JODOH RAJAWALI : JILID-12


Mendengar nama Hek-sin Touw-ong, semua orang memandang kagum. Raja Maling itu terkenal sekali, dan baru kini mereka melihat bahwa Raja Maling yang menyeramkan itu mempunyai seorang murid yang sedemikian cantiknya, yang pakaiannya serba merah muda dan rapi sehingga kelihatan seperti seorang gadis bangsawan saja!
Melihat dia diperkenalkan dan ditegur, Ang-siocia, gadis she Ang yang hanya dikenal sebagai Nona Ang (Ang-siocia) itu, bangkit berdiri dan berkata lantang, sama sekali tak kelihatan jeri, “Itulah jadinya kalau dua ekor anjing memperebutkan tulang! Keduanya babak-bundas akan tetapi tulangnya dibawa kabur orang lain!”
Tentu saja Khiu-pangcu menjadi makin marah dan penasaran. Tadi dia ditertawakan dan sekarang dirinya malah disamakan dengan anjing! Akan tetapi dia masih menahan kemarahannya, hanya bertanya dengan suara yang nadanya kaku dan dingin, “Kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Nona?”
“Menurut pendapatku? Tentu saja lebih baik kalau kedua ekor anjing itu berdamai dan tulang itu dimakan bersama-sama, dengan demikian berarti menambah persahabatan dan perut keduanya bisa kenyang, hi-hi-hik!”
Semua orang tertawa dan Khiu-pangcu sendiri tersenyum, kemarahannya lenyap dan dia menjura kepada semua orang. “Apa yang diucapkan oleh Ang-siocia tadi memang benar dan tepat sekali. Karena itu pula maka pangcu kami mengirim undangan kepada Cu-wi sekalian, yaitu untuk menyatukan semua golongan dari kita para pencari nafkah yang mengandalkan modal kepandaian silat seperti kita semua ini. Dan dengan adanya persatuan di antara kita, maka diharapkan tidak akan terjadi lagi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan kelemahan golongan kita sendiri. Kita dianggap golongan hitam, nah, kalau tidak ada persatuan di antara kita, tentu golongan putih yang menyebut diri mereka sendiri para pendekar itu akan merasa girang sekali dan mereka akan mudah untuk memusuhi dan mengalahkan kita.”
Segera terdengar suara teriakan-teriakan menyatakan persetujuan mereka. Hal ini tidak mengherankan karena seperti pada umumnya, manusia di dunia ini tidak ada yang dapat melihat keadaan sendiri, tidak dapat menyadari akan kesalahan dan kejahatan sendiri sehingga kaum itu pun tidak merasa bahwa mereka adalah penjahat-panjahat! Mereka menganggap bahwa ‘pekerjaan’ mereka itu adalah usaha mencari nafkah, dan para pendekar yang memusuhi mereka adalah yang sejahat-jahatnya orang karena merintangi pekerjaan mereka! Tentu saja usul persatuan ini mereka sambut dengan gembira karena memang sudah terlalu sering mereka ditentang dan di kejar-kejar oleh para pendekar.
“Akan tetapi, siapa yang akan memimpin kita?” terdengar suara lantang bertanya.
Khiu-pangcu mengangkat kedua tangan untuk menenangkan suasana yang menjadi hiruk-pikuk itu. Setelah semua orang diam dia lalu berkata, “Yang berhak memimpin kita sudah tentu adalah orang yang memiliki kepandaiannya paling tinggi di antara golongan kita semua.”
“Kalau guruku berada di sini tentu kursi pimpinan jatuh di tangannya!” terdengar gadis cantik berpakaian merah itu berseru.
Khiu-pangcu tersenyum lebar. “Nona, dan Cu-wi sekalian, hendaknya maklum bahwa kursi pimpinan itu tidak diperebutkan sekarang. Untuk itu tentu saja harus diadakan undangan khusus sehingga yang hadir adalah tokoh-tokoh pertama dari golongan kita. Sekarang yang penting bagi kita adalah bahwa semua pihak setuju untuk berdiri di bawah satu golongan. Dengan demikian, semua hasil karya kita dapat kita pergunakan bersama dan mereka yang hasilnya besar dapat menolong mereka yang sedang sepi pasarannya. Dan kalau seorang di antara golongan kita diusik oleh golongan putih, kita harus saling membantu dan memusnahkan pihak musuh. Dengan demikian, bukankah kedudukan kita menjadi kuat dan tidak ada sembarang pendekar yang berani untuk mengganggu?”
“Benar...!”
“Setuju...!”
Kembali suasana menjadi berisik sekali. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang amat nyaring, suara yang mengatasi semua suara berisik itu, suara ketawa yang menggema dan mengaung menggetarkan jantung. Terang bahwa itu adalah suara ketawa yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya.
Semua orang terkejut dan serentak menoleh ke tengah lapangan karena suara ketawa itu terdengar dari mulut seorang peranakan Nepal yang muda dan duduk di kursi bagian tamu kehormatan itu. Tentu saja semua orang terkejut dan marah, karena suara ketawa itu terdengar seperti meremehkan, dan kiranya yang mentertawakan mereka hanya seorang peranakan Nepal!
Khiu-pangcu juga merasa penasaran, segera menghadapi pemuda peranakan Nepal itu dan dengan suara hormat karena orang itu merupakan tamu agung, tetapi bernada teguran, dia bertanya, “Apakah Kongcu (Tuan Muda) tidak menyetujui persatuan ini?”
Pemuda jangkung berkulit coklat itu bangkit berdiri dan menjura, lalu terdengar dia berkata dengan suara lantang, “Kami sangat menyetujui, harap Khiu-pangcu tidak salah sangka. Hanya saja kami merasa sangat kecewa dan kasihan melihat cara-cara kalian mencari nafkah yang begitu remeh.”
“Haiiiii!!” Semua orang berseru marah karena tersinggung oleh ucapan itu, bahkan ada yang sudah bangkit berdiri dengan sikap mengancam.
Hanya tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Ang-siocia, lalu gadis cantik jelita yang sama sekali tidak mengacuhkan semua itu dan bermain-main dengan ularnya, kepala bajak sungai yang tadi ribut dengan gadis pembawa ular, yaitu Tiat-thouw Sin-go, perampok tunggal Toat-beng Sin-to, raja kaum nelayan Boan-wangwe, mereka ini tetap duduk diam dan bersikap tenang, sesuai dengan kedudukan mereka yang tinggi.
“Harap Cu-wi jangan salah paham,” berkata peranakan Nepal itu dengan sikap tenang sekali. Sekarang dia berdiri di panggung dan menghadapi semua tamu dengan penuh wibawa. “Saya tidak memandang rendah kepada Cu-wi, hanya ingin menyatakan bahwa apa yang Cu-wi lakukan dan kerjakan itu sungguh tak sesuai dengan jerih payah Cu-wi sekalian. Cu-wi bersusah payah mencari mangsa, menunggu mereka lewat dan menanti datangnya kesempatan, menghadapi bahaya maut, dan semua itu Cu-wi lakukan hanya untuk sejumlah barang yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang gagal seperti yang diceritakan oleh Khiu-pangcu ketika memperebutkan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu. Bukankah cara bekerja seperti itu amat remeh dan tidak memadai?”
Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar itu agak merasa tersinggung juga. Dia memandang dengan mata melotot, lalu berkata dengan suara yang lantang dan kasar karena memang dia terkenal seorang yang kasar, jujur tidak mau menggunakan banyak aturan, “Apakah kau mempunyai usul yang lebih baik?”
Pemuda peranakan Nepal itu menoleh kepada si tinggi besar ini sambil tersenyum, lalu berkata, “Tentu saja dan usulku amatlah baik, tentu saja kalau Cu-wi sekalian setuju. Akan tetapi usul saya ini usul yang amat penting dan gawat, maka hanya akan saya terangkan kalau semua pimpinan sudah hadir, tidak seperti sekarang ini. Baru pihak tuan rumah saja, yang keluar hanyalah wakilnya, yaitu Khiu-pangcu, bukan ketuanya sendiri, mana bisa disebut lengkap untuk mendengarkan usul kami yang amat penting dan menyangkut masa depan kita semua ini?”
Khiu-pangcu menjura kepada orang itu. “Maaf, pangcu kami kini sedang menyelesaikan ilmunya yang baru sehingga selama ini tidak pernah keluar dan mewakilkan segala sesuatu kepada saya. Andai kata pangcu kami sudah dapat keluar, apakah kiranya perempuan-perempuan dari Gunung Cemara itu masih berani banyak tingkah? Itulah sebabnya maka pangcu kami tidak dapat hadir.”
Mendadak terdengar suara ledakan keras dan rumah tempurung terdepan meledak. Rumah itu hancur berantakan dan keluarlah seorang kakek yang berpakaian hitam, agak terhuyung dengan mukanya yang putih pucat seperti kapur. “Khiu Sek, jangan mengecewakan tamu, ini aku sudah datang!”
Kini dari rumah-rumah tempurung itu bermunculan pula orang-orang yang mukanya putih seperti kapur dan itulah para pengikut ketua baru ini yang menyeramkan. Mereka itu semua agak terhuyung karena terlampau lama berdiam di rumah tempurung itu untuk memperdalam ilmu mereka sesuai dengan petunjuk sang ketua.
Melihat kakek ini, Kian Lee berdebar dan dia memandang dengan mata terbelalak karena tentu saja dia mengenali kakek ini. Dia itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi, ketua dari Lembah Bunga Hitam, tokoh sesat yang amat sakti dan yang merupakan ahli racun yang luar biasa itu! Di dalam cerita kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan tentang diri kakek ini yang dahulunya adalah seorang pelayan dari Dewa Bongkok dan yang kemudian melarikan diri karena tersangkut dalam pencurian kitab pelajaran ilmu yang mukjijat.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka dapat menyaksikan ketua dari Kui-liong-pang yang ternyata amat menyeramkan itu. Ilmu apa gerangan yang dipelajari oleh kakek ini sehingga tadi rumah tempurung itu meledak dan hancur berantakan?
Khiu-pangcu bersama semua anak buah Kui-liong-pang menjatuhkan diri berlutut untuk memberi hormat kepada pangcu mereka, sedangkan para tamu juga bangkit berdiri untuk menghormat. Kian Lee yang juga ikut bangkit berdiri melihat betapa Hwee Li masih enak-enak saja duduk bermain-main dengan ularnya, seolah-olah kemunculan kakek itu sama sekali tidak diketahuinya! Benar-benar bocah itu masih seperti dulu, aneh dan bengal!
Hek-hwa Lo-kwi kini menghampiri tempat duduk yang telah disediakan untuknya sambil mengangguk ke kanan kiri kepada para tamu, kemudian dia menghadapi peranakan Nepal itu sambil berkata, suaranya menggetar dan mengandung gema yang meraung aneh, “Nah, sebelum Sicu ceritakan apa usul yang amat penting itu, hendaknya lebih dulu memperkenalkan diri. Maaf kalau kami tidak mengenal Sicu.”
Pemuda peranakan Nepal itu menjura dengan hormat dan berkata, “Sungguh beruntung sekali kami semua dapat bertemu dengan Pangcu yang telah kami kenal namanya yang besar. Dan kami menghaturkan selamat atas berhasilnya Pangcu mempelajari ilmu baru. Perkenankan kami memperkenalkan diri kami.”
Dengan suara halus dan lantang sehingga semua orang dapat mendengarnya, orang muda peranakan Nepal itu lalu memperkenalkan dirinya dan mendengar penuturannya, Kian Lee menjadi tertarik sekali dan mendengarkan penuh perhatian. Kiranya pemuda itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong!
Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa Pangeran Liong Khi Ong dan kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong, telah mengadakan persekutuan untuk mengadakan pemberontakan, namun akhirnya pemberontakan itu gagal dan kedua orang pangeran tua itu telah tewas.
Liong Khi Ong mempunyai seorang selir berbangsa Nepal, dan sebenarnya selir ini masih seorang puteri Nepal, anak Raja Nepal yang juga lahir dari seorang selir dan yang dihadiahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong sebagai tanda persahabatan antara Nepal dan Kerajaan Ceng-tiauw yang pada waktu itu luas sekali daerahnya sehingga merupakan negara besar yang dihormati negara-negara tetangga termasuk Nepal.
Dan dari selir Nepal inilah Liong Khi Ong mempunyai putera, yaitu pemuda ini yang memakai nama Liong Bian Cu. Ketika Liong Khi Ong tewas, pemuda ini bersama ibunya melarikan diri ke barat, kembali ke Nepal di mana dia memperdalam ilmu kepandaiannya dengan menjadi murid dari Ban-hwa Sengjin, yaitu koksu (guru negara) Nepal yang lihai itu.
Setelah memperkenalkan diri dan para tamu memandang dengan kagum karena tidak menyangka bahwa peranakan Nepal ini ternyata adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong yang amat terkenal di kalangan dunia hitam karena dahulu pangeran itu banyak menerima tenaga bantuan kaum sesat, bahkan ketua Kui-liong-pang ini pun mengenalnya dengan baik, maka pemuda itu lalu menceritakan usulnya dengan suara lantang.
“Dari pada kita bekerja secara kecil-kecilan dengan resiko besar, lebih baik sekalian kita melakukan pekerjaan yang besar. Sudah basah kepalang mandi! Dari pada kita dikejar kejar pemerintah dan orang-orang dari golongan putih, kita mendahului mereka! Kita kumpulkan kawan-kawan yang banyak sehingga menjadi barisan yang kuat, lalu kita serbu kota demi kota, kita sita seluruh kekayaannya, dan kita duduki kotanya. Bukankah itu lebih cepat dan berhasil dari pada kita menunggu lewatnya mangsa seperti seekor harimau kelaparan menunggu lewatnya seekor kelinci? Kita taklukkan kota demi kota dan kita paksa penduduknya yang laki-laki, muda-muda dan kuat-kuat untuk menjadi anggota kita, yang menolak kita bunuh semua! Wanita-wanitanya yang cantik kita bagi bagi. Dengan demikian, akhirnya kita akan menjadi suatu kekuatan yang amat besar dan daerah kita akan makin luas. Jika sudah kuat benar, kita hancurkan para gubernur. Kita kuasai propinsi dan tujuan terakhir adalah kota raja. Kita mendirikan kerajaan sendiri, kerajaan kaum hitam!”
Sejenak suasana menjadi sunyi karena mereka yang mendengarkan rencana itu terlalu kaget dan heran. Bahkan Hek-hwa Lo-kwi sendiri kelihatan menunduk, merenung dan mengelus jenggotnya. Kemudian meledaklah kebisingan di situ karena semua orang bicara sendiri, saling berdebat, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada juga yang ketakutan.
Akhirnya Hek-hwa Lo-kwi mengangkat tangan kanan ke atas dan semua orang diam. Lalu terdengar ucapan kakek ini, “Usul yang dikemukakan oleh Liong-sicu bukan hal remeh dan main-main, bahkan hal yang amat baik. Memang pekerjaan kita selalu dibayangi oleh bahaya. Tentu saja makin besar bahayanya, makin besar pula hasilnya, dan kalau kita bersatu, mengapa takut bahaya? Aku sendiri setuju dengan usul itu dan akan mendukung pelaksanaannya!”
Ucapan ini disambut oleh tepuk tangan dan sorak-sorai dari mereka yang tadi setuju, sedangkan yang menolak dan yang ragu-ragu terseret dan hanyut oleh suara setuju ini sehingga mereka pun menjadi besar hati.
Kini Liong Bian Cu, pemuda peranakan itu mengangkat tangan dan semua orang berhenti membuat berisik. “Apakah ada di antara Cu-wi yang mengajukan usul lain?”
Terdengar suara merdu nyaring dan gadis berpakaian merah muda, yaitu Ang-siocia, telah berdiri dan berkata, “Bicara memang mudah saja, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah menggoyangkan lidah dan bibir!” Memang dara ini biasa bicara dengan tajam. “Kota-kota itu tentu dijaga dan dilindungi oleh pasukan prajurit yang sudah terlatih dan pandai berperang. Mana bisa orang-orang kita yang tidak terdidik perang seperti mereka itu dapat menyerbu kota dan menang pula? Kepandaian kita hanyalah kepandaian pribadi untuk dipakai dalam pertempuran perorangan atau paling hebat hanya menghadapi keroyokan belasan sampai puluhan orang. Mana mungkin dapat berguna dalam perang antara ribuan orang dan pula pihak pasukan pemerintah tentu diperlengkapl dengan senjata dan perlengkapan yang lebih sempurna?”
Hek-hwa Lo-kwi mengangguk-angguk. “Alasan yang baik dan kuat sekali. Bagaimana jawabanmu, Liong-sicu?”
“Tidak perlu khawatir!” tiba-tiba seorang kakek berusia enam puluh tahun, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, tangannya memegang tongkat kayu cendana, berseru.
Dia ini adalah Gitananda, orang Nepal yang pernah menghadiri pesta pernikahan gagal dari Hwa-i-kongcu Tang Hun di puncak Naga Api. Memang Gitananda adalah seorang di antara utusan-utusan Kerajaan Nepal yang mencari kemungkinan menghubungi orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Ceng-tiauw, dan sekarang Gitananda bertugas untuk mengawal dan menemani Liong Bian Cu. “Hendaknya Cu-wi sekalian maklum bahwa Kongcu kami ini adalah seorang ahli perang yang tentu akan mampu mendidik kawan-kawan dan membentuk barisan-barisan yang kuat!”
Liong Bian Cu bangkit dan menjura keempat penjuru. “Saya tidak ingin memamerkan diri, akan tetapi terus terang saja, sebagai putera mendiang Ayah yang juga ahli dalam siasat perang, tentu saja saya sudah rnempelajari ilmu perang dan saya pasti dapat membentuk pasukan-pasukan istimewa yang terlatih baik. Dan tentang perlengkapan, jangan khawatir karena Raja Nepal adalah kakek saya. Cu-wi sekalian tak perlu gelisah, dan saya berjanji bahwa kalau kelak kita berhasil, Cu-wi sekalian tentu akan menjadi pembesar-pembesar tinggi yang hidup terhormat dan mulia!”
“Nanti dulu!” Tiba-tiba Hek-hwa Lokwi berkata sambil bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. “Aku ingin sekali mendengar pendapat sahabat lamaku, Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ataukah dia tidak hadir dan tidak mengirim wakilnya?”
Semua orang yang mendengar nama ini terkejut, dan Tiat-thouw Sin-go ketua para pembajak itu mengerling ke arah gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang masih duduk bermain-main dengan ularnya tadi.
“Akulah wakilnya!” tiba-tiba gadis itu berkata sambil bangkit berdiri.
Semua orang menoleh dan menahan napas menyaksikan seorang gadis yang demikian cantik moleknya. Wajahnya putih halus kemerahan, dengan rambut yang disanggul indah sekali, dihias dengan batu-batu permata mahal, sepasang matanya seperti bintang pagi, jernih dan lebar akan tetapi mengandung sinar yang tajam menyeramkan. Hidungnya mancung serta mulutnya selalu tersenyum, amat manis dan jelita. Tubuhnya kelihatan ramping padat dengan lekuk lengkung yang menggairahkan, yang sukar disembunyikan oleh pakaian sutera serba hitam itu. Akan tetapi yang membuat orang menjadi merasa ngeri dan kehilangan gairah adalah ketika melihat dua ekor ular yang melingkar-lingkar di kedua lengan yang halus mulus itu.
“Hemmm!” Hek-hwa Lo-kwi menatap dengan tajam, akan tetapi memandang rendah kepada gadis muda itu. “Kalau engkau wakilnya, Nona, apa yang akan dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo tentang usul tadi?”
Gadis itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li itu, puteri Hek-tiauw Lo-mo, tersenyum sehingga sekelebatan nampak rongga mulutnya yang merah terhias kilatan gigi putih. “Apa yang hendak dikatakan? Aku tidak tahu. Aku hanya diutus untuk mendengarkan saja tanpa membuka mulut dan akan kusampaikan semua ini kepadanya.”
Hek-hwa Lo-kwi berkata kepada Liong Bian Cu, “Dahulu Hek-tiauw Lo-mo pernah membantu Ayahmu, Liong-sicu. Kiranya sekarang pun dia akan setuju dengan usulmu itu.”
“Mudah-mudahan begitu,” Liong Bian Cu berkata dan matanya masih terus memandang kepada Hwee Li, agaknya peranakan Nepal ini tertarik sekali kepada gadis yang luar biasa cantiknya itu.
“Tentu saja dia mau kalau kelak setelah berhasil dia yang menjadi rajanya!” kata Hwee Li sambil duduk dan bermain main dengan ularnya.
Kian Lee tidak dapat lagi menahan senyumnya. Bukan main gadis ini. Berani sekali dan sikapnya seolah-olah memandang mereka semua itu seperti semut saja! Akan tetapi, dia sendiri masih gelisah memikirkan Cui Lan dan Hok-taijin. Sebaiknya kalau dia sekarang mulai menyelidiki di mana adanya dua orang yang dicarinya itu. Akan tetapi, mengingat bahwa yang hadir di situ adalah orang-orang yang berilmu tinggi sehingga akan berbahaya bagi dua orang kawannya itu kalau sampai ketahuan, dia terpaksa memberi isyarat kepada Liang Wi Nikouw untuk bersabar.
Mereka ini tentu tidak tahu siapa Hok-taijin, sehingga gadis dan kakek itu hanya merupakan tawanan yang tidak penting, yang mereka ambil dari Gunung Cemara ketika mereka membasminya. Kalau sampai dia turun tangan dan ketahuan, tentu mereka akan sadar bahwa dua orang itu merupakan orang-orang penting dan kalau sampai mereka tahu bahwa kakek itu adalah Gubernur Ho-pei, maka akan berbahayalah!
Hidangan mulai dikeluarkan dan sambil bercakap-cakap membicarakan rencana besar yang diusulkan oleh Liong Bian Cu, mereka makan minum. Sementara itu, para tokoh yang penting di atas panggung kehormatan mulai berunding sambil makan minum dan akhirnya diputuskan bahwa sebelum diadakan pemilihan pemimpin yang harus seorang yang terpandai di antara mereka, yang akan merupakan seorang bengcu (pemimpin rakyat), untuk sementara dibentuklah panitia pimpinan atau pengawas yang terdiri dari Hek-hwa Lo-kwi sendiri, Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, Boan-wangwe, dan Tiat-thouw Sin-go beserta Gitananda sebagai wakil pihak orang Nepal. Ketika hal ini diumumkan, semua orang setuju.
Makan minum dilanjutkan dan Liong Bian Cu yang menganggap mereka semua itu sebagai calon-calon pembantunya untuk melanjutkan ‘perjuangan’ mendiang ayahnya dalam kegembiraannya ingin sekali melihat kelihaian mereka. Maka setelah minum beberapa cawan arak yang cukup menghangatkan hatinya, dia bangkit berdiri dan berkata lantang.
“Cuwi sekalian! Kita telah bersepakat untuk bersatu dan kita merupakan kesatuan orang-orang yang gagah dan memiliki kepandaian! Oleh karena itu, dalam pertemuan ini sudah selayaknya kalau kita memperlihatkan kepandaian masing-masing, bukan untuk menyombongkan diri melainkan sebagai perkenalan. Dan pertunjukan ini akan saya mulai lebih dulu dengan memperlihatkan sedikit kemampuan saya yang saya pelajari dari guru saya yang terhormat, yaitu Ban-hwa Sengjin, koksu dari Nepal!”
Tentu saja ucapan ini disambut dengan gembira oleh semua orang. Mereka adalah orang-orang yang suka berkelahi, suka akan ilmu silat, maka setiap pertunjukan silat tentu saja menggembirakan hati mereka. Apa lagi karena mereka maklum bahwa di antara mereka terdapat banyak sekali orang-orang pandai.
Dengan langkah lebar Liong Bian Cu yang oleh orang-orangnya disebut Liong-kongcu itu menghampiri sebuah batu besar yang berada di tempat itu. Batu itu sebesar kerbau, tentu berat sekali. Akan tetapi dengan mudah dan ringan Liong-kongcu mengangkatnya dan melontarkannya tinggi ke atas. Dia menggosok kedua telapak tangannya, kemudian cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka memukul dan mendorong ke arah batu itu.
Terdengarlah suara bercuitan dari tangan kanannya dan dari tangan kirinya keluar suara mendesis. Di sekitar tempat dia berdiri menyambar-nyambar hawa yang panas dan dingin. Yang panas keluar dari tangan kanannya sedangkan yang dingin keluar dari tangan kirinya. Ketika kedua tangan itu bergerak memukul, batu itu tidak dapat meluncur jatuh, melainkan terapung di udara seperti tertahan oleh tenaga mukjijat, dan batu itu mulai terputar, semakin lama semakin cepat sehingga mengeluarkan suara mengaung seperti gasing. Tak lama kemudian nampak debu mengepul, pecahan batu dan pasir berhamburan ke mana-mana.
Liong-kongcu tersenyum, menghentikan gerakan kedua tangannya dan meloncat ke belakang ketika batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah. Dan semua orang melongo ketika melihat betapa batu yang tadinya kasar itu kini telah menjadi halus seperti dibubut, bentuknya bulat seperti telur!
Kian Lee yang sejak tadi memandang penuh perhatian, diam-diam memuji. Itulah tenaga Im-yang Sin-ciang yang cukup hebat. Sungguh pun tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, namun pemuda itu sudah boleh juga dan hal itu tidak mengherankan karena pemuda itu, menurut pengakuannya tadi adalah murid dari koksu dari Nepal, yaitu Ban-hwa Sengjin yang pernah dia jumpai di istana Gubernur Ho-nan!
Pemuda ini mulai mengerti apa tugas orang-orang Nepal ini. Dia dapat menghubung-hubungkannya dengan kehadiran Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal di istana Gubernur Ho-nan, lalu kehadiran mereka ini di sini, hendak membentuk barisan pemberontak! Apa lagi ketika mendengar bahwa Liong-kongcu ini adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong, maka tentu saja apa yang dilihat dan didengarnya semua itu tidaklah terlalu mengherankan. Suatu persekutuan pemberontak agaknya hendak bangkit lagi bertujuan mengacaukan negara.
Para tamu bersorak memuji kelihaian pemuda peranakan itu, dan Liong-kongcu kini memandang ke arah Hwee Li sambil tersenyum bangga. Akan tetapi senyumnya hilang dan alisnya berkerut ketika dia melihat gadis berpakaian hitam yang menggoncangkan hatinya itu sama sekali tak ikut bersorak memuji, bahkan bibirnya tersenyum mengejek, seolah-olah apa yang dipertunjukkannya tadi tidak ada artinya sama sekali bagi nona itu.
Selagi Liong-kongcu hendak minta kepada Hwee Li agar memperlihatkan kelihaiannya, tiba-tiba dia didahului oleh Ang-siocia yang sudah bangkit berdiri dan menghampirinya. “Hik-hik, sungguh lumayan juga kepandaianmu. Ingin sekali aku bertanding denganmu karena ilmu kita hampir bersamaan. Engkau memiliki pukulan tajam, aku pun juga. Akan tetapi aku akan mempergunakan pedang, lihatlah!”
Dia mencabut sebatang pedang yang tadi tergantung di punggungnya, pedang yang bersarung dan bergagang indah, yang dihias ronce merah tua di gagangnya. Kemudian gadis berpakaian merah muda ini mengeluarkan suara melengking panjang. Pedangnya lalu bergerak dengan cepat, bertubi-tubi ke arah batu yang bulat halus seperti telur itu.
Cepat sekali gerakan pedangnya, sampai nampak sinar menyilaukan mata dan ketika sinar itu lenyap, ternyata pedangnya telah kembali memasuki sarungnya di punggung nona itu dan dengan tenang dia berdiri memandang ke arah batu. Batu itu tiba-tiba roboh terpotong-potong seperti irisan kue keranjang! Tipis dan lebar. Tentu saja semua orang melongo dan bertepuk tangan memuji.
“Hi-hi-hik, hampir sama bukan?” kata Ang-siocia kepada Liong-kongcu. “Kalau guruku yang melakukannya, tidak usah memakai bantuan pedang, cukup dengan telapak tangan saja. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok).”
Ang-siocia terkekeh lagi dengan bangga, kemudian dia menghampiri batu yang sudah terpotong-potong itu dan menggunakan kakinya untuk mencukil dan melemparkan batu itu ke arah sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu, sebuah sungai yang menjadi sambungan dari air terjun. “Lebih baik batu-batu ini dilempar ke sungai!”
Tentu saja perbuatannya ini tak lain mengandung maksud untuk mendemonstrasikan kekuatan kakinya dan memang hebat sekali. Potongan-potongan batu itu beterbang ke depan.
“Heiii, jangan dibuang! Sayang...!”
Nampak bayangan berkelebat cepat sekali mendahului batu-batu itu dan ketika dia membalik, dia menggunakan tangannya menuding dan menangkapi potong-potongan batu yang seperti roda bentuknya itu lalu menumpuknya kembali di atas tanah. Semua orang memandang tumpukan batu itu dan terdengar seruan-seruan kagum karena batu batu yang bentuknya seperti roda itu kini telah berlubang tepat di tengah-tengahnya, sehingga bentuknya seperti gilingan tahu dan ternyata bahwa ketika menangkap batu batu itu, kakek ini menggunakan jari tangannya melubangi batu-batu itu tepat di tengah tengah. Kakek ini bukan lain adalah Tiat-thouw Sin-go, yang ternyata bukan hanya kepalanya yang keras melebihi batu, melainkan juga jari tangannya amat kuat. Tentu saja perbuatannya itu pun dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya dan kembali semua tamu memuji.
Akan tetapi sebelum orang lain mendemonstrasikan kepandaiannya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan disusul suara canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan nampaklah beberapa orang penjaga datang berlari-lari dengan muka pucat menghadap pangcu mereka. Ketika melihat bahwa Hek-hwa Lo-kwi sudah hadir di situ, mereka itu serta merta menjatuhkan diri berlutut.
“Celaka... Pangcu...!”
“Tolol! Pengecut!” Khiu-pangcu memaki. “Hayo lekas lapor, ada apa?!”
“Di luar pintu terowongan... orang-orang Gunung Cemara datang menyerbu...!”
“Huh, begitu saja ribut!” Khiu-pangcu membentak.
“Tapi, Ji-pangcu. Mereka itu dipimpin oleh ketua mereka, Yang-liu Nionio dan dua orang yang luar biasa lihainya. Tanpa menyentuh orang, mereka berdua telah merobohkan dan membunuh banyak kawan kita! Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang mengeluarkan suara seperti kucing... huuuh-huhhh...!” para penjaga itu menggigil ketakutan.
“Hemmm, sungguh orang-orang Hek-eng-pang tak boleh diberi ampun kali ini!” Hek-hwa Lo-kwi membentak marah sekali dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian dengan langkah lebar dia pergi menuju ke pintu terowongan, diikuti oleh para tamu yang ingin melihat apa yang selanjutnya akan diperbuat oleh ketua yang baru saja keluar dari pertapaannya itu. Juga mereka ini mengharapkan akan menyaksikan pertandingan yang hebat antara Hek-hwa Lo-kwi melawan tokoh-tokoh pimpinan Hek-eng-pang.
Akan tetapi belum juga mereka memasuki pintu terowongan, tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan keras di sebelah luar terowongan itu dan nampak api mengebul di atas tebing arah mulut terowongan di atas. Semua orang terkejut sekali, apa lagi ketika mendengar gemuruhnya suara air menyaingi suara gemuruh air terjun. Cepat mereka semua mundur kembali menjauhi pintu terowongan dan tak lama kemudian, dari pintu terowongan itu menyembur air yang amat kuat dan derasnya. Beberapa orang penjaga terowongan terlontar seperti daun-daun kering dihanyutkan air bersama dengan semburan air yang deras itu.
Semua orang menjadi panik karena maklum bahwa entah secara bagaimana, pihak musuh telah berhasil membobolkan sungai di atas dan mengalirkan airnya memasuki mulut terowongan di atas hingga menggenangi lembah itu! Tentu saja terjadi kepanikan hebat. Orang-orang cepat mencari perahu-perahu yang banyak terdapat di situ. Akan tetapi karena banyaknya orang dan kurangnya perahu, mereka banyak tidak kebagian dan terpaksa mereka menebang pohon-pohon dan bambu-bambu untuk dijadikan pengapung atau semacam rakit. Air makin meninggi dan keadaan makin kacau. Mereka yang telah berhasil memperoleh perahu sudah cepat-cepat menyelamatkan diri melalui sungai.
Di dalam suasana yang kacau-balau dan hiruk-pikuk itu, Kian Lee bertindak cepat sekali. Dia melihat Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang tinggi kurus yang tadi mengepalai para pelayan yang mengeluarkan hidangan. Kian Lee menduga bahwa orang ini tentu seorang di antara para anggota pimpinan, maka begitu melihat kesempatan, secepat kilat dia menubruk dan merobohkan orang tinggi kurus ini dengan totokan, kemudian menyeretnya ke tempat gelap.
Hoa-gu-ji adalah seorang yang mempunyai kepandaian cukup lihai, maka dapatlah dibayangkan alangkah kaget dan herannya melihat betapa ada orang yang mampu merobohkannya demikian mudahnya! Dia tadi hanya melihat seorang pemuda tampan mendekatinya dan tahu-tahu tubuhnya menjadi lemas dan ketika dia hendak berteriak, pemuda itu menepuk tengkuknya dan lenyaplah suaranya! Kini Hoa-gu-ji benar-benar merasa ketakutan ketika dia diseret di tempat gelap dan dia melihat bahwa di situ telah menanti seorang nikouw tua yang tadi dilihatnya menjadi seorang di antara para tamu di situ.
“Hayo cepat katakan, di mana adanya dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!” Kian Lee membentak sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan tangan kiri membebaskan totokan pada lehernya sehingga orang itu dapat mengeluarkan suara lagi.
“Ta... tawanan... yang mana...?” Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya berdebar tegang karena jari-jari tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu benar-benar merupakan ‘todongan maut’ baginya, maka dia tidak berani main-main.
“Seorang gadis dan juga seorang laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahanan Hek-eng-pang. Cepat jawab!”
“Ahhh... mereka itu?”
Setelah jelas bahwa orang ini mengetahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu membebaskan totokan pada tubuh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya, dia menghardik, “Hayo antarkan kami ke sana!”
Hoa-gu-ji mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini luar biasa lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari serangan air yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga karena air sudah mulai naik sampai ke paha.
“Kita membuat rakit dulu!” kata Liang Wi Nikouw.
Nenek ini kemudian mengumpulkan kayu dan bambu yang banyak hanyut di situ, bekas orang-orang tadi membuat rakit. Dibantu oleh Hoa-gu-ji, mereka membuat rakit dengan cekatan, lalu cepat mereka menuju ke kelompok bangunan yang sudah digenangi air setinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di sebelah kamar tahanan dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan Hok-taijin berpegang kepada ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat dan ketakutan karena air sudah terus naik!
“Kongcu... syukur engkau cepat datang...!” Cui Lan terisak penuh kegembiraan melihat munculnya pemuda itu.
Untung lampu di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ cukup terang. Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya loncat naik ke atas wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena dia yakin bahwa air tidak mungkin sampai naik ke wuwungan. Kemudian bersama Liang Wi Nikouw dia membongkar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar itu naik rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar air sudah naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda air, akan tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke atas wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan.
“Ahhh... Taihiap... sungguh kami sudah hampir putus asa...” Hok-taijin berkata. “Untung aku bersama dengan Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini... dialah yang selalu membesarkan hatiku... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila...“
Kian Lee memandang kepada Cui Lan dengan sinar mata kagum, sementara gadis itu menunduk dengan air mata berlinang.
“Cui Lan, ini adalah Liang Wi Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki keadaanmu dan menolongmu,” kata Kian Lee sambil memandang gadis itu.
Seketika wajah yang menunduk itu bergerak, diangkat dan biar pun air matanya masih berlinang, namun bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhh...? Suthai yang baik, benarkah itu?”
Nikouw itu mengangguk dan tersenyum.
“Di mana dia? Bagaimana dengan dia? Baik-baik sajakah dia?” tanyanya seperti air hujan.
Nikouw itu mengangguk-angguk lagi. “Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus pinni menyelidiki. Kiranya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada pemuda perkasa ini yang menolong.”
Karena mereka masih berada dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani banyak bertanya lagi. Juga dia merasa malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa itu, maka dia kini hanya menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw yang biar pun sudah tua namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke sungai, di mana juga terdapat kesibukan dari mereka yang menyelamatkan dirinya.
Sementara itu, jauh di atas tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di lembah. Tentu saja tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan sinar bulan. Akan tetap melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau dan teriakan-teriakan orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu cukup puas dan menonton sambil tersenyum.
Mereka itu bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nionio, Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw Moli. Bagaimana mereka bisa berada di sana? Mari kita ikuti perjalanan Tek Hoat yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti Dewi dari puncak Naga Api, tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu…..
********************
Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Ang Tek Hoat berhasil membantu Yang-liu Nionio ketua Hek-eng-pang merobohkan Kian Lee, pemuda itu lalu dibantu oleh Yang-liu Nionio dan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke puncak Naga Api menculik Syanti Dewi yang menjadi tawanan di sana dan hendak dipaksa menikah dengan Hwai-kongcu Tang Hun, murid dari Durganini yang kaya raya dan lihai itu.
Dan walau pun Hek-eng-pang mengorbankan beberapa orang anggotanya, akhirnya mereka berhasil melarikan Syanti Dewi yang oleh Yang-liu Nio-nio dilemparkan kepada muridnya, Liong-li dan kemudian dibawa keluar di mana telah menanti Ang Tek Hoat bersama beberapa orang anak buah Hek-eng-pang yang siap dengan beberapa ekor kuda yang baik.
Tentu saja Tek Hoat menjadi girang sekali melihat bahwa kekasihnya telah berhasil diselamatkan. Akan tetapi dia teringat akan perlakuan Raja Bhutan ayah puteri itu terhadap dirinya dan penghinaan lima tahun yang lalu itu masih membuat hatinya terasa panas, apa lagi kalau dia teringat betapa sengsaranya hatinya selama ini yang selalu terkenang dengan penuh kerinduan kepada wanita yang dicintanya itu. Maka, setelah kini dengan susah payah dia dapat bertemu kembali dengan $yanti Dewi, dia tidak mau lekas-lekas memperkenalkan diri lebih dulu.
Karena cuaca masih gelap sekali, mudah baginya untuk tidak memperkenalkan diri dan tidak membuka suara. Dia hanya menerima puteri yang tertotok itu dari tangan Liong-li, kemudian dengan mendudukkan wanita yang dicintainya itu di atas punggung kuda, dia melompat di belakang Syanti Dewi dan membalapkan kuda secepatnya, diikuti oleh Yang-liu Nionio, Liong-li dan lain anak buah Hek-eng-pang, menuju kembali ke Gunung Cemara. Untuk membingungkan para pengejarnya, mereka lalu berpencar menjadi tiga rombongan dan Tek Hoat masih tetap bersama Yang-liu Nionio dan Liong-li, sedangkan rombongan lain bertugas untuk menghilangkan jejak ketua dan rombongannya ini.
Tentu saja Hwa-i-kongcu Tang Hun yang dibantu oleh tiga orang sakti Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To terus melakukan pengejaran, akan tetapi mereka ini dibikin bingung dan akhirnya juga berpencar menjadi dua rombongan yang membelok ke kanan kiri, tidak tahu bahwa puteri itu dilarikan terus ke depan oleh Ang Tek Hoat dan rombongannya. Hal ini adalah karena jejak kaki kuda mereka telah dihapus oleh anak buah Hek-eng-pang yang cerdik itu.
Hanya ada satu orang yang tidak mudah diakali oleh anak buah Hek-eng-pang. Orang ini adalah Siang In! Ketika terjadi keributan di tempat pesta, Siang In yang pergi meninggalkan rombongan penari itu cepat-cepat mencari-cari dan ketika jelas bahwa Syanti Dewi diculik orang, dia pun cepat melakukan pengejaran. Dia amat cerdik, sudah menduga bahwa tentu rombongan penculik itu membawa keluar Syanti Dewi, maka dia telah mendahului pergi ke kandang kuda, mencuri seekor kuda dan menggunakan kesempatan selagi ribut-ribut itu menjalankan kudanya keluar dari benteng yang terjaga.
“Aku sri panggung rombongan penari, hendak membantu mencari pengantin puteri yang terculik!” katanya dan karena penjaga tadi melihat betapa dara cantik jelita ini pandai main sulap, mereka membiarkan Siang In keluar.
Dara ini mengintai dan melihat ada rombongan orang membawa kuda menanti di luar tembok, maka dia pun bersembunyi. Saat para penculik wanita rombongan orang-orang Hek-eng-pang itu keluar dan membawa lari Syanti Dewi, dia pun membalapkan kudanya membayangi dari jauh. Dia cukup hati-hati dan dapat menduga bahwa orang-orang itu tentu memiliki kepandaian, maka dia tidak berani sembrono turun tangan di situ, apa lagi dia tahu bahwa tentu pihak Hwa-i-kongcu tidak akan tinggal diam dan melakukan pengejaran, sehingga andai kata dia berhasil merampas Syanti Dewi dari tangan para penculik, dia pun tidak akan terlepas dari tangan Hwa-i-kongcu dan para pembantunya yang lihai itu. Untuk menggunakan sihirnya, dia teringat akan orang Nepal yang lihai tadi, maka sekali ini dia harus bersikap hati-hati sekali.
Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ang Tek Hoat memeluk pinggang Syanti Dewi yang duduk di depannya. Pelukan yang penuh kemesraan dan seluruh kerinduan hatinya dicurahkan pada sentuhan mesra itu. Namun dia tetap membisu dan hanya membalapkan kudanya bersama Yang-liu Nionio dan Liong-li.
Hatinya lega karena tidak terdengar derap kaki banyak kuda mengejarnya. Hanya kadang-kadang terdengar derap kaki seekor kuda di belakang, akan tetapi tentu saja hal ini dianggap ringan. Andai kata benar ada satu orang yang mengejar, tentu saja bukan merupakan halangan. Dia sendiri masih belum berani menggunakan terlalu banyak tenaga sebagai akibat luka dalam ketika bertanding melawan Kian Lee, akan tetapi Liong-li dan terutama Yang-liu Nionio yang menunggang kuda di dekatnya bukanlah orang-orang yang lemah.
Karena tidak ada pengejar, hati mereka tenang dan mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua yang berada di tepi jalan untuk membiarkan kuda mereka mengaso. Tanpa banyak cakap Tek Hoat memondong tubuh Syanti Dewi dan merebahkan dara itu di atas lantai dalam kuil, kemudian dia membebaskan totokannya dan meninggalkannya pergi.
Syanti Dewi mengeluh dan kemudian menangis terisak-isak. Malam hampir lewat dan waktu itu sudah menjelang subuh. Sudah terdengar kokok ayam jantan di kejauhan. Udara dingin sekali. Syanti Dewi menggigil, akan tetapi Tek Hoat hanya berdiri di luar, bermacam perasaan teraduk di hatinya. Dia merasa rindu, merasa girang, merasa kasihan, akan tetapi juga mendongkol dan marah. Ingin dia memeluk, membisikkan kata-kata cinta, menciumi wanita yang selama ini amat dirindukannya itu. Ingin dia menghiburnya, membuatnya gembira dan tertawa, karena dia yakin bahwa tentu Syanti Dewi akan merasa girang sekali bertemu dengan dia.
Dia tahu bahwa puteri itu belum dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya bebas dari tangan Hwa-i-kongcu! Akan tetapi karena rasa sakit di hatinya oleh ayah gadis itu, dia masih ‘menjual mahal’ dan mengambil keputusan untuk menjumpai Syanti Dewi pagi nanti kalau cuaca sudah terang. Dia akan muncul begitu saja mengagetkan hati puteri itu. Tersenyum dia membayangkan betapa Syanti Dewi tentu akan menjerit, dan lari memeluknya kalau puteri itu tiba-tiba melihat dia muncul di dalam kamar kuil rusak itu!
Ada pun Yang-liu Nionio dan Liong-li lalu membuat api unggun di dalam kuil, tidak mau mencampuri urusan Tek Hoat bersama Syanti Dewi. Mereka membicarakan tentang beberapa orang anggota mereka yang diduga tewas dalam penyerbuan itu, dan juga membicarakan tentang orang-orang pandai yang muncul di dalam pesta Hwa-i-kongcu.
Tidak lama kemudian, sinar matahari pagi mulai mengusir kabut dan hawa dingin dan tiba-tiba Hek-eng-pangcu bersama muridnya itu mendengar suara teriakan Tek Hoat dari sebelah dalam kuil. Mereka terkejut dan cepat melompat ke dalam dan mereka melihat Tek Hoat dengan muka pucat berdiri di ambang pintu, memandang ke arah puteri yang telah mereka culik semalam. Puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai sambil menangis dan Si Jari Maut yang biasanya tenang dan gagah perkasa itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang puteri itu, mukanya pucat sekali.
“Celaka...!” Tek Hoat berseru marah.
“Kenapa? Apa yang terjadi...?” Yang-liu Nionio bertanya.
“Bodoh! Tolol semua! Dia bukan...“
“Bukan apa?”
“Dia bukan puteri itu!” Ang Tek Hoat mengepal tinju sambil memandang kepada ketua Hek-eng-pang dengan mata melotot. “Kalian telah tertipu! Ini bukan Puteri Syanti Dewi!”
“Tapi...!” Yang-liu Nionio membantah, terheran-heran. Dia sendiri yang menculik wanita ini dari dalam kamar pengantin wanita. Tidak bisa salah lagi.
Liong-li cepat meloncat dan menarik pundak wanita yang mengempis itu. ”Diam kau! Hayo ceritakan siapa engkau dan di mana adanya pengantin puteri!” hardiknya sambil mengguncang-guncang pundak wanita muda yang cantik itu.
“Ampunkan saya...“ Wanita itu meratap. “Saya adalah seorang pelayan dari Kongcu dan malam tadi... ada… ada seorang kakek muncul dan menyeret saya, mengancam akan membunuh kalau saya berteriak, lalu mendadak saya menjadi lumpuh, bahkan untuk mengeluarkan suara pun tidak mampu... dan… kakek itu melucuti pakaian saya dan memaksa saya memakai pakaian ini... saya tidak tahu apa-apa... dan tiba-tiba saja saya dilarikan sampai di sini...“
“Di mana pengantin puteri?” Tek Hoat membentak, tidak sabar.
“Saya tidak tahu... harap ampunkan saya... saya tidak tahu apa-apa...“
“Hemmm, siapa kakek itu? Bagaimana macamnya?”
“Saya hanya tahu dia kakek tua, entah siapa...“
“Sialan!” Yang-liu Nionio meludahi muka wanita itu, tangannya bergerak dan wanita itu roboh tak berkutik lagi karena kepalanya telah pecah oleh ketukan jari tangan ketua Hek-eng-pang yang merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. Dia telah bekerja bersusah payah, telah kehilangan beberapa orang anggota perkumpulannya pula, dan hasilnya adalah puteri palsu!
Pada saat itu terdengar suara dari luar, “Heiii, Ang Tek Hoat! Biarkan aku bertemu dan bicara dengan Enci Syanti Dewi! Aku belum puas kalau belum mendengar dari mulutnya sendiri bahwa dia suka ikut dengan orang seperti engkau! Enci Syanti, ini aku, Siang In. Keluarlah dulu dan kita bicara sebentar!”
“Huh!” Tek Hoat mendengus marah dan dia menyambar punggung baju mayat pelayan yang telah dibunuh oleh Yang-liu Nionio dan Liong-li yang terkekeh mengejek ke arah Siang In.
Siang In terkejut bukan main melihat tubuh wanita yang disangkanya Syanti Dewi itu terlempar ke arahnya. Dia mengelak dan tubuh itu terbanting ke atas tanah. Cepat dia memeriksa dan menahan napas lega. Kiranya bukan Syanti Dewi yang dibawa kabur oleh Tek Hoat!
“Hemmm... kalau begitu, siapa yang menculik Syanti Dewi! Ke mana perginya? Orang lihai macam Tek Hoat dan nenek cantik itu masih dapat ditipu orang. Dan kalau melihat Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya sudah melakukan pengejaran dan pencarian ke mana-mana, jelas bahwa Enci Syanti Dewi benar-benar telah lenyap. Akan tetapi siapa yang membawanya dan kemana?”
Dengan hati penasaran Siang In lalu melompat ke atas kudanya dan kembali ke daerah puncak Naga Api untuk menyelidiki hilangnya Syanti Dewi yang penuh rahasia itu.
Demikianlah, dengan marah dan kecewa Ang Tek Hoat kembali ke Gunung Cemara bersama Yang-liu Nionio dan Liong-li. Dan ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa Gunung Cemara telah dibasmi dan dibakar oleh musuh, yaitu orang-orang dari lembah perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang! Tentu saja Yang-liu Nionio menjadi marah dan berduka sekali ketika para anggota Hek-eng-pang yang tadinya melarikan diri itu berdatangan sambil menangis.
“Orang muda! Kau lihat apa yang terjadi dengan kami karena kami pergi membantumu. Tempat kami dibasmi musuh. Kalau kau tidak membantu kami melakukan pembalasan, sungguh-sungguh aku harus menyebutmu seorang yang tidak mengenal budi!” ketua yang sedang marah dan sakit hati itu berkata kepada Tek Hoat.
Ang Tek Hoat juga merasa sangat tidak senang dengan peristiwa itu. “Jangan khawatir, Pangcu. Aku tentu akan membantumu.”
“Bagus! Kalau begitu, kelak kami pun akan melakukan penyelidikan, siapa yang telah menculik pengantin puteri dari puncak Naga Api itu,” Yang-liu Nionio berkata. “Akan tetapi, karena anak buahku banyak yang tewas, aku harus minta bantuan dari Subo.” Dia lalu menulis sepucuk surat dan menyuruh Liong-li naik kuda yang kuat untuk cepat minta bantuan gurunya yang dia tahu berada di istana gubernuran di Propinsi Ho-nan.
Sepekan kemudian muncullah Mauw Siauw Mo-li di tempat itu. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi terkejut melihat wanita cantik yang genit ini, karena dia sudah mengenalnya dahulu ketika dia membantu pemberontakan Pangeran Liong Khi Ong. Juga Mauw Siauw Mo-li terkejut dan girang bertemu dengan pemuda tampan yang gagah ini.
“He-he-heh, bukankah engkau Tek Hoat Si Jari Maut? Aku mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang panglima dan mantu raja di Bhutan! Bagaimana sekarang dapat berkeliaran di sini?”
Tek Hoat cemberut dan tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya berkata, “Hemmm, kiranya engkau guru dari Yang-liu Nionio? Sungguh tak kusangka!”
“Pangcu, bagaimana engkau dapat bergaul dengan pemuda ini? Ketahuilah, dia pernah menjadi musuhku beberapa tahun yang lalu, hi-hik-hik!” katanya kepada muridnya yang lebih tua dari pada dia itu, maka dia menyebutnya pangcu!
Yang-liu Nionio terkejut bukan main. “Ahh... teecu tidak tahu... dia... dia telah membantu teecu dan sekarang pun hendak membantu teecu lagi menghadapi orang-orang dari Kui-liong-pang.”
Mauw Siauw Mo-li tertawa dan memandang wajah Tek Hoat yang tampan dan muram itu sambil berkata, “Tidak mengapa. Ada waktunya menjadi musuh, ada waktunya pula menjadi sahabat, bukan? Nah, ceritakan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Kui-liong-pang yang bosan hidup itu.”
Yang-liu Nionio lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa perkumpulannya bermusuhan dengan Kui-liong-pang dan akhir-akhir ini berebutan pusaka keluarga Jenderal Kao dan betapa ketika dia pergi membantu Tek Hoat untuk menculik pengantin dari Hwa-i-kongcu, orang-orang Kui-liong-pang lalu datang membasmi dan membakar tempat itu.
“Hemmm, sungguh-sungguh mereka itu harus mampus. Jangan khawatir, aku akan membantumu membasmi mereka. Akan tetapi, sungguh mati aku merasa heran sekali mengapa engkau pergi menculik pengantin puteri, Ang-sicu?” tanyanya kepada Tek Hoat, memandang heran.
Tek Hoat sebenarnya tidak suka kepada wanita yang cabul dan genit ini, dan pandang mata wanita itu kepadanya pun sudah membuat dia merasa muak. Akan tetapi dia tahu pula bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali dan selama Syanti Dewi masih belum dapat olehnya dan terancam keselamatannya di tangan orang-orang sesat, dia perlu bantuan orang-orang seperti wanita ini. Maka dengan terus terang dia menjawab, “Pengantin puteri itu adalah Puteri Syanti Dewi.”
“Ehhh...?” Mauw Siauw Mo-li membelalakkan matanya dan wanita yang usianya sudah empat puluh tahun ini masih belum kehilangan daya tariknya. Dengan rasa bingung dia lalu bertanya, “Bagaimana ini? Bukankah dia sudah kembali ke istana Bhutan?”
Ang Tek Hoat menggelengkan kepalanya. Dia tidak suka menceritakan riwayatnya yang menyedihkan dan memalukan itu kepada orang lain, apa lagi kepada seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li ini. Maka dia menjawab singkat, “Aku pergi dari Bhutan, dia menyusul dan tertawan oleh Hwa-i-kongcu, akan dipaksa menjadi isterinya.”
Mauw Siauw Mo-li mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran sekali. Dia mendengar bahwa pemuda ini telah menjadi menantu raja, berarti sudah memperoleh kedudukan yang mulia, akan tetapi mengapa sekarang berkeliaran lagi ke sini dan wajahnya begitu murung? Sungguh dia tidak mengerti sama sekali, akan tetapi dia pun tidak berani mendesak karena tahu bahwa pemuda yang tampan dan lihai ini mempunyai watak yang amat aneh.
Demikianlah, Tek Hoat dan Mauw Siauw Mo-li lalu bersama Yang-liu Nionio dan semua sisa anak buah Hek-eng-pang pergi ke lembah yang menjadi sarang Kui-liong-pang dan atas usul Tek Hoat yang melihat keadaan di situ, Mauw Siauw Mo-li lalu menggunakan senjata peledaknya untuk membobol tempat itu sehingga air sungai menyerbu lembah melalui terowongan yang juga telah diledakkan.
Kini mereka bertiga memandang dengan hati puas ke bawah, ke arah lembah yang kebanjiran itu sehingga seluruh penghuni dan para tamunya harus bergegas-gegas menyelamatkan diri dengan perahu-perahu dan rakit-rakit darurat. Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi Tek Hoat lalu membalikkan tubuh sambil berkata, “Aku pergi!”
“Terima kasih, dan kami akan menyebar anak buah kami untuk menyelidiki di mana adanya pengantin puteri itu!” kata Yang-liu Nionio. Tek Hoat tidak menjawab dan terus berkelebat pergi.
“Nanti dulu, Ang-sicu!” Bayangan lain juga berkelebat pergi dan ternyata Mauw Siauw Mo-li mengejarnya.
Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia membalik dan memandang tokoh sesat itu sambil bertanya, “Engkau mau apa?”
“Ang-sicu, tiga hari yang lalu ketika aku meninggalkan Lok-yang menerima undangan muridku, ketika tiba di dusun Khun-kwa, aku berpapasan dengan seorang gadis yang bertanya-tanya kepada orang-orang di jalan tentang seorang kakek yang membawa seorang gadis dengan paksa. Aku merasa curiga kepada gadis itu karena aku merasa seperti pernah melihatnya, maka kemudian aku bersembunyi dan mengintai. Ketika aku mendengar gadis itu menceritakan ciri-ciri gadis yang dibawa dengan paksa oleh kakek itu, aku teringat bahwa gadis yang diculik itu tentulah gadismu yang dahulu kau pertahankan mati-matian, yaitu Syanti Dewi.”
Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali dan wajahnya memancarkan harapan baru. Dia melangkah dekat dan bertanya, “Mo-li, siapa yang menculik dia?”
Wanita itu tersenyum lebar dan memang dia masih manis sekali. “Mana aku tahu? Akan tetapi, kalau kau mau pergi bersama aku mencarinya, mungkin saja kita dapat temukan gadis itu dan dari dia kita tentu akan mendapat tahu siapa yang menculik puterimu itu. Dengan kerja sama antara kita, apa pun akan dapat kita lakukan dengan berhasil, bukan?”
Tek Hoat yang amat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya tidak dapat menolak dan berkata singkat, “Baiklah, mari kita pergi!”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan berjalan pergi di samping pemuda tampan itu. Dia menoleh dan berkata kepada muridnya, “Engkau bawa anak buahmu menyingkir dan bersembunyi dulu sebelum mendapatkan tempat baru yang baik. Aku pergi dulu!”
Maka berangkatlah wanita cantik yang hatinya sejak dahulu memang sudah tergerak oleh ketampanan dan kegagahan Tek Hoat ini bersama Tek Hoat yang terpaksa harus menerimanya sebagai teman seperjalanan dalam usahanya mencari kembali Syanti Dewi yang lenyap…..
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum