JODOH RAJAWALI : JILID-15


Boan-wangwe menerima peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suheng-nya yang masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia tidak mampu mengobati mereka.
Melihat kekejaman orang yang menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah Siluman Kecil dan dia menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti mata naga, yaitu mata laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya kelihatan terkejut sekali, karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata yang amat tajam berkilat dari mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata ini saja keduanya maklum bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat, karena hanya mata orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat sajalah yang mengeluarkan sinar seperti itu.
Laki-laki berlengan buntung itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari Siluman Kecil, juga dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa orang berambut putih yang memiliki kepandaian demikian dahsyatnya, yang memiliki gerakan yang demikian cepat dan mukjijatnya, ternyata masih amat muda. Hal ini dapat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup oleh rambut putih riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan melihat rambutnya yang putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan merupakan seorang locianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata masih amat muda, hanya rambutnya yang sudah berubah putih semua.
Siluman Kecil sebaliknya terkejut dan kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah itu memiliki sinar mata yang mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak mereka beradu pandang, akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum dan hormat.
“Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat kagum melihatnya,” kata laki-laki berlengan sebelah itu.
“Hemmm... tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!” jawab Siluman Kecil sambil menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi muka, dan dia bangkit berdiri.
“Ah, saudara terlalu merendahkan diri,” kata Si lengan satu.
“Tidak, saya berkata sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan mengelak terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara telah langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu saudara tadi sungguh mengagumkan!” Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus hatinya sebab harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Sengjin, yaitu kakek yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.
“Ahhh, saudara terlalu memuji dan terlalu merendahkan diri, sungguh-sungguh makin mengagumkan hati saya!” kata Si lengan satu sambil memandang penuh selidik dan benar-benar merasa kagum sekali.
Siluman Kecil tidak mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri Boan-wangwe, berkata dengan nada mengancam, “Manusia kejam! Kalau engkau tidak lekas mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!”
“Dan aku pun tidak akan tinggal diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!” kata pula Si lengan satu sambil menghampiri Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai ini bukan orang bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.
“Baiklah,” katanya dengan suara berat. “Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran ini hanya disebabkan oleh urusan kecil saja!” Ia lalu mengeluarkan sebuah guci arak dan setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari dalam guci itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan meneteskan sedikit obat di lubang hidung mereka yang menjadi korban, orang-orang yang tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar kembali.
Melihat ini, Siluman Kecil yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap pergi dengan cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia dan mencari pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Sengjin itu di pantai Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan tetapi dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal oleh orang gagah itu.
Setelah semua korban disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan Boan-wangwe bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki kuda mereka terdengar berisik ketika mereka rneninggalkan warung. Diam-diam Boan-wangwe menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu, mengingat demikian banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka.
Sementara itu, rombongkan suheng dan sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera menghaturkan terima kasih kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi meninggalkan warung setelah dengan royal mengganti semua harga makanan dan mengganti semua harga barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si pemilik warung.
Tentu saja pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat menarik keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua harga barang yang diganti oleh wanita baju hijau itu.
Kini warung itu menjadi sunyi kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan sebelah tadi. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung itu, laki laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan bangkunya masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas menghampiri karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan salah seorang di antara golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih dulu.
“Taihiap hendak memerintah apakah?” tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.
“Lopek, harap buatkan masakan untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kau sediakan?”
“Wah, untuk Taihiap saya sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa menyediakan hidangan-hidangan dari ikan sungai.”
“Nah, kalau begitu buatkan goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi, panggang telur ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi, ang-sio-hi dua porsi besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan campur sarang burung dan telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan bakmi telur lima porsi!”
“Baik... baik...!” Pemilik warung mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya merasa heran sekali mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Tetapi tentu saja ia tak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali baginya, di samping juga menyelamatkannya? Andai kata tidak dibayar semua masakan yang dipesan itu sekali pun, dia rela memberikannya sebagai tanda terima kasih! Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri masakan besar itu.
Karena di situ tidak ada tamu lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani laki-laki berlengan buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur, suara golok mencacah daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh, suara minyak mendidih dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan.
Sementara itu, laki-laki berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini? Para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan tepat siapa adanya laki-laki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia adalah Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid dari Go-bi Bu Beng Lojin yang terkenal dengan sebutan Si Dewa Bongkok.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Kao Kok Cu berjodoh dengan Ceng Ceng atau nama lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, yaitu puteri dari mendiang Wan Keng In dan Lu Kim Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi. Setelah bertemu dengan Ceng Ceng, mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir, istana tempat tinggal gurunya di gurun pasir Go-bi, di mana mereka hidup rukun dan damai, penuh kasih sayang dan sudah menjauhkan diri dari urusan dunia ramai.
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak kecil hilang karena tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara dan dididik oleh gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan mencari orang tuanya dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng, jatuh cinta dan setelah mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang amat hebat, sehingga dia terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang membuat dia dikenal sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika membantu Ceng Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia dan Ceng Ceng bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Tetapi, memang segala sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan setiap orang manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja tergelincir ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja sewaktu-waktu naik ke atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang menjadi besar kepala dan sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya dengan orang yang menjadi putus asa selagi dia berada di bawah.
Hanya orang yang wajar dan tidak mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira dan bahagia, kalau dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah dan kalau dia berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar tempat yang lebih tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang berada di bawah, dan kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang berada di atas!
Keadaan suami isteri Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana Gurun Pasir, yang hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun, kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil, menjadi berubah sama sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap tanpa meninggalkan jejak!
Peristiwa ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri itu, dan mau tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya mengapa pada hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal sebagai Si Naga Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat pertempuran di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe.
Untuk lebih teliti dan mencari jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari isterinya, masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan bertemu hari ini di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa hasil dan sekarang semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya sudah penuh lagi dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini duduk termenung. Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di atas meja di depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak mempedulikan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang sedap menyergap hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di luar warung.
Melihat betapa pendekar itu mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah itu, si pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja di dunia ini ingin sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi menanti dengan pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar dan dia menghampiri pendekar itu. “Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan Taihiap makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin tentu kurang sedap.”
Akan tetapi, dengan sikap tak acuh dan kurang bersemangat, Kao Kok Cu menjawab, “Biarlah, aku memang sedang menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak mengapalah kalau masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin.”
Dengan mengangkat pundak penuh rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk di belakang menjaga mejanya, tetapi kini berkurang keheranannya mengapa pendekar itu memesan masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu sedang menanti kedatangan isterinya dan tentu juga keluarga lainnya.
Seorang pengemis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para pelayan dan pemilik warung itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu dengan ramah berkata, “Anak, kau mau apakah?”
Pengemis itu cengar-cengir, hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu sungguh seperti tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang kosong. “Saya... saya mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi...,” katanya.
Si Naga Sakti memandang bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala. “Aku tidak pernah membawa uang, dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau lapar?”
Jembel kecil itu mengangguk dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu lalu berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu. “Kesinikan kalengmu itu.”
Si pengemis dengan girang menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu penuh dengan beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali kepada anak itu.
“Terima kasih... terima kasih...“ Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan dan separuh berlari dia ke luar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata bersinar sinar penuh kegembiraan.
Akan tetapi, tidak lama kemudian masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan kaleng kosongnya. Sekali lagi Kao Kok Cu menerima kaleng kosong itu, meletakkannya di atas meja dan kembali mengisinya dengan masakan. Anak itu menghaturkan terima kasih, dan datang pula seorang anak lain. Kiranya peristiwa itu telah memancing datangnya hampir semua jembel kecil di kota An-yang itu yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang anak! Tentu saja, setelah semua orang pengemis kecil itu menerima bagiannya, semua masakan di atas meja telah habis sama sekali!
Para pelayan memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting banting kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian tersenyum ketika dia memandang anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.
“Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-ya!” Anak-anak itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan dan ucapan terima kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh kegembiraan.
Akan tetapi, Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang wanita berjalan menuju ke warung itu. Seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita kedua adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim Hwee Li, murid dari isterinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka!
Ketika Ceng Ceng yang wajahnya agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib puteranya dengan hati gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil demikian banyaknya sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia menegur, “Hemmm, apa pula yang kau lakukan ini?”
“Wah, kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!” Dia membalas teguran isterinya.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan mendongkol?
Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksikan hal yang lucu sekali.
“Wah, Suhu telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah terus!”
“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja.
Akan tetapi, Kao Kok Cu memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat pintu warung, “Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian beri bagian makanan?”
“Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu? Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau? Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!”
Tentu jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema.
“Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya.” Kemudian dia berteriak kepada para pengemis kecil itu, “Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus.”
Anak pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di seberang jalan itu.
“Hemmm, lagaknya! Kaum jembel pun ternyata mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, jika tidak melihat sendiri siapa percaya?” Hwee Li berkata sambil tertawa geli.
“Husss!” Ceng Ceng menegur muridnya. “Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak dapat melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukanlah orang sembarangan? Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan khikang-nya cukup kuat.”
Dengan cepat Ceng Ceng kemudian memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu? Sudah mencium jejak?” tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya.
Kok Cu menggeleng kepala. “Belum...,“ jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ.
Isterinya juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu! Ceng Ceng merasa lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya.
Mereka berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar dan tentu saja tidak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.
“Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku ketika masih kecil? Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga...“
“Janganlah engkau bicara demikian, suamiku!” Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar di dalam hatinya. “Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!”
“Ucapan Subo benar sekali!” Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira. “Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki, kalau-kalau saja di antara mereka ada yang melihat putera Subo.”
Ucapan dan sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana seorang diri, apa lagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya…..
********************
Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalas-malasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.
Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih juga turut menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka.
Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.
Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita yang cukup nyaring.
Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng.
Put Goan Houw Ki Gwee!

Siluman Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ketiga belas, yang berarti,
Seorang kuncu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya.’
Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya.
Kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup.
Dia menarik napas panjang lagi…..
Sesungguhnyalah, bukan hanya seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita kehilangan kebahagiaan! Betapa tidak?
Keinginan membuat mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita. Contohnya : Biar pun kita telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah!
Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain, maka kita akan dapat melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum ada pada kita! Kita selalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar sampai selama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan menyelidiki apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu!
Siluman Kecil sadar kembali dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi terus.
Cai Shang Wi, Put Leng He.
Cai He Wi, Put Wan Shang
.
Siluman Kecil mengangguk-angguk, dan diam-diam menterjemahkan ujar-ujar itu dalam hatinya. “Dalam kedudukan tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam kedudukan rendah, dia tidak menjilat yang di atas.”
Betapa sukarnya mencari seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini, orang selalu memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada kita. Kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di bawah kita, kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir terhadap orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja kasar dan yang mempunyai kedudukan jauh lebih rendah dari pada kita.
Sebalikya, sudah menjadi KESOPANAN masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun pada orang-orang yang tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang kaya, kita menjilat-jilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini! Betapa kejamnya kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak memiliki perikemanusiaan!
Siluman Kecil makin dalam tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang merupakan ayat ketiga dari bagian ketiga belas itu, dan dia masih ingat pula akan bagian selanjutnya, yang berbunyi, ‘Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke atas dia tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia lain.’
Setelah suara itu berhenti bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya untuk melihat siapa gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar yang mengandung sari pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah sebatang pohon yang rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah berumput, menghadap barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar. Seorang nenek tua penjual sepatu rumput rupanya! Dan nenek itulah yang tadi bernyanyi.
Memang harus diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang yang pernah bersekolah, sungguh pun sebagian besar orang hanya mengenalnya sebagai ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri apakah ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari.
Akan tetapi, mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual sepatu rumput, dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah pohon, sungguh merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di sekolah-sekolah, di kuil-kuil, atau dibicarakan di antara ‘orang-orang pandai’ sebagai bahan untuk berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran masing-masing, dan sebenarnya diperalat untuk membanggakan kepintarannya!
Melihat nenek itu menghadapi dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti dari bertumpuknya sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apa lagi membeli dagangannya, Siluman Kecil merasa kasihan. Nenek itu kelihatannya miskin, pandang matanya sayu, dan siapa tahu sudah berapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya begitu kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan nenek itu.
“Nenek, apakah ada sepatu yang ukurannya cocok untuk kakiku?” tanyanya, sambil memandang wajah keriputan itu.
Akan tetapi dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya tidak mengerti atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh tangan di belakang daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah seorang yang sudah berkurang pendengarannya atau agak tuli.
“Apakah ada yang cocok dengan ukuran kakiku?” tanyanya pula dengan suara lebih keras.
“Oh, tentu ada... ada...! Nah, ini agaknya cocok!” Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu dan memandang wajah Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh perhatian. “Agaknya Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai sepatu rumput, apa lagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat jika memakai sepatu rumput.”
Siluman Kecil mengukur sepatu itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu ini sudah biasa mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya. “Berapa harganya?” Dia bertanya.
“Memang banyak yang ke sana. Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula, mereka hendak pergi ke selatan,” jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar bahwa pertanyaannya yang kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek, maka jawabannya pun kacau.
Dia mengeluarkan uang tembaga dan mengangkat sepatu itu. “Harganya berapa?”
“Ohhh...“ Nenek itu tertawa dan nampak mulut yang ompong!
Setelah nenek itu memberi tahu harga sepatu yang ternyata hanya beberapa potong uang tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu bahwa biasanya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya dengan harga dua kali lipat dan biasanya pihak pembeli pasti juga menawar harga itu.
Nenek itu kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata, “Terima kasih. Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi prajurit.”
“Apa? Prajurit apa?” Siluman Kecil terheran mendengar itu.
“Eh, apakah Kongcu bukan hendak pergi ke selatan seperti mereka itu untuk memasuki ujian penerimaan prajurit?”
“Hemmm, ada apakah di selatan sana?”
“Kongcu belum tahu? Kabarnya Gubernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima calon-calon prajurit pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka yang terpilih akan dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa diangkat menjadi calon pengawal pribadi.”
Tiba-tiba percakapan terhenti karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk membeli sepatu rumput. Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek bertubuh tinggi tegap dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan matanya bersinar tajam. Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat sepuluh orang lain yang berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek berusia enam puluhan tahun yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah Siluman Kecil dan pandang matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil menundukkan muka, pura-pura memilih sepatu dan membiarkan rambutnya yang panjang itu menutupi mukanya seperti tirai.
Setelah memilih sepatu dan membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si nenek pedagang sepatu, “Apakah banyak orang yang lewat ke sini dan menuju ke Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?” Suaranya besar, tegas dan berwibawa.
“Banyak sekali... banyak orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal. Agaknya Sicu semua ini juga hendak ke sana?”
Kakek itu hanya menggumam, kemudian bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya meninggalkan tempat itu.
“Wah, sungguh banyak sekali yang ingin melamar sebagai pengawal,” kata Si Nenek. “Tentu ramai sekali di Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di sana, tentu laris sekali!”
“Kenapa kau tidak membawa sepatumu dan berdagang di sana saja?” kata Siluman Kecil sambil bangkit berdiri pula.
“Oh, jadi Kongcu juga ingin ke sana?” tanya nenek itu yang kembali salah dengar.
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena terdengar seperti orang cek-cok saja sehingga tentu akan banyak menarik perhatian mereka yang lewat di jalan itu. Akan tetapi, jawabannya dengan anggukan itu membuat si nenek menjadi gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri.
“Kalau begitu, sebaiknya Kongcu naik kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai ujian itu dan Kongcu tentu akan ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini terdapat seorang pedagang kuda yang bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia masih keponakanku sendiri. Saya tinggal bersama dia di sana juga. Marilah kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru kemarin dia pulang membawa dua ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik.”
“Tapi aku sudah biasa berjalan kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda.” Siluman Kecil hendak melangkah pergi, akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak jauh dari tempat itu.
Wajah pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk seorang pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis lainnya. Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat atau tidak, tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit pun tidak kelihatan duka terbayang di dalamnya! Keadaan ini menimbulkan keharuan di hati Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembelian sepatu tadi kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu menerima pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan tetapi mulutnya diam saja! Bahkan ada bayangan keangkuhan di sinar matanya!
Siluman Kecil merasa makin heran dan tertarik.
“Kongcu akan menyesal setengah mati kalau tidak membeli kuda itu!” Kembali nenek itu mendesak dan ketika Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung tikarnya dan membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas untuk pulang).
“Sudahlah, Nek. Aku tidak punya uang...ehh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor kuda peranakan Mongol yang bagus.”
“Aaahhhh, Kongcu sungguh merendah! Kongcu mempunyai banyak uang...ehh, maksud saya, seorang seperti Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu Kongcu akan mampu membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela memberi sedikit keuntungan kepada keluarga kami?”
Siluman Kecil terkejut. Dia memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang pernah ditolongnya sebagai bekal dan terima kasih atas bantuannya. Bagaimana nenek ini bisa tahu?
Akan tetapi, mungkin juga sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam tentang hal itu. Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal yang menarik hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah hal ini menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri sendiri?
“Baiklah, Nek. Aku hendak melihat kuda yang kau puji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu kau mengemasi dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana adanya tempat keponakanmu itu, dan aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau harus mengorbankan daganganmu yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku.”
“Kongcu, biar saya yang mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda itu. Bukankah yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di sebelah barat jembatan hijau itu?” tiba-tiba pengemis muda itu berkata.
Nenek itu mengangguk dan mengerling ke arah Siluman Kecil. “Benar di sana...“
“Kalau begitu, biar ia ini yang mengantarku, Nek. Terima kasih!” kata Siluman Kecil dan dia lalu pergi bersama si pengemis muda.
Siluman Kecil makin tertarik kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis pengemis umumnya. Memang pakaiannya penuh tambalan, tetapi pakaian itu bersih dan jelas bahwa pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu ditambal-tambal. Agaknya seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja ditambal-tambal! Hal ini tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia menjadi tertarik. Jangan-jangan bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu dan sengaja mendekatinya, pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya di dunia ini, apa lagi sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong orang-orang yang tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang ditentangnya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik kepada pribadi pengemis cilik ini.
“Siapakah namamu?”
Pengemis itu terkejut, akan tetapi lalu menjawab dengan suara tenang, “Nama saya Hong, dan orang-orang memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil).”
“Kenapa? Engkau tidak begitu kecil tubuhmu.”
“Entahlah, Kongcu. Sejak kecil saya disebut Siauw-hong.”
“Hemmm, di mana tempat tinggalmu?”
“Saya tidak mempunyai tempat tinggal.”
“Dan ayah bundamu?”
Siauw-hong menggeleng kepala. “Tidak punya.”
Siluman Kecil mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak pengemis cilik itu dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat leher, jalan darah kematian. Pengemis itu terkejut, cepat-cepat dia miringkan tubuh sehingga pegangan itu meleset dan totokan itu luput.
“Ha, sudah kuduga. Engkau pandai ilmu silat tinggi!” Siluman Kecil berseru.
“Dan Kongcu adalah Siluman Kecil!” pengemis cilik itu berkata.
“Hemmm, ternyata engkau bukan bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau membayangi aku?” Siluman Kecil menghardik.
Pengemis muda itu menjura. “Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak membayangi, hanya karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh kekaguman, maka begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya ingin mengenal dan berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak memiliki maksud buruk dan hendak mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu.”
“Bagaimana engkau berpakaian pengemis? Apa maksudnya?”
“Maaf, memang saya sengaja dan ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya. Ketahuilah bahwa sejak kecil saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang entah berada di mana, kepada guru saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya, saya diharuskan berpakaian pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari guru saya.”
“Hemmm, mengapa begitu?” Siluman Kecil makin tertarik.
“Guru saya adalah keturunan pengemis, Taihiap. Oleh karena itu, biar pun sekarang guru saya tidak menjadi pengemis, akan tetapi semua muridnya diharuskan berpakaian pengemis sebelum tamat belajar untuk menghormati leluhurnya.”
Siluman Kecil memandang tajam. Dari gerakan anak ini ketika mengelak tadi, dia maklum bahwa anak ini memiliki dasar ilmu silat tinggi, bukan ilmu silat sembarangan saja, maka guru anak ini tentulah seorang tokoh besar pula.
“Siapakah gurumu itu, Siauw-hong?”
“Maaf, Taihiap, akan tetapi guru saya tidak pernah mau menyebutkan namanya.”
Siluman Kecil mengangguk-angguk. Dia bisa memaklumi akan hal ini karena memang demikianlah, makin tinggi pengertian seseorang, makin rendah hati pula wataknya di samping keanehan-keanehan yang tidak lumrah manusia biasa. Maka dia pun tidak mau mendesak lagi untuk menghormati pendirian guru pengemis cilik ini.
Akhirnya mereka tiba di tempat si pedagang kuda. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bermata sipit dan berkumis pendek, menyambut kedatangan mereka dan ketika mendengar bahwa Siluman Kecil datang untuk melihat kuda keturunan Mongol itu setelah diberi tahu oleh nenek penjual sepatu rumput, dia tersenyum lebar. “Memang benar, Kongcu. Dan kalau bukan bibi saya yang memberi tahu, tidak sembarangan orang akan saya persilakan melihat dua ekor kuda dagangan saya itu. Kuda simpanan, kuda tunggangan raja-raja di daerah Mongol!”
Sambil memuji-muji kudanya, orang itu mengantar Siluman Kecil dan Siauw-hong ke kandang kuda. Dan memang dua ekor kuda itu merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan jelas kelihatan kuat sekali. Yang seekor berbulu hitam mulus sedangkan yang kedua berbulu putih. Warna bulu mereka begitu mulus dan terang sehingga sangat menyolok perbedaan warna bulu mereka. Yang putih adalah kuda betina sedangkan yang hitam adalah seekor kuda jantan yang kelihatan galak.
“Coba Kongcu lihat tanda di paha kiri mereka ini!” kata si tukang kuda.
Siluman Kecil melihat dan di paha kedua ekor kuda itu, di paha belakang yang kiri, terdapat capnya, yaitu ukiran kepala naga yang tentu saja kasar karena dibuat dengan menempelkan besi membara yang bergambarkan kepala naga di bagian paha itu.
“Apa artinya gambar ini?” tanya Siluman Kecil.
“Itu adalah tanda bahwa sepasang kuda ini adalah bekas milik raja Mongol, seorang di antara raja-raja liar di antara suku bangsa Nomad di Mongol sana dan agaknya raja itu memuja naga. Atau mungkin juga dua ekor kuda ini adalah keturunan Liong-ma (Kuda Naga) yang terkenal itu. Pendeknya, bukan kuda sembarangan, Kongcu, dan kalau Kongcu dapat memiliki seekor kuda ini, Kongcu sungguh beruntung. Akan tetapi, saya anjurkan Kongcu memilih yang putih.”
“Yang betina? Mengapa?”
“Karena dua ekor kuda ini memang mempunyai keanehan. Yang putih ini agaknya hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang pria! Sedangkan yang jantan, yaitu yang hitam ini, hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang wanita!”
“Ah, sungguh luar biasa!” Siluman Kecil berseru dan pengemis kecil itu tertawa.
“Ha-ha-ha, kalau begitu mereka adalah kuda-kuda yang cabul!” seru Siauw-hong.
“Hushhhh, jangan sembarangan saja kau, Siauw-kai (Pengemls Cilik)!” Pedagang kuda itu menghardik.
“Omongannya itu ada benarnya,” kata Siluman Kecil membela Siauw-hong.
“Tidak, Kongcu. Sama sekali tidak benar. Dua ekor kuda ini bukanlah kuda cabul, akan tetapi adalah kuda yang sudah terlatih matang di tempat asalnya. Dengan wataknya yang aneh itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tentu kuda hitam ini dahulu adalah kuda tunggangan seorang permaisuri dan dilatih sedemikian rupa, sehingga dia tidak mau ditunggangi seorang pria, maka hanya sang permaisuri sajalah yang dapat menungganginya. Mana boleh kuda tunggangan seorang permaisuri ditunggangi seorang pria? Dan demikian pula dengan kuda putih ini, tentu dahulunya menjadi kuda tunggangan seorang raja.”
Siluman Kecil mengangguk-angguk. Biar pun cerita itu agaknya terlalu dibuat-buat, akan tetapi masuk akal juga.
“Saya tidak percaya!” Tiba-tiba Siauw-hong berkata. “Saya yakin bahwa kuda hitam itu lebih baik karena dia jantan. Lebih baik Kongcu memilih yang jantan saja.”
“Eh, kau berani tidak percaya kepadaku, Siauw-kai? Kau menyuruh Kongcu naik kuda hitam kemudian dibantingkan?” bentak si tukang kuda.
“Masa dibantingkan! Kuda itu kelihatan begitu jinak!” Siauw-hong membantah.
“Kalau tidak percaya, boleh kau coba naik di punggungnya!” tantang si tukang kuda.
“Baik, akan saya tunggangi dia!” Siauw-hong menerima tantangan itu.
“Siauw-hong, apakah kau bisa menunggang kuda?” Siluman Kecil bertanya khawatir.
Siauw-hong tersenyum dan anak ini kelihatan tampan sekali kalau tersenyum. “Jangan khawatir, Taihiap, sejak kecil saya sudah biasa menunggang kuda dan entah sudah ada berapa ratus ekor kuda jantan yang saya tunggangi, maka saya tidak percaya kalau ada kuda jantan tidak mau ditunggangi seorang pria!”
“Kau bocah sungguh bermulut besar. Boleh kau coba si Hitam, akan tetapi Kongcu ini menjadi saksi dan saya tidak mau dipersalahkan kalau nanti kau dibantingkan dan punggungmu patah,” kata si tukang kuda.
Siauw-hong tertawa, lalu dia menuntun kuda hitam itu keluar kandang. Kelihatan si Hitam ini memang cukup jinak dan menurut saja ketika dituntun keluar. Dengan gerakan cekatan tanda bahwa dia memang biasa menunggang kuda, Siau-whong lalu meloncat ke atas punggung kuda hitam yang tinggi itu. Dan mulailah si Hitam itu memperlihatkan keliarannya. Dia meringkik keras, mendengus-dengus marah lalu berloncatan ke atas, berdiri di atas kedua kaki, meloncat lagi dan membuat punggungnya jadi melengkung, bergerak ke kanan kiri dan membuat gerakan dengan punggung untuk melemparkan Siauw-hong yang duduk di atas punggungnya.
Siauw-hong ternyata memang seorang ahli menunggang kuda. Kalau lain orang yang menunggangi punggung kuda hitam yang mengamuk itu, tentu takkan dapat bertahan lama dan sudah terlempar sejak tadi. Akan tetapi Siauw-hong juga memperlihatkan kelihaiannya. Meski beberapa kali tubuhnya kelihatan hampir terlempar dari punggung, namun ternyata dia masih dapat turun lagi duduk di atas punggung sambil memegangi kendali dengan cekatan.
Siluman Kecil menonton dengan hati tegang. Kembali dia dibuat kagum, sekali ini dibuat kagum oleh Siauw-hong dan juga oleh kuda itu. Benar-benar seekor kuda yang amat aneh, terlatih baik sekali dan penuturan pedagang kuda ini ternyata tidak bohong. Kuda jantan ini benar-benar tidak sudi ditunggangi oleh seorang pria! Sekarang kuda itu mengeluarkan suara ringkikan yang rendah mirip gerengan harimau dan tiba-tiba dia membanting diri ke kanan dan membuat gerakan bergulingan!
“Awas, Siauw-hong...!” Mau tak mau Siluman Kecil memekik. Dia sudah siap menolong karena keadaan pengemis muda itu benar-benar amat berbahaya.
“Kuda iblis...!” Siauw-hong berteriak dan tubuhnya terlempar, tetapi dengan gerakan pok-sai (salto) dia berhasil turun ke atas tanah dengan kaki lebih dulu. Dia mengebut ngebutkan pakaiannya dan mengomel, “Taihiap, kuda iblis itu berbahaya sekali!”
Pedagang kuda tertawa menyeringai, tetapi tidak berani bicara sembarangan karena dia pun sekarang tahu bahwa pengemis cilik itu bukan orang sembarangan setelah dia melihat betapa pengemis itu tadi dapat menyelamatkan diri secara luar biasa. Dia menuntun kuda hitam yang sudah jinak kembali begitu punggungnya tidak ditunggangi orang!
“Kuda yang baik sekali!”
Mereka bertiga menoleh dan melihat seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian mentereng dan bersikap lincah memasuki tempat itu dan memuji si kuda hitam yang liar tadi, Siluman Kecil memandang penuh perhatian. Pemuda itu usianya tentu masih amat muda, mungkin baru belasan tahun, tetapi sinar matanya memandang penuh perhatian, dan melihat pakaiannya yang indah dan serba baru, mudah diduga bahwa pemuda ini tentulah putera seorang hartawan besar atau setidaknya putera seorang bangsawan! Tubuhnya kecil, akan tetapi kelihatan gesit, tanda bahwa pemuda hartawan ini tentu ‘berisi’, yaitu pernah berlatih silat. Di belakang pemuda ini berjalan seorang anak laki-laki yang membawa buntalan.
Pedagang kuda itu bermata tajam, tentu saja dia segera mengenal seorang hartawan. Maka sambil menuntun kuda hitam dia menghampiri dan menjura, “Kuda yang manakah yang Kongcu anggap baik?” tanyanya.
“Mana lagi kalau bukan kuda yang kau tuntun itu,” jawab si pemuda tampan sambil memandangi kuda hitam dengan mata bersinar-sinar. “Ini kuda Mongol tuan!” serunya sambil mendekati kuda itu, mengelus leher kuda itu dengan tangannya.
“Apakah Kongcu ingin membeli kuda?” tanya pula si pedagang kuda.
“Benar, aku membutuhkan dua ekor kuda untuk aku dan pelayanku ini, karena aku hendak pergi ke Ceng-couw, untuk memasuki ujian pengawal gubernur!”
Siluman Kecil merasa tertarik sekali. Benar dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian silat, kalau tidak tentu tidak akan ikut-ikut memasuki ujian pengawal.
Pedagang kuda itu tersenyum lebar dan matanya berseri girang. Hari baik rupanya hari ini bagi dia. Sepagi itu sudah banyak orang datang hendak membeli kuda!
“Kongcu tidak salah kalau mencari kuda di sini!” katanya.
“Aku suka sekali dengan kuda hitam ini, berapa harganya? Akan kubeli dia!” kata si kongcu yang masih mengelus-ngelus kuda itu.
Si pedagang kuda kelihatan kaget. “Ohhh, jangan yang ini, Kongcu! Apakah Kongcu tadi tidak melihat betapa liarnya dia? Kuda ini pantang ditunggangi oleh seorang pria. Dia adalah bekas tunggangan seorang permaisuri suku Nomad di Mongol, sudah terlatih untuk menolak kalau ditunggangi seorang pria. Sebaliknya, kuda putih itu pantang ditunggangi seorang wanita. Maka, kalau Kongcu membutuhkan kuda, sebaiknya yang putih itu...ehh, kalau belum jadi dibeli oleh Kongcu itu yang datang lebih dulu.”
Pemuda tampan itu sekarang memandang kepada Siluman Kecil, menghampiri dan tersenyum, lalu menjura. Tentu saja Siluman Kecil juga cepat membalas penghormatan orang itu. “Apakah engkau juga hendak membeli kuda putih itu, Sobat?” Pertanyaan ini diajukan dengan sikap ramah sekali sehingga biar pun Siluman Kecil tidak ingin berkenalan dengan orang itu, terpaksa dia menjawab dengan anggukan kepala.
“Agaknya engkau hendak melakukan perjalanan cepat dan jauh pula, Sobat.”
“Saya...kami hendak pergi ke selatan...!”
“Ahh! Betapa kebetulan sekali! Tidak dicari-cari, di sini bertemu dengan seorang teman seperjalanan! Sobat yang baik, kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama. Sungguh menyenangkan sekali! Aku bisa mendapatkan seorang teman untuk bercakap cakap di perjalanan!”
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin melakukan perjalanan dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Pula, memang selama ini dia selalu menjauhkan diri dari pergaulan umum.
“Terima kasih atas kebaikan saudara,” jawabnya. “Akan tetapi saya masih mempunyai banyak kepentingan lain.”
Penolakan halus diterima oleh pemuda tampan itu dengan senyum. “Tidak mengapa. Engkau boleh menyelesaikan semua kepentinganmu lebih dahulu, baru kita berangkat bersama.”
Siluman Kecil tidak menjawab lagi, melainkan menoleh kepada pedagang kuda itu. “Paman, berapakah harganya kuda putih itu?”
“Tiga ratus tael perak,” jawab si pedagang kuda.
“Wah, masa ada kuda harganya sekian?” Siauw-hong berseru. “Biasanya, seekor kuda tidak akan lebih dari seratus tael perak harganya!”
Si pedagang kuda menyeringai. “Siauw-kai, walau pun omonganmu itu ada benarnya, akan tetapi dua ekor kuda ini bukanlah kuda biasa! Coba dibayangkan, berapa biayanya mengambil dua ekor kuda ini dari tempat asalnya! Kongcu, harganya tiga ratus tael perak, tidak boleh kurang satu tael pun.”
Siluman Kecil tidak tahu akan harga kuda, akan tetapi terdengar pemuda tampan itu berkata, “Tiga ratus tael tidaklah mahal untuk seekor kuda seperti itu.”
Mendengar ini, Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Uang baginya bukan apa-apa, apa lagi uang itu adalah pemberian orang untuk bekal. Dia tidak membutuhkan banyak uang, justeru hanya memberatkan saja.
Tiba-tiba dia terkejut bukan main dan baru teringat bahwa dia tidak merasakan sesuatu yang berat di buntalannya! Karena dia tidak pernah memikirkan uang, dan jarang sekali membawa uang banyak, maka dia tidak merasakan perbedaan itu! Dia mengangkat buntalannya, menimbang-nimbang dan jantungnya berdebar. Benar saja, buntalannya sudah tidak berat lagi! Padahal seingatnya, uang bekal yang diberikan oleh hartawan itu kepadanya amat berat! Cepat dia membuka buntalannya dan dia menahan napas. Uang itu telah lenyap! Dia telah diberi beberapa potong uang emas dan banyak uang perak oleh hartawan itu, yang rasanya cukup banyak untuk membeli kuda itu. Akan tetapi ternyata uang itu lenyap sama sekali, tidak ada sisanya barang satu potong pun! Dan dia tidak merasakan kehilangan itu!
“Celaka...!” serunya.
“Taihiap, ada apakah...?” Siauw-hong bertanya sambil mendekati.
“Uangku lenyap!”
“Ahhh...!” Siauw-hong juga memandang bingung.
Pemuda tampan itu menghampiri Siluman Kecil dan bertanya, “Sobat, apa yang telah terjadi?”
Siluman Kecil menggeleng kepala. “Entah bagaimana, uangku yang berada di dalam buntalan ini lenyap semua tanpa kusadari. Aku lupa bahwa aku membawa uang, maka ketika lenyap aku tidak tahu...”
“Hemmm...” Si pedagang kuda berkata dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh kecurigaan kepada Siluman Kecil dan Siauw-hong.
“Kalau begitu, biarlah aku yang membayarnya! Hei, pedagang kuda, berikan kuda putih itu kepada sobatku ini dan kuda hitam itu kubeli, lalu sediakan dua ekor kuda lain untuk pembantu-pembantu kami!” Pemuda itu cepat mengeluarkan sekantung uang emas dari buntalannya yang tadi dibawa oleh kacungnya.
“Ah, tidak usah, Saudara... biar kami jalan kaki saja...,“ kata Siluman Kecil.
“Sobat yang baik, kita sudah menjadi sahabat dan calon teman seperjalanan, mengapa banyak sungkan?”
“Aku tidak mau menerima pemberian dari orang yang tidak kukenal dan...”
“Kalau begitu perkenankan, aku she Kang, bernama Swi,” katanya.
“Tetapi...”
“Kalau kau segan menerima pemberianku, biarlah kuda itu kau pinjam saja!”
Siluman Kecil tidak dapat menolak lagi, merasa tidak enak kalau harus menolak terus kebaikan orang yang kelihatannya demikian tulus dan ikhlas.
“Kalau begitu, baiklah, Saudara Kang Swi. Terima kasih atas kebaikanmu,” katanya sambil menjura.
“Akan tetapi saya bukanlah pembantu Taihiap ini, saya hanya mengantarnya sampai ke sini saja,” kata Siauw-hong.
Pemuda tampan itu menoleh kepadanya. “Aku melihat engkau tadi pandai sekali menunggang kuda, tentu engkau pandai pula merawat kuda, bukan? Nah, bagaimana kalau kau kuangkat sebagai perawat kuda? Berapakah gaji yang kau minta, tentu akan kupenuhi.”
Siauw-hong mengangkat dadanya dan menjawab, “Saya menerima permintaan Kongcu, tetapi bukan karena besarnya gaji, melainkan karena saya memang ingin meluaskan pengalaman ke selatan.”
“Jadi kau terima?” tanya kongcu itu dengan girang, tetapi ada sinar keheranan melihat sikap pengemis muda itu, yang demikian angkuh sikapnya. “Paman, cepat pilihkan dua ekor kuda lain selain si Putih dan si Hitam ini, dan hitung berapa yang harus kubayar kepadamu.”
Tentu saja si pedagang kuda menjadi girang bukan main. Sungguh mujur dia. Hari ini bertemu dengan kongcu yang kaya dan begini royal, membeli kuda tanpa menawar lagi! Tentu saja dia tidak mau mencelakakan seorang langganan yang begini royal, maka dia berkata, “Akan saya pilihkan seekor kuda yang terbagus untuk Kongcu...“
“Aku sudah memilih si Hitam ini!” jawab kongcu itu.
“Ahhh, jangan, Kongcu! Baru saja Siauw-kai ini hampir terbanting mati oleh kuda itu!”
Siauw-hong juga berkata, “Sebaiknya Kongcu mengambil lain kuda. Kuda hitam ini adalah kuda iblis, atau kuda porno...“
“Ehh, kuda porno (cabul)...?” Kongcu itu bertanya dan memandang Siauw-hong dengan alis berkerut.
“Habis, kuda jantan ini hanya mau ditunggangi seorang wanita! Cabul dia!” Siauw-hong berkata dan memandang kepada kuda hitam itu dengan hidung dikernyitkan.
Kongcu itu tertawa. “Kalian semua tidak tahu rahasianya. Aku sudah pernah memiliki seekor kuda seperti ini dan kalau tidak tahu rahasianya, memang jangan harap dapat menjinakkan dia.”
“Kau hendak mengatakan bahwa kau dapat menundukkan dia?” Siluman Kecil bertanya penuh keheranan.
Dia melihat sendiri tadi betapa Siauw-hong yang merupakan seorang ahli menunggang kuda, hampir celaka. Apakah pemuda halus yang kaya raya dan royal ini memiliki ilmu menunggang kuda yang lebih mahir dari pada Siauw-hong? Agaknya tak mungkin. Dia sendiri pun harus mengakui bahwa dalam menunggang kuda, belum tentu dia mampu menandingi Siauw-hong dan dia akan berpikir dua kali untuk menunggangi kuda liar macam si Hitam itu.
“Tentu saja,” kata pemuda royal itu tersenyum. “Kalau tidak, untuk apa kubeli?”
“Tapi... tapi dia benar-benar berbahaya sekali,” kata Siluman Kecil.
“Aku mengerti bagaimana harus menguasainya, harap kau jangan khawatir, Sobat.”
Namun ketika pemuda tampan itu hendak memegang kendali kuda hitam dari tangan pedagang kuda, si pedagang berkata ragu, “Wah, bagaimana kalau sampai Kongcu terbanting jatuh dan... dan celaka? Siapa akan membayar kuda-kuda saya?”
Kongcu itu tertawa. “Hitunglah dan akan kubayar sekarang juga. Kalau seandainya nanti aku dibanting mati oleh kuda ini, kau tidak akan rugi apa-apa.”
Wajah pedagang kuda itu menjadi merah. “Bukan... bukan maksudku begitu... tetapi sebaiknya Kongcu jangan mencoba-coba untuk menunggang ini, dia sungguh tidak mau ditunggangi oleh pria.”
Akan tetapi pemuda itu tidak melayaninya lagi, melainkan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar empat ekor kuda. Kemudian dia berkata sambil menuntun si Hitam, “Kalian semua lihatlah bahwa aku tidak sedang main-main. Aku tahu bagaimana harus menundukkan kuda Mongol yang terlatih ini.”
Setelah berkata demikian, dia lalu mengusap-usap kepala kuda hitam itu, mendekatkan mulutnya pada telinga kiri kuda itu dan mengeluarkan kata-kata asing dalam bahasa Mongol. Mulutnya komat-kamit dan terdengar kata-kata aneh seperti mantra. Komat... kamit... komat... kamit.....
Selanjutnya »»»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum