JODOH RAJAWALI : JILID-39
Ketika mendengar teguran twako mereka, Ngo-ok dan Su-ok menjadi merah mukanya, akan tetapi pada saat itu, Ji-ok Kui-bin Nionio sudah berkata dengan suaranya yang nyaring melengking, “Hai, Twako! Yang mendekati ilmumu hanya aku saja, marilah kita berlomba mempermainkan dua orang iblis ini!”
“Hemmm, kau boleh lihat, Ji-moi. Dua ekor kera ini boleh kita jadikan alat percobaan!”
Memang menggelikan sekali mereka itu. Ji-ok Kui-bin Nionio yang memakai topeng tengkorak dan lebih mirip iblis dari pada manusia itu paling suka menamakan orang lain iblis, dan sebaliknya Twa-ok Su Lo Ti yang mukanya benar-benar mirip kera itu paling suka memaki orang lain monyet!
Demikianlah watak dan sifatnya orang-orang yang tidak pernah mau mengenal diri sendiri. Kalau saja mereka itu, seperti kita, mau pula untuk belajar hidup setiap hari, belajar mengerti hidup dengan mengamati diri sendiri, mengenal diri sendiri setiap saat, maka kiranya mereka tidak akan mencela dan memaki orang lain. Kalau kita mencela orang lain, ini sudah pasti terjadi karena kita menganggap diri sendiri sebagai orang baik, setidaknya lebih baik dari pada dia yang kita cela. Akan tetapi benarkah demikian?
Mari kita bercermin setiap hari, bukan hanya bercermin untuk melihat wajah kita setiap hari, melainkan terutama sekali bercermin setiap saat dengan mengamati diri sendiri dalam hubungan kita setiap hari dengan orang lain atau dengan benda, dengan pikiran dan apa saja, yaitu mengamati setiap saat segala macam pikiran kita, perasaan kita, gerak-gerik kita lahir batin. Bukan mengendalikan diri sendiri. Bukan mengoreksi diri sendiri, bukan mencari kesalahan diri sendiri, karena semua itu merupakan bentuk bentuk perlawanan dan pemaksaan belaka yang akhirnya ternyata adalah permainan pikiran yang berpamrih menghendaki sesuatu yang lebih! Mengamati saja, memandang saja, dengan penuh perhatian, tanpa mencela atau memuji, tanpa pamrih sama sekali. Dapatkah?
Tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti bergerak hampir bersamaan, meloncat ke depan dan ketika kedua orang ini menggerakkan tangan ke depan, Ngo-ok dan Su-ok terpaksa minggir dan melompat ke belakang karena ada suara angin mencicit keluar dari gerakan mereka berdua itu.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tadi dipermainkan oleh Ngo-ok dan Su-ok, kini tiba-tiba merasa ada angin menyambar dahsyat. Keduanya cepat membalik dan berusaha menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang, akan tetapi tiba-tiba saja tangan mereka yang menangkis itu seperti lumpuh dan tanpa mereka ketahui bagai mana caranya, tahu-tahu tengkuk mereka telah dipegang dan tubuh mereka telah diangkat ke atas lalu dilontarkan! Ji-ok menangkap Hek-tiauw Lo-mo dan melontarkan kakek raksasa itu ke arah Twa-ok, sebaliknya Twa-ok telah mencengkeram tengkuk Hek-hwa Lo-kwi dan kini melontarkan tubuh kakek ini ke arah Ji-ok!
Ji-ok menerima tubuh Hek-hwa Lo-kwi, memandang wajah kakek ini sambil berkata, “Wajahmu tidak buruk!” Padahal wajah Hek-hwa Lo-kwi seperti tengkorak hidup!
Agaknya karena mirip tengkorak itulah maka dia dipuji, akan tetapi tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang lagi ke udara, berbareng dengan tubuh Hek-tiauw Lo-mo yang juga melayang kembali ke arah Ji-ok. Demikianlah, dua orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok itu telah mempermainkan tubuh Hek-tiauw Lo-mo beserta Hek-hwa Lo-kwi seperti dua orang anak kecil bermain bola saling mengoperkan tanpa dua orang kakek iblis itu mampu melawan!
Tentu saja dua orang kakek iblis yang berkepandaian tinggi itu berusaha melawan, akan tetapi setiap kali mereka menggerakkan tangan untuk memukul, lengan mereka menjadi lumpuh karena mereka jauh kalah cepat, lebih dulu ditotok lumpuh untuk beberapa menit lamanya dan dilontar-lontarkan di antara dua orang manusia aneh itu! Tentu saja dua orang kakek itu marah bukan main, marah, penasaran dan merasa terhina dan malu sekali!
Akan tetapi dalam adu ilmu secara aneh ini nampak betapa Ji-ok masih kalah setingkat, buktinya, tubuh dua orang kakek iblis itu lebih gencar melayang ke arah Ji-ok sehingga nenek ini menjadi kewalahan! Baru saja dia melontarkan tubuh seorang kakek kembali kepada Twa-ok, tubuh kakek kedua sudah datang menyambar, dan sambaran itu makin lama makin berat terasa olehnya, tanda bahwa Twa-ok menambah tenaga lontarannya!
“Ahhh, Twako dan Ji-ci, harap suka hentikan main-main itu!” Tiba-tiba terdengar suara orang berseru keras dan kaget. “Mereka itu adalah pembantu-pembantu kita sendiri!”
“Ha-ha, Sam-ko telah mengkhawatirkan orang-orangnya!” Terdengar si gendut pendek Su-ok tertawa.
Akan tetapi mendengar suara Koksu Nepal ini, dua orang yang sedang bermain-main itu lalu melontarkan tubuh dua orang kakek itu ke arah Ban Hwa Sengjin! Koksu Nepal ini mengebutkan kedua tangannya dan tubuh dua orang kakek itu meluncur turun ke atas tanah.
Setelah kini tidak tertotok lagi, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi berseru keras, berjungkir balik dan turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan tidak terbanting. Mereka memandang kepada Twa-ok dan Ji-ok dengan mata marah, kemudian mereka mengeluarkan suara menggereng dan siap untuk menerjang maju.
“Sudahlah, Lo-mo dan Lo-kwi. Mereka ini adalah saudara-saudaraku sendiri!” Koksu ini berkata kepada dua orang pembantu itu.
“Mereka itu menghina kami!” berkata Hek-tiauw Lo-mo dengan marah.
“Tidak ada orang boleh mempermainkan kami seperti itu!” Hek-hwa Lo-kwi juga berkata dengan geram.
“Sudahlah, dua orang kakakku ini memang gemar bermain-main dan andai kata mereka tidak tahu bahwa kalian adalah orang-orang sendiri, apakah kalian kira saat ini kalian masih dapat hidup?” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan suara sungguh-sungguh.
Dua orang kakek iblis itu terpaksa membenarkan pendapat ini karena kalau mereka tadi menghendaki, dua orang itu tentu sudah dapat membunuh mereka berdua dengan amat mudahnya. Diam-diam mereka bergidik menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian empat orang di antara Ngo-ok itu.
“Ahh, Koksu yang mulia, sungguh tidak melanggar janji. Sayangnya masih ada orang orang yang mengintai kami, apakah Koksu sengaja menyambut kami dengan mata mata yang menyelidik?” tanya Twa-ok Su Lo Ti, suaranya masih halus seperti tadi.
“Heh-heh-heh, agaknya Koksu sudah kurang percaya kepada kita, Twako!” kata Ji-ok Kui-bin Nionio sambil tertawa.
Koksu Nepal itu mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya. “Hemmm, hemmm... mengapa Twako dan Ji-ci menyebut koksu kepadaku? Tidak seperti Su-te dan Ngo-te yang masih bersikap biasa!”
“Ha-ha-ha, mungkin karena pakaianmu, Sam-ko!” kata Su-ok sambil bergelak tertawa, sedangkan Ngo-ok hanya berdiri diam saja dengan muka muram dan mulut cemberut seperti orang ngambek.
“Pakaianku, mengapa? Ah, pakaian mewah ini? Tentu saja aku harus menyesuaikan diri dengan kedudukanku. Hendaknya Twako dan Ji-ci ingat bahwa aku adalah koksu, yang memimpin negara yang rakyatnya berjuta orang! Aku harus dapat menjaga nama dan kehormatan.”
“Lalu bagaimana dengan mata-mata yang mengintai itu?” tanya pula Twa-ok, masih halus suaranya akan tetapi jelas nampak tidak senang.
“Mata-mata yang mana yang Twako maksudkan? Aku datang, tidak tahu tentang mata mata,” tanya Ban Hwa Sengjin.
“Hi-hik, kalau begitu bukan mata-mata yang dipasang oleh Sam-te, Twako!” kata Ji-ok.
“Aku tidak melihat orang lain!” kata Su-ok.
“Twako dan Ji-ci lihai, aku pun tidak melihat orang!” kata Ngo-ok, kini dia pun tertarik dan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dan membuka kedua matanya yang sipit dan seperti mau tidur terus saja itu.
“Heh-heh, Twako, kalau begitu mari kita sekali lagi bertanding ilmu, siapa yang dapat merobohkan mata-mata itu lebih dulu, dia lebih unggul!” kata Ji-ok dan nenek yang tidak peduli akan segala kecurangan ini sudah mendahului, tiba-tiba saja tangannya bergerak dan terdengar suara mencicit ketika jari telunjuk tangannya menyambar hawa dingin ke arah semak-semak.
Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak, tangan kanannya mendorong ke arah sebatang pohon.
“Krakkkkk!”
Biar pun kakek bermuka gorila itu bergerak belakangan, tetapi akibat hantamannya telah lebih dulu mengenai sasaran dan pohon itu roboh. Dari balik pohon itu berkelebat bayangan orang yang cepat bukan main dan dengan kibasan lengan bajunya, bayangan itu telah dapat menangkis tenaga dahsyat yang dilepas oleh Twa-ok Su Lo Ti tadi! Bahkan kini bayangan itu mencelat ke belakang semak-semak yang diserang oleh pukulan jarak jauh dengan ilmu mukjijat Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek bertopeng tengkorak itu.
“Syeeettttt...!”
Cabang ranting dan daun semak-semak itu berhamburan, akan tetapi tubuh Siang In telah didorong sampai terguling-guling oleh Kian Lee sehingga dara ini terbebas dari maut! Kiranya sejak tadi Kian Lee dan Siang In telah tiba di tempat itu dan diam-diam mereka melakukan pengintaian dengan hati-hati sekali.
Orang-orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga yang lebih lihai lagi seperti Ngo-ok dan Su-ok, tidak melihat tempat persembunyian mereka. Ban Hwa Sengjin juga tidak melihat karena memang kakek botak ini baru tiba, tetapi ternyata Twa-ok dan Ji-ok dapat mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan, alangkah lihainya orang pertama dan orang kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!
Serangan kedua orang itu memang hebat bukan main karena mereka tadi menyerang untuk membunuh dan karena mereka mempergunakan serangan itu untuk menguji kepandaian masing-masing antara orang pertama dan orang kedua, tentu saja mereka telah mengerahkan tenaga agar lebih dulu merobohkan lawan. Akan tetapi siapa kira, serangan mereka keduanya tidak berhasil dan kini muncullah seorang pernuda yang gagah dan tampan sekali bersama seorang dara yang amat cantik jelita dari dua tempat yang mereka serang tadi, berdiri berdampingan dengan gagah perkasa dan penuh keberanian!
Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengenal Kian Lee terkejut sekali. Mereka maklum akan kelihaian pemuda putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu, akan tetapi karena mereka masih merasa mendongkol kepada empat orang dari Im-kan Ngo-ok, maka mereka diam saja, hendak melihat apa yang selanjutnya akan terjadi.
Di lain pihak, Kian Lee juga kaget sekali ketika mengenal orang-orang yang amat lihai itu. Dia sudah mengenal Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi dua orang kakek iblis ini tidak membuat dia jeri. Hanya ketika mengenal Ban Hwa Sengjin, diam diam dia merasa khawatir akan keselamatan Siang In karena dia tahu betapa lihainya Koksu Nepal ini. Dan biar pun dia belum mengenal empat orang aneh yang lain itu, namun dari gerakan-gerakan mereka tadi saja dia sudah tahu bahwa mereka itu pun merupakan lawan-lawan yang amat tangguh!
Sementara itu, Ngo-ok Toat-beng Siansu yang sejak tadi diam saja dan seperti orang mengantuk atau orang murung dan ngambek, tiba-tiba kini membelalakkan matanya yang sipit, memandang kepada Siang In dan seketika mulutnya mengeluarkan air liur yang keluar dari ujung kiri mulutnya, hampir menetes turun akan tetapi sudah cepat disedotnya kembali ke dalam mulutnya. Dia mulai menyeringai, kemudian dia berkata, “Berikan kuku ibu jarimu kepadaku!”
Dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk dengan gerakan mengejutkan ke arah Siang In! Karena langkahnya panjang, dan lengannya yang panjang sudah menyambar hendak menangkap tangan Siang In, maka gerakannya itu cepat bukan main dan hampir saja lengan dara itu dapat ditangkapnya!
“Ihhhh!” Siang In menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang dengan hati penuh jijik melihat orang jangkung ini.
Akan tetapi Ngo-ok yang melihat betapa sambarannya yang pertama dapat dielakkan, tahu bahwa dara yang luar biasa cantiknya itu ternyata memiliki kepandaian yang boleh juga, sudah menerjang lagi, kini kedua lengannya yang panjang itu seperti sepasang capit kepiting menyerang dari atas, tinggi sekali dan kedua tangannya menyambar turun ke bawah, dari kanan kiri menutup semua jalan lari dari Siang In!
Teng Siang In adalah murid terkasih dari See-thian Hoat-su, maka selain ilmu sihir, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu silat tinggi yang lihai dari gurunya itu. Menghadapi serangan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia terkejut akan tetapi tidak menjadi gugup. Payungnya sudah menyambar dan tubuhnya bergerak cepat, dia sudah mengelak dari sambaran tangan kiri, payungnya menangkis tangan kanan lawan dan secepat kilat dia balas menyerang dengan tendangan Soan-hong-twi!
“Dukkkk!”
Biar pun payung di tangan Siang In membalik, namun tangan kanan kakek jangkung itu dapat tertangkis dan sekarang secara tiba-tiba saja kaki yang kecil mungil itu telah menyambar ke arah pusar Ngo-ok! Betapa pun lihainya Ngo-ok Toat-beng Siansu, akan tetapi dia tidak mau coba-coba menerima tendangan yang jelas dilakukan dengan pengerahan sinkang kuat itu dengan pusarnya karena hal ini amat berbahaya. Maka si jangkung ini cepat menekuk tubuhnya melengkung ke belakang sehingga tendangan itu luput! Karena tubuh itu jangkung dan panjang sekali, maka dengan melengkung tengahnya ke belakang, dia sudah dapat mengelak dan tendangan pertama dari Siang In jauh dari sasarannya.
Akan tetapi ilmu tendangan Soan-hong-twi dari dara itu hebat bukan main. Walau pun tendangan pertama luput, tetapi tendangan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya datang bertubi-tubi menghujani bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari si kakek jangkung!
Kini kakek itu agak repot juga. Tubuhnya yang panjang itu melengkang-lengkung ke sana-sini untuk mengelak dan beberapa kali kedua tangannya juga menangkis sehingga perkelahian itu kelihatan ramai. Semua orang menonton dan tiada yang mempedulikan Kian Lee karena mereka tidak ingin ketinggalan menonton perkelahian itu!
Namun segera nampak keunggulan Ngo-ok. Setelah si jangkung ini dapat memulihkan ketenangannya menghadapi serangan tendangan dari dara itu, mulailah dia menangkis, kaki Siang In membalik dan dara itu menyeringai kesakitan. Maklumlah Siang In bahwa lawannya memang hebat, maka tiba-tiba saja dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan cepat dia membentak, “Lihat siapa aku!”
Mendengar ini, otomatis Ngo-ok memandang ke arah wajah dara itu dan pada saat itu Siang In berseru nyaring, suaranya mengandung getaran hebat dan aneh, “Aku adalah ibumu, kau tidak lekas berlutut?”
Tiba-tiba Ngo-ok mengeluarkan suara aneh, matanya terbelalak memandang wajah dara yang cantik jelita itu. Siapa tidak akan menjadi kaget dan heran kalau tiba-tiba melihat ibunya yang telah puluhan tahun meninggal dunia itu kini berdiri di depannya dalam keadaan segar bugar? Seluruh tubuh Ngo-ok menggigil dan dia menjatuhkan dirinya berlutut! Pada saat itu, Siang In mengirim tendangan Soan-hong-twi.
“Duk-plak-desss...!”
Tubuhnya yang jangkung itu terguling-guling. Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring, suara yang dikeluarkan oleh Ji-ok Kui-bin Nionio. Siang In terkejut karena suara ini menggetarkan jantungnya dan sekaligus membuyarkan kekuatan sihirnya atas batin Ngo-ok. Ngo-ok yang bergulingan terkena tendangan bertubi-tubi itu, kini meloncat bangun dan menggosok-gosok matanya karena melihat bahwa ‘ibunya’ sudah lenyap dan yang adalah dara cantik yang telah menendanginya seenaknya!
“Arghhh...!” Dia menggereng, maklum bahwa dia telah dipermainkan dengan sihir, maka tiba-tiba saja tubuhnya sudah berjungkir-balik dan kini bagaikan badai mengamuk, tubuh yang membalik itu telah menyerang kalang-kabut ke arah Siang In!
Dara ini terkejut bukan main. Untuk menggunakan sihirnya, amat sukar karena mencari wajah orang itu pun sudah amat sukar. Empat kaki dan tangan itu bergerak-gerak aneh, semua menyambar ke arahnya dengan cepat bukan main dan betapa pun dia berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja dia kena ditampar dan ditendang. Tamparan ketiga yang mengenai tengkuknya membuat dia terlempar dengan kepala pening dan tahu-tahu dia telah dirangkul Kian Lee dan sudah menggerakkan tangan menangkis tamparan berikutnya dari tangan panjang itu.
“Desssss...!”
Kini tubuh yang berjungkir balik itu terlempar oleh tangkisan Kian Lee! Ngo-ok terkejut bukan main dan cepat dia bangkit berdiri sambil memandang dengan penuh perhatian kepada Kian Lee. Tak disangkanya betapa tangkisan itu mengandung hawa panas yang seperti hendak membakar seluruh langannya tadi, maka saking kagetnya dia telah membalik dan menghentikan serangannya. Siang In yang masih pening kini duduk di atas tanah sambil memijit-mijit tengkuknya yang kena ditampar tadi.
Melihat Ngo-ok, Su-ok dan Ji-ok hendak maju, tiba-tiba Twa-ok Su Lo Ti berteriak, “Biarkan dia menghadapi aku! Dia sudah menjadi lawanku sejak pertama tadi!”
Mendengar teriakan halus ini, tiga orang adik angkatnya itu tak berani maju, sedangkan Ban Hwa Sengjin yang juga mengenal Kian Lee hanya memandang dengan tenang. Dia merasa girang dengan munculnya saudara-saudaranya, sebab itu berarti memperkuat kedudukannya dan kini dia hendak menikmati tontonan menarik, betapa suheng-nya atau juga twako-nya itu akan menandingi pemuda yang dia tahu amat lihai ini. Dia merasa yakin bahwa suheng-nya sudah pasti akan mampu mengalahkan pemuda ini, maka hatinya tidak khawatir dan dia hanya menonton dengan tenang.
Juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan jantung berdebar tegang. Mereka mengenal kelihaian putera Pendekar Super Sakti, maka mereka kini ingin melihat sampai di mana kelihaian kakek seperti monyet besar itu.
Kian Lee maklum bahwa dia menghadapi banyak lawan tangguh. Tidak disangkanya bahwa sejak para penculik putera Ceng Ceng itu menuju ke lembah di mana dia akan bertemu dengan begini banyak orang lihai yang aneh-aneh dan belum pernah dijumpainya. Karena sudah terlanjur ketahuan, maka dia harus menghadapi segala bahaya, untuk membela diri dan juga untuk menyelamatkan Siang In, karena dari sikap dan ucapan-ucapan mereka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan datuk-datuk dari kaum sesat yang amat jahat dan kejam sehingga kalau sampai dia dan Siang In tertawan, maka keadaan dan keselamatan dara yang cantik jelita itu pasti terancam hebat!
Maka melihat betapa kakek yang seperti gorila itu sekarang mulai melangkah maju menghampirinya, dia sudah siap dan diam-diam dia telah mengerahkan sinkang-nya untuk menghadapi segala kemungkinan sambil matanya menatap tajam wajah lawan dan gerak-gerik lawan yang aneh.
Dia melihat kakek itu berdiri biasa saja, dengan kedua kaki agak terpentang dan agak ditekuk, punggungnya membongkok dan kedua lengan panjang itu bergantung ke bawah, persis sikap seekor monyet besar! Kemudian, perlahan-lahan kedua tangan itu diangkat ke depan, dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap keluar, juga gerakan ini tiada ubahnya seekor monyet!
Kian Lee belum pernah menyaksikan pasangan kuda-kuda ilmu silat seperti itu, kecuali kalau kuda-kuda itu dilakukan oleh seekor monyet yang hendak menyerang musuh! Akan tetapi dia tetap waspada dan ketika kakek itu menggerakkan tangan kiri yang mukanya menghadapi kepadanya itu, dia siap.
“Wirrrrrrr...!”
Angin yang dahsyat keluar dari tangan kiri kakek itu dan angin ini berpusing seperti angin puyuh, menyambar ke arah Kian Lee, disusul oleh sebuah tangan yang tiba-tiba ‘mulur’ sehingga biar pun jarak antara kakek itu dan dia ada dua meter jauhnya, bahkan lebih, tangan itu masih dapat mencapainya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya!
Hebat, pikir Kian Lee! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Melihat betapa angin pukulan tangan kiri itu berhawa dingin, dia lalu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang dan dengan tangan kanannya dia menangkis cengkeraman itu sambil memperkuat kedudukan kuda-kuda kakinya.
“Dukkkkk!”
“Ehhh...?” Kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan tangannya yang mulur tadi kini mengkeret kembali. Akibat pertemuan kedua lengan itu, cengkeraman kakek itu dapat tertangkis akan tetapi kuda-kuda kaki Kian Lee agar tergeser sedikit, tanda betapa kuatnya tenaga sinkang kakek gorila itu!
Hanya sebentar saja kakek itu terheran dan kaget karena kini tangan kanannya yang bergerak ke depan, juga mulur seperti tangan kirinya tadi. Kini tangan kanan itu didahului angin yang mengeluarkan suara mendesis-desis dan Kian Lee merasa betapa tangan yang sekarang menampar ke arah lehernya itu mendatangkan hawa panas membakar! Dia pun tidak mau kalah, cepat mengerahkan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan kembali dia menangkis.
“Desssss...!”
Pertemuan kedua lengan sekali ini lebih hebat lagi, keras lawan keras sehingga kini tubuh Kian Lee terhuyung ke belakang, akan tetapi kakek itu menjadi makin kaget dan matanya yang seperti mata monyet itu mendelik. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang berhasil menangkis serangan tangan kiri dan kanannya, dan yang juga menggunakan hawa Im-kang yang amat kuat kemudian tenaga Yang-kang yang juga amat dahsyat!
“Kau... kau... dari Pulau Es?” tanyanya kaget, karena dia telah mendengar bahwa hanya orang-orang dari Pulau Es saja yang mempunyai kemampuan untuk menguasai dua macam tenaga Im dan Yang secara berselang-seling seperti itu.
Sekarang Hek-tiauw Lo-mo mendapatkan kesempatan untuk mengejek, “Ha-ha-ha, baru puteranya saja sudah mengejutkan semua orang, apa lagi kalau ayahnya yang datang, agaknya si kaki buntung itu tidak ada yang berani melawannya!”
Wajah kakek gorila itu berseri dan mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi dan taring yang menyeramkan, akan tetapi dia segera kembali bersikap lemah lembut. “Ahaa, kiranya kau benar-benar putera Pendekar Siluman dari Pulau Es? Bagus, sudah lama memang aku ingin mencoba kelihaian Pulau Es.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek ini menggerakkan tubuhnya berpusing! Makin lama makin cepat tubuhnya berpusing, seperti seorang penari ballet yang mahir. Sukar sekali dilihat ke mana dia menghadap, tetapi tubuh yang berpusing itu mengeluarkan angin yang dahsyat, juga berpusing sehingga orang-orang yang berdekatan cepat mundur. Tubuh itu sekarang menerjang ke arah Kian Lee dan dari pusingan itu nampak menyambar kaki atau tangan yang mencuat dengan cepat dan dahsyat secara tiba-tiba, tidak tentu mana yang diserangnya sehingga sukar untuk dijaga.
Akan tetapi, Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti. Biar pun dia maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main kepandaiannya, bahkan lebih hebat dari pada tingkat kepandaian Koksu Nepal, dan hal ini dapat diukurnya ketika dia dua kali menangkis pukulannya tadi, namun dia tidak menjadi gentar. Kian Lee adalah seorang pemuda yang tenang dan waspada, maka kini dia mempergunakan ketenangannya itu untuk membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat. Dia tidak bergerak, hanya diam saja penuh kewaspadaan, hanya setiap kali ada kaki atau tangan menyambar saja maka dia bergerak untuk mengelak atau menangkis dengan pengerahan seluruh tenaga, kadang kadang tenaga Swat-im Sin-ciang, kadang-kadang tenaga Hwi-yang Sin-ciang.
Akan tetapi, kakek itu memang benar-benar hebat. Agaknya dia hendak menguras ilmu dari pemuda itu, maka dia sengaja mempermainkan Kian Lee. Hal ini dirasakan pula oleh Kian Lee yang mulai menjadi pening juga ketika kakek itu berputaran di sekeliling tubuhnya. Sukar baginya untuk menyerang dan hanya mempertahankan diri saja tentu lama-lama dia takkan dapat bertahan terus.
“Haiiittttt...!”
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya mencelat ke sana sini ketika Kian Lee mulai membalas dengan serangan-serangannya. Akan tetapi, terdengar kakek itu tertawa girang dan kakek itu menandinginya tanpa menyerang lagi, hanya mengelak ke sana-sini dengan tubuh masih berpusing. Melihat ini, sadarlah Kian Lee bahwa pihak lawan akan mempelajari ilmu silatnya, maka dia lalu menyimpan kembali jurus-jurus Toat-beng Bian-kun, satu di antara ilmu silat tinggi yang dikuasai pemuda itu. Dia baru mengeluarkan beberapa jurus dan melihat betapa ilmu silatnya ini tidak akan berhasil merobohkan lawan, bahkan mungkin akan dapat dipelajari dan dicuri oleh kakek iblis ini sehingga kelak akan merugikan pihak Pulau Es.
Setelah memancing terus tanpa hasil kakek itu menjadi jengkel juga, maka dia berseru keras sekali, dari tubuhnya yang berpusing itu menyambar hawa pukulan dahsyat bukan main.
Kian Lee yang sudah siap waspada itu menggunakan kedua tangannya menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terpental dan terbanting keras di atas tanah dan dia tak dapat bangkit karena kepalanya terasa pening!
“Lee-koko...!” Siang In menjerit dan cepat menubruk pemuda itu, kemudian dara ini mengembangkan payungnya, memandang kepada mereka sambil berteriak nyaring, “Kami berdua pergi!”
Ngo-ok dan Su-ok terkejut, demikian pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena benar saja, tiba-tiba dara cantik dan pemuda itu lenyap dari situ! Tetapi kembali Ji-ok sudah mengeluarkan suara melengking nyaring, suara lengking yang mengandung khikang amat kuatnya dan kini mereka berempat melihat betapa pemuda itu digandeng dan dibantu oleh dara itu sedang berjalan pergi meninggalkan tempat itu dengan diam diam!
Siang In yang menyangka bahwa sihirnya sekali ini berhasil, melihat betapa orang orang tua yang buruk rupa itu berdiri diam tak bergerak, maka dia merasa girang sekali dan menarik lengan tangan Kian Lee agar cepat-cepat pergi dari tempat itu. Setelah dia merasa aman, dia menoleh dan tidak lagi melihat mereka, hatinya lega sekali, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar sesuatu. Dia mengangkat mukanya dan... tujuh orang tua aneh itu kembali sudah berdiri di situ, mengurung dia dan Kian Lee!
“Ohhh... tidak...!” Dia menjerit dan kembali dia mengerahkan sihirnya, menggerakkan payungnya yang terbuka menutupi tubuh mereka berdua sambil berseru nyaring sekali, “Kami berdua pergi!”
Kembali terdengar Ji-ok Kui-bin Nionio mengeluarkan suara melengking dan Siang In cepat-cepat mengajak Kian Lee pergi, dibiarkan saja oleh tujuh orang tua itu. Ketika Siang In dan Kian Lee tiba di atas lapangan rumput, kembali terdengar suara dan tujuh orang kakek itu telah mengurung mereka berdua!
“Percuma, In-moi, mereka tak terpengaruh sihirmu,“ dengan perlahan Kian Lee berkata. Dia tahu apa yang terjadi. Sihir dari Siang In selalu dibuyarkan oleh suara lengking dari nenek bertopeng tengkorak itu yang agaknya kebal terhadap pengaruh sihir nona itu.
“Huh, kau mau lari ke mana? Kuku ibu jari tanganmu harus menjadi milikku!”
Kembali Ngo-ok Toat-beng Siansu berseru dan lengannya yang panjang menyambar Siang In yang sudah lemah dan masih pening oleh tamparan tadi, berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pundaknya sudah kena dicengkeram, kemudian tubuhnya diangkat tinggi sekali oleh tangan itu sampai dia menjerit ketakutan. Kakek itu memang sudah amat tinggi, kini lengannya yang panjang itu mengangkat tubuh Siang In ke atas, tentu tingginya lebih dari tiga meter dari tanah!
“Huh!” Kini tangan kiri kakek itu sudah mencengkeram ke arah pakaian Siang In, siap untuk merobeknya karena Ngo-ok ini akan memperlihatkan kekejamannya yang luar biasa, yaitu memperkosa dara itu di depan mata semua orang begitu saja sebelum disiksa dan dicabuti kukunya, dibeset-beset kulit dagingnya sampai mati seperti biasa!
Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kebiasaan Ngo-ok ini, maka tiba-tiba dia berkata dengan suara yang nyaring berwibawa, “Ngo-te, jangan lakukan itu! Kau lepaskan dia!”
Sejenak si jangkung itu menentang pandang mata koksu, mukanya yang sudah muram itu makin keruh dan seperti akan menangis. Mula-mula dia seperti hendak menentang, akan tetapi akhirnya dia melemparkan tubuh Siang In.
“Brukkkk...!” Dara itu merangkak mendekati Kian Lee yang masih lemah dan pening.
“Sam-ko, apa artinya sikapmu ini?” Ngo-ok menuntut dengan suara marah.
“Ha-ha-ha-ha-ha, setelah menjadi koksu, Sam-ko telah berubah rupanya! Telah menjadi lemah dan menaruh kasihan. Ha-ha-ha! Betapa lucunya, ada seorang anggota Ngo-ok yang menaruh kasihan! Ha-ha-ha-ha, kalau begitu memang sepatutnya disebut koksu saja!”
“Sute, jangan bicara sembarangan kau!” Tiba-tiba koksu berkata, suaranya terdengar nyaring. “Aku sama sekali tidak lemah seperti yang kalian kira! Akan tetapi aku ingin bertanya lebih dulu, kalian berempat ini sudah sudi datang ke sini atas undangan dan permintaanku, sebetulnya mau apakah? Apakah hanya mau mempermainkan anak yang tidak ada artinya ini? Ataukah mau membantu gerakan kami yang besar, yang kelak akan dapat mengangkat nama kita sebagai Ngo-ok sehingga nama kita menjadi termasyur dan harum sampai selama-lamanya?”
“Tentu saja kita semua ingin sangat membantumu, Sam-te. Kalau tidak, perlu apa kita meninggalkan tempat klta yang aman dan enak!” kata Twa-ok.
“Benar, tanpa dasar itu, perlu apa aku berkeliaran ke sini?” kata pula Ji-ok.
“Ha-ha-ha, benar juga. Aku pun begitu, akan tetapi aku tetap tidak mengerti, mengapa kau melarang Ngo-te untuk bermain-main dengan gadis ini agar aku dapat menonton dengan enak!”
“Ya, pertanyaan itu harus dijawab!” kata Ngo-ok.
“Kalian tahu bahwa aku adalah seorang koksu yang memimpin pergerakan besar yang dikepalai oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Ini urusan besar, urusan negara, mengertikah kalian? Karena kita adalah orang-orang penting yang memegang puncak pimpinan, maka kita harus mementingkan urusan negara dan pergerakan lebih dulu. Urusan pribadi adalah urusan kecil dan kelak kalau sudah selesai pergerakan ini, biar Ngo-ok mau mempermainkan puteri-puteri cantik sehari sampai seratus orang, siapa peduli? Akan tetapi kalau kini dia melakukan hal itu, lalu terlihat oleh semua anak buah, apa akan kata mereka? Tentu akan merendahkan nama puncak pimpinan dan juga memberi contoh buruk sehingga akan ditiru oleh para pasukan. Kalau pasukan melakukan hal seperti itu, menuruti nafsu belaka, apa gunanya mereka dalam perang? Tentu pergerakan kita akan gagal!”
Ngo-ok bersungut-sungut, akan tetapi dia mengangguk dan tangannya mengeluarkan seuntai kuku yang bermacam-macam bentuknya, akan tetapi semua kuku yang diuntai itu adalah kuku wanita-wanita yang telah menjadi korbannya. “Sayang... sudah kuhitung kemarin... empat ratus kurang satu! Kalau ditambah kukunya, genap empat ratus...“
Siang In mengkirik dan mau muntah menyaksikan kuku-kuku yang diuntai itu dan tanpa disadari dia menggenggam semua kuku jarinya, seolah-olah hendak menyembunyikan kuku-kuku itu agar jangan dicabut!
“Ha-ha-ha, omongan Sam-ko sebagai koksu memang hebat!” seru Si pendek gundul mengacungkan ibu jari tangan kanannya ke atas tinggi-tinggi, akan tetapi karena tubuhnya cebol, tetap saja ibu jarinya tidak mencapai perut si jangkung Ngo-ok. “Lalu, ingin sekali aku melihat bagaimana keputusan seorang koksu negara besar terhadap dua orang mata-mata musuh yang tertangkap. Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa seorang koksu amat bijaksana dan keputusannya ditaati semua orang, adil dan memuaskan. Ha-ha-ha, yang mulia Koksu, hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada dua orang mata-mata ini? Ataukah mereka itu akan dibebaskan begitu saja?”
Akan tetapi Ban Hwa Sengjin tidak mempedulikan ejekan dari Su-ok itu, dan dengan sikap kereng dan berwibawa dia lalu menghadapi Kian Lee yang masih menunduk pening dan Siang In yang mulai merasa ngeri menyaksikan sikap orang-orang aneh yang luar biasa lihainya itu. Ketika tadi mendengar bahwa pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, Ban Hwa Sengjin terkejut dan dia pun tidak berani main-main. Bermusuhan dengan Pulau Es merupakan suatu hal yang amat berbahaya, pikirnya. Akan tetapi, setelah pemuda ini menentang mereka, lebih baik kalau dibunuh saja agar jangan sampai ada yang tahu dan kalau tidak ada saksinya, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan tahu pula ke mana lenyapnya puteranya ini dan siapa yang membunuhnya! Akan tetapi, dia adalah seorang koksu, tidak bisa membunuh secara begitu saja, dan dia harus memperlihatkan wibawanya!
“Heh, kalian dua orang muda yang sudah lancang menjadi mata-mata dan menentang kami, dengarlah baik-baik keputusanku! Menurut patut, memang sudah semestinya kalian dihukum mati dan patut pula kalau Ngo-ok Toat-beng Siansu mempermainkan kalian lalu membunuh kalian. Akan tetapi, kami adalah orang-orang yang tahu akan peraturan, tahu akan hukum, maka kalian akan dijatuhi hukuman menurut aturan! Akan tetapi, tidak ada hukuman tanpa pembelaan, maka kalian kuberi kesempatan untuk menentukan hukuman kalian. Kalian boleh mengeluarkan pendapat terakhir dan kalau pendapat kalian itu tepat, hukuman kalian akan lebih ringan!”
Sampai di sini, Ban Hwa Sengjin tersenyum-senyum dan memandang kepada para saudaranya untuk melihat reaksi mereka. Empat orang saudaranya itu memandang kagum, Siang In memandang penuh harapan, sedangkan Kian Lee masih menunduk saja.
“Orang tua, lekaslah katakan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada kami? Dan apakah benar engkau ini seorang pembesar tinggi?” Siang In bertanya, bingung menyaksikan sikap mereka yang aneh-aneh itu.
Ban Hwa Sengjin tersenyum lebar. “Nona cilik, ketahuilah olehmu bahwa aku adalah Ban Hwa Sengjin, aku adalah koksu dari negara Nepal yang agung, dan bahwa keputusanku merupakan hukum yang harus dilaksanakan. Nah, kalau kalian mengeluarkan pendapat yang keliru dan tidak tepat, kalian akan kuserahkan kepada Ngo-ok Toat-beng Siansu agar menyiksa kalian sampai mati, dan mungkin saja kuku ibu jarimu itu akan melengkapi koleksinya, Nona!”
Siang In bergidik ngeri melihat wajah si jangkung itu makin muram, dan wajah si pendek terkekeh geli, sedangkan nenek muka tengkorak dan kakek gorila itu memandang seperti patung, sedikit pun tidak bergerak atau berkedip.
“Dan kalau pendapat kami benar kau akan membebaskan kami?” Siang In bertanya penuh harapan. Dia akan dapat mengandalkan kecerdikannya untuk mencari kata-kata yang benar atau tepat agar dapat selamat.
Akan tetapi dengan muka kereng Ban Hwa Sengjin berkata, suaranya lantang sekali, “Mana ada aturan membebaskan orang yang bersalah? Kalau pendapat kalian benar, kalian memperoleh keringanan, yaitu bukan dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan kedua telinga agar semua orang selamanya akan tahu bahwa kalian telah berani melakukan dosa terhadap Koksu Nepal!”
Mendengar ini, Su-ok Siauw-siang-cu bertepuk tangan memuji dan tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha-ha, kiranya Sam-ok Ban Hwa Sengjin masih mempertahankan gelarnya!”
Memang, begitu berkumpul dengan saudara-saudaranya, kumat lagilah watak Sam-ok ini. Dia mempermainkan orang, memberi harapan, akan tetapi hanya untuk di ‘banting’ dengan keputusan hukuman yang mengerikan itu, hanya untuk membuktikan bahwa kejahatan dan kekejamannya masih belum berubah dan dia masih patut menjadi Sam-ok! Tentu saja luar biasa kejamnya menghukum orang-orang muda yang begitu tampan dan begitu cantik jelita dengan potong hidung dan telinga, hukuman yang bahkan lebih berat dari pada mati!
Mendengar ini, biar pun mukanya masih keruh, Ngo-ok sudah menggosok-gosok kedua tangannya yang panjang dan menjilat-jilat bibirnya yang basah karena kembali dia telah mulai mengilar. Kini agaknya dia akan memperoleh kesempatan untuk menonjolkan kekejamannya di depan saudara-saudaranya! Kali ini untuk melaksanakan ‘hukuman’, jadi demi negara dan pergerakan!
Mendengar ucapan Koksu Nepal itu, marahlah Suma Kian Lee. Dia masih pening dan belum dapat bangkit untuk melawan, namun dia mengangkat muka dan memandang kakek raksasa yang botak itu. “Ban Hwa Sengjin, bagus sekali omonganmu! Engkau sebagai seorang Koksu Negara Nepal telah merencanakan pemberontakan dengan Gubernur Ho-nan, siapa yang tidak tahu akan hal itu? Sekarang aku telah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh hayo bunuhlah, siapa sih yang takut mati? Tidak perlu lagi engkau mengeluarkan segala omongan kosong!”
Akan tetapi Siang In memegang lengan pemuda itu dan cepat dia mendahului koksu itu, berkata, “Koksu, aku mendengar bahwa pangkat koksu amatlah tinggi dalam sebuah negara, dan bahwa kata-kata koksu merupakan keputusan yang harus ditaati, hampir sama kuat dengan kata-kata keputusan raja sendiri. Sekali seekor koksu mengeluarkan kata-kata, maka kata-katanya itu merupakan keputusan yang tidak boleh dibantah, tidak boleh ditarik mundur kembali. Pendeknya, seorang koksu berbeda dengan seekor anjing keparat yang curang dan yang suka makan tahi, bukan?”
Siang In sengaja berkata-kata dengan nyaring dan panjang lebar ketika dia melihat datangnya rombongan pasukan penjaga. Itulah pasukan penjaga pintu gerbang benteng Kui-liong-pang yang tertarik oleh suara ribut-ribut dan puluhan orang prajurit kini mengepung tempat itu dan tentu saja ikut mendengarkan.
Muka Koksu Nepal itu sudah menjadi merah karena dia merasa dihina. “Bocah lancang mulut, apa maksudmu?”
“Maksudku, Koksu, bahwa seorang koksu adalah seorang yang tentu memegang kata katanya yang dianggap lebih berharga dari pada nyawa, bukan seorang yang suka menjilat kembali kata-katanya seperti anjing yang suka makan tahi. Koksu, aku hendak bertanya apakah engkau biasa suka makan tahi?”
Sepasang mata itu mendelik dan Kian Lee menjadi heran dan bingung. Akal apa yang hendak dipergunakan Siang In maka dara ini bisa begitu nekat membakar hati koksu sedemikian rupa yang mendekati penghinaan paling besar?
“Ha-ha-ha-ha! Baru ini aku mendengar seorang koksu dipermainkan bocah cilik, ditanya apakah biasa makan tahi? Hi-hik, Ngo-te, bagaimana sih rasanya tahi orang? Mungkin enak juga, ya?”
“Bocah perempuan bosan hidup, jika kau bermaksud menghinaku...!” Ban Hwa Sengjin hampir tak dapat menahan kesabarannya lagi karena dia melihat betapa di antara para prajurit juga ada yang menutupi mulut tanda bahwa mereka juga merasa geli.
Siang In mengangkat kedua tangan ke depan. “Sabar... sabarlah, Koksu yang mulia! Aku tidak menghina, aku hanya bertanya, karena aku pun tentu saja tak percaya bahwa Koksu suka menjilat ludah sendiri, suka menarik janjinya sendiri. Seorang koksu negara tidak mungkin menarik kata-katanya sendiri, juga seorang locianpwe tingkat atas, baik dari dunia terang mau pun gelap, kiranya akan menjaga nama dan tidak sudi menarik janjinya sendiri.”
“Sudah tentu saja tidak! Lebih baik mati dari pada menarik janji sendiri!” kata koksu yang cerdik itu. “Aku berjanji, dengarkan kalian semua! Aku berjanji kepada Nona ini dan kepada pemuda ini bahwa mereka boleh mengajukan pendapat yang terakhir. Kalau pendapat mereka itu tidak tepat dan keliru atau bohong, mereka akan di jatuhi hukuman mati dan pelaksanaannya akan diserahkan kepada Ngo-ok Toat-beng Siansu! Sebaliknya kalau pendapat mereka itu tepat, benar dan tidak bohong, mereka akan dihukum dengan potong hidung dan kedua telinga, tidak dibunuh. Nah, kata-kataku ini siapa yang berani membangkang atau menarik kembali?”
Siang In kini bangkit berdiri, tangan kanannya masih menggandeng tangan Kian Lee yang masih duduk di atas tanah. Dengan wajah berseri dia berkata lantang, “Koksu yang terhormat, maukah engkau bersumpah bahwa engkau akan menepati janjimu?”
Ban Hwa Sengjin makin marah, mengepal tinju dan tentu dia sudah menghantam remuk kepala anak perempuan itu di saat itu juga kalau saja tidak ada begitu banyak orang yang menonton.
“Tidak perlu sumpah, aku mempertaruhkan kedudukanku sebagai koksu dan sebagai orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok!” teriaknya berang.
“Sudahlah, In-moi, biar aku yang menyatakan pendapatku sebagai ucapan terakhir seorang gagah...”
“Sssttttt...! Kau tidak boleh bicara apa-apa, Koko. Akulah yang bertanggung jawab dan aku yang mewakili kita berdua,” kata Siang In.
Melihat dara dan pemuda itu bisik-bisik, Ban Hwa Sengjin ingin melampiaskan rasa mendongkolnya karena merasa dihina dan dipermainkan oleh dara itu. “Kami masih mempunyai banyak urusan penting, dan urusan orang-orang seperti kalian berdua adalah urusan kecil yang harus segera diselesaikan. Hayo ucapkan pendapat kalian yang terakhir. Kami memberi waktu hitungan sampai dua puluh. Su-ok, kau hitunglah!”
Kakek pendek gendut itu tertawa dan dasar orang licik bukan main, dia lalu menghitung dengan kecepatan membalap, “Satu-dua-tiga...” dan selanjutnya, tetapi hitungannya sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja dia sudah menghitung sampai lima belas.
Kian Lee memandang dara itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
“Berhenti!” tiba-tiba Siang In berseru nyaring, “Dengarkan pendapat kami yang terakhir!”
Kakek pendek gendut itu berhenti dan suasana menjadi sunyi bukan main, sunyi yang amat menegangkan karena setiap orang seolah-olah menahan napas ingin mendengar apa yang akan menjadi pendapat atau ucapan terakhir dari dara itu. Suma Kian Lee juga menahan napas karena pemuda ini berpikir, apa artinya mengucapkan pendapat terakhir? Apa pun pendapatnya, tidak ada pilihan lain, kalau ucapan itu tepat dihukum potong hidung dan telinga, kalau tidak tepat dibunuh. Lebih baik mengatakan sesuatu yang dapat memukul atau menusuk hati mereka dan biarlah dibunuh, karena hidup pun apa gunanya kalau dipotong hidung dan telinganya? Apa lagi bagi seorang dara seperti Siang In!
Tiba-tiba Kian Lee merasa kasihan sekali kepada dara itu dan tanpa disadarinya dia menggenggam tangan dara itu lebih erat lagi. Dia tahu nasib apa yang menanti Siang In. Kalau dipotong hidung dan telinganya, dara itu akan menjadi seorang yang berubah menakutkan, dan itu lebih hebat dari pada mati. Kalau dihukum bunuh, tentu akan dihina dan diperkosa lebih dulu oleh si jangkung tanpa dia mampu menolongnya. Maka dia sudah mengambil keputusan, sebelum dijatuhkan hukuman kepada dia dan Siang In, dia akan menggunakan tenaga terakhir untuk membunuh dara itu! Lebih baik dia membunuh dara itu dari pada dara itu mengalami penghinaan yang hebat!
Siang In menoleh dan memandang kepada Kian Lee karena merasa tangannya digenggam erat, dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepada pemuda itu! Bukan main! Dalam keadaan seperti itu, dara ini masih pandai bergurau! Lalu dara itu mengangkat mukanya dan berdiri tegak, lalu berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.
“Koksu, dengarlah baik-baik kata-kata terakhir kami berdua yang tidak boleh diubah oleh siapa pun juga, yaitu begini: Kami berdua akan dihukum mati!”
Suasana masih hening dan ketika dara itu telah mengucapkan kata-katanya yang amat singkat dan lantang itu dan semua orang saling pandang. Mengapa dara itu, hanya meninggalkan kata-kata terakhir seperti itu? Kami berdua akan dihukum mati! Cuma sebegitu, apa artinya?
“Ha-ha-ha! Jadi hanya itu yang menjadi pendapat atau pesan terakhir kalian? Bagus, memang sebaiknya begitu karena kami masih banyak urusan. Nah, Ngo-ok, engkau kuserahi tugas untuk menghukum mati mereka berdua!”
Tiba-tiba Siang In berseru. “Ah, jadi ternyata Koksu dari Nepal adalah seorang yang biasa makan tahi?”
Semua orang terkejut sekali dan Ban Hwa Sengjin terkejut dan marah. “Kau sudah mau mampus masih berani menghina orang! Dasar anak perempuan setan...!”
Sementara itu, Ngo-ok sudah meloncat ke depan, tangannya yang panjang sudah digerakkan dan pada saat itu, Kian Lee juga mengerahkan tenaganya untuk turun tangan membunuh Siang In agar jangan mengalami penghinaan.
“Dukkkk!”
Tiba-tiba Ji-ok Kui-bo Nionio menangkis lengan Ngo-ok sampai Ngo-ok menyeringai dan meloncat mundur.
“Tahan dulu!” Ji-ok Kui-bin Nionio berkata, “Sam-te, aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pemakan tahi!”
“Eh, apa ini? Apa maksudmu?” Ban Hwa Sengjin memandang terlongong, menyangka bahwa Ji-ok itu agaknya tentu kena sihir sehingga mengulangi kata-kata Siang In. Akan tetapi Ji-ok menggeleng-geleng kepalanya.
“Sam-te, engkau sudah menjadi koksu, mengapa masih begitu kurang luas pikiranmu? Bagaimana bunyi janji tadi? Kau bilang bahwa jika kata-kata terakhir mereka itu benar, mereka akan dihukum potong hidung dan telinga, tidak dihukum mati. Nah, dara itu bilang bahwa mereka berdua akan dihukum mati! Kalau sekarang engkau menjatuhkan hukuman mati, berarti kata-katanya itu benar! Dan kalau kata-katanya benar, dia tidak boleh dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan telinga seperti janjimu. Mengapa kau hendak melanggar janjimu?”
“Ohhh...!” Koksu Nepal menjadi merah sekali mukanya dan mengangguk. “Ahh, benar juga. Kalau mereka dihukum mati, ucapan gadis ini jadi benar dan mereka tidak boleh dihukum mati. Untunglah engkau mengingatkan aku, Ji-ci. Terima kasih! Heh, Ngo-ok, terpaksa membikin kecewa hatimu. Hayo kau laksanakan hukuman kedua, yaitu potong hidung dan telinga!”
Ngo-ok tentu saja kecewa sekali karena kini setelah ada puluhan orang prajurit di situ, ingin dia memperkosa gadis ini agar namanya makin tersohor, sebagai seorang paling kejam! Akan tetapi dia tidak berani membangkang perintah.
“Huh, kiranya Koksu Nepal hanya seorang yang biasa makan tahi busuk!” kembali terdengar Siang In berseru.
Ngo-ok sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar.
“Dessss...!”
Kini lengannya ditangkis oleh lengan Twa-ok dan karena tenaga Twa-ok lebih hebat maka Ngo-ok yang sial itu kini terlempar dan terhuyung.
“Ehh, ehh… apa sih salahku?” teriak orang yang sial ini.
“Sam-te, sekarang aku yang tidak ingin melihat Sam-te menjadi seorang pemakan tahi!” kata Twa-ok, seperti mengulang kata-kata Siang In sehingga sang koksu dari Nepal makin bengong terlongong.
“Apa... apa maksudmu, Twako...?”
“Sam-te, kau tidak boleh menghukum mereka dengan potong hidung dan telinga atau hukuman kedua...!” Kakek seperti gorila itu berkata dengan suaranya yang halus. “Kalau kau melakukan itu, berarti engkau melanggar janjimu tadi!”
“Ehhh, mana mungkin? Kalau menjatuhkan hukuman ke satu, hukuman mati, baru namanya melanggar janji karena kata-kata mereka itu benar dan mereka tidak boleh dihukum mati, harus dihukum potong telinga dan hidung, hukuman kedua. Bukankah kata-kata mereka itu benar dan harus dihukum yang kedua itu?”
“Mana bisa?” bantah Twa-ok. “Mereka berkata bahwa mereka akan dihukum mati. Nah, kalau sekarang kau menjatuhkan hukuman kedua, yaitu potong hidung dan telinga, berarti bahwa kata-kata terakhir mereka itu tidak benar. Dan menurut janji, kata-kata yang tidak benar dijatuhi hukuman mati!”
Ban Hwa Sengjin menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. “Kalau begitu hukum mati!”
“Tak mungkin! Kalau dihukum mati mereka berkata benar dan harus dihukum potong!” bantah Ji-ok.
“Kalau begitu hukum potong...!” kata pula Ban Hwa Sengjin.
“Tidak bisa! Kalau dihukum potong berarti kata-kata mereka bohong dan untuk itu mereka harus dihukum mati!”
Ban Hwa Sengjin menjatuhkan dirinya di atas batu dan memegangi kepala dengan kedua tangan, bingung sekali. Dihukum mati salah, dihukum potong pun salah!
Sementara itu, Kian Lee memandang kepada Siang In dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya bahwa dara ini benar-benar memiliki kecerdikan yang amat hebat! Dalam keadaan berbahaya seperti itu, dalam waktu sesingkat itu, dapat menemukan akal yang demikian luar biasa, agaknya tidak masuk di akal akan tetapi memang benar dan tepat! Dengan akal itu, Ban Hwa Sengjin dibikin mati kutu, tidak berdaya karena hukuman apa pun yang dijatuhkannya, berarti dia melanggar janji dan... makan tahi! Empat orang dari Im-kan Ngo-ok juga bengong dan penuh kagum, juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, demikian pula puluhan orang prajurit itu bengong, ikut memikirkan.
Siang In tersenyum. “Boleh kau pikirkan lagi, Koksu. Kami kini bebas, kecuali kalau kau mau makan tahi lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Siang In menarik tangan Kian Lee dan diajak pergi dari tempat itu dengan sikap tenang sekali.
Dan lima orang Im-kan Ngo-ok yang ditakuti oleh semua orang dunia hitam itu hanya memandang dengan bengong saja tanpa mampu berbuat sesuatu! Bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi juga tidak berani berkutik karena kalau mereka turun tangan mencegah, sama halnya dengan mendorong Koksu Nepal untuk ‘makan tahi’ yang berarti menjadi anjing penjilat janjinya sendlri! Tentu saja pasukan yang mendengar semua itu pun tidak ada yang berani bergerak tanpa perintah koksu.
Setelah pemuda dan dara itu pergi jauh dan tidak nampak lagi, barulah terdengar suara Ngo-ok Toat-beng Siansu mengomel, “Inilah kalau Sam-ok berubah menjadi pembesar negeri yang menjaga nama dan kehormatan! Rugi kita! Ru - gi...!”
“Ha-ha-ha, gadis itu otaknya cerdas sekali! Ha-ha-ha, Sam-ko yang terkenal cerdik masih kena diakalinya! Ha-ha-ha!” Si gendut pendek terpingkal-pingkal geli.
Memang watak lima orang Ngo-ok ini luar biasa sekali. Girang kalau melihat orang lain menderita! Agaknya memang mereka itu sengaja melakukan hal-hal yang paling buruk di dunia ini agar sesuai dengan julukan mereka sebagai Si Jahat dari Akhirat!
Muka koksu sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya mengepal dan sepasang matanya beringas, akan tetapi di hadapan sekian banyaknya orang, tentu saja dia tidak sudi dianggap anjing penjilat janjinya kembali! Apa lagi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Super Sakti, dia juga harus hati-hati dan biarlah dia mendapat malu sedikit karena diakali gadis itu, akan tetapi hitung-hitung dia membebaskan putera Pendekar Super Sakti dan mencegah munculnya seorang musuh yang menggiriskan hatinya.
“Sudahlah! Salahku sendiri, juga bocah-bocah itu dibunuh atau tidak pun apa sih artinya bagiku? Mari kita ke lembah, ada urusan lebih penting yang harus kita selesaikan!”
Maka pergilah tujuh orang kakek sakti itu diikuti oleh pasukan memasuki lembah kembali dengan hati mendongkol.
Sementara itu, Kian Lee yang hanya nanar dan lemas seketika, akan tetapi tidak sampai terluka parah, dalam waktu tidak lama pun sudah pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua merasa lega bahwa para kakek sakti itu tidak melakukan pengejaran, dan Kian Lee seperti masih belum dapat mempercayai bahwa mereka dapat lolos dari bahaya sedemikian mudahnya.
Kian Lee berhenti dan berkata kepada Siang In sambil memandang penuh kagum, “Adik Siang In yang hebat! Sungguh masih sukar aku untuk dapat percaya betapa dengan mudahnya kita dapat terlepas dari bahaya maut! Dan hampir aku tidak percaya bahwa engkau yang begini muda dapat mengakali orang-orang sakti seperti mereka itu. Dalam waktu begitu singkat engkau telah memperoleh akal yang demikian mengagumkan!”
Siang In tersenyum, senang hatinya dipuji seperti itu tentu saja! Akan tetapi dia seorang dara yang jujur, maka dia menahan ketawanya dan berkata, “Ahh, Lee-koko, siapa sih yang pintar? Aku sama sekali tidak pintar, hanya koksu itu yang tolol!”
“In-moi, akalmu itu benar-benar hebat dan menandakan bahwa engkau memang pintar sekali, mengapa merendahkan diri? Dengan akalmu itu, memang koksu menjadi tidak berdaya dan mati kutu sama sekali, karena menjatuhkan hukuman kepada kita dengan cara apa pun, tetap saja berarti dia melanggar janji. Bukan main!”
“Hi-hi-hik, memang demikianlah, Koko. Akan tetapi itu sama sekali bukanlah akalku, karena aku hanya menirunya dari dongeng kuno yang pernah kubaca! Jadi bukan akalku, melainkan akal kuno yang pernah dipergunakan orang untuk menyelamatkan diri dari hukuman seorang raja lalim yang menjatuhkan peraturan hukuman yang seperti itu.”
“Ahhh, begitukah?” Kian Lee terheran.
Siang In tertawa. “Itulah hasilnya orang suka membaca, asalkan bukan sembarangan membaca, melainkan memperhatikan isinya dengan seksama. Dari bacaan itu kita dapat memperoleh banyak manfaatnya, Koko. Koksu itu saja yang tolol tidak mengenal akal kuno yang kupergunakan, hi-hi-hik!”
Suma Kian Lee tertawa juga, mentertawakan kebodohan koksu, akan tetapi diam-diam makin kagum kepada dara ini yang sudah memperlihatkan ketabahan dan kecerdikan luar biasa, yang telah berhasil menyelamatkan nyawa mereka, akan tetapi tidak menjadi sombong, sebaliknya malah membuka rahasia kecerdikannya dengan jujur bahkan kecerdikannya itu hanyalah meniru dari akal dalam dongeng kuno belaka!
Akan tetapi kegembiraan segera mereda ketika dia teringat akan peristiwa tadi dan melihat betapa gawatnya keadaan. Agaknya Koksu Nepal itu telah mengumpulkan orang-orang pandai di lembah itu!
“In-moi, aku harus menyelidiki keadaan di lembah! Aku harus tahu apa yang sedang dilakukan oleh koksu itu...“
”Ahhh, hal itu berbahaya sekali, Lee-ko! Baru empat orang teman koksu tadi saja sudah memiliki kepandaian yang amat mengerikan, dan di sana terdapat banyak pula pasukan anak buah koksu. Mana mungkin engkau seorang diri akan dapat menghadapi mereka semua!” Siang In memandang khawatir, tidak lagi bersendau-gurau mendengar niat pemuda itu yang hendak menyelidiki sarang dari koksu yang lihai dan dibantu oleh banyak orang pandai itu.
“Aku bukan bermaksud melawan mereka, In-moi, tetapi hendak menyelidiki keadaan mereka, lalu aku harus segera melaporkan ke kota raja. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah bahaya yang mengancam kota raja. Agaknya ada apa-apa di lembah itu, agaknya koksu sedang merencanakan gerakan besar yang berbahaya bagi kota raja.”
“Kalau begitu memang baik sekali, Lee-ko, akan tetapi aku ikut!”
“Baru saja kau terlepas dari ancaman bahaya dahsyat, Siang In, moi-moi, lebih baik kau jangan ikut, terlalu berbahaya bagimu.”
Siang In mengerutkan alisnya. “Biar pun aku bodoh, kiranya sedikit banyak aku akan dapat membantumu, Lee-ko, dan dengan pergi dua orang, kalau ada bahaya kita dapat saling membantu, bukan?”
Kian Lee tidak dapat membantah atau melarang lagi, apa pula kalau diingat bahwa andai kata tidak ada Siang In di waktu dia menghadapi para kakek sakti tadi, tentu dia telah tewas. “Baiklah, In-moi. Kita pergi berdua, karena memang aku pun hanya hendak menyelidiki keadaan luarnya saja. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena sekali lagi kita bertemu dengan mereka, kiranya mereka tidak akan mau membiarkan kita lolos lagi.”
Siang In menjadi gembira, sekali. Timbul kembali kenakalan dan kejenakaannya. “Wah, kalau cuma menghadapi tua bangka-tua bangka tolol macam itu saja, aku menyimpan banyak macam akal untuk mengelabui mereka, Lee-ko!”
“Akal dari dongeng kuno?”
Siang In terkekeh dan menutupi mulutnya sehingga terpaksa Kian Lee juga tersenyum. Dekat dengan seorang dara seperti Siang In ini, tidak mungkin orang dapat berdiam diri saja tanpa ketularan kegembiraannya. Maka berangkatlah dua orang itu dengan hati hati, menyelinap dan sembunyi-sembunyi, menuju ke benteng lembah untuk menyelidiki keadaan benteng itu…..
********************
Komentar
Posting Komentar