek itu dengan bangga sehingga makin tertarik hati Yu Hwi untuk melihat bagaimana tampangnya pemuda yang dipuji-puji kakeknya ini.
Terdengar suara orang tertawa halus dari arah pintu dalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang bukan lain adalah Sin-siauw Sengjin sendiri. Kakek ini nampak tua sekali. Begitu melihat tamunya, dia cepat menjura dengan dalam ke arah Sai-cu Kai-ong sambil berkata, “Ahhh, sungguh girang sekali kami mendapat kunjungan Kai-ong yang terhormat. Mengapa tidak memberi kabar lebih dulu sehingga kami dapat mengadakan penyambutan meriah?”
Sai-cu Kai-ong cepat bangkit dan membalas penghormatan sahabatnya itu, kemudian dia menjawab, “Kami datang secara tergesa-gesa, membawa berita yang amat penting dan tentu akan menggirangkan hati Sengjin yang sudah tua.”
Kakek berambut putih itu memandang kepada Yu Hwi, dan Si Raja Pengemis tahu betapa sinar mata kakek itu nampak tertegun, kemudian sinar mata itu meneliti ke arah dagu cucunya, maka dia tertawa, “Ha-ha-ha, Sengjin, engkau sedang mencari tahi lalat di dagunya?” Dia lalu teringat akan teguran Si Raja Maling kepadanya dan dia tertawa gembira.
Wajah kakek berambut putih itu berubah. “Apa maksudmu, Kai-ong?” Sekarang dia memandang kepada kakek raja pengemis itu penuh keheranan.
Memang tadi dia tertegun melihat Yu Hwi, akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan amat besar antara Yu Hwi belasan tahun yang lalu sebagai anak kecil dengan Yu Hwi sekarang yang telah menjadi seorang dara jelita yang sudah dewasa. Kalau dia tadi memandang tertegun, bukan karena dia melihat persamaan, seperti persamaan antara Yu Hwi dan mendiang ibu kandungnya yang dapat dikenal oleh Sai-cu Kai-ong, tetapi karena dia merasa heran mengapa sahabatnya itu datang membawa seorang gadis cantik yang sama sekali tak dikenalnya. Maka, mendengar ucapan sahabatnya tentang tahi lalat di dagu, dia terkejut sekali.
“Maksudku, Sengjin, bahwa yang berdiri di depanmu ini adalah Yu Hwi, cucuku yang dulu kutitipkan kepadamu kemudian hilang diculik orang.”
Mendengar ini, kakek berambut putih itu terkejut bukan main dan dia melangkah maju ke depan, mendekati Yu Hwi dan memandang makin teliti. “Ahhhhh... terima kasih kepada Thian bahwa engkau akhirnya dapat ditemukan dalam keadaan selamat, anak yang baik!” katanya.
“Yu Hwi, lekas beri hormat kepada Sin-siauw Sengjin, karena dia inilah sesungguhnya gurumu sebelum engkau dilarikan oleh gurumu yang sekarang.”
Biar pun hatinya meragu, apa lagi mengingat bahwa dia telah mencuri kitab-kitab milik kakek sakti ini, namun Yu Hwi tidak berani membantah perintah kakeknya dan dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu.
Sin-siauw Sengjin tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk. Dengan sikap lembut jari-jari tangannya meraba baju di punggung dara itu, kemudian membetotnya. Ada tenaga kuat yang memaksa Yu Hwi bangkit berdiri lagi.
“Jangan banyak sungkan, Yu-siocia. Silakan duduk,” katanya lembut.
Yu Hwi merasa heran mendengar betapa di dalam suara itu terkandung penghormatan yang agak berlebihan, seolah-olah kakek itu merendahkan diri dengan menyebutnya Yu-siocia. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap dan duduk di atas bangku yang ditunjuk, yaitu di depan kakek rambut putih itu.
“Kai-ong yang baik, kenapa engkau tidak cepat-cepat memberi kabar kepadaku bahwa engkau telah menemukan kembali cucumu?” Sin-siauw Sengjin menegur sahabatnya.
“Ketahuilah, Sengjin, bahwa aku sendiri pun baru beberapa hari saja bertemu dengan cucuku, dan setelah menurunkan ilmu-ilmu keluarga kami, aku lalu cepat mengajaknya menghadapmu di sini.”
“Ahhh, kalau begitu maafkan teguranku dan terima kasih atas perhatianmu, Kai-ong. Sekarang, coba kau tolong beri tahu kepadaku, bagaimana engkau dapat menemukan cucumu ini? Siapakah yang menculiknya?”
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Inilah jadinya kalau kita yang sudah tua-tua ini selalu tidak mau kalah mengadu ilmu dengan orang lain. Apakah engkau ingat akan Hek-sin Touw-ong?”
“Ah, Si Raja Maling dari pantai Po-hai yang lihai itu?”
“Benar dia, dan pernahkah engkau bentrok dengan dia?”
Sin-siauw Sengjin lantas mengangguk-angguk. “Ah, aku masih menyesal sekali dengan peristiwa itu. Kami sama-sama keras kepala dan tak mau mengalah sehingga akhirnya dengan menyesal aku terpaksa melukainya... apa hubungannya dia dengan urusan ini?”
“Bukan hanya jasmaninya yang terluka, akan tetapi juga hatinya, Sengjin. Oleh karena merasa penasaran, apa lagi ketika mendengar bahwa aku, sahabatnya yang akrab, menyerahkan cucuku untuk menjadi muridmu, hatinya menjadi panas sekali dan dialah yang menculik Yu Hwi, yang kemudian diangkatnya sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri dan dicintanya.”
“Ahhh...!” Wajah kakek tua itu berubah merah, akan tetapi kemarahannya itu segera meluntur. “Salahku sendiri... semua sebab tentu berakibat...!”
“Engkau benar, tidak perlu kita merasa penasaran karena Si Raja Maling itu tidak berniat buruk terhadap Yu Hwi. Bahkan semua kepandaiannya telah diturunkannya kepada Yu Hwi dan cucuku dicinta seperti anak sendiri. Dan kau tahu apa yang dikatakannya kepadaku untuk disampaikan kepadamu? Bahkan kumpulan-kumpulan kitab palsumu telah dicuri orang, dan pencurinya adalah... Yu Hwi sendiri!”
“Ahhh...?” Sin-siauw Sengjin terbelalak memandang kepada Yu Hwi dan dara itu cepat menundukkan mukanya.
“Harap Locianpwe sudi memaafkan kekurang ajaranku...“
Kakek tua renta itu tertawa pahit. “Aihhh, si maling itu sungguh tak kepalang membalas sakit hatinya. Tidak, Yu-siocia, aku tidak marah dan sudah sepatutnya aku menerirna hajaran itu agar aku tidak lagi memandang rendah kepandaian orang lain.”
“Sengjin, kenapa urusan penting dilupakan dan kita bicara urusan sendiri? Mana dia Kam-kongcu? Peristiwa yang amat menggembirakan ini harus kita saksikan, ha-ha-ha! Ingin aku melihat pertemuan antara dua orang calon pengantin yang amat cocok dan sama-sama elok, bukan? Lekas kau persilakan Kam-kongcu keluar!”
Sin-siauw Sengjin tersenyum gembira dan mengangguk-angguk. “Wah, aku sudah pikun, Kai-ong. Dia tadi sedang tekun melatih sinkang bagian terakhir. Anak itu dengan cepat telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang paling sukar dan kini sudah melampaui tingkatku. Semua ini berkat bimbinganmu, Kai-ong. Biar kupanggil dia.”
Setelah berkata begitu kakek itu menoleh ke kiri, lalu bibirnya bergerak mengeluarkan suara lirih, akan tetapi suara lirih ini menggetarkan jantung Yu Hwi yang merasa terkejut setengah mati dan cepat dia pun mengerahkan sinkang untuk menahan jantungnya agar tidak terguncang hebat oleh pengaruh khikang suara itu.
“Kam-kongcu, silakan keluar ke kamar tamu, di sini ada Suhu-mu dan tunanganmu!”
Suara itu lirih saja, akan tetapi mengandung getaran amat kuat dan agaknya getaran itu dapat menembus dinding. Hening sejenak setelah gema suara aneh itu lenyap, kemudian lapat-dapat terdengar bisikan yang lirih pula akan tetapi terdengar jelas oleh Yu Hwi.
“Aku datang, Locianpwe...!”
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang halus dari pintu samping ruangan tamu itu. Jantung di dalam dada Yu Hwi lantas berdebar tegang. Kalau dia menurunkan bisikan hatinya yang biasanya wajar, polos dan lincah, tentu dia akan memandang ke arah pintu itu untuk cepat melihat seperti apa gerangan Kam-kongcu yang dikatakan sebagai tunangan atau calon suaminya itu. Namun, mengingat bahwa dia adalah keturunan keluarga Yu yang ‘besar’, maka dia menekan perasaan hatinya dan hanya menundukkan mukanya tanpa menoleh. Terasa benar olehnya betapa detak jantungnya seperti hendak memecahkan rongga dadanya! Dag… dug… dag… dug.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum