JODOH RAJAWALI : JILID-05
“Sialaaan...!” Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya terus berkemak-kemik membaca mantera pengusir roh jahat.
Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata, giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu tentu saja mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia kini memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan, yang menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.
Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi.
Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tak hentinya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata, “Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarkanlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!”
Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payung!
Pendeta yang selama menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya pun dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, ‘roh jahat’ itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!
“Wahai, roh yang keras kepala!” bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung ‘roh’ itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!”
‘Roh’ cantik itu malah tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.
“Sliuman jahat... pedang pusakaku akan menghukummu!” Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.
“Plakkkk!” Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut!
Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopiah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!
“Ehh, Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.
“Minggir, ada siluman di dalam taman!” kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk.
Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar kata-kata itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya!
Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga sudah tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopiah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.
Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang.
“Bunga teratai... engkau jauh lebih bahagia dari pada manusia,” demikian keluhan hati Sang Puteri.
Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Ang Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang sangat patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndahkan.
“Tidak...!” bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Bagai bunga teratai itu, biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu.“
Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan menasehati agar dia masuk ke kamarnya karena ada ‘hawa siluman’ mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat hingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata.
Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimana pun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Dan oleh karena itu, nasehat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.
“Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!”
Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela, “Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku.”
Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biar pun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab, “Selamat malam, Panglima Mohinta.”
Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini masih selalu menyebutnya ‘panglima’. Hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut ‘kakanda’ kepada tunangannya ini! Sebutan ‘panglima’ sungguh sama sekali tidak mencerminkan kemesraan, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang berbicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!
“Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.”
“Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?”
Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara pada waktu itu. “Saya... saya... hanya ingin menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya... hemmm... ada siluman berkeliaran... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu...“
“Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.”
Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.
“Adinda Syanti Dewi...“
“Panglima, aku ingin sendirian!”
“Aduhai, Adinda sayang. Bukankah telah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?”
“Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!”
“Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...“
“Sudahlah. Kalau engkau mau bicara tentang hal itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku.”
“Adinda... aku... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini...?”
“Sudah terlalu sering sampai membosankan!”
“Duhai, Adinda... jangan begitu“
Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.
“Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Tetapi... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!”
“Adinda... Syanti Dewi, kau kasihanilah aku...!” Panglima itu sekarang menjatuhkan diri berlutut!
Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.
“Siapa kau...?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.
Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.
Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa baginya. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya ‘Adinda Syanti Dewi’! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciuminya. Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu.
Dara itu melangkah mendekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik, “Puteri, lupakah engkau padaku?”
Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.
“Aku Siang In... eh, yang dulu pernah membantumu... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu.“
Berseri wajah Syanti Dewi. “Aihhh, Si tukang sulap itu...?” teriaknya.
“Sssttttt...!” Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih terus merayu arca. “Mari kita bicara di dalam saja. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.”
Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua kemudian melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkan taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.
“Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta!
Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab ‘perintah’ dara itu, “Siap, Panglima!”
Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, “Eh, apa yang telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?”
Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. “Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!” Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.
“Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin dari pada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?”
“Tetapi... tetapi mengapa bisa begitu? Bingung aku... apa sih yang sebetulnya sudah terjadi?”
“Aihhhhh... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga.”
Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main. “Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu... hik-hik, dia menganggap arca tadi…?”
“Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ahh, dia tampan dan ganteng juga, ehh!”
Syanti Dewi bersungut-sungut. “Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung...!”
“Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?”
Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia kemudian menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal.
Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng yang amat dicintanya, maka dia merangkul leher Siang In.
“Engkau cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata.
Syanti Dewi mengambung pipi dara itu. “Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.”
Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.
Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu itu baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatang kara, karena orang tuanya telah meninggal dan juga enci-nya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga kemudian mati terbunuh, akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang berilmu tinggi dan juga pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.
Empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya! Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik jelita yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!
Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohinta. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika ia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa seram dan ngeri, juga bingung.
Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipeluk ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!
“Uhhhhh...!” Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya.
Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayangan-bayangan di sekelilingnya, menambah seram keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah seram suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.
“Siap...!” Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.
“Heh, kalian lagi melihat apa?” bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.
“Ah, maaf, Panglima... ehh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar.“
“Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak.
“Kami bertujuh tadi baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan sambil mengempit payung…“
“Mengempit payung? Apakah kalian gila?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.
Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.
“Tolong... aduhhh, toloonggg... si... siluman... sssetannnn...!” terdengar teriakan itu.
Ketika mereka semua tiba di tempat suara itu, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, kopiahnya juga hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.
“Ah... ehh... ya ampun... ada... setan... wanita cantik...” dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopiahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.
“Membawa payung?” Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak, langsung punggungnya terasa dingin.
Tak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!
“Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.
Sementara itu di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.
“Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.
“Tentu saja mereka lalu mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini...“
“Ihhhhh...!” Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!
“Hik-hik, kau juga ngeri!” Siang In melepaskan kedoknya.
Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari bahan apa.
“Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik.”
“Kau maksudkan Pendeta Nalanda? Kau apakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.
“Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In kemudian menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.
Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.
Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!
“Syanti...! Buka pintu...!”
Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik, “Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini.”
Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak.
Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok. Dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu.
Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglima Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kirinya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!
“Syanti, tadi dengan siapa engkau di kamarmu ini?” Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.
“Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara tidak senang.
“Hemmm... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau membohongi Ayahmu.”
“Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.”
“Ahh, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan silum..., dengan siapa?” Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.
Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.
“Saya mimpi bertemu dengan... Panglima Mohinta...“
“Ahh, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.
Syanti Dewi mengangguk. “Di dalam mimpi, saya melihat... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa...“
Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.
“Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?” Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila.
Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!
“Kursi...? Ehh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik...“
“Memang bagus sekali, tentu amat enak diduduki...“ Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk.
Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak akan sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia gerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk, kemudian ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.
“Cussss... aduhhhh...!” Panglima Mohinta terloncat kaget saat merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!” Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!
Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda kemudian berkata, “Syukurlah kalau tak ada apa-apa, anakku. Tidurlah dengan tenang.” Dia kemudian keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.
Setelah menutupkan kembali daun pintu kamarnya, Syanti Dewi dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.
“Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum.
Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis, “Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biar pun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...“
“Hushhh, jangan berkata demikian, aku... aku benci padanya!”
“Eihhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat rayuan maut tadi di taman...“
“Sudahlah, Siang In,” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin berbicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?”
“Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Karena merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri, tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah... ehhh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu...“
Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat saat dia menyebut nama pemuda itu.
“Adik yang baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kau dengar tentang Ang Tek Hoat?”
“Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?”
Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mongering. Namun kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis.
Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya kini menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut, “Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?” Dia mengangguk-angguk meyakinkan. “Ceritakanlah dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri.”
Karena baru sekarang dia bertemu dengan seseorang yang memperhatikan nasibnya, yang selamanya tak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.
“Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andai kata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku takkan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, Adik Siang In,“ Puteri itu mengakhiri ceritanya.
Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, akan tetapi semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang bagaikan seekor burung hidup di dalam sangkar, biar pun sangkar itu terbuat dari pada emas dan dihias permata, biar pun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.
“Puteri...“
“In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).”
“Baiklah Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, malah menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?”
“Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu saja demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?”
“Hemmm... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu tidak mencintamu, Enci.”
Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.
“Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia pasti melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.”
“Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!”
“Ehh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?”
“Coba saja kau renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?”
Syanti Dewi mengangguk.
“Nah, tindakan Ayahmu yang memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?”
“Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.”
“Itulah kepalsuannya, dan itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguh pun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!”
“In-moi...!” Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apa kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat...?”
Dara itu menggeleng kepala, “Siapa pun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa semua tindakannya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami sekarang ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?”
Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. “Ah, aku tidak tahu... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?”
“Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...“
“Aku yakin benar akan cintanya!”
“Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit! Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Enci itu, dari pada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?”
“Pergi? Kau maksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. “Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.”
“Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?”
“Tentu saja aku mau!”
“Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan...?”
“Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.”
“Bagus!” Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci.”
Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata, “Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan…“
“Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.”
“Bagus, akan tetapi betapa pun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman.”
Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.
Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya.
Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan, keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring, “Siluman jahat! Jangan lari!”
Siang In terkejut. Tidak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya!
Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi dua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!
“Eh-eh, kalian ini mau apakah?” Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang sangat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.
“Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!” bentak di sebelah kirinya.
“Berlututlah kau!” perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu.
Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, “Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa pula kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!”
Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis yang mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.
“Ihhhhh... ularrrrr...!”
“Hiiiiihhhhh... aih, celaka...!”
Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apa lagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi.
“Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.
“Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kau ceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.”
“Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa menggunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?” Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.
Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu.
“Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan kegegeran, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?”
Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letak pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan diri, sedangkan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.
Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.
Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semuanya telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula dengan para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing.
Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga dari pada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman. Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.
Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada henti hilir mudik dari gardu ke gardu untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga.
Malam makin larut dan keadaan makin seram. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.
“Bagaimana...?” Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.
“Sssttttt,... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In.
Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai. Tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia segera teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap.
Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.
“Hei... apa itu...?!” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat.
Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.
“Mana? Tidak ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela.
“Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh, aku berani sumpah!”
“Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan... ihhhhh...!”
“Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada.”
Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapa pun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya.
Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.
Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.
“Heiiiii, berhenti...!”
Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.
“Srat! Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
“Aihhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!” Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.
Waktu yang hanya beberapa detik ini cukup sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain.
Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung!
Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.
“Aihhh, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?” penjaga yang gendut tertawa. “Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?”
“Aih, suaranya begitu merdu...,” kata penjaga yang kurus.
“Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ketiga.
“Aku pun tidak...,“ kata yang keempat.
“Kalau begitu... siapa...?“ Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.
“Jangan-jangan dia...?”
“Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apa pun adanya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,” kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk menumpuk rumput kering.
Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada sebuah lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.
Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya kini akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.
“Kebakaran...!”
“Tolonggg... kebakaran...!”
Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apa lagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini oleh karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka.
Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.
“Jangan panik! Dan jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!” Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.
Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang sangat cantik, yang tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.
“Itu dia... siluman itu!” teriak seorang di antara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. “Lihat dia membawa payung!”
Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.....
Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya terus berkemak-kemik membaca mantera pengusir roh jahat.
Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata, giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu tentu saja mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia kini memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan, yang menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.
Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi.
Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tak hentinya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata, “Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarkanlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!”
Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payung!
Pendeta yang selama menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya pun dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, ‘roh jahat’ itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!
“Wahai, roh yang keras kepala!” bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung ‘roh’ itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!”
‘Roh’ cantik itu malah tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.
“Sliuman jahat... pedang pusakaku akan menghukummu!” Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.
“Plakkkk!” Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut!
Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopiah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!
“Ehh, Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.
“Minggir, ada siluman di dalam taman!” kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk.
Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar kata-kata itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya!
Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga sudah tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopiah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.
Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang.
“Bunga teratai... engkau jauh lebih bahagia dari pada manusia,” demikian keluhan hati Sang Puteri.
Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Ang Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang sangat patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndahkan.
“Tidak...!” bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Bagai bunga teratai itu, biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu.“
Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan menasehati agar dia masuk ke kamarnya karena ada ‘hawa siluman’ mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat hingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata.
Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimana pun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Dan oleh karena itu, nasehat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.
“Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!”
Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela, “Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku.”
Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biar pun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab, “Selamat malam, Panglima Mohinta.”
Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini masih selalu menyebutnya ‘panglima’. Hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut ‘kakanda’ kepada tunangannya ini! Sebutan ‘panglima’ sungguh sama sekali tidak mencerminkan kemesraan, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang berbicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!
“Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.”
“Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?”
Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara pada waktu itu. “Saya... saya... hanya ingin menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya... hemmm... ada siluman berkeliaran... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu...“
“Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.”
Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.
“Adinda Syanti Dewi...“
“Panglima, aku ingin sendirian!”
“Aduhai, Adinda sayang. Bukankah telah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?”
“Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!”
“Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...“
“Sudahlah. Kalau engkau mau bicara tentang hal itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku.”
“Adinda... aku... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini...?”
“Sudah terlalu sering sampai membosankan!”
“Duhai, Adinda... jangan begitu“
Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.
“Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Tetapi... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!”
“Adinda... Syanti Dewi, kau kasihanilah aku...!” Panglima itu sekarang menjatuhkan diri berlutut!
Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.
“Siapa kau...?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.
Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.
Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa baginya. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya ‘Adinda Syanti Dewi’! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciuminya. Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu.
Dara itu melangkah mendekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik, “Puteri, lupakah engkau padaku?”
Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.
“Aku Siang In... eh, yang dulu pernah membantumu... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu.“
Berseri wajah Syanti Dewi. “Aihhh, Si tukang sulap itu...?” teriaknya.
“Sssttttt...!” Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih terus merayu arca. “Mari kita bicara di dalam saja. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.”
Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua kemudian melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkan taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.
“Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta!
Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab ‘perintah’ dara itu, “Siap, Panglima!”
Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, “Eh, apa yang telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?”
Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. “Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!” Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.
“Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin dari pada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?”
“Tetapi... tetapi mengapa bisa begitu? Bingung aku... apa sih yang sebetulnya sudah terjadi?”
“Aihhhhh... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga.”
Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main. “Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu... hik-hik, dia menganggap arca tadi…?”
“Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ahh, dia tampan dan ganteng juga, ehh!”
Syanti Dewi bersungut-sungut. “Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung...!”
“Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?”
Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia kemudian menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal.
Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng yang amat dicintanya, maka dia merangkul leher Siang In.
“Engkau cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata.
Syanti Dewi mengambung pipi dara itu. “Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.”
Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.
Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu itu baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatang kara, karena orang tuanya telah meninggal dan juga enci-nya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga kemudian mati terbunuh, akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang berilmu tinggi dan juga pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.
Empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya! Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik jelita yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!
Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohinta. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika ia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa seram dan ngeri, juga bingung.
Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipeluk ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!
“Uhhhhh...!” Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya.
Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayangan-bayangan di sekelilingnya, menambah seram keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah seram suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.
“Siap...!” Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.
“Heh, kalian lagi melihat apa?” bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.
“Ah, maaf, Panglima... ehh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar.“
“Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak.
“Kami bertujuh tadi baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan sambil mengempit payung…“
“Mengempit payung? Apakah kalian gila?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.
Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.
“Tolong... aduhhh, toloonggg... si... siluman... sssetannnn...!” terdengar teriakan itu.
Ketika mereka semua tiba di tempat suara itu, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, kopiahnya juga hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.
“Ah... ehh... ya ampun... ada... setan... wanita cantik...” dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopiahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.
“Membawa payung?” Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak, langsung punggungnya terasa dingin.
Tak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!
“Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.
Sementara itu di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.
“Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.
“Tentu saja mereka lalu mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini...“
“Ihhhhh...!” Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!
“Hik-hik, kau juga ngeri!” Siang In melepaskan kedoknya.
Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari bahan apa.
“Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik.”
“Kau maksudkan Pendeta Nalanda? Kau apakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.
“Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In kemudian menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.
Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.
Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!
“Syanti...! Buka pintu...!”
Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik, “Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini.”
Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak.
Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok. Dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu.
Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglima Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kirinya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!
“Syanti, tadi dengan siapa engkau di kamarmu ini?” Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.
“Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara tidak senang.
“Hemmm... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau membohongi Ayahmu.”
“Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.”
“Ahh, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan silum..., dengan siapa?” Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.
Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.
“Saya mimpi bertemu dengan... Panglima Mohinta...“
“Ahh, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.
Syanti Dewi mengangguk. “Di dalam mimpi, saya melihat... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa...“
Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.
“Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?” Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila.
Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!
“Kursi...? Ehh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik...“
“Memang bagus sekali, tentu amat enak diduduki...“ Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk.
Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak akan sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia gerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk, kemudian ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.
“Cussss... aduhhhh...!” Panglima Mohinta terloncat kaget saat merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!” Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!
Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda kemudian berkata, “Syukurlah kalau tak ada apa-apa, anakku. Tidurlah dengan tenang.” Dia kemudian keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.
Setelah menutupkan kembali daun pintu kamarnya, Syanti Dewi dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.
“Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum.
Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis, “Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biar pun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...“
“Hushhh, jangan berkata demikian, aku... aku benci padanya!”
“Eihhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat rayuan maut tadi di taman...“
“Sudahlah, Siang In,” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin berbicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?”
“Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Karena merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri, tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah... ehhh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu...“
Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat saat dia menyebut nama pemuda itu.
“Adik yang baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kau dengar tentang Ang Tek Hoat?”
“Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?”
Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mongering. Namun kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis.
Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya kini menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut, “Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?” Dia mengangguk-angguk meyakinkan. “Ceritakanlah dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri.”
Karena baru sekarang dia bertemu dengan seseorang yang memperhatikan nasibnya, yang selamanya tak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.
“Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andai kata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku takkan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, Adik Siang In,“ Puteri itu mengakhiri ceritanya.
Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, akan tetapi semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang bagaikan seekor burung hidup di dalam sangkar, biar pun sangkar itu terbuat dari pada emas dan dihias permata, biar pun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.
“Puteri...“
“In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).”
“Baiklah Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, malah menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?”
“Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu saja demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?”
“Hemmm... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu tidak mencintamu, Enci.”
Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.
“Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia pasti melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.”
“Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!”
“Ehh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?”
“Coba saja kau renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?”
Syanti Dewi mengangguk.
“Nah, tindakan Ayahmu yang memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?”
“Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.”
“Itulah kepalsuannya, dan itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguh pun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!”
“In-moi...!” Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apa kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat...?”
Dara itu menggeleng kepala, “Siapa pun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa semua tindakannya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami sekarang ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?”
Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. “Ah, aku tidak tahu... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?”
“Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...“
“Aku yakin benar akan cintanya!”
“Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit! Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Enci itu, dari pada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?”
“Pergi? Kau maksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. “Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.”
“Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?”
“Tentu saja aku mau!”
“Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan...?”
“Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.”
“Bagus!” Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci.”
Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata, “Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan…“
“Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.”
“Bagus, akan tetapi betapa pun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman.”
Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.
Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya.
Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan, keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring, “Siluman jahat! Jangan lari!”
Siang In terkejut. Tidak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya!
Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi dua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!
“Eh-eh, kalian ini mau apakah?” Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang sangat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.
“Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!” bentak di sebelah kirinya.
“Berlututlah kau!” perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu.
Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, “Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa pula kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!”
Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis yang mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.
“Ihhhhh... ularrrrr...!”
“Hiiiiihhhhh... aih, celaka...!”
Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apa lagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi.
“Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.
“Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kau ceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.”
“Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa menggunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?” Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.
Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu.
“Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan kegegeran, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?”
Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letak pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan diri, sedangkan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.
Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.
Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semuanya telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula dengan para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing.
Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga dari pada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman. Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.
Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada henti hilir mudik dari gardu ke gardu untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga.
Malam makin larut dan keadaan makin seram. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.
“Bagaimana...?” Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.
“Sssttttt,... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In.
Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai. Tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia segera teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap.
Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.
“Hei... apa itu...?!” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat.
Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.
“Mana? Tidak ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela.
“Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh, aku berani sumpah!”
“Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan... ihhhhh...!”
“Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada.”
Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapa pun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya.
Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.
Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.
“Heiiiii, berhenti...!”
Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.
“Srat! Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
“Aihhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!” Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.
Waktu yang hanya beberapa detik ini cukup sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain.
Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung!
Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.
“Aihhh, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?” penjaga yang gendut tertawa. “Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?”
“Aih, suaranya begitu merdu...,” kata penjaga yang kurus.
“Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ketiga.
“Aku pun tidak...,“ kata yang keempat.
“Kalau begitu... siapa...?“ Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.
“Jangan-jangan dia...?”
“Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apa pun adanya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,” kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk menumpuk rumput kering.
Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada sebuah lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.
Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya kini akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.
“Kebakaran...!”
“Tolonggg... kebakaran...!”
Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apa lagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini oleh karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka.
Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.
“Jangan panik! Dan jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!” Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.
Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang sangat cantik, yang tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.
“Itu dia... siluman itu!” teriak seorang di antara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. “Lihat dia membawa payung!”
Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.....
Komentar
Posting Komentar