JODOH RAJAWALI : JILID-32


“Jangan, Hwee Li. Hal itu berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan.”

“Aku yakin mudah saja bagiku untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu menjadi marah kepadaku, biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan mengurungkan niatnya yang gila untuk menikah dengan aku!”

Syanti Dewi merangkulnya. “Tenanglah, Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat betapa Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di sini semua. Lihat betapa benteng ini dibuat amat kuatnya dan Liong Bian Cu mengumpulkan banyak orang pandai. Bahkan orang-orang Liong-sim-pang itu pun menjadi sahabat mereka! Akan ada peristiwa besar, kegegeran besar dan ancaman berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja. Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi perut pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu.”

Hwee Li mengangguk dan berbisik, “Ahhh, kalau tidak terjadi sesuatu yang mukjijat, bagaimana mungkin kita dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang-orang sakti terlampau banyak di sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh Jenderal Kao yang amat ahli dalam hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat lolos dan keluar dari dalam benteng.”

“Kita tidak boleh putus harapan. Banyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar benteng. Aku yakin bahwa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada waktu yang sudah-sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka.”

“Hemmm, mereka siapa?” tanya Hwee Li.

“Pertama-tama tentulah Siang In yang cantik dan cerdik, dan... Tek Hoat...“

“Dan Siluman Kecil! Juga Suma Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak akan diam saja melihat kita ditawan orang-orang jahat?”

“Dan di sana masih ada pula adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suaminya yang amat sakti...”

“Ahh, kenapa aku pun lupa kepada Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo dan Suhu akan dengan mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!”

“Dan masih ada lagi Bibi Puteri Milana! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan keluarga Pulau Es...“

“Wah-wah, kita mengharap terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang datang menolong?”

“Mustahil... akan tetapi... setidaknya harapan itu menghibur hati kita...,“ jawab Syanti Dewi sambil menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li yang di tempat itu menjadi temannya yang paling baik, paling akrab sehingga dapat saling menghibur.

Memang benar seperti yang dikatakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin lancar karena anak buah Liong-sim-pang ikut dikerahkan pula untuk membantunya. Dan juga Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan-segan untuk membantu dengan keuangan, membeli bahan-bahan bangunan secara royal.

Mohinta dan para pengawalnya juga tinggal di benteng lembah itu, akan tetapi dia selalu bersembunyi dan tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap belum waktunya untuk bicara dengan puteri itu, sungguh pun hatinya merasa amat rindu terhadap dara yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu. Rencananya bersama Pangeran Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja Bhutan, yaitu ayah dari Puteri Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk bertemu dan bicara dengan Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu tentu akan merasa heran dan akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya, di antaranya mengapa dia justeru berada di situ dan menjadi teman dari Pangeran Nepal dan yang menawan puteri itu.

Hwee Li adalah seorang dara yang amat cerdik. Setelah usahanya yang gagal untuk membunuh Liong Bian Cu, dan melihat betapa pangeran itu tidak mendendam dan tetap mencintanya, dia tahu bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan buntu. Dia tidak boleh mencoba lagi karena kalau sampai dia menimbulkan rasa benci dalam hati pangeran itu, dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya dibunuh saja bukan apa-apa baginya, tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dengan kekuasaannya, pangeran itu bisa saja memaksanya dan memperkosanya.

Dia kini mengandalkan cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak terancam keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan memaksanya menyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai seorang pangeran negara besar, tentu pangeran itu akan melaksanakan pernikahannya di negerinya, di Nepal. Maka masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak memancing kebencian pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap terlalu manis karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan birahinya terhadap dia, bisa berabe dan berbahaya!

Karena sikap Hwee Li yang tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan sabar, maka kini mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao Liang di dalam rumah tahanan mereka. Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan dan kini pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua pihak.

Kao Kok Tiong sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam dia amat mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Jenderal ini tidak boleh menemui keluarganya, hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat. Ayahnya terpaksa membantu pemberontak! Demi keselamatan keluarganya!

Dia tahu bahwa andai kata ayahnya belum dipecat dan kini masih menjadi Panglima Kerajaan Ceng, sampai mati pun ayahnya tidak akan tunduk kepada pemberontak. Biar andai kata seluruh keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hidungnya, ayahnya pasti takkan sudi untuk membantu pemberontak. Dan sekarang, karena dia bukan Panglima Ceng lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi tentu saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri sangat dicurigai oleh Pangeran Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya.

Keadaan seperti itu lewat sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas petunjuk Jenderal Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati kesempurnaannya. Hati para tawanan itu jadi semakin gelisah, harapan mereka untuk memperoleh pertolongan dari luar semakin menipis, sungguh pun belum habis sama sekali. Selama waktu-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi memperdalam ilmu silatnya dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempelajari banyak hal dari sang puteri, dari menyulam, melukis, menari dan bernyanyi.....

********************

Pelayan rumah penginapan itu buruk sekali mukanya. Tek Hoat sendiri sampai merasa heran dan kasihan mengapa ada seorang pria demikian buruk mukanya, rusak oleh penyakit cacar. Selain muka itu hitam dan bopeng, berlubang-lubang seperti kulit pohon dimakan rayap, juga matanya besar sebelah, hidungnya berbentuk besar dan melengkung, bibirnya tebal sekali dan basah, dahinya sempit seperti dahi monyet. Pendeknya, muka yang sama sekali tidak ada manisnya, biar pun tidak menakutkan, namun sukar menimbulkan rasa suka di hati, apa lagi karena sepasang mata itu mempunyai sinar yang liar seperti mata seekor anjing kelaparan.

Akan tetapi pelayan itu ternyata ramah sekali. Setelah Tek Hoat membayar uang sewa kamar di meja pengurus, peraturan yang harus ditaati semua tamu, yaitu pembayaran di muka, pelayan itu lalu mendapat tugas untuk mengantar Tek Hoat di kamar yang disewanya dan melayaninya. Setelah pelayan itu sambil menyeringai dan membungkuk bungkuk mempersilakan dia mengikutinya, baru diketahui oleh Tek Hoat bahwa pelayan itu pincang kakinya dan ketika dia memperhatikan, ternyata kaki kirinya cacat, ada luka yang sudah mulai mengering di dekat tumit sehingga dia tidak dapat memakai sepatu, melainkan memakai sandal kayu yang mengeluarkan bunyi teklak-teklik ketika dia berjalan timpang.

“Heh-heh, di sinilah kamar Kongcu. Sunyi, karena kebetulan malam ini kurang tamu, Kongcu. Lihat, kamar di kanan kiri Kongcu juga kosong, jadi... heh-heh, aman deh!”

Tek Hoat yang memasuki kamar itu, yaitu sebuah kamar sederhana dengan sebuah pembaringan cukup besar untuk seorang saja, sebuah meja dan tempat air untuk cuci muka, cepat menengok dan memandang muka buruk itu ketika mendengar ucapan itu.

“Cukup aman? Apa pula maksudmu?” tanyanya sambil menaksir usia orang. Sukar menaksir usia wajah yang buruk itu. Mungkin tiga puluh, mungkin pula sudah lima puluh tahun lebih.

“Heh-heh-heh, aman, tidak akan ada yang mengganggu atau mendengar suara dari dalam kamar ini.”

“Suara? Suara apa yang kau maksudkan?” Tek Hoat bertanya lagi sambil mengerutkan alisnya.

Kembali orang itu menyeringai, lalu mengambil baskom tempat air yang berwarna biru itu. Dia berjalan ke pintu membawa baskom itu, lalu menoleh dan menyeringai sambil tertawa. “Tentu saja orang yang berpacaran mengeluarkan suara, bukan? Dan tentu akan merasa sungkan kalau di sebelah ada orang lain yang ikut mendengarkan.”

Tek Hoat hendak membantah, akan tetapi pelayan itu sudah keluar sambil berkata, “Saya akan mengambilkan air hangat untuk Kongcu.”

Tek Hoat menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan dan termenung. Hatinya masih terasa kesal dan mengkal karena sampai saat itu dia belum berhasil menemukan jejak kekasihnya, yaitu Syanti Dewi. Makin terasalah kini betapa dia amat mencinta Syanti Dewi, betapa sebetulnya dia hanya mempunyai semangat hidup karena puteri itulah.

“Heh-heh-heh...!” Suara ketawa yang jelek ini menggugahnya dari lamunan dan pelayan itu sudah masuk lagi ke kamarnya membawa sebaskom air yang masih mengepulkan uap.

Melihat air ini, Tek Hoat segera menghampiri baskom yang tadi telah diletakkan di atas bangku, lalu mengeluarkan sebuah saputangan lebar dari buntalannya dan mencuci mukanya. Terasa segar sekali air hangat itu ketika dia menggosok-gosokkan air di muka dan lehernya. Lenyaplah semua kemuraman yang amat mengganggunya tadi.

“Heh-heh-heh, Kongcu tampan sekali, sungguh cocok kalau berpacaran...“

Tek Hoat mengusap mukanya dengan keras, menggosok-gosok kulit mukanya sampai berwarna merah sekali. Setelah pikirannya kosong, setelah semua kenangan tentang Syanti Dewi lenyap oleh air panas dan oleh gosokan keras pada mukanya, dia merasa betapa segala sesuatu yang dihadapinya menjadi lebih menarik. Dia biasanya tidak pedulian, tidak mengacuhkan segala hal dan orang lain. Akan tetapi baru dia merasa betapa pelayan ini amat menarik hatinya dan menimbulkan ingin tahunya.

“Paman pelayan, jangan kau bicara yang bukan-bukan tentang suara pacaran dan lain lain itu. Aku berada di dalam kamar ini sendirian tanpa kawan.”

“Heh-heh, karena itulah Kongcu, maka saya menganggap bahwa sayang sekali seorang pemuda tampan seperti Kongcu sendirian saja di kamar ini untuk melewatkan malam yang dingin.”

“Hemmm, aku memang sendirian. Habis bagaimana?”

“Ahhh, si Teratai Emas itu tentu merupakan lawan dan kawan yang amat cocok bagi Kongcu! Cantik jelita dan harum dia! Dan tidak sembarangan mau diajak orang, akan tetapi kalau Kongcu yang mengajaknya... hemmm, ditanggung puas!”

Sepasang mata Tek Hoat terbelalak. “Apa maksudmu?”

Dia amat rindu kepada Syanti Dewi dan sekarang ditawari wanita untuk menemaninya! Padahal, bujukan dan rayuan seorang wanita cantik seperti Mauw Siauw Mo-li itu pun ditolaknya mentah-mentah!

“Maksud saya? Heh-heh, maksud saya... Kongcu muda dan tampan, malam ini di kamar sendiri, dan kamar-kamar di sekitar kamar ini kosong... heh-heh, dan Teratai Emas itu sungguh cantik... tentu akan mesra sekali...“

Tek Hoat sekarang mengerti dan dia cepat memberikan beberapa potong uang kepada pelayan itu. “Pergilah!” katanya singkat karena dia tidak ingin diganggu lagi.

Dia tidak melihat betapa pelayan buruk rupa itu memandang ke arah tangannya yang menerima uang itu dengan girang sekali, mengangguk-angguk lalu pergi dari situ. Tek Hoat lalu menutupkan daun pintunya. Tubuhnya terasa enak setelah dia mencuci muka, leher, kedua lengan dengan dengan air hangat. Dia sudah makan tadi, dan tubuhnya lelah. Kini terasa segar dan nyaman, membuat dia merasa mengantuk sekali.

Direbahkannya tubuhnya di atas pembaringan, terlentang dan menerawang langit-langit kamar itu yang berwarna putih. Wajah Syanti Dewi membayang! Makin dipandang, makin rindulah hatinya. Cuaca mulai gelap karena matahari mulai tenggelam sehingga sinarnya tidak menerangi kamar itu melalui lubang jendela. Akan tetapi dia merasa malas untuk bangkit dan menyalakan lilin, membiarkan saja kamar itu menjadi makin remang-remang gelap.

“Tok! Tok! Tok!”

Tek Hoat tergugah lagi dari keadaan yang hampir pulas. Sialan, pikirnya, siapa lagi yang mengganggu?

“Siapa?” tanyanya, memandang ke arah daun pintu yang hampir tidak kelihatan karena kamar itu sudah mulai gelap.

“Saya, Kongcu...“

Si pelayan buruk rupa sialan lagi!

“Ada apa lagi?”

“Ssssst, penting Kongcu. Sudah datang...!”

Tek Hoat yang masih setengah sadar setengah layap-layap itu tidak ingat apa-apa lagi tentang sore tadi. Dia merasa heran dan ingin tahu. “Masuklah, daun pintunya tidak terpalang,” katanya.

Bunyi daun pintu berderit ketika dibuka dari luar. Nampak dua sosok tubuh sebagai bayangan memasuki kamar itu. Yang satu adalah bayangan tubuh pelayan muka buruk, dan yang satu lagi bayangan tubuh yang kecil ramping. Tek Hoat menjadi curiga dan biar pun dia masih rebah terlentang, namun dia siap siaga.

“Aih, begini gelapnya, Kongcu. Kenapa lilin yang tersedia di atas meja tidak dinyalakan? Biar saya nyalakan!” Pelayan itu menyalakan api dan lilin dinyalakan. Cuaca remang-remang mulai terusir dan dengan mata terbelalak Tek Hoat memandang dan melihat bahwa orang yang kedua itu adalah seorang wanita muda yang amat cantik! Pantas saja ada bau harum ketika pintu kamarnya tadi dibuka.

“Kongcu, inilah dia, Kim Lian (Teratai Emas)... heh-heh!” Pelayan itu bergegas keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.

Wanita itu mengambil tempat lilin, menaruhnya di sudut meja dekat pembaringan, lalu memutar tubuh menghadapi Tek Hoat. Begitu dia melihat wajah Tek Hoat, sepasang matanya yang indah itu terbelalak dan dia cepat menghampiri.

“Aihhhhh... kiranya Kongcu benar-benar tampan sekali...! Girang hatiku mempercayai omongan A-khiu bahwa Kongcu amat tampan!” Wanita itu kemudian duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Tek Hoat, lalu tubuh atas pemuda itu yang telanjang, kemudian sambil tersenyum wanita itu menjatuhkan dirinya di atas dada Tek Hoat dan mendekatkan mulutnya hendak mencium bibir pemuda itu. Bau harum menyesak hidung pemuda itu.

Tek Hoat miringkan mukanya dan mendorong kedua pundak wanita itu sehingga hampir saja gadis itu terjengkang. “Perempuan tak tahu malu! Perempuan tak mengenal susila!” bentaknya marah sambil menyambar bajunya, terus dipakainya baju itu dan dia loncat turun ke atas lantai, pandang matanya keras dan muak.

Gadis itu menundukkan mukanya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun, rambutnya digelung indah mengkilap, terhias bunga teratai dari emas, tubuhnya ramping dan lemah gemulai gerak-geriknya, wajah dan tubuh yang terpelihara baik-baik, terbungkus pakaian dari sutera merah muda yang berkembang, menambah kecantikannya. Kemudian dia mengangkat mukanya yang menjadi merah.

“Kongcu, perlukah seorang wanita seperti saya untuk merasa malu? Haruskah seorang wanita seperti saya untuk mengenal susila?” tanyanya dengan suara halus bernada menegur sehingga Tek Hoat tertegun. Akan tetapi lalu pemuda ini dapat menduga ke adaan wanita itu, maka dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil bersungut sungut.

“Huh, kiranya seorang pelacur! Sampah masyarakat!”

Sepasang mata yang bening indah itu mengeluarkan sinar. Tarikan muka yang manis itu membayangkan rasa penasaran seperti orang yang tersinggung kehormatannya, dan mulut yang bibirnya berbentuk indah itu berkata, suaranya halus tapi terdengar dingin, “Kongcu, saya memang seorang pelacur, akan tetapi bukan sampah masyarakat.”

Hati Tek Hoat mulai diserang kemurungan lagi dan dia menjadi kesal. Dengan kasar dia menoleh dan memandang wajah cantik itu, kecantikan yang makin membuat dia marah karena wajah cantik itu ternyata diobral kepada siapa saja yang mampu membayar!

“Bukan sampah masyarakat? Huh, perbuatanmu sangat kotor dan hina! Engkau adalah perempuan perusak rumah tangga, perusak pria, penyebar penyakit, engkau adalah perempuan terkutuk, lebih kotor dari pada sampah!”

Sepasang mata itu masih terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan tanpa berkedip, dari bawah mata itu menetes-netes turun beberapa butir air mata yang berkilauan tertimpa cahaya api lilin, menimpa sepasang pipi yang halus kemerahan dan mengalir ke bawah. Mata itu masih terbelalak menentang wajah Tek Hoat.

“Kongcu... engkau boleh tidak senang kepada saya... akan tetapi... mengapa engkau menghina saya? Apakah dosaku kepadamu? Apakah salahku kepada kaum pria? Hak apakah yang ada pada Kongcu untuk menghina saya seperti itu, untuk menusuk-nusuk perasaan hati saya dengan kata-kata keji itu?”

Tek Hoat menjadi bengong. Wajah yang cantik itu tetap halus, mengingatkan dia akan wajah lembut Syanti Dewi! Betapa miripnya dara ini dengan Syanti Dewi! Sama muda, sama cantik, dan apakah bedanya? Mungkin berbeda karena Syanti Dewi adalah puteri raja dan seorang wanita bangsawan, apa lagi wanita yang amat dicintanya. Sedangkan wanita ini adalah seorang yang pekerjaannya sebagai pelacur. Namun keduanya juga wanita, juga perempuan. Ada perasaan malu dan menyesal mengapa dia tadi bersikap demikian menghina. Melihat wanita ini menangis tanpa dibuat-buat, sepasang mata yang terbelalak seperti mata seekor kelinci yang tak berdaya itu, tiba-tiba saja Tek Hoat merasa kasihan sekali. Di depannya ini adalah seorang wanita! Sama dengan Syanti Dewi, sama dengan mendiang ibunya, seorang manusia!

“Ehhh... hemmm... maafkan aku...“

Pelacur itu mencoba untuk tersenyum sambil menghapus air matanya dengan sehelai saputangan, lalu dia berkata, “Tidak apa-apa, Kongcu. Aku sudah biasa dihina orang, dan agaknya aku dapat mengerti bahwa tentu Kongcu pernah dibikin sakit hati oleh wanita, oleh pelacur, maka sekarang menumpahkan kemarahan dan dendam Kongcu kepada diriku.”

Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang, menunduk sebentar lalu mengangkat kembali mukanya, akan tetapi dia tidak memandang kepada wanita itu. Dia teringat akan Siluman Kucing dan agaknya iblis betina itulah yang membuat dia tadi marah dan menghina wanita ini. Iblis betina itu lebih jahat lagi dari pada pelacur ini! Lalu dia memandang wanita itu yang juga memandangnya. Harus diakuinya bahwa wanita muda ini amat cantik, tidak kalah cantiknya kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing.

“Namamu Kim Lian?” akhirnya dia bertanya.

Wanita itu mengangguk. “Nama asliku telah kupendam di antara kehinaan yang sudah menguruk diriku, Kongcu. Karena aku suka memakai hiasan teratai emas ini, maka aku dipanggil Kim Lian oleh mereka.” Lalu dia menunduk. Dagunya nampak meruncing halus kalau dia menunduk, manis sekali.

“Kim Lian, engkau menjadi pelacur tentu karena ingin memperoleh uang, bukan?”

“Satu di antaranya alasan itulah.”

Tek Hoat mengeluarkan beberapa keping uang perak dari buntalannya, kemudian melemparkan perak itu di atas pembaringan dekat pelacur itu. “Nah, ambillah uang ini sebagai pembayaran biar pun aku tidak akan menyentuhmu.”

Kim Lian kelihatan terkejut, menoleh kepada uang itu kemudian kepada Tek Hoat, lalu kepada uang itu lagi dan kepada Tek Hoat. Air matanya makin banyak bercucuran, akhirnya dia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri, berlutut di depan kaki pemuda itu sambil menangis!

“Kongcu... engkau menghancurkan hatiku dengan sikap ini... lebih baik kau maki saja aku..., Kongcu... kau maki dan pukul aku saja...“

Tek Hoat makin bengong. Dia merasa heran sekali mengapa hatinya tersentuh oleh sikap wanita ini. Seorang pelacur! Mungkin karena dia merasa yakin bahwa pelacur yang satu ini tidak berpura-pura dalam semua sikapnya! Ketika memuji ketampanannya tadi, ketika marah dan ketika berduka sekarang ini, semua adalah wajar dan tidak dibuat-buat. Itulah mungkin yang menggerakkan hatinya sehingga dia merasa kasihan sekali.

“Bangkitlah!” katanya sambil memegang kedua pundak pelacur itu, menariknya berdiri.

Pelacur itu bangkit berdiri dan Tek Hoat juga turut berdiri. Pelacur itu hanya setinggi dagunya. Mereka saling pandang. Pelacur itu masih terisak ketika memandangnya.

“Sudah, jangan menangis, aku hanya ingin bertanya-tanya, dan kuharap engkau suka menjawabnya. Uang itu sebagai pembayaran jawaban-jawabanmu.”

“Kongcu... Kongcu tidak memandangku dengan hina lagi?” Wanita itu terisak.

Tek Hoat merasa makin tertusuk. Betapa tidak berdayanya wanita ini, berdiri sendiri di dunia yang kejam, tidak ada yang melindunginya dari penghinaan semua orang! Hatinya merasa terharu dan dia mendekatkan mukanya, mencium dahi perempuan itu, ciuman karena iba, bukan ciuman sayang, bukan pula ciuman birahi, lalu dia perlahan-lahan mendorong wanita itu sehingga terduduk kembali di atas pembaringan. Dia sendiri lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan.

“Nah, Kim Lian, kita bicara sebagai dua orang sahabat. Aku kasihan kepadamu dan harap kau suka menjawab sejujurnya. Kenapa engkau menjadi pelacur? Siapa yang memaksamu menjadi seorang pelacur, melakukan pekerjaan yang rendah dan hina ini?”

Agaknya Kim Lian sudah dapat menguasai dirinya kembali dan ciuman pada dahinya tadi menyentuh hatinya, membuat dia percaya kepada pemuda aneh ini yang sikapnya amat luar biasa terhadap dirinya, sikap yang selama ini belum pernah dia lihat di antara para langganannya yang tak terhitung banyaknya itu. Maka dia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda luar biasa yang amat baik hatinya terhadap dirinya, dan dia mengambil keputusan untuk bersikap jujur dan untuk menumpahkan seluruh isi hatinya kepada pemuda ini.

“Kongcu, pertanyaan Kongcu itu banyak sekali jawabannya. Mengapa aku menjadi pelacur? Mungkin karena keadaan karena terpaksa atau juga karena kusengaja! Yang memaksaku adalah kaum pria dan mungkin juga diriku sendiri.”

“Hemmm, jawabanmu merupakan teka-teki, Kim Lian.”

“Bukan, Kongcu, melainkan jawaban sejujurnya. Adalah kaum pria yang mendorongku untuk menjadi pelacur ini dan untuk itu sebaiknya Kongcu mendengar riwayatku secara singkat. Aku adalah anak keluarga miskin. Ibu kandungku mati ketika aku masih kecil. Ayah kawin lagi dan dalam keadaan miskin itu, atas desakan ibu tiriku untuk menyelamatkan mereka dan anak-anak lain dari bahaya kelaparan, aku dijual kepada seorang kaya. Sejak kecil aku menjadi pelayan dalam rumah keluarga kaya itu sampai aku mulai dewasa dan majikanku, laki-laki tua itu, pada suatu malam memaksa aku, memperkosa aku dengan ancaman dan dengan ganjaran. Aku tidak berdaya. Sampai aku mengandung dan majikan perempuan marah-marah lalu menghadiahkan aku kepada seorang pegawai pria dari mereka. Aku menjadi isteri pegawai itu, akan tetapi sering kali majikan laki-laki tua itu masih datang untuk menikmati tubuhku setahu suamiku! Setelah aku melahirkan seorang anak yang mati ketika lahir, majikan laki-laki itu pun meninggal dunia dan suamiku mulai bersikap kasar kepadaku. Aku sering dipukul, dan aku dipaksa untuk melacurkan diri. Aku lari minggat meninggalkan dia. Kemudian aku terjatuh ke tangan beberapa orang pria yang pada pertemuan pertama kelihatan amat mencinta, akan tetapi setelah mereka puas menikmati tubuhku dan menjadi bosan, aku dicampakkan begitu saja! Entah berapa kali aku merasa sakit hati kepada pria, Kongcu. Akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita tua bekas pelacur, aku mendapat nasehat dari padanya untuk membalas kaum pria, untuk menyerahkan badan bukan hati dan untuk menikmati hidup sambil memperoleh hasil yang mudah. Nah, mulai hari itu aku menjadi pelacur sampai sekarang, terkenal dengan nama Kim Lian.”

Tek Hoat berdiam diri saja mendengarkan penuturan singkat itu. Dia merasa kasihan, dan setelah gadis pelacur itu mengakhiri penuturannya, dia menarik napas panjang dan berkata, “Kim Lian, di antara segala pekerjaan di dunia ini yang begitu banyak, kenapa engkau memilih pekerjaan pelacur?”

“Kongcu, pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang wanita lemah dan tidak terpelajar seperti aku ini? Yang kumiliki hanyalah kewanitaanku, kecantikan dan kemudaanku! Menjadi pelayan rumah tangga orang? Sudah kulakukan beberapa kali, akan tetapi hasilnya hanyalah gangguan dari majikan laki-laki, tua mau pun muda! Dan dalam pekerjaan sebagai pelacur ini, aku memperoleh dua hal, pertama, uang yang banyak dan mudah. Kedua, kebutuhan nafsu badan sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Apa artinya uang yang didapatkan dengan jalan hina? Dan untuk kebutuhan kedua, mengapa engkau tidak berumah tangga saja, menikah dengan seorang pria dan hidup sebagai ibu rumah tangga yang terhormat?”

Sepasang mata itu memandang dengan penasaran. “Kongcu, bagaimana mungkin ada seorang wanita berumah tangga dan menikah kalau tidak ada seorang pria pun yang menghendakinya? Dan pria manakah yang sudi menikah dengan aku? Tidak mungkin wanita memilih pria lalu melamar sebagai suaminya, seperti yang mudah saja dilakukan oleh pria! Dunia ini memang berat sebelah dan tidak adil, Kongcu, engkau pun tentu mengetahui akan hal itu!”

Makin lama dia bicara dengan pelacur muda ini, makin tertariklah hati Tek Hoat. Banyak kenyataan terbuka di depan matanya.

“Akan tetapi, pekerjaanmu ini merupakan dosa besar. Engkau berdosa karena engkau menggoda kaum pria, menyeret mereka ke dalam perbuatan hina, hubungan gelap yang membuat mereka mengkhianati kesetiaan suami isteri, dan engkau juga merusak orang muda yang belum beristeri.”

Tiba-tiba gadis itu tertawa dan suara ketawanya membuat Tek Hoat merasa tertusuk jantungnya, karena sukar dibedakan apakah suara itu merupakan tawa ataukah tangis! Kemudian gadis itu berkata, suaranya lantang, “Kongcu yang baik, bicara tentang godaan, siapakah yang menggoda dalam hal ini? Priakah atau wanita semacam kami? Siapa yang menyeret ke dalam perbuatan hina? Siapakah yang khianat-mengkhianati dalam hubungan antara kami dengan pria-pria itu? Kongcu, kami dan kaum pria sama sama membutuhkan, akan tetapi kebutuhan kami jauh lebih suci dari pada kebutuhan mereka! Kami membutuhkan uang untuk hidup, membutuhkan kepuasan birahi sebagai mana patutnya. Berilah kami seorang suami yang baik dan uang untuk hidup, tidak akan ada seorang wanita pun yang menjadi pelacur, kecuali kalau dia gila! Akan tetapi kaum pria itu, sudah mempunyai isteri, bahkkan sudah mempunyai selir-selir, masih saja melacur! Siapakah yang hina? Siapakah yang rendah? Mereka itu membutuhkan kami, membutuhkan hiburan yang ada pada diri kami, sedangkan kami membutuhkan kesenangan dan uang. Mereka membeli dan kami menjual. Coba tidak ada kaum pria yang mengejar-ngejar dan mencari-cari kami untuk membeli, mana mungkin pula kami menjual diri?”

“Tapi, Kim Lian, kenyataan dalam hidup adalah bahwa semua orang pria mau pun wanita memandang rendah dan hina kepada pekerjaanmu ini.”

“Biarlah! Akan tetapi buktinya, kami kaum pelacur tidak pernah mengkhianati siapa pun, kami bebas bermain cinta dengan laki-laki mana pun juga yang menghendaki kami tanpa paksaan, tanpa sembunyi-sembunyi karena kami tidak mengkhianati siapa-siapa. Merekalah, kaum prialah yang mengkhianati isteri-isteri mereka, yang mencari kami dengan sembunyi-sembunyi dan berani membayar berapa saja kalau sudah tergila-gila kepada kami.” Gadis pelacur itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi, “Seluruh pria tentu ingin melihat agar semua wanita di dunia ini, kecuali ibunya, isterinya, atau pun anak perempuannya dan keluarga perempuannya, menjadi pelacur semua! Supaya semua wanita suka melayaninya di atas pembaringan, agar semua wanita bersedia dan mau memuaskan nafsu birahi mereka. Betapa palsu, licik dan munafiknya kaum pria!”

Tek Hoat melongo. Benarkah ini? Dia pun seorang pria. Benarkah apa yang dikatakan oleh pelacur ini? Bahwa semua pria menghendaki semua wanita, kecuali orang-orang tertentu, yaitu keluarganya, bersikap bagai pelacur? Hatinya condong mengatakan ‘ya’ kalau dia berani memandang diri sendiri, memandang sampai ke sudut tergelap dari batinnya. Akan tetapi dia merasa ‘ngeri’ untuk mengakui ini.

“Kim Lian, kata-katamu terlalu keras, agaknya karena dendam sakit hati kepada kaum pria. Tetapi, bukankah pekerjaanmu melacur ini mencemarkan kaum wanita? Bukankah pekerjaanmu ini dikutuk oleh kaum wanita?”

Kembali Kim Lian tertawa, suara ketawa yang aneh, setengah menangis dan setengah ketawa, lalu dia berkata lagi, suaranya lebih halus, penuh kepahitan, “Mungkin sekali, Kongcu. Dan biarlah mereka itu mengutuk dan mencemoohkan kami kaum pelacur. Kami tahu mengapa mereka mengutuk kami, dan kami kasihan kepada mereka.”

“Ehh, apa pula ini? Engkau kasihan kepada mereka yang mengutukmu dan kau tahu mengapa?”

“Memang ruwet lika-likunya, Kongcu. Akan tetapi aku, yang telah matang digembleng oleh hidup, yang telah direbus oleh api kepahitan, aku dapat melihatnya. Wanita-wanita itu mengutuk kami karena mereka merasa dirugikan...“

“Dirugikan?”

“Ya, dirugikan karena suami, anak mereka, keluarga mereka yang pria lari kepada kami dan menjauhi mereka. Karena kami dianggap mencemarkan dan memalukan mereka. Kemudian karena mereka merasa iri kepada kami.”

“Iri?” Tek Hoat berseru kaget. “Kaum wanita baik-baik bisa iri kepada pelacur? Apakah maksudmu?”

“Benar, iri hati! Mungkin di bawah sadar mereka, akan tetapi jelas ada perasaan iri hati yang tidak mereka sadari sendiri itu. Lihatlah, wanita mana yang tidak suka bersolek, yang tidak suka mempercantik diri? Mereka mempercantik diri karena dua sebab, pertama agar dipuji oleh umum, terutama sekali oleh kaum pria dan diiri hatikan kaum wanita lainnya. Mereka itu, di luar sadarnya berusaha untuk menarik hati kaum pria sebanyaknya! Makin banyak pria yang kagum dan tergila-gila kepadanya, maka makin senanglah hatinya.”

“Ah, masa...?”

“Keadaan membuktikan demikian dan mungkin itu sudah merupakan naluri wanita, Kongcu. Setiap mahluk betina selalu akan berlagak di depan jantan, tentu karena naluri untuk menarik perhatian. Karena itu, melihat betapa kami kaum pelacur dapat menarik perhatian banyak pria, bahkan dapat menghibur mereka dalam permainan cinta, bahkan menerima perhatian pria yang rela memberi hadiah dan uang di samping perlakuan cinta, tanpa disadari mereka itu, kaum wanita merasa iri dan karena iri ini tidak dapat dinyatakan secara terbuka, maka perasaan iri itu berubah menjadi benci! Dan lalu muncullah penghinaan mereka terhadap kami! Tentu saja selain itu, juga mereka mendendam karena kami dianggap merusak nama baik kaum wanita pada umumnya.”

Tek Hoat memandang penuh perhatian dan makin terheran-heran. “Kim Lian, engkau seorang pelacur, engkau seorang yang buta huruf, akan tetapi heran sekali, kurasa jarang ada orang pandai yang dapat dan berani berpandangan seperti yang baru kau nyatakan itu. Sekarang ada satu hal lagi, Kim Lian. Sebagai pelacur, engkau dan kaummu dianggap sebagai penyebar penyakit kotor! Hal ini mau tidak mau harus kau akui dan tidak dapat kau sangkal lagi!”

Sejenak gadis pelacur yang cantik itu menarik napas panjang. “Memang, hukum rimba mengatakan bahwa segala macam sebab kesalahan selalu ditimpakan kepada mereka yang lemah dan yang kalah! Kaum pria mau mencari enaknya sendiri saja, benarnya sendiri saja! Penyakit itu hanya merupakan akibat, Kongcu. Sebabnya adalah hubungan-hubungan gelap itu. Dan siapakah yang mulai dengan pelacuran? Sudah kukatakan tadi, kalau tidak ada pria yang hendak melacur, apakah di dunia ini ada pelacur? Dan tentang penyakit, siapakah yang menularkan dan siapa yang ditularkan? Dari siapakah pelacur terserang penyakit kalau tidak ketularan oleh seorang langganannya, yaitu seorang pria? Ahhh, Kongcu, persoalan penyakit ini sama saja dengan persoalan siapa yang keluar lebih dulu, telur ataukah ayamnya!”

Tek Hoat bungkam. Beberapa kali dia hendak berkata, akan tetapi tidak dapat keluar dan akhirnya dia hanya dapat menelan ludah. Baru sekarang ini dia mendengar hal-hal seperti itu. Sungguh berlainan dengan segala macam filsafat yang pernah dibacanya tentang susila, tentang kejahatan dan kebaikan dan lain-lain. Kini dia dihadapkan dengan keadaan yang telanjang, tanpa aling-aling lagi, tanpa pulasan dan dia melihat ketelanjangan yang murni, melihat baik buruknya. Dan dia terpesona, juga... bingung! Dirogohnya buntalannya, diambilnya beberapa keping uang lagi dan ditambahkan pada uang di atas pembaringan.

“Ambiliah semua uang itu, Kim Lian. Dan pulanglah engkau. Terima kasih atas segala keteranganmu. Percakapan kita membuka mataku dan aku tak berani lagi memandang rendah kepada kaum pelacur karena aku mulai melihat apakah diriku ini tidak lebih rendah dari pada engkau, Kim Lian.”

Kim Lian turun dari pembaringan, mengambil semua uang itu dari atas pembaringan, menghampiri Tek Hoat yang sudah berdiri dan meletakkan uang itu di atas meja. “Aku tidak bisa menerima uangmu, Kongcu. Bukan karena aku tidak melayanimu seperti mestinya di atas pembaringan. Biar pun tidak melayanimu, kalau engkau menghinaku, memandang rendah kepadaku, tentu akan kuperas kau sampai habis uangmu dengan akal bagai mana pun juga. Akan tetapi, engkau begitu jujur, dan percakapan ini telah melegakan dadaku, aku telah menumpahkan segala beban hatiku kepadamu. Engkau telah memberi aku sesuatu yang jauh lebih berharga dari pada uang ini ditambah sepuluh kali lipat, Kongcu. Aku akan pergi, Kongcu, hanya... kalau boleh..., aku ingin menyatakan terima kasihku kepadamu dengan caraku sendiri.”

Ang Tek Hoat makin terharu. Benar-benar bukan gadis sembarangan dia ini, pikirnya, “Silakan, Kim Lian, sungguh pun yang patut berterima kasih adalah aku kepadamu.”

Kim Lian menghampiri makin dekat, lalu merangkul leher Tek Hoat, menarik leher itu sehingga kepala Tek Hoat menunduk, lalu dia berdiri di atas ujung jari-jari kakinya dengan mengangkat tumitnya sehingga bibirnya bertemu dengan bibir Tek Hoat ketika dia mencium mulut pemuda itu. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan sepenuh perasaannya, kecupan seorang wanita yang menyerahkan diri sebulatnya kepada seorang pria, ciuman yang selama hidupnya baru satu kali itu dilakukan oleh Kim Lian terhadap seorang pria!

Terdengar suara isak naik dari dada Kim Lian, dia melepaskan ciumannya lalu berlari ke pintu, membuka daun pintu, lalu berhenti, menoleh dengan air mata membasahi pipi sambil berkata, “Pria seperti engkau inilah yang menjunjung tinggi martabat wanita, Kongcu, patut dibanggakan oleh ibumu, oleh semua wanita, patut menerima cinta kasih wanita. Aku selamanya tidak akan dapat melupakan wajahmu, Kongcu. Selamat tinggal.” Dan daun pintu itu ditutup kembali, lalu terdengar langkah-langkah kaki yang diseret dan ringan dari pelacur itu yang pergi setengah berlari.

Tek Hoat menjatuhkan diri di atas bangku, duduk termenung. Dia pria seperti itu? Menjunjung tinggi martabat wanita? Patut dibanggakan oleh ibunya dan semua wanita? Dia? Terbayang kembali segala perbuatannya di waktu dahulu, penyelewengannya, perjinaannya dengan isteri orang.

“Ahhh...!” Dia menutupi kedua matanya dengan tangannya, memejamkan mata dan telinganya terus-menerus, mendengar pujian Kim Lian.

“Tidak...!” Kini kedua tangan itu pindah ke telinganya. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan kalau saja hatinya tidak sudah membeku atau membaja, tentu Tek Hoat akan menangis menggerung-gerung di saat itu. Dia merasa dirinya kotor sekali, hina dan jauh lebih rendah dari pada Kim Lian si pelacur!

“Kongcu... heh-heh-heh...”

Tek Hoat tergugah dan dia menoleh. Wajah buruk pelayan itu menyeringai.

“Kongcu, saya bertemu dengan Kim Lian, dia menangis dan tidak mau bicara. Ahh, dan Kongcu duduk sendiri dengan pakaian lengkap. Apakah Kongcu tidak suka dengan dia? Begitu cantik dan manis, begitu menggairahkan, seperti buah apel yang sudah masak... hemmmmm...“ Dan si buruk rupa itu menjilat-jilat bibirnya seperti orang yang mengilar! “Kalau saya semuda dan setampan Kongcu, dan beruang, hemmm, kalau saya diberi kesempatan... heh-heh...“

Tek Hoat melemparkan beberapa potong uang kepada pelayan itu. Uang itu jatuh ke atas lantai dan dipunguti oleh si pelayan. “Pergilah! Pergilah cepat, kalau tidak, kubunuh kau!”

Pelayan itu terkejut, memandang dengan muka ketakutan, lalu dia mengangguk dan lari keluar, lupa menutupkan pintu kamar itu saking kaget dan takutnya. Tek Hoat tidak peduli dan kembali duduk dengan kedua tangan menopang dahi di kanan kiri, matanya dipejamkan.

“Tek Hoat...!”

Pada saat itu, Ang Tek Hoat sedang membayangkan wajah Syanti Dewi dan timbul keraguan di dalam hatinya, apakah orang semacam dia itu patut menjadi suami Puteri Bhutan itu. Maka begitu saat mendengar suara lembut ini, jantungnya seperti berhenti berdetak.

“Syanti...!” Dia berbisik dan mutar tubuhnya.

Seorang wanita berdiri di pintu kamarnya, wanita cantik yang bertubuh ramping. Akan tetapi bukan Syanti Dewi, melainkan... Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing! Dan anehnya, kedua mata Siluman Kucing itu merah dan basah oleh air mata!

“Mo-li...!” Tek Hoat berkata lirih dan dia agak terkejut melihat kehadiran siluman betina ini dalam saat yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Siluman Kucing menutupkan daun pintu, kemudian dia melangkah maju dan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tek Hoat! Pemuda ini terbelalak dan siap siaga, karena dia maklum akan kelihaian dan kelicikan siluman ini. Akan tetapi dia terheran-heran karena Lauw Hong Kui kini benar-benar menangis di depan kakinya!

“Tek Hoat... maafkan aku... ahhh, betapa aku kagum melihatmu, Tek Hoat. Gadis itu demikian cantik, akan tetapi engkau tidak mengganggunya dan memberi uang. Engkau benar-benar seorang pria yang jantan, Tek Hoat. Betapa aku rindu kepadamu. Setelah kau pergi meninggalkan aku, baru terasa olehku, dunia seperti kosong, sunyi... ahhh, engkau boleh memukulku, Tek Hoat, engkau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau benci padaku, jangan kau tinggalkan aku... aku haus akan cintamu, Tek Hoat, kau kasihanlah kepadaku...“

Tek Hoat menahan senyumnya. Perempuan memang mahluk yang aneh, pikirnya dan dia teringat akan semua percakapannya dengan Kim Lian tadi. Benarkah Mauw Siauw Mo-li haus akan cintanya? Benarkah seorang wanita seperti iblis ini mengenal apa artinya cinta? Ataukah hanya menjadi budak nafsu belaka? Ingin dia tertawa, mentertawakan Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi teringat akan kata-kata Kim Lian, dia merasa tidak tega. Biar pun iblis, Mauw Siauw Mo-li ini juga seorang wanita! Sama dengan Kim Lian! Seorang manusia yang berperasaan!

Mungkin karena biasanya dapat menundukkan pria dengan mudah, maka setelah bertemu dengan dia dan justeru karena dia tidak dapat ditundukkannya, maka Mauw Siauw Mo-li menjadi tergila-gila dan jatuh cinta! Mungkin tersinggung perasaannya karena ucapan Kim Lian tadi, semua wanita ingin digilai laki-laki, sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa wanita itu gila laki-laki. Akan tetapi ingin digilai, ingin dipuji, ingin dikagumi laki-laki mana pun juga. Dan karena dia tidak tergila-gila kepada Mauw Siauw Mo-li, hal ini justeru malah membuat wanita ini tersinggung perasaannya dan merasa tidak puas, dan baru akan merasa senang kalau Tek Hoat yang kokoh kuat dan angkuh itu bertekuk lutut. Demikiankah?

“Mo-li, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil. Mari kita duduk dan bicara. Aku maafkan segala kesalah pahaman antara kita. Betapa pun juga, engkau sudah banyak membantuku dan kita sudah melakukan perjalanan bersama cukup lama hingga boleh dibilang kita adalah sahabat.”

“Ahhh, terima kasih, Tek Hoat!”

Mauw Siauw Mo-li bangkit berdiri dan duduk di atas pembaringan, karena di situ hanya terdapat sebuah saja bangku yang diduduki Tek Hoat. Sejenak mereka berpandangan. Di bawah sinar api lilin yang kemerahan, memang harus diakui oleh Tek Hoat bahwa Mauw Siauw Mo-li memang cantik. Mungkin Kim Lian tadi lebih manis, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li lebih matang!

“Mo-li, kenapa engkau menyusulku sampai di sini?” Akhirnya Tek Hoat bertanya karena tidak tahan melihat sinar mata wanita itu yang seolah-olah akan membakarnya dengan nafsu membara, sepasang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.

“Kenapa? Ahhh, engkau tidak tahu betapa aku hampir mati tersiksa hatiku setelah engkau pergi. Aku merasa kesepian dan dunia ini serasa hampa setelah kepergianmu, Tek Hoat. Tidak pernah aku menyangka bahwa aku akan tergila-gila kepadamu. Tidak pernah aku membayangkan betapa cinta dapat begini menyiksa. Apa lagi ketika aku teringat betapa kita berpisah sebagai musuh. Ah, tidak, Tek Hoat, aku tidak tahan maka aku menyusulmu.”

“Hemmm, Mo-li, siapa bisa percaya akan rayuanmu? Engkau terkenal sebagai seorang wanita yang bisa mendapatkan pria mana pun yang kau inginkan. Seorang wanita seperti engkau ini, mana mungkin bisa jatuh cinta dengan sungguh-sungguh? Engkau hanyalah menjadi hamba nafsu birahimu sendiri...“

“Cukup, harap jangan lanjutkan, Tek Hoat. Aku mengaku bahwa memang hidupku yang lalu penuh dengan petualangan dan aku sudah biasa memandang rendah kaum pria yang kuanggap sebagai permainanku. Akan tetapi sekarang baru aku merasa bahwa aku sesungguhnya seorang manusia biasa, seorang wanita yang juga mempunyai hati dan perasaan. Aku cinta padamu, Tek Hoat, dan aku tersiksa sekali ketika kita saling berpisah.”

Tek Hoat tidak tahu apakah dia merasa terharu ataukah geli mendengar kata-kata wanita ini. Siluman Kucing yang biasa mempermainkan pria sampai pria itu tewas, entah sudah berapa banyaknya pria ini yang tewas olehnya, diajaknya bermain cinta dan sekaligus dibunuhnya, wanita yang seperti iblis betina cantik ini, jatuh cinta kepadanya? Sungguh menggelikan dan sukar untuk dipercaya. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang telah merupakan seorang tokoh di dunia kaum sesat sehingga memiliki keangkuhan besar, maka kiranya tidak mungkin mau merendahkan diri dengan pengakuan cinta dan kelemahannya itu kalau tidak ada kesungguhan di baliknya. Apa lagi bahwa wanita ini sudah mengaku sendiri betapa biasanya dia menganggap kaum pria sebagai permainannya dan baru sekarang perasaan wanitanya membisikkan bahwa dia jatuh cinta!

“Mo-li, kita hanya sahabat biasa, bahkan itu pun bukan, hanya kenalan yang kebetulan bertemu di tempat Yang-liu Nionio, ketua Hek-eng-pang yang menjadi muridmu itu. Ada waktunya bertemu, berkumpul, tentu ada waktunya pula untuk berpisah. Kita hanya bersimpang jalan dan jalan hidup kita tidak sama.”

Mauw Siauw Mo-li mengangguk, akan tetapi pandang matanya masih terus menatap wajah pemuda itu seolah-olah dia hendak menyihirnya. “Aku pun mengerti bahwa ada waktunya bertemu ada pula waktunya berpisah, Tek Hoat. Akan tetapi aku akan terus menderita kalau harus berpisah denganmu seperti itu, sebagai musuh!”

“Aku telah memaafkan segala kesalah pahaman antara kita, Mo-li. Kita bukan musuh…“

“Akan tetapi aku ingin berpisah denganmu sebagai seorang kekasih, Tek Hoat.” Dan wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat, merangkul pinggang pemuda itu dan membenamkan mukanya di atas pangkuan Tek Hoat! Kembali dia menangis! “Tek Hoat, kasihanilah aku... bersikaplah sedikit manis kepadaku untuk dapat kujadikan kenangan selama hidupku...“

Sikap dan kata-kata wanita itu menyentuh perasaan Tek Hoat. Kedua lengan yang merangkul pinggangnya itu begitu mesra, mengusap punggungnya, dan wajah cantik yang tadi bersembunyi di atas pangkuannya itu kini diangkat tengadah, memandangnya dari bawah, dengan sepasang mata agak berair dan sayu mesra, cuping hidungnya agak kembang-kempis, bibirnya tergetar, rambutnya yang hitam panjang awut-awutan, sebagian anak rambut menutup dahi dan telinganya. Dari tubuhnya keluar bau khas wanita, bau betina yang merangsang dan di bagian tubuh yang tersentuh oleh tubuh wanita itu terasa panas dan tergetar. Seorang wanita yang cantik dan masak.

Tek Hoat menunduk, memandang wajah itu, nampak jelas rambut alis itu yang tumbuh dengan indahnya, seperti rumput yang teratur sekali, seperti lukisan yang amat tepat dan bagus. Mata itu, hidung itu, mulut itu!

“Engkau memang seorang wanita yang cantik sekali, Mo-li...,“ akhirnya dia berkata, ucapan yang bukan pujian kosong belaka melainkan pengakuan yang keluar dari lubuk hatinya.

Sepasang mata itu terbelalak seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang berkulit putih kemerahan dan halus itu berseri. “Aihhh... benarkah itu? Tek Hoat, kuminta kepadamu, dalam saat seperti ini... aku bersungguh-sungguh, jangan kau goda aku, jangan kau permainkan aku, benarkah kata-katamu itu?”

“Kau memang cantik sekali.”

“Akan tetapi, orang menyebutku iblis betina...!

“Mungkin kau iblis betina, akan tetapi iblis betina yang cantik,” Ang Tek Hoat membelai rambut panjang yang sanggulnya terlepas itu, “Dan rambutmu amat halus mengkilap dan panjang.”

Makin berseri wajah itu dan bibir yang memang bentuknya manis itu tersenyum. “Ahhh, Tek Hoat, jangan mempermainkan aku...! Aku lebih tua darimu, aku sudah tua sekali, sudah hampir nenek-nenek...“

Tek Hoat juga tersenyum. Dalam percakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw Siauw Mo-li itu seorang manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis yang jahat dan keji, melainkan seorang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu menjadi bahagia hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian berikutnya!

“Usia tidak penting, yang nyata engkau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak lebih dari dua puluh tahun usianya...“

Rangkulan kedua lengan itu mengetat di pinggang Tek Hoat. “Benarkah itu? Tek Hoat..., ahhh, benarkah bahwa akhirnya ada pula rasa sayang di dalam hatimu terhadapku? Benarkah bahwa kau juga... cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku menanti jawabanmu seperti rumput kering menantikan turunnya hujan...“

Tek Hoat tersenyum dalam hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya terhadap Syanti Dewi! Tiap kali dia berhadapan dengan kekasihnya itu dan bercakap-cakap, terus saja timbul sifat romantisnya, timbul pula keinginannya untuk bernyanyi, bersajak atau setidaknya menggunakan kata-kata yang indah-indah! Kini Mauw Siauw Mo-li agaknya pun tidak terluput dari dorongan suasana hati itu. Kata-katanya mulai indah-indah dan muluk-muluk!

“Mo-li, terus terang saja, aku hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku suka kepadamu, Mo-li, dan aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau seorang wanita yang cantik sekali.”

Tangan kanan wanita itu melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat dengan mesra dan manja. “Aku masih belum percaya benar... apanya yang cantik pada diriku yang telah tua ini...?” Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai cinta memancing-mancing pujian lebih banyak lagi!

“Wajahmu, alismu, matamu, hidungmu, mulutmu dan... hemmm, bentuk tubuhmu juga amat indah menggairahkan...“

“Hi-hik...!” Mauw Siauw Mo-li meloncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari. “Engkau menduga-duga saja, untuk menyenangkan hatiku. Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan mempermainkan aku yang benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu seperti yang belum pernah kurasakan terhadap pria yang mana pun!” Dalam hatinya, Lauw Hong Kui merasa bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia merasakan cinta yang sama seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu.

“Tidak, aku tidak mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo-li.”

“Dan tubuhku?”

“Hemmm... dan tubuhmu.”

“Menggairahkan katamu?”

Wajah Tek Hoat menjadi merah, akan tetapi dia mengangguk. “Ya, menggairahkan.”

Mauw Siauw Mo-li tertawa. Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, sekilas pandang memperlihatkan giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, dengan suara tenggorokan yang ditahan.

“Hi-hik! Engkau hanya menduga-duga saja. Engkau belum pernah melihat tubuhku, bagaimana bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku indah menggairahkan?”

Wajah Tek Hoat makin menjadi merah. “Mudah dilihat dan diduga...” Dia menjawab juga.

Mauw Siauw Mo-li melangkah maju, memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan sehingga Tek Hoat juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu, mendekatkan mukanya sampai napasnya terasa oleh pipi Tek Hoat dan dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil seperti kucing diusap kepalanya, “Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga, melainkan melihatnya sendiri bentuk tubuhku. Kau bukalah...“

Akan tetapi Tek Hoat yang mulai terseret oleh rayuan dan suasana romantis yang ditimbulkan oleh sikap dan kata-kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguh pun dia masih tersenyum.

“Hi-hi-hik, kau malu-malu? Engkau memang seorang pemuda hebat. Keras, angkuh, berkuasa, berwibawa, tidak mudah tunduk, mau menang selalu, dan kadang-kadang amat lembut seperti sekarang ini! Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ahhh, betapa hebat dan kagum sekali hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan membuka pakaian ini, agar engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai tubuhku.” Mauw Siauw Mo-li lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan lembut sehingga Tek Hoat terduduk di atas pembaringan. Pemuda ini memandang dan jantungnya lalu berdebar tegang.

Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya untuk memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-sifat pria pada umumnya dan dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat. Dengan gerakan yang lemah gemulai, genit namun tidak menjemukan, mulailah wanita ini melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu seperti seorang perawan yang baru pertama kalinya berhadapan dengan pria.

Tek Hoat benar-benar menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantungnya berdebar tak karuan saat dia melihat pakaian itu tanggal satu persatu dengan cara penanggalan demikian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh secara perlahan, sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri tanpa penutup tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan bergoyang-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding. Meongggg.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum