JODOH RAJAWALI : JILID-58


Seperti telah kita ketahui, Twa-ok, Ji-ok, Su-ok, dan Ngo-ok telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti dan mereka berempat terdesak mundur. Karena merasa penasaran mereka itu lalu mengajukan tantangan kepada Pendekar Super Sakti untuk mengadakan pertemuan di gurun pasir yang berada di dataran Bukit Chang-pai-san dan tantangan itu diterima pula oleh Pendekar Super Sakti!

Tentu saja empat orang datuk kaum sesat itu cepat mengadakan persiapan untuk keluar sebagai pemenang dalam pertemuan itu, karena mereka maklum betapa lihainya Pendekar Super Sakti yang telah mengalahkan mereka berempat dan mereka mengambil keputusan untuk dapat menebus kekalahan dengan persiapan sebaik mungkin. Untuk persiapan inilah maka Su-ok, kakek cebol yang tingginya hanya satu seperempat meter itu meninggalkan rombongannya, pergi ke barat untuk minta bantuan dari saudara-saudaranya, yaitu sekumpulan orang cebol yang tinggal di sebuah lembah di lereng Pegunungan Himalaya, di sebelah timur batas Kerajaan Bhutan! Memang dari sinilah Su-ok berasal, dan di tempat ini dia mempunyai saudara-saudara seperguruan yang selain lihai-lihai, juga semua bertubuh cebol katai seperti dia!

Seperti juga Su-ok Siauw-siang-cu yang menjadi datuk kaum sesat, orang-orang cebol lihai yang menjadi saudara-saudaranya itu pun bukan termasuk golongan orang baik baik. Maka ketika mereka berkumpul di dusun yang dipilih oleh Su-ok sebagai tempat berkumpul itu, mereka berlaku sewenang-wenang, bukan hanya memaksa penduduk untuk memasakkan daging dan mencari arak untuk mereka berpesta-pora, akan tetapi bahkan mereka tak segan-segan untuk memaksa wanita-wanita muda untuk menemani mereka dan melayani mereka!

Daerah Pegunungan Himalaya memang merupakan daerah yang liar dan penuh rahasia aneh. Banyak bagian dari daerah ini yang masih belum pernah didatangi manusia karena selain liar dan amat luas, juga terlampau tinggi, penuh salju dan amat berbahaya dan sukar sekali didaki. Menurut dongeng, banyak daerah rahasia yang tersembunyi dan tidak pernah dapat dipijak kaki manusia dan di tempat-tempat rahasia ini tinggal mahluk-mahluk aneh, kabarnya menurut dongeng itu terdapat manusia-manusia salju yang berbulu putih dan tinggi besar seperti raksasa, ada pula manusia-manusia monyet, yaitu monyet-monyet besar yang bertubuh manusia atau manusia-manusia raksasa berwajah monyet, dan bahkan di Himalaya ini pula tempat tinggal para manusia dewa, pertapa-pertapa suci, dan sebagainya yang aneh-aneh lagi menurut khayal kelompok dan golongan masing-masing menurut kepercayaan masing-masing pula.

Dan orang-orang cebol ini merupakan segolongan manusia aneh pula yang bertempat tinggal di sebuah lereng Pegunungan Himalaya dan yang menjadi kampung halaman Su-ok. Di sini dia mempunyai saudara-saudara pula dan hampir semua orang cebol ini memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh, bahkan di antara mereka ada lima orang yang menjadi sute-sute (adik-adik seperguruan) dari Su-ok, maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka itu setelah kini berkumpul menjadi satu di dusun itu! Pertemuan ini selain dimaksudkan oleh Su-ok untuk mencari bantuan saudara-saudaranya, juga merupakan semacam pertemuan dengan Su-ok yang lama tidak meninjau kampung halaman, dan merupakan pertemuan gembira yang dirayakan dengan pesta. Akan tetapi celakanya, orang-orang cebol itu yang hidup dalam keadaan miskin sederhana di lereng mereka, kini berpesta di dalam dusun dan memaksa penghuni dusun yang lemah untuk melayani mereka.

Karena khawatir kalau-kalau tidak akan mampu menghadapi Pendekar Super Sakti yang amat lihai, maka Su-ok bertugas untuk minta bantuan saudara-saudaranya, juga sekalian mengundang Sam-ok atau Koksu Nepal yang berada di Nepal, tidak begitu jauh dari tempat di mana dia berkumpul dengan saudara-saudaranya ini.

Sungguh patut dikasihani para penduduk dusun yang didatangi orang-orang cebol itu. Biar pun jumlah mereka hanya ada belasan orang, dan rata-rata bertubuh kecil pendek pula, namun setiap orang penduduk dusun yang coba-coba berani menentang, dengan sekali pukul saja roboh muntah darah! Maka, ketika mereka itu menculik beberapa orang wanita muda, yang menjadi suami wanita itu, atau ayah atau keluarga mereka, hanya mampu mengutuk dalam hati saja, dengan wajah pucat tangan terkepal mereka hanya dapat melihat betapa wanita-wanita itu diseret dan dibawa masuk ke dalam rumah-rumah terbesar di dusun itu yang untuk sementara waktu diduduki oleh para orang cebol.

Su-ok sendiri bersama lima orang sute-nya berpesta-pora dalam kuil, dilayani oleh lima orang gadis tercantik di dusun itu yang telah dipilih oleh lima orang sute-nya. Su-ok sendiri sudah sejak lama tidak lagi suka mengganggu wanita, dan hanya membiarkan lima orang sute-nya dan para saudara lain untuk memuaskan diri di dusun itu, sambil tersenyum melihat betapa wanita-wanita itu menjerit dan menangis, takut dan juga jijik melihat lagak orang-orang katai yang buas itu.

Akan tetapi, melihat betapa semua laki laki di dalam dusun itu tidak ada yang berani menentang, akhirnya wanita-wanita yang dipilih oleh gerombolan orang cebol itu terpaksa menerima nasib sambil menangis. Juga lima orang gadis yang kini melayani Su-ok dan lima orang sute-nya makan minum di dalam kuil, tidak lagi memperlihatkan sikap melawan, hanya melayani sambil bermuram durja, dengan pakaian dan rambut kusut, muka pucat dan air mata sudah mengering, kalau sekali-kali digoda oleh mereka dan tubuh mereka diraba, mereka itu hanya menunduk saja tanpa menolak akan tetapi juga tidak pernah mau tersenyum.

Keadaan lima orang sute dari Su-ok itu juga sama mengerikan seperti keadaan Su-ok Siauw-siang-cu sendiri. Melihat wajah mereka, jelaslah bahwa mereka itu adalah orang orang yang sudah berusia sedikitnya empat puluh tahun, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berwajah menyeramkan, sungguh pun tidak ada pula yang dapat disebut tampan. Akan tetapi, karena tubuh mereka itu pendek kecil, mereka itu nampak seperti anak-anak yang sudah tua!

Sebetulnya mereka itu nampak lebih lucu dari pada menakutkan. Akan tetapi karena tindakan mereka demikian buas, terutama sekali dalam menghadapi para wanita yang mereka tawan, mereka itu demikian penuh nafsu sehingga sama sekali bukan kanak kanak lagi, maka para wanita itu merasa jijik dan juga takut. Kelihatannya saja mereka itu bertubuh kecil-kecil, namun kalau sudah menarik wanita-wanita itu ke kamar masing masing, mereka buas melebihi binatang liar!

Setelah disekap selama dua hari dua malam, lima orang gadis itu kelihatan jinak, akan tetapi sebetulnya mereka itu bukan jinak, melainkan sudah patah semangat mereka untuk melawan, penderitaan mereka sudah melampaui batas pertahanan sehingga mereka itu menjadi seperti boneka-boneka hidup yang berwajah pucat dan bergerak seperti dalam keadaan tidak sadar saja. Mereka menurut saja apa yang diperintahkan oleh para orang cebol itu, seperti mayat-mayat hidup.

“Ehh, Suheng, apakah engkau sekarang sudah menjadi pertapa betul-betul dan sudah menjauhkan diri dari wanita?”

“Ha-ha-ha, Suheng agaknya hendak menjadi dewa, maka tidak mau menjamah wanita!”

Mendengar kelakar para sute-nya itu, Su-ok tertawa bergelak. “Siapa mau menjadi pertapa atau dewa? Ha-ha-ha, aku masih suka akan semua kesenangan dunia, akan tetapi terus terang saja, aku bosan dengan perempuan, kecuali kalau... ehh, kalau ada seorang perawan yang benar-benar cantik molek. Katakanlah... ehh, puteri istana. Nah, kalau ada perawan istana, tentu saja aku tidak menampik. Akan tetapi segala macam perawan dusun? Huh, menghambur-hamburkan sumber tenaga saja! Padahal kita akan menghadapi lawan tangguh.”

Lima orang sute-nya menyeringai dan tangan kiri mereka segera meraih pinggang ramping dari tawanan masing-masing dan menarik tubuh wanita-wanita itu sehingga mereka terduduk di atas pangkuan lima orang cebol itu. Sambil menggunakan tangan kiri untuk menggerayangi tubuh-tubuh wanita itu yang hanya memejamkan mata dan menggeliat sedikit, lima orang cebol itu melanjutkan makan minum.

“Ha-ha-ha, Suheng mengapa kini menjadi demikian kecil hati? Menghadapi seorang lawan saja, apa sih beratnya? Biar pun lawan itu mempunyai nama menjulang setinggi langit seperti... apa yang kau katakan tadi, Pendekar Super Sakti? Biar pun namanya setinggi langit, menghadapi ilmu kami berlima yang baru kami ciptakan, tanggung dia akan terjungkal!”

“Benar, Suheng, tidak perlu khawatir. Selama Suheng pergi, kami tidak pernah lalai menggembleng diri, bahkan kami telah berhasil menciptakan kerja sama berlima yang merupakan barisan berlima dan kami namakan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur Dari Malaikat Pembuka Jalan). Biar seorang lawan mempunyai kepandaian seperti dewa sekali pun, menghadapi tin kami tentu akan celaka dia!”

Mendengar ucapan para sute-nya itu, agak lega rasa hati Su-ok. Dia tahu bahwa masing-masing sute-nya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkatnya sendiri, dan mungkin setingkat dengan kepandaian Ngo-ok, maka kalau mereka berlima ini berhasil menciptakan barisan seperti itu, agaknya tentu amat lihai. Dia akan dapat membanggakan diri kalau sute-sute-nya ini berhasil mengalahkan Pendekar Super Sakti, dan siapa tahu, berkat kelihaian para sute-nya, kedudukannya dalam Im-kan Ngo-ok dapat naik!

“Tapi engkau hanya mau kalau mendapatkan perawan istana, wah, wah, jangkauanmu terlalu tinggi, Suheng! Puteri istana? Ha-ha-ha, untuk itu engkau harus lebih dulu menghadapi bala tentara kerajaan yang laksaan orang jumlahnya. Mana mungkin?”

Su-ok hanya tersenyum lebar karena pada saat itu dia memang tidak berselera untuk main-main dengan wanita. Mereka melanjutkan makan minum dan lima orang sute dari Su-ok itu mulai mabuk, mereka tertawa-tawa dan mereka makin buas mempermainkan wanita tawanan masing-masing secara terbuka sehingga lima orang wanita itu makin tersiksa, akan tetapi rintihan dan keluhan mereka hanya lirih saja karena mereka sudah tahu betapa tangis dan jerit tidak akan menolong keadaan mereka.

Malam makin larut dan tiba-tiba pintu ruangan kuil itu terbuka dari luar dan muncullah seorang cebol yang masuk dengan muka pucat. “Twako.... celaka... ada seorang musuh menyerbu!” katanya sambil memandang kepada Su-ok.

Su-ok bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Hemmm, hanya ada seorang musuh saja, mengapa engkau begitu ribut?”

“Tapi... dia.... dia itu lihai bukan main... beberapa orang dari kami telah roboh...“

“Keparat! Siapa dia?” Su-ok marah sekali mendengar di antara saudaranya ada yang roboh.

“Entahlah... dia seorang wanita cantik... dan dia merobohkan A-chui yang berada dalam kamar seorang wanita... dan dua orang saudara kami lagi roboh ketika mengeroyoknya. Dia kini sedang dikepung, akan tetapi dia lihai sekali maka aku pergi mencari Twako...“

“Biarkan kami pergi, Suheng!” kata lima orang cebol itu yang sudah berdiri dan melepaskan wanita tawanan masing-masing. Su-ok mengangguk dan dengan cepat lima orang cebol itu meloncat keluar, diikuti oleh Su-ok.

Kagetlah hati Su-ok dan lima orang sute-nya ketika mereka tiba di tengah dusun, di pekarangan rumah kepala dusun yang diterangi oleh beberapa buah lampu gantung besar sehingga keadaan di situ cukup terang. Mereka melihat belasan orang saudara mereka mengeroyok seorang wanita cantik dan gerakan wanita itu sungguh membuat mereka terkejut setengah mati karena gerakan itu amat cepatnya seolah-olah tubuh wanita itu seperti seekor burung terbang saja! Dan sudah ada tiga orang saudara mereka yang roboh dan merintih kesakitan, tak mampu bangun lagi.

“Tahan...!” bentak seorang di antara lima orang sute dari Su-ok dengan suara nyaring. Dia ini adalah pimpinan dari lima orang cebol itu, tubuhnya juga kate seperti saudara saudaranya, namun mukanya penuh brewok, rambutnya juga tebal panjang, tidak seperti yang lain-lain karena sebagian besar dari orang-orang cebol itu seperti Su-ok, miskin rambut dan banyak yang botak!

Melihat munculnya Su-ok dan lima orang sute-nya, para orang cebol yang sudah kewalahan itu menjadi girang dan mereka mundur, membiarkan enam orang tokoh jagoan mereka turun tangan. Akan tetapi Su-ok yang ingin sekali menyaksikan kehebatan lima orang sute-nya dan yang kini mendapatkan kesempatan untuk menguji mereka sudah meloncat ke samping dan memberi isyarat kepada mereka semua untuk mundur sehingga kini lima orang sute-nya yang mengurung wanita cantik itu.

Dia memperhatikan dan merasa heran karena wanita ini belum pernah dilihatnya, akan tetapi wanita ini benar-benar amat cantik jelita dan anggun. Sebagai seorang yang bermata tajam dan banyak pengalaman, dia tahu bahwa wanita ini bukan seorang muda lagi sungguh pun amat cantik dan kelihatan muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun nampaknya, dan jelaslah bahwa wanita ini bukan seorang perawan. Akan tetapi dia merasa kagum karena tadi dia telah melihat gerakan ginkang yang amat luar biasa, dan dapat menduga bahwa wanita ini tentu seorang ahli ginkang yang lihai sekali. Selain cantik jelita, juga wanita itu memakai pakaian yang indah gemerlapan, dari sutera mahal, rambutnya digelung tinggi ke atas dan dihias dengan taburan permata. Seperti seorang puteri bangsawan saja!

Dugaan Su-ok tidaklah benar, sungguh pun wanita itu memang patut menjadi seorang puteri atau ratu istana! Dia itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, majikan dari Pulau Ular Emas! Tidaklah mengherankan kalau gerakannya amat cepat luar biasa, karena dia berjuluk Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) dan dia telah mewarisi ilmu ginkang yang amat hebat dari Kim Sim Nikouw.

Seperti telah kita ketahui, wanita ini hidup sebagai ratu di Kim-coa-to dan telah pula diceritakan bahwa selama beberapa bulan lamanya Puteri Bhutan Syanti Dewi tinggal di pulau itu dan menjadi murid wanita cantik ini dan Syanti Dewi akhirnya melarikan diri karena tidak tahan melihat kebiasaan aneh yang dianggap mengerikan dan menjijikkan dari gurunya dan juga Maya Dewi, nenek cantik yang memiliki ilmu mempercantik diri dan membikin wanita awet muda itu. Apa lagi ketika dia pun mulai terancam oleh mereka itu untuk diajak melakukan perbuatan yang dianggap mengerikan itu, yaitu permainan cinta antara wanita dengan wanita, maka Syanti Dewi lalu melarikan diri.

Ketika mengetahui bahwa puteri itu melarikan diri, Ouw Yan Hui terkejut bukan main, karena dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada muridnya itu. Dia merasa menyesal telah membikin takut muridnya, dan dia merasa bahwa kalau dia harus berpisah dari Syanti Dewi, dia tentu akan merasa berduka selalu, maka wanita ini lalu melakukan pengejaran dan mencari-cari. Karena dia menduga bahwa muridnya itu tentu kembali ke Bhutan, maka dia pun tidak ragu-ragu melakukan perjalanan jauh sampai ke tapal batas negara Bhutan dan pada sore hari itu tibalah dia di dusun, di mana gerombolan orang cebol sedang membikin kekacauan.

Ketika mendengar jerit tangis wanita dari sebuah rumah, Ouw Yan Hui cepat menyerbu rumah itu dan melihat seorang laki-laki cebol sedang memperkosa seorang wanita, kemarahannya memuncak. Seperti kita ketahui, Ouw Yan Hui adalah seorang wanita yang membenci pria karena dia pernah dibikin patah hati oleh pria. Karena inilah maka dia lebih mendekati wanita dan melakukan praktek-praktek perjinahan antara sesama wanita. Maka, begitu melihat seorang wanita muda menjerit-jerit dan meronta-ronta dalam terkaman seorang laki-laki cebol yang buas itu, dia segera menerjang maju dan sekali tangkap dan renggut, dia dapat melepaskan laki-laki cebol itu dari wanita yang diperkosanya, kemudian melemparkan laki-laki cebol itu keluar.

Sebelum laki-laki itu sempat bangkit, Ouw Yan Hui yang bergerak ringan seperti burung terbang telah berada di sampingnya dan dengan penuh kebencian wanita ini lalu mengejar laki-laki cebol yang telanjang bulat itu dengan tendangan-tendangan kakinya. Laki-laki itu berusaha mengelak dan menangkis karena dia bukanlah orang lemah, namun setiap kali hendak bangkit, dia roboh lagi oleh tendangan-tendangan yang amat tepat dan amat keras datangnya. Akhirnya, laki-laki itu roboh pingsan setelah muntah darah dan seluruh tubuhnya penuh luka akibat tendangan-tendangan yang dilakukan dengan penuh kemarahan itu.

Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan besar. Dua orang cebol yang mendengar suara gaduh itu memburu keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati mereka melihat seorang wanita cantik sedang menyiksa seorang kawan mereka dengan tendangan-tendangan keras yang membuat kawan mereka terguling guling tanpa mampu melawan sama sekali, bahkan kawan mereka itu terkulai seperti mati.

“Dari mana datangnya siluman betina ini?” bentak seorang di antara mereka.

“A-khui, bunuh saja dia!” bentak orang kedua.

Dua orang cebol itu sudah menyerang Ouw Yan Hui dari kanan kiri dan wanita ini maklum bahwa orang-orang cebol di situ ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Si cebol yang disiksanya tadi pun amat kuat sehingga tendangan-tendangannya akhirnya hanya membuat dia pingsan setelah muntah darah, tanda bahwa orang itu memiliki tenaga dalam yang kuat. Kini, serangan dua orang cebol ini amat hebat pula, biar pun mereka itu bertubuh kecil pendek, namun gerakan mereka gesit dan pukulan-pukulan mereka mengandung kekuatan besar.

Dia cepat mengelak dan begitu dia mengerahkan ginkang-nya, dua orang cebol itu berseru kaget karena mereka kehilangan bayangan lawan. Selagi mereka bingung, tiba tiba seorang dari mereka memekik keras dan terpelanting karena tengkuknya telah kena dihantam dengan tangan miring oleh Ouw Yan Hui sehingga dia terbanting dan pingsan seketika. Orang kedua menubruk, akan tetapi dengan lincahnya Ouw Yan Hui sudah mengelak dan lenyap lagi saking cepatnya gerakan tubuh wanita ini. Untuk kedua kalinya, wanita ini merobohkan lawan dengan pukulan dari belakang pada saat lawan bingung mencarinya.

Akan tetapi, kini datanglah belasan orang cebol mengeroyoknya! Ouw Yan Hui terkejut. Tak disangkanya di tempat itu demikian banyak terdapat orang-orang cebol yang lihai. Dia tidak takut, akan tetapi juga tidak berani memandang ringan, maka dengan mengandalkan ginkang-nya ia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil membalas setiap kali terbuka kesempatan. Dia dikeroyok banyak orang yang lihai, namun karena menang cepat, dia bahkan berhasil mengobrak-abrik mereka dan mendesak para pengeroyok yang menjadi kebingungan karena sebentar-sebentar wanita di tengah tengah mereka itu lenyap!

Dan pada saat itulah muncul Su-ok dan lima orang sute-nya. Kini lima orang sute dari Su-ok itu telah mengepung Ouw Yan Hui. Melihat sikap mereka, Ouw Yan Hui dapat menduga bahwa tentu mereka ini merupakan pimpinan-pimpinan dari orang-orang cebol itu, maka dia bersikap waspada, melihat betapa lima orang itu mengambil kedudukan di lima penjuru angin.

Si brewok yang mengepalai Khai-lo-sin Ngo-heng-tin itu menghadapi Ouw Yan Hui, memandang dengan penuh selidik dan diam-diam kagum akan kecantikan wanita yang telah matang ini, yang selain memiliki wajah yang cantik dan kulit muka yang halus, juga memiliki bentuk tubuh yang padat menggairahkan di balik pakaian indah itu.

Dia lalu berkata dengan suara angker, “Siapakah nama Toanio dan mengapa Toanio merobohkan tiga orang saudara kami?”

Pertanyaan ini biasa dilakukan apa bila dua orang atau dua pihak kang-ouw saling jumpa dan sebelum memulai pertandingan. Tetapi Ouw Yan Hui tersenyum mengejek karena dia masih marah dan jijik melihat si cebol memperkosa wanita tadi, maka tentu saja dia tidak sudi berkenalan dengan orang-orang ini.

“Siapakah namaku tidak perlu kalian ketahui dan aku pun tidak butuh mengenal nama kalian. Aku merobohkan orang bukan tanpa sebab. Si cebol jahanam itu memperkosa wanita, masih baik aku belum keburu bikin mampus binatang itu! Dan dua orang cebol lain roboh karena mereka menyerangku. Kalian sekarang mau apa?”

Bukan main marahnya lima orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu. Mereka memang tidak ternama, tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun suheng mereka adalah seorang di antara Im-kan Ngo-ok yang menurut suheng mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat paling terkenal di dunia, dan wanita ini sama sekali tidak memandang mata kepada mereka!

“Perempuan sombong! Hayo lekas kau berlutut minta ampun, kemudian melayani kami berlima sampai kami puas, baru engkau masih ada harapan untuk hidup terus!” bentak si brewok yang mempunyai watak paling mata keranjang di antara mereka berlima.

Ouw Yan Hui memang pembenci pria, akan tetapi yang paling dibencinya adalah laki laki mata keranjang yang suka menghina wanita. Kini mendengar ucapan itu, kedua pipinya yang putih halus itu sudah menjadi merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berkilat dan kedua tangannya dikepal. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berkelebat dan dia sudah menyerang si brewok dengan pukulan maut!

Cepat bukan main gerakan Ouw Yan Hui ini, sampai si brewok menjadi terkejut dan tidak melihat gerakan wanita itu, tahu-tahu tangan wanita itu sudah menusuk ke arah ulu hatinya. Serangan maut! Si brewok berteriak kaget dan cepat melempar tubuhnya ke belakang karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman maut itu. Dia melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan dan empat orang saudaranya sudah menyerbu dan menyerang Ouw Yan Hui sehingga wanita ini tidak mampu untuk terus mendesak si brewok yang sudah berloncatan bangun kembali dengan muka pucat dan keringat dingin bercucuran. Nyaris nyawanya melayang dalam gebrakan pertama itu!

Kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan Ouw Yan Hui memang cepat bukan main, akan tetapi kini dia menghadapi lima orang yang bergerak secara teratur dan terlatih baik sehingga seolah-olah dia menghadapi seorang lawan saja yang memiliki lima pasang tangan dan kaki, yang tentu saja dapat mengimbangi kecepatannya, bahkan mengatasinya! Betapa pun dia mengerahkan ginkang-nya, namun karena gerakan lima orang lawan itu seperti otomatis, terarah dan senada, payah juga wanita itu menghadapi penyerangan yang tiada hentinya, susul-menyusul dan sifatnya berubah-ubah itu.

Memang itulah kehebatan Ngo-heng-tin dari lima orang ini. Selain dapat bekerja sama dengan amat baiknya, saling membantu dan saling melindungi seperti dikemudikan oleh satu otak saja, juga mereka menggunakan tenaga yang berubah-ubah sesuai dengan sifat lima unsur (ngo-heng) dan karena mereka itu rata-rata telah memiliki sinkang yang amat kuat, maka mereka merupakan kesatuan lima tenaga yang amat hebat! Kalau melawan satu demi satu, jelas bahwa mereka berlima ini bukan tandingan Ouw Yan Hui yang lihai. Andai kata mau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Ouw Yan Hui itu kurang lebih setingkat dengan kepandaian tiga di antara pengeroyoknya disatukan! Jadi, kalau dia dikeroyok tiga, barulah seimbang.

Dan andai kata lima orang itu tidak memiliki Khai-lo-sin Ngo-heng-tin yang membuat mereka bergerak seolah-olah dikendalikan oleh satu otak, kiranya juga tidak mungkin dapat mengalahkan Ouw Yan Hui. Akan tetapi, lima orang itu bergerak sedemikian rupa sehingga seolah-olah lima orang menjadi satu, dan ini terlalu kuat bagi Ouw Yan Hui. Dalam mengadu tenaga, lima orang itu selalu menyatukan tenaga sehingga kembali Ouw Yan kewalahan.

Betapa pun juga, berkat ginkang-nya yang memang luar biasa sekali, berkali-kali wanita itu dapat menghindarkan diri dari ancaman bahaya dan baru setelah lewat dua ratus jurus, akhirnya kakinya kena ditendang oleh si brewok, tepat mengenai sambungan lutut dan wanita itu jatuh berlutut dengan satu kaki dan sebelum dia mampu meloncat, lima orang itu telah menubruknya dan menotoknya, kemudian menelikungnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi!

Lima orang itu tertawa dan si brewok berkata gemas, “Hemmm, mari kita kerjakan dia beramai-ramai, kita berpesta dan biar dia yang liar ini menjadi jinak. Ha-ha-ha, ingin aku melihat sikapnya kalau dia sudah kita paksa melayani kita berlima!” Empat orang saudaranya pun tertawa-tawa dan mereka hendak menyeret tubuh Ouw Yan Hui yang sudah tak mampu bergerak itu ke dalam kuil.

“Tahan, Sute!” Tiba-tiba Su-ok berseru dan dia meloncat dekat.

Lima orang sute-nya memandang kepadanya dan si brewok segera tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau tertarik kepadanya, Suheng? Bagus, dia ini agaknya memang puteri istana yang kau rindukan!”

Akan tetapi Su-ok menggeleng kepala. “Tidak, biar pun dia cukup cantik jelita dan pantas menjadi puteri istana, namun dia sudah terlalu tua dan dia bukan perawan seperti yang kuidamkan. Tidak, aku minta kepada kalian agar jangan mengganggunya lebih dulu. Kita pergunakan dia sebagai umpan.”

“Sebagai umpan? Apa maksudmu, Suheng?” Lima orang itu bertanya.

“Orang seperti dia yang demikian cantik dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu tidak datang sendiri. Biar kita tahan dia di kuil dan biarkan teman-temannya datang agar tidak kepalang kita membasmi mereka.”

Lima orang cebol itu tidak membantah, apa lagi karena mereka juga telah mempunyai wanita tawanan mereka yang lebih muda, biar pun tentu saja tidak ada yang mampu menandingi kecantikan Ouw Yan Hui yang luar biasa itu. Maka mereka menyerahkan wanita itu kepada Su-ok yang mengempitnya dan membawanya ke kuil, sedangkan para orang cebol lainnya segera merawat teman-teman mereka yang terluka oleh wanita cantik yang lihai itu.

Lima orang sute dari Su-ok kembali ke kamar masing-masing, sedangkan Su-ok sendiri lalu membawa Ouw Yan Hui ke dalam kuil, kemudian dia mengikat kedua tangan wanita itu kepada sebuah pilar besar di bagian belakang kuil, mempergunakan rantai yang amat besar dan kokoh kuat. Jangankan dalam keadaan lemas tertotok seperti itu, andai kata dalam keadaan sehat sekali pun, tidak mungkin bagi Ouw Yan Hui untuk dapat melepaskan dirinya dari belenggu. Kedua lengannya ditarik ke belakang, melingkari pilar besar dan kedua pergelangan tangannya dibelenggu rantai besi yang kokoh kuat. Dan tak jauh dari situ bersembunyi Su-ok pula yang mengintai dan menunggu kalau kalau ada datang kawan-kawan dari wanita cantik ini seperti yang disangkanya. Andai kata Ouw Yan Hui melakukan usaha untuk membebaskan diri sekali pun, sebelum berhasil tentu telah diketahui oleh Su-ok.

Ouw Yan Hui maklum bahwa dia berada dalam bahaya yang mengerikan. Namun, sebagai seorang wanita gagah, dia memandang bahaya dan kematian sebagai hal yang biasa saja dalam kehidupan, maka sedikit pun dia tidak merasa cemas atau takut. Dia menanti datangnya maut dengan mata terbuka, dan melihat bahwa dia dibelenggu di situ, dia masih melihat harapan untuk dapat lolos. Sebelum maut merenggut nyawanya, dia tidak akan putus asa, sungguh pun pada saat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya melepaskan diri dan apa yang dapat dilakukannya hanya berdiri tegak dan diam, mencoba untuk mengumpulkan hawa murni lewat hidungnya untuk berusaha membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas itu…..

********************

Kakek itu melangkah satu-satu di daerah tandus itu, tubuhnya yang bongkok nampak semakin bongkok karena mukanya menunduk, seolah-olah dia meneliti setiap batu yang dilalui kakinya, atau seolah-olah dia menghitung setiap langkahnya. Keadaan kakek itu sungguh menyedihkan, dan janggallah melihat dia melakukan perjalanan di tempat yang liar dan sukar ini.

Melihat wajahnya, mudah diduga bahwa kakek ini sudah tua renta, dan keadaan tubuhnya yang tua itu cacat, punggungnya bongkok dan lengan kirinya buntung sebatas pundak! Pantasnya seorang tua renta yang cacat seperti itu tinggal di rumah saja, dilayani cucu-cucunya. Akan tetapi, kakek ini berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, melangkah satu-satu dengan tubuh bongkok dan tangan tunggalnya, hanya yang kanan saja itu memegang sebatang tongkat kayu yang agaknya dipergunakan untuk membantu menopang tubuhnya yang bongkok. Seorang kakek yang cacat dan lemah.

Kakek lemah? Orang akan kaget dan kecelik kalau tahu siapa adanya kakek ini. Sama sekali bukan kakek lemah sungguh pun nampaknya demikian, karena kakek ini bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin (Kakek Tanpa Nama Dari Go-bi), yaitu Si Dewa Bongkok! Dewa Bongkok sama sekali bukanlah seorang kakek lemah, sebaliknya malah. Dia adalah penghuni dari Istana Gurun Pasir, dan kesaktiannya sedemikian luar biasa sehingga dia dijuluki dewa!

Namanya amat terkenal, dan di daerah utara yang liar itu tidak ada seorang pun raja suku bangsa liar yang berani mengganggunya. Sedangkan di selatan, namanya terkenal sebagai seorang tokoh dongeng karena memang tidak sembarang orang dapat mengunjungi istana di gurun pasir itu. Namanya sejajar dengan nama majikan Pulau Es yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dongeng. Akan tetapi, nama Go-bi Bu Beng Lojin masih jauh lebih dulu dikenal dalam dongeng dari pada nama majikan Pulau Es, karena memang Dewa Bongkok ini jauh lebih tua.

Tentu orang akan merasa heran mengapa kakek sakti yang dikenal sebagai tokoh dongeng dan tidak pernah menampakkan diri di dunia ramai itu sekarang melakukan perjalanan seorang diri? Apa lagi orang lain, bahkan kakek itu sendiri pun merasa heran! Hal ini terbukti dari gerutunya di sepanjang perjalanan di pagi hari itu.

“Hemmm, mana mungkin manusia hidup sendiri? Mana mungkin melepaskan diri dari segala sesuatu di dunia ini? Membebaskan diri dari pikirannya sendiri saja sudah merupakan hal yang amat sukar, apa lagi membebaskan diri dari segala sesuatu yang nampak. Uhhhhh, betapa lemahnya manusia... hemmm, sudah setua ini, setelah puluhan tahun tidak lagi menaruh khawatir sedikit pun juga atas diri sendiri lahir batin, sekarang mengkhawatirkan orang lain. Huhhh... memang manusia tidak mungkin bisa hidup sendirian saja. Manusia adalah bagian dari dunia dan kehidupan ini, tak mungkin melarikan diri...“

Tidaklah aneh kalau kakek itu menggerutu. Selama puluhan tahun lamanya dia hidup di Istana Gurun Pasir, menjauhi kehidupan ramai dan tidak pernah memikirkan tentang persoalan hidup lahiriah. Akan tetapi, semua itu berubah setelah dia mempunyai cucu! Yaitu, setelah muridnya, murid tunggal yang bernama Kao Kok Cu, yang berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir, bersama isterinya, mempunyai seorang anak.

Anak dari muridnya itulah yang membuat kakek ini merasa terikat! Timbul rasa kasih sayang yang tidak sewajarnya dan dia merasa lemah. Apa lagi ketika cucunya itu yang diberi nama Kao Cin Liong, diculik orang. Dia ikut merasa khawatir. Sudah berbulan bulan muridnya pergi meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencari Cin Liong yang lenyap diculik orang dan sampai sekarang tiada kabar beritanya. Akhirnya tidak dapat kakek ini menahan diri lagi dan pergilah dia meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi menyusul dan ikut mencari cucunya yang hilang!

Hanya kebetulan saja pada saat itu kalau ada orang melihat Dewa Bongkok berjalan seperti seorang kakek tua renta yang tapa daksa, berjalan melangkah satu-satu dengan lambat sekali. Akan tetapi ada kalanya dia berlari seperti terbang cepatnya sehingga tidak lagi dapat diikuti oleh pandang mata!

Memang bukan merupakan hal yang wajar kalau manusia ingin mengasingkan diri dan hidup sendirian saja di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam goa, menjauhi manusia lain dan tidak mempedulikan hal-hal yang terjadi di dunia! Ini hanya merupakan suatu pelarian saja, suatu pemaksaan diri yang berbahaya dan juga tidak ada gunanya sama sekali.

Kita tidak mungkin mengatasi dan menanggulangi sesuatu dengan jalan melarikan diri dari sesuatu itu. Memang kehidupan ini kejam, kadang-kadang membosankan, dan lebih banyak deritanya dari pada sukanya. Namun, kita tidak mungkin dapat mengakhiri semua itu dengan jalan melarikan diri ke tempat sunyi! Pelarian diri itu bukan lain hanyalah suatu bentuk pengejaran kesenangan juga!

Mungkin kalimat terakhir itu mengejutkan dan akan ditentang, maka sebaiknya mari kita membuka mata dan menyelidiki hal itu dengan seksama, jauh dari pendapat pribadi atau golongan, melainkan memandang keadaannya sebagaimana adanya. Kalau kita mengatakan bahwa kita pergi ‘bertapa’ ke gunung atau ke goa karena kita sudah tidak menginginkan apa-apa di dunia ini, bahwa kita sudah terbebas dari nafsu keinginan, benarkah perkataan kita itu?

Kalau memang kita sudah tidak menghendaki apa-apa, lalu mengapa kita bertapa di tempat sunyi? Bukankah pergi bertapa ke tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala keramaian dan manusia lain, itu sudah merupakan suatu tindakan yang menunjukkan bahwa kita MENGHENDAKI SESUATU? Bahkan kita bosan dengan dunia ramai dan kita INGIN TENTERAM? Bukankah ini merupakan suatu keinginan pula, keinginan untuk ketenteraman diri pribadi, untuk kedamaian diri pribadi, yang bukan lain hanyalah merupakan wajah lain dari pada keinginan untuk KESENANGAN diri pribadi? Bukankah karena kita membayangkan bahwa tempat sepi, jauh dari manusia lain, itu akan menjauhkan kita dari kepusingan, jadi berarti mendekatkan kita kepada ketenteraman dan kedamaian yang kita ANGGAP MENYENANGKAN maka kita melakukan pertapaan itu?

Karena pada hakekatnya hanya merupakan pengejaran kesenangan belaka, biar pun diberi nama yang lebih agung seperti kesempurnaan, kedamaian, ketenteraman dan sebagainya, maka pada akhirnya, para pengejar kedamaian melalui tempat-tempat sunyi itu akan KECEWA! Di sana pun, di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam goa, di tepi pantai, mereka akan ditelan kehampaan!

Mengapa demikian? Karena jelas bahwa SEGALA PENGEJARAN KEINGINAN itu akan menuntun kita kepada KEHAMPAAN dan kekecewaan, kepada perbandingan dan selalu akan membuka mata kita bahwa apa yang kita bayang-bayangkan selagi mencari itu ternyata tidaklah seindah seperti yang dibayangkan! Akan timbul kebosanan, akan timbul keinginan untuk mencari dengan cara lain, yang dianggap lebih unggul, lebih agung, lebih mendalam dan seterusnya.

Mempelajari tentang hidup tidaklah mungkin tanpa kita terjun ke dalamnya! Dan hidup adalah hubungan antar manusia, hubungan antara manusia dengan benda-benda, antara manusia dengan pikiran-pikirannya. Segala persoalan yang kita namakan mengandung suka atau duka, bukanlah keluar dari si peristiwa itu sendiri, melainkan timbul dari pikiran. Pikiranlah yang membanding-bandingkan, pikiranlah yang menilai, lalu pikiran yang mengambil kesimpulan, memutuskan bahwa peristiwa ini merugikan lahir atau batin, karenanya mendatangkan duka, dan peristiwa itu menguntungkan lahir atau batin, karena mendatangkan suka.

Karena semua kesengsaraan timbul dari pikiran kita sendiri, maka benarkah itu kalau kita mencoba membebaskan diri dari keadaan lahiriah dengan jalan mengasingkan diri? Bukankah batin kita yang menjadi sumber segalanya? Selama hati dan pikiran (yaitu batin) kita masih sibuk dengan seribu satu macam persoalan, biar kita sembunyi di puncak gunung tertinggi sekali pun, kita masih akan mempunyai persoalan-persoalan, baik yang menyenangkan mau pun yang menyedihkan. Sebaliknya, kalau kita sudah bebas dari pikiran yang menjadi sumber suka-duka, biar pun kita berada di tengah tengah keramaian dunia, kita akan mengalami keadaan hidup yang lain sama sekali

.

Dewa Bongkok adalah seorang pertapa semenjak dia masih muda. Dia sudah terbiasa dengan tempat sunyi. Akan tetapi, begitu dia mempunyai seorang cucu, demi sang cucu inilah maka dia kini meninggalkan tempat pertapaannya dan berkelana di dunia ramai untuk mencari cucunya. Dan kegelisahan mulai menggerogoti hatinya yang sudah tua.

Manusia memang amat lemah, selalu mengikatkan diri dengan apa yang disenanginya. Kita mengingatkan diri dengan isteri, anak, keluarga, harta benda, kedudukan, serta kepandaian dan sebagainya. Karena mengikatkan diri, karena kita merasa MEMILIKI secara batiniah, maka yang kita senangi dan miliki itu melekat dalam batin, berakar. Dan karena berakar inilah maka setiap kali yang melekat itu diambil, baik melalui kematian, kehilangan atau pertentangan, batin kita menjadi sakit, dicabutnya sesuatu yang sudah berakar dalam batin kita itu mendatangkan luka berdarah!

Dapatkah kita hidup tanpa ikatan apa-apa? Dapatkah kita mempunyai, baik keluarga, harta benda dan sebagainya, dalam arti kata mempunyai secara lahiriah saja, tanpa memilikinya secara batiniah? Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tak acuh, bukan berarti kita harus tidak peduli. Sebaliknya malah. Cinta kasih bukan lagi cinta kasih kalau didasari nafsu ingin memiliki, ingin menguasai. Cinta kasih adalah kebebasan!

Dewa Bongkok melangkah satu-satu sambil termenung. Akan tetapi, ilmu kepandaian yang amat tinggi sudah mendarah daging pada diri kakek ini, bahkan dia telah memiliki kepekaan yang luar biasa, semacam indera ke enam yang dimiliki oleh setiap orang ahli apa pun di bidang masing-masing sehingga dia seperti melihat atau mendengar segala ketidak wajaran yang terjadi di sekelilingnya.

Memang setiap orang yang sudah ahli memiliki indera ke enam ini. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, indera ke enam ini berupa kewaspadaan terhadap segala macam bahaya yang mengancam, dari mana pun datangnya, sehingga indera ke enam ini bisa menjaganya di waktu dia tidur sekali pun! Bagi seorang pelukis, mungkin dengan indera ke enam itu dia melihat bentuk-bentuk, garis-garis, sifat-sifat dan perpaduan-perpaduan yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, yang lalu dituangkannya di atas kanvas. Bagi seorang pengarang, mungkin dengan indera ke enam itu dia dapat menangkap segala sesuatu tentang lika-liku kehidupan manusia dan alam yang kemudian dituangkannya dalam karangannya.

Tiba-tiba Dewa Bongkok nampak seperti orang terkejut, mukanya yang tadi menunduk itu digerakkan menoleh ke kiri dan sekelebatan nampaklah olehnya bayangan orang amat cepatnya. Dan pada saat itu juga, Dewa Bongkok menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melesat seperti menghilang saja!

Siapakah bayangan orang yang berkelebat cepat itu? Dia ini juga seorang kakek, dan sungguh pun tidak setua Dewa Bongkok, namun usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Gerakannya gesit seperti terbang. Kakek ini berwajah menyeramkan, kurus seperti tengkorak, mukanya putih seperti kapur, tubuhnya tinggi kurus. Biar pun kini dia tidak lagi memakai pakaian hitam karena dia sedang menjadi buronan pemerintah seperti yang lain, namun orang-orang kang-ouw tentu akan mengenal siapa adanya kakek ini yang bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi!

Dialah ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, sarangnya yang kemudian dijadikan benteng para pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Liong Bian Cu itu. Setelah benteng itu dihancurkan oleh pihak pemerintah, dan semua tokohnya melarikan diri, Hek-hwa Lo-kwi juga ikut melarikan diri dan dia berganti pakaiannya yang biasanya berwarna hitam karena tidak ingin dikenal oleh orang-orang pemerintah yang dia tahu disebar untuk mencarinya.

Hek-hwa Lo-kwi berada di tempat itu, karena dia sudah berjanji dengan Hek-tiauw Lo-mo untuk saling bertemu di tempat itu untuk kemudian bersama-sama pergi ke gurun pasir. Mereka telah menerima undangan Twa-ok untuk membantu Im-kan Ngo-ok menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Super Sakti. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa di tempat itu, dia akan bertemu dengan Dewa Bongkok!

Seperti pernah diceritakan di bagian depan, Hek-hwa Lo-kwi ini dahulunya adalah seorang pelayan yang terkasih dari Dewa Bongkok, dan ketika itu dia bernama Thio Sek. Karena terbujuk oleh Hek-tiauw Lo-mo, juga karena dia ingin sekali memperoleh kitab rahasia dari majikannya yang akan menambah tingkat kepadaiannya, Thio Sek ini lalu melarikan diri bersama Hek-tiauw Lo-mo, setelah mereka berdua berhasil mencuri sebuah kitab yang akhirnya mereka perebutkan dan seorang memperoleh separuh.

Inilah sebabnya maka begitu dia melihat Dewa Bongkok, dia menjadi terkejut setengah mati. Walau pun kakek bongkok itu berada di tempat jauh, akan tetapi melihat bekas majikannya itu, Hek-hwa Lo-kwi cepat melarikan diri. Kalau ada manusia di dunia ini yang ditakutinya, dan padahal dia tidak takut kepada setan sekali pun, maka manusia itu adalah Dewa Bongkok.

Hatinya agak lega ketika dia melarikan diri jauh sekali dan tiba di tepi sebuah hutan. Dia menghentikan larinya, menarik napas panjang dan menghapus keringat dingin yang membasahi muka dan lehernya.

“Mau apa iblis tua itu di sini...?” tanyanya pada diri sendiri. Untung dia belum ketahuan dan dia dapat cepat melarikan diri! Kalau sampai berjumpa, hemmm... dia bergidik ketakutan.

Hutan di depan ialah tempat di mana dia telah berjanji untuk bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Maka dia mengibaskan lengan bajunya dan mulai melangkah maju ke depan. Tiba-tiba dia berhenti dan mukanya yang putih seperti kapur itu menjadi makin pucat sampai kehijauan, matanya terbelalak memandang ke depan dan kedua kakinya menggigil. Dewa Bongkok sudah berdiri di depannya, agak jauh di depannya, seolah olah menantinya dengan muka menunduk! Bagaimana mungkin ini? Bukankah tadi dia telah lari secepatnya dan jelas meninggalkan kakek itu sebelum kakek itu sempat melihatnya?

Akan tetapi dia tidak mau membuang waktu dengan berheran-heran, cepat dia sudah meloncat ke belakang, jauh, dan lari dari kakek yang mendatangkan rasa takut hebat dalam hatinya itu. Akan tetapi, begitu dia turun, dia melihat Dewa Bongkok sudah menanti di depannya! Dia cepat menoleh dan ternyata kakek yang tadi berdiri di tepi hutan sudah tidak ada, dan entah kapan kakek itu bergerak! Hek-hwa Lo-kwi makin ketakutan dan kembali dia membalikkan tubuh dan lari ke dalam hutan. Akan tetapi, kembali dia melihat Dewa Bongkok bersandar pada tongkatnya di dalam hutan, hanya kurang lebih dua puluh meter di depannya, tanpa memandangnya dan hanya menundukkan muka!

Mau rasanya Hek-hwa Lo-kwi menjerit dan menangis ketakutan. Tubuhnya sudah penuh dengan peluh. Dia akan lebih suka berjumpa dengan raja setan sendiri dari pada dengan bekas majikannya ini! Dengan menahan napas dia lalu meloncat ke atas pohon, dan berloncatan dari pohon ke pohon. Akan tetapi, setelah melewati lima batang pohon, terpaksa dia berhenti lagi karena di pohon sebelah depan telah menanti Dewa Bongkok yang duduk di atas cabang pohon di depannya itu.

Hek-hwa Lo-kwi menjadi makin panik, dan pada saat itu dia sempat melihat bayangan rekannya, Hek-tiauw Lo-mo, bersembunyi di balik sebatang pohon. Melihat ini, timbul harapannya. Ada kawan di sini dan hal ini agak membesarkan hatinya. Dia cepat melayang turun ke arah temannya itu. Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh bumi di dekat pohon di mana Hek-tiauw Lo-mo bersembunyi, dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Dewa Bongkok sudah berdiri tepat di depannya.

“Thio Sek, apakah engkau masih hendak lari lagi? Tiba-tiba Dewa Bongkok menegur dengan suara halus namun mengandung nada kereng yang membuat jantung Hek-hwa Lo-kwi tergetar hebat. Kedua kakinya menjadi lemas dan manusia iblis yang biasanya amat ditakuti orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Dewa Bongkok!

“Loya... ampunkan hamba...,“ Hek-hwa Lo-kwi berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. Memang sungguh aneh sekali kalau ada orang kang-ouw melihat keadaan manusia iblis ini. Seperti tidak masuk akal kalau orang seperti Hek-hwa Lo-kwi masih bisa ketakutan seperti itu!

Dewa Bongkok tersenyum dan biar pun wajah yang tua itu membayangkan kelembutan, namun sinar matanya yang mencorong seperti mata naga sakti itu sungguh penuh wibawa dan menyeramkan.

“Thio Sek, tak perlu bicara tentang pengampunan. Di mana adanya kitab yang kau curi itu?” terdengar Dewa Bongkok berkata dengar suara penuh teguran.

“Hamba... hamba... membagi dua kitab itu dengan Hek-tiauw Lo-mo...“

“Hemmm, lalu di mana sekarang kitab itu?”

“Bagian hamba... sudah hamba bakar karena hamba khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang lain. Sedangkan bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo... hamba tidak tahu...“

Hek-hwa Lo-kwi mengangkat mukanya dan dia melihat betapa Hek-tiauw Lo-mo yang bersembunyi di balik batang pohon itu memberi semacam isyarat kepadanya. Dia dapat menangkap isyarat itu. Hek-tiauw Lo-mo mengajak dia menyerang Dewa Bongkok secara tiba-tiba dan bersama-sama pula. Jantungnya berdebar dan memang itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri!

“Harap Loya sudi mengampuni hamba... hamba mengaku salah... hamba telah mata gelap karena ingin memiliki kitab pelajaran yang tinggi...”

Dewa Bongkok adalah seorang manusia yang waspada, maka dia dapat melihat pula sikap tidak wajar dari bekas pelayannya itu, seperti ada sesuatu yang disembunyikan, maka dia membentak, “Hayo kau ceritakan semua apa yang akan kau lakukan dan mengapa pula kau berada di sini! Hukumanmu mencuri kitab itu tergantung dari kejujuranmu dalam menjawab pertanyaanku ini.”

Suara kakek bongkok itu angker dan sungguh menggetarkan perasaan Hek-hwa Lo-kwi yang memang sudah merasa jeri sekali. Dia merangkak maju lebih dekat, kemudian membenturkan dahinya di atas tanah. Perbuatan ini seolah-olah membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal dan minta ampun, padahal dia melakukannya untuk dapat lebih mendekati kakek bongkok itu.

“Hamba... hamba memenuhi undangan Im-kan Ngo-ok...“ Dia berhenti, terkejut karena dalam rasa takutnya dia sampai membuka rahasia rencana Im-kan Ngo-ok.

Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara dan apa lagi mengingat akan isyarat Hek-tiauw Lo-mo tadi. Bukankah semua ini hanya untuk memancing perhatian Dewa Bongkok agar lebih mudah bagi mereka berdua untuk melancarkan serangan mendadak?

Dan Dewa Bongkok memang tertarik saat mendengar disebutnya nama Im-kan Ngo-ok itu. “Im-kan Ngo-ok mengundangmu? Ada perlu apakah?”

“Im-kan Ngo-ok mengadakan perjanjian dengan Pendekar Super Sakti untuk bertemu dan kemudian mengadu kepandaian di gurun pasir yang terletak di daratan Gunung Chang-pai-san. Im-kan Ngo-ok minta bantuan hamba untuk menghadapi lawan tangguh itu...“

Sekali ini Dewa Bongkok benar-benar terkejut. “Hemmm, kapankah diadakannya pertemuan itu?”

“Pada bulan purnama bulan depan...”

“Dan kau bermaksud membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti?” bentak Dewa Bongkok.

Pada saat Dewa Bongkok membentak ini, Hek-tiauw Lo-mo dengan langkah hati-hati telah keluar dari balik batang pohon dan mendekati kakek bongkok itu. Betapa pun tinggi kepandaian seseorang, dan betapa pun tajam perasaannya, namun seorang manusia tidak mampu membagi-bagi kesibukan batinnya. Selagi dia bicara dengan marah, tentu saja kewaspadaan Dewa Bongkok berkurang, semua perhatian ditujukan kepada bekas pelayannya, dan juga ketajaman pendengarannya penuh oleh suara dari kata-katanya sendiri sehingga dia tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang.

Hek-hwa Lo-kwi melihat ini dan dia mengangkat kedua tangannya menyoja, berkata dengan suara menyesal, “Ampunkan hamba, Loya... hamba sebetulnya tidak berani akan tetapi...“

Dan pada saat itu, diam-diam Hek-hwa Lo-kwi sedang mengumpulkan tenaganya untuk mengerahkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Pek-hiat-hoat-lek! Kemudian, kedua tangan yang menyoja itu secepat kilat meluncur ke atas dan menghantam ke arah dada Dewa Bongkok! Pada saat yang sama, Hek-tiauw Lo-mo juga sudah menggerakkan tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka dia lantas melancarkan hantaman dengan pengerahan tenaga Hek-coa-tok-ciang.

“Blukkk! Desss...!”

Dua pukulan itu dengan tepatnya mengenai dada dan punggung Dewa Bongkok yang tidak sempat mengelak lagi karena datangnya pukulan dari depan dan belakang itu sama sekali tak disangkanya sehingga kakek tua renta ini hanya mampu mengerahkan sinkang-nya untuk menerima kedua pukulan itu. Akan tetapi, demikian hebatnya tenaga sinkang dari penghuni Istana Gurun Pasir ini sehingga begitu kedua pukulan itu mengenai punggung dan dadanya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terpental mundur, terjengkang dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata mereka membalik dan dari semua lubang di telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Ternyata bahwa pukulan mereka itu terbentur kepada hawa sinkang amat kuat sehingga tenaga mereka terpental, membalik kemudian menghantam mereka sendiri hingga mengakibatkan mereka tewas seketika!

Dewa Bongkok masih kelihatan berdiri tegak di tempat yang tadi, sama sekali tidak bergerak seolah-olah dua pukulan itu tidak terasa olehnya. Akan tetapi, kalau orang melihat mukanya, akan tahulah dia bahwa Dewa Bongkok menderita luka hebat. Muka yang tua itu pucat sekali dan di ujung kanan mulutnya nampak darah mengalir bertetes tetes.

Ternyata kakek sakti ini telah muntah darah! Pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang dilakukan dari jarak dekat itu terlampau dahsyat dan tidak terduga datangnya. Kalau bukan Dewa Bongkok yang terkena hantaman seperti itu, betapa pun lihainya, tentu akan tewas seketika.

Setelah berdiri sejenak seperti arca dengan kedua mata terpejam, mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat diri, akhirnya Dewa Bongkok membuka kedua matanya, menarik napas panjang dan menoleh ke arah mayat dua orang itu. Dengan gerakan perlahan dan menahan nyeri pada dadanya, kakek ini lalu mengumpulkan dahan-dahan yang cukup banyak, meletakkan dua buah mayat itu di atas dahan-dahan dan menutupinya dengan banyak dahan dan daun kering, kemudian membakarnya. Dia maklum bahwa ranting-ranting itu cukup banyak dan akan dapat membakar dua jenazah itu sampai habis. Setelah memandang sejenak, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, jalannya agak tersaruk-saruk dibantu oleh tongkatnya…..

********************

Luka yang diderita oleh Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok memang amat parah. Apa lagi ditambah dengan usianya yang sudah amat tua sehingga tentu saja daya tahan tubuh sudah tidak begitu kuat lagi, maka akibatnya dua pukulan dahsyat itu membuat kakek ini benar-benar menderita hebat.

Setelah berjalan perlahan-lahan sampai setengah hari meninggalkan hutan itu dan tiba di pegunungan yang penuh batu-batu dan sukar dijalani, kakek ini merasa tidak dapat menahan lagi dan duduklah dia bersila di atas batu besar untuk menghimpun kekuatan dan mengumpulkan hawa murni sebanyaknya guna mengobati luka yang dideritanya.

Dengan merasakan keadaan lukanya, kakek ini maklum bahwa sedikitnya dia harus beristirahat satu bulan untuk dapat memulihkan kembali kekuatannya, dan paling tidak selama tiga hari tiga malam dia harus duduk bersemedhi untuk menyelamatkan nyawanya. Dengan penghimpunan hawa murni selama tiga hari tiga malam terus menerus, barulah ada harapan luka di dalam dadanya itu dapat disembuhkan sehingga dia hanya tinggal menanti pulihnya kekuatannya saja. Kebetulan sekali tempat itu amat baik, sunyi dan bersih, hawanya murni sehingga tepat untuk dipakai menjadi tempat bersemedhi.

Dua hari dua malam sudah kakek ini duduk bersila di atas batu tanpa pernah bergerak. Dia seolah-olah sudah mati, atau sudah berubah menjadi arca batu, menjadi satu dengan batu besar yang didudukinya. Hanya ujung pakaiannya saja, jenggotnya atau sedikit rambut di sekeliling kepalanya yang kadang-kadang bergerak kalau ada angin kencang bertiup.

Pada hari ketiga itu, Dewa Bongkok sudah merasa betapa luka-luka di dalam dadanya telah banyak mendingan. Rasa nyeri di bagian kiri yang tadinya terasa paling hebat telah lenyap dan tinggal sedikit rasa nyeri di bagian kanan. Dalam sehari semalam ini tentu lukanya ini pun akan lenyap dan dia tinggal beristirahat saja untuk memulihkan kekuatannya selama sedikitnya sebulan.

Akan tetapi, pagi hari itu terjadi hal di luar perhitungan kakek sakti ini. Ketika dia masih tenggelam ke dalam semedhi, tiba-tiba muncul seorang wanita cantik yang memiliki gerakan ringan dan wanita ini telah sejak tadi memperhatikan Dewa Bongkok yang sedang bersemedhi. Wanita ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang cabul dan lihai itu!

Seperti juga suheng-nya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo, dia pun telah menerima undangan dari Im-kan Ngo-ok untuk membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti dan dia pun berjanji dengan suheng-nya untuk bertemu di dalam hutan itu. Akan tetapi, dasar Siluman Kucing ini tidak pernah dapat sembuh dari penyakitnya, yaitu gila laki-laki, di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang amat menarik hatinya. Dia lalu merayu pemuda ini dan memuaskan nafsunya sehingga dia lupa akan janjinya dan setelah dia, seperti biasanya, merasa bosan dan meninggalkan pemuda yang telah dibunuhnya pula itu, dia tiba di dalam hutan yang dijanjikan dalam keadaan terlambat dua hari!

Dan di dalam hutan itu dia menemukan dua jenazah yang sudah menjadi abu, tinggal beberapa potong tulang saja yang tidak sempat terbakar habis. Dan di situ dia menemukan senjata-senjata dari suheng-nya, di antara abu mayat dan arang. Tahulah dia bahwa suheng-nya telah tewas dan telah dibakar menjadi abu, bersama seorang lain lagi yang diduganya tentu Hek-hwa Lo-kwi karena suheng-nya berjanji akan bertemu dengannya di hutan itu bersama Hek-hwa Lo-kwi…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum