JODOH RAJAWALI : JILID-57
Bukan hanya Yu Hwi saja yang dapat terserang semacam ‘penyakit’, yaitu kehilangan kebebasan dan kewajaran begitu dia ‘menempel’ kepada sesuatu yang lebih besar atau yang dianggap lebih besar dari pada dirinya sendiri. Yu Hwi tadinya adalah seorang dara yang bebas dan wajar, polos dan tidak berpura-pura, hidup lincah gembira tanpa adanya penghalang apa pun. Akan tetapi, begitu dia merasa bahwa dia adalah keturunan keluarga yang ‘besar’, maka dia menyamakan diri dengan kebesaran nama keluarga itu dan merasa dirinya besar pula, dan begitu dia merasa dirinya besar, lenyaplah kewajaran dan kebebasannya karena yang besar itu tentu mempunyai sifat sifat besar tersendiri pula! Bukan hanya Yu Hwi yang terserang penyakit itu, melainkan kita pada umumnya pun demikian!
Dapat kita lihat di dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita mau membuka mata melihat kanan kiri, depan belakang dan terutama sekali melihat ke dalam diri sendiri, melihat batin sendiri. Betapa kita hidup dalam alam kepalsuan! Betapa kita memaksa diri untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, semua itu hanya karena ingin ‘menyesuaikan diri’ dengan kesopanan, dengan kebudayaan, dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Padahal, apa yang dinamakan kesopanan itu sesungguhnya tidak sopan lagi kalau dilakukan dengan pura-pura, dengan paksaan. Apakah artinya senyum di bibir kalau di dalam hati kita mencibir atau menangis? Apakah artinya sikap sopan di lahir kalau di batin kita memandang rendah? Apakah gunanya sikap ramah dan suka kalau di dalam hati kita membenci?
Dan semua keadaan yang bertentangan ini terjadi setiap hari, setiap saat, di dalam kehidupan manusia di seluruh dunia! Kita kehilangan kewajaran, kehilangan kebebasan, karena kita INGIN DIANGGAP BAIK, kita ingin dianggap sopan, dianggap ramah, maka kita mengejar anggapan itu dengan menggunakan kedok palsu bernama kesopanan, keramahan, kebaikan dan selanjutnya! Betapa menyedihkan hal ini! Betapa munafik dan palsunya kita ini. Dapatkah kita hidup tanpa kepalsuan ini, dengan kesopanan yang tidak dibuat-buat, keramahan yang wajar dan tulus, senyum yang memancarkan cahaya kegembiraan dari hati, bukan sekedar usaha agar kita dianggap baik belaka? Dapatkah? Pertanyaan ini amat penting artinya bagi kita kalau kita ingin mengenal dan menyelidiki diri sendiri
.
Biar pun sepasang mata Yu Hwi tidak menoleh, namun pendengaran telinganya dapat menangkap setiap gerakan dari orang yang memasuki ruangan itu. Langkah-langkah yang halus dan tetap, tidak tergesa-gesa, gerakan yang lembut.
“Suhu! Teecu girang sekali melihat kedatangan Suhu, dan teecu menghaturkan hormat kepada Suhu!” terdengar suara seorang pria dan hati dara itu tersentak kaget karena dia merasa seperti sudah mengenal suara itu dengan baik sekali.
Akan tetapi ‘kesopanan’ masih membuat dia memaksa diri menundukkan muka, sama sekali tidak berani mengerling ke arah pria yang kini berlutut tidak jauh di sebelah kiri bangku yang didudukinya itu. Dia hanya dapat melihat baju yang sederhana di pundak yang lebar.
Sai-cu Kai-ong cepat berdiri dari duduknya, menyentuh pundak pemuda itu untuk ditarik berdiri sambil tertawa. “Ha-ha-ha! Anak baik, bangkitlah dan perkenalkan calon isterimu yang sudah hilang selama belasan tahun…”
Mula-mula Yu Hwi hanya melirik dengan ujung matanya ketika melihat bayangan tubuh pemuda itu membalik dan menghadap kepadanya, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia sudah mulai dapat memandang wajahnya.
“Kau…?!”
“Ahhhh….”
Walau pun dengan kata-kata yang berbeda, akan tetapi kedua orang ini berseru pada waktu yang bersamaan. Tidak mengherankan apabila dua orang ini sama-sama terkejut bukan main karena mereka sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa orang yang akan ditemuinya adalah yang kini sedang berada di hadapannya. Sejenak mereka hanya saling menatap dengan mata terbelalak, dan akhirnya Yu Hwi yang lebih dahulu mengeluarkan suara setengah berteriak.
“Ternyata kau adanya… laki-laki kurang ajar…!”
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung membalikkan badan dan lari ke arah pintu, meninggalkan suara isak bercampur kemarahan. Dua orang kakek dan pemuda yang ternyata Kam Hong adanya, sekejap hanya bengong terlongong, tidak menduga bahwa kejadian akan berlangsung demikian.
Sai-cu Kai-ong yang sadar lebih dahulu kemudian berseru, “Siauw Hong, cepat kejar anak itu…!”
Seruan Sai-cu Kai-ong ini menyadarkan Sin-siauw Sengjin dan Kam Hong, dan bagai kuda dipecut, tanpa membuang waktu segera Kam Hong berkelebat ke arah pintu pula mengejar bayangan Yu Hwi yang sudah tidak nampak itu. Di dalam ruangan itu kini hanya tersisa dua orang kakek, Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin.
Sai-cu Kai-ong menarik napas, lalu dia berkata, “Aihhh, anak itu… dengan maksud baik kuajak ke sini untuk memperkenalkannya kepada Kam Hong. Eh, tidak tahunya mereka sudah saling mengenal, dan malah ada rahasia di antara mereka!” Kakek ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, lebih baik lagi,” kata Sin-siauw Sengjin. “Biarlah mereka saling berkenalan agar kelak mereka tidak menyalahkan kita kalau dalam perjodohan mereka terjadi ketegangan-ketegangan. Dan sebaiknya kalau Kam-kongcu yang mencari sendiri, karena dia telah menguasai ilmu-ilmu nenek moyangnya secara hampir sempurna. Sungguh hebat anak itu, ilmu-ilmu aneh yang selama puluhan tahun tak dapat aku kuasai, kini dia kuasai intinya. Agaknya dia mendapat petunjuk langsung dari arwah leluhur-leluhurnya.”
Ke manakah perginya Yu Hwi? Dan mengapa Kam Hong yang mengejarnya belum juga kembali setelah ditunggu selama semalam suntuk oleh dua orang kakek itu?
Pertanyaan ini juga mengganggu hati Kam Hong yang mencari sampai semalam suntuk tanpa hasil. Pemuda ini merasa khawatir bukan main. Padahal dia telah menggunakan ilmu ginkang-nya yang membuat dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Sudah dijelajahinya seluruh daerah itu, sudah dikejarnya ke empat penjuru, namun dia tidak berhasil menemukan jejak dara yang telah menggerakkan hatinya semenjak peristiwa pembukaan rahasia itu, dara yang ternyata adalah tunangannya, calon isterinya sendiri!
Berbagai perasaan mengaduk di hati Kam Hong. Diam-diam ada perasaan bahagia yang luar biasa oleh kenyataan bahwa tunangannya, calon isterinya yang dipilihkan oleh Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong, adalah justeru gadis yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya itu! Akan tetapi, perasaan bahagia ini mulai berubah menjadi perasaan gelisah ketika dia tidak berhasil menyusul dan menemukan Yu Hwi. Padahal, dalam hal ilmu berlari cepat, dia menang jauh dibandingkan dengan dara itu. Tidak mungkin rasanya dara itu dapat berlari sedemikian cepatnya sehingga dia tidak mampu menyusulnya. Dia merasa cemas sekali karena menduga tentu telah terjadi sesuatu atas diri tunangannya itu.
Maka, Kam Hong kemudian mengambil keputusan untuk mencari terus sampai dia dapat menemukan Yu Hwi dan tidak akan pulang ke tempat tinggal Sin-siauw Sengjin sebelum dia dapat menemukan Yu Hwi.
Dan mengingat bahwa cerita ini masih panjang, dan akan terlalu panjang kalau harus mengikuti perjalanan Yu Hwi dan Kam Hong, maka terpaksa dua orang muda ini kita tinggalkan, dan cerita tentang mereka akan dapat diketahui dalam sebuah cerita terpisah yang akan terbit kemudian, merupakan sambungan atau juga cabang dari cerita Jodoh Sepasang Rajawali ini. Cerita tentang Kam Hong dan Yu Hwi akan merupakan sebuah cerita sendiri, karena keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan dari keluarga Raja Pengemis Yu itu akan mengalami hal-hal yang amat hebat. Dan kini kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh lainnya dari cerita ini, yaitu tokoh-tokoh utamanya. Sabar…..
********************
Tek Hoat rebah dengan kedua mata terpejam di atas pembaringan dalam kamar yang bersih dan indah itu. Orang yang sudah mengenalnya tentu akan terkejut sekali kalau melihat wajahnya pada saat itu. Wajahnya pucat dan kurus sekali sehingga sepasang alisnya yang tebal itu nampak lebih hitam lagi. Kerut-merut di antara kedua alisnya membayangkan kedukaan besar yang agaknya menindih perasaan pemuda perkasa ini. Rambutnya yang dikuncir itu agak awut-awutan dan tubuhnya tertutup selimut tebal.
Dua pelayan wanita muda yang cantik duduk di atas lantai, di depan pembaringan. Mereka adalah pelayan-pelayan yang menjaga, bergiliran dengan pelayan-pelayan lain. Pemuda yang sedang menderita sakit ini selalu dijaga secara bergilir dan pada saat saat tertentu pelayan menyuapkan obat dan makanan ke dalam mulut pemuda itu yang menerima segala perawatan tanpa pernah bicara atau membantah, bahkan jarang membuka mata. Dia hanya rebahan seperti orang tidur, kadang-kadang berbisik-bisik, kadang-kadang mengeluh bahkan tidak jarang ada pelayan melihat air mata berlinang dan menitik turun ke atas pipi yang pucat dan cekung itu.
Sebetulnya semua luka yang diderita oleh Tek Hoat akibat pertempuran menghadapi para pemberontak itu telah dapat disembuhkan sama sekali oleh ahli-ahli pengobatan Kerajaan Bhutan. Akan tetapi luka di hatinya yang sukar disembuhkan. Para tabib itu merasa khawatir juga. Pemuda itu kelihatan linglung tidak pernah dapat sadar sama sekali dan selalu murung, seperti orang yang putus harapan.
Para pelayan wanita itu, yang sebagian besar merupakan bekas pelayan-pelayan dari Puteri Syanti Dewi, merasa terharu kalau mendengar betapa dalam igauannya, pemuda itu sering kali menyebut-nyebut nama Syanti Dewi. Mereka semua tahu belaka bahwa pemuda ini adalah bekas tunangan sang puteri dan betapa pemuda ini pernah terusir dari Bhutan tanpa salah, betapa kemudian sang puteri juga lolos dari istana untuk mencari pemuda kekasihnya ini. Mereka tahu bahwa ada hubungan cinta kasih yang mendalam antara pemuda perkasa ini dan sang puteri, dan bahwa pemuda ini jatuh sakit seperti orang linglung karena menyangka bahwa sang puteri telah bermain gila dengan Mohinta, kemudian melihat sang puteri tewas tanpa mengetahuinya bahwa yang tewas dan bermain gila dengan Mohinta itu bukanlah Syanti Dewi yang asli!
Tiba-tiba terdengar suara pengawal di luar pintu kamar dan dua orang pelayan itu cepat berlutut. Raja Bhutan sendiri dengan dua orang tabib dan dikawal beberapa orang pengawal, diiringi pula oleh Panglima Jayin, memasuki kamar itu. Sang raja mendekati pembaringan, memandang wajah pemuda itu, lalu menarik napas panjang.
“Kasihan...,“ keluhnya, lalu dia menoleh kepada dua orang tabib tua itu. “Bagaimana harapannya?”
Dua orang tabib itu saling pandang, kelihatan was-was, kemudian seorang di antara mereka berkata, “Hamba berdua telah berdaya sekuat tenaga, Sri baginda. Hamba telah membersihkan darahnya sehingga tidak membahayakan keselamatan tubuhnya, akan tetapi... penyakitnya bukan menyerang badan, melainkan batin dan hal ini amat sukar diatasi dengan obat. Perasaan kecewa yang besar dan kedukaan yang hebat telah meracuni jantungnya.”
“Hemmm...“ Sang raja mengusap jenggotnya. “Kalian maksudkan ada hubungannya dengan sang puteri?”
Tabib itu mengangguk. “Kiranya begitulah. Melihat semua peristiwa yang terjadi atas diri wanita yang disangkanya sang puteri, terutama melihat wanita itu tewas, telah mendatangkan guncangan yang amat hebat.”
Raja Bhutan mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali. Kini telah terbukti bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan setia, memang patut sekali menjadi mantunya, dan pemuda ini amat mencinta Syanti Dewi. Dia merasa menyesal pernah berusaha memisahkan dua orang muda itu dan sekarang akibatnya, Syanti Dewi masih belum dapat ditemukan dan pemuda ini yang sudah dua kali berjasa terhadap Bhutan, kini rebah dalam keadaan sakit hebat.
“Bagaimana kalau dia diberi tahu bahwa Syanti Dewi masih hidup?” Akhirnya dia bertanya.
“Memang, guncangan itu kiranya dapat disembuhkan dengan guncangan lain yang amat berpengaruh terhadap batinnya, Sri baginda. Akan tetapi hamba juga khawatir kalau-kalau guncangan lain itu bahkan akan mengakibatkan hal yang lebih parah lagi.”
“Dapat menewaskannya...?”
“Mungkin saja.”
“Hemmm, kalau begitu amat berbahaya. Biarlah saja dulu, tak usah diberi tahu sampai kita berhasil menemukan Syanti Dewi. Panglima Jayin, bagaimana dengan usahamu menyelidiki sang puteri?”
Panglima Jayin memberi hormat. “Hamba sudah mengerahkan para penyelidik yang terpandai. Ada kabar baik, Sri Baginda. Ada kabar bahwa Sang Puteri Syanti Dewi diberitakan berada di sebuah pulau pada beberapa tahun yang lalu, akan tetapi beliau sudah meninggalkan pulau itu. Para penyelidik sedang melanjutkan penyelidikannya. Setidaknya hasil penyelidikan itu membuktikan bahwa sang puteri memang masih dalam keadaan sehat.”
Raja Bhutan itu mengangguk-angguk, lalu mengomel, “Itulah susahnya kalau wanita diberi pelajaran silat. Jayin, mulai sekarang umumkan di seluruh Bhutan bahwa dilarang mengajarkan ilnmu silat kepada kaum wanita!”
Panglima Jayin merasa geli oleh perintah ini, akan tetapi dengan wajah bersungguh-sungguh dia mengambil sikap tegak dan menjawab, “Baik, Sri baginda!”
Setelah memandang sekali lagi wajah pemuda itu, Raja Bhutan lalu keluar dari dalam kamar, diiringkan oleh Panglima Jayin, para tabib dan para pengawal. Dua orang pelayan tadi masih duduk di dalam kamar, di depan pembaringan setelah menutupkan kembali pintu kamar.
Tidak ada seorang pun yang melihatnya, juga Panglima Jayin yang lihai itu tidak dapat melihat betapa ada bayangan yang amat cepat berkelebat di atas genteng kamar itu. Bayangan itu berkelebat seperti setan saja saking cepatnya, demikian ringan seperti seekor kucing yang berlompatan di atas genteng.
Setelah rombongan raja meninggalkan kamar, bayangan yang amat ringan dan cepat gerakannya itu melayang turun lalu meloncat ke depan pintu kamar Tek Hoat. Dengan amat hati-hati sebuah tangan dengan jari-jari runcing kecil dan halus kulitnya itu membuka pintu mengintai ke dalam, kemudian, daun pintu kamar itu dibukanya dan secepat kilat tubuhnya melayang ke dalam. Gerakannya itu sedemikian ringannya sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apa-apa dan dua orang pelayan wanita yang duduk di atas lantai menghadapi pembaringan itu sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tidak menengok.
Tiba-tiba mereka itu mengeluh dan roboh terguling, pingsan dan tidak sempat melihat siapa orangnya yang menyerang mereka, bahkan tidak tahu apa yang terjadi karena serangan dengan totokan kedua tangan ke arah tengkuk yang membuat mereka pingsan itu demikian luar biasa cepatnya.
Bayangan itu bukan lain adalah Syanti Dewi! Seperti telah kita ketahui, puteri Bhutan yang cantik jetita ini telah melarikan diri dari Kim-coa-to karena jijik melihat kenyataan betapa gurunya, yaitu Ouw Yan Hui, dan Maya Dewi si nenek India ahli kecantikan itu melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan, yaitu suka berjina dengan sesama wanita. Sang puteri melarikan diri dengan perahu dan kini dia telah berubah menjadi seorang wanita yang luar biasa cantiknya berkat ramuan obat yang diberikan oleh Maya Dewi. Di samping kecantikan yang luar biasa, bagaikan batu permata yang sudah digosok, dia pun kini memiliki kepandaian istimewa, terutama sekali ilmu ginkang yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya!
Dengan kepandaiannya yang hebat itu, Syanti Dewi cepat menuju ke Bhutan. Dia sudah merasa rindu kepada kampung halaman, dan merasa berdosa telah meninggalkan ayah bundanya di Kerajaan Bhutan. Apa lagi ketika dia mendengar berita yang didapatnya di sepanjang jalan bahwa di Bhutan terjadi pemberontakan dan bahwa hampir saja Raja Bhutan menjadi korban, dia mempercepat perjalanannya menuju ke Bhutan. Setelah tiba di daerah Bhutan, berita yang didapatnya lebih mengejutkan hatinya karena berita ini menyatakan betapa dalam keadaan bahaya besar bagi ayahnya dan Kerajaan Bhutan itu, kernbali muncul Ang Tek Hoat sebagai pahlawan dan penolong! Akan tetapi, hatinya merasa gelisah bukan main ketika mendengar bahwa pemuda itu luka-luka parah dan kini rebah di istana dalam keadaan menderita sakit berat.
Syanti Dewi mendengar pula akan adanya wanita yang memalsu dirinya, dan betapa pemberontakan itu dipimpin oleh Mohinta yang telah tewas. Semua ini mendatangkan tanda tanya besar baginya sehingga dia tidak mau memasuki Bhutan secara terang terangan, melainkan memasuki daerah istana itu setelah malam tiba. Bahkan dia bersembunyi di atas genteng ketika melihat rombongan ayahnya memasuki kamar Tek Hoat, dan mendengarkan percakapan mereka tanpa diketahui seorang pun. Dengan kepandaiannya yang sekarang, hal ini dapat mudah dilakukannya karena semua gerakannya sedemikian ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Setelah ayahnya dan rombongan ayahnya meninggalkan kamar itu, untuk sejenak dia berdiam dengan hati terguncang hebat. Apa yang didengarnya antara percakapan ayahnya dengan Panglima Jayin dan tabib-tabib tadi benar-benar amat mengejutkan dan mengharukan hatinya. Tek Hoat sakit parah dan mungkin tidak akan tertolong keselamatannya! Tek Hoat bukan parah karena luka-lukanya, tetapi karena mengira dia telah mati, belum tahu bahwa yang mati adalah wanita yang mertyamar sebagai dia!
“Tek Hoat...!” Setelah dia meluncur turun dan merobohkan dua orang pelayan sehingga mereka berdua itu roboh pingsan tanpa mengenalnya, Syanti Dewi berlari menghampiri dipan di mana tubuh Tek Hoat terbujur terlentang di atasnya.
“Tek Hoat...!” Dia berbisik, menubruk pemuda itu dan duduk di tepi pembaringan, lalu memandang wajah yang kurus pucat itu dengan hati penuh keharuan.
Dia merasa terharu karena betapa pun juga, Tek Hoat telah membuktikan kesetiaannya terhadap Bhutan dan cinta kasih yang mendalam kepada dirinya sendiri. Kekerasan hatinya yang pernah marah terhadap Tek Hoat yang meninggalkannya tanpa pamit itu melunak, akhirnya mencair bersama keluarnya air matanya dan bangkitlah rasa cintanya terhadap pemuda ini yang memang belum pernah padam.
Perasaan duka dan iba memang merupakan perasaan yang paling kuat untuk menggerakkan cinta kasih dalam batin seorang wanita! Betapa sering dan banyak terbukti bahwa seorang wanita yang menaruh iba dan merasa terharu, akan mudah sekali menyatakan cinta kasihnya.
Agaknya Puteri Bhutan itu juga tidak terkecuali dan pada saat itu, keharuan dan iba hati mempengaruhi batinnya dengan amat kuatnya sehingga hatinya yang memang sejak dahulu mencinta Tek Hoat, kini bagaikan api berkobar lagi.
“Tek Hoat, ahhh... Tek Hoat...!”
Dia meraba-raba pipi yang kurus itu, air matanya bertitik turun di sepanjang kedua pipinya, semua keangkuhan terbang pergi meninggalkan batinnya dan sang puteri yang cantik jelita seperti bidadari kahyangan ini merangkul, menunduk dan mencium ujung mulut Tek Hoat dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Getaran perasaan yang memuncak itu agaknya terasa pula oleh Tek Hoat yang sedang rebah tidur atau dalam keadaan setengah sadar. Dia membuka matanya yang sayu. Pandang mata yang sayu itu bertemu dengan sepasang mata yang amat dekat, sepasang mata bening yang basah air mata, wajah yang cantik, yang begitu dekat sehingga dia merasakan hembusan napas yang hangat, wajah yang selama ini membuat dia seperti bosan hidup, wajah Syanti Dewi yang telah meninggal dunia!
Tiba-tiba sepasang mata yang sayu itu terbelalak lebar, Tek Hoat tersentak kaget seperti melihat setan. Ada kekuatan gaib yang menibuat dia seperti kemasukan kilat, membuatnya bangkit duduk.
“Syanti Dewi...!” dia menjerit, akan tetapi jeritannya itu hanya keluar seperti bisikan halus saja. “Tak mungkin...! Tak mungkin...! Engkau telah... mati...!” Dengan sepasang mata tak pernah berkedip, masih terbelalak, Tek Hoat berkata dengan suara berbisik, dan dadanya bergelombang, napasnya terengah-engah.
Sambil tersenyum dengan mata basah air nata, Syanti Dewi mengulur kedua tangannya, memegang lengan pemuda itu dengan lembut sambil berkata, “Tidak, Tek Hoat, tidak... aku tidak mati...“ Sungguh mengharukan sekali wajah yang cantik itu, mulutnya tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang seperti mutiara, akan tetapi air matanya masih membasahi matanya dan menuruni pipinya.
Tetapi lahir batin Tek Hoat masih dalam keadaan belum sehat benar. Tiba-tiba saja dia mengibaskan kedua tangan dara itu dari lengannya, sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya bersungut-sungut dan kedua tangannya dikepal! Dia seperti melihat lagi bayangan Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, mendengar kata-kata penuh rayuan dan kegenitan Syanti Dewi ketika bercumbu dalam kamar bersama pemberontak itu. Makin dikenang, makin hebatlah kemarahannya dan akhirnya meledak dengan keras dalam bentuk kata-kata yang parau penuh kebencian.
“Enyah engkau, perempuan lacur! Perempuan hina dan rendah tak tahu malu! Engkau mengotorkan negaramu, engkau mengotorkan cinta kasih kita, engkau mengotorkan bumi dengan kecabulanmu. Pergi!”
Syanti Dewi terhuyung ke belakang, memegangi pipinya seakan-akan baru menerima tamparan keras dari Tek Hoat dengan kata-kata itu. Wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang wajah Tek Hoat dan air matanya makin deras bercucuran. Dia lalu memejamkan matanya, menggigit bibirnya agar jangan menjerit.
“Engkau telah berjinah dengan Mohinta! Berani kau menyentuhku setelah melakukan perbuatan keji dan kotor itu?” Setiap kata yang keluar dari rnulut Tek Hoat seolah-olah menghujam di ulu hati Syanti Dewi, menimbulkan keperihan yang amat hebat sehingga dia menjadi berduka sekali, kemudian kemarahan menguasai dirinya.
Tiba-tiba dia meloncat ke belakang. Mukanya berubah merah, matanya bersinar-sinar, dadanya bergelombang dan napasnya sesak, dengan kemarahan yang luar biasa dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Tek Hoat.
“Tutup mulutmu yang kotor, Tek Hoat! Engkau laki-laki tolol, keji dan jahat! Aku... aku... muak perutku melihat mukamu! Uhhhhh...!” Syanti Dewi menutupi mukanya menahan tangis, lalu sekali berkelebat dia sudah meloncat keluar kamar itu.
Sejenak Tek Hoat berdiri seperti patung. Mukanya sudah berubah pucat lagi, seperti mayat hidup. Baru dia sadar betapa dia sudah menghina puteri itu, memaki puteri itu, puteri yang selama ini tidak pernah dilupakannya, yang agaknya merupakan bayangan satu-satunya yang masih mampu menahan sehingga nyawanya masih enggan meninggalkan tubuhnya. Betapa dia mencinta wanita itu! Dan betapa dia telah menghinanya dengan kata-kata keji dan maki-makian! Semua itu kini nampak nyata.
“Syanti Dewi...!” Dia berteriak lantang dan cepat meloncat, terhuyung dan keluar dari kamar itu melalui jendela, kemudian melakukan pengejaran secepat mungkin, tidak lagi mempedulikan kepeningan yang mengganggu kepalanya dan yang membuat pandang matanya kabur.
“Dewi...! Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Berulang-ulang Tek Hoat berteriak sekuatnya ketika akhirnya dia dapat melihat bayangan wanita itu.
Setengah malam suntuk dia telah melakukan pengejaran, sampai bayangan wanita itu jauh meninggalkan Kota Raja Bhutan, naik turun bukit dan fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia dapat melihat Syanti Dewi masih berjalan cepat di sebelah depan.
“Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Dia berteriak sambil mengeluh dan terus berlari secepatnya.
Syanti Dewi yang tahu betapa Tek Hoat mengejarnya sejak semalam dan sengaja dia tidak mau berhenti, sambil menangis terus berjalan cepat, kini tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya, berdiri di tengah jalan hutan yang kecil itu, berdiri tegak, bahkan bertolak pinggang menanti datangnya pemuda itu.
“Ah, Dewi..., kau tunggu...!” Tek Hoat berkata lemah dan terhuyung-huyung sampai juga di depan dara itu.
“Siapa yang lari meninggalkan siapa? Tek Hoat, lupakah engkau betapa dulu engkau telah lari dari Bhutan tanpa pamit, meninggalkan aku begitu saja? Tidak tahukah engkau, atau pura-pura tidak tahu, betapa sampai mati-matian aku bersusah payah mencari-carimu, menempuh banyak bahaya dan penderitaan, semua kulakukan untuk dapat mencari dan menyusulmu? Beribu macam kesengsaraan kuderita demi untukmu seorang! Dan sekarang, setelah kita saling bertemu, apa yang kudapatkan? Hanya fitnah dari mulutmu yang keji, makian-makian dan kata-kata kotor! Aku muak! Aku tak sudi!” Syanti Dewi lalu menangis dan menutupi mukanya, terisak-isak dengan hati terasa perih sekali.
Tek Hoat berdiri bingung, tubuhnya bergoyang-goyang, kepalanya masih pening, akan tetapi pikirannya mulai berjalan, mulai sadar. Inilah Syanti Dewi yang asli, dan kalau Syanti Dewi ini masih hidup, jelas bahwa yang mati itu bukanlah Syanti Dewi! Dan kalau yang mati bukan Syanti Dewi, berarti yang berjinah dengan Mohinta tentu juga bukan Syanti Dewi. Dan yang mencoba membunuh Raja Bhutan tentu bukan yang berdiri di depannya ini pula!
“Syanti... Dewiku... aku... aku bingung..., aku melihat engkau berjinah dengan Mohinta, aku melihat engkau menyerang dan hendak membunuh Raja Bhutan ayahandamu sendiri, kemudian aku melihat engkau... engkau mati...!”
“Itulah karena matamu telah buta! Buta oleh cemburu! Tidak sadar bahwa engkau sendiri yang mengkhianati ikatan cinta kita, engkau pergi meninggalkan aku begitu saja! Engkau tidak tahu bahwa wanita itu adalah wanita lain yang dipergunakan oleh Mohinta untuk memalsu aku! Dan engkau telah memaki aku dengan kata-kata kotor, menghina diriku seperti belum pernah ada manusia berani menghinaku selama hidupku ini...“ Kembali Syanti Dewi menangis.
Mulai teranglah kini bagi Tek Hoat terhadap semua kenangan dan gambaran yang amat membingungkan hatinya itu dan makin jelaslah baginya betapa dia telah melakukan hal yang amat keji dan menyakitkan hati kekasihnya itu. “Dewi... ahhh, Dewi... aku telah bersalah besar, aku berdosa padamu, kau maafkanlah aku, Dewi, kau ampunkan aku...“
“Apa? Maaf? Ampun? Setelah apa yang kuderita selama setahun lebih, setelah apa yang kau katakan dengan kata-kata keji terhadap diriku? Tidak! Aku tak sudi merendah lagi, aku sudah cukup merangkak-rangkak dengan mencari-carimu selama ini! Aku tidak mau menyembah-nyembah lagi, aku tidak mau mendamba cintamu dengan mengemis! Tidak, kini sudah tiba masanya, tiba saatnya bahwa engkau yang harus benar-benar menunjukkan cintamu kepadaku. Engkau yang harus menyembah-nyembah, harus menderita kalau mau mendapatkan cintaku! Nah, dengar kau, Tek Hoat. Aku muak melihatmu, aku... ah, aku...“ Dia menutupi mukanya dan menangis makin keras sampai sesenggukan.
Wajah Tek Hoat menjadi pucat sekali, tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Dia tahu akan kesalahannya. Kata-katanya memang terlampau keji, padahal, kalau dia mengingatkan betapa wanita ini telah menderita hebat demi untuk mencarinya setelah dia meninggalkannya begitu saja! Ah, betapa besar dosanya.
”Syanti Dewi... Puteri... ampunkanlah hamba...!” Dia menangis sesenggukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Syanti Dewi, menyembah-nyembahnya dengan muka pucat dan air mata bercucuran.
Syanti Dewi terbelalak memandang kepada pemuda yang berlutut dan menyembah itu, mukanya membayangkan kekagetan hebat, menjadi pucat kemudian merah dan dia menjadi semakin marah. Dengan gemas dia membanting-banting kakinya.
“Uhhhhh! Laki-laki macam apakah engkau? Laki-laki lemah, laki-laki canggung, laki-laki cengeng! Uh, mual perutku melihatmu!” Dia terisak dan membalik, terus lari secepat kijang melompat.
“Syanti Dewi...!” Tek Hoat mengangkat muka, terbelalak memandang gadis itu yang lari. Dia pun cepat meloncat dan lari mengejar, akan tetapi terhuyung dan terguling roboh karena matanya gelap. Dia merangkak, bangkit lagi dan berlari lagi terhuyung mengejar Syanti Dewi yang sudah lari jauh di depan.
“Dewiiiii...! Tungguuuuu...., jangan tinggalkan aku...!”
Akan tetapi wanita itu tidak mau peduli, berlari makin cepat dan karena kini dia telah memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, sebentar saja Tek Hoat tertinggal jauh dan akhirnya dia lenyap dari pandang mata pemuda itu yang masih terus lari mengejar dengan terhuyung-huyung dan akhirnya Tek Hoat merasa matanya gelap sehingga dia menabrak sebatang pohon dan terpelanting, pingsan!
Sunyi sekali di tempat itu setelah Syanti Dewi pergi dan Tek Hoat roboh pingsan. Sinar matahari pagi menimpa wajah pucat dari pemuda yang menggeletak terlentang tak sadarkan diri itu. Burung-burung berkicau saling bersahutan sambil berloncatan di atas dahan-dahan pohon. Mereka itu bernyanyi menyambut datangnya matahari ataukah mereka sedang membicarakan persoalan manusia yang hidupnya selalu penuh dengan duka dan sengsara itu?
Matahari telah naik semakin tinggi dan burung-burung telah meninggalkan pohon-pohon di hutan itu untuk bertebaran keempat penjuru mengikuti jalan sendiri-sendiri untuk mulai mencari makan ketika serombongan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Panglima Jayin memasuki hutan itu dan menemukan Tek Hoat yang masih menggeletak pingsan.
Panglima Jayin terharu dan girang dapat menemukan pemuda ini, lalu digotonglah pemuda itu dengan hati-hati, kembali ke istana di Kota Raja Bhutan. Panglima ini telah dengan cepat memimpin pasukan untuk mengikuti jejak Tek Hoat dan mencarinya setelah ada dayang yang menjenguk kamar sang pendekar dan melihat dua orang pelayan masih roboh tak bergerak karena tertotok dan pendekar itu lenyap dari atas pembaringan. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Syanti Dewi, maka mereka semua, termasuk Panglima Jayin, menyangka bahwa Tek Hoat, dalam keadaan bingung dan belum sadar benar, telah menotok dua orang pelayan itu dan melarikan diri dari dalam kamarnya.
Ketika siuman dari pingsannya setelah dirawat oleh para tabib, Tek Hoat gelisah dan mulutnya memanggil-manggil Syanti Dewi. Melihat keadaan pemuda ini, sri baginda lalu mendesak kepada Panglima Jayin untuk menggiatkan kembali pencarian terhadap puterinya sampai dapat.
Guncangan batin yang hebat diderita oleh Tek Hoat sehingga untuk kedua kalinya dia rebah dan sakit, kadang-kadang berteriak-teriak memanggil Syanti Dewi seperti orang gila, kadang-kadang merenung dan menangis seorang diri seperti anak kecil. Dalam penderitaan ini, teringatlah dia akan semua perbuatannya sebelum dia berjumpa dengan Syanti Dewi dan dia merasa menyesal sekali. Agaknya dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu itulah yang kini berbuah dengan kesengsaraan batin yang amat hebat sebagai hukuman baginya…..
********************
Dia menjatuhkan dirinya yang sudah amat lelah itu ke atas rumput tebal di dalam hutan yang sunyi itu, di bawah sebatang pohon, menangis terisak-isak. Makin diingat, makin sakitlah rasa hatinya. Syanti Dewi menangis sampai mengguguk dan memijit-mijit betis kakinya yang terasa amat lelahnya. Dia tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan ilmunya berlari cepat, berlari terus sampai dia tidak kuat lagi dan akhirnya terpaksa menjatuhkan diri di situ.
“Tek Hoat...!” Nama ini keluar dari bibirnya seperti rintihan dan memang dia merintih karena jantungnya terasa perih dan nyeri.
Dia tidak merasa syak lagi bahwa dia amat mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sikap Tek Hoat amat menyakitkan hatinya. Dia pun tahu bahwa Tek Hoat salah sangka, mengira wanita palsu yang menyamar seperti dia itu adalah dia yang sesungguhnya sehingga makian Tek Hoat bukan tidak beralasan. Namun, pengertian ini tidak cukup kuat untuk meredakan kemarahan dan sakit hatinya karena sambutan Tek Hoat itu sungguh menyakitkan hati.
Dia telah bertahun-tahun menderita karena pemuda itu, dia telah sengsara dan beberapa kali terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri dalam usahanya mencari kekasihnya. Dia telah berkorban lahir batin untuk Tek Hoat, akan tetapi pemuda itu malah memakinya dengan kata-kata keji! Hati siapa tidak akan menjadi panas karenanya? Makin diingatnya peristiwa tadi ketika Tek Hoat memakinya, makin marahlah hati Syanti Dewi dan makin membuyar pengertiannya bahwa pemuda itu melakukannya bukan tanpa sebab.
Marah, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan oleh kekecewaan karena merasa dirinya dirugikan, lahir mau pun batin. Dirinya itu pada hal-hal biasa adalah si aku, tetapi sering kali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya yang sesungguhnya tiada bedanya dengan si aku karena di dalam semua itu bersembunyi si aku yang menyamakan dirinya. Si aku ini selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, marahlah dia.
Dari pengalaman, atau pelajaran kebudayaan, atau pelajaran agama, kita mengenal akibat-akibat kemarahan yang mendatangkan kekerasan, permusuhan, kebencian dan kesengsaraan. Oleh karena ini maka timbullah daya upaya untuk melenyapkan kemarahan, atau setidaknya menekannya dan mengesampingkannya. Maka muncullah pelajaran untuk bersabar. Apakah ‘belajar sabar’ ini dapat membebaskan kita dari pada kemarahan? Kiranya hasil belajar sabar ini hanya untuk sementara saja. Belajar sabar berarti penekanan terhadap kemarahan dan biar pun kadang kala nampaknya berhasil, namun sesungguhnya kemenangan itu hanya sementara saja.
Api kemarahan itu masih ada, hanya ditutup secara paksa oleh kesabaran yang dilandasi pengetahuan bahwa kemarahan itu tidak baik. Api kemarahan itu masih belum padam, hanya nampaknya saja padam karena tertutup oleh kesabaran, seperti api dalam sekam, nampaknya tidak bernyala namun sebenarnya di sebelah dalam masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat meledak dan menyala kembali! Belajar sabar menyeret kita ke dalam lingkaran setan, marah, ditekan kesabaran, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya seperti yang dapat kita lihat kenyataannya sehari-hari. Akhirnya, bukan api kemarahan yang padam, melainkan api semangat kita sendiri, membuat kita menjadi apatis, tak acuh, tidak peduli, atau sinis! Belajar sabar hanya pemulas, di sebelah dalam, batin, kita marah, akan tetapi di luar, lahir, kita sabar.
Setelah melihat kenyataan ini semua, tindakan apakah yang harus kita ambil dalam menanggulangi kemarahan dalam batin? Bagaimana pula kita harus melenyapkan kemarahan yang setiap saat muncul apa bila kita merasa diganggu dan dirugikan lahir batin?
Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kemarahan tidak akan berhasil membebaskan diri dari pada kemarahan. Kemarahan tidak dapat dilenyapkan oleh daya upaya. Kemarahan adalah si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu marah. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal kemarahan, mengerti kemarahan dan hal ini hanya dapat terjadi apa bila kita mau menghadapi kemarahan tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menekan atau melenyapkan!
Kalau kemarahan datang, yang membuat jantung berdebar panas, yang membuat napas terengah, muka merah dan mata mendelik, kalau kita merasa tidak senang lalu marah, kita menghadapi kemarahan itu seperti kenyataannya, kita mengamatinya, memandang dan mengamati saja penuh perhatian, penuh kewaspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyapkan. Kalau kita memandang dan mengamati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kemarahan akan musnah tanpa kita hilangkan atau tekan.
Hal ini tak mungkin dapat dimengerti tanpa penghayatan, tanpa pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari! Dan kalau kemarahan sudah lenyap sendiri, tanpa dilenyapkan, kalau api kemarahan sudah padam, bukan ditutup sekam, melainkan padam sama sekali, kalau di dalam batin sudah tidak ada lagi kemarahan, apa perlunya kita belajar sabar? Tidak dibutuhkan lagi apa yang dinamakan kesabaran itu
.
Kemarahan dalam hati Syanti Dewi mendatangkan perasaan nelangsa, iba diri dan duka. Dia merasa hidupnya sengsara, penuh derita batin, dan tidak bahagia.
“Ahhh, betapa buruk nasibnya...,“ dia mengeluh di antara tangisnya. “Betapa jauh dari kebahagiaan...“
Gadis ini menghapus air matanya, lalu duduk bersandarkan batang pohon, termenung dengan hati sayu dan sepi. Mulailah Puteri Bhutan ini bertanya-tanya apakah sesungguhnya kebahagiaan hidup! Apakah yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Harta bendakah?
Dia adalah seorang puteri kerajaan yang tentu kaya raya, dan apa pun juga yang diinginkannya dalam bentuk benda, sudah pasti akan dapat dia peroleh. Dia memiliki harta benda berlimpahan, namun tetap tidak berbahagia. Jelas bukan dalam harta bendalah letaknya kebahagiaan! Lalu di mana? Apakah dalam kedudukan dan kemuliaan? Juga tidak, karena sebagai puteri raja yang dimanja, kedudukannya tinggi dan terhormat, kemuliaan selalu dirasakan semenjak dia kecil, namun semua itu akhirnya, seperti juga pada harta benda, mendatangkan kebosanan dan dia tetap tidak berbahagia. Apakah dalam petualangan hidup? Juga tidak. Hal itu pun hanya berlalu begitu saja, yang tinggal hanya kenangan hampa. Ataukah dalam cinta? Dia saling mencinta dengan Tek Hoat, akan tetapi selama ini lebih banyak dukanya dirasakan dari cintanya ini dari pada sukanya.
Memang kasihan sekali dara jelita puteri bangsawan ini. Wajahnya pucat dan basah air mata, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut seperti pakaiannya pula, sinar mata yang biasanya bening, jeli dan tajam itu kini sayu tak bercahaya, dan segala yang nampak oleh sepasang mata itu buruk dan membosankan belaka, seolah-olah matahari sudah kehilangan cahayanya. Dia terbenam dalam lautan duka yang makin mendahsyat oleh gelombang iba diri.
Memang kasihanlah Puteri Syanti Dewi atau siapa saja yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang harus menjadi sumber kesenangan menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas keinginan diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti akan menemui kegagalan dalam cinta, sudah pasti pada suatu waktu akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan ternyata tidaklah seperti yang diharapkan semula. Setiap bentuk kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, jelaslah bahwa hal itu berarti bahwa cinta kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan! Kesenangan mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka, kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan.
Patutkah kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan? Benarkah anggapan sementara orang bahwa cinta kasih adalah pemuasan birahi belaka? Tepatkah kalau cinta kasih mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan kedukaan?
Tidaklah mungkin untuk menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan cinta kasih kalau mendatangkan duka! Dan pementingan mendatangkan duka, pengejaran kesenangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih!
Yang menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Yang masih dicengkeram suka duka tak mungkin mengenal bahagia. Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka duka!
Merasa betapa dirinya amat celaka dan bernasib buruk, Syanti Dewi merasa nelangsa dan iba diri. Semenjak menjadi murid Ouw Yan Hui, sedikit banyak watak dan sifat dingin keras dari tokoh wanita majikan Pulau Ular Emas itu menular kepadanya.
Tidak, pikirnya sambil mengepal tinju. Aku tidak akan membiarkan diri merendah lebih lama lagi! Dia tidak akan sudi merendah kepada Tek Hoat, betapa besar pun rasa cintanya kepada pemuda itu. Sudah tiba saatnya dia bersikap sebagai seorang puteri raja! Kini sudah tiba waktunya bagi Tek Hoat untuk menerima giliran, bersusah payah mencarinya, menderita karena dia, dan akhirnya bertekuk lutut padanya, membuktikan cinta kasihnya, kalau memang Tek Hoat benar cinta kepadanya!
Syanti Dewi terbangun dengan kaget karena dia seperti mendengar teriakan-teriakan suara Tek Hoat yang memanggil-manggilnya. Dia terloncat dan membelalakkan mata, memandang ke kanan kiri namun sunyi saja. Kiranya dia mimpi! Tanpa disadari, ketika melamun dengan hati penuh duka di bawah pohon tadi, dia tertidur saking lelahnya. Dan kini matahari telah condong ke barat, keadaan di dalam hutan itu sudah mulai remang-remang.
Perutnya terasa lapar bukan main. Syanti Dewi meneliti keadaan di sekeliling tempat itu. Hutan yang sunyi, bahkan suara burung pun tidak didengarnya, padahal pada saat seperti itu biasanya burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Jelas bahwa tempat ini tidak dihuni burung, dan ini berarti pula bahwa di tempat itu tidak terdapat pohon-pohon yang berbuah. Padahal perutnya amat lapar. Di hutan itu tidak dapat mengharapkan memperoleh makanan, dan dia pun tidak tahu mana dusun terdekat. Agaknya dia harus menahan rasa lapar di perutnya sampai lewat malam itu!
“Hemmm, pada hari dan malam pertama saja aku sudah harus menderita lagi karena ulah Tek Hoat!” Dia menggerutu sambil mengepal tinju dengan hati gemas.
Kalau tidak ada Tek Hoat yang bersikap menyakitkan hatinya, tentu saat itu dia berada di istana ayahnya, melepas rindunya kepada ayah bundanya dan mereka tentu sedang bercakap-cakap dengan gembira, menghadapi hidangan-hidangan yang amat lezat dan yang disukainya. Dia berjalan menyusup lebih dalam ke hutan itu, dengan harapan akan melihat rumah-rumah orang. Kalau ada dusun, dia tentu akan bisa mendapatkan makanan, baik secara meminta, membeli, atau mencuri sekali pun! Akan tetapi ternyata hutan itu kecil saja dan setelah dia menembus hutan itu, dia tiba di padang rumput yang luas!
Sialan, pikirnya memandang ke depan, pada padang rumput yang agaknya tidak bertepi itu. Angin senja ditiup dan permukaan padang rumput itu bergelombang, merupakan lautan hijau kemerahan karena bermandikan cahaya matahari senja. Bukan main indahnya pemandangan di saat itu, akan tetapi keindahan itu tidak nampak oleh mata Syanti Dewi karena dia sedang merasa jengkel dan duka, apa lagi rasa lapar di perutnya amat menyiksa.
Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Keindahan dan kebahagiaan itu SUDAH ADA di mana pun dan kapan pun. Akan tetapi keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh kita apa bila batin kita penuh dengan masalah masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, kemarahan, keputus asaan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka.
Jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari DILUAR DIRI KITA, karena sumber dari segalanya berada di dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pamrih, bebas dari segala macam keinginan memperoleh hal-hal yang tidak ada, maka akan nampaklah segala keindahan yang terbentang di hadapan kita, di mana pun dan bilamana pun, akan terasalah kebahagiaan dan cinta kasih! Hal hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri
.
Makin besar penderitaannya, makin besar pula Syanti Dewi menimpakan kesalahannya kepada Tek Hoat. Makin besar pula kemarahannya kepada pemuda itu dan makin besar pula tekadnya untuk membiarkan Tek Hoat menderita sebelum dia mau ‘mengalah’. Dia sudah membuktikan cintanya terhadap Tek Hoat, maka kini dia pun menuntut agar pemuda itu membuktikan cintanya pula, dengan cara bersengsara untuknya! Aihhh, betapa sudah gilanya orang yang tercengkeram oleh cinta! Cinta yang sesungguhnya bukan lain hanyalah nafsu menyenangkan diri sendiri belaka, melalui orang lain!
Tiba-tiba Syanti Dewi mendengar suara gaduh dan dari depan nampak serombongan orang berlari-lari ketakutan ke arah hutan dari mana dia muncul.
Ahhh, ada orang! Hati puteri itu menjadi girang. Di mana ada orang tentu ada pula makanan! Akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya ketika melihat orang-orang itu semua dalam keadaan ketakutan dan dari pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang dusun. Anehnya, di antara mereka terdapat pula orang orang yang agaknya memiliki kepandaian lumayan karena dapat berlari cepat dan gerak-gerik mereka jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang dusun!
Ketika orang-orang itu melihat Syanti Dewi di tepi hutan, mereka memandang dengan terheran-heran karena sungguh merupakan hal yang aneh melihat seorang dara yang sedemikian cantiknya, lebih mirip bidadari dari pada manusia, sendirian saja di tepi hutan pada waktu senja seperti itu! Orang-orang yang memang sedang panik dan ketakutan ini makin menjadi takut, mengira bahwa Syanti Dewi sudah pasti bukan manusia, karena kalau manusia, seorang gadis secantik jelita itu mana mungkin sendirian saja di senja hari di tepi hutan! Maka mereka menjadi pucat terbelalak, tidak tahu lagi harus lari ke mana.
Akan tetapi, beberapa orang yang kelihatan gagah perkasa itu, memandang kepada Syanti Dewi dengan kaget, kemudian mereka berseru girang dan lari menghampiri, terus langsung menjatuhkan diri di depan kaki dara bangsawan itu.
“Sang Puteri... tak disangka hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini..., mari hamba antarkan pulang dengan segera karena ada bahaya mengancam di dusun sana!”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Orang-orang ini telah mengenalnya dan hal itu tidak mengherankan karena daerah ini tidak jauh dari Kota Raja Bhutan.
“Siapakah kalian dan mengapa kalian berlari-lari seperti ini?” tanyanya tenang.
“Hamba berlima adalah pengawal-pengawal yang diutus oleh Panglima Jayin untuk mencari jejak Paduka. Hamba tadinya merupakan pasukan kecil terdiri dari dua belas orang. Ketika hamba sekalian tiba di dusun di luar padang rumput ini, hamba melihat serombongan orang kate yang aneh sedang mengacau di dusun. Sebagai prajurit prajurit Bhutan tentu saja hamba sekalian segera turun tangan menentang gerombolan itu, akan tetapi sungguh celaka, Sang Puteri...“
Melihat orang yang bercerita itu kelihatan berduka dan empat orang prajurit lainnya kelihatannya takut-takut dan menoleh ke arah belakang, Syanti Dewi mendesak, “Mengapa? Apa yang terjadi selanjutnya?”
Sementara, itu, orang-orang dusun yang ikut melarikan diri tadi kini pun sudah berlutut menghadap Syanti Dewi ketika mereka mendengar bahwa dara cantik jelita itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang amat terkenal itu. Mereka sudah mendengar bahwa sang puteri ini selain cantik jelita seperti bidadari, juga memiliki kepandaian tinggi, maka begitu melihat munculnya puteri jelita ini secara aneh di tepi hutan, apa lagi melihat lima orang yang lihai itu demikian menghormatinya, mereka pun menjadi girang dan timbul harapan dalam hati mereka yang gelisah dan putus asa.
“Sungguh celaka, Sang Puteri, gerombolan orang cebol itu lihai bukan main. Bukan saja hamba sekalian dipukul mundur, bahkan tujuh orang teman hamba tewas oleh mereka dan hamba berlima tentu akan tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri untuk mencari bantuan. Hamba hendak melapor ke kota raja.”
“Hemmm, siapakah mereka itu? Dan apa yang mereka lakukan di dusun?” Syanti Dewi bertanya dengan marah.
“Hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka. Menurut cerita para penghuni dusun, mula mula yang muncul hanya seorang kakek cebol yang aneh, yang tinggal di dalam kuil tua di dusun itu. Akan tetapi, munculnya kakek ini disusul kematian para hwesio di kuil itu yang jumlahnya hanya empat orang dan kuil itu sama sekali dikuasainya. Kemudian, berturut-turut bermunculan orang-orang cebol yang lihai dan ternyata dusun itu mereka jadikan semacam tempat pertemuan besar antara orang-orang cebol. Mereka lalu memaksa penduduk untuk melayani mereka, menyediakan makanan setiap hari untuk mereka, dan selain mereka menuntut makanan yang mahal-mahal, juga mereka mulai mengganggu wanita...!”
“Keparat!” Syanti Dewi mengepal tinju dengan marah.
“Penduduk dusun tidak ada yang berani melawan. Lalu hamba dua belas orang secara kebetulan lewat di dusun itu dalam usaha hamba mencari jejak Paduka, dan begitu mendengar laporan mereka, hamba lalu menyerbu ke kuil dan akibatnya, tujuh orang teman hamba tewas dan orang-orang cebol itu mengamuk, membunuhi orang-orang dusun karena menuduh penduduk dusun sengaja melapor kepada prajurit-prajurit kerajaan.”
“Hemmm, kalau begitu kalian boleh minta bantuan ke kota raja, dan aku sendiri akan menghadapi mereka.”
“Akan tetapi, mereka itu lihai bukan main...,“ prajurit itu berkata dengan khawatir.
“Aku tidak takut. Besok pagi-pagi aku akan ke sana, biar diantar oleh beberapa orang penghuni dusun, dan kalian sekarang juga boleh pergi ke kota raja mencari bala bantuan.”
Lima orang prajurit itu memberi hormat dan segera melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja, sedangkan Syanti Dewi mengajak para penghuni dusun itu bermalam di hutan sambil mendengarkan penuturan mereka. Juga dia tidak ragu-ragu untuk minta kepada mereka memasakkan makanan sekedarnya dari perbekalan mereka. Biar pun masakan yang dihidangkan dari perbekalan mereka itu adalah masakan sederhana sekali dari para penghuni dusun, namun nyatanya bagi Syanti Dewi, belum pernah dia makan selezat itu selama ini! Sambil mendengar penuturan orang-orang dusun sebangsanya itu, dia makan dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan mata penuh kagum dan hormat dari puluhan pasang mata penghuni dusun yang mengungsi itu. Nyammm…..
Selanjutnya ~»»»
Selanjutnya ~»»»
Komentar
Posting Komentar