JODOH RAJAWALI : JILID-11
Ternyata orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik, dan sebelum melakukan
penculikan, sebagian di antara mereka telah mengatur ‘jalan lari’ untuk
kawan-kawannya. Sekarang, mereka mengikuti jalan yang mereka buat, dan
dipimpin oleh Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-liu Nionio, mereka
berserabutan memasuki taman melalui jalan yang sudah direncanakan
semula.
“Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian?” Hak Im Cu mengejar dan tosu ini paling cepat larinya karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.
“Liong-li, bawa dia ini!” Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nionio menyambut serangan pedang Hak Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.
“Singgg... trakkkkk!” Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.
Sementara itu, melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan lain, para pengawal cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di antara semak-semak. Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar.
“Blarrrrr...!”
Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana sini oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau itu.
Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nionio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nionio mengajak anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman.
“Keparat jangan lari!” Hak Im Cu memaki dan mengejar.
Akan tetapi tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan harus mengambil jalan memutar. Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar.
Wanita-wanita itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan kawannya tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu saja ini pun buatan para anggota Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.
Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-gerakan yang sangat ringan mereka meloncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana?” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar bersorban yang bukan lain adalah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi!
“Liong-li, lari...!” Yang-liu Nionio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu.
Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.
Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang Nepal itu, oleh karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali pengantin wanita yang terculik. Maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedangkan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.
Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari tembok, Yang-liu Nionio cepat mendesak kakek Nepal dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika kakek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauw-kang yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar hawa dahsyat sekali.
“Ehhhhh...!” Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap.
Karena malam itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak seberapa besar, maka kakek Nepal yang hanya menjadi tamu ini tak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa mengejar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan sikap amat berhati-hati.
Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggota Liong-sim-pang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan kedua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu, pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri…..
********************
Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggota Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan dari Hek-eng-pang dikarenakan Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya, dalam pertandingan melawan Tek Hoat dia dikeroyok dan roboh pingsan.
Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat orang wanita anggota Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia lalu bangkit duduk dan siap untuk mengamuk. Akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan langsung berkata, “Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak, terpaksa kedua orang kawanmu itu kami bunuh!”
Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk kemudian berkata, “Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dariku?” Dia memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, “Mana ketua kalian itu? Dan mana pula Tek Hoat? Suruh mereka bicara dengan aku!”
“Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja semuanya, Suma-kongcu. Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pemuda yang dikenal pula sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu? Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu itu, yang agaknya adalah... ehhh, kekasihmu.“
“Jangan bicara sembarangan!” Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah.
Dia tahu betapa lembut dan halus perasaan Phang Cui Lan, dan betapa dara itu masih mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!
“Maaf, Kongcu. Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja. Di mana adanya harta itu dan supaya dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawanmu.”
“Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!” Kian Lee berkata dengan nada menyesal. ”Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apa lagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi?”
Wanita cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu dia menarik napas panjang dan berkata, “Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Mengapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri?”
Kian Lee menahan kesabarannya. “Aku memang mempunyai saudara yang kini sedang kucari-cari, tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau menjelaskan atau tidak terserah!”
Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, “Kami mendengar bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu kemudian memerintah kami untuk menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak pihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami. Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang selalu menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami mendengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga pihak Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao.”
“Hemmm, dan di mana adanya keluarga Kao sendiri?”
Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. “Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu dirampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan harta itu kepada kami sebagai penukaran diri dua orang kawanmu.”
Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan kedua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun sudah mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, kini telah berubah menjadi garong! Apa lagi menjadi penculik!
Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi sebelum dapat mencari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok.
Ahh, betapa banyaknya hal yang masih harus dia kerjakan, betapa banyaknya halangan dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa!
“Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian,” akhirnya dia berkata. “Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini,” hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang.
Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu musuh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ.
Pihak Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggota Hek-eng-pang ini lemah semangatnya. Akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!
Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, tetapi langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya, yaitu wanita-wanita anggota Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong mereka telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.
Ketika melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Tetapi, gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan perahu-perahu melanjutkan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di sepanjang pantai sungai.
Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus menerus membayanginya. Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan perahu-perahu itu berhenti mendarat. Namun tidak semua anggota Kui-liong-pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gubernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan orang di belakangnya.
“Ehh, inilah dia pemuda itu!”
Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan guci araknya! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka.
Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andai kata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman dari pada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang-orang lembah itu belum tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan.
Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah berjarak cukup jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan mereka dan mengambil putusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan halus, “Omitohud...! Tahan senjata... pinni hendak bicara...!”
Semua orang menengok ke arah datangnya suara itu dan muncullah seorang nikouw (pendeta wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan Ciu-lo-mo dengan suara nyaring, “Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang?”
Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata, “Harap Lo-suthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, yaitu Gubernur Ho-nan!” Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan gubernur.
Akan tetapi sungguh celaka. Ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan. “Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan? Apa yang terjadi dengan dia?”
Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apa lagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, yaitu gadis pelayan istana gubernur yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan.
“Hemmm... nikouw tua...,“ katanya, kini berkurang nada hormatnya. “Apa maksudmu menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu?”
Nikouw itu makin marah. “Kau ini siapa? Dan apa kedudukanmu di gubernuran?”
Ditanya demikian, Wan Lok It menepuk dadanya. “Belum mengenal aku? Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It. Aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa maksudmu menanyakan gadis itu?”
“Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur untuk mencelakai gadis itu. Pinni telah mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orangnya gubernur, bahkan hendak membunuhnya. Benarkah begitu?”
“Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi? Kalau kau berani melindunginya, engkau juga akan celaka!”
“Omitohud, sungguh berani mati! Ehhh, Setan Arak, Nona Phang itu adalah seorang sahabat pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau? Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!”
Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu memiliki banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang, juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan juga semua kawan kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya orang yang setia kepada pendekar itu, dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua yang menimbulkan rasa hormat ini.
Namun orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang-orang jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri. Tetapi dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apa lagi yang muncul hanya seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras bernada mengancam terhadap gubernur beserta kaki tangannya!
“Ehhh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki tangan pengkhianat!”
“Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kau tangkap pinni!” jawab nikouw itu.
“Bagus! Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak menghormat seorang pendeta wanita tua!” Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw itu.
“Trang-trang-tringgggg...!”
Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas. Ternyata serangan balasan nikouw itu pun kuat sekali hingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok.
“Sungguh tidak tahu malu!” Kian Lee membentak dan pemuda ini telah melompat maju, mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.
Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal pengawal pilihan dari gubernuran, hatinya lantas menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya nikouw itu bersama si pemuda yang lihai, tentu saja dia dan kawan kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman teman yang terluka.
Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum kemudian berkata memuji, “Omitohud! Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni sudah berani mengkhawatirkan keselamatan Kongcu. Sungguh menggelikan!”
Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, “Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Kini saya pun sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat.”
“Ohhhhh... begitukah? Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia?”
“Marilah kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona Phang dan seorang... paman dibawa di dalam salah sebuah di antara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan kepada Suthai tentang pertemuan antara kami.”
Kian Lee dan nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan perjalanan cepat-cepat hingga tidak nampak lagi. Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai.
Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan singkat dia lalu bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.
“Ahhh... kiranya Kongcu yang ditolong itu? Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari mereka itulah pinni jadi tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka sekarang pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.”
”Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil?” Kian Lee bertanya.
“Siapa lagi?” Nenek itu mengangguk. “Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan.”
“Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang, sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu sempat pergi.”
Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian. ”Ahhh, kalau begitu Kongcu telah banyak membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka bolehlah dibilang Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu.
“Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu? Siapa namanya dan dia datang dari mana?”
Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan biasa saja, dia menjawab, “Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo, pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang.” Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian Lee.
“Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan berkenalan,” katanya.
“Hemmm, tidak mudah!” Nikouw itu menggelengkan kepala dan mereka melanjutkan perjalanan. “Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, mungkin sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang bertemu.”
Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tak mau lagi bicara tentang Siluman Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Akan tetapi mereka terus mengejar dengan cepat sekali.
Hari telah sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu.
Terdengar suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter! Air yang menghantam batu batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah mereka berdiri di atas awan.
Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok seperti benteng yang berdiri di tanah datar itu.
“Ahh, ada perkampungan di sana!” Nikouw itu berkata.
“Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau pun Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang.”
“Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-ho,” nikouw itu berkata heran.
“Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho, maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah menduga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang dan Paman Hok.”
“Siapa Paman Hok itu?”
Kian Lee tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, “Seorang pekerja di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri.”
“Kita harus dapat turun ke sana untuk menyelidiki,” kata Liang Wi Nikouw.
“Memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana?”
Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu satunya menuju ke perkampungan di bawah sana itu hanya menuruni tebing curam itu!
“Nona Phang harus ditolong!” kata si nikouw tua. “Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke sana.”
Kian Lee mengangguk. “Tebing ini biar pun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat. Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita sedang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan diri? Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun.”
Nikouw itu mengangguk-angguk. “Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai gelap.”
Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti sampai matahari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw sudah duduk bersila dan tidak lama kemudian tenggelam dalam semedhi.
Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat-cepat Kian Lee menyambar lengan nikouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan mengintai dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan sebuah pintu rahasia!
Terdengar suara orang dan muncullah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek. Orang ini sikapnya tenang dan angkuh, tanda bahwa ia adalah orang yang memiliki kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah.
Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu dengan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilakan kakek bertubuh kecil pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tempat itu.
“Ji-pangcu (Ketua kedua), apakah para tamu sudah akan datang?” seorang yang duduk paling dekat bertanya.
Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, seperti merenung jauh. “Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus bersiap-siap menyambutnya di sini.”
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar sambil mendekam, mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak akan sembarangan turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan ‘paman’ Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.
Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu bangkit berdiri, kemudian dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua yang pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia makin berhati-hati.
Terdengar kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, muncullah seorang kakek yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu.
Setelah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata dengan hormat, “Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!”
Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang kakek kecil pendek dengan penuh perhatian, kemudian tertawa, “Ha-ha-ha, biar pun baru sekarang saling berjumpa, tetapi kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami?”
Kakek pendek kecil itu pun lalu tertawa. “Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!”
Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu, diantar oleh salah seorang di antara dua belas anak buah yang berjaga di luar pintu terowongan itu.
Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi karena dia sudah menjadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah... ikan yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan harga rendah! Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya.
Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam hal memberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti sedikit uang lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan.
Kian Lee dan nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudian, kembali terdengar suitan nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu. Muncullah rombongan kedua dan rombongan ini terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, demikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu, semuanya menggunakan ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali!
Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba merah muda yang mentereng dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua.
Melihat gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. “Selamat datang, Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)?”
Nona itu tersenyum manis dan menjura. “Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka mengutus aku untuk mewakilinya.” Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.
Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore dan langsung menjadi pengganti dari matahari sehingga meski pun cuaca tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana hingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya.
Tidak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya dan ternyata pendatang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang dengan perahu-perahu mereka.
Kemudian, sampai lama tidak ada lagi tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya kini semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang banyaknya bukan main.
Tiba-tiba terdengar suara riak air dan muncullah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan terdiri dari dua warna, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, bagai orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas batu karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!
Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Namun sebelum hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun dari atas dan hampir saja pemuda ini berseru saking herannya. Dia mengenal benda itu, yang sama dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee sebagai seekor burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya! Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.
“Kau boleh pergi!” Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih tetap melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan, lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong!
Dengan gerakan sembarangan gadis itu melayang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan melingkar-lingkar. Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguh pun besarnya hanya sebesar ibu jari kaki.
Gadis itu menengok ke kanan kiri dan pada saat sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan berbisik lirih, “Ahhh... dia...?”
Liang Wi Nikouw berbisik, “Engkau kenal padanya, Kongcu?”
“Tidak... ehh, rasanya sudah pernah melihatnya...“
“Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng belaka.”
Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa... cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee bergidik ngeri.
Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu, agaknya tidak mempedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, dan dia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup kemudian menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang sedang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu.
“Plakkk! Ahhhhh...!”
Khiu-pangcu terkejut karena mendadak saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yang diserahkan oleh kakek itu.
Kini kakek yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang terowongan, namun ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang!
“Ah, aku yang datang lebih dulu!” Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik sehingga menutupi lubang.
“Brakkkkk!”
Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah berantakan! Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang langsung menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan atau mengelak, melainkan menyambut dengan kepalanya!
“Dukkk!” Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan lalu mencelat ke kiri, jauh sekali dan pecah berhamburan menimpa batu karang lain!
“Huhh, hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!” Gadis itu sudah melangkah maju dan kakek itu pun dengan marah sudah siap menandinginya.
“Bocah tak tahu aturan!” bentaknya.
Khiu-pangcu cepat-cepat melerai di antara mereka dan segera menjura. “Harap Ji-wi suka menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, harap saudara suka mengalah.”
Biar pun hatinya masih penasaran, tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, namun matanya masih bersinar marah. “Silakan, Nona,” kata Khiu-pangcu.
Sambil mendengus dan mengerling ke arah rombongan perahu itu, tak lupa tersenyum mengejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang.
“Sombong..., dasar bocah sombong...!” Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru sekarang menerima perlakuan yang tidak menghormat, bersungut-sungut akan tetapi akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya.
Melihat sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri, kemudian dia telah diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis cilik yang jenaka dan cerdik. Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa, akan tetapi masih saja belum hilang sifatnya seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun dia harus mengakui bahwa gadis itu sekarang sangat lihai. Pukulannya yang menghancurkan batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan.
Kini agaknya para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-pangcu karena buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowongan sambil meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat.
“Kalau kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup pintu terowongan,” demikian pesan pangcu kedua dari Huang-ho Kui-liong-pang itu kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang.
“Baik, jangan khawatir, Ji-pangcu!” jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah lucu sekali. Agaknya si kumis panjang ini adalah kepala regu penjaga itu.
Kian Lee melihat kesempatan baik ini, kemudian berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu yang mengangguk-angguk. Kian Lee lalu mengambil beberapa butir batu kerikil kecil dan menggunakan jari tangannya menyentil sebutir batu kerikil ke arah siku seorang penjaga yang berdiri dekat kepala regu kumis panjang itu, pada saat si kumis panjang sedang membetulkan sepatunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan.
“Plakkk!” Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan mengenai kepala si kumis panjang.
“Eh, setan! Kau berani menempiling kepalaku, hehh?” Si penjaga tak dapat menjawab karena dia sendiri tidak mengerti mengapa tangannya secara tiba-tiba tanpa dapat dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya.
“Plokkkkk!”
Pipi yang digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok, penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian. Ternyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil lain yang mengenai sambungan lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan.
“Ngekkkk...!” Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam selangkangan si kepala penjaga berkumis panjang.
“Aduhhhhh...!” Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap selangkangannya dan meringis kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tangan kanannya secara serabutan memukuli penjaga itu.
Seorang penjaga lain yang menyaksikan perkelahian ini cepat meloncat untuk melerai. Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai punggungnya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dia kehilangan tenaganya dan tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah.
“Bresssss...!”
“Ehh, keparat...! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!” Kepala penjaga itu kini menjadi marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya.
Kacau-balau di depan pintu terowongan itu. Semua penjaga berusaha menenangkan si kepala penjaga yang mereka sangka kemasukan roh jahat! Dan karena keributan ini, mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat gerakannya telah berkelebat menyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu tanpa memperlihatkan kartu undangan!
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw berjalan memasuki terowongan dengan cepat, namun dengan hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang dinding terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan. Penjaga pertama yang mendengar ada keributan di luar, lupa akan tugasnya memeriksa kartu undangan.
“Apakah yang terjadi di luar?” tanyanya.
“Di luar ada pemberontakan. Cepat saudara ke luar!” kata Kian Lee.
Penjaga itu terkejut dan cepat berlari ke luar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus saja berjalan masuk. Kepada penjaga kedua dan ketiga, Kian Lee berhasil menarik perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas berlari keluar menyeret tombak mereka.
Akan tetapi penjaga keempat yang berada di sebuah tikungan, menghardik, “Harap Ji-wi perlihatkan kartu undangan Ji-wi!” Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal berjaga terus di situ, maka biar pun sikapnya masih menghormat namun suaranya sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu.
Kian Lee pura-pura merogoh saku dan mendekati penjaga itu. Tangannya keluar dari saku bukan untuk menyerahkan kartu undangan, melainkan untuk bergerak cepat sekali menotok sehingga penjaga itu roboh sebelum sempat berteriak. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus masuk makin dalam dan kini para penjaga makin berkurang, jarak penjaga makin jauh sehingga mudah bagi Kian Lee untuk merobohkan setiap orang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya.
Akhirnya mereka keluar dari terowongan dan tiba di tempat terbuka, di lembah itu yang ternyata penuh dengan bangunan rumah-rumah yang dibagi menjadi dua kelompok, dipisahkan oleh sebuah lapangan yang luas yang terletak di tengah-tengah. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw menyelinap di antara bangunan-bangunan itu sambil memeriksa keadaan dengan hati-hati sekali. Dengan isyarat tangannya, Kian Lee mengajak nikouw tua itu untuk meloncat naik ke atas wuwungan sebuah bangunan besar dan dari atas wuwungan ini mereka mengintai. Sinar bulan cukup terang sehingga mereka dapat meneliti keadaan di lembah itu.
Kelompok bangunan di sebelah kiri terdiri dari rumah-rumah biasa dengan kebun-kebun yang rimbun dan subur, di mana selain terdapat banyak pohon-pohon yang berbuah, juga terdapat sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Akan tetapi kelompok kedua yang berada di sebelah kanan itu sangat aneh bentuknya. Rumah-rumah di kelompok ini bangunannya seperti tempurung yang tertelungkup dan tidak nampak pintu atau jendela biasa, hanya kelihatan sebuah lubang yang agaknya merupakan pintu. Anehnya, di sekitar rumah-rumah luar biasa ini tidak terdapat sebatang pun pohon atau tumbuh tumbuhan. Bahkan tanahnya kelihatan putih kering ditimpa sinar bulan, retak-retak seperti tanah kapur.
Dari wuwungan itu nampak para tamu berkumpul di lapangan, yaitu lapangan luas di antara dua kelompok rumah itu. Selain penerangan yang didapat dari sinar bulan, juga di situ dipasangi banyak lampu dan lentera besar sehingga cuaca cukup terang. Para tamu yang banyak juga jumlahnya telah berkumpul di situ, duduk di kursi yang diatur menjadi lingkaran besar yang ke semuanya menghadap ke tengah lapangan di mana terdapat semacam panggung yang menjadi tempat duduk pihak tuan rumah dan para tamu kehormatan.
Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia tidak menemukan Cui Lan dan Hok-taijin di antara para tamu. Kembali dia memandang ke arah panggung dan melihat Khiu-pangcu dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya. Banyak orang aneh di situ, di antaranya terdapat seorang yang bertubuh tinggi tegap, usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, kulitnya gelap coklat, hidungnya mancung agak melengkung dan matanya cekung ke dalam, alisnya tebal, dan jelas bahwa dia bukanlah orang Han asli, melainkan ada miripnya dengan orang India.
Di belakangnya duduk banyak pengawalnya, rata-rata bertubuh tinggi dan lengannya berbulu. Kian Lee menduga bahwa mereka ini tentu orang-orang Nepal, melihat dari pakaian dan juga sorban mereka. Hanya orang muda berpakaian indah di depan itulah yang tidak bersorban. Selain mereka, masih banyak terdapat orang-orang aneh yang dilihatnya tadi memasuki terowongan.
Dengan hati-hati Kian Lee lalu mengajak Liang Wi Nikouw turun dan mempergunakan kesempatan selagi para tamu masih hilir-mudik karena agaknya pertemuan itu belum dimulai, untuk menyelinap masuk di antara para tamu dan memilih tempat duduk di bagian para tamu perorangan yang tidak merupakan rombongan. Dengan demikian, maka mereka bercampur dengan tamu-tamu yang tidak saling mengenal sehingga mereka pun tidak menarik perhatian, sungguh pun ada beberapa orang di antara mereka yang memandang ke arah Liang Wi Nikouw dengan curiga.
Namun Liang Wi Nikouw yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia menghadiri pertemuan orang-orang dari golongan hitam, maka sengaja dia tersenyum-senyum dan ‘memasang’ muka bengis, sehingga semua orang menduga bahwa dia pun seorang anggota kaum sesat yang bersembunyi di balik kedok nikouw! Dia dan Kian Lee lalu menanti dengan hati berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi dan mengapa demikian banyaknya tokoh-tokoh lihai dari golongan hitam berkumpul di situ.
Akan tetapi yang dicari-cari oleh Kian Lee sejak tadi adalah Cui Lan dan Hok-taijin dan selagi dia menduga-duga di mana kiranya dua orang itu ditahan, tiba-tiba terdengar bunyi canang dipukul di tengah-tengah lapangan itu. Semua orang memperhatikan ke tengah lapangan karena bunyi canang itu menandakan bahwa pertemuan mulai dibuka.
Bulan bersinar terang tanpa halangan awan, menimpa muka semua tamu yang diangkat memandang ke arah panggung untuk menanti siapa yang akan muncul sebagai pembuka acara dan terutama sekali untuk melihat wajah tuan rumah. Tiada seorang pun di antara para tamu itu yang pernah bertemu dengan ketua Huang-ho Kui-liong-pang, sungguh pun mereka semua telah mendengar bahwa ketua itu adalah seorang yang luar biasa lihainya, seorang aneh yang baru kurang lebih dua tahun ini menjadi ketua Kui-liong-pang.
Tadinya, ketua dari Kui-liong-pang adalah Khiu-pangcu itulah. Akan tetapi semenjak munculnya tokoh aneh yang berilmu tinggi itu bersama belasan orang anak buahnya yang rata-rata juga berilmu tinggi, Khiu Sek lalu menggabungkan diri dan tokoh luar biasa itu diangkat menjadi ketua pertama sedangkan dia sendiri cukup puas menjadi ketua kedua saja. Maka kini semua tamu ingin sekali melihat bagaimana macamnya ketua yang kabarnya merupakan seorang tokoh luar biasa itu.
Tetapi ternyata yang bangkit berdiri dari kursinya dan kini berjalan ke tengah panggung adalah Khiu Sek atau Khiu-pangcu sendiri. Setelah menjura keempat penjuru, memberi hormat kepada semua tamu kehormatan yang duduk di panggung, Khiu-pangcu lalu berkata, “Cu-wi sekalian yang terhormat. Pertama-tama atas nama pangcu kami dan seluruh perkumpulan Kui-liong-pang, kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cu-wi sekalian. Sebelum maksud undangan kami kepada Cu-wi kami bentangkan secara jelas, lebih dahulu kami ingin memperkenalkan perkumpulan kami kepada Cu-wi.”
Selanjutnya, dengan suara lantang Khiu-pangcu lalu memperkenalkan perkumpulannya, betapa dua tahun yang lalu perkumpulannya menjadi makin kuat setelah memperoleh seorang ketua baru yang amat sakti. Betapa kemudian rombongan dari Gunung Cemara, perkumpulan wanita Hek-eng-pang menjadi iri dan timbul bentrokan di antara mereka sehingga terjadi pertempuran besar.
“Karena munculnya seorang tokoh rahasia yang hanya kami kenal dengan sebutan Siluman Kecil, pertempuran itu dapat dihentikan dan ketua kami berkenan mengampuni Hek-eng-pang. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka kembali mencari gara-gara dengan mencoba untuk merebut mangsa kami, yaitu harta pusaka dari keluarga Jenderal Kao Liang yang mengundurkan diri.” Kembali Khiu Sek menceritakan lagi semua peristiwa mengenai perebutan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu.
“Gara-gara ikut campurnya pihak Hek-eng-pang yang hendak merebut mangsa kami, maka semua usaha menjadi gagal dan baru-baru ini kami telah mengirim pasukan untuk menghukum Hek-eng-pang dan membakar tempat mereka! Betapa pun juga, mangsa kami itu telah lolos dan harta pusaka itu lenyap tanpa bekas. Kami dan Hek-eng-pang yang bentrok sendiri tidak ada yang mendapatkannya.”
“Hi-hi-hik!” Suara tertawa merdu seorang wanita itu memecahkan kesunyian sehingga terdengar jelas sekali.
Semua orang menengok ke arah suara ini, juga Khiu-pangcu dengan alis berkerut menoleh ke arah gadis cantik jelita yang berpakaian serba merah muda itu, karena yang tertawa adalah gadis cantik ini. Biar pun dia sudah tidak tertawa lagi, akan tetapi gadis ini masih menutupi mulutnya dengan tangan, dan matanya berseri menahan kegelian hatinya…..
“Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian?” Hak Im Cu mengejar dan tosu ini paling cepat larinya karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.
“Liong-li, bawa dia ini!” Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nionio menyambut serangan pedang Hak Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.
“Singgg... trakkkkk!” Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.
Sementara itu, melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan lain, para pengawal cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di antara semak-semak. Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar.
“Blarrrrr...!”
Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana sini oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau itu.
Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nionio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nionio mengajak anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman.
“Keparat jangan lari!” Hak Im Cu memaki dan mengejar.
Akan tetapi tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan harus mengambil jalan memutar. Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar.
Wanita-wanita itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan kawannya tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu saja ini pun buatan para anggota Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.
Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-gerakan yang sangat ringan mereka meloncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana?” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar bersorban yang bukan lain adalah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi!
“Liong-li, lari...!” Yang-liu Nionio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu.
Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.
Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang Nepal itu, oleh karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali pengantin wanita yang terculik. Maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedangkan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.
Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari tembok, Yang-liu Nionio cepat mendesak kakek Nepal dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika kakek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauw-kang yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar hawa dahsyat sekali.
“Ehhhhh...!” Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap.
Karena malam itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak seberapa besar, maka kakek Nepal yang hanya menjadi tamu ini tak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa mengejar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan sikap amat berhati-hati.
Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggota Liong-sim-pang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan kedua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu, pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri…..
********************
Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggota Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan dari Hek-eng-pang dikarenakan Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya, dalam pertandingan melawan Tek Hoat dia dikeroyok dan roboh pingsan.
Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat orang wanita anggota Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia lalu bangkit duduk dan siap untuk mengamuk. Akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan langsung berkata, “Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak, terpaksa kedua orang kawanmu itu kami bunuh!”
Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk kemudian berkata, “Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dariku?” Dia memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, “Mana ketua kalian itu? Dan mana pula Tek Hoat? Suruh mereka bicara dengan aku!”
“Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja semuanya, Suma-kongcu. Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pemuda yang dikenal pula sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu? Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu itu, yang agaknya adalah... ehhh, kekasihmu.“
“Jangan bicara sembarangan!” Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah.
Dia tahu betapa lembut dan halus perasaan Phang Cui Lan, dan betapa dara itu masih mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!
“Maaf, Kongcu. Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja. Di mana adanya harta itu dan supaya dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawanmu.”
“Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!” Kian Lee berkata dengan nada menyesal. ”Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apa lagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi?”
Wanita cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu dia menarik napas panjang dan berkata, “Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Mengapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri?”
Kian Lee menahan kesabarannya. “Aku memang mempunyai saudara yang kini sedang kucari-cari, tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau menjelaskan atau tidak terserah!”
Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, “Kami mendengar bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu kemudian memerintah kami untuk menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak pihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami. Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang selalu menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami mendengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga pihak Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao.”
“Hemmm, dan di mana adanya keluarga Kao sendiri?”
Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. “Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu dirampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan harta itu kepada kami sebagai penukaran diri dua orang kawanmu.”
Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan kedua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun sudah mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, kini telah berubah menjadi garong! Apa lagi menjadi penculik!
Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi sebelum dapat mencari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok.
Ahh, betapa banyaknya hal yang masih harus dia kerjakan, betapa banyaknya halangan dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa!
“Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian,” akhirnya dia berkata. “Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini,” hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang.
Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu musuh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ.
Pihak Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggota Hek-eng-pang ini lemah semangatnya. Akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!
Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, tetapi langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya, yaitu wanita-wanita anggota Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong mereka telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.
Ketika melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Tetapi, gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan perahu-perahu melanjutkan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di sepanjang pantai sungai.
Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus menerus membayanginya. Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan perahu-perahu itu berhenti mendarat. Namun tidak semua anggota Kui-liong-pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gubernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan orang di belakangnya.
“Ehh, inilah dia pemuda itu!”
Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan guci araknya! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka.
Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andai kata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman dari pada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang-orang lembah itu belum tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan.
Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah berjarak cukup jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan mereka dan mengambil putusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan halus, “Omitohud...! Tahan senjata... pinni hendak bicara...!”
Semua orang menengok ke arah datangnya suara itu dan muncullah seorang nikouw (pendeta wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan Ciu-lo-mo dengan suara nyaring, “Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang?”
Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata, “Harap Lo-suthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, yaitu Gubernur Ho-nan!” Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan gubernur.
Akan tetapi sungguh celaka. Ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan. “Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan? Apa yang terjadi dengan dia?”
Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apa lagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, yaitu gadis pelayan istana gubernur yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan.
“Hemmm... nikouw tua...,“ katanya, kini berkurang nada hormatnya. “Apa maksudmu menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu?”
Nikouw itu makin marah. “Kau ini siapa? Dan apa kedudukanmu di gubernuran?”
Ditanya demikian, Wan Lok It menepuk dadanya. “Belum mengenal aku? Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It. Aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa maksudmu menanyakan gadis itu?”
“Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur untuk mencelakai gadis itu. Pinni telah mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orangnya gubernur, bahkan hendak membunuhnya. Benarkah begitu?”
“Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi? Kalau kau berani melindunginya, engkau juga akan celaka!”
“Omitohud, sungguh berani mati! Ehhh, Setan Arak, Nona Phang itu adalah seorang sahabat pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau? Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!”
Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu memiliki banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang, juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan juga semua kawan kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya orang yang setia kepada pendekar itu, dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua yang menimbulkan rasa hormat ini.
Namun orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang-orang jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri. Tetapi dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apa lagi yang muncul hanya seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras bernada mengancam terhadap gubernur beserta kaki tangannya!
“Ehhh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki tangan pengkhianat!”
“Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kau tangkap pinni!” jawab nikouw itu.
“Bagus! Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak menghormat seorang pendeta wanita tua!” Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw itu.
“Trang-trang-tringgggg...!”
Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas. Ternyata serangan balasan nikouw itu pun kuat sekali hingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok.
“Sungguh tidak tahu malu!” Kian Lee membentak dan pemuda ini telah melompat maju, mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.
Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal pengawal pilihan dari gubernuran, hatinya lantas menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya nikouw itu bersama si pemuda yang lihai, tentu saja dia dan kawan kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman teman yang terluka.
Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum kemudian berkata memuji, “Omitohud! Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni sudah berani mengkhawatirkan keselamatan Kongcu. Sungguh menggelikan!”
Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, “Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Kini saya pun sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat.”
“Ohhhhh... begitukah? Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia?”
“Marilah kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona Phang dan seorang... paman dibawa di dalam salah sebuah di antara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan kepada Suthai tentang pertemuan antara kami.”
Kian Lee dan nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan perjalanan cepat-cepat hingga tidak nampak lagi. Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai.
Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan singkat dia lalu bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.
“Ahhh... kiranya Kongcu yang ditolong itu? Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari mereka itulah pinni jadi tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka sekarang pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.”
”Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil?” Kian Lee bertanya.
“Siapa lagi?” Nenek itu mengangguk. “Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan.”
“Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang, sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu sempat pergi.”
Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian. ”Ahhh, kalau begitu Kongcu telah banyak membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka bolehlah dibilang Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu.
“Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu? Siapa namanya dan dia datang dari mana?”
Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan biasa saja, dia menjawab, “Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo, pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang.” Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian Lee.
“Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan berkenalan,” katanya.
“Hemmm, tidak mudah!” Nikouw itu menggelengkan kepala dan mereka melanjutkan perjalanan. “Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, mungkin sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang bertemu.”
Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tak mau lagi bicara tentang Siluman Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Akan tetapi mereka terus mengejar dengan cepat sekali.
Hari telah sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu.
Terdengar suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter! Air yang menghantam batu batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah mereka berdiri di atas awan.
Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok seperti benteng yang berdiri di tanah datar itu.
“Ahh, ada perkampungan di sana!” Nikouw itu berkata.
“Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau pun Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang.”
“Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-ho,” nikouw itu berkata heran.
“Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho, maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah menduga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang dan Paman Hok.”
“Siapa Paman Hok itu?”
Kian Lee tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, “Seorang pekerja di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri.”
“Kita harus dapat turun ke sana untuk menyelidiki,” kata Liang Wi Nikouw.
“Memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana?”
Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu satunya menuju ke perkampungan di bawah sana itu hanya menuruni tebing curam itu!
“Nona Phang harus ditolong!” kata si nikouw tua. “Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke sana.”
Kian Lee mengangguk. “Tebing ini biar pun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat. Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita sedang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan diri? Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun.”
Nikouw itu mengangguk-angguk. “Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai gelap.”
Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti sampai matahari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw sudah duduk bersila dan tidak lama kemudian tenggelam dalam semedhi.
Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat-cepat Kian Lee menyambar lengan nikouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan mengintai dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan sebuah pintu rahasia!
Terdengar suara orang dan muncullah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek. Orang ini sikapnya tenang dan angkuh, tanda bahwa ia adalah orang yang memiliki kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah.
Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu dengan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilakan kakek bertubuh kecil pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tempat itu.
“Ji-pangcu (Ketua kedua), apakah para tamu sudah akan datang?” seorang yang duduk paling dekat bertanya.
Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, seperti merenung jauh. “Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus bersiap-siap menyambutnya di sini.”
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar sambil mendekam, mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak akan sembarangan turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan ‘paman’ Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.
Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu bangkit berdiri, kemudian dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua yang pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia makin berhati-hati.
Terdengar kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, muncullah seorang kakek yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu.
Setelah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata dengan hormat, “Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!”
Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang kakek kecil pendek dengan penuh perhatian, kemudian tertawa, “Ha-ha-ha, biar pun baru sekarang saling berjumpa, tetapi kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami?”
Kakek pendek kecil itu pun lalu tertawa. “Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!”
Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu, diantar oleh salah seorang di antara dua belas anak buah yang berjaga di luar pintu terowongan itu.
Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi karena dia sudah menjadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah... ikan yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan harga rendah! Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya.
Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam hal memberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti sedikit uang lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan.
Kian Lee dan nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudian, kembali terdengar suitan nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu. Muncullah rombongan kedua dan rombongan ini terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, demikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu, semuanya menggunakan ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali!
Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba merah muda yang mentereng dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua.
Melihat gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. “Selamat datang, Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)?”
Nona itu tersenyum manis dan menjura. “Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka mengutus aku untuk mewakilinya.” Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.
Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore dan langsung menjadi pengganti dari matahari sehingga meski pun cuaca tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana hingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya.
Tidak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya dan ternyata pendatang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang dengan perahu-perahu mereka.
Kemudian, sampai lama tidak ada lagi tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya kini semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang banyaknya bukan main.
Tiba-tiba terdengar suara riak air dan muncullah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan terdiri dari dua warna, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, bagai orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas batu karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!
Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Namun sebelum hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun dari atas dan hampir saja pemuda ini berseru saking herannya. Dia mengenal benda itu, yang sama dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee sebagai seekor burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya! Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.
“Kau boleh pergi!” Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih tetap melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan, lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong!
Dengan gerakan sembarangan gadis itu melayang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan melingkar-lingkar. Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguh pun besarnya hanya sebesar ibu jari kaki.
Gadis itu menengok ke kanan kiri dan pada saat sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan berbisik lirih, “Ahhh... dia...?”
Liang Wi Nikouw berbisik, “Engkau kenal padanya, Kongcu?”
“Tidak... ehh, rasanya sudah pernah melihatnya...“
“Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng belaka.”
Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa... cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee bergidik ngeri.
Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu, agaknya tidak mempedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, dan dia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup kemudian menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang sedang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu.
“Plakkk! Ahhhhh...!”
Khiu-pangcu terkejut karena mendadak saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yang diserahkan oleh kakek itu.
Kini kakek yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang terowongan, namun ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang!
“Ah, aku yang datang lebih dulu!” Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik sehingga menutupi lubang.
“Brakkkkk!”
Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah berantakan! Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang langsung menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan atau mengelak, melainkan menyambut dengan kepalanya!
“Dukkk!” Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan lalu mencelat ke kiri, jauh sekali dan pecah berhamburan menimpa batu karang lain!
“Huhh, hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!” Gadis itu sudah melangkah maju dan kakek itu pun dengan marah sudah siap menandinginya.
“Bocah tak tahu aturan!” bentaknya.
Khiu-pangcu cepat-cepat melerai di antara mereka dan segera menjura. “Harap Ji-wi suka menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, harap saudara suka mengalah.”
Biar pun hatinya masih penasaran, tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, namun matanya masih bersinar marah. “Silakan, Nona,” kata Khiu-pangcu.
Sambil mendengus dan mengerling ke arah rombongan perahu itu, tak lupa tersenyum mengejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang.
“Sombong..., dasar bocah sombong...!” Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru sekarang menerima perlakuan yang tidak menghormat, bersungut-sungut akan tetapi akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya.
Melihat sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri, kemudian dia telah diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis cilik yang jenaka dan cerdik. Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa, akan tetapi masih saja belum hilang sifatnya seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun dia harus mengakui bahwa gadis itu sekarang sangat lihai. Pukulannya yang menghancurkan batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan.
Kini agaknya para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-pangcu karena buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowongan sambil meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat.
“Kalau kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup pintu terowongan,” demikian pesan pangcu kedua dari Huang-ho Kui-liong-pang itu kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang.
“Baik, jangan khawatir, Ji-pangcu!” jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah lucu sekali. Agaknya si kumis panjang ini adalah kepala regu penjaga itu.
Kian Lee melihat kesempatan baik ini, kemudian berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu yang mengangguk-angguk. Kian Lee lalu mengambil beberapa butir batu kerikil kecil dan menggunakan jari tangannya menyentil sebutir batu kerikil ke arah siku seorang penjaga yang berdiri dekat kepala regu kumis panjang itu, pada saat si kumis panjang sedang membetulkan sepatunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan.
“Plakkk!” Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan mengenai kepala si kumis panjang.
“Eh, setan! Kau berani menempiling kepalaku, hehh?” Si penjaga tak dapat menjawab karena dia sendiri tidak mengerti mengapa tangannya secara tiba-tiba tanpa dapat dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya.
“Plokkkkk!”
Pipi yang digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok, penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian. Ternyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil lain yang mengenai sambungan lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan.
“Ngekkkk...!” Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam selangkangan si kepala penjaga berkumis panjang.
“Aduhhhhh...!” Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap selangkangannya dan meringis kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tangan kanannya secara serabutan memukuli penjaga itu.
Seorang penjaga lain yang menyaksikan perkelahian ini cepat meloncat untuk melerai. Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai punggungnya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dia kehilangan tenaganya dan tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah.
“Bresssss...!”
“Ehh, keparat...! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!” Kepala penjaga itu kini menjadi marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya.
Kacau-balau di depan pintu terowongan itu. Semua penjaga berusaha menenangkan si kepala penjaga yang mereka sangka kemasukan roh jahat! Dan karena keributan ini, mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat gerakannya telah berkelebat menyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu tanpa memperlihatkan kartu undangan!
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw berjalan memasuki terowongan dengan cepat, namun dengan hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang dinding terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan. Penjaga pertama yang mendengar ada keributan di luar, lupa akan tugasnya memeriksa kartu undangan.
“Apakah yang terjadi di luar?” tanyanya.
“Di luar ada pemberontakan. Cepat saudara ke luar!” kata Kian Lee.
Penjaga itu terkejut dan cepat berlari ke luar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus saja berjalan masuk. Kepada penjaga kedua dan ketiga, Kian Lee berhasil menarik perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas berlari keluar menyeret tombak mereka.
Akan tetapi penjaga keempat yang berada di sebuah tikungan, menghardik, “Harap Ji-wi perlihatkan kartu undangan Ji-wi!” Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal berjaga terus di situ, maka biar pun sikapnya masih menghormat namun suaranya sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu.
Kian Lee pura-pura merogoh saku dan mendekati penjaga itu. Tangannya keluar dari saku bukan untuk menyerahkan kartu undangan, melainkan untuk bergerak cepat sekali menotok sehingga penjaga itu roboh sebelum sempat berteriak. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus masuk makin dalam dan kini para penjaga makin berkurang, jarak penjaga makin jauh sehingga mudah bagi Kian Lee untuk merobohkan setiap orang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya.
Akhirnya mereka keluar dari terowongan dan tiba di tempat terbuka, di lembah itu yang ternyata penuh dengan bangunan rumah-rumah yang dibagi menjadi dua kelompok, dipisahkan oleh sebuah lapangan yang luas yang terletak di tengah-tengah. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw menyelinap di antara bangunan-bangunan itu sambil memeriksa keadaan dengan hati-hati sekali. Dengan isyarat tangannya, Kian Lee mengajak nikouw tua itu untuk meloncat naik ke atas wuwungan sebuah bangunan besar dan dari atas wuwungan ini mereka mengintai. Sinar bulan cukup terang sehingga mereka dapat meneliti keadaan di lembah itu.
Kelompok bangunan di sebelah kiri terdiri dari rumah-rumah biasa dengan kebun-kebun yang rimbun dan subur, di mana selain terdapat banyak pohon-pohon yang berbuah, juga terdapat sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Akan tetapi kelompok kedua yang berada di sebelah kanan itu sangat aneh bentuknya. Rumah-rumah di kelompok ini bangunannya seperti tempurung yang tertelungkup dan tidak nampak pintu atau jendela biasa, hanya kelihatan sebuah lubang yang agaknya merupakan pintu. Anehnya, di sekitar rumah-rumah luar biasa ini tidak terdapat sebatang pun pohon atau tumbuh tumbuhan. Bahkan tanahnya kelihatan putih kering ditimpa sinar bulan, retak-retak seperti tanah kapur.
Dari wuwungan itu nampak para tamu berkumpul di lapangan, yaitu lapangan luas di antara dua kelompok rumah itu. Selain penerangan yang didapat dari sinar bulan, juga di situ dipasangi banyak lampu dan lentera besar sehingga cuaca cukup terang. Para tamu yang banyak juga jumlahnya telah berkumpul di situ, duduk di kursi yang diatur menjadi lingkaran besar yang ke semuanya menghadap ke tengah lapangan di mana terdapat semacam panggung yang menjadi tempat duduk pihak tuan rumah dan para tamu kehormatan.
Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia tidak menemukan Cui Lan dan Hok-taijin di antara para tamu. Kembali dia memandang ke arah panggung dan melihat Khiu-pangcu dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya. Banyak orang aneh di situ, di antaranya terdapat seorang yang bertubuh tinggi tegap, usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, kulitnya gelap coklat, hidungnya mancung agak melengkung dan matanya cekung ke dalam, alisnya tebal, dan jelas bahwa dia bukanlah orang Han asli, melainkan ada miripnya dengan orang India.
Di belakangnya duduk banyak pengawalnya, rata-rata bertubuh tinggi dan lengannya berbulu. Kian Lee menduga bahwa mereka ini tentu orang-orang Nepal, melihat dari pakaian dan juga sorban mereka. Hanya orang muda berpakaian indah di depan itulah yang tidak bersorban. Selain mereka, masih banyak terdapat orang-orang aneh yang dilihatnya tadi memasuki terowongan.
Dengan hati-hati Kian Lee lalu mengajak Liang Wi Nikouw turun dan mempergunakan kesempatan selagi para tamu masih hilir-mudik karena agaknya pertemuan itu belum dimulai, untuk menyelinap masuk di antara para tamu dan memilih tempat duduk di bagian para tamu perorangan yang tidak merupakan rombongan. Dengan demikian, maka mereka bercampur dengan tamu-tamu yang tidak saling mengenal sehingga mereka pun tidak menarik perhatian, sungguh pun ada beberapa orang di antara mereka yang memandang ke arah Liang Wi Nikouw dengan curiga.
Namun Liang Wi Nikouw yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia menghadiri pertemuan orang-orang dari golongan hitam, maka sengaja dia tersenyum-senyum dan ‘memasang’ muka bengis, sehingga semua orang menduga bahwa dia pun seorang anggota kaum sesat yang bersembunyi di balik kedok nikouw! Dia dan Kian Lee lalu menanti dengan hati berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi dan mengapa demikian banyaknya tokoh-tokoh lihai dari golongan hitam berkumpul di situ.
Akan tetapi yang dicari-cari oleh Kian Lee sejak tadi adalah Cui Lan dan Hok-taijin dan selagi dia menduga-duga di mana kiranya dua orang itu ditahan, tiba-tiba terdengar bunyi canang dipukul di tengah-tengah lapangan itu. Semua orang memperhatikan ke tengah lapangan karena bunyi canang itu menandakan bahwa pertemuan mulai dibuka.
Bulan bersinar terang tanpa halangan awan, menimpa muka semua tamu yang diangkat memandang ke arah panggung untuk menanti siapa yang akan muncul sebagai pembuka acara dan terutama sekali untuk melihat wajah tuan rumah. Tiada seorang pun di antara para tamu itu yang pernah bertemu dengan ketua Huang-ho Kui-liong-pang, sungguh pun mereka semua telah mendengar bahwa ketua itu adalah seorang yang luar biasa lihainya, seorang aneh yang baru kurang lebih dua tahun ini menjadi ketua Kui-liong-pang.
Tadinya, ketua dari Kui-liong-pang adalah Khiu-pangcu itulah. Akan tetapi semenjak munculnya tokoh aneh yang berilmu tinggi itu bersama belasan orang anak buahnya yang rata-rata juga berilmu tinggi, Khiu Sek lalu menggabungkan diri dan tokoh luar biasa itu diangkat menjadi ketua pertama sedangkan dia sendiri cukup puas menjadi ketua kedua saja. Maka kini semua tamu ingin sekali melihat bagaimana macamnya ketua yang kabarnya merupakan seorang tokoh luar biasa itu.
Tetapi ternyata yang bangkit berdiri dari kursinya dan kini berjalan ke tengah panggung adalah Khiu Sek atau Khiu-pangcu sendiri. Setelah menjura keempat penjuru, memberi hormat kepada semua tamu kehormatan yang duduk di panggung, Khiu-pangcu lalu berkata, “Cu-wi sekalian yang terhormat. Pertama-tama atas nama pangcu kami dan seluruh perkumpulan Kui-liong-pang, kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cu-wi sekalian. Sebelum maksud undangan kami kepada Cu-wi kami bentangkan secara jelas, lebih dahulu kami ingin memperkenalkan perkumpulan kami kepada Cu-wi.”
Selanjutnya, dengan suara lantang Khiu-pangcu lalu memperkenalkan perkumpulannya, betapa dua tahun yang lalu perkumpulannya menjadi makin kuat setelah memperoleh seorang ketua baru yang amat sakti. Betapa kemudian rombongan dari Gunung Cemara, perkumpulan wanita Hek-eng-pang menjadi iri dan timbul bentrokan di antara mereka sehingga terjadi pertempuran besar.
“Karena munculnya seorang tokoh rahasia yang hanya kami kenal dengan sebutan Siluman Kecil, pertempuran itu dapat dihentikan dan ketua kami berkenan mengampuni Hek-eng-pang. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka kembali mencari gara-gara dengan mencoba untuk merebut mangsa kami, yaitu harta pusaka dari keluarga Jenderal Kao Liang yang mengundurkan diri.” Kembali Khiu Sek menceritakan lagi semua peristiwa mengenai perebutan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu.
“Gara-gara ikut campurnya pihak Hek-eng-pang yang hendak merebut mangsa kami, maka semua usaha menjadi gagal dan baru-baru ini kami telah mengirim pasukan untuk menghukum Hek-eng-pang dan membakar tempat mereka! Betapa pun juga, mangsa kami itu telah lolos dan harta pusaka itu lenyap tanpa bekas. Kami dan Hek-eng-pang yang bentrok sendiri tidak ada yang mendapatkannya.”
“Hi-hi-hik!” Suara tertawa merdu seorang wanita itu memecahkan kesunyian sehingga terdengar jelas sekali.
Semua orang menengok ke arah suara ini, juga Khiu-pangcu dengan alis berkerut menoleh ke arah gadis cantik jelita yang berpakaian serba merah muda itu, karena yang tertawa adalah gadis cantik ini. Biar pun dia sudah tidak tertawa lagi, akan tetapi gadis ini masih menutupi mulutnya dengan tangan, dan matanya berseri menahan kegelian hatinya…..
Komentar
Posting Komentar