JODOH RAJAWALI : JILID-59


Setelah mencari-cari di sekitar hutan itu, akhirnya dia menemukan Dewa Bongkok yang tengah bersemedhi seorang diri di atas batu besar! Melihat kakek ini, Siluman Kucing memandang dari jauh penuh perhatian. Dia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi dia dapat menduga bahwa kakek itu tengah duduk bersemedhi dan melihat pernapasannya yang teratur dan panjang-panjang, dia pun dapat menduga bahwa kakek itu sedang menghimpun hawa murni. Orang yang melakukan hal seperti itu hanyalah orang yang sedang mengobati luka di dalam tubuhnya.

Mengingat bahwa di dalam hutan tak jauh dari tempat ini suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi tewas dan kakek aneh ini duduk bersemedhi mengobati luka dalam mudahlah bagi Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui untuk menarik kesimpulan. Sudah hampir boleh dipastikan bahwa suheng-nya dan Hek-hwa lo-kwi tentu telah bertanding melawan kakek ini dengan akibat tewasnya suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi, dan kakek ini pun menderita luka parah dalam pertandingan itu! Maka mulailah sepasang mata yang genit itu mengeluarkan sinar berapi. Inilah orangnya yang telah membunuh suheng-nya!

Akan tetapi, Lauw Hong Kui bukanlah seorang yang bodoh. Sebaliknya malah, dia amat cerdik. Orang yang sudah mampu menewaskan suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi, tentu bukan orang sembarangan dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya. Tetapi sebaliknya, betapa pun saktinya orang ini, kalau sedang menderita luka dalam yang parah, tentu dia akan mampu merobohkannya tanpa banyak kesukaran.

Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati dan tidak menurunkan nafsu amarah untuk langsung menyerang kakek yang duduk diam seperti arca itu.

“Locianpwe yang terhormat, kalau boleh saya bertanya, siapakah nama Locianpwe?” Siluman Kucing bertanya sambil menjura ke arah kakek tua renta yang duduk bersila dengan kedua mata terpejam itu.

Tentu saja kehadiran wanita itu sudah diketahui oleh Dewa Bongkok. Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, Dewa Bongkok sama sekali tidak mau menjawab, bergerak pun tidak. Dia tidak pernah mau memperkenalkan diri kepada siapa pun, apa lagi kepada seorang wanita yang gerak-geriknya penuh kecabulan dan kejahatan itu. Maka dia diam saja, dan juga dia memang tidak ingin berurusan dengan siapa pun di saat itu.

Mauw Siauw Mo-li mengerutkan alisnya. Kakek itu sama sekali tidak mau menjawab, dan dia menduga bahwa kakek ini tentu seorang tokoh berilmu tinggi yang selama ini menyembunyikan diri. Akan tetapi, dia cerdik sekali dan dia tahu bagaimana caranya untuk memaksa kakek itu membuka suara! Dia tahu bahwa kelemahan dari pada locianpwe adalah keangkuhan! Kalau sedikit disentuh keangkuhannya, para Locianpwe biasanya lalu melakukan tanggapan.

“Locianpwe, di dalam hutan saya melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas terbunuh orang. Siapakah yang telah membunuh mereka?”

Kembali tidak ada jawaban dari kakek itu. Dan suara Mauw Siauw Mo-li yang sengaja dikeluarkan dengan pengerahan khikang itu bergema di dalam hutan di bawah lereng itu. Setelah gema itu mengaung, sunyi kembali keadaan di situ.

Siluman Kucing mengerutkan alisnya dan mencari akal. “Saya tadinya menduga bahwa Locianpwe yang membunuh mereka, akan tetapi melihat Locianpwe diam saja, saya menjadi ragu-ragu. Seorang seperti Locianpwe, kalau melakukan sesuatu, tentu berani mengaku dan mempertanggung jawabkannya, berbeda dengan para siauw-jin (orang hina) yang berwatak pengecut dan tidak berani mengakui perbuatannya!”

Memang cerdik sekali Siluman Kucing. Dewa Bongkok bukan termasuk tokoh yang suka mengangkat diri atau berwatak angkuh, sebaliknya malah dia selalu menyembunyikan dirinya. Akan tetapi ucapan wanita itu tentu saja menggugah watak gagah yang selalu di junjung tinggi oleh semua kaum pendekar di dunia kang-ouw. Lebih baik mati dari pada disebut pengecut hina! Seorang pendekar tentu akan selalu berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya dan berani menghadapi semua akibat perbuatannya! Maka, mendengar ucapan itu, sepasang mata itu terbuka memandang ke arah Mauw Siauw Mo-li.

“Ihhhhh...!” Mauw Siauw Mo-li undur dua langkah. Dia terkejut dan merasa ngeri melihat betapa sepasang mata itu mencorong dan seolah-olah mengeluarkan sinar kilat yang menyambar ke arahnya. Belum pernah dia melihat mata yang mencorong seperti itu, seperti bukan mata manusia!

“Aku tidak membunuh mereka, adalah mereka yang memukulku hingga mereka tewas karena tenaga mereka sendiri!” Setelah berkata demikian, Dewa Bongkok kembali memejamkan matanya dan tidak mau berkata apa-apa lagi. Baginya pengakuan ini sudah cukup dan dia tidak mau membicarakan hal itu dengan wanita ini.

Mendengar ucapan itu, tahulah kini Siluman Kucing bahwa dugaannya tidak keliru. Kakek ini telah bertanding melawan suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi sehingga kedua orang itu tewas dan kakek ini sendiri mengalami luka parah. Dalam keadaan terluka parah dan sedang mengobati lukanya itu, tentu kakek yang amat sakti ini berkurang banyak kelihaiannya. Namun Mauw Siauw Mo-li tetap bersikap hati-hati dan tidak mau ceroboh yang akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Dia tidak mau langsung menyerang kakek itu.

“Mengapa Locianpwe memandang rendah sekali kepada saya? Sebaiknya Locianpwe duduk di atas tanah agar tidak terlalu tinggi hati!” Setelah berkata demikian, Siluman Kucing itu lalu mendorong dengan kedua tangannya ke arah batu besar yang diduduki oleh Dewa Bongkok.

Dorongan itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan hawa pukulan yang dahsyat menyambar dan mendorong batu itu. Batu itu terguling dan tubuh Dewa Bongkok ikut pula terguling, tanpa kakek itu dapat mempertahankan diri. Tentu saja jika dia hendak mempertahankan diri, bukanlah hal sukar. Tetapi dalam keadaannya seperti saat itu, amatlah berbahaya baginya untuk mempergunakan tenaga sinkang-nya. Sekali mengerahkan sinkang, lukanya yang sudah sembuh sebagian itu tentu akan terbuka dan kambuh kembali, bahkan mungkin akan lebih hebat sehingga dapat mengakibatkan kematiannya. Oleh karena itulah, ketika batu besar itu terguling, dia pun ikut terguling dan terbanting ke atas tanah. Namun, kakek ini lalu merangkak bangun dan duduk bersila kembali ke atas tanah.

Melihat ini, Siluman Kucing menjadi heran dan juga girang. Kalau kakek ini sudah dapat membunuh dua orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, jelas bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti luar biasa. Akan tetapi, sekarang, dengan sekali dorong saja batu itu roboh bersama tubuh kakek itu yang kelihatan sama sekali tidak mampu menjaga diri, dia pun tahu bahwa kakek itu benar-benar telah terluka parah dan tidak berani mempergunakan sinkang-nya!

“Hi-hi-hi-hi-hik! Kiranya engkau telah terluka parah? Tahukah engkau siapa aku, orang tua buruk? Aku adalah Lauw Hong Kui, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang telah kau bunuh. Nah, aku datang untuk membalaskan kematian suheng-ku!” setelah berkata demikian, Siluman Kucing itu menerjang ke depan, ke arah kakek yang duduk bersila di atas tanah itu.

Dengan pengerahan tenaga sinkang-nya, tangannya menyambar dan menampar ke arah kepala Dewa Bongkok yang botak.

“Syuuuuuttt... plakkk!”

Dewa Bongkok tentu saja tidak mau menerima kematian secara konyol. Dia tidak berani mengerahkan sinkang karena hal ini dapat berarti bunuh diri, maka dia pun miringkan kepalanya ketika merasa ada angin dahsyat menyambar kepalanya. Pukulan itu luput, akan tetapi masih menghantam pundaknya sehingga untuk kedua kalinya tubuh Dewa Bongkok terguling-guling! Namun dia sudah duduk lagi bersila.

Makin giranglah hati Mauw Siauw Mo-li karena dia yakin bahwa semua dugaannya benar belaka. Biar pun jelas bahwa kakek itu amat lihai, terbukti bahwa dalam keadaan duduk bersila tanpa melawan tadi kakek itu telah mampu mengelak sehingga kepalanya terluput dari tamparannya yang sedemikian cepatnya. Akan tetapi ketika tadi tangannya menampar pundak dia sama sekali tidak merasakan ada hawa sinkang yang menolak, tanda bahwa benar-benar kakek sakti itu tidak berani mengerahkan sinkang! Kakek itu lebih mengandalkan kelemasan untuk menerima tamparan tadi, membiarkan tubuhnya terguling sehingga tamparan itu hanya membuatnya terbanting tanpa mendatangkan luka parah karena dia sama sekali tidak melawan.

“Hi-hi-hik, tua bangka, bersiaplah engkau untuk mampus!” bentaknya dan dia sudah menerjang, maju lagi.

Dewa Bongkok maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan dalam keadaan seperti itu. Kalau dia mengerahkan sinkang, tentu dia akan mampu menewaskan wanita ini dengan mudah, walau pun untuk itu dia sendiri akan berkorban nyawa. Akan tetapi, kakek ini tidak ingin membunuh orang, apa lagi dalam keadaan mendekati akhir hidupnya itu. Kalau dua hari yang lalu dia menewaskan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, hal itu terjadi karena dia tidak sengaja, karena dia diserang dengan tiba-tiba sehingga pengerahan sinkang yang otomatis membuat tenaga pukulan mereka membalik dan mengakibatkan tewasnya dua orang itu. Kini, dia tidak mau melakukan pembunuhan dan dia hanya menanti datangnya maut melalui tangan wanita yang tidak dikenalnya ini.

“Wuuuuuttt... plakkk!”

Siluman Kucing memekik kaget dan meloncat mundur. Pukulannya telah ditangkis oleh sinar hitam yang panjang dan ternyata yang menangkis lengannya itu adalah seekor ular hitam besar dan panjang yang kini melingkar di lengan dan leher seorang dara cantik jelita berpakaian serba hitam!

“Hwee Li!” bentaknya dengan marah. “Engkau melawan bibi gurumu?”

Dara yang telah menangkis pukulan Siluman Kucing yang menyelamatkan nyawa Dewa Bongkok tadi memang benar Hwee Li adanya. Seperti kita ketahui, dara ini mengalami guncangan batin yang hebat pada saat ditinggal kekasihnya yang menyatakan benci padanya karena dia keturunan pemberontak. Bahkan gurunya sendiri, Ceng Ceng, juga memutuskan hubungan dan tidak mau mengakuinya lagi. Hal ini amat menyedihkan hatinya, akan tetapi karena memang pada dasarnya Hwee Li berwatak keras, lincah dan gembira, penderitaan batinnya itu tertutup oleh kelincahannya dan hanya mukanya yang agak pucat itu saja yang menjadi bukti bahwa di lubuk hatinya, dara ini menderita batin yang amat hebat.

Memang kenyataannya watak Hwee Li jauh sekali bedanya dengan watak Hek-tiauw Lo-mo, orang yang selama belasan tahun dia anggap ayah kandungnya sendiri. Biar pun semenjak kecil dia dididik oleh seorang manusia iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo sehingga Hwee Li memiliki sifat-sifat liar yang keras, namun pada lubuk hatinya dia menjunjung tinggi kegagahan dan tidak suka bertindak sewenang-wenang, bahkan lebih condong untuk melindungi orang-orang lemah tertindas. Apa lagi setelah dia berkenalan dengan orang-orang gagah, bahkan kemudian dia memperoleh didikan dari Ceng Ceng, sifat kegagahan seorang pendekar ini menonjol.

Hal ini makin kuat ketika dia menemukan rahasia bahwa dia sesungguhnya bukan anak kandung Hek-tiauw Lo-mo. Dia merasa lain dan berbeda dengan golongan Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia menentang tindakan-tindakan mereka seperti nampak ketika dia menjadi tawanan Pangeran Liong Bian Cu yang tergila-gila kepadanya. Maka, ketika secara kebetulan dia melihat Mauw Siauw Mo-li hendak menghantam seorang kakek botak tua renta yang kelihatannya tak berdaya dan tak melawan, bangkit kemarahannya dan segera dia turun tangan menangkis pukulan itu dengan menggunakan ular hitamnya yang panjang.

Sambil tersenyum dan sepasang matanya menatap wajah Mauw Siauw Mo-li dengan tajam, dia menjawab, “Sudah tentu, Mauw Siauw Mo-li. Mana mungkin aku membiarkan saja engkau melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, membunuh seorang kakek yang tidak berdaya dan tidak melawan? Seharusnya engkau merasa malu untuk menyerang seorang kakek tua tidak melawan!”

“Bocah setan! Engkau menyebut namaku begitu saja? Bukankah aku ini bibi gurumu?”

“Aku tidak mempunyai bibi guru seperti engkau! Engkau jahat, kejam dan curang!”

“Ehhh, Hwee Li, berani engkau kurang ajar? Engkau murid murtad! Ingat, aku adalah sumoi dari ayahmu!” Mauw Siauw Mo-li membentak marah. “Kau tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu? Ayahmu, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas oleh kakek itu! Hayo kita bunuh dia sebelum dia sembuh kembali dari lukanya untuk membalas kematian ayahmu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li melompat dan hendak menerjang Dewa Bongkok.

Akan tetapi nampak bayangan hitam berkelebat dan Hwee Li sudah menghadang di depannya. “Tidak! Engkau tidak boleh membunuhnya!” katanya dengan wajah keras dan suara tegas.

Mauw Siauw Mo-li mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan mukanya berubah merah, matanya berapi-api tanda bahwa wanita ini sudah kehilangan kesabarannya. Kalau tadi dia masih bersikap sabar adalah karena dia masih mengingat bahwa dara ini adalah murid keponakannya.

“Hwee Li, siapakah kakek ini dan apamukah dia maka engkau hendak melindunginya?”

“Bukan apa-apa. Aku tidak kenal padanya, akan tetapi jelas bahwa dia adalah seorang tua renta yang sudah terluka dan tidak berdaya, maka kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, akulah yang akan membelanya!”

“Keparat, murid murtad engkau!” bentak Mauw Siauw Mo-li dan dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Hwee Li dengan pukulan maut. Namun, dengan lincahnya Hwee Li mengelak ke kiri dan dari sini kakinya meluncur dengan tendangan kilat ke arah lambung bibi gurunya!

“Ehhh!” Mauw Siauw Mo-li terkejut dan makin marah. Kiranya murid keponakannya ini benar-benar berani melawannya.

“Singgg...!”

Sinar hijau nampak dan Siluman Kucing itu telah mencabut sebatang pedang, lalu dia menubruk ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya.

Hwee Li cepat berloncatan menghindarkan diri, kemudian tiba-tiba sinar hitam meluncur dari tangannya dan ular hitam itu telah digerakkan seperti senjata, menyerang dan mematuk ke arah leher Lauw Hong Kui. Wanita ini cepat menarik tubuh ke belakang dan mengibaskan pedang untuk membacok putus leher ular itu. Namun ular itu amat gesit, sudah mengelak dengan leher dilengkungkan, dan pada saat itu, tangan kiri Hwee Li telah melancarkan pukulan tangan kiri yang mengandung uap berwarna putih. Itulah pukulan beracun yang berbau harum.

“Ihhhh...!” Untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li terkejut dan cepat dia mengelak, lalu dia memutar pedangnya dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu, berubah menjadi segulung sinar hijau yang melingkar-lingkar dan bergerak menyambar ke sana sini dengan hebatnya.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Setelah mendapat gemblengan dari Ceng Ceng dan petunjuk-petunjuk dari suami gurunya itu, yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, kini tingkat kepandaian Hwee Li sudah naik tinggi sehingga tidaklah mudah bagi Mauw Siauw Mo-li untuk mengalahkannya. Sebaliknya, Hwee Li pun merasa sukar untuk mengalahkan bekas bibi gurunya yang lihai ini. Sampai seratus jurus mereka bertanding, masih belum ada yang nampak terdesak.

Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran sekali. Masa sampai lewat seratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan bekas murid keponakannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangan kirinya melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Terdengar ledakan dan nampak asap mengepul tinggi. Hwee Li maklum akan kelihaian bibi gurunya ini menggunakan bahan-bahan ledak, maka dia pun cepat meloncat jauh ke kiri. Akan tetapi kembali dia disambut oleh ledakan yang membuat pandang matanya gelap dan pada saat itu, dia masih melihat sinar hijau meluncur ke arah dadanya. Cepat-cepat dia melempar tubuh ke belakang dan menggerakkan ular hitamnya untuk menangkis.

“Crakkk!”

Ularnya terbabat putus menjadi dua dan terdengar suara ketawa mengejek dari Siluman Kucing itu, suara ketawa yang bercampur dengan suara kucing, ciri khas dari wanita ini!

“Setan!” Hwee Li memaki dan membuang bangkai ular itu, kemudian dia mengelak dari sambaran pedang berikutnya, lalu membalas dengan tamparan tangannya yang juga dapat dielakkan oleh lawan. Melihat Hwee Li kehilangan senjata ular yang ampuh itu, Mauw Siauw Mo-li tertawa lagi.

“Hwee Li, hayo kau berlutut minta ampun kepada bibi gurumu, baru aku ampuni engkau dan lekas kau bunuh kakek itu untuk membalas kematian ayahmu!” Dia masih tak ingin membunuh dara cantik itu.

“Siluman betina!” Hwee Li memaki dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, kedua tangannya mengirim pukulan berantai yang cepat dan kuat. Mauw Siauw Mo-li menjadi marah.

“Bagus, engkau sudah bosan hidup!” bentaknya dan dia memutar pedangnya.

Namun dara itu benar-benar lihai. Meski kini tidak lagi memegang ular sebagai senjata, akan tetapi setiap serangan pedang dapat dielakkannya dengan mudah, bahkan untuk setiap serangan dia membalas kontan dengan pukulan atau tendangan yang tidak kalah bahayanya.

Mauw Siauw Mo-li makin gemas. Kembali tangannya melempar sebuah benda, sekali ini benda itu dilemparkan ke arah Dewa Bongkok! Melihat ini Hwee Li menjerit dan tubuhnya meluncur ke samping, cepat dia menyambar benda itu sebelum mengenai tanah dan meledak, kemudian dia melontarkan benda itu ke arah pemiliknya. Terdengar ledakan keras dan asap makin memenuhi tempat itu. Tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Hwee Li maklum bahwa bibi gurunya itu menyerang dengan hebat, maka dia mengelak dan membalas dengan tendangan.

“Singgggg... brettttt!”

Sinar hijau menyambar di antara gumpalan asap dan celana kiri Hwee Li di bagian paha terobek ujung pedang, berikut kulit dan sedikit dagingnya sehingga paha itu luka dan berdarah.

“Ha-ha-ha, bocah murtad, engkau tidak lekas berlutut?” bentak Mauw Siauw Mo-li sambil tertawa dan mendesak dengan pedangnya.

Hwee Li terpincang-pincang, namun dara yang berhati baja ini sama sekali tidak mau tunduk, bahkan sambil mengelak dia masih mencoba untuk balas menyerang. Akan tetapi, karena pahanya sudah terluka yang membuatnya terpincang, gerakan kakinya menjadi kaku dan tentu saja kegesitannya berkurang sehingga ia mulai terdesak hebat oleh pedang di tangan Siluman Kucing.

“Serang lambung kirinya!” tiba-tiba Hwee Li mendengar bisikan halus dan dia mengenal suara kakek tua renta yang bersemedhi itu.

Suara itu demikian halus namun jelas sekali, seperti diucapkan di dekat telinganya saja, maka tahulah dia bahwa kakek itu telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) untuk membantunya. Karena dia merasa yakin bahwa kakek itu adalah seorang yang amat sakti, maka dengan membuta dia lalu mengikuti petunjuknya dan tiba-tiba dia menerjang dengan serangan hebat ke arah lambung kiri Siluman Kucing.

“Ihhh...!” Siluman Kucing menjerit kaget karena pada saat itu memang lambung kirinya ‘terbuka’ dan merupakan bagian yang paling lemah dari kedudukannya. Dia masih dapat melempar dirinya ke kanan sehingga terjangan Hwee Li itu luput sungguh pun dia sudah rnerasakan hawa pukulan menyerempet lambungnya. Kalau saja Hwee Li tadi tidak terheran dan sedikit terlambat, tentu serangannya sudah mengenai sasaran.

Siluman Kucing tidak tahu bahwa lawannya diberi petunjuk oleh kakek itu. Dia mengira bahwa serangan Hwee Li tadi hanya kebetulan saja, maka bangkitlah kemarahannya karena dia nyaris celaka. Sambil mengeluarkan lengking panjang pedangnya menusuk dan membacok kembali dengan bertubi-tubi dan kini Hwee Li terdesak lagi seperti tadi. Hwee Li terpaksa mengelak ke sana-sini dengan kakinya yang pincang. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia agak terlambat sehingga petunjuk kakek itu tidak mampu dipergunakan sebaiknya. Kalau dia tidak agak meragu, dia yakin bahwa serangan tadi pasti mengenai sasaran.

“Tendang lutut kiri dan hantam pundak kanan!” kembali terdengar bisikan.

Kali ini Hwee Li bergerak secara otomatis menurutkan petunjuk itu tanpa mempedulikan hal lain. Dia mentaati secara membuta dan secara cepat sekali dan hasilnya luar biasa! Terdengar Siluman Kucing menjerit dan biar pun dia berusaha melempar tubuh ke belakang, namun hantaman ke arah pundaknya itu tetap saja mengenai sasaran.

“Plakkk...! Aduhhhhh...!”

Pedang di tangan Siluman Kucing terlepas karena begitu pundaknya kena dihantam, lengan kanannya seperti lumpuh. Tadi dia sangat terkejut melihat tendangan tiba-tiba dari Hwee Li yang ditujukan kepada lutut kirinya. Tendangan itu memang tepat dan berbahaya sekali sebab pada saat itu, kuda-kudanya dititik beratkan kepada kaki kirinya yang berada di depan. Maka dia cepat menarik kaki kirinya agar lututnya yang dalam keadaan ‘terbuka’ itu jangan kena tendang, akan tetapi siapa kira, gerakannya ini bagai telah dapat diduga terlebih dulu oleh dara itu yang sudah mengirim pukulan ke arah pundak kanannya pada saat pundak itu dalam keadaan tak terjaga.

Siluman Kucing terhuyung ke belakang dan merasa jeri. Lama dia tidak bertemu dengan murid keponakannya ini dan kiranya sekarang telah memiliki kepandaian yang demikian lihai! Melawan Hwee Li saja dia kewalahan dan hampir roboh, apa lagi kalau kakek itu turun tangan membantu! Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang seperti seekor kucing yang terpijak ekornya, dan tubuhnya sudah meloncat jauh ke belakang dan sebentar saja Siluman Kucing telah lenyap.

Hwee Li cepat mengambil pedang yang ditinggalkan oleh bekas bibi gurunya itu, dan dia menoleh ke arah Dewa Bongkok. Kakek itu masih duduk bersila di atas tanah, memejamkan kedua matanya. Hwee Li menarik napas panjang. Benar dugaannya. Kakek ini lihai bukan main akan tetapi berada dalam keadaan terluka parah. Kalau saja kakek aneh itu tidak membantunya dengan dua kali bisikan dan petunjuk, agaknya tidak mungkin dia dapat menangkan Mauw Siauw Mo-li yang lihai, apa lagi karena pahanya telah terluka.

Hwee Li menghampiri kakek itu, sejenak memandang kakek yang masih bersemedhi dengan tekunnya. Dia tidak mau mengganggu, teringat bahwa kakek itu terluka parah dan sedang mengobati luka sendiri. Hwee Li lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memeriksa pahanya yang terluka dan menaruhkan obat bubuk kepada lukanya. Dia menyeringai. Perih sekali obat itu, akan tetapi dengan cepat dapat menutup luka dan menghentikan keluarnya darah. Dengan saputangan yang bersih dibalutnya paha yang terluka itu, kemudian dia pun duduk bersila tak jauh dari kakek itu. Dia mengambil keputusan untuk menjaga dan melindungi kakek itu sampai kakek itu sembuh dan dapat membela diri sendiri.

Demikianlah, kini di tempat sunyi itu nampak dua orang duduk bersila dalam semedhi! Setelah memulihkan tenaganya dan rasa nyeri di pahanya yang terluka berkurang, Hwee Li membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Dia merasa lapar sekali. Kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi, napasnya panjang-panjang dan sebagai seorang muda yang terlatih, Hwee Li maklum pula bahwa kakek itu memang benar sedang berdaya untuk mengobati dirinya sendiri.

Maka dia pun tidak berani mengganggu, dan hanya ingin menunggu sampai kakek itu selesai mengobati luka di dalam tubuhnya. Pergilah Hwee Li untuk mencari makanan pengisi perutnya yang lapar. Akan tetapi karena dia tidak berani meninggalkan kakek itu terlampau jauh, dia hanya mencari di sekitar tempat itu dan akhirnya dia hanya bisa mendapatkan akar-akaran yang dapat dimakan! Tidak ada pohon-pohon buah di hutan dekat situ dan dia tidak melihat binatang hutan pula. Akan tetapi, akar-akaran itu cukup enak kalau dibakar.

Maka dia lalu membuat api dan mulai memanggang akar-akaran itu. Dimakannya sebagian dari makanan itu dan sebagian lagi disisihkannya untuk kakek itu kalau sudah sadar dari semedhinya nanti. Bukan menjadi kebiasaan Hwee Li untuk mencampuri urusan orang. Akan tetapi dia tidak suka kepada Mauw Siauw Mo-li yang dia tahu merupakan seorang iblis betina yang selain kejam dan curang, juga cabul itu. Maka, melihat bekas bibi gurunya itu tadi hendak membunuh kakek ini, dia lalu turun tangan menentang.

Lalu dia mendengar bahwa kakek ini telah membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia merasa tertarik sekali. Hek-tiauw Lo-mo adalah musuh besarnya, yang telah merusak kehidupan ibu kandungnya, bahkan hampir saja menjerumuskan dia ke dalam lembah kehinaan dengan ‘menjualnya’ kepada Pangeran Liong Bian Cu. Maka, mendengar bekas ayahnya dan juga musuh besarnya itu terbunuh oleh kakek ini, dia merasa tertarik sekali untuk bicara dengan kakek ini. Di samping itu, juga dia tidak ingin melihat kakek ini terancam bahaya dan terbunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, maka dia lalu menjaganya dan menanti sampai kakek itu selesai mengobati dirinya sendiri.

Akan tetapi, sehari penuh dia menanti dan hari telah berganti malam, namun kakek itu masih belum juga bangun dari semedhinya! Hati Hwee Li mulai menjadi kesal. Dia bukan seorang gadis yang penyabar. Akan tetapi melihat betapa nyamuk-nyamuk mulai merubung tubuh kakek itu dan tentu merupakan gangguan bagi semedhinya, timbul pula rasa kasihan di hatinya. Dibuatnya api unggun dan diusirnya nyamuk-nyamuk itu. Setelah kehangatan api unggun mengusir dingin dan nyamuk, barulah dia duduk di dekat api unggun dan menoleh kepada kakek itu sambil mengomel.

“Kalau sampai besok pagi engkau belum juga terbangun, jangan salahkan aku kalau terpaksa aku meninggalkanmu, Kek. Aku masih harus melakukan perjalanan jauh, mencari orang yang entah ke mana perginya!” Dia menarik napas panjang, kemudian merebahkan diri di atas daun-daun kering yang dikumpulkannya di tempat itu, rebah miring menghadapi api dan termenung ke dalam nyala api yang menjilat-jilat.

Semalam itu Hwee Li hanya dapat tidur ayam, yaitu antara tidur dan sadar, terkantuk kantuk di dekat api unggun. Biar pun kadang-kadang dia tertidur, namun kesadarannya masih selalu waspada sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, juga dia selalu tahu kalau api unggun padam atau mengecil sehingga cepat dia bangun dan menambah kayu bakar. Berkali-kali, kalau terbangun, dia menengok kepada kakek itu dan ternyata kakek itu masih saja duduk bersila dan tenggelam dalam semedhi seperti siang tadi!

Pada keesokan harinya, setelah sinar mentari menerangi tanah, Hwee Li memanggang lagi beberapa potong akar-akaran untuk dimakan dan sebagian dia letakkan di depan kakek itu bersama pedang yang ditinggalkan oleh Mauw Siauw Mo-li kemarin.

“Kek, terpaksa aku harus meninggalkanmu. Ini ubi bakar untukmu, dan ini pedang untuk menjaga diri kalau ada penjahat hendak mengganggumu. Maafkan aku, Kek, aku tidak bisa menjagamu di sini selamanya!”

Hwee Li menatap wajah itu dan tiba-tiba sepasang mata itu terbuka.

“Ihhhhh...!” Hwee Li terkejut dan terlompat mundur.

Kedua mata kakek itu benar-benar mempunyai cahaya yang mengejutkan, mencorong seperti mata harimau di tempat gelap! Akan tetapi kagetnya segera lenyap ketika dia melihat hetapa sepasang mata itu biar pun mencorong aneh, namun memandang kepadanya dengan lembut dan mulut tua itu mengulum senyum. Dia mendekat lagi, duduk di dekat kakek itu sambil memandang wajahnya yang agak pucat.

“Thian Yang Maha Kuasa...,“ terdengar kakek itu berkata halus, “Kalau belum berkenan mencabut nyawa seorang tua seperti aku, ada saja yang menyelamatkan. Agaknya masih belum cukup hukumanku maka aku masih diberi usia panjang...“

Mendengar keluhan ini, Hwee Li tersenyum geli. “Kek, orang lain minta umur panjang, mengapa engkau sebaliknya mengomel diberi umur panjang? Dan tentang menolong tadi, aku tidak tahu siapa menolong siapa. Kalau tidak ada engkau yang membisiki dua jurus serangan kemarin, mungkin aku yang tidak bisa berumur panjang!”

Sepasang mata itu berseri dengan pandang matanya memperhatikan Hwee Li penuh selidik. “Namamu Hwee Li?”

“Benar, Kek.”

“Siapa nama keturunanmu?”

Hwee Li membuang muka, dia merasa sebal. “Uhhh, tidak perlu menyebutkan nama keturunanku, Kek, hanya akan mendatangkan sial saja kepadaku. Namaku Hwee Li, cukuplah.”

Karena membuang muka, Hwee Li tidak melihat betapa pandang mata kakek itu makin berseri, karena sikap dara ini amat menarik hatinya dan menimbulkan rasa suka di hatinya.

“Hwee Li, ketika aku diserang oleh wanita itu, mengapa engkau membelaku? Bukankah wanita itu bibi gurumu? Mengapa engkau berani melawan bibi guru sendiri?”

“Huh, bibi guru macam apa dia? Jangankan bibi guru, biar ayah sendiri, kalau jahat, tentu akan kutentang!” jawab Hwee Li marah.

Kakek itu makin tertarik. Gadis ini benar-benar luar biasa. Jarang menemukan seorang gadis yang begini keras namun tegas dan wajar, penuh kepolosan dan keberanian. Mirip watak mantunya, isteri dari muridnya!

“Bukankah engkau sudah mendengar dari bibi gurumu bahwa ayahmu tewas karena aku? Bukankah Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungmu?”

“Sama sekali bukan, Kek!” Hwee Li makin gemas karena dia diingatkan akan keadaan keluarganya yang hanya mendatangkan kesialan baginya. “Dia adalah musuh besarku!”

“Hemmm... bagaimana pula ini?” Kakek itu bertanya dan tersenyum.

“Sebenarnya aku tidak suka bicara tentang ini, Kek, akan tetapi agar engkau tidak menjadi penasaran dan bingung, biarlah kuceritakan kepadamu. Memang aku dan semua orang tadinya menganggap Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungku. Akan tetapi kini telah terbuka kedoknya. Dia sama sekali bukan ayah kandungku, bahkan dia musuh besarku yang dulu menculik ibuku dan menjadi sebab kematian ibuku. Ah, andai kata dia itu ayahku sendiri sekali pun, tetap saja kutentang karena dia jahat.”

Kakek itu memandang dengan penuh perhatian.

“Kau akan menentang ayah kandung sendiri?”

“Tentu!” Hwee Li berkata gemas dan mengepal kedua tinju tangannya, lalu bangkit berdiri dan berdongak memandang ke udara. “Apa artinya ayah kandung kalau dia jahat? Dia hanya akan melumuri aku dengan kekotoran namanya! Nama busuk seorang ayah akan diwarisi anaknya yang tidak bersalah, mendatangkan kesialan, membuat aku dibenci orang, hanya karena orang tua...!” Dan tiba-tiba saja Hwee Li menangis sambil membanting-banting kakinya.

Sepasang mata kakek itu terbelalak. Dia membiarkan gadis itu menangis sesunggukan sambil menutupi muka dengan kedua tangan. Akan tetapi tidak lama Hwee Li menangis. Dia tadi menangis karena mendapat kesempatan menumpahkan rasa penyesalan dan penasaran hatinya, teringat betapa Kian Lee menyia-nyiakan dan meninggalkannya hanya karena dia keturunan pemberontak! Kekerasan hatinya membuat tangisnya itu hanya sebentar lalu mereda.

Melihat ini, Dewa Bongkok menarik napas panjang. “Hwee Li, apakah orang tuamu sendiri, ayah kandungmu, juga seorang jahat seperti Hek-tiauw Lo-mo?”

Hwee Li menggeleng kepala. Dia tidak mengenal kakek ini. Dan karena kakek ini orang asing, orang asing yang kebetulan saja kini terlibat menjadi orang yang menjadi tempat pencurahan semua rasa penasaran hatinya, maka dia tidak ragu-ragu untuk bicara tentang dirinya sendiri. “Aku sendiri tidak pernah melihat ayah kandungku, Kek. Entah dia orang baik atau jahat aku pun tidak tahu. Hanya karena dia dikenal sebagai seorang pemberontak, maka orang lalu menghinaku, bahkan orang yang paling baik... yang paling kucinta... telah meninggalkanku. Kek, apa sih salahnya orang yang menjadi anak pemberontak? Ayah kandungku memberontak ketika aku masih bayi, aku tidak tahu mengapa dan untuk apa dia memberontak. Akan tetapi mengapa semua orang benci kepadaku?”

Kakek itu menarik napas panjang dan menengadah seolah-olah dia bicara kepada awan yang berarak di langit, bukan kepada Hwee Li, “Begitulah memang pendapat umum, watak masyarakat yang sudah membudaya! Manusia dinilai dari keturunannya, dari agamanya, dari kedudukannya, dari harta bendanya, dari pengetahuannya. Betapa menyedihkan ini. Dan karena penilaian didasarkan atas semua itu, maka manusia lalu memperebutkan semua itu yang dianggap sebagai syarat untuk dapat hidup mulia! Manusia dianggap seperti pohon. Pohon yang buahnya masam pasti menghasilkan bibit yang masam pula. Manusia yang dianggap jahat pasti menurunkan anak yang jahat pula! Betapa menyedihkan anggapan ini! Dan betapa banyaknya anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban nama buruk orang tuanya. Memang tidak adil! Bahkan menilai seseorang sebagai jahat pun tidak adil. Kehidupan ini selalu berubah. Manusia pun selalu mengalami perubahan, ada kalanya dia dianggap jahat, ada kalanya dia dianggap baik. Anggapan itu hanya penilaian belaka, tergantung kepada kepentingan si penilai. Aih, Hwee Li, kalau orang menganggap engkau rendah dan hina, maka yang jelas dia itulah yang rendah dan hina, karena anggapan seperti itu sudah rendah namanya. Mengapa engkau hiraukan benar? Jangankan hanya beberapa orang yang menganggapmu jahat, kalau engkau meneliti diri sendiri dan mendapat kenyataan bahwa engkau tidak jahat, peduli apa? Biarlah semua orang menilaimu jahat. Hidup bukan tergantung dari pada penilaian orang lain. Yang penting adalah mengamati diri sendiri. Biar tidak ada seorang pun manusia lain mengetahuinya, akan tetapi kalau dalam pengamatanmu itu engkau melihat dirimu kotor, haruslah segera dibersihkan! Jadi, yang penting bukan penilaian orang lain, melainkan pengamatan diri sendiri terhadap diri sendiri. Mengertikah engkau, Hwee Li?”

Ucapan kakek yang dilakukan dengan suara halus itu meresap ke dalam hati sanubari Hwee Li dan gadis itu merasa bangkit kembali semangatnya, “Engkau benar, Kek! Terima kasih. Akan tetapi, aku pun tidak akan peduli penilaian orang lain, biar orang sedunia sekali pun, hanya... karena mereka berdua itulah yang membuat hatiku terasa perih..., penilaian mereka berdua yang kini menjauhiku membuat hatiku merana.”

“Hemmm, mereka berdua itu siapakah? Mengapa justeru mereka berdua yang amat kau hiraukan?”

“Dia... dia... pacarku, Kek. Dan yang seorang guruku...“

Diam-diam kakek itu terharu juga. Dara ini sungguh amat jujur, tidak seperti orang lain yang malu-malu kucing dan menyembunyikan perasaannya. Dara ini berterus terang, apa adanya, dan amat menarik hatinya.

“Hemmm, mereka itu tidak bijaksana. Tidak mengherankan kalau pacarmu memiliki pandangan umum seperti itu karena tentu dia masih muda dan hijau. Akan tetapi gurumu, mengapa dia sepicik itu pula?”

“Guruku pun masih muda, Kek, tidak banyak selisihnya usianya dengan pacarku. Dia pantas menjadi enci-ku. Aku amat sayang kepadanya dan dia pun tadinya amat cinta kepadaku, akan tetapi setelah dia tahu bahwa aku keturunan pemberontak... dia lalu memutuskan hubungan...“ Hwee Li memejamkan mata, menahan air matanya yang sudah membikin panas kedua matanya lagi.

“Hemmm, gurumu masih begitu muda? Dan kau sudah selihai itu? Tentu gurumu lihai sekali.”

“Tentu saja dia lihai! Suaminya lebih lihai lagi, Kek. Suaminya adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir!”

Karena kakek itu menundukkan mukanya, Hwee Li tidak melihat keheranan yang membayang di kedua mata kakek itu. Tentu saja kakek itu terkejut dan heran. Kiranya gadis yang amat menarik hatinya ini adalah murid dari Ceng Ceng, isteri muridnya sendiri! Dia memang pernah mendengar bahwa isteri muridnya itu mempunyai seorang murid yang selama beberapa bulan pernah pula ikut ke Istana Gurun Pasir, akan tetapi dia tidak pernah tahu siapa namanya dan tidak pernah pula saling bertemu. Memang selama itu dia hanya bertapa saja, menyendiri di kamar rahasia dalam istana itu.

Dan tadi ketika melawan Mauw Siauw Mo-li, Hwee Li juga tidak pernah menggunakan jurus dari aliran Dewa Bongkok maka dia tidak mengenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa sesungguhnya gadis ini menjadi murid Ceng Ceng hanya dalam hal penggunaan racun dan pukulan-pukulan beracun saja, dan kemudian mendapat bimbingan untuk mematangkan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya, yaitu yang dipelajarinya dari Hek-tiauw Lo-mo.

Sebaliknya, Hwee Li tentu saja tahu bahwa suami dari gurunya adalah murid seorang manusia dewa yang berjuluk Si Dewa Bongkok atau Go-bi Bu Beng Lojin, akan tetapi karena belum pernah jumpa, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kakek yang ditolongnya ini adalah kakek gurunya itu! Apa lagi dia membayangkan kakek guru itu sebagai dewa yang tidak pernah memperlihatkan diri kepada manusia lain.

Hening sampai lama semenjak Hwee Li menyebut nama Naga Sakti Gurun Pasir tadi. Berbagai pikiran memenuhi kepala Dewa Bongkok dan dia sudah mengambil keputusan mengenai gadis ini.

“Hwee Li, maukah engkau menjadi ahli waris ilmu silat yang akan membuat engkau tidak mudah dikalahkan orang, apa lagi kalau hanya oleh orang seperti wanita tadi? Maukah engkau mempelajari ilmu simpananku yang belum lama kuciptakan?!” Tiba-tiba kakek itu bertanya.

“Dan menjadi muridmu, Kek?” Hwee Li mengangkat muka memandang.

Dia merasa pernah melihat sepasang mata mencorong seperti itu, akan tetapi dia lupa lagi entah di mana. Dia lupa bahwa yang memiliki mata mencorong seperti itu adalah suami gurunya, Si Naga Sakti Gurun Pasir!

“Akan tetapi, aku belum mengenalmu.”

“Hemmm, tidak perlu mengenal. Engkau tentu sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi tewas karena mereka itu menyerangku dan aku menderita luka parah. Biar pun aku telah menyembuhkan luka itu, namun aku perlu beristirahat dan mengingat usiaku sudah amat tua, kalau tidak sekarang kuturunkan kepada seseorang, tentu aku tidak akan sempat lagi mewariskan kepada orang lain. Kau cocok untuk menjadi ahli warisku, Hwee Li.”

“Kalau begitu aku tidak perlu menjadi muridmu?”.

“Murid atau bukan hanya sebutan saja. Aku percaya bahwa di tanganmu, ilmuku tidak akan sia-sia.”

“Baiklah, Kek. Akan tetapi, aku harus melakukan perjalanan jauh menyusul dia...!”

“Pacarmu?”

“Benar. Aku masih penasaran. Dia tidak boleh membawa-bawa aku dalam keburukan nama ayah kandung yang sama sekali tak pernah kukenal itu. Dia tidak adil dan aku harus menegurnya!”

“Bagus! Memang engkau benar, dan pacarmu itu picik. Dia tentu seorang pemuda tolol, mengapa engkau memilih pacar macam dia?”

“Uwah! Kakek terlalu memandang rendah dia! Engkau tidak tahu siapa dia, Kek, dia adalah Suma Kian Lee, putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!”

Kembali kakek itu terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. “Ahhh, kiranya begitu? Sungguh kebetulan sekali aku memilihmu sebagai ahli waris ilmuku karena dengan ilmu itu engkau harus dapat melindungi Pendekar Super Sakti.”

“Ehhh, apa maksudmu, Kek?”

“Menurut pengakuan Hek-hwa Lo-kwi sebelum dia tewas oleh ulahnya sendiri, di gurun pasir di dataran Bukit Chang-pai-san akan diadakan pertemuan yang pasti akan menjadi pertandingan mati-matian antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok, maka mereka ini tentu mendatangkan jagoan-jagoan untuk membantu mereka mengeroyok Pendekar Super Sakti. Kalau tidak sedang terluka, tentu aku akan dapat mendamaikan mereka dan melindungi Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi aku terluka, maka aku sengaja memilihmu untuk mewarisi ilmuku dan mewakili aku melindungi pendekar sakti itu.”

“Jadi untuk itukah maka engkau hendak menurunkan ilmu itu kepadaku, Kek?”

“Sebagian, yang terutama untuk itu. Akan tetapi juga karena aku suka melihatmu, Hwee Li.”

“Biar pun aku keturunan pemberontak?”

“Hemmm, mereka yang menghinamu karena keturunanmu akan aku tegur kalau aku sempat bertemu dengan mereka. Mereka itu tolol dan picik!”

Besarlah hati Hwee Li mendengar ini. Kakek ini adalah orang pertama yang bukan saja tidak merendahkan keturunannya, bahkan hendak membelanya dan lebih dari itu, hendak menurunkan ilmunya kepadanya. Dan mengingat betapa kakek ini dapat merobohkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apa lagi sudah dapat dia buktikan kesaktiannya ketika memberi petunjuk dia menghadapi Mauw Siauw Mo-li, dia yakin bahwa ilmu yang akan diturunkan itu tentu hebat bukan main.

“Nah, sekarang bersiaplah, Hwee Li. Engkau harus menghafal kauw-koat (teori silat) lebih dulu, baru kuberi petunjuk tentang gerakan-gerakannya, yaitu gerakan dasar dan gerakan pokok. Kita hanya memiliki waktu sebulan lebih lagi, yaitu pada malam bulan purnama bulan depan.”

“Mana mungkin menghafal ilmu yang hebat hanya dalam waktu sesingkat itu?” tanya Hwee Li.

“Ilmu itu hanya terdiri dari delapan jurus, Hwee Li.”

“Delapan jurus? Kalau hanya sedemikian pendeknya, mana bisa disebut hebat?”

“Ah, engkau tidak tahu. Aku telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk merangkai ilmu yang kunamakan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Mengejar Arwah) ini. Dan biar pun kauw-koat-nya dapat kau hafalkan dalam waktu singkat setelah kuberi kunci kuncinya, namun untuk mematangkan ilmu ini, biar sampai lima puluh tahun sekali pun masih dapat terus ditingkatkan, Hwee Li. Dasar dan pokok gerakan ilmu yang hanya delapan jurus ini telah mencakup semua dasar ilmu silat dan dapat kau pergunakan untuk menghadapi ilmu yang bagaimana lihai pun dari lawan.”

Hwee Li menjulurkan lidahnya karena kaget, kagum dan juga girang. Dia lalu mulai mempelajari Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang dengan penuh ketekunan. Kakek itu merasa girang karena gadis ini memang cerdas sekali, dengan mudah dapat mengerti ketika dia memberi penjelasan tentang kunci rahasia ilmu itu, kemudian menghafal teorinya.

Semua ini mereka lakukan sambil melanjutkan perjalanan perlahan-lahan karena kakek itu harus sering beristirahat untuk menghimpun tenaganya. Siang malam Hwee Li menghafal dan melatih gerakan-gerakan pokok dan dasar dari ilmu silat baru itu, dan dengan girang sekali dia memperoleh kenyataan betapa baru melatih beberapa hari saja, sinkang-nya sudah bertambah kuat. Apa lagi ketika kakek itu memberi petunjuk kepadanya cara mengumpulkan hawa murni dan menggunakan tenaga dari pusarnya, dia memperoleh kemajuan hebat dalam waktu beberapa hari saja…..

********************

“Syanti Dewi...!” Dia terhuyung, hampir jatuh, akan tetapi bangun lagi dan terus berlari sambil terhuyung-huyung.

“Dewi... kau ampunkan aku, Dewi...!”

Tek Hoat terus memasuki hutan yang lebat itu, berlari sambil mengeluh dan bersambat, menyebut-nyebut nama Syanti Dewi seperti orang gila. Pemuda ini setelah ditolong oleh Panglima Jayin dan pasukannya, dibawa kembali ke dalam istana. Akan tetapi baru dua hari dia dirawat, begitu siuman dia sudah meloloskan diri lagi, malam-malam dia melarikan diri meninggalkan istana untuk mengejar dan mencari Syanti Dewi.

Akhirnya, kegelapan malam membuat dia roboh tersungkur menabrak batang pohon dalam hutan yang gelap itu. Dia merangkak bangun, lalu duduk dan menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang terasa pening berdenyut-denyut. Dia belum sembuh benar, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya masih pening.

“Syanti... kalau engkau tidak mau mengampunkan aku, lebih baik kau bunuh saja aku...“ keluhnya.

Pikirannya melayang-layang ke masa lampau ketika dia merasa betapa sengsaranya rasa hatinya, ditinggalkan oleh Syanti Dewi yang marah kepadanya. Syanti Dewi tentu benci kepadanya! Ahh, semua ini tentu merupakan hukuman baginya, hukuman atas semua penyelewengannya, atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lampau.

Terbayang kembali semua perbuatannya, yang baru sekarang nampak olehnya betapa kejam, jahat dan terkutuknya. Dia telah banyak melakukan pembunuhan-pembunuhan, perjinahan-perjinahan, perbuatan yang kejam dan jahat sekali di masa lampau. Kalau dia membayangkan semua perbuatannya itu, di waktu dia masih muda remaja, maka amatlah tidak patut kalau dia kini dicinta seorang wanita seperti Syanti Dewi! Hal ini merupakan kenyataan yang luar biasa, terlampau baik baginya.

Syanti Dewi adalah seorang puteri raja yang demikian cantik jelita, demikian berbudi dan mulia. Sedangkan dia? Hanya seorang bekas penjahat yang terkutuk! Dan dia masih tidak menerima kebahagiaan ini. Dia menghancurkan sendiri kebahagiaan yang tidak patut dimilikinya itu. Dia bahkan berani memaki, berani menghina sang puteri yang demikian mulia, yang terlalu mulia baginya. Menjadi pelayan puteri itu saja masih terlalu mulia baginya. Dia sebenarnya amat tidak berharga, bahkan untuk menggosok sepatu puteri itu saja dia masih terlalu kotor.

Namun dia terangkat sebagai kekasih, sebagai calon suami puteri itu! Dan puteri itu mencintanya dengan suci. Puteri itu telah rela hidup sengsara demi untuk dia! Dan dia... dia malah memaki dan menghina puteri itu! Dituduhnya berjinah, padahal dialah sendiri tukang berjinah di waktu remaja. Dituduhnya memberontak, padahal dialah yang pernah membantu pemberontak! Dituduhnya keji dan hina, padahal dialah yang jelas seorang manusia keji dan hina!

“Syanti...!” hatinya menjerit dan dia menjambak-jambak rambutnya sendiri.

“Kau memang layak mampus! Kau layak sengsara!” Dia berteriak-teriak dan menjambak rambutnya, lalu menghempas-hempaskan dirinya, membentur-benturkan kepalanya ke batang pohon itu sampai kulit dahinya luka-luka dan pecah-pecah berdarah dan akhirnya dia roboh pula tak sadarkan diri di bawah batang pohon itu. Malam itu sunyi sekali, sunyi dan gelap, dan tubuh Tek Hoat membujur di bawah pohon, pingsan.

Dia bermimpi. Dia terjerumus ke dalam lumpur. Betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, selalu tidak berhasil. Lumpur itu menyedot kedua kakinya, makin dia berusaha lolos, makin dalam dia tersedot sampai akhirnya tubuhnya tersedot sebatas pinggang. Dia meronta, kedua tangannya mencakar sana-sini dengan sia-sia. Kemudian muncul Dewi Kwan Im yang berwajah Syanti Dewi, dengan ringannya sang dewi melangkah di atas lumpur tanpa mengotorkan sepatunya yang bersih, lalu sang dewi mengulurkan tangan, hendak menariknya keluar dari dalam lumpur.

Akan tetapi pada saat itu dia teringat akan hal yang tak pernah dilupakannya sama sekali itu, ialah ketika Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, kemudian betapa Syanti Dewi telah berusaha membunuh Raja Bhutan, ayahnya sendiri. Teringat akan ini semua, tangan yang terulur kepadanya untuk menariknya keluar dari dalam lumpur itu malah diludahinya! Sang dewi menangis dan melarikan diri sambil terisak-isak. Tek Hoat yang ditinggalkan di dalam lumpur itu tersedot makin dalam. Lumpur mencapai lehernya, bahkan masih terus saja tubuhnya tersedot ke bawah, kini lumpur mencapai dagunya. Barulah dia, teringat kepada Syanti Dewi, betapa dia mencinta dara itu dan dengan napas terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, dia memanggil-manggil nama Syanti Dewi.

“Syanti Dewi...! Syanti Dewi...!”

Tek Hoat terbangun dengan napas terengah-engah. Dia membuka matanya dengan penuh kegelisahan dan menjadi semakin bingung ketika dia menemukan dirinya sendiri telah rebah di atas pembaringan dalam sebuah kamar yang indah, kamarnya di istana Bhutan! Dan terdengar suara yang tenang dan penuh perasaan iba.

“Tenanglah, Taihiap. Harap engkau suka menguatkan batinmu.”

Tek Hoat menoleh dan ternyata yang bicara itu adalah Panglima Jayin. Dia bangkit duduk dan memegang tangan panglima itu yang dijulurkan kepadanya. “Panglima apakah yang terjadi dengan Syanti Dewi?”

Panglima itu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan beliau, Taihiap.”

“Akan tetapi... dia... dia telah mati dan aku... aku masih bertemu dengannya...“

Panglima Jayin itu tersenyum sedih dan mengira bahwa pemuda ini tentu mengigau. “Taihiap terlalu mendalam memikirkan beliau. Beliau belum meninggal dunia, dan atas perkenan sri baginda raja saya akan menceritakan semua kepadamu, Taihiap. Wanita yang kau sangka sang puteri itu, yang datang bersama pengkhianat Mohinta, kemudian berusaha membunuh sri baginda dan akhirnya tewas, sebenarnya bukanlah Sang Puteri Syanti Dewi, melainkan seorang wanita lain yang memalsukan beliau. Sang Puteri Syanti Dewi adalah seorang wanita budiman dan mulia, tidak mungkin melakukan hal rendah seperti itu.”

Tek Hoat meloncat berdiri, wajahnya berseri biar pun masih amat pucat. “Ahhh, sudah kuduga demikian, hanya hati yang lemah ini, otak yang tolol ini masih saja meragukan kesuciannya! Aku harus pergi mencarinya!”

Panglima Jayin memegang lengannya dan dengan lembut menyuruh pemuda itu duduk kembali. “Ketika engkau menderita luka-luka parah dan rebah tak berdaya, kami tidak berani menceritakan tentang beliau padamu. Kemudian, kemarin kami tidak melihatmu di dalam kamar dan setelah kami mencari-cari, kami menemukan Taihiap rebah pingsan di dalam hutan, kemudian kami bawa kembali ke sini. Agaknya Taihiap mengigau atau mimpi...“

“Tidak, tidak...! Aku tidak mimpi, aku benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Ah, aku harus segera mencarinya sebelum dia pergi jauh!”

“Engkau masih lemah, Taihiap.”

“Tidak, biarkan aku menghadap sri baginda, mohon perkenannya. Akan kucari sang puteri sampai dapat!”

Raja Bhutan merasa girang melihat betapa Tek Hoat kelihatan sembuh dan dia pun tidak berkeberatan mendengar permohonan Tek Hoat.

“Memang hanya engkaulah yang kiranya akan mampu menemukan kembali anakku itu, Tek Hoat. Engkau carilah dia, bawa bekal secukupnya, kalau perlu bawa pasukan sebanyaknya, dan jangan kembali ke sini kalau belum bersama anakku.” Demikian antara lain Raja Bhutan berpesan kepada pemuda yang telah diakuinya sebagai panglima muda dan juga sebagai calon mantunya itu.

Demikianlah, untuk kedua kalinya Tek Hoat meninggalkan Bhutan. Akan tetapi sekali ini kepergiannya jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sekali ini dia pergi dengan doa restu dari Raja Bhutan dan membawa perbekalan secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau membawa pasukan dan pergi seorang diri saja. Dia melakukan pengejaran dan mencari jejak Syanti Dewi yang diketahuinya penuh keyakinan telah datang menjenguknya, akan tetapi karena ketololannya kembali dia menyakitkan hati puteri itu, sungguh pun tidak seorang pun di Bhutan percaya bahwa sang puteri benar-benar telah pulang untuk waktu singkat sekali itu.

Penderitaan batin yang timbul akibat cinta asmara memang penanggungannya amatlah berat, karena orang akan merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan kosong tidak ada artinya, lenyaplah semua gairah hidup, lenyap semua kegembiraan, yang terasa hanyalah kelesuan, lemah lunglai rasanya seluruh tubuh, tanpa semangat membuat orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena perasaan iba diri yang amat mendalam.

Tek Hoat melakukan perjalanan seperti boneka hidup, seorang manusia yang sudah kehilangan semangat dan kegembiraannya. Hanya ada satu saja yang masih membuat dia kuat mempertahankan semua itu, ialah semangat mencari Syanti Dewi sampai dapat! Dia melakukan perjalanan yang susah payah, tak pernah berhenti, hanya makan kalau perutnya sudah tidak kuat menahan lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tak dapat dibuka, dan hanya beristirahat kalau kedua kakinya sudah mogok jalan. Berhari hari dia menjelajahi seluruh hutan di mana dia mengejar Syanti Dewi, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke timur, karena dia merasa yakin bahwa kekasihnya itu tentu pergi ke timur. Ke mana lagi kalau tidak ke sana? Dan dia akan terus mencari, sampai ke ujung dunia sekali pun!

Tanpa diketahuinya, Tek Hoat sedang menuju ke arah tempat di mana Su-ok dan anak buahnya, yaitu para orang cebol itu, berkumpul dan menimbulkan kekacauan di dusun. Pagi itu dia berjalan seenaknya memasuki daerah itu, tidak tahu bahwa gerak-geriknya sudah diintai oleh banyak mata, karena dianggap sebagai hasil pancingan orang-orang pendek yang mempergunakan Yan Hui sebagai umpan!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yan Hui yang lihai itu dikeroyok oleh anak buah Su-ok dan akhirnya tertawan, dibelenggu di belakang kuil sebagai umpan karena Su-ok merasa yakin bahwa wanita yang lihai itu pasti datang bersama teman temannya. Dan pagi hari itu, muncul seorang pemuda yang dari jauh saja sudah dikenal oleh Su-ok!

Seperti diketahui, Tek Hoat pernah membantu para pendekar saat terjadi pertandingan di dalam benteng para pemberontak, dan Su-ok mengenal pemuda ini sebagai Si Jari Maut! Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan terhitung musuh karena bukankah kemudian ternyata bahwa pemuda ini membantu pihak pendekar yang ikut menyerbu benteng?

Maka diam-diam Su-ok sudah mempersiapkan lima orang sute-nya yang lihai itu, mengikuti gerak-gerik Tek Hoat. Dan tepat seperti yang dia duga, pemuda itu menuju ke kuil, tentu saja untuk menolong wanita tawanan mereka itu! Padahal, Tek Hoat sendiri tidak pernah menduga bahwa di belakang kuil itu ada seorang wanita tertawan, dan kalau dia menuju ke kuil itu adalah karena kakinya telah merasa lelah dan dia hendak beristirahat di dalam kuil itu. Karena pikirannya banyak termenung, kewaspadaannya banyak berkurang dan dia tidak tahu bahwa ada beberapa orang mengintai gerak geriknya.

Maka terkejutlah Tek Hoat ketika tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon, semak-semak dan batu-batu berlompatan keluar lima orang cebol yang dengan buasnya serta-merta menerjang dan menyerangnya tanpa banyak cakap lagi!

“Eh, ehh, ehhh, mau apa kalian ini?” bentaknya sambil mengelak ke kanan kiri.

“Ha-ha-ha, Si Jari Maut, kenapa kelihatan gugup? Hayo kau coba pecahkan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, ha-ha-ha!”

Mendengar suara orang itu dari atas, Tek Hoat menengok dan segeralah dia mengenal Su-ok Siauw-siang-cu, orang keempat dari Ngo-ok yang lihai. Terkejutlah dia dan tahulah dia bahwa dia telah bertemu orang jahat, musuh yang tak mungkin dapat diajak bicara lagi. Maka dia pun lalu mencurahkan perhatiannya untuk membela diri. Kini dia melihat betapa lima orang cebol itu mulai mengurungnya, melangkah lambat-lambat mengitarinya, wajah mereka yang lucu-lucu dan aneh-aneh itu kelihatan menyeramkan, mata mereka terbelalak dan seperti mata binatang haus darah. Agaknya gerakan mereka itu dipimpin oleh kakek cebol yang brewok, karena empat yang lain selalu melirik ke arah si brewok ini. Maka Tek Hoat yang berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran itu juga memperhatikan cebol brewok itu. Dan dugaannya itu memang tepat. Si brewok ini memang merupakan pimpinan dari Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, yaitu barisan lima orang yang amat lihai dan yang kemarin telah merobohkan Ouw Yan Hui itu.

Tiba-tiba, seperti merupakan aba-aba, si brewok itu mengeluarkan bentakan yang parau seperti suara singa kelaparan dan tubuhnya yang pendek itu sudah bergerak. Serangan si brewok cebol itu amat dahsyat, tubuhnya melayang ke atas dan kedua tangannya mencengkeram ke arah mata dan leher Tek Hoat. Namun, dengan tenang Tek Hoat sudah memutar tubuhnya mengelak dan tangannya sudah siap untuk merobohkan lawan ini dengan pukulan dari bawah. Akan tetapi, pada saat itu, dari empat penjuru, empat orang cebol lainnya telah menyerbu dengan gerakan berbareng, dan terpaksa Tek Hoat harus menghadapi mereka semua itu dengan mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak karena masing-masing lawan yang bertubuh kecil pendek itu ternyata melakukan serangan yang cukup ampuh dan berbahaya.

Tubuh Tek Hoat masih belum sembuh betul dari kelemahan yang menyerangnya selama berbulan-bulan, dan selama itu, dia tidak pernah berlatih silat sehingga otot ototnya kaku. Akan tetapi, begitu menghadapi bahaya, secara otomatis semua syaraf dan otot tubuhnya bekerja dan mulailah dia menggerakkan tubuhnya dengan penuh tenaga sinkang dan kini dia mulai membalas dengan tamparan, pukulan mau pun tendangan. Dan setiap tamparannya yang ditangkis lawan tentu membuat lawan itu terdorong, bahkan angin pukulannya yang kuat membuat beberapa orang cebol mengeluarkan teriakan kaget. Tak mereka sangka bahwa lawan ini ternyata lebih lihai dari pada wanita cantik itu!

Tek Hoat sama sekali tidak memandang rendah lawan, sungguh pun lima orang cebol yang mengeroyoknya itu seolah-olah hanya merupakan lima orang anak kecil yang nakal. Dengan hadirnya Su-ok di situ, dia dapat menduga bahwa tentu lima orang cebol ini pun berkepandaian tinggi.

Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan seluruh kepandaian untuk menghadapi lima orang pengeroyoknya ini. Melihat betapa lima orang itu setiap kali menyerang tentu mengarah kepada nyawanya, Tek Hoat menjadi marah dan dia pun mengerahkan ilmunya yang ampuh, yaitu Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), ilmu pukulan dengan jari yang membuat dia dikenal sebagai Si Jari Maut. Jari-jari tangan ini bukan hanya menotok jalan darah, akan tetapi sekali mengenai lawan akan langsung mencabut nyawa lawan. Jari-jari itu dapat memutus otot dan tulang, merusak jalan darah, bahkan dapat menusuk kepala! Ampuh…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum