JODOH RAJAWALI : JILID-54


Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta sudah lebih dahulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun juga telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri. Ada pun Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng.

Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Walau pun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu.

Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka bisa mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal, kemudian mengambil jalan sendiri, sungguh pun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.

Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu.

Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andai kata ada yang melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa!

Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya.

Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanan saja. Pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang selalu ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.

Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya sangat menyesakkan napas itu.

“Hemmm, perang... lagi-lagi perang... pertempuran, bunuh-membunuh antara manusia!” Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isteri tercintanya untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya, dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau, mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.

Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan dapat melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana!

Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun Beng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.

Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuh membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu, maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.

Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini.

Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri dari Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.

Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok!

Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena sekarang ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.

“Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!” Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.

“Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau kalau Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.” Dia berhenti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah...“

Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Siansu, si tosu yang tinggi badannya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu Nampak sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan dua tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping telah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masing-masing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!

Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar dan ke mana pun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka.

Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dan hanya dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.

Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil berseru, “Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!”

Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nionio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti ‘hidup’ dan hendak bergerak sendiri itu.

Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Siansu yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu yang menjulang tinggi!

Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda kuda mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.

“Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?”

Empat orang itu sama sekali tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.

Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.

“Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!” Semua orang menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksasa yang kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!

“Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya sampai mampus!”

Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia tertarik.

“Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?”

“Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau Neraka ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti.

Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tak dihiraukannya. “Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan urusan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini.”

“Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke semua anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!”

Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya lagi gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini?

Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata. “Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?”

“Tidak ada yang bohong! Kedua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang kedua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!”

“Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!

Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapa pun juga, dia mulai marah. “Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?”

Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya telah saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.

Mendadak ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok untuk memeriksa bangkai burungnya.

Kini marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur kedudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biar pun mereka bertanding tanpa suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, hebat bukan main karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas sekali dan kadang kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa yang berubah-ubah itu.

Twa-ok yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan menghadapi seorang lawan hebat seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada di situ bersama mereka. Biar pun dalam urutan tingkat Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok.

Belasan tahun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biar pun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekali pun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi. Biar pun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat itu.

Kekhawatiran Twa-ok memang sangat beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu. Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena mereka itu masing-masing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.

Mengerti bahwa jika dilanjutkan tentu pihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.

“Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di dunia kang-ouw!”

“Ha-ha-ha, Twako, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?” tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan hati Suma Han.

Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu, apa lagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati.

“Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!”

“Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa. Jangan khawatir, Suma taihiap, bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!” Setelah berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau Es itu.

“Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!” Tiba-tiba pendekar itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.

“Persetan!” bentak Hek-tiauw Lo-mo. Tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu tahu pendekar kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!

“Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han.

“Keparat sombong!” Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut, golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!

Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata, “Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!”

“Crakkk!”

Golok itu benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu ‘pecah’ menjadi dua, kemudian muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!

“Ehhh?” Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han itu.

“Crakkk! Crakkk!”

Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan... dua kali dua sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan senyum-senyum di depannya! Sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar Siluman ini sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak lagi!

“Hek-tiauw Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!”

Meski dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa tidak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah, “Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!”

Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.

“Sudahlah,” katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.

Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.

Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!

Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian? Kematian adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukuman, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut menghadapi kematian.

Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenangan, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati! Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu kembali mengejar kesenangan, sungguh pun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya, disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya rasa takut!

Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biar pun dia kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepatnya. Wussssss…..

********************

Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia mengerahkan ginkang-nya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu.

Bertahun-tahun sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari pemuda ini! Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?

“Ahh, Kian Bu... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?” Dia termenung dan tenggelam dalam lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.

Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan, sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permukaan, tanah di dalam hutan. Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini.

Dia memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.

Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biar pun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan.

Demikian pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala bahaya apa pun yang mengancamnya.

Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?

Kalau orang lain, apa lagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan merasa takut dan pertama-tama tentu akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya, menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam goa, atau di mana saja!

Maka, mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah merantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.

Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan biar pun ginkang-nya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan sedikit suara.

Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang bintang di langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.

“Kresekkk...!” Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa tegang dan gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu, orang yang dicarinya.

Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga dapat melihat bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita!

“Suma-taihiap! Siluman Kecil... engkaukah itu...?”

Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup.

“Siapa engkau?” bentaknya.

Bayangan itu pun tercengang. “Ahhh... kiranya bukan...!”

Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng.

“Enci Swi Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.

“Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa engkau di sini?”

“Dan engkau pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” balas Siang In. “Mau apakah engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?”

Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab, “Aku... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap... dan kusangka dia yang masuk ke sini...“

“Ada keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?”

“Ah, tidak... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan... ehhh, dari suhu..., sudahlah, aku harus cepat kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi.”

Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil ‘Suma taihiap’ tadi demikian penuh perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi panas. Begitu banyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apa lagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?

“Gila kau!” Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!

Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran, Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian Bu bergandeng tangan dan bersenda gurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan perjalanannya, sungguh pun dia sendiri tidak tahu harus ke mana arah perjalanannya itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Kedua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan sia-sia belaka.

Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di depannya seperti iblis. Memang kakek ini semenjak tadi bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.

Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini. Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya panjang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki kekuatan sihir yang hebat!

Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekali karena dia sudah mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula.

“Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki.

Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng. Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal terhadap kaum wanita.

Melihat pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya.

“Hemmm...!” Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk menangkis, bukan menangkis payung, tetapi menghantam ke arah pergelangan tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan balasan!

Akan tetapi Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali pedang payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke arah lambung lawan!

“Uuuhhh...!” Kembali Gitananda berseru kaget.

Cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun dengan muka berubah pucat, lalu merah karena penasaran. Dalam dua gebrakan saja hampir dia termakan lawan!

Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana.

Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biar pun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, ditertawakan oleh Siang In.

“Hi-hik, kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?” Dia mengejek dan pendeta itu menjadi makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah permainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli.

Kemarahan membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!

Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andai kata Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk mengalahkanya.

Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang diselingi dengan tusukan-tusukan pedang payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga tendangan kaki kiri Siang In yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya.

“Dukkk!”

Gitananda mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.

Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas, dan kemudian dia mengeluarkan pekik melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan mendadak Siang In ikut pula menggigil! Maka segera tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, memusatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun ini sudah dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang.

“Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus tunduk kepadaku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara dari jauh, seperti suara setan!

Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadarannya, tetapi dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring, “Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, seorang ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!” Akan tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia terhuyung!

“Ha-ha-ha...!” Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat-cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat!

“Dukun lepus, siapa takut permainanmu ini?” bentaknya dan dia memapaki ‘singa’ itu dengan bacokan pedang payungnya.

“Cusssss!”

Bayangan singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua tangannya ke arah tongkat yang menjadi ‘ular’ dan melibat pedang payung itu.

Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga Iweekang.

“Krakkk! Krekkk!”

Pedang payung dan ‘ular’ itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biar pun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia tadi repot menghadapi Siang In.

Suara ketawa ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw. Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepadanya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia menyerahkan jiwa raganya kepadanya.

Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin ‘parah’ penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang sukar dicari keduanya.

Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat eratnya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!

Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia sendiri tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimana pun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengandung penderitaan rindu karena cinta gagal!

Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya, dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke mana pun mencari, dia kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan.

Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan, dia merasakan adanya pengaruh mukjijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang saling dorong! Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir!

Memang demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat ditakutinya patah, Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak gerak seperti cakar-cakar setan yang hendak mencengkeram. Dan biar pun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua lengannya untuk menolak.

Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu, membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan agar jangan sampai dia ‘terseret’ oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.

Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.

“Ihhhhh!” Gitananda berteriak kaget.

Biar pun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambitkan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu, maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai tubuhnya, melainkan runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.

Akan tetapi Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan.

“Haihhhhhh!” Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang dara ini.

Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang kini mematuk ke arah matanya, Siang In terkejut sekali, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak, “Kembali menjadi tongkat!” Dan burung itu tersampok jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.

“Heh-heh-heh, engkau tak akan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku dan menjadi tawananku untuk kuhadapkan kepada pangeran...!” kata kakek itu sambil menyeringai.

Tiba-tiba dia memekik dahsyat dan terjadilah hal yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas memandang penglihatan yang luar biasa ini.

Siang In juga kelihatan sangat terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk menghentikan penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh semakin panjang. Kemana pun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.

Siang In berkemak-kemik, membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan nampak asap mengepul, dia mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya, namun kesemuanya itu juga tidak dapat membuyarkan sihir Gitananda yang membuat jenggotnya semakin panjang dan hidup memenuhi seluruh tempat itu. Tempat seluas sepuluh meter persegi itu penuh oleh rambut-rambut bergumpal-gumpal dan yang hidup itu, makin lama makin mulur dan ketat memenuhi tempat itu seperti jaring yang siap menangkap mangsa…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum