JODOH RAJAWALI : JILID-09
Tentu saja pemuda ini tidak mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh
tokoh dunia kang-ouw agaknya juga tidak ada yang mengenalnya, kecuali
mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal, jauh di barat, di sebelah
selatan Pegunungan Himalaya. Kakek ini adalah utusan dari negeri Nepal
dan selain utusan, juga dia adalah seorang yang berpangkat tinggi di
negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain berkedudukan
tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang
hebat, karena dia masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia
memperoleh pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan setelah dia merantau ke
Nepal dia dapat meraih kedudukan tinggi berkat kepandaiannya itu.
Ketika mendengar betapa pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu), kemudian berusaha mendekati daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pemerintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya.
Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-jin. Nama ini memang sudah terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Baru sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu.
Tadi Ban-hwa Seng-jin sedang mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dan dia yang berilmu tinggi dapat mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Lalu diaturlah oleh Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri.
Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa.
“Bagaimana dengan Sang Pangeran?” Gubernur Hok bertanya gelisah.
Kian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang ditawannya dan juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran, akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.
“Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat-cepat kembali ke kota raja,” kata gubernur itu, “Kalau benar Pangeran telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan yang khianat itu!”
“Sebaiknya begitu,” kata Kian Lee. “Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur.”
Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Ho-pei di perbatasan. Tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menggempurnya!”
“Lalu bagaimana dengan Nona Phang?” tanya Souw-ciangkun yang bagaimana pun merasa berhutang budi kepada nona itu, karena kalau tak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini.
“Jangan Sam-wi memikirkan saya...,“ kata Cui Lan.
“Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau engkau suka, kau ikut bersamaku, Nona. Engkau... kalau kau... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!” Ucapan ini keluar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata.
Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya.
“Saya... hanya seorang pelayan... bagaimana mungkin menerima penghormatan yang demikian besar? Menjadi puteri... seorang gubernur...?”
“Nona Cui Lan! Cepat kau haturkan terima kasih kepada Gihu-mu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri istana!” kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu.
“Dan lagi, bukankah engkau sendiri yang mengakui saya sebagai paman?” Gubernur itu menggoda.
Dengan air mata berlinang Cui Lan tersenyum, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil berkata, “Gihu...“
“Anakku! Cui Lan, sekarang kau anakku!” Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang.
Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat-cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota raja. Meski pun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula, akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan penyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan.
Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ketika Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan pengawal gubernur dipimpin sendiri oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan-hutan dan gunung-gunung sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama dari pada kalau menggunakan perjalanan biasa.
Biar pun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat. Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu kepandaiannya. Dan sekarang dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air!
Maka kini dia dapat melakukan pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biar pun lemah tidak berkepandaian silat, akan tetapi sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu.
Ketika tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman. “Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan,” usul Gubernur Hok. “Apa lagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung, kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu melelahkan.”
Sebetutnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguh pun dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan dari seorang nelayan sungai mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh.
Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan mereka. Lagi pula, karena perjalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak perlu mendayung, hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang dibelinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung!
Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biar pun perjalanan menjadi memutar, keluar ke arah timur melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu.
Malam itu mereka menginap di sebuah dusun di tepi sungai dan dalam kesempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika melihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di dekat perahu mereka itu.
Kian Lee yang seperti juga Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan, dengan cepat mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang, melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.
“Ehh, sobat, apakah ini perahumu?” tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee dengan tajam penuh perhatian.
Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk, “Benar, Loya (Tuan Tua).”
“Kamu hendak berlayar ke arah mana?” tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang sibuk mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-nan.
“Kami hendak ke hilir...“
“Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahumu dan kami akan membayar mahal.”
“Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami hanya nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan...“
“Kami tahu! Akan tetapi perahumu ini cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia menolong kami dengan bayaran mahal?”
“Hemmm, Twako, kenapa tidak dorong saja dia ke air?” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal berkata marah.
“Hushhh, jangan menggunakan kekarasan, Ang-kwi. Kita kini bukan di daerah sendiri!” Kakek tua itu menegur Si Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu. “Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga menolak?”
Kian Lee memutar otaknya. Jika dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang ini tiada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan. Kalau mereka melapor, bisa celaka.
“Baiklah jika memang Loya dan Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting,” akhirnya dia berkata dan mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa khawatir sekali.
Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu.
Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan cara pandang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui Lan, maka sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang-orang lain.
Si Kumis Tebal memang semenjak tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya, “Orang tua, apakah dia ini anakmu?”
Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan.
“Hah, cantik sekali!”
“Dan dia itu mantuku,” kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee.
Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa jika mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang lain, tentu Si Kumis Tebal akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi agaknya gubernur tua ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan dengan segerombolan bajak sungai!
Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang sangat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho karena dia adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia memakai julukan Lo-cia karena biar pun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya!
Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, “Cuihhh! Mengapa pula setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?” katanya.
Tentu saja Hok-taijin tak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya, merah saking marahnya mendengar penghinaan yang tadi dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu Kian Lee juga mendengar ini, akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.
Melihat betapa Kian Lee tetap saja mengemudikan perahu tanpa memperlihatkan suatu perasaan apa pun pada mukanya, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga merasa kasihan. Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka bolehlah dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar sakti ini.
Cui Lan kemudian menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh di tangan.
“Minumlah...,“ katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu.
Kian Lee tersenyum, menerima cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, “Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini.”
Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dan dengan langkah gagah ia menghampiri Cui Lan yang masih berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agaknya muka inilah yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lo-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya paling berani.
“Eh, Manis, kami juga minta secangkir teh! Tidak patut kalau pihak tuan rumah minum sendiri sedangkan tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekali pun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!” Teman-temannya tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya itu membuat Si Kumis Tebal makin berani.
“Berapa harga secangkir tehmu, Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga semalam? Ha-ha-ha!”
“Sobat, harap jangan mengganggu dia!” Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan.
“Siapa menggoda siapa?!” Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan cara kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan.
Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.
“Byuuuuurrrrr...!”
Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, namun sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggiran perahu.
“He, kenapa Si Ang-kwi...?” Orang-orang berteriak.
“Keparat, kau berani pukul aku?” teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
“Siapa yang pukul?” Kian Lee bertanya, tersenyum.
“Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri, bilang suamiku yang pukul. Tidak tahu malu!” Cui Lan juga berkata.
Teman-teman Ang-kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan melompat tinggi hendak menghajar Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, “Jangan ribut! Lihat di depan itu!”
Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu sedang meluncur dari samping menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu bersorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu.
“Ha, itu perahu kita sendiri!”
“Lebih enak dari pada perahu sempit ini!”
“Kita pindah saja!”
“Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!” kata Ang-kwai.
Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, dan atas isyarat Kian Lee cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di depan bilik menjaga!
Setelah tiga buah perahu itu berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermunculan wanita-wanita cantik yang lantas menyambut mereka dengan pedang di tangan!
“Heiii...“
“Celaka...!”
“Kita terjebak!”
“Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!” teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, dengan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiam-nya.
Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu bukan lain adalah Kim-hi Niocu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggota Hek-eng-pang menjadi korban pembajakan anak buah Huang-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka kini menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pembantunya!
Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk menghadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kian Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dorongan-dorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam air!
Sementara itu pertandingan berlangsung dengan seru. Ternyata bahwa para anggota bajak itu tidak kuat menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang terlempar ke sungai dan mereka yang telah terlempar ini tidak mampu mengganggu perahu-perahu itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan terus menyerang mereka. Kiranya permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tak kalah oleh para anggota bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu adalah anggota-anggota Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik untuk berkelahi di air!
Sekarang hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui keunggulan kakek ini. Biar pun tadi dia dibantu oleh empat orang anggotanya, namun empat orang itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Niocu terus terdesak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.
“Pangcu... harap bantu...!” Akhirnya Kim-hi Niocu menjerit.
Tersingkaplah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik tampak. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing.
“Ehmm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul di sini?” tanya nenek itu sambil memandang dan menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik.
Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih terus dikejar oleh wanita-wanita itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan walau pun belum pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak.
“Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?”
Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk. “Engkau memang lagi berhadapan dengan Yang-liu Nio-nio!” katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.
“Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kang-ouw dan liok-lim?”
“Bajak tua, kau masih belum menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali barulah aku mau mengampuni nyawa tikusmu!”
Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan perbuatan lancang, berani mengganggu anggota Hek-eng-pang yang berarti mengganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan minta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.
“Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!” bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat, mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
“Plak-tak-tak-takkk!” Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu!
Huang-ho Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah tersudut, dia berlaku nekat. Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring ia menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.
“Trak-trak-desssss...!”
Cepat sekali gerakan ranting yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir bibirnya.
“Hemmm, kami sudah membunuh delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Empat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!” Kaki nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air!
Para anggota Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur ketujuh orang pembantu Huangho Lo-cia, sekarang tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang karena terluka, dengan susah payah berenang ke tepi menyusul anak buahnya.
“Pangcu, di perahu itu terdapat seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,” Kim-hi Niocu berkata sambil jarinya menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang perahu itu.
Tadi Kim-hi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Niocu terkejut dan jeri, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah mengalahkan kepala bajak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.
“Ehhh...?!” Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee.
Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-eng-pang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka ia bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap tenang.
Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanyalah seorang kakek nelayan, seorang nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan kini bersembunyi di dalam bilik perahu, hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang, dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggota bajak dan bahwa mungkin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah.
“Nelayan, apakah ini perahumu?” tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang itu adalah orang-orang biasa saja.
“Benar,” jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut dan minta ampun kepadanya.
“Kami bukan perampok atau pun bajak,” kata si nenek lagi, “Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari kau antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya.”
Kian Lee maklum bahwa biar pun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata, “Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami sudah menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian jangan mengganggu kami.”
Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apa lagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu akan amat merendahkan dirinya.
“Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?”
Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapa pun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng kepala.
Nenek itu mulai penasaran. “Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!” Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya.
“Plak!” Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main.
Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan muda ini telah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada ‘isinya’ juga pemuda ini, pikirnya. Tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanyalah seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.
“Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!”
Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan dia pun cepat mendorongkan tangannya memapaki.
“Desss...! Eihhhhh...!” Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya terjengkang.
Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian. Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda!
Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, “Bocah, kau sudah bosan hidup!”
Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee. Pemuda itu segera mengelak, maklum bahwa meski pun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh.
Lima kali berturut-turut sinar hijau itu terus menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Mendadak tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya oleh karena dia sekarang benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.
“Desssss...!”
Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.
“Sssss... siapa engkau...?” tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran kenapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.
“Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,” katanya.
Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Niocu segera mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk para anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.
“He-heh-heh, orang muda yang aneh!” Hek-eng-pangcu berkata. “Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!” Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
“Tahan!” Kian Lee terpaksa berseru.
Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai berenang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat juga dan amat membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin.
“Baiklah, aku menyerah.”
“Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!” Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang sudah dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.
Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja.
Cui Lan dan Hok-taijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapa pun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggota Hek-eng-pang, dipimpin oleh Kim-hi Niocu sendiri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.
“Mari berangkat!” Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya.
Kim-hi Niocu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini!
Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam dan basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya itu. Melihat ini, Kim-hi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu kini berada di perahu lain, maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.
“Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu.”
“Isteri? Dia bukan isteriku,” jawab Kian Lee.
Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.
“Ahhh...!” Kim-hi Niocu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya kagum.
“Dan kakek itu?”
Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menjawab cepat, “Dia adalah sahabatku, sedang gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian.”
“Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi...!”
Kian Lee tersenyum mengejek. “Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!”
Kim-hi Niocu tertawa kecil, menutupi mulut dengan gaya genit. “Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hi-hi-hik. Ehh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?”
“Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku.”
“Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?” Kim-hi Niocu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.
“Hemmm, engkau sebut saja aku si Nelayan,” kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.
“Ehh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!”
Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Niocu yang jelas amat tertarik kepadanya.
Pelayaran itu makan waktu cukup lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Niocu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu, maka dia pun sama sekali tidak berani menggunakan paksaan.
Semua orang mendarat dan beberapa orang anggota Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Niocu lalu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang.
Nenek itu sekarang menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata, “Orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara.” Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.
“Tapi, Pangcu...!” Kian Lee membantah.
Kim-hi Niocu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee, “Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apa lagi beliau mengundangmu secara baik-baik sebagai seorang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini.”
Karena Cui Lan dan Hok-taijin ditodong, maka terpaksa Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggotanya terdiri dari wanita-wanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.
Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di sekitar kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li.
Tiba di lereng bukit mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-eng-pang itu sungguh pun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggotanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.
Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang berupa sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata, “Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.”
Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin. “Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!” perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam, tentu saja di bawah todongan pedangnya.
Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk, maka cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir.
Setelah dua orang itu ‘disimpan’, nenek itu sendiri kemudian mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggota mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.
“Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimana pun saya tidak suka makan minum,” kata Kian Lee.
“Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan rasa setia kawan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu.”
Tiba-tiba seorang anggota Hek-eng-pang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu.
“Siapa dia? Liong-li, kau lihat siapa dia dan apa niatnya!”
Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama keempat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggota yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik, “Pangcu, dia... dia itu yang datang... Si Jari Maut.“
“Ahhh...? Persilakan dia masuk!” katanya dengan wajah berubah.
Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Niocu dan Liong-li tentang seorang pemuda lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.
“Aku sudah di sini, Pangcu!” Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas.
Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Saudara Ang..., kau di sini...?”
Tentu saja Kian Lee menegur dengan perasaan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, juga bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suheng-nya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.
Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li ketika ia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liong-pang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es!
Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Han si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat akan pesan ibunya yang kini telah tewas dengan cara yang menyedihkan sekali, walau pun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee.
Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?
“Aihhh... Ji-wi (Anda Berdua) sudah saling mengenal?” Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!
Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, “Siapa yang tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian cari-cari itu?”
Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis segera mereka bergerak mengepung Kian Lee.
“Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao? Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu. Kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!” Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan salah seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.
Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum dan duduk di atas sebuah kursi sambil minum arak dan bersikap sebagai orang yang sedang menonton dan menikmati pertunjukan yang menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee.
Pertama, dia ingat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Kedua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ketiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Keempat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.
“Apakah artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!” teriaknya penasaran melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.
“Tidak perlu menyangkal lagi, orang muda. Engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka Jenderal Kao, tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah bisa membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan.”
Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andai kata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat. “Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagai mana? Silakan!”
Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Niocu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!
“Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!” Kian Lee membentak. “Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!”
Kembali kelima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran kedua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang.
Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, ia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.
“Seranggggg...!” Terdengar teriakan nenek itu.
Lingkaran dalam itu segera menghentikan gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri atau belakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas.
Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran kedua yang maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun!
Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi.
Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mukjijat, daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, hanya membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa.
“Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” Kata-katanya ini disusul dengan gerakan tubuhnya.
Kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang langsung terjengkang roboh. Senjata mereka terpental dan mencelat ke mana-mana sehingga menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai.
Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang anggota Hek-eng-pang itu mundur ketakutan, barisan mereka telah rusak dan biar pun tidak ada di antara mereka yang tewas, namun semuanya telah dibikin takut dan kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda itu, hawa pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk membuyarkan lingkaran yang dengan ketat mengurungnya, Kian Lee sudah menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang yang panas.
Tentu saja kelima orang kepala pasukan itu menjadi kaget setengah mati menyaksikan betapa enam puluh orang anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu bahwa pemuda itu memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat, mereka berlima menemani guru mereka mengurung Kian Lee.
Sekarang pemuda itu dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nio-nio ketua Hek-eng-pang dan lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan itu. Jumlah murid langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang lima ini merupakan murid-murid utama, maka tentu saja mereka berlima telah memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau kelima orang muridnya itu masing-masing memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si nenek itu sendiri hanya membawa sebatang ranting yang-liu tadi karena memang itulah senjatanya yang paling ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda Hitam yang mengandung racun berbahaya.
“Bentuk barisan mengepung! Jaga dua orang itu agar jangan lolos!” Tiba-tiba nenek itu berseru kepada semua anak buahnya yang kocar-kocir tadi.
Biar pun takut-takut, enam puluh orang itu sudah berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung ruangan itu. Beberapa orang murid ketua itu sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan Hok-taijin agar supaya tidak kabur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang tawanan ini.
“Hek-eng-pangcu, engkau sungguh keterlaluan!” Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah bergerak menyerang ke depan.
Yang-liu Nio-nio lalu menggerakkan rantingnya dan kelima orang muridnya juga sudah menubruk dengan serangan dalam berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis kemudian balas menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan ramai…..
Ketika mendengar betapa pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu), kemudian berusaha mendekati daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pemerintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya.
Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-jin. Nama ini memang sudah terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Baru sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu.
Tadi Ban-hwa Seng-jin sedang mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dan dia yang berilmu tinggi dapat mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Lalu diaturlah oleh Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri.
Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa.
“Bagaimana dengan Sang Pangeran?” Gubernur Hok bertanya gelisah.
Kian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang ditawannya dan juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran, akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.
“Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat-cepat kembali ke kota raja,” kata gubernur itu, “Kalau benar Pangeran telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan yang khianat itu!”
“Sebaiknya begitu,” kata Kian Lee. “Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur.”
Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Ho-pei di perbatasan. Tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menggempurnya!”
“Lalu bagaimana dengan Nona Phang?” tanya Souw-ciangkun yang bagaimana pun merasa berhutang budi kepada nona itu, karena kalau tak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini.
“Jangan Sam-wi memikirkan saya...,“ kata Cui Lan.
“Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau engkau suka, kau ikut bersamaku, Nona. Engkau... kalau kau... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!” Ucapan ini keluar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata.
Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya.
“Saya... hanya seorang pelayan... bagaimana mungkin menerima penghormatan yang demikian besar? Menjadi puteri... seorang gubernur...?”
“Nona Cui Lan! Cepat kau haturkan terima kasih kepada Gihu-mu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri istana!” kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu.
“Dan lagi, bukankah engkau sendiri yang mengakui saya sebagai paman?” Gubernur itu menggoda.
Dengan air mata berlinang Cui Lan tersenyum, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil berkata, “Gihu...“
“Anakku! Cui Lan, sekarang kau anakku!” Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang.
Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat-cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota raja. Meski pun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula, akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan penyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan.
Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ketika Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan pengawal gubernur dipimpin sendiri oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan-hutan dan gunung-gunung sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama dari pada kalau menggunakan perjalanan biasa.
Biar pun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat. Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu kepandaiannya. Dan sekarang dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air!
Maka kini dia dapat melakukan pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biar pun lemah tidak berkepandaian silat, akan tetapi sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu.
Ketika tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman. “Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan,” usul Gubernur Hok. “Apa lagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung, kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu melelahkan.”
Sebetutnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguh pun dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan dari seorang nelayan sungai mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh.
Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan mereka. Lagi pula, karena perjalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak perlu mendayung, hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang dibelinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung!
Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biar pun perjalanan menjadi memutar, keluar ke arah timur melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu.
Malam itu mereka menginap di sebuah dusun di tepi sungai dan dalam kesempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika melihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di dekat perahu mereka itu.
Kian Lee yang seperti juga Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan, dengan cepat mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang, melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.
“Ehh, sobat, apakah ini perahumu?” tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee dengan tajam penuh perhatian.
Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk, “Benar, Loya (Tuan Tua).”
“Kamu hendak berlayar ke arah mana?” tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang sibuk mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-nan.
“Kami hendak ke hilir...“
“Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahumu dan kami akan membayar mahal.”
“Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami hanya nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan...“
“Kami tahu! Akan tetapi perahumu ini cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia menolong kami dengan bayaran mahal?”
“Hemmm, Twako, kenapa tidak dorong saja dia ke air?” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal berkata marah.
“Hushhh, jangan menggunakan kekarasan, Ang-kwi. Kita kini bukan di daerah sendiri!” Kakek tua itu menegur Si Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu. “Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga menolak?”
Kian Lee memutar otaknya. Jika dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang ini tiada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan. Kalau mereka melapor, bisa celaka.
“Baiklah jika memang Loya dan Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting,” akhirnya dia berkata dan mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa khawatir sekali.
Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu.
Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan cara pandang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui Lan, maka sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang-orang lain.
Si Kumis Tebal memang semenjak tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya, “Orang tua, apakah dia ini anakmu?”
Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan.
“Hah, cantik sekali!”
“Dan dia itu mantuku,” kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee.
Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa jika mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang lain, tentu Si Kumis Tebal akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi agaknya gubernur tua ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan dengan segerombolan bajak sungai!
Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang sangat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho karena dia adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia memakai julukan Lo-cia karena biar pun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya!
Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, “Cuihhh! Mengapa pula setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?” katanya.
Tentu saja Hok-taijin tak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya, merah saking marahnya mendengar penghinaan yang tadi dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu Kian Lee juga mendengar ini, akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.
Melihat betapa Kian Lee tetap saja mengemudikan perahu tanpa memperlihatkan suatu perasaan apa pun pada mukanya, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga merasa kasihan. Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka bolehlah dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar sakti ini.
Cui Lan kemudian menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh di tangan.
“Minumlah...,“ katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu.
Kian Lee tersenyum, menerima cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, “Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini.”
Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dan dengan langkah gagah ia menghampiri Cui Lan yang masih berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agaknya muka inilah yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lo-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya paling berani.
“Eh, Manis, kami juga minta secangkir teh! Tidak patut kalau pihak tuan rumah minum sendiri sedangkan tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekali pun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!” Teman-temannya tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya itu membuat Si Kumis Tebal makin berani.
“Berapa harga secangkir tehmu, Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga semalam? Ha-ha-ha!”
“Sobat, harap jangan mengganggu dia!” Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan.
“Siapa menggoda siapa?!” Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan cara kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan.
Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.
“Byuuuuurrrrr...!”
Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, namun sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggiran perahu.
“He, kenapa Si Ang-kwi...?” Orang-orang berteriak.
“Keparat, kau berani pukul aku?” teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
“Siapa yang pukul?” Kian Lee bertanya, tersenyum.
“Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri, bilang suamiku yang pukul. Tidak tahu malu!” Cui Lan juga berkata.
Teman-teman Ang-kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan melompat tinggi hendak menghajar Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, “Jangan ribut! Lihat di depan itu!”
Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu sedang meluncur dari samping menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu bersorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu.
“Ha, itu perahu kita sendiri!”
“Lebih enak dari pada perahu sempit ini!”
“Kita pindah saja!”
“Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!” kata Ang-kwai.
Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, dan atas isyarat Kian Lee cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di depan bilik menjaga!
Setelah tiga buah perahu itu berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermunculan wanita-wanita cantik yang lantas menyambut mereka dengan pedang di tangan!
“Heiii...“
“Celaka...!”
“Kita terjebak!”
“Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!” teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, dengan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiam-nya.
Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu bukan lain adalah Kim-hi Niocu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggota Hek-eng-pang menjadi korban pembajakan anak buah Huang-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka kini menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pembantunya!
Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk menghadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kian Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dorongan-dorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam air!
Sementara itu pertandingan berlangsung dengan seru. Ternyata bahwa para anggota bajak itu tidak kuat menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang terlempar ke sungai dan mereka yang telah terlempar ini tidak mampu mengganggu perahu-perahu itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan terus menyerang mereka. Kiranya permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tak kalah oleh para anggota bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu adalah anggota-anggota Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik untuk berkelahi di air!
Sekarang hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui keunggulan kakek ini. Biar pun tadi dia dibantu oleh empat orang anggotanya, namun empat orang itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Niocu terus terdesak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.
“Pangcu... harap bantu...!” Akhirnya Kim-hi Niocu menjerit.
Tersingkaplah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik tampak. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing.
“Ehmm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul di sini?” tanya nenek itu sambil memandang dan menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik.
Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih terus dikejar oleh wanita-wanita itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan walau pun belum pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak.
“Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?”
Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk. “Engkau memang lagi berhadapan dengan Yang-liu Nio-nio!” katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.
“Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kang-ouw dan liok-lim?”
“Bajak tua, kau masih belum menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali barulah aku mau mengampuni nyawa tikusmu!”
Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan perbuatan lancang, berani mengganggu anggota Hek-eng-pang yang berarti mengganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan minta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.
“Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!” bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat, mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
“Plak-tak-tak-takkk!” Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu!
Huang-ho Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah tersudut, dia berlaku nekat. Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring ia menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.
“Trak-trak-desssss...!”
Cepat sekali gerakan ranting yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir bibirnya.
“Hemmm, kami sudah membunuh delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Empat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!” Kaki nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air!
Para anggota Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur ketujuh orang pembantu Huangho Lo-cia, sekarang tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang karena terluka, dengan susah payah berenang ke tepi menyusul anak buahnya.
“Pangcu, di perahu itu terdapat seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,” Kim-hi Niocu berkata sambil jarinya menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang perahu itu.
Tadi Kim-hi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Niocu terkejut dan jeri, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah mengalahkan kepala bajak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.
“Ehhh...?!” Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee.
Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-eng-pang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka ia bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap tenang.
Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanyalah seorang kakek nelayan, seorang nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan kini bersembunyi di dalam bilik perahu, hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang, dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggota bajak dan bahwa mungkin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah.
“Nelayan, apakah ini perahumu?” tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang itu adalah orang-orang biasa saja.
“Benar,” jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut dan minta ampun kepadanya.
“Kami bukan perampok atau pun bajak,” kata si nenek lagi, “Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari kau antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya.”
Kian Lee maklum bahwa biar pun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata, “Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami sudah menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian jangan mengganggu kami.”
Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apa lagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu akan amat merendahkan dirinya.
“Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?”
Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapa pun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng kepala.
Nenek itu mulai penasaran. “Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!” Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya.
“Plak!” Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main.
Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan muda ini telah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada ‘isinya’ juga pemuda ini, pikirnya. Tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanyalah seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.
“Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!”
Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan dia pun cepat mendorongkan tangannya memapaki.
“Desss...! Eihhhhh...!” Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya terjengkang.
Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian. Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda!
Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, “Bocah, kau sudah bosan hidup!”
Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee. Pemuda itu segera mengelak, maklum bahwa meski pun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh.
Lima kali berturut-turut sinar hijau itu terus menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Mendadak tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya oleh karena dia sekarang benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.
“Desssss...!”
Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.
“Sssss... siapa engkau...?” tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran kenapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.
“Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,” katanya.
Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Niocu segera mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk para anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.
“He-heh-heh, orang muda yang aneh!” Hek-eng-pangcu berkata. “Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!” Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
“Tahan!” Kian Lee terpaksa berseru.
Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai berenang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat juga dan amat membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin.
“Baiklah, aku menyerah.”
“Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!” Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang sudah dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.
Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja.
Cui Lan dan Hok-taijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapa pun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggota Hek-eng-pang, dipimpin oleh Kim-hi Niocu sendiri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.
“Mari berangkat!” Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya.
Kim-hi Niocu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini!
Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam dan basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya itu. Melihat ini, Kim-hi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu kini berada di perahu lain, maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.
“Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu.”
“Isteri? Dia bukan isteriku,” jawab Kian Lee.
Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.
“Ahhh...!” Kim-hi Niocu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya kagum.
“Dan kakek itu?”
Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menjawab cepat, “Dia adalah sahabatku, sedang gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian.”
“Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi...!”
Kian Lee tersenyum mengejek. “Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!”
Kim-hi Niocu tertawa kecil, menutupi mulut dengan gaya genit. “Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hi-hi-hik. Ehh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?”
“Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku.”
“Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?” Kim-hi Niocu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.
“Hemmm, engkau sebut saja aku si Nelayan,” kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.
“Ehh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!”
Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Niocu yang jelas amat tertarik kepadanya.
Pelayaran itu makan waktu cukup lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Niocu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu, maka dia pun sama sekali tidak berani menggunakan paksaan.
Semua orang mendarat dan beberapa orang anggota Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Niocu lalu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang.
Nenek itu sekarang menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata, “Orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara.” Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.
“Tapi, Pangcu...!” Kian Lee membantah.
Kim-hi Niocu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee, “Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apa lagi beliau mengundangmu secara baik-baik sebagai seorang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini.”
Karena Cui Lan dan Hok-taijin ditodong, maka terpaksa Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggotanya terdiri dari wanita-wanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.
Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di sekitar kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li.
Tiba di lereng bukit mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-eng-pang itu sungguh pun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggotanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.
Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang berupa sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata, “Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.”
Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin. “Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!” perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam, tentu saja di bawah todongan pedangnya.
Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk, maka cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir.
Setelah dua orang itu ‘disimpan’, nenek itu sendiri kemudian mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggota mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.
“Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimana pun saya tidak suka makan minum,” kata Kian Lee.
“Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan rasa setia kawan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu.”
Tiba-tiba seorang anggota Hek-eng-pang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu.
“Siapa dia? Liong-li, kau lihat siapa dia dan apa niatnya!”
Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama keempat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggota yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik, “Pangcu, dia... dia itu yang datang... Si Jari Maut.“
“Ahhh...? Persilakan dia masuk!” katanya dengan wajah berubah.
Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Niocu dan Liong-li tentang seorang pemuda lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.
“Aku sudah di sini, Pangcu!” Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas.
Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Saudara Ang..., kau di sini...?”
Tentu saja Kian Lee menegur dengan perasaan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, juga bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suheng-nya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.
Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li ketika ia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liong-pang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es!
Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Han si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat akan pesan ibunya yang kini telah tewas dengan cara yang menyedihkan sekali, walau pun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee.
Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?
“Aihhh... Ji-wi (Anda Berdua) sudah saling mengenal?” Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!
Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, “Siapa yang tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian cari-cari itu?”
Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis segera mereka bergerak mengepung Kian Lee.
“Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao? Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu. Kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!” Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan salah seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.
Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum dan duduk di atas sebuah kursi sambil minum arak dan bersikap sebagai orang yang sedang menonton dan menikmati pertunjukan yang menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee.
Pertama, dia ingat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Kedua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ketiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Keempat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.
“Apakah artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!” teriaknya penasaran melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.
“Tidak perlu menyangkal lagi, orang muda. Engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka Jenderal Kao, tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah bisa membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan.”
Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andai kata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat. “Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagai mana? Silakan!”
Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Niocu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!
“Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!” Kian Lee membentak. “Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!”
Kembali kelima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran kedua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang.
Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, ia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.
“Seranggggg...!” Terdengar teriakan nenek itu.
Lingkaran dalam itu segera menghentikan gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri atau belakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas.
Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran kedua yang maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun!
Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi.
Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mukjijat, daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, hanya membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa.
“Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” Kata-katanya ini disusul dengan gerakan tubuhnya.
Kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang langsung terjengkang roboh. Senjata mereka terpental dan mencelat ke mana-mana sehingga menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai.
Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang anggota Hek-eng-pang itu mundur ketakutan, barisan mereka telah rusak dan biar pun tidak ada di antara mereka yang tewas, namun semuanya telah dibikin takut dan kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda itu, hawa pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk membuyarkan lingkaran yang dengan ketat mengurungnya, Kian Lee sudah menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang yang panas.
Tentu saja kelima orang kepala pasukan itu menjadi kaget setengah mati menyaksikan betapa enam puluh orang anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu bahwa pemuda itu memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat, mereka berlima menemani guru mereka mengurung Kian Lee.
Sekarang pemuda itu dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nio-nio ketua Hek-eng-pang dan lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan itu. Jumlah murid langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang lima ini merupakan murid-murid utama, maka tentu saja mereka berlima telah memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau kelima orang muridnya itu masing-masing memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si nenek itu sendiri hanya membawa sebatang ranting yang-liu tadi karena memang itulah senjatanya yang paling ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda Hitam yang mengandung racun berbahaya.
“Bentuk barisan mengepung! Jaga dua orang itu agar jangan lolos!” Tiba-tiba nenek itu berseru kepada semua anak buahnya yang kocar-kocir tadi.
Biar pun takut-takut, enam puluh orang itu sudah berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung ruangan itu. Beberapa orang murid ketua itu sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan Hok-taijin agar supaya tidak kabur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang tawanan ini.
“Hek-eng-pangcu, engkau sungguh keterlaluan!” Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah bergerak menyerang ke depan.
Yang-liu Nio-nio lalu menggerakkan rantingnya dan kelima orang muridnya juga sudah menubruk dengan serangan dalam berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis kemudian balas menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan ramai…..
Komentar
Posting Komentar