JODOH RAJAWALI : JILID-61
Padahal Durganini, yaitu nenek India yang pandai ilmu sihir itu, sama sekali bukan datang karena diundang oleh Im-kan Ngo-ok, melainkan karena kebetulan belaka. Durganini kebetulan lewat di tempat itu dan nenek ini yang sudah tua dan pikun, begitu melihat orang main sihir terus saja terjun dan menentang karena gembiranya! Dia menemukan permainan yang amat disukanya, maka tanpa peduli siapa orangnya dan apa urusannya, tanpa diminta dia terus saja menentang dan melawan Suma Han dengan ilmu sihirnya, membuyarkan kekuatan sihir Suma Han yang membuat lawannya melihat dia berubah menjadi lima orang itu!
“Heh-he-he-he-he, orang kaki buntung, hayo kau main-main dengan aku sebentar!” kata nenek itu terkekeh-kekeh dan dia melemparkan tongkatnya ke atas. “Hadapilah naga api hitamku ini!”
Im-kan Ngo-ok terkejut setengah mati ketika mereka menoleh dan melihat tongkat hitam itu sudah berubah menjadi seekor naga hitam yang menyemburkan api dari mulutnya! Karena naga hitam itu menubruk dari atas ke arah Suma Han, tentu saja mereka berlima takut kalau-kalau naga itu salah tubruk, maka otomatis mereka berloncatan ke belakang sambil menonton dengan mata terbelalak. Sebagai orang-orang sakti mereka dapat menduga bahwa nenek itu bermain sihir, bahwa naga itu hanyalah hasil kekuatan sihir, akan tetapi mereka tidak mampu membebaskan diri dari pengaruh sihir itu dan mata mereka melihat betapa naga itu seperti benar-benar naga hidup yang amat menyeramkan!
“Hemmm... lihatlah naga putih ini!” Suma Han membentak dengan suara mengandung tenaga yang hebat sekali sambil melontarkan tongkatnya dan... Im-kan Ngo-ok melihat tongkat Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu pun berubah menjadi seekor naga putih yang terbang melayang dan menyambut terkaman naga hitam.
Terjadilah pertempuran yang amat aneh dan hebat antara naga putih dan naga hitam itu, ditonton dengan mata terbelalak oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Mereka tidak mengenal nenek ini, akan tetapi kedatangan nenek itu sungguh menguntungkan mereka karena mereka tadi sudah merasa bingung dan terdesak oleh lima orang Pendekar Siluman.
Hanya Dewa Bongkok yang masih duduk bersila dan memandang kagum. Dia tidak terpengaruh oleh sihir kedua orang itu karena kakek ini memiliki kekuatan batin yang amat tinggi, akan tetapi dia dapat merasakan getaran-getaran aneh yang keluar dari dua orang yang berdiri berhadapan dalam jarak kurang lebih lima meter itu. Suma Han berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan nenek hitam itu pun berdiri membungkuk sambil mengeluarkan suara terkekeh kecil seperti ringkik kuda.
Suma Han merasa terkejut sekali ketika mendapatkan kenyataan betapa kuatnya nenek itu dalam ilmu sihir. Beberapa kali dia hampir kalah, kekuatan ciptanya menjadi lemah dan dalam pandangan lima orang Ngo-ok, naga putih itu terdesak dan terus mundur. Suma Han harus mengerahkan seluruh tenaganya dan barulah dia sedikit demi sedikit mendesak mundur kekuatan nenek itu. Sebetulnya, kekuatan sihir yang dimiliki oleh Suma Han adalah kekuatan yang timbul secara wajar dan kebetulan saja, melalui proses kebetulan yang menimpa jasmaninya di waktu dia masih kecil. (baca cerita Pendekar Super Sakti),
Sedangkan Durganini semenjak muda sampai tua mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu hitam dari India, maka tentu saja nenek ini jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan Suma Han. Akan tetapi, nenek ini sudah tua sekali dan sudah pikun, lahir batinnya sudah tua dan lemah maka tentu saja kekuatan sihirnya juga banyak menurun dan karena ini Suma Han masih dapat mengimbanginya. Bahkan kalau Suma Han harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, nenek itu hanya seenaknya saja, karena biar pun seenaknya dia melawan, hal ini sudah terlalu melelahkannya.
“Kau... kau amat bandel, ya...?” Nenek itu berkata dan kedua naga itu lenyap, berubah menjadi dua tongkat yang kembali ke tangan masing-masing. “Lihat ini, aku akan membikin kau beku dengan angin dingin!”
Nenek itu mendorongkan kedua tangan ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan panjang melengking seperti orang merintih dan pada saat itu, Im-kan Ngo-ok merasa ngeri karena bertiup angin yang amat dinginnya, akan tetapi yang paling terasa adalah Suma Han karena inti dari angin dingin ciptaan ilmu sihir itu langsung menyerangnya.
“Api panas tidak takut menghadapi dingin, nenek tua!” Suma Han berkata dan dia bersedakap.
Im-kan Ngo-ok terbelalak kagum dan seram melihat betapa sekarang tubuh Pendekar Siluman itu seperti terbakar, bernyala dan bercahaya, mengandung api panas dan angin dingin itu tidak mempengaruhinya! Padahal Im-kan Ngo-ok harus mengerahkan sinkang mereka untuk menahan hawa dingin yang menyusup tulang-tulang mereka itu.
Nenek itu kembali mengeluarkan teriakan panjang dan kini tidak kelihatan apa-apa di antara mereka, akan tetapi baik nenek itu mau pun Suma Han berdiri dengan kedua lengan diluruskan ke depan seperti sedang mendorong dan mereka itu seperti patung patung saja, hanya kedua tangan mereka saja yang nampak agak tergetar. Sampai beberapa puluh menit lamanya kedua orang itu berada dalam keadaan seperti itu, dan diam-diam Suma Han mengeluh karena nenek itu ternyata keras kepala bukan main dan agaknya hendak mengadu nyawa! Dia sudah merasa lelah sekali, dan dia maklum bahwa setelah melakukan pertandingan mengadu kekuatan sihir seperti ini, dia bisa kehabisan tenaga dan semangat, padahal dia masih menghadapi lima orang lawan tangguh itu!
“Apa-apaan sih mereka itu?” Ji-ok Kui-bin Nionio berseru tak sabar. “Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja!” Dan dia pun lalu melompat ke depan, siap untuk menyerang Suma Han dengan pukulan Kiam-ci.
“Ji-moi, jangan...!”
Twa-ok Su Lo Ti meloncat, namun tidak keburu karena Ji-ok sudah lebih dulu bergerak, maka dia lalu mendorongkan kedua tangannya untuk mendorong wanita itu ke samping. Masih untung dorongan Twa-ok ini amat kuat karena ketika itu terdengar Ji-ok menjerit dan berbareng dengan dorongan Twa-ok, dia terpelanting keras dan bergulingan lalu bangkit berdiri dengan muka pucat, tangan kirinya hitam seperti terkena api!
Cepat Twa-ok menghampirinya dan setelah memeriksanya lalu memberi obat. Kiranya ketika Ji-ok menyerang tadi, baru saja tangannya mendekati antara dua orang yang berdiri dengan kedua lengan diluruskan itu, dia merasakan adanya getaran hawa yang luar biasa panasnya, akan tetapi bagaikan ada besi semberaninya yang membetotnya masuk. Kalau tidak didorong oleh hawa pukulan Twa-ok dan dia sampai terbetot masuk di antara dua orang yang mengadu tenaga sihir itu, tentu tidak hanya lengannya yang sedikit hangus, melainkan tubuhnya bisa terbakar habis! Dia bergidik ngeri. Wanita bermuka tengkorak yang biasanya ditakuti orang seperti iblis itu kini bergidik penuh rasa ngeri.
Sementara itu, adu tenaga sihir antara Suma Han dan Durganini masih berlangsung terus. Wajah nenek yang berkulit hitam itu sekarang nampak pucat, sedangkan wajah Pendekar Super Sakti penuh keringat dan dari kepalanya mengepul uap putih, seperti juga kepala Durganini.
Celaka, pikir pendekar itu, nenek ini benar-benar kuat bukan main dan hatinya keras seperti baja, tidak mau mengalah sedikit pun juga. Apakah nenek ini hendak mengadu nyawa? Sungguh terlalu, karena dia merasa belum pernah bentrok dengan nenek ini. Suma Han makin merasa kelelahan karena getaran yang terasa olehnya amat hebat dan kuat sehingga dia harus membantu kekuatan sihirnya dengan sinkang-nya yang tentu saja jauh lebih kuat dibandingkan Durganini.
Memang Durganini semenjak mudanya memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan mempunyai watak yang enggan mundur dan pantang mengaku kalah! Apa lagi setelah dia berubah menjadi nenek tua yang mulai pikun, kekerasan kepala itu agaknya makin menjadi-jadi. Kini dia merasa penasaran bukan main mengapa dia belum juga berhasil menundukkan ‘orang muda’ itu.
Tiba-tiba keluar suara gerengan dari dalam dadanya. Dengan bengong Im-kan Ngo-ok melihat betapa dari uap yang mengepul di atas kepala nenek itu kini bergumpal-gumpal ke atas, membentuk bayangan dan ternyata nampak bentuk nenek itu yang kecil sudah terbungkus uap atau kabut, meluncur ke atas menuju ke arah Pendekar Super Sakti!
Inilah puncak dari ilmu sihir itu, yaitu Durganini seolah-olah memisahkan semangat dari tubuhnya dan ‘semangat’ itu kini hendak langsung menyerang Suma Han! Suma Han mengenal ilmu ini dan dia pun sudah dapat melakukan hal yang sama. Akan tetapi sekali ini, kalau dia meniru perbuatan nenek itu, tubuhnya menjadi tidak terlindung sama sekali dan kalau ada yang menyerangnya dia tentu akan celaka. Maka Suma Han menjadi ragu-ragu, bagaimana dia harus menghadapi serangan nenek yang sudah nekat itu!
“Nini...! Jangan...!”
Tiba-tiba di tempat itu muncul seorang kakek tua renta berpakaian sederhana. Begitu tiba di situ dan melihat keadaan Durganini, kakek ini lalu duduk bersila di dekat Suma Han dan tak lama kemudian dari kepalanya juga muncul uap bergulung-gulung yang membentuk bayangan seperti dirinya yang terbungkus uap dan bayangan kecil ini meluncur naik menyambut bayangan nenek itu. Bayangan kakek itu seperti membuat gerakan seolah membujuk agar si nenek kembali, akan tetapi bayangan nenek itu justru menyerangnya dengan hebat!
Siapakah kakek itu? Dia adalah See-thian Hoat-su, suami dari Durganini! Seperti telah diceritakan di bagian depan, antara kakek dan nenek ini sebetulnya ada hubungan suami isteri yang saling mencinta dan mesra, akan tetapi karena watak Durganini yang ku-koai (aneh) mereka itu sering cekcok, sering berpisah, bahkan sering pula berkelahi! Dalam hal ilmu silat, See-thian Hoat-su yang kini menjadi guru Teng Siang In itu masih menang setingkat, akan tetapi dalam ilmu sihir, Durganini menang setingkat. Seperti biasa, begitu bertemu dengan bekas suaminya ini, Durganini tidak mau dibujuk, tidak mau mengalah, malah menyerang mati-matian! Tentu saja See-thian Hoat-su terkejut sekali dan sambil mempertahankan diri, dia berusaha membujuk.
Suma Han duduk bersila dengan bengong dan terheran-heran. Dia tidak berani lancang mencampuri, apa lagi melihat betapa kakek itu selalu mengalah biar pun terdesak hebat dan menerima beberapa kali pukulan yang amat berat. Tetapi tak lama kemudian, dua bayangan itu sama-sama meluncur kembali kepada ‘raga’ masing-masing. Keduanya mengeluh dan roboh terguling! Semua orang terkejut karena nenek itu terengah-engah dan memegangi dadanya, sedangkan kakek itu muntah darah, lalu bangkit terhuyung dan menghampiri nenek itu.
“Durganini... kau... kau kenapakah...?” Pertanyaannya itu diajukan dengan lembut dan penuh cinta kasih. Kakek itu menjatuhkan dirinya berlutut dan merangkul nenek itu, diangkatnya kepala nenek itu dan disandarkan ke dadanya.
“Ahhh, kau... kau terluka hebat oleh kekuatanmu sendiri... kenapa engkau selalu keras kepala...?”
Nenek itu masih terengah-engah, dan suaranya seperti orang tertawa. “Hiiiii... kau... kau pun terluka parah... ahh, suamiku... sakitkah...? Maafkan aku...“
Sungguh aneh, menggelikan dan juga mengharukan melihat kakek dan nenek itu saling berangkulan dan bersikap mesra, kemudian keduanya terguling dan terdengar Dewa Bongkok mengeluh, “Siancai... siancai, siancai...!”
Suma Han pun tahu bahwa kakek dan nenek itu keduanya telah tewas. Luka-luka yang diderita kakek oleh pukulan-pukulan semangat nenek itu terlampau parah, sedangkan nenek itu agaknya telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga terpukul sendiri dan keduanya menjadi korban dan tewas, atau boleh jadi juga karena usia mereka yang sudah terlalu tua sehingga memang sudah tiba saatnya untuk meninggal dunia. Dia menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. Tubuhnya agak lemas, tenaga sinkang-nya banyak terbuang untuk melawan nenek tadi, dan untuk sementara dia tidak akan dapat menggunakan kekuatan sihirnya yang seperti dikuras habis tadi.
“Im-kan Ngo-ok, lihat akibat dari desakan kalian untuk mengadu kepandaian. Sudah ada dua orang luar yang menjadi korban. Sebaiknya kita sudahi saja perkelahian tiada guna ini,” kata Pendekar Super Sakti.
“Apa?! Mereka ini datang tanpa kita undang, dan mati karena perbuatan sendiri, apa sangkut-pautnya dengan kami? Kami masih belum kalah!” bentak Sam-ok Ban Hwa Sengjin dan dia sudah bergerak lagi membuat tubuhnya berpusing lalu menyerang, diikuti oleh empat orang saudaranya.
Terpaksa Suma Han menggerakkan tongkat menjaga diri dan melawan. Sekali ini Suma Han benar-benar terdesak hebat. Tenaganya sudah banyak berkurang. Tadi pun, biar sudah dibantu dengan petunjuk Dewa Bongkok, masih sukar baginya untuk menandingi lima orang Im-kan Ngo-ok, dan dia baru dapat mendesak ketika dia mempergunakan sihir. Kini dia tidak lagi mampu menggunakan sihir seperti tadi dan sinkang-nya sudah banyak berkurang, maka tentu saja dia hanya mampu mengandalkan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Napasnya mulai memburu karena dia merasa lelah sekali.
Melihat keadaan lawan, Twa-ok girang sekali. Dia lalu berteriak kepada adik-adiknya, “Adu tenaga...!”
Lima orang itu kini menyerang sekaligus, dengan pengerahan tenaga sekuatnya! Suma Han tidak melihat jalan lain kecuali menangkis dengan dorongan kedua tangannya pula. Terjadilah adu tenaga sinkang tanpa telapak tangan mereka bertemu, akan tetapi dalam jarak yang kurang dari satu meter. Lima orang itu mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga satu lawan lima!
Andai kata Suma Han tidak berkurang tenaganya karena tadi memeras tenaga melawan Durganini, kiranya dia dapat menandingi mereka atau setidaknya dapat meloloskan diri dan meloncat untuk menghindar. Akan tetapi tenaganya sudah berkurang dan dia tidak dapat mengelak lagi, dan kini setelah tenaga mereka bertemu dan melekat, tidak ada lain jalan kecuali melawan keras sama keras.
Dengan menancapkan tongkatnya di atas tanah, Suma Han lalu menggunakan kedua tangannya untuk menolak serangan lawan itu. Dia mempergunakan tenaga gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, gabungan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi lawannya adalah orang-orang yang amat kuat, dan kini mereka menggabungkan tenaga, maka terasalah oleh Suma Han betapa pertahan-lahan dia mulai kalah tenaga dan keadaannya amat berbahaya!
Tiba-tiba dia merasa ada sebuah tangan menempel di pundaknya dan tangan ini menyalurkan tenaga sinkang yang amat kuat. Pada saat itu, Suma Han sudah berada dalam keadaan berbahaya sekali bagi nyawanya. Ia tahu bahwa tangan ini menyalurkan tenaga untuk membantunya, akan tetapi karena dia tahu bahwa penolong itu adalah Dewa Bongkok padahal kakek itu sudah menderita luka parah, maka dia berseru, “Locianpwe, jangan...!”
Akan tetapi terlambat sudah. Dewa Bongkok sudah mengerahkan tenaganya dan lima orang lawan itu terjengkang ke belakang dan bergulingan dengan muka pucat. Suma Han terlepas dari bahaya, akan tetapi dia melihat kakek berlengan buntung itu pun terhuyung, lalu duduk bersila dan tak bergerak lagi.
“Locianpwe...!” Suma Han berteriak dan berlutut di dekat tubuh yang bersila akan tetapi sudah menjadi mayat itu!
Lima orang lawannya sudah bangkit berdiri lagi. Mereka tidak mengalami luka, akan tetapi hanya terkejut dan terdorong saja ke belakang sampai terjengkang. Kini mereka memandang kepada Suma Han yang perlahan-lahan sudah bangkit berdiri menghadapi mereka dengan sinar mata seperti mata naga berapi-api.
“Im-kan Ngo-ok, lihatlah apa yang kalian lakukan! Sungguh terkutuk kalian! Beliau ini adalah Dewa Bongkok, Penghuni Istana Gurun Pasir, dan sedang menderita luka. Kini, akibat dari perbuatan kalian yang memaksaku bertanding, beliau sampai menjadi korban! Sekarang, aku Suma Han tidak akan mau melepaskan kalian lagi!” Dan dengan kemarahan meluap-luap Suma Han lalu menerjang dengan dahsyat kepada lima orang itu.
Pada saat itu, begitu Suma Han menyebut nama Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, terdengar jerit seorang wanita dan nampak tubuh berkelebat cepat, lalu wanita itu berlutut dan menangisi mayat Dewa Bongkok. Wanita ini adalah Hwee Li.
Tadinya, karena merasa sakit hati sekali mendengar ayah dari Kian Lee juga mencaci maki dia sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin, Hwee Li melarikan diri sambil menangis. Akan tetapi dia segera teringat kepada kakek berlengan satu itu. Tidak, dia tidak boleh meninggalkan kakek yang amat baik kepadanya itu. Dia akan kembali dan mengajak kakek itu pergi meninggalkan Pendekar Super Sakti yang menyakitkan hatinya.
Ketika tiba di tempat itu, dia melihat pertempuran hebat antara Pendekar Super Sakti melawan Im-kan Ngo-ok, kemudian dia melihat betapa gurunya, atau kakek berlengan satu itu membantu Suma Han, kemudian terhuyung dan duduk bersila kembali. Ketika dia mendengar kata-kata Pendekar Super Sakti bahwa kakek itu telah tewas dan bahwa kakek itu adalah Dewa Bongkok, Hwee Li terkejut bukan main, terkejut dan juga amat berduka karena kakek yang ternyata adalah masih terhitung kakek gurunya sendiri itu, atau mertua guru dari subo-nya, telah meninggal dunia. Maka dia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan tersedu-sedan.
Kini, Suma Han yang sudah terdesak lagi oleh lima orang lawannya, menjadi makin repot karena berturut-turut muncul pula lima orang cebol sute dari Su-ok bersama Mauw Siauw Mo-li Siluman Kucing. Mereka itu datang-datang terus mengeroyok! Tentu saja Suma Han makin terdesak hebat.
Kalau dia mau mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun untuk melarikan diri, agaknya pendekar sakti itu masih akan mampu menyelamatkan diri dan tidak ada di antara lawan-lawannya yang akan mampu mengejarnya. Akan tetapi, pantanglah bagi seorang pendekar besar seperti Pendekar Super Sakti untuk lari meninggalkan gelanggang pertempuran. Dia mempertahankan diri sedapatnya, biar pun dia sudah menerima beberapa kali pukulan dengan tenaga sakti yang membuat tubuhnya terguncang dan tergetar. Namun dia masih mengamuk terus.
Ketika melihat dara remaja itu menangisi jenazah Dewa Bongkok, pendekar sakti ini masih sempat berkata. “Nona, lekas kau menyingkir dari sini selagi ada kesempatan! Lekas kau lari menyelamatkan diri, biar aku menahan mereka!”
Tadinya, hati Hwee Li penuh kemarahan terhadap Pendekar Super Sakti karena sikap dan ucapannya yang menyakitkan hati, biar pun dia tahu bahwa pendekar itu tidak mengenalnya sehingga kata-katanya di depan Dewa Bongkok itu tidak dimaksudkan untuk ditujukan padanya. Marah karena mengingat akan sikap Kian Lee dan sekarang sikap ayahnya yang sama pula. Akan tetapi, begitu mendengar bujukan halus pendekar itu agar dia melarikan diri dan menyelamatkan diri, dia merasa kagum dan terharu juga. Dia dapat melihat dengan jelas betapa pendekar itu dikurung hebat dan didesak oleh para musuhnya, tetapi pendekar itu tidak memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan mengkhawatirkan keselamatannya dan membujuk agar dia yang menyelamatkan diri!
Betapa mengagumkan dan dia teringat akan sikap dan watak Kian Lee yang juga demikian gagah perkasa dan bijaksana. Hanya terhadap dia dan riwayat keturunannya mereka itu amat tidak bijaksana! Kini, dara itu bangkit berdiri, sama sekali bukan untuk melarikan diri. Tidak! Orang-orang ini menjadi penyebab kematian kakek gurunya, atau juga gurunya karena dia telah diwarisi bermacam ilmu silat yang hebat. Mana mungkin dia melarikan diri? Tidak, sebaliknya malah. Dia harus membasmi orang-orang ini untuk membalas kematian Dewa Bongkok!
Tiba-tiba terdengar pekik nyaring melengking tinggi dan tubuh Hwee Li sudah bergerak ke depan. Sekali kedua tangannya bergerak, dua orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan terbanting mati seketika! Dara itu dalam kemarahannya telah mempergunakan satu di antara delapan jurus Cui-beng Pat-ciang yang baru-baru ini diwarisinya dari Dewa Bongkok. Biar pun latihannya belum matang benar, namun dengan sekali pukul saja dia dapat membuat dua orang sute Su-ok terlempar dan tewas, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu pukulan itu dan betapa kuatnya sinkang yang berada dalam diri Hwee Li setelah Dewa Bongkok ‘mengoperkan’ tenaganya kepada dara jelita itu!
Tentu saja tiga orang cebol yang lain terkejut setengah mati, demikian pula Mauw Siauw Mo-li. Terutama sekali Mauw Siauw Mo-li. Dia mengenal Hwee Li dengan baik karena bukankah dara itu masih keponakan muridnya sendiri? Melihat dara itu membantu Pendekar Super Sakti, marahlah dia dan bersama tiga orang cebol yang lain dia sudah menerjang maju, bukan hanya dengan tangan kosong, tetapi menggunakan pedangnya yang bersinar hijau!
Akan tetapi Hwee Li sudah marah sekali, sepasang matanya mencorong dan hal ini adalah berkat tenaga sinkang yang diterimanya dari Dewa Bongkok. Begitu melihat sinar pedang hijau menusuk, dia miringkan tubuhnya. Sekali tangan kirinya menekan ke bawah dan….
“Krekkk!” terdengar bunyi dan pedang di tangan Mauw Siauw Moli telah patah!
Sebelum wanita cabul itu hilang rasa kagetnya, tangan kiri Hwee Li yang mematahkan pedang itu kini menyampok ke atas, dan….
“Krekkk! kembali terdengar suara disusul robohnya tubuh Mauw Siauw Mo-li yang telah patah tulang lehernya dan tewas seketika!”
Bukan main hebatnya gerakan-gerakan dari Hwee Li itu, karena dia tidak ingat lagi akan keganasan pukulan-pukulan itu saking marahnya. Dia terus menghadapi ketiga orang cebol yang lainnya, kemudian dia menggerakkan jurus keempat, tubuhnya merunduk ke bawah, kemudian kaki kiri ditarik ke belakang, tubuhnya seperti hampir bertiarap, akan tetapi kedua tangannya menyambar ke depan. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan dan tiga orang cebol itu terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali karena ada yang kepalanya retak, ada yang tulang-tulang dadanya remuk terkena sambaran hawa pukulan jurus mukjijat itu!
Sungguh sukar untuk dipercaya! Dalam tiga jurus saja dara remaja itu telah mampu membunuh lima orang cebol yang amat lihai itu dan juga menewaskan Mauw Siauw Mo-li yang merupakan seorang tokoh besar dalam dunia sesat! Bukan hanya Im-kan Ngo-ok yang terkejut setengah mati, juga Suma Han sendiri memandang dengan penuh keheranan, kekaguman, akan tetapi juga agak ngeri melihat keganasan yang luar biasa itu.
Kini Hwee Li menerjang maju ke arah lima orang Im-kan Ngo-ok yang masih mengurung dan mendesak Suma Han yang sudah menderita luka-luka oleh pukulan-pukulan sakti. Melihat ini, Sam-ok alias bekas Koksu Nepal yang merasa sudah mengenal betul tingkat kepandaian nona muda itu, cepat meloncat maju.
“Eh, Nona, mengapa engkau membela musuh? Hayo kau menyerah sebelum terpaksa aku menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Ngo-ok untuk dipermainkan habis habisan!” Ternyata Sam-ok memandang rendah kepada nona ini. Memang betul bahwa nona ini telah merobohkan enam orang itu, akan tetapi Sam-ok pun memandang rendah kepada enam orang itu. Sambil menyeringai dia mementang kedua lengannya dan melangkah maju, sikapnya menakutkan.
Kemarahan Hwee Li makin memuncak. “Keparat, engkau ini manusia busuk, di mana mana selalu mendatangkan kejahatan. Engkau harus menebus kematian Locianpwe itu dengan nyawamu yang tak berharga!”
“Huh, bocah tak tahu diri!” Sam-ok Ban Hwa Sengjin marah sekali dan menubruk ke depan. Gerakannya cepat bukan main dan ada angin berputar yang mengurung diri Hwee Li hingga dara itu sukar mencari jalan keluar dari serangan ini. Kedua tangannya yang besar itu mencengkeram dari kanan kiri.
Hwee Li memang tak berniat untuk mengelak. Melihat kedua tangan itu menyambar, dia pun lalu menyambut dengan kedua lengannya pula, menangkis sambil mengerahkan tenaga dari pusarnya.
“Dukkk! Desss...!”
Hebat sekali benturan antara sepasang lengan yang besarnya melebihi betis Hwee Li sendiri dengan dua lengan kecil halus dari dara itu. Tubuh Ban Hwa Sengjin terpental sampai empat meter dan dia terbanting jatuh, debu mengepul dan dia bangkit sambil menyeringai karena tulang lengan kirinya patah!
Melihat ini Twa-ok terkejut dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, menubruk ke arah Hwee Li dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Kembali Hwee Li menyambut tanpa mengelak, melainkan tiba-tiba dia berlutut dengan kaki kiri, tangan kiri menekan tanah dan tangan kanan dipukulkan atau didorongkan ke depan dengan tangan terbuka. Inilah pukulan dari jurus Cui-beng Pat-ciang, dengan mengandalkan tenaga yang meminjam tekanan pada bumi.
“Desssss...!”
Tubuh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu terputar-putar dan dia nyaris terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat dan membuat salto untuk mematahkan daya luncur tubuhnya. Dia tidak terluka, tetapi merasa dadanya sesak dan dia memandang dengan mata terbelalak ke arah Hwee Li! Kemudian dia membalikkan tubuh dan berseru kepada empat orang saudaranya, “Pergi... angin keras!” Itulah tanda bahwa pihak musuh terlalu kuat dan lima orang Im-kan Ngo-ok itu pun berlari-larian secepatnya dengan hati jeri.
Suma Han yang menderita luka berdiri sambil memandang dara itu penuh rasa kagum. “Ahh... sungguh hebat, engkau agaknya telah menerima ilmu-ilmu dari Locianpwe ini, Nona...”
Hwee Li hanya mengangguk, sikapnya dingin. Akan tetapi pada saat itu, wajah Suma Han menjadi pucat dan orang tua ini mengatupkan bibir kuat-kuat menahan nyeri, kemudian tubuhnya bergoyang-goyang. Hwee Li memandang wajah itu dan teringatlah dia kepada Kian Lee. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah kekasihnya. Timbul rasa kasihan di dalam hatinya.
“Kau... kau terluka, Locianpwe...?”
Suma Han menarik napas panjang. “Sedikit tidak mengapa. Untung ada engkau yang hebat, Nona. Siapa namamu?”
“Nama saya Kim Hwee Li, Locianpwe.”
Hwee Li menanti dengan jantung berdebar, akan tetapi nama itu tidak mendatangkan pengaruh apa-apa terhadap pendekar itu sehingga legalah hatinya. Pendekar ini belum pernah mendengar namanya dan tidak tahu bahwa dialah dara yang tadi dicelanya sebagai puteri penjahat Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin!
“Sebut saja aku paman, Hwee Li. Dengan kepandaian yang kau miliki, lewat beberapa tahun lagi saja belum tentu aku akan dapat menandingimu, maka jangan menyebutku locianpwe. Kalau tidak ada engkau yang agaknya telah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari Dewa Bongkok, kiranya sekarang aku sudah mati pula seperti dia. Ahhh, kasihan, seorang tokoh besar harus tewas dalam kesunyian. Kita harus menyempumakan semua jenazah itu dan memperabukan mereka.”
“Semua?” Hwee Li bertanya, heran. “Juga jenazah delapan orang itu?”
Suma Han mengangguk, berbalik dia bertanya, “Ya, mengapa tidak?”
“Tentu saja aku hanya ingin menyempumakan jenazah Locianpwe itu saja, Lo... ehhh, Paman. Delapan jenazah yang lain itu adalah jenazah penjahat-penjahat.”
“Ahh, Hwee Li, jangan kau berpendapat demikian. Betapa pun jahatnya mereka, kini mereka telah mati, telah menjadi jenazah. Tidak ada jenazah yang jahat, bukan?”
Hwee Li memandang tajam dan Suma Han diam-diam harus mengagumi sepasang mata yang demikian tajamnya itu. Memang setelah dia mewarisi sinkang dari Dewa Bongkok, sepasang mata dara itu mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!
“Jadi kalau begitu kita tidak boleh membenci semua orang yang telah mati, Paman?”
“Ya, begitulah. Yang jahat itu perbuatannya, bukan orangnya.”
“Biar pun pada waktu hidupnya mereka itu amat jahat sekali?”
“Ya, kita tidak boleh membencinya, bahkan harus mengasihani mereka. Hayo kau bantu aku mempersiapkan pembakaran besar untuk mereka.”
Mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu besar yang kering dan ranting-ranting berikut daun-daun kering, menumpuknya sampai banyak sekali. Kemudian, dibantu oleh dara itu, Suma Han menumpuk jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang kakek cebol ke atas tumpukan kayu, sedangkan jenazah Dewa Bongkok diletakkan di atas tumpukan kayu tersendiri oleh Hwee Li yang tetap berkeras untuk memisahkan jenazah kakek bongkok itu.
“Aku hendak menyimpan abu jenazah beliau, Paman,” katanya sebagai alasan ketika dia hendak memisahkan pembakaran jenazah itu.
“Ehh, untuk apa?”
“Untuk kuserahkan kepada yang berhak menerima. Menurut... cerita beliau sebelum meninggal dunia, beliau mempunyai seorang murid yang bernama Kao Kok Cu. Nah, aku ingin mencarinya untuk menyerahkan abu jenazah beliau kepadanya.”
Suma Han mengangguk. “Memang benar. Muridnya adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu. Engkau sungguh berbakti sekali kepada Dewa Bongkok, Hwee Li.”
Mereka lalu membakar tumpukan kayu di mana jenazah-jenazah itu diletakkan. Sambil menanti jenazah-jenazah itu terbakar dan menjadi abu, Suma Han mengajak Hwee Li bercakap-cakap. Dia amat tertarik kepada gadis ini, seorang gadis yang selain cantik jelita penuh kelembutan juga mengandung kekuatan hebat, kelincahan, kejujuran dan keberanian dengan hati yang keras, mengingatkan dia pada Lulu isterinya yang kedua ketika masih muda.
“Engkau berbakti sekali kepada orang tua itu. Apakah engkau muridnya? Melihat bahwa engkau telah mewarisi ilmu-ilmunya, tentu engkau diambil murid olehnya.”
“Tidak, Lo... eh, Paman. Kami kebetulan saja bertemu ketika dia dalam keadaan terluka dan akan dibunuh oleh Mauw... eh, wanita yang telah tewas itu.” Dia menuding ke arah tumpukan jenazah yang terbakar. “Melihat seorang kakek terluka tak berdaya hendak dibunuh, aku lalu melindunginya. Aku tentu kalah oleh wanita itu kalau tidak diberi petunjuk oleh Dewa Bongkok. Kemudian kami melakukan perjalanan bersama dan lalu beliau menurunkan ilmu-ilmunya kepadaku.”
“Berapa lama engkau dilatihnya?”
“Kurang lebih tiga bulan.”
“Ahhh! Tiga bulan dan engkau sudah sehebat itu? Tentu sebelumnya engkau telah mempunyai kepandaian lumayan. Dan engkau mengenal wanita yang kau bunuh itu agaknya?”
Hwee Li mengangguk. “Aku pernah melihatnya, dia berjuluk Mauw Siauw Mo-li, seorang penjahat wanita yang amat kejam.”
“Bukan main..., Hwee Li, melihat usiamu tentu tidak lebih dari sembilan belas tahun...“
“Baru delapan belas, Paman.”
“Nah, masih amat muda remaja, akan tetapi agaknya pengalamanmu di dunia kang-ouw sudah amat luas dan engkau memiliki kepandaian begini tinggi! Eh, di manakah tempat tinggalmu dan siapakah orang tuamu?”
Ditanya demikian, tiba-tiba saja Hwee Li menutupi mukanya dan menangis. Teringat dia betapa dia hidup sebatang kara, betapa dia tidak mempunyai keluarga sama sekali, bahkan Mauw Siauw Mo-li yang dulu dianggap sebagai bibi gurunya baru saja mati olehnya. Kekasihnya meninggalkannya, juga subo-nya agaknya membencinya karena dia keturunan pemberontak. Dan orang yang amat baik kepadanya, kakek berlengan buntung yang ternyata kakek gurunya juga itu baru saja meninggal dan kini jenazahnya masih dimakan api.
Siapa tidak akan menjadi sedih mendengar pertanyaan itu? Apa lagi yang mengajukan pertanyaan adalah orang yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya akan tetapi yang tadi mengeluarkan caci maki kepadanya! Makin diingat, makin sedih hatinya, dan dia menangis sampai mengguguk.
Suma Han memandang dengan wajah berseri. Benar-benar serupa dengan Lulu gadis ini, bukan wajahnya yang mirip, melainkan wataknya, begitu mudah menangis! Dia merasa kasihan sekali karena dia dapat menduga bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat atas diri gadis ini, hal-hal yang membuat hatinya merasa sengsara dan berduka. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau seorang wanita menangis karena duka, biarkanlah dia menangis, jangan diganggu, jangan dihibur karena selama air matanya belum habis ditumpahkan, hiburan-hiburan bahkan akan makin memperpanjang kesedihannya.
Setelah tangisnya reda, dan menyusuti air mata, bahkan mengeringkan hidung yang menjadi berair karena tangis, begitu saja dengan saputangan di depan Suma Han tanpa malu-malu sebagai seorang gadis yang terbuka dan polos sehingga malah jauh dari pada menimbulkan jijik, Hwee Li lalu berkata, suaranya masih terisak, “Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai sanak keluarga, tak mempunyai tempat tinggal lagi, Paman. Dan harap jangan tanya siapa orang tuaku, karena hal itu hanya membikin hatiku makin sengsara saja.”
Suma Han mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya hatimu menderita penasaran besar, Hwee Li. Katakanlah siapa yang sudah membuatmu penasaran, dan aku berjanji akan membantumu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi penerangan dalam kegelapan hatimu.”
“Ah, benarkah, Paman?” Tiba-tiba dara itu mengangkat mukanya memandang dan ada senyum di bibirnya, dan mata berseri, biar pun masih ada dua titik air mata yang baru saja turun ke atas pipinya!
Sungguh tiada bedanya dengan Lulu! Suma Han membayangkan Lulu ketika masih muda, persis seperti dara ini, mudah menangis dan mudah tertawa!
“Mengapa Paman hendak membantuku sekuat tenaga? Apakah untuk membalas bantuanku kepada Paman tadi ketika Paman dikeroyok orang jahat?”
“Tidak, Hwee Li. Andai kata engkau tidak pernah membantuku sekali pun, aku akan tetap membantumu dengan sungguh hati.”
“Mengapa, Paman? Mengapa Paman demikian baik kepadaku?” Sepasang mata itu seperti hendak menembus ke dalam dada dan suaranya penuh desakan.
“Karena aku suka kepadamu, Hwee Li. Engkau mengingatkan aku akan isteriku Lulu di waktu dia masih semuda engkau.”
“Ahhh...!” Tiba-tiba kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan agaknya dia menjadi gugup, dan untuk menutupi kegugupannya itu dia berlari mendekati tempat pembakaran jenazah Dewa Bongkok dan menambah kayu kering pada api yang masih berkobar itu.
Setelah mereka berdua duduk kembali di tempat yang sejuk, cukup jauh dari tempat pembakaran itu agar jangan terlalu terserang oleh bau yang keras dari jenazah yang terbakar itu, Hwee Li berkata, “Tidak ada sesuatu yang perlu bantuanmu, Paman. Aku hanya bingung ke mana aku harus mencari murid Dewa Bongkok untuk menyerahkan abu jenazahnya.”
“Aku akan menemanimu dan membantu mencari Kao Kok Cu, Hwee Li. Setelah apa yang terjadi tadi, dan selama Ngo-ok masih berkeliaran, tentu akan berbahaya sekali kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri saja. Memang kepandaianmu hebat, tetapi mereka berlima itu merupakan lawan yang amat tangguh. Dengan kepandaian kita berdua, kukira kita akan dapat menanggulangi mereka. Juga aku perlu pergi ke selatan lagi untuk mencari dua orang puteraku.”
“Jadi Paman tidak kembali ke Pulau Es?”
Suma Han menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pulang tanpa disertai putera-puteraku, aku tentu akan menghadapi dua orang wanita yang marah persis engkau.”
Jantung di dalam dada Hwee Li berdebar tegang. Hampir dia bertanya siapakah Lulu itu? Ibu kandung Kian Bu atau Kian Lee? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani bertanya, karena dengan demikian berarti dia akan membuka rahasia dirinya. Mereka harus menanti sampai sehari penuh dan menjelang malam, barulah pembakaran jenazah itu selesai. Abu jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol dikubur di bawah sebatang pohon oleh Suma Han, sedangkan abu jenazah Dewa Bongkok dibungkus kain oleh Hwee Li, kemudian digendongnya di punggung.
Malam itu juga Suma Han dan Hwee Li melakukan perjalanan menuju ke selatan, melintasi gurun pasir dalam cuaca terang bulan yang amat indah. Mereka berhenti di dalam hutan di seberang gurun pasir itu, membuat api unggun dan beristirahat. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li telah menghidangkan panggang ayam hutan untuk Suma Han.
Suma Han tersenyum dan mengelus jenggotnya, memandang kepada dara itu dengan sinar mata penuh kasih sayang. “Terima kasih, anak yang baik, kau makanlah daging ayam itu.”
“Ehh, kenapa, Paman? Aku sengaja menangkap dan memanggangnya untuk Paman. Sejak kemarin Paman tidak pernah makan, tentu lapar. Nah, silakan, lumayan untuk sarapan pagi, Paman.”
“Terima kasih, engkau memang baik sekali. Akan tetapi sayang, aku tak pernah makan daging lagi selama beberapa tahun ini, Hwee Li. Kau makanlah sendiri, aku tidak biasa makan daging...“
“Ahhh...! Kalau begitu, biar kucarikan sayur-sayur untuk Paman.”
Dan sebelum pendekar itu sempat mencegah, dara itu telah meloncat dan lari pergi memasuki hutan. Sampai lama dia pergi dan akhirnya dia datang kembali membawa banyak sekali buah-buahan dan sayur-sayuran yang dapat dimasak.
“Nah, ini buah-buah segar, Paman. Sayang tidak ada tempat untuk memasak sayur sayuran ini...!”
“Tidak apa, buah-buahan ini cukuplah.”
Mereka kemudian makan. Suma Han makan buah-buahan segar dan Hwee Li makan panggang daging ayam. Mereka makan sambil bercakap-cakap.
“Paman, mengapa Paman tidak makan daging? Apakah karena agama yang Paman anut melarang Paman makan daging?”
“Tidak, Hwee Li.”
“Lalu mengapa? Apakah Paman menjalani kehidupan suci, sehingga tidak mau makan barang berjiwa?”
Suma Han tersenyum lebar. “Apakah kalau tidak makan barang berjiwa itu lalu menjadi suci? Tidak, Hwee Li, bukan untuk menjalani kehidupan suci.”
“Lalu untuk apa, Paman?” Gadis ini benar-benar keras hati dan belum puas kalau belum dijawab pertanyaannya. Persis Lulu!
“Bukan untuk apa-apa, anak baik. Hanya aku melihat bahwa makan sayur dan buah saja lebih baik untuk diriku lahir batin, karena itulah aku tidak makan daging! Dan sekarang aku telah terlanjur tidak suka, jadi, aku tidak memaksa diri yang tidak suka. Nah, puas sudah?”
Hwee Li terbelalak, akan tetapi lalu mengerti maksud pendekar kaki buntung itu dan baru dia merasa bahwa dia terlalu mendesak. “Ahh, maaf, Paman. Aku sudah puas. Paman jujur, tidak seperti orang-orang yang ingin disebut suci dan pura-pura tidak mau makan daging, padahal kalau melihat orang makan daging dia mengilar!”
Suma Han tertawa mendengar ucapan ini. Makin lama mereka melakukan perjalanan bersama, makin suka dia kepada Hwee Li dan di dalam hatinya dia merasa menyesal mengapa putera-puteranya tidak mencari jodoh seperti dara ini! Mengapa mereka, menurut berita dari mulut Im-kan Ngo-ok, malah tergila-gila kepada anak seorang pemberontak? Gila benar! Diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengambil dara ini sebagai mantu, entah dijodohkan dengan Kian Bu atau dengan Kian Lee! Akan tetapi sebaiknya dengan Kian Lee, karena Kian Lee orangnya pendiam dan tenang, cocok kalau mendapatkan seorang isteri seperti ini lincahnya! Seperti dia dengan Lulu! Kian Bu wataknya keras, kalau bertemu gadis ini, sama kerasnya, kelak bisa menimbulkan keributan. Ah, bagaimana pun juga, dia harus mengambil dara ini sebagai mantunya!
Beberapa pekan kemudian mereka melewati Tembok Besar. Bukan hanya Suma Han yang amat tertarik dan suka kepada dara itu, sebaliknya Hwee Li juga amat kagum kepada pendekar ini. Demikian tenang, demikian bijaksana, demikian kuat, dan demikian gagah perkasa, penuh pengertian! Akan tetapi, hatinya masih terasa sakit kalau dia teringat akan pandangan Kian Lee dan juga pendekar sakti ini terhadap dirinya dengan mengingat keturunan orang tuanya.
Hwee Li dapat menduga bahwa gurunya dan suaminya tentu masih berada di selatan. Setelah suami gurunya, Kao Kok Cu, yaitu murid dari Dewa Bongkok itu berhasil menyelamatkan keluarga Jenderal Kao Liang yang tertawan dalam benteng, tentu dia akan mengatur keluarga yang telah ditinggal mati ayahnya itu. Dan karena kabarnya keluarga itu telah diusir dari kota raja secara halus, maka tidak mungkin kalau keluarga itu kembali ke kota raja, tentu ke kampung halaman dari mana keluarga Kao berasal. Dan dia akan mencari ke sana! Akan tetapi semua ini tidak dia beritahukan kepada Pendekar Super Sakti yang diam-diam juga ingin lebih dulu mencari puteranya untuk... diperkenalkan dengan dara pilihannya ini!
Suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di persimpangan jalan. Menurut pengetahuan Hwee Li yang pernah mendengar penuturan subo-nya tentang kampung halaman keluarga Jenderal Kao, mestinya mereka mengambil jalan yang kanan, yang menuju ke Kang-lam di mana keluarga Kao berasal. Akan tetapi Suma Han ingin mengambil jalan yang kiri. Karena Hwee Li ingin cepat-cepat menyerahkan abu jenazah itu kepada suami gurunya, maka dia membantah dan bertanya, “Mengapa Paman hendak mengambil jalan itu? Apakah Paman sudah mempunyai petunjuk bahwa ke sanalah kita harus mencari murid Dewa Bongkok?”
Suma Han menarik napas panjang. “Jangan khawatir, Hwee Li. Mencari Kao Kok Cu boleh nanti saja dan aku serta anak-anakku pasti akan membantumu. Aku ingin lebih dulu menemukan putera-puteraku, baru kami akan membantumu mencari Si Naga Sakti Gurun Pasir itu.”
“Ahhh, urusan kematian Dewa Bongkok merupakan urusan yang sangat penting bagi muridnya, Paman. Kenapa Paman tergesa-gesa hendak mencari putera Paman?”
“Karena aku hendak memperkenalkan engkau kepada mereka, anak yang baik.”
Hwee Li terbelalak memandang wajah yang berseri lembut itu. “Ehh? Mengapa? Apa maksudnya Paman hendak memperkenalkan aku kepada mereka?”
Pendekar itu menarik napas panjang lalu duduk di tepi jalan itu. “Kau duduklah, Hwee Li, dan dengarkan kata-kataku.”
Gadis itu memandang heran, lalu duduk di depan pendekar itu, di atas sebuah batu bundar.
“Hwee Li, semenjak berkenalan denganmu, bahkan semenjak melihat engkau dengan gagah perkasa melawan musuh-musuh yang tangguh itu, kemudian setelah melakukan perjalanan bersamamu, terus terang saja timbul rasa suka yang mendalam di hatiku. Engkau makin mengingatkan aku akan isteriku ketika dia masih muda. Maka, semenjak beberapa hari ini, aku telah mengambil keputusan hati untuk... mengambil engkau sebagai mantuku!”
“Ahhhhh...!” Hwee Li terbelalak memandang, jantungnya berdebar tegang.
“Maafkan, Nak, bukan aku ingin lancang dan memandang rendah kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga lagi, maka aku bicara begini terus terang kepadamu. Aku yakin bahwa engkau cocok sekali untuk menjadi isteri Kian Lee, puteraku...“
Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat dara itu meloncat bangun bagaikan disengat kelabang pantatnya. Dara itu berdiri dan memandang kepadanya dengan muka merah sekali, kemudian terdengar dia berkata, “Paman, aku telah mendengar percakapan Paman dengan locianpwe Dewa Bongkok tempo hari. Bukankah puteramu itu telah mempunyai seorang kekasih?”
Kini Suma Han juga bangkit berdiri dan mengepal tangan kanannya. “Tidak! Aku akan memutuskan hubungan yang tidak tepat itu!”
“Mengapa... mengapa tidak tepat, Paman?”
Suma Han tidak dapat melihat betapa suara dara itu agak gemetar, karena dia sendiri sedang marah memikirkan keadaan puteranya.
“Dia harus memutuskan hubungan itu dan menikah denganmu! Aku yakin bahwa aku akan dapat menyadarkan Kian Lee, bahkan menurut Dewa Bongkok, dia pun sudah sadar dan telah meninggalkan gadis anak si jahat Hek-tiauw Lo-mo dan keturunan pemberontak rendah itu!” Sepasang mata Majikan Pulau Es ini bersinar-sinar penuh kemarahan. Dia merasa terhina kalau harus menjadi besan orang-orang seperti penjahat dan pemberontak itu.
Dan terjadilah hal yang aneh, yang membuat Pendekar Super Sakti berdiri terbelalak memandang gadis itu. Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah padam dan kedua matanya basah akan tetapi mengeluarkan sinar kemarahan yang berapi-api, yang ditujukan kepadanya!
“Bagus sekali, Paman! Baru saja beberapa hari yang lalu Paman memberi kuliah kepadaku bahwa kita tidak boleh membenci orang yang telah mati betapa pun jahatnya dia, dan kini Paman memperlihatkan kebencian kepada Kim Bouw Sin dan keluarganya yang telah terbasmi dan binasa semua sebagai keluarga pemberontak! Apakah Paman sendiri di waktu mudanya tidak pernah memberontak? Pemerintah Mancu sekarang ini, ketika pertama kali menyerbu ke selatan, bukankah mereka pun pemberontak? Dan Paman juga membenci Hek-tiauw Lo-mo, karena dia itu ketua Pulau Neraka! Lupakah Paman bahwa isteri Paman sendiri, Bibi Lulu itu, ibu kandung dari... eh, puteramu Kian Lee itu, pernah pula menjadi pemberontak dan juga menjadi ketua Pulau Neraka? Apa hubungannya anak dengan kejahatan atau pemberontakan atau penyelewengan orang tuanya? Mengapa anaknya diikutkan bertanggung jawab dan kebagian nama buruk yang harus Paman benci pula? Adilkah itu? Benarkah itu? Layakkah itu bagi seorang pendekar sakti seperti Paman ini mempunyai jalan pikiran yang demikian picik, dangkal dan tidak adil?”
Wajah Suma Han menjadi pucat, kemudian menjadi merah kembali. Tergagap-gagap dia berseru, “Hwee Li, kau...”
Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, demikian kerasnya sampai tanah di sekitar tempat itu terguncang! “Sudahlah! Aku tidak sudi berjodoh dengan anak Paman yang mulia dan setinggi langit itu! Aku adalah anak pemberontak, anak penjahat, sebaliknya Paman dan keluarga Paman adalah keluarga langit! Sudahlah!” Dia terguguk menangis dan melarikan diri secepatnya pergi meninggalkan Suma Han yang berdiri melongo.
Hati Suma Han mendorong untuk mengejar, akan tetapi dia lalu teringat dan tidak jadi menggerakkan kakinya. Gadis seperti Hwee Li ini, seperti juga Lulu dulu, tidak mungkin dapat ditundukkan dengan bujukan atau paksaan. Sudahlah, dia sendiri yang bersalah! Pendekar ini tersenyum. Sudah setua, ini masih begitu tolol. Tentu saja! Tentu saja Hwee Li adalah gadis yang dicinta oleh Kian Lee itu, gadis anak angkat Hek-tiauw Lo-mo, puteri kandung mendiang Kim Bouw Sin! Mengapa dia begitu bodoh? Gadis itu datang bersama Dewa Bongkok, bahkan telah menjadi murid Dewa Bongkok dan locianpwe itu datang untuk membicarakan urusan perhubungan gadis itu dengan Kian Lee. Pantas saja gadis itu dahulu lari sambil menangis ketika mendengar dia mencela gadis itu sebagai keturunan penjahat dan pemberontak!
Seperti disambar halilintar, pendekar sakti ini sadar! Dia seperti dihadapkan sebuah cermin besar di mana dia memandang kepada dirinya sendiri, melihat betapa dia masih dikuasai oleh watak sombong, ingin mengangkat diri dan keluarga sendiri, mempunyai ‘gambaran’ yang amat agung terhadap keluarga sendiri yang pada hahekatnya perluasan dari diri sendiri pula, sehingga dia memandang rendah kepada golongan lain, terutama yang dianggapnya hina seperti penjahat dan pemberontak! Dan gadis dengan kemarahannya yang khas seperti Lulu itulah yang menyadarkannya!
Sampai berjam-jam lamanya Suma Han berdiri seperti patung di tempat itu, tak pernah bergerak akan tetapi mata batinnya mengamati dirinya sendiri dan dia merasa malu, malu sekali! Aihhh, betapa Lulu akan marah sekali kalau mendengar akan sikapnya selama ini! Dan kenapa Kian Lee juga memandang rendah kepada gadis yang menjadi kekasihnya itu setelah mendengar bahwa gadis itu anak pemberontak? Mengapa Kian Lee setolol itu? Setolol dia? Apa hubungannya seorang anak dengan penyelewengan orang tuanya? Mereka adalah manusia-manusia lain yang hanya kebetulan saja dihubungkan sebagai ayah dan anak. Akan tetapi, bukankah ayah dan anak merupakan dua orang manusia yang memiliki pikiran sendiri, hati sendiri, kesadaran sendiri, selera sendiri?
Sadarlah kini Suma Han. Sadarlah dia bahwa selama ini, dialah yang kehilangan kewaspadaan sehingga tanpa disadari dia bersikap yang tidak benar. Sikap dan perbuatan yang tidak benar hanya dilakukan oleh manusia yang pada saat itu tidak sadar! Apa bila manusia sadar setiap saat, waspada setiap saat memandang dirinya sendiri, setiap gerak-gerik badan dan batinnya sendiri, tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak benar! Karena, setiap perbuatan yang tidak benar itu pun akan nampak olehnya dan karenanya tentu tidak akan dilakukannya!
Kewaspadaan bukanlah suatu hal yang boleh dilakukan sekali waktu atau pada waktu waktu tertentu saja. Kalau dilakukan berselang-seling, maka terjadilah apa yang kita lihat dalam kehidupan manusia ini. Di waktu tidak waspada, melakukan dosa, setelah sadar dan waspada, menyesal dan minta ampun, bersumpah tidak akan lagi melakukan perbuatan itu. Kemudian, dalam keadaan tidak sadar lagi, diulanginya perbuatan itu, lalu sadar dan minta ampun lagi. Demikianlah kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya.
Kewaspadaan harus selalu ada pada kita setiap saat, timbul dari pengamatan setiap saat, timbul dari perhatian sepenuhnya yang kita curahkan terhadap diri sendiri dalam saat apa pun, selagi melakukan atau mengatakan atau memikirkan apa pun.
Pengamatan penuh kewaspadaan, penuh perhatian inilah kesadaran! Kalau kita membiarkan diri kosong tanpa kewaspadaan, maka iblis berupa pikiran yang selalu mengejar kesenangan akan masuk dan menyeret kita kepada kesesatan. Waspada dengan pengamatan tanpa pamrih ingin mengubah, waspada dengan pengamatan tanpa adanya si aku yang mengamati, karena si aku adalah yang diamati pula, waspada terhadap si aku, pikiranku, kedukaanku, kemarahanku, kebencianku, waspada terhadap semua ini tanpa ingin mendapatkan apa pun, inilah satu-satunya yang dapat menimbulkan pengertian
.Lebih dari tiga jam pendekar sakti itu berdiri seperti patung. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak marah oleh sikap dan kata-kata Hwee Li tadi. Bahkan dia berterima kasih, karena justru dara remaja itulah yang telah menggugahnya dari mimpi yang membawanya kepada kesesatan. Betapa dia telah memberi kuliah kepada Hwee Li, seperti dikatakan dara itu, tentang tidak membenci orang jahat sekali pun yang sudah mati, akan tetapi sikapnya menentang hubungan puteranya karena si gadis itu anak penjahat dan pemberontak sudah merupakan suatu kebencian pula yang terselubung! Ahhh, betapa mudahnya memberi nasehat namun betapa sukarnya melaksanakannya sendiri! Ini semua takkan terjadi kalau dia selalu waspada setiap saat mengamati diri sendiri, sehingga dia akan waspada ketika memberi nasehat, waspada pula ketika berbuat!
“Akan kucari Kian Lee, akan kubereskan semua yang tidak benar selama ini!” katanya kepada diri sendiri. Di lain saat pendekar sakti itu telah berkelebat pergi, menggunakan ilmunya untuk berloncatan dan melakukan perjalanan cepat sekali.
Dugaan Hwee Li memang tepat. Setelah beberapa hari lamanya dia berputar-putar di daerah Kang-lam, akhirnya dia dapat memperoleh keterangan di mana adanya keluarga Jenderal Kao Liang, yaitu di dusun Lok-jung di kaki sebuah bukit kecil yang sunyi. Cepat dia menuju ke dusun itu dan dari jauh dia sudah melihat subo-nya sedang duduk di depan sebuah rumah yang cukup besar, bersama Kao Kok Cu dan juga Cin Liong. Bukan main girangnya hati Hwee Li, akan tetapi di samping kegirangan ini dia pun merasa terharu karena dia membawa berita duka, dan juga tegang dan gelisah melihat subo-nya, teringat betapa subo-nya sudah tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid karena dia adalah keturunan pemberontak!
“Enci Hwee Li...!” Cin Liong yang masih mengenal dara yang dulu suka memondongnya dan mengajaknya bermain-main itu segera lari menyambut kedatangan Hwee Li. Suami isteri perkasa itu pun memandang.
Hwee Li merangkul dan memondong Cin Liong, lalu dia menghampiri suami isteri itu, menurunkan Cin Liong dan tanpa terasa lagi air mata membasahi pipi Hwee Li. Dia selalu menganggap subo-nya sebagai pengganti ibu, akan tetapi mengingat betapa wanita di depannya yang amat dihormatinya, dikaguminya dan juga dicintanya itu kini tidak lagi mau mengakuinya sebagai murid, sungguh membuat hatinya terasa sedih sekali. Apa lagi kalau dia teringat akan semua pengalamannya yang pahit.
Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka. Dia tidak berani menyebut subo atau suhu kepada mereka, mengingat betapa subo-nya telah mematahkan pedang dan menyatakan hubungan mereka sebagai guru dan murid telah putus. Tidak, dia tak akan mengemis minta diakui lagi sebagai murid, bisik hatinya yang keras, kedatangannya bukan untuk itu, melainkan untuk menyerahkan abu jenazah!
Sambil berlutut dan dengan muka menunduk dia lalu berkata. “Harap Taihiap dan Lihiap berdua sudi memaafkan aku kalau aku datang mengganggu.”
Tanpa diketahui oleh Hwee Li, suami isteri itu saling lirik ketika mendengar sebutan lihiap dan taihiap itu, sebaliknya dari subo dan suhu. Kao Kok Cu tersenyum pahit dan pandang matanya menegur isterinya, sedangkan Ceng Ceng kelihatan terharu, namun ditahannya dengan hatinya yang keras. Memang dia sudah menceritakan kepada suaminya bahwa dia memutuskan hubungan dengan Hwee Li karena ternyata bahwa Hwee Li adalah adik dari musuh mereka, yaitu adik dari Kim Cui Yan yang telah menculik Cin Liong, atau juga puteri dari mendiang pemberontak Kim Bouw Sin.
Mendengar penuturan isterinya itu, Kao Kok Cu sudah mengingatkan isterinya bahwa tindakan isterinya itu terburu nafsu dan tidak adil, akan tetapi karena sudah terlanjur maka mereka berdua tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dan kini, dara itu datang dengan sikapnya yang masih amat baik, datang-datang berlutut dan menyebut mereka taihiap dan lihiap!
Sejenak mereka bertiga merasakan suasana yang sama sekali tidak enak, karena biasanya pertemuan antara mereka tenntu amat menggembirakan karena Hwee Li adalah seorang dara yang lincah jenaka dan yang selalu menggembirakan suami istri itu dengan sikapnya yang manja. Kini gadis itu berlutut dan menitikkan air mata, menyebut mereka dengan sebutan seperti orang asing! Akhirnya Kok Cu memecahkan kesunyian yang tidak enak itu dengan berkata halus.
“Hwee Li, tentu saja engkau tidak mengganggu. Kau bangkitlah dan duduklah dan ceritakan dengan tenang apa keperluanmu datang menemui kami.”
Hwee Li bangkit dan duduk berhadapan dengan dua orang itu, dan ketika dia melirik ke arah wajah Ceng Ceng, dia melihat nyonya ini menunduk sehingga dia tak tahu apakah nyonya itu masih marah kepadanya ataukah tidak. Betapa pun juga, suasana ini amat tidak enak terasa olehnya, apa lagi dia harus membawa berita yang amat tidak baik. Maka sukarlah baginya untuk bicara dan dia hanya mengelus rambut kepala Cin Liong yang kembali mendekatinya dan anak itu berdiri menyandar kepadanya.
“Enci Hwee Li, kenapa lama tidak datang dan bermain-main dengan aku? Nanti kita latihan silat, aku sudah mulai dilatih oleh Ayah!”
Melihat sikap Hwee Li, Kok Cu dapat menduga bahwa tentu ada urusan penting, maka dia lalu menyuruh puteranya itu masuk. Cin Liong tidak membantah perintah ayahnya. Setelah anak itu masuk, Kok Cu bertanya lagi, “Nah, ceritakanlah keperluanmu, Hwee Li.”
Semenjak tadi Hwee Li sudah menahan air matanya dan hanya beberapa tetes yang terlepas turun, akan tetapi kini mendengar pertanyaan itu, kembali dia berlutut di depan Kok Cu dan menangis, suaranya terputus-putus ketika dia bicara sambil menurunkan buntalan dari atas punggungnya.
“Su... Taihiap..., aku... aku datang untuk menghaturkan ini...“ Dia merasa lehernya tercekik dan hanya mengangkat buntalan itu dengan kedua tangan ke atas kepala sambil menangis. Teringat dia akan semua kebaikan Dewa Bongkok yang tidak hanya telah menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, bahkan telah mengoperkan sinkang ke dalam tubuhnya.
“Apakah ini? Apakah isinya buntalan ini, Hwee Li? Dan mengapa kau menangis?” tanya Kok Cu dengan hati merasa tidak enak.
“... abu jenazah...“ Hwee Li berbisik dan kini Ceng Ceng menengok dan memandang penuh perhatian kepada dara itu dan kepada buntalan yang kini sudah diterima oleh suaminya.
Kok Cu terkejut dan makin merasa tidak enak.
“Abu jenazah? Punya siapa?”
“... abu jenazah Locianpwe... penghuni Istana Gurun Pasir...“
“Ahhhhh!”
Komentar
Posting Komentar