JODOH RAJAWALI : JILID-51
Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para prajurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para prajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu ke mana perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak.
Akan tetapi ada seorang prajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. Sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu. Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung.
Kurang lebih sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang yang lari seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapa pun sehingga akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berkeliaran di dalam hutan itu. Karena mereka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara sedemikian sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.
Tiba-tiba dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pa-ngeran Nepal!
Tentu saja Hwee Li segera mengenali wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan sangat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan.
Keadaan di dalam kuil rusak itu makin terang ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah. Agaknya semalam itu enci-nya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh.
Hati Hwee Li menjadi panas. Betapa pun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti enci-nya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh yang begitu ditakuti enci-nya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu saja.
Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu pecah oleh suara wanita yang nyaring, “Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?”
Hwee Li terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar.
“Kau... kau terlalu mendesakku!” kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
“Perempuan keparat, pada waktu engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku mendesakmu?” Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian.
Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh penyesalan, “Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik dari pada ayah mertuamu?”
Sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat. “Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya dihukum!”
“Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, dan keluarga ayah, juga berdosa?” Cui Yan balas menghardik.
Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biar pun dia dapat mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela pihaknya sendiri. “Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?”
“Perempuan sombong!” Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar.
Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah sempat mengambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bahwa musuh enci-nya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir.
Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nionio, datuk barat di luar tembok besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apa lagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin sekali, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat ditemukan tandingannya di waktu itu.
Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu berkelahi mati-matian. Akan tetapi, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit tenggorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri!
Cui Yan hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sampai akhirnya Cui Yan tidak mampu mundur lagi oleh karena punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu.
“Bunuhlah, siapa takut mati?” teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata yang terbelalak.
“Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu...“
“Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo...!” Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya.
Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan pedangnya yang tetap menodong leher Cui Yan, dia membentak, “Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?”
“Subo, jangan bunuh dia... dia adalah enci-ku sendiri...“
Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran sekali mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan.
“Enci-mu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” tanya Ceng Ceng dengan alis berkerut.
“Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin...”
“Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia enci-mu?”
“Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga, dari salah seorang selir yang dilarikan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan.”
Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya.
“Ahhh, kau... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagai murid?”
Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.
“Krekkk!”
Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah. Matanya menatap wajah muridnya itu dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.
“Ahhh...“ Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi.
Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu.
“Ya Tuhan... jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu...?” Setelah berkata demikian, Kian Lee berkelebat pergi.
“Lee-koko...!” Hwee Li menjerit.
Dia meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat dari pada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak sambil bersandar di ambang jendela yang retak-retak. Memang tadinya dia sudah merasa berduka sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan menyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis, maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat rasanya.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa dalam keadaan yang menyedihkan.
Setelah tangis mereka mereda, biar pun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan telah dapat menguasai hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, “Aku sudah menduga-duga dengan penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ketiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia tiga bulan. Kenapa engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di benteng?”
Hwee Li menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu. “Aku... aku tidak ingin diketahui oleh... mereka bahwa aku adalah puteri pemberontak, maka aku diam saja walau pun aku sudah mendengar bahwa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan.”
Gadis baju hijau itu menarik napas panjang. “Aku mengerti. Mereka semua membenci ayah kita. Sungguh menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Kenapa kita diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?” Lalu Cui Yan merangkul lagi leher adiknya. “Engkau... engkau telah berkorban untuk keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk itu engkau kehilangan guru... dan pemuda itu...”
Diingatkan begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada enci-nya dan kembali keduanya bertangisan.
Memang demikianlah satu di antara ‘kebiasaan umum’ yang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai dari segala yang melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya, masyarakatnya, agamanya, orang tuanya, keluarganya, pendidikannya, kedudukannya, hartanya dan sebagainya lagi.
Sungguh merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain, kecuali dirinya sendiri. Kalau kita membenci bangsanya atau sukunya, setiap orang yang menjadi anggota bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan seperti ini tentu saja amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik antara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara perorangan.
Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan ketergantungan dan penilaian ini hingga kita menghadapi siapa pun juga tanpa mengingat kebangsaan, kesukuan, agamanya, kaya miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, tetapi sebagai manusia dengan manusia lain pada saat itu juga, tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manusia pun takkan pernah dapat dihentikan!
Kakak beradik itu lalu saling menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing masing. Dengan segala kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing hingga mengertilah Hwee Li bahwa enci-nya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi meninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri seorang pemberontak.
“Sudahlah, jangan engkau terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar pun kita dianggap anak anak pemberontak yang hina, kita pun tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau ikut bersamaku, hidup di samping enci-mu ini yang akan menghibur dan melindungimu, Hwee Li.”
Akan tetapi Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas kedua pipinya. Dia berkata keras, “Tidak...! Aku harus mencarinya, aku harus menyusulnya... aku... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!” Dan Hwee Li lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis.
Setelah bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan menggeleng kepala. “Kasihan Hwee Li... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari Nepal yang konyol itu! Kalau bertemu dengan mereka, akan kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan dapat menjodohkan Hwee Li dengan dia...“
Dengan pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui suheng-nya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suheng-nya itu setelah meninggalkan benteng yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli suheng-nya. Mereka menanti datangnya Kim-mouw Nionio, guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu musuhnya terus mengejar dan mencari carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan bersembunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng.
“Tentu suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung,” pikirnya. Dia pergi sejak kemarin dan kepada suheng-nya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia berlari menuju ke dusun tempat tinggal suheng-nya yang cukup jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus dikejar oleh musuh sampai ke hutan itu.
Kim Cui Yan mengambil keputusan untuk mengajak suheng-nya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan suheng-nya yang juga menjadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadinya telah beres.
Keluarganya yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah impas dendamnya karena jenderal itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao Liang adalah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya.
Jenderal itu gagah perkasa, para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang berjiwa satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari hatinya. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, walau pun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya.
Diam-diam dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gurun Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga biar pun dia mempergunakan pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agaknya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan wanita itu dengan mudah. Apa lagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang demikian saktinya, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia bergidik.
Biarlah dia mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suheng-nya, atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal ibu dari suheng-nya yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw Nionio.
Matahari telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, di mana suheng-nya tentu sedang menanti kedatangannya dengan gelisah.
Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu! Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi isterinya!
Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan juga kekasih dari saudara misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia kemudian berkata, “Ahhh, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?”
Sikap yang ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang kempis karena kemarahan membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring dan kaku, “Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!”
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis sekali. Tetapi, mengapa dia marah-marah dan berani memakinya?
Hati pangeran ini memang sedang tertekan sekali oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang memakinya sebagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali.
Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali oleh Hwee Li yang dicintanya, sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang kepada wanita yang marah-marah sampai kedua pipinya kemerahan dan amat menarik itu.
“Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biar pun kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui mengapa engkau marah kepadaku.”
Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang menyala di dalam Cui Yan. Mukanya segera bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!”
Pangeran Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu.
Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina oleh wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang keberanian wanita ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan birahinya! Walau pun aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa menjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li!
“Ahhh, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kau anggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis seperti engkau.”
Sepasang mata wanita itu berapi-api saking marahnya. “Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!”
Tentu saja diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum sungguh pun pandang matanya mulai berapi. “Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?”
“Aku akan menghajarmu!” bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian? Baik, akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan minta ampun padamu seperti yang kau minta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah...“ Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, “Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana...“
“Keparat!” Cui Yan membentak.
Dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali.
Ketika merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru, “Bagus sekali!”
Dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.
Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu sembarangan. Ilmu pukulan ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-mouw Nionio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main. Biar pun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi.
Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang bernama Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang ketiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan Ilmu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua serangan Cui Yan biar pun setiap kali lengan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.
Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan. Jika dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran Nepal itu memang masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong Bian Cu cepat mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu melepaskan lengannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!
Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu! Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok sehingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa.
“Engkau cantik, manis, dan engkau seperti Hwee Li... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah, engkau harus membayar taruhan.” Lalu dipondongnya tubuh dara itu.
“Lepaskan aku ! Atau... bunuh saja aku...,“ Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main. Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa dirinya.
“Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali, engkau terlalu cantik... ha-ha-ha...!”
Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini. Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ pula! Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apa lagi menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya memasuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya.
Pada jaman itu, baik di Tiongkok mau pun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus tunduk kepadanya, bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela.
Oleh karena itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum-senyum saja melihat muridnya memondong seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apa lagi karena memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya, Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini.
Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu bergerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia hanya mampu membuang muka dan air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya.
Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia tidak mampu, apa lagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan sia-sia. Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suheng-nya, dengan kekasihnya, dengan calon suaminya, untuk menceritakan semua mala petaka yang menimpa dirinya ini.
Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita dapat melihat dan menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita itu. Baru setelah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia telah berhasil ‘menundukkan’ wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi ‘jinak’, seperti yang sudah sering kali dia alami. Di antara para selirnya, banyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!
Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam kelima itu, malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap!
Ke manakah perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa mala petaka hebat ini melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu. Sambil menangis dia terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suheng-nya. Hampir putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suheng-nya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerahkan segenap tenaganya.
Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoi-nya datang berlari-lari, lalu menubruk padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.
“Sumoi, apa yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu sampai ke mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali...“ Pemuda berkulit putih bermata kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.
“Cui Yan, apa yang telah terjadi?” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan leher suheng-nya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan.
Nenek itu bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nionio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sembilan puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan senjatanya yang ampuh sekali.
Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang.
“Wuhhh, memalukan sekali! Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Hayo katakan apa yang telah terjadi!”
Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoi-nya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, “Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Coba ceritakanlah.”
“Suheng... demi Thian... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu...!”
Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara misannya dan sekarang sumoi-nya atau kekasihnya ini sudah minta kepadanya untuk membunuh saudara misannya itu!
“Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan yang luar biasa ini?”
“Sepekan yang lalu... aku bertemu dia. Kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan... dan...“ Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-isak.
Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoi-nya itu penuh kekhawatiran. “Lalu bagaimana, Sumoi?”
“Dia... selama sepekan ini... dia... memaksaku, dia memperkosa aku... dan aku tidak berdaya... ditotoknya dan... diperkosanya... hu-hu-huuu!”
“Ahhh...!” Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.
“Suheng...!” Cui Yan menjerit dan menubruk suheng-nya.
Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
“Tek Hwi, awas...! Cegah dia...!”
Tiba-tiba Kim-mouw Nionio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan lunglai.
“Sumoi...!” Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.
Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, “Balaskan, Suheng...“ Kemudian tubuhnya lunglai dan matanya terpejam.
“Sumoi...! Cui Yan... ahh, Cui Yan kekasihku...!” Liong Tek Hwi menangis dan berteriak teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
“Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Liong Tek Hwi menurunkan jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subo-nya.
“Tek Hwi, nanti dulu...!” subo-nya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka dan marahnya, tidak mempedulikan subo-nya sehingga terpaksa Kim-mouw Nionio mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.
Ketika tiba di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan kebetulan sekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah berhasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan mereka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, “Bian Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk menemani arwah sumoi-ku!”
Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat seorang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nionio, datuk luar tembok besar dari utara itu!
Biar pun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhu-nya, akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.
“Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?”
“Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku sampai dia membunuh diri... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus mati!” bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat keras.
Liong Bian Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata, “Sabar dulu, saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik dari pada sumoi-mu itu!”
“Manusia iblis! Harus kau ganti dengan nyawamu!” Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan.
Pangeran Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat dari pada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya ini masih lebih tinggi dari pada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apa lagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal!
Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan, dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah dan biar pun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, akan tetapi pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan mampu membujuknya, maka terpaksa harus membunuhnya.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cui Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nionio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan kalau pihak lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nionio secara terang-terangan selalu memandang kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!
Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata tangguh sekali.
“Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak menghabiskan saja urusan perempuan ini?” dia berseru sambil menangkis sebuah pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke belakang.
Akan tetapi Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.
“Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku!”
“Keparat!” Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru.
Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak! Serangan serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia mengharapkan bantuan gurunya.
“Suhu, harap bantu...!”
Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ketiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri.
Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apa lagi sekarang dia melihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini!
Gerakan pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.
Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau pengejaran terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai suatu kecerdikan atau langkah-langkah demi mencapai apa yang dicita-citakan atau yang dikejar-kejar.
Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan sogok-menyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap kehormatan, kebersihan nama dan apa pun yang dinamakan kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan. Perbuatan apa pun, betapa mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apa bila didorong oleh suatu pamrih, karena perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa yang dipamrihkan itu.
Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita beri pakaian dan menyebutnya sebagai ‘pamrih baik’, ‘pamrih mulia’ dan sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapa pun baik dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang dapat menguntungkan atau bisa menyenangkan diri kita, lahir mau pun batin! Hanya tindakan yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang mengandung cinta kasih!
Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya, bahkan menjawab permintaannya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.
“Crottttt...!”
Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenaga sinkang amat kuat itu sudah memasuki rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga, dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu sempat menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu.
“Prakkkk!”
Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!
Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nionio amat mencinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!
Ban Hwa Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya. Kedua, pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi kemarahan Kim-mouw Nionio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah satu nenek tua ini. Dan untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh…..
Komentar
Posting Komentar