JODOH RAJAWALI : JILID-60


Lima orang itu pun mengeluarkan semua kepandaian mereka. Gerakan mereka teratur dan saling membantu, saling melindungi, dengan serangan-serangan yang bertubi dan bergiliran secara teratur sekali, dan serangan mereka itu berubah-ubah dengan tenaga yang berubah-ubah pula sesuai dengan sifat Ngo-heng.

Namun, Tek Hoat yang bersikap tenang itu tidak menjadi gugup. Dia bersilat dengan ilmu silat gabungan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, dan dia selalu mengerahkan tenaga Inti Bumi yang amat hebat sehingga setiap kali beradu lengan dengan seorang lawan, tentu lawan itu terpelanting. Namun begitu terpelanting, empat orang saudaranya telah melindunginya secara otomatis!

Seratus jurus telah lewat dan barisan Ngo-heng-tin itu belum mampu merobohkan Tek Hoat. Kalau tadinya Tek Hoat masih bersilat dengan lambat berhubungan dengan kekuatannya yang belum pulih, sekarang nampak dia mulai bersemangat, gerakan gerakannya lebih dahsyat. Hal ini adalah karena semangat bertanding Tek Hoat mulai ‘hidup’ lagi. Mengingat bahwa Su-ok merupakan seorang di antara mereka yang berusaha menawan Syanti Dewi dan mengganti kekasihnya itu dengan wanita palsu, semangatnya bangkit dan kemarahannya meluap.

“Bagus, kalian semua sudah bosan hidup agaknya!” dia membentak dan kini dari kedua tangan dengan jari-jari terbuka itu keluar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan mengerikan!

Begitu dia memutar tubuh dan kedua lengannya dikembangkan, lima orang lawan itu terkejut, ada yang meloncat mundur, akan tetapi dua di antara mereka memberanikan hati menangkis.

“Dukkk! Dukkkkk!”

Dua orang itu terpelanting dan mereka berloncatan bangun dengan muka pucat. Lengan mereka terluka, kulitnya robek berdarah! Memang luka-luka itu tidak berat, akan tetapi setidaknya membuat mereka terkejut dan jeri sekali terhadap pemuda yang amat lihai ini. Melihat itu, Su-ok marah bukan main.

“Sute semua jangan takut, biar aku membantu kalian merobohkan bocah sombong ini!”

Tubuh yang pendek kecil itu menyambar turun langsung saja menerkam Tek Hoat dengan dahsyatnya. Namun Tek Hoat sudah siap siaga, dengan cepat dia meloncat mundur, kemudian mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh Su-ok. Lima orang cebol menjadi besar hati dan timbul kembali keberanian mereka ketika mereka melihat suheng mereka ikut maju mengeroyok, dan sekarang mereka menyerang dan menghujani Tek Hoat dengan pukulan-pukulan yang dibantu pula oleh berbagai macam senjata!

Tek Hoat mengamuk terus. Tetapi kini dia menghadapi lawan yang amat berat. Su-ok Siauw-siang-cu adalah seorang datuk kaum sesat yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sukar dicari bandingannya. Melawan kakek cebol ini sendirian saja masih amat sukar bagi Tek Hoat untuk menang, apa lagi kini Su-ok dibantu oleh lima orang sute-nya, dan dia sendiri baru saja sembuh dari sakit sehingga betapa pun juga, dia belum dapat menguasai kembali seluruh kelincahan dan tenaganya. Betapa pun juga, Tek Hoat tidak merasa gentar dan dia terus mengamuk, biar pun kini dia harus lebih banyak berloncatan dan mengerahkan dan untuk menangkis. Dia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi untuk membalas serangan.

Tiba-tiba Su-ok meloncat ke depan, tubuhnya berjongkok rendah, kedua tangannya digerak-gerakkan secara aneh dan lima orang sute-nya meloncat ke kanan kiri menjauh! Tiba-tiba Su-ok mendorongkan kedua tangannya ke arah Tek Hoat dan terdengar dari perutnya keluar bunyi berkokok beberapa kali. Angin dahsyat menyambar dibarengi bau yang amis ke arah Tek Hoat.

Pemuda ini terkejut bukan main, dapat mengenal ilmu pukulan yang dahsyat dan amat berbahaya, maka dia sudah meloncat jauh ke kanan di mana dia disambut dan dikurung oleh lima orang kakek cebol lainnya. Su-ok mengeluarkan pukulan Katak Buduk ini sebagai selingan dan selalu Tek Hoat meloncat jauh, tidak berani menghadapi pukulan ini dengan langsung, tidak berani menangkis, karena dari sambaran anginnya saja dia tahu bahwa pukulan itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.

Dia sendiri pun sudah memiliki tenaga ampuh, dan pukulan-pukulan beracun setelah dia mempelajari kitab-kitab peninggalan para tokoh Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi karena dia kalah tingkat dan kalah latihan, maka dia tahu bahwa menghadapi pukulan itu secara langsung amatlah berbahaya. Maka, dia lalu mengamuk dan makin mendesak lima orang sute dari Su-ok itu saja, dan begitu Su-ok datang menyerangnya, dia meloncat menjauhkan diri.

Sementara itu, setelah melihat bahwa penjaganya, Su-ok yang mengerikan itu, telah pergi dan agaknya ada suara perkelahian di sebelah depan kuil, Ouw Yan Hui berusaha untuk melepaskan belenggu kedua tangannya, akan tetapi usahanya itu tidak berhasil. Belenggu dari rantai besi yang kokoh itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak berhasil mematahkannya, bahkan kedua pergelangan tangannya lecet-lecet dan terasa nyeri sekali.

Hatinya mulai khawatir. Dia tidak tahu siapa yang datang dan bertanding dengan para orang cebol itu. Melihat betapa sampai lama orang itu dapat mempertahankan diri, jelas bahwa yang datang adalah orang yang pandai. Betapa inginnya untuk dapat bebas dan membantu orang itu, siapa pun juga orangnya, untuk menghajar orang-orang cebol yang kurang ajar itu.

“Hui-ci..., sssttttt...!”

Yan Hui terkejut, menoleh dan wajahnya berseri melihat munculnya orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya akan muncul di tempat itu. Kiranya yang muncul adalah Syanti Dewi!

“Syanti! Cepat... belengguku ini...,” bisiknya kembali.

Syanti Dewi meloncat ke belakang pilar, menggunakan pedangnya untuk mematahkan belenggu yang mengikat kedua tangan Ouw Yan Hui. Dan setelah bebas, Ouw Yan Hui lalu menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya, memandang kepada Syanti Dewi dengan muka merah.

“Syanti... ahhh, ternyata engkau malah yang rnenolongku! Mari kita bantu orang itu!” Tanpa menanti jawaban lagi, tubuh Yan Hui mencelat keluar kuil, diikuti oleh Syanti Dewi.

Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanannya, Syanti Dewi melihat penduduk dusun diganggu sekumpulan orang cebol yang sakti menurut penuturan para prajurit Bhutan yang mengenalnya. Dia menyuruh para prajurit meminta bantuan ke Kota Raja Bhutan, sedangkan dia sendiri kemudian melakukan penyelidikan pada pagi hari itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia tiba di kuil itu dari belakang, dia melihat Ouw Yan Hui terbelenggu pada pilar besar, sedangkan di bagian depan kuil itu terjadi perkelahian yang belum dia ketahui siapa orangnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia lantas menolong gurunya, kemudian mengikuti Ouw Yan Hui pada saat gurunya itu meloncat keluar kuil untuk membantu orang menghadapi para orang cebol yang sakti.

Ketika dua orang wanita cantik ini tiba di depan kuil, pertempuran antara Tek Hoat yang dikeroyok enam masih berlangsung seru, biar pun kini Tek Hoat hanya mengelak dan menangkis saja, sama sekali tak mampu lagi membalas serangan. Pemuda itu sungguh hebat, masih dapat mempertahankan diri dan belum dapat dirobohkan.

“Manusia-manusia cebol terkutuk!” mendadak Ouw Yan Hui membentak nyaring dan tubuhnya melesat ke depan, terjun ke dalam medan pertempuran.

Semua orang cebol merasa kaget, terutama sekali si brewok yang langsung menerima serangan Ouw Yan Hui. Datangnya serangan demikian tiba-tiba dan pada saat itu, tubuhnya masih terhuyung oleh tangkisan Tek Hoat. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tendangan Ouw Yan tepat mengenai lambungnya. Si brewok berteriak dan tubuhnya terlempar, perutnya mendadak menjadi mulas dan dia mengaduh-aduh.

Su-ok adalah seorang yang cerdik, juga licik. Dia tahu bahwa Tek Hoat Si Jari Maut amat berbahaya, bahkan setelah dibantu oleh lima orang sute-nya, sampai ratusan jurus dia dan para sute-nya belum mampu mengalahkan pemuda ini. Dan sekarang muncul wanita yang memiliki ginkang amat luar biasa itu. Munculnya wanita yang terbelenggu itu membuktikan bahwa tentu ada orang sakti lain yang membebaskannya, maka tentu akan muncul orang-orang sakti lain. Keadaan menjadi berbahaya dan tidak menguntungkan bagi pihaknya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan sebagai isyarat dan cepat dia meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para sute-nya, si brewok paling belakang karena dia harus berlari sambil memegangi perutnya yang masih mulas!

Ang Tek Hoat berdiri dengan kepala pening dan terasa berdenyut-denyut. Dia baru saja sembuh, tetapi tadi dia telah terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga kepalanya kini menjadi pening, dan dia tidak mengejar mereka yang melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah dibantu orang pandai, maka biar pun pandang matanya menjadi agak kabur karena kepeningan kepalanya, dia tetap menengok dan memandang orang yang telah membantunya sehingga musuh melarikan diri. Dia melihat seorang wanita cantik jelita dan seorang wanita lain agak jauh di belakangnya.

“Dewi...! Ahhh, Syanti Dewi...!” Dia berseru dan seperti orang mabuk dia terhuyung ke depan, menghampiri Syanti Dewi yang sejak tadi berdiri bengong ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang bertanding dikeroyok banyak orang cebol dan dibantu oleh gurunya itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

“Ahhh, engkau...!” Dia terisak lalu sekali meloncat dia telah melarikan diri.

“Syanti...! Syanti Dewi...! Jangan tinggalkan aku...!” Tek Hoat meloncat dan mengejar akan tetapi kepalanya terasa makin pening dan dia tersandung, jatuh terguling.

“Syanti, tunggu dulu!” Ouw Yan Hui yang menyaksikan semua itu menjadi bingung, akan tetapi dia lalu mengejar Syanti Dewi.

Syanti Dewi tidak mau berhenti sehingga Ouw Yan Hui terpaksa terus mengejar sambil mengerahkan tenaganya karena muridnya itu telah memiliki ilmu berlari cepat yang hebat dan tidak jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri. Suara panggilan dari mulut Tek Hoat sudah tidak terdengar lagi ketika akhirnya dia berhasil menyusul Syanti Dewi.

“Syanti, tunggulah aku ingin bicara denganmu!” kata Ouw Yan Hui.

Syanti Dewi akhirnya berhenti dan mengusap beberapa butir air matanya. Sejenak Ouw Yan Hui berdiri tertegun di depan muridnya itu. Dia adalah seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, dan dia pernah mendengar penuturan Puteri Bhutan ini tentang riwayatnya.

“Syanti, apakah dia itu tadi yang bernama Ang Tek Hoat itu?”

Syanti Dewi masih menunduk, dan dia hanya mengangguk.

“Aih, Syanti, bagaimana engkau ini? Bukankah engkau dulu mencari-carinya? Bukankah engkau menderita karena perpisahanmu dengan dia? Dan sekarang, setelah bertemu, mengapa engkau malah menjauhkan dirimu darinya?”

Diam-diam Ouw Yan Hui harus mengakui bahwa pria yang dicinta oleh muridnya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian tinggi, seorang yang patut menjadi jodoh puteri yang cantik jelita ini.

Akan tetapi Syanti Dewi hanya menangis. Syanti Dewi teringat akan nasibnya yang dianggapnya amat buruk. Harapannya yang mulai timbul kembali hancur berantakan. Kehidupannya yang penuh damai di Pulau Ular di sisi gurunya ini dihancurkan oleh kenyataan keji, oleh kebiasaan gurunya yang menjijikkan sehingga membuatnya lari ketakutan. Kemudian, pertemuannya dengan Tek Hoat yang menghidupkan kembali harapan dan cinta kasihnya, dihancurkan oleh kenyataan ketika Tek Hoat memakinya. Kini dia tidak tahu lagi ke mana harus pergi, dan apa yang harus diperbuat!

Melihat ini, Ouw Yan Hui merasa kasihan kepada Syanti Dewi dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak Syanti Dewi. Akan tetapi, begitu pundak itu tersentuh, puteri itu tersentak kaget dan meloncat ke belakang, mengelak dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak, mata yang amat indah, akan tetapi kini terbuka lebar seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.

“Tidak...! Tidak... jangan sentuh aku...!”

Melihat sikap muridnya ini, Ouw Yan Hui memandang dengan muka pucat, kemudian dia menjatuhkan diri di atas rumput, menutupi mukanya dan menarik napas panjang berkali-kali. “Ahhh, sekarang aku mengerti mengapa engkau melarikan diri dari pulau... maafkan aku, Syanti, bukan maksudku untuk membuat engkau terkejut dan ketakutan. Maafkan aku... wanita yang kesepian dan sengsara ini...“ Dan Ouw Yan Hui, wanita yang angkuh dan bersikap dingin itu kini menangis tersedu-sedu!

Syanti Dewi tertegun. Sejenak dia berdiri seperti patung memandang kepada gurunya, kemudian timbul rasa iba di hatinya. Betapa pun juga, dia telah berhutang banyak budi kepada gurunya ini, dan harus diakuinya bahwa gurunya ini merupakan sahabat yang amat baik, yang telah banyak melakukan kebaikan kepadanya, banyak menghiburnya, banyak pula mendidiknya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika Ouw Yan Hui membawanya lari dari dalam benteng yang terbakar. Akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di samping gurunya dan memegang lengan gurunya. “Enci... akulah yang harus minta maaf, telah pergi tanpa pamit.”

Ouw Yan Hui menurunkan kedua tangannya dan memandang melalui air matanya yang memenuhi kelopak matanya, dan dia mencoba untuk tersenyum, senyum pahit sekali. “Tidak, Syanti, engkau tidak bersalah. Tentu engkau jijik dan ngeri menyaksikan apa yang waktu itu kulakukan itu bersama bibi Maya Dewi...“ Dia menarik napas panjang dan mengusap air matanya.

“Tapi... kenapa engkau lakukan perbuatan seperti itu, Enci Hui?”

“Ahhh, engkau tentu tidak mengerti, Syanti. Aku adalah wanita yang telah mengalami kehancuran hati karena pria, maka, anehkah kalau aku mencari hiburan antara sesama wanita? Memang aku lemah... ahhh, akan tetapi... sungguh mati aku tak ingin menyeretmu ke dalam kebiasaan buruk itu. Aku sayang kepadamu, Syanti, seperti kepada adik sendiri. Aku merasa terkejut dan berduka sekali saat engkau pergi, aku mencari-carimu untuk minta maaf. Dan siapa yang duga, engkau malah yang tadi telah menyelamatkan aku...”

“Itu semua tidak ada artinya, Enci. Engkau pun pernah menyelamatkan aku, bahkan telah melimpahkan banyak sekali kebaikan.”

“Syanti, kalau engkau memang mencinta pemuda itu, yang kulihat amat baik dan gagah perkasa, mengapa engkau lari meninggalkannya? Kulihat dia masih amat mencintamu, bahkan agaknya menderita karenamu...”

“Tidak! Dia keji, dia menyakitkan hati, biar dia menderita sekarang!” Tiba-tiba Syanti Dewi mengepal tinju dan wajahnya membayangkan kemarahan, biar pun kembali air matanya mengalir keluar. Kemudian dia pun menceritakan semua yang telah dialaminya dengan Tek Hoat, betapa dia dituduh yang bukan-bukan oleh Tek Hoat setelah segala pengorbanan yang dilakukannya demi cintanya kepada pemuda itu.

Ouw Yan Hui mendengar dengan penuh perhatian dan akhirnya dia pun mengangguk angguk. “Ahh, pantas engkau merasa sakit hati. Memang sesungguhnya prialah mahluk berhati lemah, bukan wanita! Prialah yang suka menyeleweng, yang tidak mempunyai keteguhan hati, tidak mempunyai kesetiaan, mudah tergoda oleh kesenangan! Memang sepatutnya kalau engkau memberi pelajaran kepadanya, Syanti. Mari engkau ikut saja bersamaku ke pulau, bersembunyi di sana dan kita hidup bahagia di sana, jauh dari godaan kaum pria yang mata keranjang dan berhati palsu.”

“Terima kasih, Enci. Memang aku senang sekali tinggal di sana, hanya...“

“Harap kau jangan ulangi lagi hal itu. Kasihanilah aku, Syanti. Aku merasa malu dan menyesal sekali telah membuatmu ketakutan. Aku berjanji bahwa engkau tidak akan melihat lagi hal seperti itu terjadi di pulau...“

“Akan tetapi... bibi Maya...“

“Jangan khawatir, dia telah pergi dan tidak akan pernah datang lagi ke pulau.”

Syanti Dewi merasa girang dan hatinya terasa lapang. “Aku girang sekali, Enci, akan tetapi aku hanya... mengganggu kesenanganmu saja...“

“Tidak, kesenangan terkutuk itu memang harus dihentikan. Andai aku menghendaki, aku masih dapat melakukannya di luar pulau, di luar pengetahuanmu. Sudahlah, Syanti Dewi, mari kita pergi menikmati hidup berdua di sana.”

“Terima kasih, Enci. Aku pun berjanji tidak akan meninggalkan pulau lagi sampai… sampai datang... dia yang minta-minta ampun kepadaku.”

“Aku mengerti, dan aku akan membantumu, adikku yang manis.”

Maka pergilah kedua orang wanita itu dengan perjalanan cepat sekali, pulang menuju ke Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) dan dikarenakan memang ada rasa sayang di antara keduanya, sebentar saja mereka telah akur dan menjadi akrab kembali. Di sepanjang perjalanan, semua orang, terutama yang pria, tentu memandang mereka dengan sinar mata penuh kagum karena mereka merupakan dua wanita yang luar biasa cantiknya, dengan pakaian yang mewah pula dan Ouw Yan Hui amat royal mengeluarkan uang di sepanjang perjalanan. Seperti dua orang puteri istana saja yang sedang melakukan tamasya tanpa pengawalan…..

********************

Sejauh mata memandang yang nampak hanya pasir dan pasir. Itulah permulaan gurun pasir di luar Tembok Besar. Jarang ada manusia lewat di tempat yang sunyi dan liar ini, kecuali pada waktu-waktu tertentu, di musim tenang karena hanya kalau tidak banyak angin bertiup dan panas matahari tidak begitu menyengat saja maka tempat ini sering dilalui rombongan pedagang yang membawa barang-barang dagangan ke utara, dan pulangnya membawa kulit-kulit binatang yang berharga dan hasil-hasil lain untuk dibawa pulang ke selatan.

Hanya keledai-keledai saja yang kuat menyeberangkan manusia melalui padang pasir, kecuali tentu saja binatang onta. Di musim yang banyak mengandung angin besar, bahkan kadang-kadang angin puyuh, tidak ada orang berani lewat di daerah ini. Padang pasir itu berubah menjadi lautan pasir, bergelombang, membuat orang tak mampu membuka mata, dan kalau angin besar menyerang, terjadilah ‘banjir’ pasir yang kadang kadang menimbun apa saja sampai puluhan kaki tingginya!

Akan tetapi di dataran Chang-pai-san, pasirnya tidak begitu tebal, bahkan di sana-sini. nampak batu-batu menonjol keluar dan ada pula tanah yang berpadas. Daerah ini pun sunyi sekali, akan tetapi pada pagi hari itu nampak dua orang berjalan menyeberangi padang pasir menuju ke Bukit Chang-pai-san yang nampak menjulang tinggi di depan. Melihat ada dua orang berada di tempat sunyi ini saja sudah merupakan suatu kejanggalan, apa lagi kalau melihat mereka, karena mereka itu sama sekali bukan orang-orang yang pantas melakukan perjalanan jauh sampai ke daerah tandus dan sunyi liar ini.

Yang seorang adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, sukar ditaksir berapa usianya, tubuhnya bongkok sekali biar pun agak gemuk, jalannya lambat-lambat malas malasan dan kepalanya botak sampai licin mengkilap. Sudah tua renta, punggungnya bongkok pula, masih ditambah lengan kirinya buntung! Sungguh merupakan gambaran seorang tua yang patut dikasihani, yang kelihatan cacat dan lemah, maka amatlah mengherankan melihat seorang tua renta cacat ini melakukan perjalanan di tempat seliar itu. Dan temannya? Juga tidak patut menemani seorang tua renta lemah seperti itu karena orang kedua ini adalah seorang dara yang masih amat muda, cantik jelita dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin halus dan putih.

Memang merupakan pasangan yang aneh dan juga janggal karena mereka berdua adalah orang-orang lemah nampaknya. Akan tetapi kalau orang mengenal siapa adanya mereka, tentu orang tidak akan merasa heran lagi. Kakek tua renta yang lengan kirinya buntung dan punggungnya bongkok itu bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok, penghuni atau majikan dari Istana Gurun Pasir! Seorang datuk besar dalam dunia persilatan dan namanya dihubungkan dengan dongeng-dongeng aneh karena kakek ini lebih dikenal dalam dongeng dari pada dalam kenyataan yang jarang dijumpai manusia.

Sedangkan dara remaja itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat terkenal, baik oleh golongan pendekar mau pun golongan hitam. Dia adalah Kim Hwee Li, yang pernah dikenal sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka! Nama dara ini bahkan tidak kalah tenarnya dibandingkan nama Hek-tiauw Lo-mo sendiri.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan gagah berani Hwee Li telah menolong Dewa Bongkok dari bahaya maut ketika kakek yang telah menderita luka parah itu nyaris dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li. Hwee Li sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek yang ditolongnya dan yang kemudian menurunkan ilmu-ilmunya yang aneh kepadanya itu sebenarnya adalah kakek gurunya sendiri. Kakek ini adalah guru dari Kao Kok Cu, suami dari subo-nya! Memang selamanya, biar pun pernah datang ke Istana Gurun Pasir, Hwee Li belum pernah bertemu dengan kakek sakti ini.

Setelah menolong kakek itu, Hwee Li lalu diajak ke dataran Chang-pai-san oleh Dewa Bongkok yang ingin menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan kelima Ngo-ok yang lihai, juga kakek ini ingin bicara dengan Pendekar Super Sakti tentang putera pendekar itu yang telah menyusahkan hati Hwee Li! Di sepanjang perjalanan itu, Hwee Li menerima ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu baru ciptaan kakek itu yang diberi nama Cui-beng Pat-ciang oleh kakek itu. Sebutan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Arwah) ini dipergunakan oleh Dewa Bongkok bukan untuk memberi kesan menyeramkan seperti yang biasa dilakukan oleh tokoh-tokoh dunia hitam, melainkan untuk memperingatkan muridnya bahwa delapan jurus pukulan sakti itu sungguh amat ampuh dan sekali dipergunakan, amat berbahaya bagi lawan yang bagaimana lihai pun sehingga agar muridnya yang baru ini tidak sembarangan mempergunakannya untuk memukul orang, melainkan lebih condong mempergunakan untuk menjaga diri.

Selain menurunkan Pat-ciang ini, juga Bu Beng Lojin menyempurnakan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasai dara itu dengan menyuruh Hwee Li berlatih silat dan memberi petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan sehingga dalam ilmu-ilmu ini Hwee Li memperoleh kemajuan amat hebat, menutupi kelemahan-kelemahan dan menambah daya-daya serangan dalam setiap jurus. Dasar anak ini berotak tajam dan Si Dewa Bongkok memberi petunjuk secara langsung, maka dalam waktu beberapa bulan saja dalam perjalanan, Hwee Li telah menguasai semua petunjuk, bahkan telah menguasai pula Cui-beng Pat-ciang dengan baik, tinggal mematangkan saja dalam latihan.

Selain itu, yang amat mengharukan hati Hwee Li dan membuat dara ini menjadi amat menyayang kakek itu ialah, ketika pada suatu malam kakek tua renta ini memindahkan tenaga sinkang dari tubuhnya ke dalam tubuh Hwee Li! Hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesaktian setingkat dengan kakek bongkok ini. Dewa Bongkok telah mempergunakan ilmu yang disebut Hoan-khi-khai-hiat (Memindahkan Hawa Sakti Membuka Jalan Darah). Tentu saja perbuatan ini sungguh merugikan dirinya sendiri, mengurangi banyak sekali tenaga saktinya, akan tetapi di lain pihak amat menguntungkan Hwee Li karena dara ini mendapat tambahan tenaga sakti yang berlipat ganda.

Pada pagi hari itu tibalah mereka di tempat yang dituju, yaitu di dataran Chang-pai-san. Dari jauh mereka sudah melihat seorang pria yang bertubuh kurus jangkung, rambutnya putih semua seperti perak, berkibar-kibar tertiup angin, kaki kirinya buntung sebatas paha, berdiri dengan satu kaki ditunjang tongkat bututnya, tak bergerak seperti patung. Biar pun kakek itu hanya berkaki satu dan menimbulkan belas kasihan, namun dalam keadaan berdiri tegak seperti patung itu, terdapat sesuatu yang membuat orang merasa jeri dan kagum.

Saat melihat orang itu dari jauh, Hwee Li merasa bulu tengkuknya meremang dan dia bertanya kepada Dewa Bongkok dalam bisikan, “Lo-cianpwe...” dia tidak menyebut suhu atau kakek kepada Dewa Bongkok meski dia telah menerima ilmu-ilmu itu, melainkan menyebutnya locianpwe, “Siapakah orang di sana itu...?”

Biar mulutnya bertanya, namun batinnya menduga hahwa orang itu, pastilah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, ayah dari Kian Lee! Ketika masih kecil, nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es merupakan nama dongeng yang menakutkan baginya, seperti juga bagi semua penghuni Pulau Neraka, bahkan ayahnya sendiri, atau ayah angkat, Hek-tiauw Lo-mo, merasa takut sekali mendengar nama itu. Dan sekarang, orang itu di sana, begitu menyeramkan, tentu saja hatinya menjadi gentar sekali.

Go-bi Bu Beng Lojin adalah seorang tua renta yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, maka melihat sikap Hwee Li yang jeri itu dia pun sudah dapat menduganya. Tentu anak ini merasa geiisah bertemu dengan ayah dari kekasihnya, dan tentu anak ini sudah dapat menduga siapa adanya orang itu karena memang amat mudah mengenal Pendekar Super Sakti, melihat kaki buntung dan rambut putih seperti benang-benang perak itu. Dia sendiri memandang kagum ketika dia melangkah mendekati dan diikuti oleh Hwee Li yang agak ketinggalan oleh karena gadis ini merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan kedua kakinya gemetar! Bahkan dia lalu berhenti, membiarkan kakek bongkok itu seorang diri menghampiri kakek berkaki tunggal.

Dari jauh Hwee Li melihat betapa kakek berambut putih itu memutar tubuhnya yang hanya berkaki satu, menghadapi kakek bongkok dan keduanya lalu saling memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, entah apa yang mereka ucapkan karena Hwee Li berada terlalu jauh untuk dapat mendengar kata-kata mereka. Akan tetapi, melihat betapa sikap kedua orang itu amat bersahabat, kelihatan saling beramah-tamah dan saling menghormat, timbul keberanian di dalam hatinya dan dia pun mendekati sampai dapat mendengar percakapan mereka, dia berhenti lagi, merasa sungkan untuk makin mendekat dan dia mendengar kakek bongkok berkata dengan suara halus.

“Pertama-tama, aku telah mendengar bahwa Ngo-ok menantangmu untuk mengadakan pertemuan di sini, Taihiap. Dan aku merasa khawatir karena orang-orang sesat seperti mereka itu dapat melakukan segala macam kecurangan, oleh karena itu aku datang untuk menjadi saksi.”

Pendekar Super Sakti menjura dengan hormat, “Banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe, akan tetapi sungguh tidak enak jika sampai menyeret Locianpwe ke dalam urusan pribadi ini, padahal Locianpwe berada dalam keadaan terluka begitu parah. Biarkanlah saya mengobati Locianpwe...“

“Terima kasih, Taihiap, tidak perlu lagi, sudah terlambat. Memang aku tidak akan dapat membantumu menghadapi mereka, namun setidaknya, dengan memandang mukaku, mereka tidak akan berani sembarangan melakukan kecurangan. Dan urusan kedua lebih penting lagi, Taihiap. Aku sengaja menemuimu untuk membicarakan keadaan puteramu yang bernama Suma Kian Lee.”

Pendekar Super Sakti Suma Han nampak terkejut mendengar disebutnya nama Kian Lee. “Ahh, ada apakah dengan dia, Locianpwe?”

Kakek itu menarik napas panjang. “Sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, juga tidak semestinya kalau aku mencampuri, akan tetapi mengingat pemuda itu adalah puteramu, putera seorang pendekar yang sudah lama amat kukagumi, perlu kiranya aku membicarakannya denganmu, Taihiap. Suma Kian Lee puteramu itu saling mencinta dengan seorang gadis, akan tetapi akhirnya meninggalkan gadis ini setelah mendengar bahwa gadis itu adalah puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata anak tunggal dari mendiang Kim Bouw Sin yang telah memberontak...“

“Ah, sungguh terlalu dia, mau saja terpikat oleh seorang perempuan rendah! Ada berita yang sampai kepada saya tentang hal itu, Locianpwe, dan saya pun memang hendak mencari dan menegurnya. Bagaimana pun juga, saya tidak akan membiarkan dia merendahkan diri sedemikian rupa berdekatan dengan anak seorang penjahat keji seperti Hek-tiauw Lo-mo, apa lagi kalau perempuan itu ternyata anak kandung seorang pemberontak seperti Kim Bouw Sin! Tindakannya itu benar kalau dia meninggalkan perempuan itu.” Pendekar Super Sakti bicara penuh perasaan marah dan penasaran.

Dan hal ini tidak aneh karena memang semenjak dia mendengar dari Ngo-ok tentang puteranya yang tergila-gila kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo, hatinya sudah penuh dengan kemarahan terhadap puteranya. Maka, begitu mendengar kakek itu menyebut tentang puteranya yang berhubungan cinta dengan gadis itu, kemarahannya berkobar sehingga dia agak lupa diri dan mengeluarkan kata-kata keras.

Si Dewa Bongkok sendiri yang tidak kebagian waktu bicara dan sudah didahului oleh kemarahan Pendekar Super Sakti sampai melongo dan hanya memandang wajah pendekar itu dengan alis berkerut. Sementara itu, ketika mendengar ucapan Pendekar Super Sakti, Hwee Li mendadak menjadi pucat mukanya, dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk pisau berkarat. Dia mengeluh dan membalikkan tubuhnya kemudian melarikan diri sambil merintih panjang.

Tentu saja hal ini tidak terlepas dari penglihatan Suma Han dan juga Dewa Bongkok. Keduanya memandang dan selagi Dewa Bongkok hendak memanggil gadis itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek, “Seorang pendekar besar tapi tidak mampu mengurus puteranya sendiri, sungguh amat menggelikan!”

Suma Han dan Dewa Bongkok menoleh dan melihat munculnya empat orang di antara Ngo-ok. Yang pertama adalah Ji-ok (Si Jahat Nomor Dua) Kui-bin Nionio, wanita yang mukanya selalu tertutup oleh topeng tengkorak tulen yang mengerikan itu, tubuhnya kecil ramping seperti tubuh seorang gadis muda, dari balik mata tengkorak yang berlubang itu mengintai sepasang mata yang amat menyeramkan, mata yang terbelalak lebar, jernih seperti mata kanak-kanak tetapi tajam bukan main dan selalu bergerak gerak bola matanya, sedangkan rambutnya sudah putih semua. Di sebelah kanannya berjalan Twa-ok (Si Jahat Nomor Satu) Su Lo Ti, kakek tinggi besar yang mukanya seperti gorilla itu, pakaiannya sederhana, gerak-geriknya tenang dan halus.

Di belakang dua orang ini berjalan Su-ok (Si Jahat Nomor Empat) Siauw-siang-cu yang berkepala gundul seperti hwesio, juga jubahnya seperti jubah hwesio, tubuhnya cebol dan wajahnya selalu menyeringai, bersama Ngo-ok (Si Jahat Nomor Lima) Toat-beng Siansu, si jangkung kurus yang jubahnya seperti tosu, juga gelung rambutnya. Hanya Sam-ok (Si Jahat Nomor Tiga) Ban Hwa Sengjin atau Koksu Nepal saja yang tidak nampak. Akan tetapi Pendekar Super Sakti tidak memandang rendah, karena dia dapat menduga bahwa belum tentu kalau hanya empat orang ini saja yang datang, dan kemungkinan besar teman-teman mereka masih bersembunyi. Maka dengan tenang dia lalu menyambut mereka dengan sikap angkuh.

“Im-kan Ngo-ok datang tepat pada waktunya akan tetapi belum lengkap!”

Ucapan Suma Han ini sekaligus memuji dan juga menantang, seolah-olah dia merasa kecewa mengapa musuh-musuhnya tidak datang lengkap!

Twa-ok tertawa halus mendengar ini dan dia pun menjura lalu berkata, suaranya ramah tamah seperti orang yang manis budi bahasanya, “Ah, Pendekar Super Sakti memang gagah perkasa, memenuhi undangan kami. Akan tetapi agaknya keberanian Majikan Pulau Es yang disohorkan orang itu. terlalu berlebihan, karena sekarang dia membawa bawa seorang teman yang tidak kepalang tanggung. Bukankah Locianpwe ini Si Dewa Bongkok, majikan Istana Gurun Pasir?”

Kembali Twa-ok menjura ke arah Dewa Bongkok sambil tersenyum mengejek. Memang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini pandai sekali berpura-pura, padahal sejak muncul tadi, hatinya sudah gentar bukan main ketika melihat Dewa Bongkok berada di situ bersama Pendekar Super Sakti. Biar pun dia belum pernah bertemu dengan kakek sakti itu, akan tetapi dia dapat menduganya melihat keadaan kakek itu dan mendengar Pendekar Super Sakti tadi menyebut Locianpwe kepadanya. Betapa pun juga, sebagai seorang ahli yang pandai dia pun dapat melihat bahwa kakek sakti yang amat ditakuti orang ini sedang berada dalam keadaan luka hebat sekali, hal yang membuatnya diam diam merasa heran akan tetapi juga girang. Hilang kekhawatirannya karena dia maklum bahwa kakek sakti ini tidak mungkin ikut maju membantu Pendekar Super Sakti.

“Im-kan Ngo-ok, jangan mengukur baju orang dengan bentuk tubuh sendiri!” Dewa Bongkok berkata penuh wibawa. “Aku datang bukan atas ajakan atau undangan Suma taihiap, melainkan secara suka rela karena aku ingin menonton pertemuan ini dan akan menjadi saksi agar jangan ada perbuatan pengecut dan curang dilakukan di sini!”

“Hi-hi-hik, Twako, perlu apa bicara dengan dia? Tidak peduli siapa dia itu, kulihat dia tiada lain hanyalah seorang kakek tua renta yang sudah menderita luka hebat dan hampir mampus, tapi sombongnya bukan main!” tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nionio berkata sambil meludah melalui lubang di antara gigi-gigi tengkorak yang mengerikan itu.

Ji-ok bukanlah seorang perempuan muda yang lancang dan sombong, sama sekali bukan. Dia adalah seorang wanita yang cerdik sekali, dan kalau dia tidak melihat betapa kakek tua renta itu memang sudah terluka parah, tentu saja dia akan bersikap lain dan sama sekali tidak berani main-main seperti itu.

Mendengar ucapan wanita bermuka tengkorak itu, Dewa Bongkok hanya menarik napas panjang karena memang apa yang dikatakan wanita itu bahwa dia terluka parah merupakan kenyataan. Tentu saja kalau dia mau, sekali dia menggerakkan tubuh dan menyerang dengan ilmunya yang hebat, wanita muka tengkorak itu akan dapat ditewaskannya seketika, akan tetapi pengerahan tenaga itu pun akan mencabut nyawa sendiri. Hal ini dia sadari benar, maka dia pun hanya menarik napas panjang.

Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti maklum akan keadaan Dewa Bongkok, maka dia menggerakkan tangannya, berkata dengan suara lantang, “Kita bukan anak anak kecil yang jauh-jauh datang untuk mengadu mulut. Mari, silakan duduk dan bicara sepatutnya!” Dia kemudian duduk bersila dengan sebelah kakinya didahului oleh Dewa Bongkok yang memang perlu banyak beristirahat sambil duduk bersila.

Melihat kedua orang itu sudah duduk berdampingan, empat orang di antara Im-kan Ngo-ok itu lalu mengambil tempat duduk pula, duduk di atas tanah berpasir. Twa-ok dan Su-ok di depan mereka, Ji-ok dan Ngo-ok di kanan kiri. Dewa Bongkok sudah duduk diam, memejamkan mata dan melintangkan lengan tunggalnya di depan dada.

Keadaan menjadi sunyi menegangkan. Keenam orang itu duduk saling berhadapan membentuk lingkaran dan Pendekar Super Sakti menatap wajah empat orang lawan itu satu demi satu. Kemudian terdengarlah suaranya lantang dan suara ini mengandung getaran amat kuat.

“Im-kan Ngo-ok, kalian mengundangku untuk mengadakan pertemuan di tempat ini. Nah, aku sudah datang, kalau ada persoalan lekas kemukakan, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani kalian!”

Diam-diam Dewa Bongkok kagum. Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh yang jauh lebih muda dibandingkan dengan dia, namun pendekar ini telah membuat nama besar sehingga namanya menggetarkan dunia persilatan dan menjadi semacam nama dalam dongeng. Dan ternyata sikap pendekar ini memang amat berwibawa, sungguh pun tadi dia merasa kecewa akan wawasan Pendekar Super Sakti tentang hubungan puteranya dengan seorang gadis. Getaran suara penuh wibawa itu juga mempengaruhi empat orang datuk kaum sesat itu, karena sejenak mereka duduk diam dan tiga orang di antara mereka memandang kepada Twa-ok karena orang tertua atau pertama inilah yang diharapkan untuk menjadi wakil pembicara.

Twa-ok dapat merasakan tuntutan saudara-saudaranya ini, dan dia sendiri pun agak gugup. Menghadapi pendekar yang demikian tenang dan penuh wibawa sikapnya, sungguh mendatangkan kegugupan dan biar pun dia mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan diri, tetap saja suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menjawab, “Kami telah lama mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang datuk yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, selalu tinggal dengan aman tenteram di Pulau Es. Akan tetapi secara tiba-tiba saja Pendekar Super Sakti muncul lagi di dunia kang-ouw. Hal ini amat mengherankan dan membuat kami merasa penasaran.”

Suma Han mengerutkan alisnya yang sudah bercampur dengan uban. “Im-kan Ngo-ok, sesungguhnya bukan berita kosong yang mengabarkan bahwa kami sudah bertahun tahun berada di Pulau Es dan tidak mau lagi mencampuri urusan dunia yang penuh dengan permusuhan. Akan tetapi kami keluar dari Pulau Es bukanlah untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mencari kedua orang putera kami. Sebaliknya Im-kan Ngo-ok yang juga terkenal sebagai tokoh-tokoh yang sudah mengundurkan diri dan bertapa, tiba-tiba muncul dan bahkan mengacau dunia dengan perbuatan-perbuatan jahat mereka, bahkan membantu pemberontakan. Andai kata kami mendengar dari Pulau Es, agaknya sudah wajar pula kalau kami lantas sengaja keluar dari sana untuk menghadapi kalian! Sekarang, kulihat pemberontakan telah dipadamkan, dan aku pun tidak mempunyai niat untuk bermusuhan dengan kalian, dan ini bukan berarti bahwa aku takut kepada kalian. Nah, cukuplah, aku harus pergi mencari anak-anakku.”

“Nanti dulu!” Twa-ok membentak dan sekarang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini sudah mendapatkan kembali keberaniannya. “Pendekar Super Sakti, sudah semenjak dahulu kami ingin sekali berkenalan dengan kelihaianmu, bahkan kami pernah merencanakan untuk mengunjungi Pulau Es, hanya untuk menguji kepandaianmu. Sekarang setelah kita dapat bertemu di sini, dan memang jalan hidup kita selalu bersimpangan, maka kami menantangmu untuk melanjutkan pertempuran antara kita beberapa bulan yang lalu, dan sekali ini kami tidak akan berhenti sebelum satu di antara kita roboh!” Setelah berkata demikian, Twa-ok meloncat bangun diikuti oleh tiga orang temannya. Mereka berempat sudah memasang kuda-kuda dan siap maju menerjang.

Agaknya masa untuk menyukai pertempuran bagi Suma Han sudah lewat. Kalau dulu, tentu dia akan menyambut tantangan ini dengan gembira. Akan tetapi sekarang dia bangkit dengan segan, menarik napas panjang dan merasa malas untuk berkelahi.

“Tanpa alasan kalian menantang orang berkelahi, sungguh kalian ini orang-orang tua sudah kembali seperti kanak-kanak.”

“Ha-ha-ha, Pendekar Siluman, bilang saja terus terang engkau tidak berani, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu atau Su-ok yang pendek cebol itu mentertawakan dengan lagak yang amat mengejek dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan berjongkok, siap untuk melancarkan pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.

“Majulah, siapa takut kepada kalian?” kata Suma Han, suaranya sama sekali tidak mengandung kemarahan. Dia tidak mudah terpancing lagi untuk terjerumus ke dalam kemarahan yang hanya akan melemahkannya.

“Siancai...! Sungguh inilah yang kukhawatirkan!” Mendadak terdengar Dewa Bongkok berkata halus. “Im-kan Ngo-ok, kalian semua termasuk datuk-datuk yang sudah memiliki kedudukan dan ilmu kepandaian tinggi, kenapa bersikap seperti tukang-tukang pukul bayaran yang muda saja? Dunia kang-ouw selama puluhan tahun tentu mengetahui hal ini. Kini kalian hendak maju melakukan pengeroyokan, apakah itu dapat dinamakan gagah perkasa? Apakah kalian ingin merendahkan diri sebagai jagoan-jagoan pasar saja?”

“Ha-ha-ha!” Su-ok tertawa. “Kalau kau merasa penasaran, majulah, Dewa Bongkok!”

“Su-te, serahkan Si Bongkok itu kepadaku!” Ji-ok menyambung.

Akan tetapi Twa-ok dengan sikap ramah-tamah dan suara halus menjawab, “Locianpwe agaknya tidak tahu bahwa julukan kami adalah Im-kan Ngo-ok dan kami sudah biasa maju bersama, baik menghadapi seorang lawan atau seratus orang lawan! Jumlah sudah tidak masuk hitungan lagi. Kalau Pendekar Super Sakti maju ditemani orang orang lain, kami pun tidak akan menolak. Nah, Pendekar Super Sakti, apakah engkau berani melawan kami?”

Suma Han berkata kepada Dewa Bongkok, “Harap Locianpwe suka menonton saja di pinggir, saya masih sanggup menghadapi mereka ini.”

Dewa Bongkok menarik napas panjang. Kalau saja dia tidak terluka, tentu akan mudah saja menanggulangi golongan sesat ini. Karena dia sendiri tak mampu berbuat sesuatu, maka dia lalu melangkah ke pinggir dan memandang penuh perhatian karena dia tahu bahwa pertandingan yang akan terjadi ini adalah pertandingan tingkat tinggi yang tentu amat hebat.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Empat orang Im-kan Ngo-ok itu merupakan tokoh-tokoh tingkat atas yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dalam perkelahian mereka itu tidak lagi mengandalkan ketajaman dan kekuatan senjata. Kaki tangan mereka telah menjadi senjata yang amat ampuh. Hanya orang-orang yang benar-benar sudah mencapai tingkat tinggi saja yang tidak lagi membutuhkan bantuan senjata.

Twa-ok Su Lo Ti berdiri dengan kedua lengan terpentang lebar, dan sikunya ditekuk dan tangannya membentuk cakar-cakar, bagai sikap seekor gorilla yang hendak menyerang. Dan memang kakek bermuka gorilla ini mendasarkan ilmunya kepada gerakan gorilla, hanya bedanya, kalau binatang gorilla atau kera raksasa itu mengandalkan kekuatan otot dan tulang, kakek ini mengisi gerakannya dengan tenaga sinkang yang amat kuatnya, dan bahkan sambaran angin pukulannya saja sudah amat berbahaya bagi lawan, di samping kekebalan kedua tangannya yang mampu menangkis senjata-senjata tajam.

Ji-ok Kui-bin Nionio amat berbahaya dengan ilmunya yang luar biasa, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang). Jangan kata tersentuh atau tertusuk oleh jari-jari tangannya, baru terkena hawanya saja sudah dapat melukai lawan. Su-ok Siauw-siang-cu amat hebat dengan ilmu pukulan Katak Buduk yang berbisa, sedangkan Ngo-ok Toat-beng Siansu yang tubuhnya jangkung tidak lumrah manusia itu bersilat dengan jungkir balik, dan memiliki ginkang yang amat tinggi di samping pukulan-pukulan beracun pula. Empat orang itu masing-masing sudah merupakan lawan yang cukup berat, apa lagi kalau mereka maju berbareng.

Namun, Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri tegak dengan sebelah kakinya dengan sikap tenang sekali, tangan kanan memegang tongkat bututnya, tangan kiri disilangkan di depan dada, sikapnya menanti gerakan lawan, menanti saat penyerangan lawan. Dan saat yang dinantinya itu pun tibalah.

Cepat bukan main gerakan pertama yang dilakukan oleh Ngo-ok itu. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba sekali ada dua batang kaki yang panjang dan besar, seperti dua buah cangkul menyerang Suma Han, mencangkul ke arah kepala dan dada pendekar itu. Kecepatannya sukar diikuti dengan pandang mata.

“Plak-plak, wuuuttttt!”

Dua batang kaki itu tertangkis oleh tongkat dan cengkeraman tangan Ngo-ok, dari bawah mengarah bawah pusar itu dihindarkan oleh Suma Han dengan meloncat ke kiri. Akan tetapi, dengan gerakan otomatis, dia disambut oleh Twa-ok yang mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi sebelum lawan sempat menangkis, gerakan mencengkeram itu sudah berubah, yang kanan menampar dan yang kiri menotok ke arah lambung. Sungguh merupakan dua serangan yang amat berbahaya dan satu di antaranya saja mengenai sasaran akan cukup merenggut nyawa dari tubuh!

Tetapi, Pendekar Super Sakti tidak menjadi gugup, dia cepat memutar tongkatnya yang berubah menjadi segulung sinar terang, kemudian dia meloncat ke depan sehingga dia terhindar dari serangan itu untuk menghadapi serangan langsung lagi dari Ji-ok.

Terdengar suara bercuitan pada waktu jari-jari tangan yang kecil runcing itu bergerak menyambar, seperti ujung-ujung pedang yang menyerang secara bertubi-tubi. Namun, semua tusukan jari tangannya yang menjadi Kiam-ci ini dapat di tolak oleh kibasan tangan kiri Suma Han. Belum juga jari-jari tangan itu tertangkis, sudah ada hawa dingin sekali, lebih dingin dari pada hawa Kiam-ci, menolak sehingga tangan Ji-ok terpental. Kini Su-ok menyerang dari bawah dengan pukulan Katak Buduk. Suma Han mengenal pukulan beracun, maka dia pun cepat menggunakan kelincahannya untuk meloncat dan menghindar dengan loncatan tinggi.

Kini, empat orang itu mulai menyerang secara bertubi-tubi, kadang-kadang berbareng dan saling membantu dan terjadilah pertandingan yang amat luar biasa. Suma Han yang mengenal kelihaian lawan, kini sudah mempergunakan ilmunya yang membuat dia amat terkenal, yaitu Ilmu Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar, ke kanan ke kiri, kadang-kadang melesat jauh ke atas, sukar sekali diikuti dan dengan Soan-hong-lui-kun, maka pendekar ini berhasil menghindarkan diri dari semua serangan lawan. Dia pun membalas dengan tamparan dan tusukan tongkatnya.

Namun empat orang lawannya itu pun mampu membela diri, apa lagi karena mereka saling bantu sehingga kedudukan mereka amat kuat. Agaknya, pengalaman bertempur melawan Suma Han tiga bulan yang lalu membuat mereka berhati-hati dan sudah mengatur siasat untuk menandingi pendekar itu, yaitu dengan jalan saling bantu dan tidak melakukan penyerangan sendiri-sendiri, melainkan dengan teratur sehingga saling terlindung oleh kawan.

Sambil duduk bersila di pinggir, Dewa Bongkok menonton pertandingan itu dengan hati tertarik sekali. Jarang ada kesempatan menyaksikan pertandingan seperti ini, dan dia amat kagum melihat Soan-hong-lui-kun yang hanya didengarnya saja akan tetapi baru sekarang ini dapat dinikmatinya. Dari gerakan-gerakan itu, maklumlah dia bahwa Suma Han telah menemukan suatu ilmu yang hanya mungkin dapat dimainkan secara sempurna oleh orang yang berkaki tunggal. Orang yang berkaki dua jangan harap akan dapat menguasai ilmu itu sebaik seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es itu.

Diam-diam dia tersenyum, mengingat bahwa keadaannya hampir sama dengan Suma Han. Ia pun telah menemukan suatu ilmu yang khas untuk orang yang hanya berlengan satu seperti dia atau seperti Kao Kok Cu, muridnya itu, yaitu Ilmu Sin-liong-liok-te dan Sin-hong-ciang-hoat. Orang yang berlengan dua jangan harap akan dapat mainkan ilmu ini sebaik orang yang berlengan satu! Dia menonton dengan kagum dan beberapa kali dia memuji kalau melihat gerakan yang amat indah dari Suma Han ketika pendekar ini menghindarkan diri secara cepat dan tepat sekali menggunakan kelincahan tubuhnya yang dapat melesat ke sana-sini seperti ada per-nya itu.

Akan tetapi, setelah menyaksikan mereka itu bertempur sampai seratus jurus, Dewa Bongkok dapat melihat perbedaan antara Ilmu Soan-hong-lui-kun dengan ilmunya, yaitu Sin-liong-ciang-hoat. Ilmu milik Pendekar Super Sakti itu lebih condong sebagai ilmu untuk membela diri atau menghindarkan diri dari serangan lawan, kurang sekali daya serangnya, dan pendekar itu membalas serangan dengan pukulan lain-lain yang tidak sehebat Ilmu Sin-liong-ciang-hoat. Sebaliknya, ilmunya itu lebih banyak menyerang dan lebih kuat daya serangnya dari pada daya tahannya.

Dengan Soan-hong-lui-kun, biar pun Suma Han tidak sampai terancam bahaya, namun sukar pula bagi pendekar itu untuk dapat mengalahkan empat orang lawan yang kini dapat bekerja sama dengan amat baiknya itu. Diam-diam Dewa Bongkok lalu mulai berkemak-kemik, menggunakan Imu Coan-im-jip-bit untuk memberi petunjuk kepada Suma Han seperti yang dilakukannya ketika dia membantu Hwee Li. Dia memberi petunjuk megunakan gerakan-gerakan dari Sin-liong-ciang-hoat untuk lebih memperkuat daya serangan dari pendekar itu.

Diam-diam Suma Han mendengar bisikan-bisikan ini yang memang hanya ditujukan kepadanya. Dia maklum bahwa kakek itu memiliki ilmu yang tinggi, dan dia tidak malu malu untuk menerima petunjuk ini. Dan tiba-tiba dia berhenti meloncat, melainkan menggeser ke dalam, memutar tubuh ke kanan kemudian ke kiri tiga kali dan tahu-tahu dia telah berhadapan langsung dengan Su-ok. Cepat dia memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.

“Wusssss...!”

Hawa dingin yang tak tertahankan membuat Su-ok terdorong ke belakang dengan muka pucat. Biar pun tiga orang temannya sudah menolongnya dan menyerang dari kanan kiri sehingga pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) itu tidak dapat dilanjutkan karena pendekar itu harus menghindarkan tiga orang penyerangnya, namun hawa pukulan dingin masih menyerangnya dan membuat Su-ok menggigil!

Kembali Suma Han bergerak aneh, kini meloncat ke kiri, kemudian membalik dan tahu tahu dia sudah menyerang dari samping kanan ke arah Twa-ok, dan sekali ini dia menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang amat panas. Kakek itu terkejut dan mengerahkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga sinkang sepenuhnya. Tidak urung dia merasa kedua telapak tangannya seperti dibakar dan untung baginya, pada saat yang amat berbahaya itu tiga orang temannya sudah menerjang lagi sehingga terpaksa Suma Han kembali menghindar dan tidak mendesaknya. Demikianlah, dengan petunjuk-petunjuk dari Dewa Bongkok, Suma Han berhasil menyerang dan beberapa kali mendesak empat orang lawannya, sungguh pun selalu dapat digagalkan oleh kerja sama empat orang itu yang saling membantu.

“Mana Sam-te, mengapa terlambat benar?” Tiba-tiba terdengar Ji-ok berseru nyaring.

“Aku datang... aku datang...!”

Dan bersama dengan suara itu muncullah Sam-ok Ban Hwa Sengjin, koksu atau lebih tepat lagi bekas koksu dari Nepal itu. Setelah kegagalan-kegagalannya, apa lagi setelah tewasnya Pangeran Liong Bian Cu, nama koksu ini tidak terkenal lagi di Nepal, bahkan dia dicurigai dan tidak disuka di kalangan istana Nepal. Dalam keadaan seperti itu, pada saat datang Su-ok menyusulnya dan minta padanya untuk membantu teman-temannya menghadapi Pendekar Super Sakti, Sam-ok ini lalu meninggalkan Nepal tanpa pamit lagi, melepaskan jabatan koksu yang dirasakan makin panas dan tidak enak itu.

Kedatangannya agak terlambat, tetapi belum terlambat benar karena teman-temannya belum ada yang roboh, bahkan kedatangannya tepat sekali di waktu empat orang teman atau saudara segolongannya itu terancam dan mulai terdesak oleh Suma Han yang dibantu oleh Dewa Bongkok yang memberi petunjuk. Begitu datang dan melihat Dewa Bongkok berada di situ, Sam-ok terkejut setengah mati, akan tetapi dia pun lega ketika mendapat kenyataan bahwa kakek sakti ini sudah menderita luka hebat sehingga tidak mungkin ikut bertanding.

Sejenak Sam-ok melihat kedudukan teman-temannya. Dia girang bahwa ternyata empat orang teman itu dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti beruang marah dan tubuhnya lalu berputar-putar seperti gasing! Itulah Ilmu Thian-te-hong-i yang hebat, yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti gasing, dan dari putaran tubuhnya itu kadang-kadang mencuat pukulan seperti kilat cepatnya yang amat kuat menghantam ke arah Pendekar Super Sakti!

Melawan empat orang itu saja keadaannya sudah seimbang, apa lagi kini dibantu oleh orang seperti Ban Hwa Sengjin. Kepandaian Sam-ok ini tidak banyak selisihnya kalau dibandingkan dengan kepandaian Twa-ok atau pun Ji-ok dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Memang sebenarnya lima orang itu sama sekali tidak mempunyai pertalian persaudaraan, baik kekeluargaan mau pun perguruan, maka ilmu mereka masing-masing jauh berbeda dan memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau mereka bergabung, adalah karena watak dan kesukaan mereka sama, dan tingkat mereka itu ditentukan oleh pertandingan yang mereka adakan untuk mengukur tingkat masing-masing. Namun selisihnya tidaklah amat banyak.

Kini Suma Han mulai terdesak lagi, bukan terdesak dalam arti kata terancam. Sama sekali tidak. Dengan Soan-hong-lui-kun, jangankan hanya lima orang itu, biar ditambah lima orang lagi seperti mereka, kiranya tidak akan mudah untuk merobohkan Suma Han yang mempergunakan Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya seperti bersayap dan sukar sekali dipukul itu. Akan tetapi, terdesak di sini berarti bahwa dia tidak sempat lagi untuk membalas serangan lawan, dan harus selalu menghindarkan diri dari semua serangan. Tentu saja pertandingan seperti ini menjadi berat sebelah dan Suma Han terus didesak dan dikejar-kejar oleh lima orang Im-kan Ngo-ok yang lihai-lihai itu.

Dewa Bongkok tak sempat lagi memberi petunjuk saking cepatnya serangan lima orang yang bertubi-tubi datangnya dan dilakukan dengan gaya ilmu silat yang jauh berlainan itu. Kalau saja dia tidak terluka tentu dia dapat membantu, dan bersama dengan Suma Han, dalam waktu singkat tentu dia akan mampu merobohkan lima orang itu. Suma Han di bagian bertahan dan dia di bagian menyerang! Akan tetapi, apa mau dikata, dia tidak mungkin dapat bergerak mengerahkan sinkang karena hal itu akan berarti kematiannya.

Suma Han juga harus mengakui bahwa lima orang Im-kan Ngo-ok ini sungguh-sungguh terlalu berat baginya. Ilmu-ilmu mereka selain tinggi, juga aneh-aneh dan kelimanya mempergunakan ilmu yang berbeda-beda sehingga sukar juga baginya untuk mengenal dasar atau sifat ilmu mereka, dan hal ini membuat dia tak mungkin melakukan serangan balasan. Serangan mereka bertubi-tubi dan berganti-ganti sehingga dia tidak sempat membalas, terpaksa dia harus mengerahkan tenaga menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Namun, tidak mungkin berkelahi hanya dengan mengelak dan menangkis terus-menerus tanpa membalas satu kali pun!

Tiba-tiba Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, diikuti suaranya yang terdengar seolah-olah dari atas langit kemudian berpencar dan bergema di semua penjuru, “Haiii! Aku di sini!” disusul gemanya, “Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini!”

Lima orang Im-kan Ngo-ok mengeluarkan seruan kaget dan mereka bergerak dengan kacau-balau sebab mereka melihat betapa Pendekar Siluman itu telah berubah menjadi iima orang! Lima Pendekar Siluman, semua memegang tongkat, dan masing-masing kini menghadapi seorang Pendekar Siluman!

Seketika keadaan menjadi berbalik sama sekali! Kini mereka berlima tidak lagi dapat bekerja sama karena masing-masing menghadapi seorang lawan yang sama kuatnya! Dan kini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu mulai menyerang! Repotlah lima orang itu dan segera mereka terdesak mundur!

Dewa Bongkok memandang dan mengangguk-angguk kagum. Dia sendiri tidak sampai terpengaruh oleh kekuatan sihir itu, tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Pendekar Super Sakti yang dia dengar juga dinamakan Pendekar Siluman karena pandai bermain sihir itu kini telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga lima orang lawan itu menjadi kacau-balau gerakan mereka, nampak ketakutan dan kini Pendekar Super Sakti yang berbalik menyerang mereka satu demi satu, dan lima orang itu kehilangan kerja sama mereka! Kini Dewa Bongkok tidak merasa ragu lagi bahwa tentu Majikan Pulau Es itu akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran satu lawan lima itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa mengikik, suara ketawa terkekeh-kekeh yang hanya dapat dilakukan oleh seorang nenek tua yang sudah ompong! Muncullah seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek itu sedemikian tuanya sehingga tubuhnya seperti telah mengerut menjadi kecil! Nenek itu adalah nenek bangsa India, kulitnya pun hitam seperti pakaiannya dan mulutnya berkeriput terkekeh kekeh seperti orang gila.

“Heh-heh-heh, permainan kanak-kanak! Hanya satu orang mana bisa berubah lima?” Nenek itu berkata sambil mengacungkan tongkat hitamnya ke atas.

Terjadi perubahan pada pertempuran antara Suma Han melawan lima orang Im-kan Ngo-ok itu! Kini lima orang itu berseru aneh karena lenyaplah empat orang Suma Han yang lain, dan yang ada hanya seorang saja. Tentu saja mereka menjadi girang dan cepat menubruk dan kembali mengirim serangan bertubi-tubi! Keadaan menjadi berbalik kembali…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JODOH RAJAWALI (BAGIAN KE-9 SERIAL BU KEK SIANSU

Istilah dan frasa umum